Tumgik
#Lee Yat Ding
fyeahcindie · 7 months
Text
youtube
Let's check out the new single from HK singer/songwriter/actress 張蔓姿 Gigi Cheung (GIGI 張蔓姿) =D
Lyrics/Music: Gigi 張蔓姿 All instruments by rosemances (Roseann & Mance) except Drums by Lee Yat Ding Mixed by Jay Tse
Links: Instagram,  YouTube,  Spotify,  SoundCloud
I don't think we've ever featured Gigi before, but I saw that Anna hisbbuR did a remix, so, I was immediately interested. Both versions are chill, and it's a good song, you won't mind hearing it twice in a row, LOL:
youtube
Anna links: Instagram, Spotify, YouTube
Lyrics at either YT link.
1 note · View note
adeirwansyah · 4 years
Text
On Hong Kong Comics (in Indonesian)
Tumblr media
SEPTEMBER 2018
Komik Hong Kong di Indonesia: Kian Elit, Kian Sempit
Oleh Ade Irwansyah
Jika bertandang ke Hong Kong, sempatkanlah mampir ke Kowloon Park, sebuah taman dekat kawasan Tsim Sha Tsui yang sibuk. Di salah satu sudut taman terdapat surga kecil buat pecinta komik, terutama komik Hong Kong. Di area sepanjang 100 meter terdapat 30 patung karakter tokoh komik Hong Kong setinggi 1,8 hingga 3 meter berderet rapi.
Patung-patung yang dipamerkan di situ merentang dari karakter komik era 1960-an hingga dekade 2010-an. Di sana, Anda bisa puas berswa-foto dengan karakter Old Master Q, Wang Xiao Hu dari komik Long Hu Men, Dragon Lord, Cloud alias Angin dari komik Awan dan Angin (Wind and Cloud/Storm Riders) sampai yang kurang dikenal di sini seperti Miss 13 Dots, K si James Bond Hong Kong atau Ding Ding Penguin yang imut.  
Tempat yang dinamakan Hong Kong Avenue of Comic Stars ini juga memuat sejarah perkembangan komik, pengaruhnya ke negara lain, termasuk Indonesia. Hong Kong Avenue of Comic Stars resmi dibuka September 2012 dengan tujuan merayakan budaya komik negeri bekas koloni Inggris itu.[1] Pembukaannya diresmikan Tony Wong Yuk-long, Presiden Hong Kong Comics and Animation Federation dan Gregory So Kam-leung, Menteri Perdagangan dan Pembangunan Ekonomi Hong Kong.
Tony Wong, tentu saja, legenda hidup komik Hong Kong. Ia layak disejajarkan dengan Osamu Tezuka di Jepang atau Stan Lee di Amerika. Seperti Stan Lee pula, Tony Wong beberapa kali muncul di film layar lebar. Ia pernah main film Project A (sebagai polisi), All’s Well, End’s Well (sebagai diri sendiri), New Police Story bareng Jacky Chan (sebagai kepala penjara) dan film adaptasi komik karyanya Dragon Tiger Gate (sebagai tabib Qi).[2] Membicarakan komik Hong Kong tak sahih tanpa menyebut Tony Wong. Namun, sejatinya pula, nama itu baru muncul sekitar akhir 1960-an di rimba persilatan komik di sana.
Bila ditelusuri muasal komik Hong Kong akan jauh sekali hingga ke masa Tiongkok kuno. Seperti Indonesia, orang China telah mengenal budaya gambar sejak ribuan tahun silam. Jejak lukisan tertua yang terselamatkan menunjuk ke masa abad 11 SM dan gambar-gambar di guci dari masa 5.000 sampai 3.000 SM. Di masa Dinasti Ming (1368-1644) muncul gambar dengan teknis kuas, sedangkan di masa awal Dinasti Qing (1643-1911) lahir gambar satir karya Zhu Da serta Luo Liang-feng sekitar 1771.[3]
Perkembangan gambar modern di China tak bisa dipisahkan dengan teknik cetak murah dari Barat. Teknik cetak ini membuat penerbitan koran dan majalah menjamur. Termasuk juga kartun dan karikatur yang muncul dalam koran dan majalah tersebut. Selain di media cetak, lahir juga apa yang dinamakan lianhuantu, buku cerita bergambar seukuran telapak tangan. Lianhuantu berformat 30 halaman. Setiap halaman berisi gambar dengan kotak keterangan di bawahnya. Komik format lianhuantu banyak diterbitkan di Shanghai awal abad ke-2o, serta diekspor keluar, di antaranya Hong Kong. Lianhuantu biasanya mengisahkan cerita kepahlawanan pahlawan  atau legenda Tiongkok kuno.[4]    
Di buku Hong Kong Comics (2002), Wendy Siuyi Wong menyebut komik Hong Kong pertama lahir di akhir abad ke-19 dan awal abad 20. Komik Hong Kong awal berjenis kartun satir dan karikatur. Majalah kartun satir pertama The China Punch terbit 1867 oleh seorang wartawan Inggris. Namanya sendiri diambil dari The Punch, terbitan Inggris dan mengadopsi karikatur politik, lustrasi dan kartun satir.
Siuyi Wong menganggap peran The China Punch sangat berarti karena mengenalkan kartun dan humor politik di Hong Kong.[5] Orang China pertama yang melukis kartun politik di Hong Kong adalah Tse Tsan-tai lewat karyanya The Situation in the Far East yang diterbitkan di Jepang. Tse pendukung Sun Yat-sen, Bapak Republik China. Ia menentang ambisi negeri asing di China. Lewat karyanya, ia bermaksud memberi kesadaran politik pada rakyat China.[6]      
Dari Komik Humor ke Kungfu
Dalam bahasa China, komik disebut “manhua”. Sejumlah sejarawan meyakini kata itu dipinjam sejak permulaan abad ke-20 dari bahasa Jepang, manga yang berarti komik.[7] Menginjak 1920-an dan 1930-an, komik Hong Kong jarang memuat pesan politik. Topik yang sering diangkat kebanyakan tema sehari-hari. Selepas Perang Dunia II, komik jadi hiburan orang banyak. Komik strip muncul di setiap koran menggambarkan keseharian orang Hong Kong, dengan dialog sehari-hari dalam bahasa Kanton alih-alih Mandarin.[8]  
Tahun 1950-an terbit Uncle Choi karya Hui Guan-man. Awalnya, kisah Paman Choi ini bernuansa humor, tapi belakangan jadi serius saat fokus cerita beralih soal kepahlawanan perang lawan Jepang. Di masanya, Uncle Choi jadi manhua terlaris di Hong Kong selama beberapa tahun, terbit selama satu setengah dekade. Komiknya dikatakan membawa pembaruan dengan gaya bertutur modern yang membedakan dengan model lianhuantu. Wendy Siuyi Wong mencatat manhua ini mengikuti tren—misal, ketika film spionase James Bond populer, sang tokoh jadi mata-mata--walau tak selalu disambut baik pembaca. Pada pertengahan 1970-an penerbitannya dihentikan.[9]
Sebelum 1970-an, manhua populer lainnya adalah Old Master Q karya Wong Chak yang terbit pertama tahun 1964. Formatnya komik empat panel yang mengisahkan petualangan kocak Old Master Q, pria tua berkumis tipis dan kostum tradisional China, bersama kawan-kawannya (“Big Dumb”atau “Big Potato” dan Mr. Chun). Manhua ini masih terbit hingga hari ini membuatnya jadi serial komik China paling lama.[10]
Yang kini juga jadi klasik di masa itu adalah Miss Thirteen Dot yang muncul di komik 13-Dot Cartoons karya Theresa Lee Wai-chun. Manhua ini disebut komik mainstream pertama yang menyasar pembaca cewek. Dikatakan, komik ini terinspirasi karakter Richie Rich. Ceritanya sendiri tentang petualangan seorang gadis putri jutawan.[11]  
Seiring popularitas film kungfu akhir 1960-an dan tahun 1970-an yang antara lain melahirkan sosok Bruce Lee, imbasnya juga sampai ke manhua. Tahun 1971 terbit manhua kungfu berjudul Lee Siu-lung yang merupakan nama China Bruce Lee karya Seung-gun Siu-bo. Akhir 1960-an, tepatnya 1968, terbit Little Vagabond karya Tony Wong berkisah tentang petualangan dewa mabuk Vagabond.
Namun, tak sah mengulas manhua kungfu tanpa menyebut karya Tony Wong yang lain, Little Rascals (1970). Manhua ini mengisahkan petualangan preman-preman muda yang tinggal di pemukiman rumah susun (public housing) Hong Kong. Penggambaran adegan duel di komik ini begitu brutal dan mengundang kritik. Pemerintah lantas menerbitkan Indecent Publication Law tahun 1975 untuk mengatur gambar kekerasan vulgar di komik. Tony Wong patuh. Mengubah judulnya bernada positif Oriental Heroes (Long Hu-men). Tahun 1980-an, gaya gambar ala kartun di manhua ini berubah jadi lebih realis seiring popularitas The Chinese Hero karya Ma Wong-shing.[12] Pada akhir 2000, Wong me-remake Oriental Heroes dengan judul Xin Long Hu-men (New Oriental Heroes), memakai karakter yang sama seperti Wang Xiaohu, Wang Xiaolong dan Shi Heilong, tetapi dengan cerita yang lebih memikat dan adegan laga yang jauh lebih mantap.[13]            
Pengaruh Komik Hong Kong di Indonesia
Di buku Komik Indonesia (pertama terbit edisi Prancis, 1976; edisi Indonesia, 1998) Marcel Bonneff mencatat komik silat kita bermula dari cerita silat (cersil) China. Ia tak menyebut komik melainkan karya sastra. Sebelum Perang Dunia II, surat kabar Melayu-Tionghoa Keng Po dan Sin Po menerbitkan seri silat China, yang kemudian terbit dalam bentuk buku. Setelah perang, Koran Star Weekly sangat diminati karena memuat cersil China.[14]
Dikatakan juga, cersil China di Indonesia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: cersil Tionghoa terjemahan buku yang diterbitkan di Hong Kong dan Taiwan serta gubahan penulis Indonesia keturunan Tionghoa. Yang disebut terakhir pelaku utamanya adalah Kho Ping Hoo alias Asmaraman.[15]
Dalam format komik, salah satu cersil pertama adalah kisah legenda Sie Djin Koei pada 1954. Komiknya tak mengadopsi model lianhuantu ala cergam Shanghai awal 1920-an, namun sudah sepenuhnya mengadopsi format komik modern dengan panel-panel terpisah dan balon kata.[16] Menginjak 1960-an terbit komik Buku Angin Kuning atau Pendekar Piatu yang mengambil ilham dari cersil China. Di pasar Indonesia, kata Bonneff, komik Hong Kong mendapat tempat sejajar dengan buku cerita.[17]
Yang turut pula berpengaruh pada komik silat kita adalah film kungfu Hong Kong, Taiwan dan samurai Jepang yang tayang di Indonesia di masa awal Orde Baru, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Ganes TH yang mencipta Si Buta dari Gua Hantu dikatakan meniru komik Hong Kong, atau setidaknya film Jepang. Ganes membantah, mengatakan yang menginspirasinya adalah film Amerika tentang koboi buta yang beraksi dengan tongkat.[18]      
Masa keemasan komik Hong Kong alias manhua di Indonesia berlangsung tahun 1990-an. Saat itu industri komik lokal tengah terpuruk oleh serbuan komik impor. Bila dekade sebelumnya orang Indonesia akrab dengan komik Eropa (Tintin, Asterix, Lucky Luke) dan Amerika (Batman, Superman dll), pada 1990-an mulai menjamur komik Jepang dan Hong Kong. Komik Jepang alias manga ditanadi oleh Candy Candy, Kung Fu Boy dan Doraemon yang diterbitkan Elex Media Komputindo milik Kompas-Gramedia; sedangkan manhua ditandai kehadiran dua karya Tony Wong: Tiger Wong dan Tapak Sakti juga oleh Gramedia. Tiger Wong judul aslinya Oriental Heroes versi 1980-an, sedangkan Tapak Sakti adalah Buddha’s Palm terbitan 1982.
Tahun 1990-an pemainnya bukan hanya kelompok usaha Kompas-Gramedia. Generasi ’90-an penggemar komik pasti akrab dengan manhua terbitan Garuda Mas. Penerbit ini menerbitkan banyak komik terjemahan Hong Kong macam Street Fighter, Crazy Guy, 3 Pendekar, Killer Sword dan macam-macam lagi. Di kebanyakan terbitan itu hanya disebut nama penulisnya, Chris Lau (Lau Ding-gin), padahal komik-komik itu dihasilkan macam-macam komikus: Fung Chi-ming, Li Chi-tat, dan lain-lain.
Jelang pertengahan 1990-an, Garuda Mas menghilang digantikan Rajawali Grafiti. Penerbit ini menerbitkan komik Hong Kong bajakan seperti Dragonman (Dragon Lord) hingga Awan dan Angin (Wind and Cloud) dan Pedang Bara (The Chinese Hero) dua karya legendaris Ma Wing-shing. Selain itu penerbit yang sama juga banyak menerbitkan manga terjemahan tak resmi seperti City Hunter, Dragon Ball, Ranma ½ hingga Tinju Bintang Utara (Fist of the North Star karya Burunson). Tidak sampai akhir 1990-an penerbit ini tak terdengar lagi kiprahnya.
Nasib Manhua Kini di Hong Kong dan Indonesia
Masa keemasan komik Hong Kong baik di negeri asalnya maupun Indonesia berlangsung hingga 1990-an. Di Indonesia malah rasanya masa emas itu lebih pendek: hanya setahun, tepatnya 1992 ketika Gramedia menerbitkan Tiger Wong dkk serta Garuda Mas membanjiri pasar dengan judul-judul beragam.
Penyebab kemunduran relatif sama: serbuan manga ke pasar. Di Hong Kong, dari segi format, manga yang terbit bulanan, hitam-putih, dicetak di kertas biasa dengan tebal 200-an halaman dianggap lebih memuaskan. Sedangkan manhua terbit mingguan, dicetak di kertas art-paper warna dengan tebal 30-40 halaman. Pembaca rupanya lebih memilih baca manga.[19]
Penyebab lainnya adalah abad digital yang mengubah kebiasaan orang membaca di kertas ke perangkat digital, baik komputer hingga handphone. Internet jadi biang keladi utama lantaran menyediakan komik hasil pindai (scan) gratis. Seorang pelaku bisnis komik dan animasi Hong Kong dikutip media setempat mengatakan pada 1995 hingga 2000 industri itu menghasilkan 700 juta dollar HK. Pada 2010, tinggal 300 juta dollar HK.[20]  
Meski tak segurih era 1990-an bukan berarti industri manhua mati. Dari abad digital ini malah lahir komikus indie yang tak menggantungkan diri pada penjualan buku komik. Karena tak mengandalkan selera pasar pula, ekspresi kesenian mereka lebih personal. Yang lahir dari tangan mereka bukan lagi komik kung fu dengan jurus-jurus spektakuler, namun kisah keseharian dan keresahan hidup.  
Yang patut disebut di sini antara lain How Blue was My Valley karya Yeung Hok-tak. Komik ini diterbitkan mandiri pada 2002. Kisahnya semacam memoar pengarangnya tentang kehidupan di rumah susun pemerintah (public housing) pada 1970-an. Gaya gambarnya berlainan sekali dengan manhua umumnya. Di komik ini manusia umumnya digambar seperti bayangan.[21]      
Sayang beribu saying perkembangan komik Hong Kong kiwari tak sampai ke Indonesia. Manhua masih dijual di toko buku. Namun kebanyakan komik kung fu gubahan Tony Wong dan Andy Seto. Manhua Long Hu Men dan beberapa judul lain bisa ditemukan di toko buku kita. Kini pun yang tersisa tinggal manhua terbitan Gramedia. Sempat hadir Kumala Komik dengan judul-judul beragam, tapi menghilang juga tanpa kabar.  
Manhua yang tersisa untuk dinikmati dalam bahasa Indonesia, selain hanya berjenis komik silat, juga harganya relatif mahal. Satu eksemplar dijual sekitar Rp 100 ribu. Bukunya memang tebal (hampir 200 halaman) dan dicetak di kertas art paper kinclong. Bandingkan dengan komik Jepang yang dijual di kisaran Rp 25 ribu.
Harga mahal itu menandakan yang disasar penerbit mereka yang berkocek tebal. Terutama generasi X dan milenial kelahiran awal 1980-an yang ketika kecil tumbuh membaca komik Tiger Wong dan Tapak Sakti yang dijual Rp 2.000 pada 1990-an. Mereka kini memang telah berada di puncak karier masing-masing, berpenghasilan berlebih. Membaca Long Hu Men kini buat mereka punya nilai nostalgis.
Bahaya dari strategi pasar model begini adalah penerbit tak hendak menyasar pembaca baru: mereka yang tak mampu beli komik seharga Rp 100 ribuan. Ini membuat pasar komik Hong Kong jadi elitis dan sempit. Amatilah toko buku. Manhua menyempil di rak sempit, terdesak puluhan judul manga. Begitulah nasibnya kini.***  
  [1] "Avenue of Comic Stars opens in Kowloon Park with statues of characters", South China Morning Post, 29 September 2012, dengan URL: https://www.scmp.com/news/hong-kong/article/1049718/avenue-comic-stars-opens-kowloon-park-statues-characters (diakses 29 Agustus 2018).
[2] Lihat Long Hu Men Guidebook, PT Gramedia, Jakarta, 2013, hal. 87.  
[3] Lihat Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics: A History of Manhua, Princeton Architectural Press, New York, 2002, hal. 11.
[4] Ibid, hal.103.
[5] Ibid, hal. 12-13.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal. 11.
[8] Sally Gao, “An Introduction to Hong Kong Comics”, Culture Trip, 29 Oktober 2016, dengan URL: https://theculturetrip.com/asia/hong-kong/articles/an-introduction-to-hong-kong-comics/ (diakses 6 September 2018).  
[9] Lihat Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics…,hal. 107.
[10] Ibid, hal 67 dan lihat Sally Gao,…  
[11] Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics…,hal. 73.
[12] Ibid, hal. 115.
[13] Lihat Long Hu Men Guide Book… hal. 3.
[14] Marcel Bonneff, Komik Indonesia, Cet. 3, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 115.
[15] Ibid.
[16] Ibid, hal. 118.
[17] Ibid, hal. 120.
[18] Ibid.
[19] Lihat “Japanese Elements in Hong Kong Comics: History, Art, and Industry”, dimuat di URL: http://www.cuhkacs.org/~benng/Bo-Blog/read.php?456 (diakses 6 September 2018)
[20] Lihat Nan-Hie In, "Hong Kong’s comics industry is proverbially in the shreds. The biggest saboteur? The internet", Coconuts Hong Kong, 30 Agustus 2014, dengan URL: https://coconuts.co/hongkong/features/hong-kongs-comics-industry-proverbially-shreds-biggest-saboteur-internet/ (diakses 6 September 2018).
[21] Lihat Jeffrey Mather (2017), “Hong Kong Comics: Reading the Local and Writing the
City”, Wasafiri, 32:3, 79-86, DOI: 10.1080/02690055.2017.1322325, di URL:https://doi.org/10.1080/02690055.2017.1322325 (diakses 6 September 2018).
CATATAN: Esai ini adalah versi belum diedit dari esai yang dimuat Jurnal Ruang dengan URL: https://jurnalruang.com/read/1537275375-komik-hong-kong-kian-elit-kian-sempit.
0 notes