Tumgik
prhndini · 1 year
Text
Matahari Terbit di Ujung Timur Jawa
Bagian 3: Terbenam
Matahari tergelincir dari garis cakrawala. Tenggelam menyisakan gelap. Seperti biasa, warga desa yang masih berlalu lalang di luar rumah menerangi langkahnya dengan obor. Sedangkan para wanita dengan lihainya menyalakan cempluk di rumah mereka. 
Aku mengambil lampu ublik  dan mengisinya dengan minyak jarak. Kemudian ku letakkan di kamar emak. Cahaya ublik menerangi wajah emak. Beberapa hari ini kondisi kesehatan beliau semakin menurun walaupun sudah kami bawa ke tabib.
Hatiku sedih melihat emak yang melahirkan dan membesarkanku tampak pucat. Hilang semu merah pipinya. Aku duduk di sampingnya.
“Le.. Seno..” Emak memanggilku, berusaha bangun dari pembaringannya. 
“Jangan memaksakan duduk, Mak. Tidur saja” Tanganku menahan kedua bahu emak dengan hati-hati, mengantarkannya agar tidur lagi. 
Ia berdehem-dehem berusaha menjernihkan suaranya yang parau. “Emak ini hidup dengan Apakmu lebih dari setengah abad. Mak tahu bagaimana sifat dan kebaikan beliau. Apakmu juga sama sepertimu, ingin sekali lepas dari belenggu penjajah”. 
Aku hanya diam mendengarnya. Kuraih tangan Emak, kugenggam jemarinya. 
“Kami minta maaf, tapi percayalah padaku dan Apakmu. Kau turuti keinginan kami ya, Le?” 
“Tidak, Mak. Apalagi engan kondisi Mak yang seperti ini” Aku menggeleng dengan yakin, “maaf aku tidak bisa”. 
“Umur Emak mungkin tidak akan lama, Le. Emak tidak apa-apa. Kau anak kami satu-satunya. Carilah medan perjuangan diluar sana. Mau kan, Le?” 
Suara  emak yang lembut dan terdengar pelan entah bagaimana bisa menyayat hatiku. Aku meneteskan air mataku. Jatuh pada tangan keriputnya.
“Baik, mak” Hanya itu saja kalimat yang mampu keluar dari bibirku. Harapanku hanya satu, agar emak bisa lega dan kesehatannya berangsur pulih. 
“Kau adalah Seno Darmo. Kau bisa, Le. Emak percaya padamu” Tangannya menyentuh pipiku. Hangat. 
Nyala ublik kian meredup. Angin yang berhembus sangat pelan sanggup memadamkan cahayanya. Begitu pula dengan cahaya teduh mata emak. Telah hilang sepenuhnya.
Emak telah tiada. 
Malam itu juga emak dikebumikan. Para pakdhe, paklik, dan warga desa membantu kami mengurus pemakaman ibu. Air muka apak murung kehilangan separuh jiwanya. Aku sendiri bak kehilangan separuh duniaku. 
Suasana rumah terasa tidak sama lagi. Sepi, seperti tak bernyawa. Bahkan suara kokok ayam yang datang bersahutan tidak mampu mengusir rasa sepi. Aku menghampiri apak yang sedang duduk di depan pintu rumah kami. Rasa kasihan menyeruak dalam dada, sedikit meredakan amarahku padanya. 
Aku membicarakan tentang wasiat dari emak, “Apak akan sendirian disini kalau aku pergi merantau. Apa tidak usah kujalani saja wasiat dari emak?” 
Bagaimanapun kesalnya aku dengannya, aku tidak tega melihatnya seperti ini.
“Apak masih mengharapkan kau pergi ke sana. Jangan kau khawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja disini, bersama pakdhe, paklik, dan para sepupumu” Apak menatap wajahku, “Jalankan saja wasiat Emakmu, Seno”. 
Singkat cerita, aku berpamitan kepada Apak. Berbagai perasaan berkecamuk dalam diriku. Rasa marah dan kecewa kepada apak, rasa kasihan meninggalkan apak sendiri ditengah ancaman kecamuk perang, perasaan yang masih sedih karena ditinggal emak, hingga rasa malu karena mengkhianati kawan-kawan yang telah berjanji akan berjuang bersama.
Semuanya kugenggam dalam diriku, kubawa dalam setiap langkahku. Berharap semua akan baik-baik saja seiring dengan waktu.
*** 
Entah bagaimana pikiranku. Keinginan menuju Benteng Bayu masih menyelimuti. Ku perhitungkan apakah sebaiknya aku kesana atau tidak.
Baiklah, aku akan pergi kesana. Lagipula, tidak ada yang tahu apakah kelak aku bisa kembali ke Bumi Blambangan lagi, Setidaknya sedikit saja mencicipi keinginanku untuk berjuang bersama rakyat Bayu. Keinginan yang telah kukubur sebelum aku berusaha mewujudkannya. Tentu saja, aku berjanji akan berangkat ke Pasuruan setelah dari sana.
Setelah berjalan kaki sedari pagi, aku baru tiba di desa Bayu saat siang. Keringat sebiji jagung mengalir deras membasahi badan dan kepalaku. Tidak mudah menuju kesana. Harus melewati hutan yang menanjak. Apalagi bekas guyuran air hujan membasahi tanah. Jalanan menjadi licin. Perlu ekstra hati-hati supaya tidak tergelincir. 
Di depanku tampak tembok setinggi dua meter yang dibangun dari susunan bata mengikuti lengkungan lereng gunung Raung sebelah timur. Di ujungnya terdapat bastion yang berfungsi sebagai menara pengintaian. Di depan benteng terdapat palisada, pagar yang terbuat dari batang-batang pohon besar. Bagian atasnya dibuat runcing dan batang-batang pohonnya berjajar sangat rapat satu sama lain.
Ini dia benteng Bayu. Aku segera masuk menuju pusat perjuangan rakyat Blambangan, berencana menemui pangeran Jagapati. Syukurlah rencanaku berjalan dengan mulus, Pangeran sedang berada di Bayu. Seorang pria berkumis akan mengantarku ke kediaman Pangeran di dalam Benteng. 
Aku terpana ketika memasuki gerbang. Takjub melihat benteng beserta segala keriuhan aktifitas penduduk Blambangan di dalamnya. Ada yang sedang berlatih fisik, ada yang sedang duduk-duduk berdiskusi. Banyak orang yang berlalu-lalang. Beberapa pria tampak saling bahu-membahu membuat parit di belakang tembok benteng. Atmosfir perjuangan terasa pekat. 
Aku terus berjalan mengikuti pria berkumis. Dapat ku lihat seperangkat gamelan beserta pemainnya. Cukup unik.
“Untuk apa gamelan-gamelan itu, pak?” aku tak dapat mengelakkan rasa penasaranku.
“Tentu saja untuk dimainkan. Sekaligus sebagai simbol. Lambang kekuasaan dan kekuatan” pria berkumis memberi penjelasan singkat.
“Ooh..” Aku manggut-manggut mendengar jawabannya.
Kami terus berjalan melewati halaman luas. Akhirnya kami tiba di sebuah ruangan  yang terletak di belakang. Sederhana, seperti rumah rakyat biasa. Tidak merepresentasikan sebagaimana ‘istana’ Pangeran.
Pria berkumis mengantarkanku masuk setelah ia berbicara sebentar dengan Pangeran. Aku duduk ditanah. Beralaskan tikar dari jerami untuk duduk di atasnya. “Pangeran Jagapati. Perkenalkan, hamba adalah Seno Darmo. Hamba tinggal di desa Caluring”
“Aku tidak pernah melihatmu disini. Apakah aku benar?” Pangeran bertanya kepadaku.
“Benar, Pangeran. Ini adalah kali pertama hamba datang ke Bayu”
“Apakah ada yang bisa ku bantu, Seno?” 
Aku menyerahkan kantong kain yang diberi Apak sebelum aku berangkat. Berisi Gulden dari hasil ia menjual tanah di Ulupampang 
“Apa ini?”
“Ini adalah sebagian harta hamba. Hamba memberikannya sebagai bentuk dukungan untuk Blambangan” Aku telah mengambil tiga Gulden dan beberapa Doit untuk bekal perjalananku. Jumlah yang cukup banyak. Toh nantinya aku masih bisa bekerja lagi. Setidaknya aku sedikit tenang karena telah berusaha melakukan sesuatu untuk perjuangan rakyat Bumi Blambangan.
“Terimakasih, Seno. Ini akan sangat berharga untuk para Pejuang Bayu. Tapi, tidak kah kau akan ikut berperang? Setelah kemenangan kita kemarin, aku yakin Belanda tidak akan tinggal diam. Perjuangan masih panjang”
“Sungguh, hamba ingin sekali, Pangeran. Tetapi orangtuaku melarangku mengikuti perang dan menyuruhku pergi ke Pasuruan. Aku segera menolak permintaan mereka”
Pangeran Jagapati diam, menungguku menyelesaikan kalimatku.
“Tetapi, di akhir hayatnya, ibuku memohon supaya mengikuti perintahnya. Ini adalah wasiat ibuku sebelum beliau meninggal”. 
Pangeran Jagapati mengangguk-angguk penuh pengertian, “Jangalah risau, anak muda. Aku bisa melihat ketulusan di matamu. Tidak apa-apa. Pergilah. Penuhi permintaan ayahmu dan wasiat ibumu" Pangeran Jagapati berkata dengan lugas dan tenang. Kata-katanya meyakinkanku akan keputusan ini.
“Baik, pangeran. Hamba izin pamit. Hamba akan mulai berjalan menuju Pasuruan saat ini juga”.
 “Kembalilah ke Bumi Blambangan, suatu hari nanti”. Pangeran Jagapati meletakkan tangannya di pundakku. Seolah memerintahku untuk menuruti titahnya.
“Tentu saja. Semoga hamba bisa bertemu Pangeran kembali di Blambangan”.
Aku segera undur diri, berjalan keluar benteng. Benteng Bayu membisu menyaksikanku pergi. Ia menatap punggungku menjauh, dan semakin jauh, meninggalkan Bumi Blambangan yang kucintai.
Bersambung
18 notes · View notes
prhndini · 1 year
Text
Matahari Terbit di Ujung Timur Jawa
Bagian 2 : Senja
Senja adalah perpaduan semburat warna merah, ungu, oranye, dan kuning keemasan  di awan-awan. Menciptakan siluet yang memukau. Suasana yang pas untuk anak-anak Bumi Blambangan bermain di lapangan saling berkejaran. Aku memandangnya dari serambi rumah Ki Guntur, seorang bekel Caluring, orang yang memimpin desaku.
Hari ini pekerjaanku di sawah selesai lebih cepat. Aku menyempatkan diri pergi ke perkumpulan pemuda yang dipimpin oleh Ki Guntur. Kami duduk melingkar di rumah Ki Guntur.
Kami adalah para pemuda yang memiliki cita-cata serupa. Mendambakan kemerdekaan, terbebas dari penjajahan. Lelah dengan penindasan kompeni. Ketidakadilan mengusik jiwa muda kami.
“Hei anak muda. Dengarkan aku. Aku punya sebuah berita penting!” Ki Guntur menyapa kami, membuka pertemuan kami sore itu dengan berita yang membuat kami berdebar penasaran.
“Berita apa, Ki?” Tanya seorang kawanku yang duduk di sebelahku.
“Kalian tahu? menurut cerita yang kudapatkan, Belanda menyerang Benteng Bayu”
“Astaga. Ada penyerangan? Kapan, ki?” Kami semua terkejut dengan berita Ki Guntur.
“Kira-kira seminggu yang lalu”
“Lalu bagaimana keadaan disana?”
“Rakyat di Bayu menang. Strategi Pangeran Jagapati luar biasa. Benteng Bayu sangat kuat. Belanda lari terpontang-panting” Ki Guntur menjawab dengan semangat. Kebahagiaan memancar di wajahnya.
“Syukurlah!” Sahut yang lain. Rasa lega dan bangga menyelimuti kami.
“Apakah Belanda akan menyerah begitu saja, Ki?” kini giliranku bertanya.
“Tentu tidak, Seno. Justru kita harus waspada. Belanda tak akan tinggal diam menyaksikan kekuatan Benteng Bayu”. Ki Guntur menimpali.
“Jadi, akan ada penyerangan selanjutnya, Ki?”
“Kemungkinan besar seperti itu. Kalian tahu kan, penjajah itu selalu haus akan kekuasaan. Keberadaan Benteng Bayu dan pasukan Bayu jelas mengancam kekuasaan mereka”.
Semua orang menyimak dengan serius dan kemudian saling menanggapi. Kami tenggelam dalam sebuah diskusi untuk merencanakan sesuatu. Kami sangat bersemangat hingga tak terasa kami berada di sana hingga larut malam.
Setibanya di rumah, kulihat apak dan emak telah tidur. Aku menuju kamar dan berbaring, mencoba memejamkan mataku. Ragaku terasa lelah, tapi percakapan di rumah Ki Guntur terus mengusik pikiranku.
Baiklah, kubulatkan tekat. Aku akan bergabung dengan pejuang Bayu bersama kawan-kawan, melawan para penjajah itu. Entah dari mana datangnya keberanian dan keinginan besar ini. Sepertinya terlahir dari habisnya urat sabarku menyaksikan kesewenang-wenangan Belanda. Aku mendambakan Bumi Blambangan kembali seperti dulu. Menjalani kehidupan dengan merdeka dan hati yang tentram. Jauh dari bayang-bayang penindasan.
Kurangkai kata-kata u`ntuk meminta izin kepada apak dan emak supaya mengizinkanku bergabung dengan pejuang Bayu.
Saat ini kami sedang berkumpul di rumah. Emak berbaring di atas tikar, apak memijit-mijit kakinya.
“Pak, Mak, Seno ingin ikut berjuang melawan penjajah. Ikut menjadi pasukan di Bayu”
Apak dan Emak saling berpandang-pandangan. Emak terbatuk-batuk.
“Tidak, kau tidak akan bergabung dengan pejuang Bayu” jawab Apak datar.
Aku kecewa mendengar penuturan Apak, “Aku tidak bisa lagi hanya diam dalam penjajahan ini, pak. Kesal rasanya kita bekerja keras tapi malah mereka yang menikmati hasilnya. Belum lagi nyawa kita seperti tidak ada harganya bagi kompeni itu” Ku jelaskan alasanku, berharap apak dan emak mengerti.
“Aku tahu betul, Seno. Tapi lebih baik kalau kau tidak udah ikut perang itu. Biarkan orang lain saja”
Biarkan orang lain saja? Kata-kata Apak terdengar egois di telingaku.
“Kami memiliki rencana yang lain untukmu, Seno” ayahku melanjutkan kalimatnya.
Aku berusaha berbaiksangka pada Apak dan mendengarkan ucapannya.
“Kami ingin kau pergi ke Sidogiri, di Pasuruan. Pergilah menemui kawan ayah, Ki Surawijaya”.
“Benar le, emak juga berharap sama seperti apak. Kami sudah membicarakannya jauh-jauh hari. Menunggu waktu yang tepat saja untuk memberitahumu akan hal ini”
Mendengar penuturan emak, aku sedikit melunak. “Untuk apa aku pergi kesana?”
“Belajarlah pada Ki Surawijaya. Lagipula akhir-akhir ini keadaan di Blambangan semakin memburuk. Apak memiliki firasat buruk mengenai ini. Kami ingin kau pergi ke tempat yang lebih aman. Apak tahu di sana jauh lebih aman dari di Blambangan”.
Kali ini kata-kata Apak terasa membuatku menjadi pecundang.
“Jadi, apak menyuruhku menjadi pecundang dengan menyuruh kabur dari sini?” karena kesal, aku melafalkan pikiranku sekenanya.
“Cukup, Seno! Tidak sopan kau bicara begitu dengan apakmu” emak meninggikan suaranya yang parau.
Aku hanya diam. Meninggalkan apak dan emak menuju kamar. Aku butuh waktu untuk meredakan kekesalanku.
Selama seminggu, kami belum membicarakan hal ini lagi. Aku pun jarang berada di rumah. Selesai dari sawah atau pasar, aku langsung pergi berkumpul bersama kawan-kawan. Setelah larut baru aku pulang.
Hari ini aku juga berangkat pagi-pagi sekali, hendak pergi ke Ulupampang untuk memanen padi. Butuh waktu sekitar dua jam ke sana. Aku menunggu kedatangan Joko, kami berencana akan berangkat bersama-sama.
“Le, ada yang perlu kau ketahui” Apak berbicara hati-hati kepadaku saat aku menyiapkan perbekalan menuju Ulupampang.
Ia melanjutkan, “Hari ini adalah hari terakhir kita memanen padi disana. Apak ingin kau bagikan setengah hasil panen kepada petani-petani yang bekerja disana. Jangan lupa sisihkan sebagaian untuk dibawa pulang”.
Aku heran mendengar pernyataan apak. Ada apa lagi ini?
“Mengapa seperti itu, pak?”
“Apak akan menjualnya. Setelah masa panen usai transaksi akan dilakukan”
Aku terkejut, “Menjualnya? Siapa yang akan membeli tanah itu?”
“Pemerintah Belanda”
Aku terkejut. Tidak memercayai apa yang kudengar “Apak menjualnya ke pihak Belanda? ke penjajah itu?!” aku sangat kesal, “Bukankah sebagian besar disana adalah tanah peninggalan leluhur kita, Pak? Apa Apak tidak tahu, kompeni membangun benteng disana, Pak?!” nada bicaraku semakin meninggi.
“Apak tahu. Apak sudah memikirkannya. Justru itu, kita tidak tahu kedepannya apakah mereka akan menyabotase tanah itu atau tidak. Karena sekarang mereka masih ada niat membelinya, lebih baik kuterima saja tawaran itu, Le”. Apak memberikan penjelasan kpanjang lebar kepadaku.
Kali ini aku benar-benar kecewa dan marah kepada Apak.
Tapi apa yang bisa kuperbuat? Toh semua tanah itu adalah milik Apak. Aku hanya membantu mengurusnya. Akupun digaji oleh Apak. Aku tidak terima dengan ini semua, tapi aku tahu tidak ada yang bisa kuperbuat. Semakin membuatku kesal saja.
Bersambung
5 notes · View notes
prhndini · 1 year
Text
Matahari Terbit di Ujung Timur Jawa
Tumblr media
Bagian 1: Terik
Desa Caluring, Kerajaan Blambangan, 1771
Tuk.. Duk.. Tuk.. Duk.. Suara derap ketukan lesung tertangkap indra pendengaranku. Aku sedang mengawasi para buruh tani untuk  mengolah  padi hasil sawah milik keluargaku menjadi beras. Setelah memastikan semuanya beres, aku memberikan upah kepada tiga petani yang menggarap sawah kami di Caluring.
“Terimakasih, mas Seno Darmo” ucap para buruh tani.
“Sama-sama, pak. Oh ya, kira-kira, satu minggu lagi sawah di Ulupampang akan panen. Satu orang petani yang biasa bertugas disana kebetulan tidak bisa menggarapnya, Sepertinya akan kekurangan orang karena sawah disana lebih luas. Pak Joko apakah bisa?” Seno bertanya kepada Pak Joko, salah seorang buruh tani yang paling muda diantara lainnya.
Aku sudah mengetahui track record mereka, sehingga lebih nyaman bagiku untuk bekerja dengan mereka, walau harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.
 Sebelum menerima jawaban, aku segera menambahkan, “Aku tau Ulupampang cukup jauh. Akan kuberi kau upah dua kali lipat dari disini. Bagaimana?”
“Baik, mas Seno. Saya bersedia”
“Baiklah kalau begitu. Ini kalian bagi untuk bertiga ya” Aku memberikan sekarung beras kepada mereka. Biarlah keuntunganku jadi tak seberapa. Kupikir masa-masa sekarang ekonomi semakin sulit karena VOC bertindak semena-mena dan menindas kami.
Mengingat kebengisan penjajah itu, dadaku bergemuruh. Aku geram! Disini kami para rakyat bersusah payah bekerja. Lalu seenaknya saja mereka mengambil hasil keringat kami. Belum lagi pungutan pajak yang kian hari kian melambung. Dasar kompeni biadab berdarah benalu!
Para buruh tani mengucap beribu terimakasih kepadaku sebelum mereka pulang. Aku duduk bersandar pada karung-karung beras, menunggu Pak Sumaji. Ia adalah pedagang yang biasa membeli beras hasil panen. Kami berjanji akan bertemu saat sore.
Aku tak sengaja akan tertidur. Karung-karung beras yang hangat ini benar-benar nyaman. Belum sempat aku terlelap, Pak Sumaji akhirnya datang. Setelah transaksi selesai dilakukan, aku pulang sambil memanggul dua karung beras untuk persediaan di rumah.
Kulihat Apak di kejauhan juga memanggul dua keranjang besar yang dikaitkan dengan tongkat di pundak. Itu pasti berisi jagung yang juga baru dipanen. Sepertinya besok aku harus pergi berjualan ke pasar. Untuk jagung, kami memang menjualnya sendiri karena hasilnya tidak begitu banyak dan jumlahnya juga sedikit.
“Pak! Apak!” Aku berteriak memanggil ayahku.
Apak pun menoleh, “Le! Sudah selesai? Ayo pulang sama-sama”
Aku segera menyusul Apak. Kami berjalan bersama menuju rumah kami.
Syukurlah, hasil panen kami cukup melimpah. Sebagian uang ini bisa dipakai untuk membawa emak ke tabib. Semoga emak lekas sehat dan tidak sakit-sakitan lagi.
***
Desa Bayu, Kerajaan Blambangan, 1771
Terik matahari bersinar di atas Desa Bayu. Awan yang membawa air di musim penghujan sedang tidak tampak. Panasnya udara menyengat tubuh para rakyat Blambangan yang datang.
Mereka membawa berbagai kebutuhan pokok, senjata, dan harta benda yang mereka miliki. Kebanyakan datang dari desa lain untuk mencari perlindungan diri dan menghindari kerja paksa. Apalagi semenjak berdirinya Benteng Bayu, desa Bayu menjadi basis perkumpulan rakyat Blambangan. Kian hari kian bertambah penduduk Blambangan yang mengungsi ke desa Bayu yang terletak di lereng gunung Raung.
Kesengsaraan rakyat ini diprakarsai oleh pergantian pemimpin VOC, Komandan Colmond. Kekejamannya menyebabkan penderitaan bagi rakyat Blambangan. Mereka hidup dalam tekanan sosial dan ekonomi. Bagaimana tidak? Orang-orang diperintahkan untuk kerja paksa membuka jalan dan membangun benteng Belanda di Ulupampang tanpa menerima upah dan makanan. Akibatnya, banyak sekali rakyat yang sakit dan mati kelaparan.
Tidak cukup itu saja, untuk memenuhi kebutuhan Belanda, pasukan VOC menyita simpanan beras dan hasil panen penduduk Blambangan. Jika tidak diberikan maka akan dibakar dan dimusnahkan. Sungguh tiada berperikemanusiaan! 
“Sembah nuwun, Pangeran” Seorang pria tua yang baru saja datang bersama istri dan tiga anaknya berterimakasih kepada Pangeran Rampeg Jagapati. Anaknya yang paling kecil sepertinya kelelahan hingga karung yang ia bawa terjatuh. Pangeran dengan ringan tangan membantu membawa barang mereka.
Pangeran Jagapati adalah pemimpin yang dipilih sendiri oleh rakyat Blambangan, mengabaikan Belanda yang dengan lancangnya menunjuk orang dari luar Blambangan untuk mengisi kursi kepemimpinan Kerajaan. Pangeran tinggal di Benteng Bayu dan memimpin daerah ini.
Bagi Pangeran Jagapati, gelar Pangeran hasil bai'at rakyat adalah sebuah amanah. Hanya ongkang-ongkang kaki jelas bukan tabiatnya. Di kehidupan masa mudanya, ia tidak tinggal di istana karena ia adalah anak dari seorang selir raja. Itulah sebabnya dirinya terbiasa berbaur dengan rakyat, sangat rendah hati, dan mengayomi. Darah biru keturunan Prabu Tawangalun II mengalir di nadinya, menurunkan sifat kepemimpinan yang luhur.
“Pangeran, saya persembahkan bedhil Jawa untuk rakyat Blambangan” Lembu Giri—seorang bekel dari desa Tomogoro membawa sepuluh buah senjata api laras panjang. 
Dukungan tidak hanya datang dari kaum rakyat kawula alit, tetapi juga dari para bekel,--lurah, para bekel agung--pembantu bupati, kaum bangsawan, hingga pedagang dari luar Kerajaan Blambangan. Sebut saja komunitas kaum Tionghoa, Bugis, Melayu, Sumbawa. Dukungan yang mereka berikan  berupa senjata, kebutuhan pokok, transportasi, serta informan.
Suatu hari, seorang tangan kanan Pangeran mengungkapkan keresahan hatinya pada Pangeran, “Pangeran, hamba masih khawatir dengan keamanan Benteng Bayu. Senjata kami masih terbatas, dan tidak secanggih milik Belanda. Bagaimanapun Belanda memiliki senjata yang jauh lebih canggih dengan jumlah yang banyak”
Sebagai manusia biasa, hal itu juga sempat terbesit di dalam pikiran Pangeran Jagapati, namun ia memilh untuk menenangkan keresahan tangan kanannya,“Tenang saja, Tuhan akan menganugerahkan Meriam kepada kita”.
Begitulah cara Pangeran Jagapati untuk membesarkan hati para pejuang Bayu.
Pejuang Bayu tidak menyadari, bahwa sekitar enam belas kilometer dari Benteng Bayu, di Ulupampang, para pejabat Belanda kebakaran jenggot dengan kemajuan Desa Bayu. Kompeni takut seluruh rakyat Blambangan akan membela Pangeran Jagapati dan kekuasaannya jatuh sepenuhnya pada rakyat Bumi Blambangan.
“Aku sendiri yang akan memimpin penyerangan ini” Ujar Cornelis van Biesheuvel, kepala residen Blambangan.
Ia melanjutkan, “Schophoff, kau kutunjuk untuk memimpin pasukan menuju desa-desa lainnya. Tugasmu mempengaruhi rakyat agar tidak berpihak kepada Jagapati” Biesheuvel memerintahkan wakilnya.
“Siap, komandan!”    
***
Pada suatu hari yang mencekam. Kala itu adalah tanggal 5 Agustus 1771. Persiapan penyerangan oleh pihak Belanda telah final. Kompeni meng-eksekusi rencananya untuk menlumpuhkan Benteng Bayu. Bunyi tambur, kendang, dan gong bertalu-talu menggema di Desa Bayu. Tanda perang dimulai.
Pasukan VOC menyerang benteng Bayu dengan membentuk formasi segi empat. Pasukan tersebut tidak hanya dari kaum Belanda, namun juga dari pribumi.
Bunyi bedhil dan meriam memekakkan telinga. Pandangan mata menjadi kabur karena gelapnya asap senjata api.  Ayunan parang membelah udara dan menjadi senjata.
Pribumi yang bergabung dengan pasukan VOC membelot. Berbalik membela pasukan Bayu. Sebuah keuntungan bagi pasukan Jagapati.
Korban-korban perang mulai berjatuhan. Pihak Belanda optimis akan menang. Benteng bayu sangat kuat. Pejuang Bayu menguasai medan peperangan dengan baik. Lambat laun keadaan berbalik. Belanda kehilangan ketangguhannya.
Seperti karang bergeming dihempaskan ombak samudra. Kekuatan Benteng Bayu tak terelakkan. Kompeni lari tunggang-langgang. Pejuang Bayu bersuka cita menyambut kemenangan.
“Aku akan kembali dengan kekuatan yang lebih dahsyat!” Biesheuvel berjanji kepada dirinya sendiri. Ia dan pasukannya yang selamat segera memacu kudanya kembali ke Ulupampang.
Bersambung
5 notes · View notes
prhndini · 1 year
Text
Rumah Teguh (6-selesai)
“Jadi.. Teguh berencana bekerja di Jakarta, tapi masih berat rasanya”
“Apa yang membuatmu ingin bekerja di sana?”
“Tentu saja karena gaji yang ditawarkan besar, yah. Aku ingin segera memiliki rumahku sendiri. Mimpiku sejak dulu”
“Kerja di bidang apa, le? Ganti ibu yang bertanya.
“Arsitektur, bu”
“Jadi, apakah yang membuat berat adalah usahamu yang sudah kau bangun di sini?” Tanya ayah.
“Itu juga salah satunya, yah. Terutama, adalah aku tidak menikmati Jakarta seperti kota Solo maupun disini”
Ya, begitulah adanya. Jakarta? Kalau bisa yang lain aja. Beberapa kali pernah ia mengunjungi saat masih kuliah. Mengikuti berbagai lomba, seminar, hingga bermain ke rumah teman. Ia telah menyimpulkan bahwa Jakatta bukanlah kota yang didambakannya. Dia seseorang yang menyukai ketenangan dalam hidup. Kota metropolotan jelas jauh dari situ. Udara segar dataran tinggi yang dihirupnya sejak ia kecil  bisa ikut protes kalau harus digantikan dengan tingginya polusi di ibukota. Belum lagi kecintaanya dengan kota Solo, kota rantauan yang sekarang jadi tempat dimana ia melabuhkan hati dan usahanya. Belum lagi macet hingga tingginya biaya hidup disana. Sebuah rencana yang belum pernah ada di kamus hidupnya.
Ayah mengangguk pelan
“Ya.. tidak ada yang mudah dalam meraih cita-cita, le. Kamu pikirkan masak-masak. Shalatlah istikhoroh meminta petunjuk pada Allah. Entah pada akhirnya kamu memilih Jakarta atau Solo, Ayah tetap akan mendukungmu. Kamu sudah banyak sekali membantu keluarga kita. Saatnya kamu pikirkan dirimu baik-baik”
Teguh terharu sekaligus tenang mendengarnya. Entah kenapa ia merasa akan pergi merantau lebih jauh lagi dari sini. Memulai lagi semuanya dari nol. Apakah ia bisa?
 ***
Jakarta. Disinilah ia sekarang. Bekerja di salah satu firma arsitektur terkemuka. Sudah selama ini, masih saja ia sulit beradaptasi dengan macetnya jalan. Padahal sehari-harinya ia menaiki komuter, tapi rasanya masih pusing lihat begitu banyak kendaraan bejubel di jalanan. Tak lupa panas dan lembab udaranya. Ia berjanji kalau sudah gajian bulan depan, mau membeli air purifier demi kesehatan dirinya.  Ritme kerja dan ritme kehidupan yang jauh berbeda dengan di Jawa Tengah membuat ia menjadi belajar banyak hal.
Semakin lama ia menjelajah Jakarta, ternyata tak buruk juga. Ia bisa mendapatkan bubur ayam, siomay, mie ayam, yang harganya tidak jauh dengan di Solo. Mengagetkan bukan? Apalagi jika saat libur kemudian ia mau meluangkan waktu untuk belanja di pasar tradisional dan memasak sendiri. Harga bahan makanan pokok, sayur, dan daging juga terjangkau. Tinggal pintar-pintarnya saja memilih menjalani gaya hidup yang seperti apa.
Akhir pekan ia habiskan untuk mencari rumah di pinggiran kota. Ya, beberapa waktu lalu pak Bani menelepon bahwa tanah miliknya telah dibeli oleh seseorang. Yasudah, berarti tanah tersebut memang bukan jodohnya.
Setelah setahun bekerja di firma arsitektur, siapa sangka jika akhirnya ia bisa membeli rumah di Jakarta. Benar-benar sesuatu yang diluar dugaan. Semua rencananya berubah total. Semula ia yang bersikeras ingin membangun rumah di kota kecintaanya, kini malah ia memulai kehidupan di kota yang selama ini ia hindari. Awalnya ia akan membangun rumahnya sendiri, kini ia memilih untuk membeli rumah yang sudah jadi saja. Kesibukannya yang luar biasa membuatnya tidak sanggup jika harus membangun rumah dari nol. Lagipula ia bisa merenovasinya pelan-pelan hingga sesuai dengan seleranya.
           Rumah barunya dipenuhi teman-teman kerjanya. Ada juga mantan kawan se-kosan datang. Teguh membuat tasyakuran kecil-kecilan atas rezeki besar ini. Sebuah panggilan video call masuk ke telepon genggamnya. Ah, telepon dari Bagus rupanya.
“Halo, Gus!”
“Hei, bro. Wah.. la….me….na…” Hah? Ngomong apa ya Bagus?
“Sebentar bro, ga dengar nih. Lagi rame disini. Aku keluar dulu ya” Teguh membawa teleponnya keluar rumah
“Ngomong apa kamu tadi, Gus?”
“Lagi rame apa disana? Tasyakuran rumah?”
“Iya Gus. Tasyakuran kecil-kecilan, aku ngundang temen-temen kerja ”
“Oh gitu. Alhamdulillah, akhirnya ya Guh, mimpimu punya rumah tercapai juga. Terharu banget sama perjuangamu”
“Alhamdulillah bro.. main kesini lah sama Tiara dan Karim. Kangen banget sama kalian. Sehat-sehat kan semuanya?”
“Alhamdulillah, sehat. Nanti deh, kalau Karim udah agak besar insya Allah main kesana. Sekalian ngajak dia ke Seaworld. Karim lagi demen banget sama ikan. Doain ya ada rejeki kesana”
“Aamiin, aamiin. Ditunggu ya bro. Emang ada apa telepon, Gus?”
“Yaa gak ada, pengen lihat aja muka sahabatku ini dan rumah barunya. Hahaha”
“Yaampun bro, ya gini gini aja mukaku”
“Yaudah Guh, ternyata bener masih gitu-gitu aja mukamu. Hahaha. Dah ditungguin tamu-tamu tuh. Udah dulu ya. Sekali lagi selamat bro!”
“Oke, makasih ya Gus. Salam buat Tiara” Teguh hendak mematikan videocallnya dengan Bagus, sebelum sesosok yang tidak sengaja tertangkap kamera depannya mengagetkannya. Rasanya ia kenal sekali dengannya.
Nindya?
Wanita yang sedang berdiri tak jauh dari rumahnya tampak fokus memandang jalan--kemudian memandang handphonenya. Seperti menunggu sesorang. Tapi kenapa tidak menoleh ke arahnya? Ah iya. Tadi ia hanya membatin saja.
“Nindya?” Wanita itu akhirnya menoleh.
“Mas Teguh?” Nindya terkejut, sama terkejutnya dengan dirinya.
“Mas Teguh kok disini?”
Astaga, benar ini Nindya. Seseorang yang sudah lama menetap di hatinya, kemudian ia hapus dari hidupnya, kini Kembali muncul di depannya? Di sini pula, di Jakarta?
Jantungnya berdegup kencang.
Tidak bisa membohongi dirinya, Teguh masih memiliki rasa cinta kepada wanita ini walaupun ia telah menolak pinangannya. Saat itu Nindya belum siap, masih banyak hal yang ingin ia raih, termasuk melanjutkan kuliah profesinya.
“Aku sekarang tinggal dan kerja disini. Kamu sendiri? Bukannya kamu ke Surabaya?”
“Nggak jadi, mas. Aku melanjutkan kuliah disini dan sekarang baru saja kerja di sekolah swasta dekat sini”  
Teguh tertegun mendengarnya.
Apakah aku harus mencoba lagi untuk mendapatkan hatinya? Sepertinya tidak ada salahnya Kembali berjuang semampuku. Pekara hasil, itu diluar kuasanya. Yang jelas, takdir Allah adalah yang terbaik. Bukankan selama ini itulah yang telah ia pelajarii?  Dan baginya, ia sangat bangga dan bersyukur telah menjadi seseorang yang berusaha meraih mimpinya.
(Selesai)
1 note · View note
prhndini · 1 year
Text
Rumah Teguh (5)
Tiga belas bulan adalah waktu yang terasa begitu lama bagi Teguh. Dalam kurun waktu itulah, ia dan seluruh keluarganya bekerjasama dalam melunasi hutang sebanyak dua milyar rupiah. Tidak terasa, sekarang, di bulan keempatbelas, akhirnya cicilan hutang selesai! Lebih cepat dari waktu tenor yang disepakati. Sudah, semakin cepat selesai, semakin baik. Semua ingin menikmati hari-hari seperti dulu. Hari-hari tanpa hutang.  Syukurlah, dengan berbagai usaha—usaha jalur langit dan usaha jalur bumi, masa itu datang juga.
Selama tiga belas bulan kemarin itu Teguh berkutat dengan pekerjaan sampingannya sebagai web designer dan mengelola Landscape Digital Printing and Advertising. Peredaran Teguh sehari-hari adalah lokasi digital printingnya, workspace, dan kamar kos. Selama itu pula, ia belum pernah kembali ke Wonosobo. Pantang pulang sebelum lunas. Begitu tekadnya. Tentu saja ia kangen dengan ibu, ayah, adik-adik, juga rumahnya di Wonosobo. Selama ini ia mengobati rindu dengan ber-video call saja. Pernah juga ayah, ibu, dan adik-adiknya yang mengunjunginya ke solo.
Di dekat meja belajar kosnya, ia melihat dua lembar kertas HVS putih berukuran folio tertempel di dinding bersebelahan satu sama lain. Dua-duanya berisi hasil karya goresan tangannya. Di satu kertas terdapat sebuah gambar perspektif villa. Satu kertas lagi tergambar sebuah rumah. Dua gambar bangunan yang sengaja ia letakkan di dinding sebagai motivasi.
Tangannya meraih kertas HVS bergambar villa, lalu melepaskan selotip yang dibubuhkan di atas dan bawahnya, kemudian ia masukkan laci di meja belajar. Alhamdulillah, satu tugas selesai. Kemudian ia tersenyum melihat gambar sebuah rumah impiannya. Ia memindahkan supaya berada di tengah. Bismillah, sekarang giliranmu untuk aku wujudkan.
Empat hari ini ia memutuskan untuk cuti, memercayakan segala kegiatan oprasional  kepada empat karyawannya. Sudah kangen berat dengan seluruh keluarga dan kota kelahirannya. Ditambah lagi, ada sebuah hal yang mengganjal dalam pikiranku. Aku ingin menemui ayah dan ibu untuk bermusyawarah.
Pukul enam pagi, setelah sarapan pecel, Teguh mengendarai sepeda motornya menuju kampung halamannya. Tak lupa ia berkirim pesan kepada orangtuanya bahwa ia akan segera berangkat dari Solo.
Gapura bertuliskan Selamat Datang di kabupaten Wonosobo Asri menjulang diantara pemandangan hijau dataran tinggi. Kanan kirinya menjulang Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Ia membiarkan hawa dingin tempat kelahirannya menerpa dirinya. Segar sekali. Sengaja diperlambat laju motornya begitu memasuki desa tempat rumah orang tuanya.
“Assalamualaikum..” Teguh masuk rumahnya
“Waalaikumsalam.. Alhamdulillah, sudah sampai Guh. Ayah masih di sawah. Kamu istirahat dulu saja”
“Lho, ibu nggak ngajar? Jam segini kok dirumah? Lho, Asri juga ga sekolah?” Adik bungsunya keluar untuk menyambutnya.
“Sekarang lagi libur sekolah, toh, mas” Jawab Asri
“Oohh.. iyaya. Maklum udah gak sekolah, ga tau jadwal. Kalo di kerjaan ga ada kata liburnya kalo nggak di-libur-libur-kan. Hahaha”  
“Masya Allah memang masku si paling kerja keras ini. Kangen banget Asri sama mas Teguh”
“Sama dek... apalagi sama masakannya ibu. Waduh, ini bau bandeng presto ini. Iya kan bu?” Tanpa ba bi bu dan menunggu jawaban ibu, Teguh melesat menuju dapur. Bandeng presto goreng yang telah dipotong menjadi beberapa bagian bertumpuk di piring oval. Baunya saja sungguh memanjakan lidah. Apalagi rasanya?
Diambilnya nasi, sayur tumis selada, dan sambel tomat segar. Diatasnya ia labuhkan sepotong bandeng presto. Tidak, ini pasti kurang. Ia menambahkan dua potong lagi.
“Ambil yang banyak lee.. masih ada kok di kulkas. Gampang nanti ibu bisa goreng lagi”
“Siap laksanakan, bu”
Masakan ibu yang dibuat penuh cinta. Rasanya tiada duanya.
“Omong-omong, bu. Nanti ada yang ingin Teguh diskusikan dengan ayah ibu” ucap Teguh pada ibu yang menemaninya makan.
“Hmm.. mau ngelamar anak orang ya mas?” Goda Asri sambil mencomot bandeng.
“Ah, kalau itu belum kelihatan hilalnya, dek!” Jawab Teguh kecut.
“Masa sih, masku yang ganteng dan giat bekerja ini belum juga ada yang tertarik. Kurang jauh kali mainnya, mas”
“Heyy anak kecil. Didoain dong masnya ini supaya segera dapat jodoh. Malah diledekin terus”
“Hahahaha” Asri tergelak melihat wajah masnya.
“Ibu kira juga soal jodoh, lo. Kalau bukan itu, lalu soal apa, Guh?” Tanya ibu akhirnya
“ Soal kerjaan, bu”
“Ooh, gitu. Oke, nanti malam saja kita bicarakan. Kamu istirahat dulu aja”
“Iya bu. Perut kenyang, terbitlah kantuk. Hehehe. Makasih bu masakannya. Wenak pol pokoknya. Teguh istirahat di kamar dulu ya”.
Kamarnya masih tertata sama seperti dulu saat ia tinggal disini. Berbagai gambar Teguh muda terpampang di bingkai-bingkai foto. Foto Teguh Bersama ayah dan ibu saat wisuda sarjana. Foto Teguh berumur sepuluh tahun merangkul adik-adiknya di pinggir pantai tertawa bersama.  Ah, bahagianya masa kecil. Saat yang dipusingkan mungkin hanya pe er dan ujian semester, yang keinginannya juga sesederhana ingin jalan-jalan ke kebun binatang atau ingin main game saat akhir pekan.
Dipandanginya langit-langit kamar saat ia berbaring di kasurnya. Lama kelamaan pandangannya semakin kabur. Teguh  terlelap dalam kenangan masa kecilnya.
 ***
Bunyi jangkrik menyemarakkan suasana malam di pedesaan. Begitu jelas karena jauh dari kebisingan kendaraan yang berlalu Lalang. Tenang dan tentram.
Ayah, ibu, Asri, dan Teguh berkumpul bersama di meja makan untuk menyantap makan malam.
“Alhamdulillah, makan malam kali ini Teguh bisa berkumpul sama-sama di meja makan. Ayah senang sekali” Ucap ayah “Tadi kata Ibu, kamu mau  mendiskusikan sesuatu?”
“Iya, Jadi begini, Yah..” Teguh berhenti sejenak, mencoba merangkai kata-kata.
 (Bersambung)
1 note · View note
prhndini · 1 year
Text
Rumah Teguh (4)
Setelah menemukan kosan yang cocok untuk Aziz dan selesai memasukkan semua barangnya di kos baru, Om Kun dan Ahmad pamit untuk Kembali ke Wonosobo. Aziz yang sebentar lagi memulai masa ospek universitas tetap tinggal untuk mempersiapkan diri, sekaligus mengenal kota Solo lebih jauh. Supaya kelak saat sudah mulai ospek ia sudah beradaptasi dengan lingkungan disini. Kosannya cukup dekat dengan kampusnya dan dengan kosan Teguh, sehingga Teguh bisa membantu Aziz jika ada kesulitan. Bagaimanapun, keluarga Om Jun merupakan keluarga yang paling dekat dengan Ayah dibandingkan dengan saudara-saudari lainnya.
Setelah semua pergi, tinggal ayah yang ikut Teguh kembali ke kosnya. Ayah akan Kembali sendiri ke Wonosobo esok hari.
“Yah, kenapa sih tidak memberitahu Teguh sejak dulu? Kenapa baru sekarang?
“Maafkan kami, Guh. Selama ini masih bisa membayar cicilan walaupun dengan terseok-seok, kami tidak ingin merepotkan kau dan sepupu-sepupumu yang baru saja meniti karirnya. Tapi bulan lalu benar-benar tidak tertolong lagi, Guh” Ayah berkata dengan suaranya yang berat. Kasihan sekali Ayah, ia anak tertua dan juga sudah pensiun. Sedangkan masih ada dua adiknya yang masih sekolah dan kuliah. Kalau untuk membiayai sekolah saja, masih sangat cukup. Tapi ini ada hutang 2M. Ini pasti sangat berat bagi ayah.
“Teguh pasti akan membantu keluarga kita, Yah. Kita semua berjuang sama-sama, ya” Akhirnya keluar kalimat itu dari mulutnya. Lalu bagaimana soal tanah itu? Ah, itulah yang sedari tadi membuatnya bimbang sekaligus sedih. Saat baru saja dia bisa mengumpulkan uangnya dan menemukan tanah yang pas bagi dirinya, tiba-tiba semua yang berhubungan dengan mimpinya akan menjauh lagi. Dan terjadi dalam kurun waktu sehari saja. Terlalu cepat. Seolah-olah Teguh tidak diberikan waktu untuk merasakan tenang sejenak.
“Yasudah, kita istirahat dulu ya, yah. Teguh sangat capek hari ini. Terlalu banyak yang terjadi di waktu bersamaan. Ayah istirahat di kamarku saja ya”
Teguh tidak menceritakan mengenai rencananya untuk bertemu dengan Pak Bani, pemilik tanah yang hendak ia beli. Karena pasti hal itu akan membuat Ayah semakin merasa bersalah. Teguh akan menyimpannya sendiri saja. Ayah tidak perlu tahu akan hal ini
Setelah ayah tertidur, Teguh mengambil ponsel di tasnya.
Pak Bani, maaf, hari ini tidak jadi menelepon Bapak. Karena ada suatu urusan mendadak. Insya Allah besok saya kabari Bapak.
Sent. Teguh mengirimkan pesan singkat kepada pak Bani. Direbahkannya tubuhnya di Kasur dan menutup matanya. Berusaha untuk tidur dengan beribu pikiran yang hadir di kepala.
 ***
Setelah sholat subuh, ayah segera bersiap-siap kembali pulang ke Wonosobo Begitu pula dengan Teguh. Ia akan mengantar Ayah ke stasiun.
“Lalu gimana dengan rencanamu untuk bangun rumah, le?” Ayahnya bertanya pada Teguh saat mereka telah sampai di stasiun. Kereta ayah pukul 06.00, masih cukup banyak waktu sebelum ayahnya berangkat.
“Yaa, masih tetap pak. Mimpiku masih sama. Memiliki rumah sendiri untukku dan keluargaku kelak. Soal hutang itu, ya itu tidak akan meruntuhkan cita-citaku. Hanya saja aku berarti harus bekerja lebih keras lagi”
“Maafkan Ayahmu, ya, le...”
“Sudah Yah, semua sudah terjadi. Tapi, bagaimana dengan saudara yang lain? Apakah ada yang berpendapat supaya menjual villa-nya saja?”
“Tidak, Guh. Semua sepakat memperjuangkannya. Om dan saudara-saudarimu berjanji untuk berusaha menyelesaikan hutang dan meneruskan villa ini” Jelas ayahnya.
“Begitu ya. Baiklah, kalau semua sudah sepakat seperti itu insya Allah akan lebih mudah ke depannya”
“Betul, le. Ayah juga bersyukur akan hal ini. Walaupun keluarga terlilit hutang tapi tidak ada yang saling menyalahkan dan semua satu suara untuk melunasinya. Tidak terbayangkan jika malah jadi pecah dan perang saudara. Naudzubillah” Ayah bergidik sendiri membayangkan hal buruk tersebut.
“Iya, yah. Syukurlah. Lalu, bagaimana rencana selanjutnya jika selesai hutang ini?”
“Nah. Itu lah yang belum terpikirkan. Menurut ayah, kalian yang muda-muda yang lebih memiliki kapasitas untuk merundingkan bagaimana pengelolaannya. Ayah dan om-om sudah semakin tua, le. Dengan berbagai ilmu yang kalian miliki,  insya Allah menejemen dan pengelolaan akan semakin baik kedepannya. Esok kalau ada diskusi masalah ini, kamu pulang ke Wonosobo ya. Sekarang kita fokus dulu menghadapi yang didepan kita”.
“Siap, yah”
Mendekati pukul 06.00, stasiun mulai ramai. Para penumpang kereta api telah berdatangan. Hingga akhirnya kereta Ayah datang.
“Hati-hati ya, Yah. Sampaikan salamku pada seluruh keluarga disana”
“Kamu juga Guh. Semoga kamu makin sukses dan berkah hidupmu, le. Terimakasih banyak telah mau membantu keluarga kita. Semoga dibalas dengan kebaikan berkali-kali lipat oleh Allah”.
“Aamiin” Teguh melambaikan tangannya pada Ayah. Menunggu hingga akhirnya kereta berangkat.
Teguh Kembali menduduki kursi tunggu di stasiun. Ia terdiam cukup lama. Mencerna seluruh percakapan dengan ayah dan saudaranya.
Selang beberapa saat, ia merogoh kantongnya dan menelepon pak Bani. Menjelaskan bahwa  ia mengurungkan niat untuk membeli tanahnya. Ia juga bercerita sebenarnya betapa sedih dirinya karena sudah merasa sangat cocok tapi ternyata ada hal lain yang tiba-tiba harus menjadi priorias. Pak Bani memakluminya.
“Tidak apa-apa, mas Teguh. Namanya rezeki sudah diatur sama Allah. Kalau memang nanti mas Teguh berjodoh dengan tanahnya, insyaAllah selalu ada jalan. Kalau bukan jodohnya, jelas akan diganti dengan takdir yang jauh lebih baik untuk mas Teguh. Selalu berhusnudzon kepada Allah kuncinya” hibur pak Bani dengan petuah bijaknya.
“Terimakasih banyak atas nasihatnya, Pak. Saya bersyukur sempat berkenalan dengan pak Bani, walau ternyata urung membeli tanahnya Bapak. Kalau boleh saya minta tolong, beri kabar kepada saya jika tanahnya sudah dibeli oleh orang lain ya, pak”
“Tentu, mas Teguh”
“Sekali lagi terimakasih, Pak. Kalau begitu, saya tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam…”
Tidak ia sangka, ia telah mengambil sebuah keputusan besar. Merelakan mimpinya yang telah didepan mata untuk ditunda sebentar bukanlah hal yang mudah. Ia tau, ia masih harus selalu meluaskan rasa sabarnya. Namun, ada rasa lega yang tidak ia sangka menyeruak dalam dadanya. Semoga merupakan pertanda bahwa keputusan ini adalah yang paling tepat.
 Baiklah. Aku harus bangkit dan bekerja lebih giat dari biasanya demi mimpi-mimpiku. Tekad Teguh dalam hati.
***
(Bersambung)
1 note · View note
prhndini · 1 year
Text
Rumah Teguh (3)
Jajaran anggota DPR, DPD, DPRD baru sudah dilantik. Musim pemilu berakhir. Tiada lagi gagap gempita kampanye. Begitu pula dengan kesibukan Teguh memproduksi media promosi para legislatif telah usai. Pelanggannya yang ramai menggunakan kaos partai berangsur hilang. Walaupun tidak seramai kemarin, masih banyak pelanggan lainnya. Mahasiswa semester akhir dengan muka berseri masih hilir mudik untuk memesan jilid skripsi di Landscape Digital Printing and Advertising. Teguh bermuka serius didepan komputer memeriksa laporan keuangan bulanan, “Alhamdulillah..” ucapnya penuh syukur. Diraihnya telepon genggam yang tergeletak di samping laptop.
Teguh melihat jam di layar laptopnya, pukul 12.00. Kemudian ia mencari kontak Bagus. eharusnya Bagus sedang istirahat dan makan siang.
“Halo, Assalamualaikum Gus, sibuk nggak?”
“Hei Guh. Waalaikumsalam. Nggak nih, lagi makan aja. Ada apa nih?” tebakan Teguh benar.
“Mau ngabarin aja  Gus. Alhamdulillah, akhirnya aku udah bisa beli tanah kemarin. Kami sudah sama-sama cocok harganya. Nanti insya Allah aku mau telepon pak Bani, ngomongin rencana pembayaran sekaligus merencanakan ke notaris. Doain lancar ya Bro..”
“Alhamdulillaaah.. ikut seneng aku Guh. Aamiin aamiinn. Tentu akan aku doakan semoga lancar semua yaa. Semoga beneran bisa jadi tetanggaku. Kabarin aku kalo entar butuh-butuh bantuan”
“Siap. Makasih banyak broo. Yaudah gitu dulu. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalaam” Bagus menutup telponnya.
Lega sekali rasanya. Perjuangan dalam menabung beberapa bulan membuahkan hasil. Jumlah uang yang ditargetkan Teguh telah terkumpul hingga cukup untuk membeli tanah. Walaupun baru bisa untuk membeli tanahnya, tapi ia tetap optimis. Pelan-pelan, insyaAllah akan sampai di tujuan. Ucap Teguh dalam hati, memberikan motivasi dan semangat untuk dirinya sendiri.
Astaga! Hampir lupa kalau hari ini ia memiliki janji dengan Om Jun, adik dari ayahnya, dan sepupunya yang datang dari Wonosobo. Aziz, sepupunya, baru saja diterima di universitas yang sama dengannya. Hari ini mereka akan mencari kos-kosan, sehingga teguh berjanji akan menemani mereka berkeliling kota solo dan menemukan tempat tinggal yang cocok untuk Aziz.
“Jo, aku tinggal dulu ya. Hari ini aku pulang cepet. Ada janji sama saudara”
“Siap bos. Ati-ati bos perginya”
Teguh memacu sepedanya menuju tengah kota. Mereka berjanji bertemu di warung nasi liwet. Sesampainya disana, ternyata tak hanya ada Om Jun dan Aziz. Melainkan ada Ahmad—kakak Aziz dan juga Ayah. Ayah? Apakah ayah ikut mengantarkan mereka?
“Eh, Teguh. Sudah datang”
“Iya, Om.” Teguh menyalami om nya, “Ayah ikut ngantar Om? Gak bilang-bilang kalau mau kesini, yah?” Tanya Teguh
“Iya, le. Mumpung longgar jadi ikut sekalian. Salam dari ibu dan adik-adikmu” Ayah memang sudah pensiun, sekarang pekerjaanya adalah mengurus sawah-sawahnya sendiri. Menjadi mandor para petani yang menggarap sawahnya. Jika selesai masa panen dan selesai masa tanam hingga urusan pupuk, ia jadi tidak terlalu sibuk.
“Waalaikumsalaam. Eh Ahmad, nggak masuk kerja kamu?”
“Ini ambil cuti aku mas” Ucap Ahmad.
“Yaudah pesan makan dulu ya kita, kamu sudah makan belum Guh?”Om nya bertanya
“Belum Om”
“Oke, kalau gitu pesan empat” ujar Om Jun, “Mbak, nasi liwentnya empat ya!”
Sambil menikmati makan, mereka saling berbincang. Setelah semua selesai menyantap nasi liwet, Ayah menyampaikan sebuah pesan yang mengagetkannya.
“Le, sebenarnya ada satu hal yang kamu harus tahu. Kami ingin berdiskusi denganmu, kamu dengar baik-baik,ya?” Ayah memasang wajah serius. Teguh menjadi penasaran dan was-was mendengarnya.
“Ada apa yah?”
“Kamu ingat, nggak, villa warisan Mbah di Dieng yang sekarang jadi usaha keluarga?”
“Iya, kenapa memangnya, yah?” Samar-samar Teguh mengingatnya. Ia tidak begitu memahami tentang hal itu, karena urusan tersebut banyak diambil alih oleh Ayah dan ketiga adik-adiknya, termasuk Om Jun.
“Perputaran uangnya nggak bagus selama empat tahun belakangan. Apalagi dua tahun pandemi kemarin. Jatuh, Guh ”  Teguh sampai tidak bernapas mendengar penjelasan Ayah, tetepi itu masih belum selesai,
“Ada hutang 2M yang perlu diselesaikan. Awalnya tidak sebesar ini. Hutang ini dulu diambil untuk renovasi dan pengembangan  7 tahun yang lalu. Makin kesini pendapatan tidak seimbang dengan biaya oprasional dan untuk cicilan hutang. 2 M ini hutang pokok dan termasuk bunganya, le. Sudah saatnya generasimu, Aziz, Ahmad, dan sepupu yang lainnya tahu”
Serasa ada badai di kepala teguh
“Tenornya kapan?” Tanya teguh berusaha tetap tenang
“2025, 2 tahun lagi” Kali ini giliran Om Kun yang menjawab dengan lesu.
Sungguh Teguh tidak menyangka, karena setahu Teguh semasa ia sekolah hingga kuliah, usaha itu berhasil dan selalu memberikan untung. Entah, atau ia saja yang tidak tahu menahu. Rasanya ingin sekali ia marah, tetapi rasanya kabar ini terlalu membuatnya syok hingga rahangnya mengeras, tidak mampu untuk mengeluarkan amarahnya.
“Mad, Ziz, kalian tahu menahu soal ini?” Tanyanya kepada dua sepupunya.
“Baru saja, mas. Saudara-saudari yang ada di Wonosobo seminggu lalu berkumpul dan membahas ini” jawab Ahmad.
“Lalu, bagaimana?”
“Ya, tidak ada pilihan lain selain semua ikut membantu melunasinya” ucap Ahmad lirih.
Astaga, disaat ia sedang merintis bisnisnya, lalu berusaha membangun rumah impiannya, ada kenyataan seperti ini yang melibatkan dirinya. Ah, tidak habis pikir.
Nasi liwet yang tadinya sangat enak dan berhasil membuatnya kenyang, entah kemana perginya. Es jeruk yang begitu nikmat untuk dinikmati siang hari saat panas terik menjadi hambar. Masih ada setengah gelas, Teguh enggan meminumnya. Ia hanya mendengus pelan. Semua orang terdiam di meja makan dengan pikirannya masing-masing.
 (Bersambung)
1 note · View note
prhndini · 1 year
Text
Rumah Teguh (2)
“Terakhir aku bertemu Nindya, dia baru lulus s1 terus mau melanjutkan profesi psikologi, bu. Waktu itu sih dia cerita rencana mau lanjut sekolah di Surabaya. Sekarang nggak tahu ya, apa jadi di Surabaya. Nggak pernah kontak lagi bu” Jawab Teguh. Ibunya tidak tahu bagaimana mendengar nama Nindya berhasil menggetarkan hatinya. Walaupun ia sudah berusaha melupakannya, tetap saja. Belum seratus persen berhasil. Masih ada yang menganga di dalam dadanya.
“Ooh gitu, ya. Semoga sukses semua ya murid-murid Ibu”. Teguh hanya tersenyum mengiyakan ibunya.
Sekian menit suasana hening, hanya dentingan sendok dan garpu menyentuh piring-piring makanan. Tiada percakapan di meja. Teguh masih terhanyut pada memori masa lampau.
“ Yah, bu, aku belum cerita ya. Jadi, aku ingin punya rumah di sini” Ujarnya memecahkan keheningan sekaligus membantunya agar melupakan patah hatinya.
“Kamu sudah mantep di Solo?” Ayah tertarik sekali dengan topik ini. Pandangan matanya memastikan apakah benar anaknya yakin dengan keputusannya.
“Tentu, Yah. Sejak kuliah aku sudah jatuh cinta sama kota ini. Alhamdulillah, usahaku di sini juga lancar. Ke Wonosobo juga bisa nggak begitu jauh. Udah sreg, yah” Jawab Teguh dengan yakin.
“Bagus kalau  gitu. Ayah dukung keputusanmu, le. Semoga usahanya juga makin berkembang makin sukses” Ayah senang mendengar rencana anaknya.
“Ibu juga mendukung, Guh. Ibu pasti mendoakan yang terbaik buat kamu” Ibu tak kalah Bahagia. “Eh, apa modal usaha yang sudah kamu kembalikan kemarin, dipinjem lagi aja buat DP rumah. Kalau boleh sih, sama Ayah? Gimana mas?” Ibu menoleh ke arah ayah mencari jawaban.
Teguh buru-buru menjawab, “Nggak usah, Bu. Aku mau beli sendiri saja, pelan-pelan saja semampuku. Lagian aku kepinginnya membangun rumah bu. Bukan beli rumah jadi yang tinggal DP. Biar kepakai lah ilmu ku selama 8 semester dulu. Walaupun nggak gambar rumah orang, setidaknya gambar rumah sendiri. Lebih puas juga rasanya, bu” tutur Teguh.
Ayah menganggukkan kepala tanda setuju, “Sudah mulai cari tanahnya?”
“Sudah yah, masih survey lihat-lihat lokasi dan tanya-tanya harga”
“Oke, nanti Ayah bantu barangkali teman-teman Ayah disini punya rekomendasi”
“Makasih banyak Yah, Bu. Doakan Teguh supaya cita-citanya tercapai, usahanya lancar dan sukses”
“Aamiinn” Jawab ayah dan ibu kompak.
***
Ritual hari minggu Teguh berjalan seperti biasa. Pukul enam pagi sudah dipakainya sepatu olahraga. Setiap hari minggu percetakannya libur. Minggu waktunya untuk istirahat dan bersantai. Walaupun sering pulang melebihi jam tutup, sedikit-sedikit ia mengikuti konsep work life balance. Setidaknya hari Minggu adalah waktu khusus  untuk keluarga dan dirinya sendiri. Lari pagi kali ini cukup tiga putaran mengelilingi lapangan bola di kampung. Sebaiknya ia segera pulang dan bersiap sebelum Bagus datang.
Bagus adalah kawan baiknya semasa kuliah. Kawan seperjuangan saat skripsi dan beberapa organisasi dikerjakan bersama. Teguh ingin melihat tanah kavling yang diceritakan Bagus. Letaknya tak jauh dari rumah Bagus beserta istri.
“Ooh ini ya. Beneran lumayan deket rumahmu ya. Tetangga RW mu nih kalo aku jadi beli disini” seru Teguh pada Bagus setelah mereka sampai. Sebuah poin plus bagi Teguh. Membayangkan keluarga kecilnya kelak akan bertetangga dengan keluarga sahabatnya. Letak tanahnya walaupun bukan di tengah kota, tapi masih ada di pinggiran kota, sesuai apa yang diharapkan Teguh, karena jika di tengah kota masih terlalu mahal bagi Teguh. 30 menitan menuju lokasi digital printingnya tidak jauh baginya. Masih terjangkau. Disekitarnya terdapat beberapa rumah dan tak jauh dari situ terdapat bermacam toko warga. Membuatnya menjadi ramai walau letaknya bukan di jalan besar.
“Ini 8x10 meter ya?”
“Yoi bro. Sebenernya dah lumayan lama ini ada. Cuma aku baru tau kalo kamu cari tanah. Ini yang punya juga masih saudaranya pak RT ku” Jawab Bagus. Teguh memang baru saja curhat dengan Bagus mengenai impiannya.
“Iya dulu masih ngumpulin duitnya bro. Hahaha. Kayaknya aku berminat ini. Semoga harganya cocok aja deh” Teguh lega sekali hari ini. Tinggal nanti shalat Istikhoroh dan nego dengan pemilik tanahnya. Kalau hasilnya baik, semoga memang rezekinya.
“Aamiinn. Moga  rejekimu ya. Gimana, masih ingin keliling lagi, langsung balik, apa mampir ke rumahku dulu? Mampir yuk”
 “Mampir deh. Udah lama nggak ketemu Tiara dan Karim”
Tidak terasa hampir setahun Teguh tidak mengunjungi rumah Bagus. Dengan kesibukan Teguh yang merintis usahanya, jadilah paling sering Bagus yang sesekali mengunjungi Teguh di digital printingnya setelah ia pulang dari kantor atau sekedar ingin me-time. Biasanya mereka nongkrong saja di sekitaran Landscape Digital Printing kalau sama-sama senggang. Ngopi sambil mengobrolkan apa saja atau terkadang menu kopi berganti dengan STMJ.
Rumah bergaya tropis minimalis tampak sedikit mencolok dari rumah-rumah lainnya. Seorang ibu muda tampak jalan berbungkuk-bungkuk menyesuaikan tinggi badan seorang anak yang sedang belajar jalan di depan rumah tersebut. Tangannya memegang kedua tangan si bayi yang jalan tersengal-sengal. Si bayi tampak antusias berjalan dengan cepat tapi terbatas oleh keseimbangan yang belum ia kuasai sepenuhnya.
“Assalamualaikuum” Bagus memanggil istrinya. Yang dipanggil segera menoleh, “Waalaikumsalaam. Lhooo, ada Teguh!! Ya ampun lama kali gak ketemu” Tiara heboh karena tentu saja sudah lama tidak bertemu kawan kuliahnya. Mungkin terakhir saat Teguh mengunjungi mereka saat Karim baru lahir.
“Halo Tir! Iya nih. Baru sempet main kesini. Jawab Teguh, senangnya bertemu kawan lama.
“Hai Karim. Aduh, dulu om kesini masih bayi merah. Sekarang udah belajar jalan aja nak” Teguh menghampiri Karim dan menyejajarkan tubuhnya dengan Karim.
“Assalamualikum Karim. Mau salim sama om?” Teguh menyodorkan tangannya yang disambut Karim dan langsung mencium tangannya.
“Pinternyaa anaknya mama Tiara” Teguh gemas sekali dengan Karim.
“Anakku juga itu woy” Bagus protes.
“Iya tapi pinternya nurun Tiara. Hahaha”
           Dari skylight di teras rumah Bagus, tampak langit mulai berubah warna menjadi jingga. Cukup lama juga Teguh berada di rumah sahabatnya. Menyaksikan kehidupan Bagus dan Tiara menjadi orangtua membuat Teguh terharu. Betapa mereka bertumbuh menjadi lebih dewasa. Hari ini merupakan pengalaman baru bagi Teguh. Ikut merasakan aktivitas mulai Karim masih aktif bermain, melihat perjuangan membujuk Karim supaya makan,  pemandangan rumah yang tadinya rapi hingga menjadi berantakan diacak-acak oleh Karim, sampai rewel karena ngantuk dan akhirnya bisa tidur. Sebuah pelajaran baru baginya.
           “Aku pamit dulu ya, guys.. Makasih banyaak udah ditampung hampir seharian ini”
           “Sama-sama bro. Sering-sering lah mampir. Moga-moga jodoh ya sama tanahnya” Bagus menyalami Teguh
“Aaamiiiin, moga-moga cepet bangun rumah sama bangun rumah tangga ya Guh, hahaha” Tiara ikut menimpali
“Aamiin paling seriusss!” Seru Teguh. “Dadah, Karim. Sampai ketemu lagi ya”
“Daaaaaaaaa” Karim memang menggemaskan.
***
(Bersambung)
1 note · View note
prhndini · 1 year
Text
Rumah Teguh (1)
Mesin cetak digital yang ukurannya hampir sepanjang tempat tidur baru saja selesai bertugas setelah seharian ini harus bekerja keras. Memasuki masa-masa kampanye pemilu, membuat usaha percetakan digital Teguh ramai. Berbagai wajah dan bendera partai disertai rencana program kerja anggota DPR tergambar apik di poster, banner, spanduk, dan baliho. Tidak ada yang tahu apakah program-program kerja gemilang tersebut menjadi nyata ataukah berakhir sebagai janji manis saja. Tapi Teguh tidak ambil pusing. Toh ia tidak menggandruingi dunia politik--tidak apatis, tidak juga fanatik. Yang jelas ia bersyukur karena dana-dana kampanye politikus itu turut memberikan sumbangsih pada perekonomiannya dalam mencapai salah satu tujuan finansial: membangun rumah di Solo.
Teguh si pekerja keras dan kreatif dalam mencari nafkah. Walaupun saat ini baru tiga pegawai yang harus ia gaji ditambah dirinya dan ikan cupang dalam toples di kosannya yang harus ia hidupi, tapi Teguh juga bekerja dengan giat untuk menghidupi mimpinya. Tentu saja di usianya yang baru saja melewati angka tiga puluh tahun, ingin juga menafkahi pasangan hidup. Tapi apa daya, ia tak punya.
"Alhamduillah selesai juga. Makasih Jo" Teguh menerima gulungan poster dari Jojo, karyawannya.
,“Oke bos! Rame bener ini tadi. Bisa nih bulan depan nambah karyawan baru?” Ucap Jo.
“Pinginnya gitu sih. Doain deh”
Setahun yang lalu ia membangun usaha ini. Menghabiskan tabungan hasil side hustling sebagai web designer ditambah pinjaman modal dari orangtuanya. Teguh bersyukur karena sejauh ini hasilnya cukup memuaskan. Walaupun progresnya belum begitu fantastis, yang penting tetap optimis. Teguh memberi nama “Landscape Digital Printing and Advertising”. Memang namanya sangat kental dengan dunia arsitektur. Bukan tidak ada maksud, sesungguhnya ia dulu adalah mahasiswa arsitektur universitas negeri di kota Solo. Tidak peduli gelar yang disandangnya, panggilan jiwa entrepreneur lah yang membawanya melangkah kesini.
Dikuncinya rolling door setelah semua orang di dalam kembali pulang. Rasanya capek, tapi Bahagia. Ingin ia segera pulang dan mandi air hangat. Teguh baru saja turun dari motor lalu hendak membuka gerbang kos-kos an tempatnya tinggal, hingga pelupuk matanya menangkap sebuah mobil yang parkir di sebrang.
Tumben ada mobil disini? Tamu kali ya?. Sulit mengetahui dengan jelas di gelapnya malam tanpa penerangan lampu jalan. Hanya lampu teras kosannya yang agak enggan bersinar terpaksa menerangi.
Namun sepertinya mobil ini tak asing, Eh, mobil ayah ibu? Kenapa malam-malam kesini?
"Lho, ayah, ibu, kesini malam-malam gini, ada apa?" Disalaminya ayah dan ibu yang duduk di kursi taman. Teguh penasaran karena orangtuanya jauh-jauh dari Wonosobo menemuinya.
"Enggak ada. Mampir aja, tadi ayah dan ibu dari rumah teman, ada reuni SMA" jawab ibunya
"Oohh.. kirain kenapa bu. Nginep sini aja ya yah, bu? Ada kamar kosong kok bisa disewa. Pagi aja baliknya"
Ibu menoleh ke arah ayah, "Gimana, mas?"
"Iya wes. Lama nggak nyetir jauh capek juga badanku. Kamu bilangkan Bapak kos ya le kalo kami nginep sini"
"Siap yah. Tunggu sini bentar, aku bilang pak Hendri. Aku naik dulu ya"
Setelah menemui Pak Hendri, Teguh bergegas ke kamar mandi. Badannya lengket, kaos yang dipakainya terasa kumal. Sangat tidak nyaman. Ingin segera ia hempaskan keringat, debu, kuman, dan bau kecut pada tubuhnya.
Selesai mandi badannya terasa kembali segar tapi perutnya lapar. Ia baru ingat kalau belum makan malam. Setelah solat Isya, segera dihampirinya kamar yang ditempati ayah ibunya.
"Yah, Bu, belum tidur?" Dilihatnya ke balik pintu yang tidak tertutup rapat. Ayah dan ibu sedang asyik dengan handphonenya masing-masing.
"Belum nih. Udah makan kamu?" Tanya ibu
"Belum bu, belum sempat makan tadi sibuk terus. Lagi rame bu, alhamdulillah. Mau nggak temani aku makan?"
"Ayo, le. Sekalian jalan-jalan di Kota. Nostalgia waktu kami dulu kuliah disini. Iya nggak, bu?" ayahnya menyahut.
Ibu hanya tersenyum seraya bersiap untuk jalan-jalan malam.
"Sip. Aku setirin ya yah" Teguh mengendarai mobil. Ayahnya duduk disamping dan ibu duduk di jok belakang.  Senang rasanya jalan-jalan bertiga saja dengan orangtuanya. Sebuah momen yang langka. Biasanya selalu pergi berlima dengan dua adiknya. Mungkin begini ya rasanya waktu dia masih jadi anak tunggal.
"Kangen juga ya, yah bu, jalan-jalan bertiga gini"
"Iya. Dulu waktu kamu masih bocah, kita bertiga jalan jalannya kalau nggak naik motor ya naik mobil cerry. Inget ga kamu?" Tanya ayah dari kursi depan.
"Hahaha. Iya yah. Cerry hijau legenda"
"Kalo jalan2 jauh kayak ke Solo kamu dulu mesti minum obat biar ga mabuk le" Ibu menggoda Teguh yang sedang serius menyetir.
"Hahaha.Untung sekerang udah nggak ya buk. Sudah kebal. " Teguh tertawa lagi mengenang masa kecilnya.
Rasanya syahdu berkendara di kota Solo malam hari. Jalanan masih ramai dengan motor dan mobil juga orang-orang yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Temaram lampu kota turut menghiasi pemandangan. Di pinggir jalan banyak sekali pedagang penjual makanan yang masih buka. Segala macam makanan  ada di sana. Teguh memilih nasi goreng sebagai menu makan malamnya.
“Aku beli nasi goreng langgananku disini yah. Dijamin uenak” Teguh membuat isyarat jempol dengan tangannya. “Banyak makanan lain juga itu disekitarnya. Barangkali ayah dan ibu ingin makan lagi”. Mereka menuju tenda hijau dengan gerobag berwajan besar. Api menyala-nyala di dasar wajan. Penjual nasi goreng dengan lihai mengaduk-aduk masakannya dengan spatula yang tak kalah besar. Bau sedap segera memenuhi indra penciuman. Teguh menjadi semakin lapar saja. Tanpa melihat menu ia memilih nasi mawut dan jeruk hangat.
Mereka bertiga memilih duduk di bawah alias lesehan. Baru sebentar duduk, jeruk hangat pesanan Teguh sudah datang. Dicamilnya kacang godog untuk mengganjal perutnya yang keroncongan.
“Ibu jadi teringat Nindya. Dia apa masih di Solo, Guh?” Tanya ibu tiba-tiba.
Nindya adik kelas SMA-nya adalah orang yang dimaksud ibu. Seseorang yang mengisi hatinya sejak masih di bangku sekolah hingga beberapa waktu lalu.
 (Bersambung)
2 notes · View notes
prhndini · 1 year
Text
Lima Sekawan: Berkelana
Novel anak legenda karangan Enid Blyton ini memiliki judul asli "Five Go Off in a Caravan". Dalam bahasa Indonesia kemudian diberi judul "Berkelana". Buku ini merupakan seri petualangan ke-lima dari Lima Sekawan, yaitu sekumpulan remaja yang gemar menjelajah. Mereka adalah Julian, Dick, Anna, George, dan anjing mereka, Timmy.
Seperti judulnya, plot yang diusung adalah petualangan dan memecahkan misteri. Kali ini, Lima Sekawan bertualang dengan menaiki karavan menuju rombongan sirkus yang sedang bermukim di Danau Merran. Mereka ingin bermain dengan kawan baru mereka, Nobby--salah satu anggota sirkus, orang-orang, dan hewan-hewan sirkus. Namun sesampainya disana ternyata mereka harus menghadapi penjahat yang memiliki rencana licik.
Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga dan alurnya maju. Narator menceritakan kisah dengan ritme campuran. Ritme lambat digunakan untuk mendeskripsikan latar tempat, waktu, dan suasana, sehingga benar-benar mengantarkan imajinasi pambaca untuk mengikuti perjalanan mereka. Seru sekali! Sedangkan ritme cepat banyak digunakan saat mereka menghadapi penjahat.
Karakter utama dalam tokoh ini tentu saja adalah Lima Sekawan. Julian merupakan anggota tertua, ia adalah kakak kandung Dick dan Anne. Ia memiliki sifat yang bertanggung jawab. Dick yang memiliki sifat cerdik adalah adik Julian dan kakak Anne. Anne sendiri walaupun paling muda tetapi ia sangat pintar memasak. Ia sebenarnya menyukai kedamaian dan paling tidak suka menghadapi konflik. Sedangkan Georgina adalah sepupu dari tiga bersaudara tadi. Ia seorang perempuan tomboy yang keras kepala. Usianya dibawah Dick dan diatas Anne. Mereka berempat selalu ditemani oleh Timmy--anjing Georgina yang sangat lincah, penurut, dan menyayangi tuannya. Lima Sekawan sama-sama memiliki sifat pemberani dan sangat penasaran. Hal inilah yang memicu berbagai konflik baru hingga melibatkan mereka dalam berbagai petualangan.
Dalam "Berkelana", Lima sekawan bertemu dengan Nobby yang ceria dan pandai berteman. Lalu ada Paman Dan--pelawak dan paman Nobby yang berwajah cemberut dan cepat marah serta Lou, ahli atraksi, yang memiliki sifat yang sama sama jahat dan tidak menyenangkan. Sayangnya, karakter penjahat kurang terasa sifat jahatnya. Terlalu lemah dan sembrono, sehingga agak terasa janggal. Namun hal ini bisa dimaklumi karena sasaran utama pembaca adalah anak-anak.
Dialog yang mengalir membantu membangun suasana yang seru dan cukup menegangkan. Selain itu, dialog juga digunakan untuk menceritakan karakter dan menggerakkan plot. Enid blyton juga menyelipkan pesan moral dengan gamblang pada dialog. Yang pertama ditunjukkan saat ayah dari tiga bersaudara mempercayakan Julian sebagai ketua perjalanan, karena dalam suatu perjalanan harus ada satu orang yang bertindak sebagai pemimpin. Ia menasihati anak-anak lain untuk mematuhinya. Pesan yang kedua ditunjukkan saat Julian membeli kebutuhan pokok pada istri petani dengan membayar kontan. Istri petani sangat senang karena Julian tidak berhutang, menurutnya hutang tidak boleh dibiasakan karena dapat membuat kesulitan di masa depan. Hal ini sangat bagus karena anak-anak dapat dengan mudah mempelajari pesan moral ini.
3 notes · View notes
prhndini · 1 year
Text
Sehelai Benang Asa (5-selesai)
Tumblr media
Hari jumat kembali datang. Waktunya Rani bekerja kembali. Setelah tiga hari harus belajar ekstra karena mengikuti tryout di bimbelnya, akhirnya ia punya waktu untuk bersantai. Walaupun yah...tidak begitu santai karena gaun yang butuh dipayet antri mengular.
"Ran, ibu punya kabar baik! Tiga bulan lagi Ibu ikut peragaan Adibusana. Ibu jarang sekali ikut event ini, terakhir lima tahun yang lalu. Kamu kalau bisa kerja setiap hari disini, tentu bisa belajar banyak. Gimana?" Tanya bu Maya
"Adibusana? Apa itu bu?" Rani memang tidak banyak memiliki pengetahuan tentang mode, ia adalah seorang lulusan SMA negeri yang sekedar memiliki hobi fashion. Beberapa yang pernah dibuatnya hanyalah blouse sederhana miliknya dan baju-baju lucu untuk kucingnya. Teorinya berbekal tutorial youtube.
"Adibusana itu, teknik pembuatan busana dengan jahitan tingkat tinggi, Ran. Tentunya berbeda dari membuat gaun-gaun pesanan pelanggan" Jelas Bu Maya.
"Ayok, Ran. Jarang-jarang, loo.." Hesti, karyawan tetap Bu Maya ikut berkomentar.
Rani sedikit tidak yakin dengan apa yang didengarnya, "Bu Maya yakin mengajak saya? Saya kan benar-benar minim pengalaman bu..."
"Iya saya tau. Tapi saya rasa kamu berbakat Ran di bidang ini. Ada Hesti dan yang lainnya juga bisa mengajarimu. Kamu pikir-pikir dulu saja"
"Baik, Bu, terimakasih telah percaya dengan saya. Akan saya kabari secepatnya Bu" ucap Rani. Bu Maya hanya mengangguk sambil tersenyum.
Rani kembali mengambil benang, jarum dan payet. Sebuah gaun menunggu untuk dibuatnya menjadi lebih indah.
Sesungguhnya, hatinya berdesir mendengar kabar ini. Sesekali ia memperhatikan sekitar.
Gulungan kain yang terhampar dilantai,
warna-warni benang yang tersusun sedikit berantakan di rak,
kumpulan kancing pada berbagai toples bening,
suara mesin jahit berpadu dengan suara gunting yang membelah helaian kain.
Hatinya semakin yakin. Rasanya ia ingin segera pulang dan berbicara dengan orang tuanya.
*****
Berani. Seperti namanya, Rani. Kini Rani telah berani mendengarkan hatinya dan memperjuangkan mimpinya.
SELESAI
2 notes · View notes
prhndini · 1 year
Text
Sehelai Benang Asa (4)
Tumblr media
Ngerjain apa kamu dek?" Didapatinya adik laki-lakinya sedang memandang buku dan menguap-nguap bosan di meja belajar.
"Ini lo mbak, gimana ya caranya ngerjain soal fisika ini? Biasa, pe er dari sekolah" Adik memandangnya dengan pandangan penuh pengharapan agar tugasnya bisa ia bantu. Sayangnya itu hanya harapan kosong sang adik. Otaknya masih tidak sanggup untuk diajak memecahkan soal fisika yang ruwet.
"Aduh.. kamu pikir sendiri aja deh, pusing kepalaku dek" Rani memijit-mijit pelipisnya, mengabaikan buku yang disodorkan adik.
"Kamu baru pulang mbak? abis dimarahi Bapak ya mbak? Kamu kok baru pulang apa habis kerja di butik?" Serangan pertanyaan dari adik membuat Rani ingin menyumpal mulutnya dengan apel merah yang ada di meja. Tapi ia terlalu lelah untuk sekedar mengambilnya.
"Iya, habis lembur, makannya baru balik" Rani duduk di sofa. Menyenderkan kepalanya yang terasa berat.
Adiknya memang satu-satunya yang sudah mengetahui tentang pekerjaan sampingannya.
"Yauda emang kamu salah sih mbak. Udah, ga usah dipikirin. Nggak mungkin juga besok Bapak masih marah" adiknya  berkata dengan santai, berusaha menghiburnya.
"Yang bikin puyeng sebenernya aku itu galau jadi ambil kedokteran apa kuliah tata busana aja, dek. Aku juga belum berani cerita ke Ibu Bapak soal kerjaku ini".
"Ooh.. waduh kalau itu bertanyalah kepada hatimu mbak, hahaha" adiknya nyengir sok bijak. Ingin sekali ia menjitak kepala adiknya, "Ih, lagi serius jugaa... Entar kalau udah kelas tiga bisa puyeng juga kamu dek".
Tapi,
mungkin ada benarnya ya, kata-kata adik? Apa benar harus mengikuti kata hati? Pikir Rani dalam benaknya.
(Bersambung)
1 note · View note
prhndini · 1 year
Text
Sehelai Benang Asa (3)
Tumblr media
"Assalamualaikum pak" Rani mengulurkan tangannya untuk mencium tangan Bapak.
"Waalaikumsalam, kemana saja to kamu itu? Nggak ijin Bapak dan Ibu juga kalau pulang malam"
Sampai sekarang orang tuanya tidak tahu pekerjaan sampingan yang dilakukannya dua kali dalam seminggu ini. Sebetulnya rasanya tidak nyaman bersikap seperti ini ke orang tuanya, tapi ketakutan dan ketidakyakinannya menjadikan begini. Bapak yang seorang dokter mengharapkannya meneruskan klinik dan pekerjaan yang menurutnya mulia ini.
Sebetulnya menjadi seperti Bapak sudah ada dalam daftar mimpinya semenjak kecil. Bapak memang teladan yang hebat, tapi dia juga menyukai dunia mode yang penuh dengan kreatifitas.
"Maaf pak, Rani lupa, tadi jalan-jalan sama teman.." ucap Rani mantap. Terdengar seperti tidak berbohong karena sudah terbiasa. Saban hari jumat dan sabtu jika harus lembur, beginilah alasan yang ia buat. Kadang berganti dengan 'perisapan try out bimbel', 'ada kelas tambahan di bimbel', 'belajar bareng teman'.
"Oalah Nduk, kemarin kan sudah diberi tahu. Kalau pulang telat itu harus ijin dulu. Harusnya kamu juga banyak belajar sebentar lagi ujian masuk kuliah. Malah kluyuran nggak jelas. Masa gak kuliah lagi?" Kemarahan bapak membuat degup jantungnya seperti sedang lari sprint.
"Iya, pak. Maaf" Rani menunduk. Tidak memiliki keberanian melihat wajah Bapak, pun tidak memiliki keinginan untuk mendebat. Apanya yang mau didebat? sampai sekarang Rani juga masih bingung dengan dirinya dan masa depannya. Ujian seleksi masuk perguruan tinggi tinggal sebulan lagi.
Hmm.. bagaimana ya?
(Bersambung)
0 notes
prhndini · 1 year
Text
Sehelai Benang Asa (2)
Tumblr media
"Ran! itukan motorku.." Hesti, rekan kerjanya yang tiba-tiba muncul dihadapannya mengagetkan Rani.
Kepalanya mendongak ke arah sumber suara. Satu detik, dua detik, tiga detik.  Begitu menyadari perkataan Hesti, tangannya buru-buru menarik kontak motor yang sudah dia coba masukkan.
"Yaampun, sorry Hes! " Pantas saja motornya kok terasa tambah tinggi sampai ia harus agak jinjit.
Rani turun dari motor Hesti, pandangannya menyisir deretan motor yang cuma ada lima di parkiran butik. Motor matic hitamnya ternyata parkir dengan tenang satu deret didepan tempat ia berdiri sekarang.
"Magrib-magrib jangan kebanyakan ngelamun, Ran" Hesti terkekeh sambil memundurkan motornya.
Pikirannya memang sedang ruwet, saking ruwetnya malah membuatnya bengong. Jelas-jelas motor Hesti warnanya merah.
"Hehehehe... pantesan kuncinya aku puter-puter kok gak bisa" Rani menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Udara malam terasa sejuk dan cerah. Suasana yang pas untuk menyegarkan diri. Pikirnya, dia bisa jalan-jalan dulu keliling kota. Nostalgia melewati sekolahnya yang sudah setahun tak ia kunjungi sejak lulus SMA, lalu mengelilingi alun-alun kota, barulah dia pulang ke rumah.
Barangkali ada yang jual ronde?
Disaat ingatannya berputar soal ada tidaknya penjual ronde mangkal di alun-alun, hapenya bergetar-getar tidak sabaran.
Notifikasi sebuah pesan dari Bapak masuk ke handphonennya: Kemana saja Mbak, kok belum pulang?
Bayangan kehangatan kuah jahe yang agak pedas ditambah sensasi kenyal-manis dari bola-bola tepung ketan berisi kacang sekelebat hilang. Tanpa membuka pesan Bapak dulu, Rani segera memacu motornya langsung menuju rumah.
Benar saja, Bapak sudah menunggu di teras.
(Bersambung)
0 notes
prhndini · 1 year
Text
Flash Fiction: Hari Pernikahan
Di depan cermin, Sarah melihat dirinya berbalut kebaya dengan dress dibawahnya. Warna coklat muda sangat pantas ia kenakan.
"Sudah siap, Nduk?" Ibu menengok melalui pintu, membuyarkan lamunannya.
"Iya, sudah buk. Setelah ini Sarah keluar ya"
Sarah duduk bersama ibu dan adik perempuannya. Tampak Bapak penghulu dan mempelai pria saling berbicara sambil berjabat tangan, hingga akhirnya.. "Sah.."
Gemuruh ucapan hamdalah memenuhi ruangan.
Diantara isak tangis orang-orang, dia yakin dialah yang paling keras tangisannya. Adik perempuannya mengusap punggung dan tangannya,
"Sabar ya, mbak.."
Sarah telah berbesar hati mengizinkan adik laki-laki yang amat ia sayangi untuk menikah terlebih dahulu mendahuluinya. Berbagai afirmasi telah ia rapalkan supaya perasaannya baik-baik saja. Tak mungkin pula dia menghalangi adiknya menyempurnakan setengah agama. Tapi kenapa rasanya masih sesakit ini?
instagram
0 notes
prhndini · 1 year
Text
Flash Fiction: Vidya dan Toko Buku
"Lama banget mas aku nggak kesini. Ih seneng banget rasanya" mata Vidya berbinar mengagumi rak-rak yang berderet berisikan buku-buku berjajar rapi. Suara musik saxophone menambah syahdu suasana. Tangannya meraih sampel novel yang terbuka. Bau buku baru, aduuh..harumnyaa.. Vidya tak kuasa menahan senyum lebarnya.
Reza terkekeh melihat istrinya, "Iya kayaknya terakhir waktu kamu hamil ya. Berarti sudah setahun lebih"
"Ma..ma.. tu.. na.. na.." bayi mungil dalam gendongan Vidya menunjuk-nunjuk lego warna warni yang telah tersusun di rak ujung ruangan, "Ooh.. adik mau lihat kesana yaa?" Tanya Vidya.
"Eh, yaudah ayok sama ayah ya le, mama biar me time dulu" Reza mengulurkan tangannya bersiap menggendong Emran.
"Makasi banyak, yah"
"Iya, aku keliling ke lantai atas juga ya ma, nanti aku susul kesini"
Vidya mengancungkan jempolnya, "Oke. Dadaaah emran..."
Vidya berkeliling menyusuri rak dengan berbagai genre. New Arrival, Best seller, Fiksi, Bisnis, Buku Anak, Biografi, Motivasi, tak ada yang luput darinya. Ia berulang kali meraih buku, membaca sinopsinya, menaruh lagi. Tidak terasa satu jam telah berlalu.
Reza kembali ke lantai satu, Emran rewel. Sepertinya dia mulai bosan dan lapar. Reza berjalan mencari Vidya. Menyusuri rak Biografi, Motivasi, Fiksi, Sosial, New arrival, Hobi. Ia tak menemukan istrinya, "Kemana dia? Apa nyusul keatas ya?"
Saat hendak menaiki tangga di sisi paling utara, ia menemukan istrinya sedang sibuk membolak-balik halaman buku anak, "Lho, kamu disini, ma? Aku nyari kamu disana dari tadi"
"Eh? Iya Yah. Yaampun udah hampir sejam aku disini. Nggak kerasa" Vidya menaruh kembali boardbook yang sedang dipegangnya.
"Lha iya. Dulu kan kamu suka banget itu baca yang disana" Satya menunjuk buku-buku untuk orang dewasa, tempatnya dulu ia selalu menemani Vidya. Ia memang tak begitu suka membaca, tapi ia senang memperhatikan istrinya yang bahagia saat membaca.
"Iya ya Yah, aku juga batin gitu. Sekarang rasanya kok lebih excited cari buku buat Emran ya?" Vidya tertawa.
Satya balas tertawa. Ternyata selama kami menikah, kesenangan dan prioritas kami berubah, ya?
instagram
0 notes
prhndini · 1 year
Text
Flash Fiction: Pengingat
Satya merebahkan punggungnya di sofa, akhirnya ia bisa melepas penat setelah menunggu anak keduanya, Ara, berpindah ke kamar perawatan setelah 2 jam menunggu di IGD. Ia melihat tangan Ara terpasang jarum infus. Ia terlihat lemas dalam tidurnya. Matanya cekung. Maklum sudah tiga hari ini Ara diare dan muntah-muntah, hampir tidak ada makanan dan minuman yang berhasil masuk ke dalam perutnya.
"Ara, yang sabar ya, nak.." Satya mengelus kening Ara. Pelan sekali takut membuat anaknya terbangun.
Tiba-tiba handphonnya berdering. Sebuah pesan dari istrinya membuatnya melotot. Aduh, apa lagi ini? Ingin sekali ia memarahi istrinya yang tidak berhati-hati menyetir. Bisa-bisanya di situasi seperti ini dia menabrak mobil orang? Amarahnya hampir saja meledak saat pintu kamar diketuk, istrinya akhirnya datang.
Melihat istrinya awut-awutan dengan wajah lunglai, Satya jadi tidak tega. Ditelannya kekesalan itu bulat-bulat,
"Kamu gakpapa, ma? Terus gimana tadi mobil yang kamu tabrak?" Satya berusaha membuat nada bicaranya sebiasa mungkin.
"Maaf ya pa, tadi aku gak fokus nyetirnya. Orangnya sudah aku suruh perbaiki di bengkel mobil Pak Tomo, aku bilang nanti kita yang ganti.." Anin berbicara sambil ingin menangis. Rasanya capek fisik dan mental.
Tiga hari ia tidak bisa beristirahat karena merawat Ara yang sakit dan rewel. Belum lagi kakaknya Ara yang kakinya keseleo saat bermain bola di sekolah. Malah sekarang mobilnya penyok karena menabrak mobilnya orang lain. Rasanya belum sempat beristirahat dengan tenang setelah rumah bocor dan drama tukang bulan lalu, sekarang harus berjuang lagi. Sabar.. sabar..
"Pa, kita sudah bayar zakat mal belum ya kemarin?" Pertanyaan istrinya yang tiba-tiba membuatnya terdiam dan berpikir lama.
"Astaghfirullah, belum ya ma? Kita waktu itu sibuk pindahan ke Palembang"
"Iya, mama juga lupa banget pa" ujar Anin panik.
Satya dan Anin bergegas duduk tegap, mereka segera menghitung berapa kewajiban zakat mal nya. Mereka ingin cepat-cepat menunaikan kewajiban untuk mereka yang berhak mendapatkannya. Capek sekali rasanya kalau hartanya harus keluar dengan cara yang tidak menyenangkan.
0 notes