Tumgik
#Peta bumi seorang nelayan
generasbir · 2 years
Text
Peta bumi menjadi dua kubu besar antara Rusia dan Amerika saat perang melawan Nazi Jerman
Peta dunia menjadi dua kubu Besar, INI adalah peta perjuangan dunia yang akan menandai titik balik peradaban. Perjuangan membagi dunia menjadi dua kubu besar: mereka yang mendukung kita (dalam berbagai derajat) dan mereka yang melawan kita (juga dalam berbagai derajat). Di antara ekstrem-ekstrem ini ada yang netral, ada yang condong ke satu arah, ada yang lain. Semua gradasi ini dijelaskan dalam kunci di halaman yang berlawanan.
Beberapa poin penting mengenai peta ini harus diperhatikan. Yang pertama adalah bahwa seluruh konflik berputar di sekitar A.S. Ini bukan hanya karena penempatan A.S. di pusat penyebaran: melainkan terletak pada sifat perjuangan. AS adalah poros (a) karena posisi geografisnya, yang merupakan pusat lautan; selengkapnya klik dibawah 👇.
0 notes
tuanpoetry · 4 years
Text
Varsha Karuarindu
Oleh @aksamoksa​ dan @tuanpoetry
Tumblr media
Semestinya tidak begini, Juni, harusnya menjadi bulan yang panas dan membakar. Karena tepat bulan ini, matahari berada di sekitar garis balik lintang utara. Juni kali ini lain, berbeda! Memasuki bulan ini, hujan begitu deras dan berani menumpah-luruhkan dirinya, kontras dengan yang tertulis di buku pelajaran; harusnya ini musim kekeringan, musim kemarau.
Sudah terasa – terutama ketika aksara ini tertoreh kata demi kata – udara dingin menyelusup ke sum-sum tulang, mekanisme tubuh mengolah dirinya sendiri supaya tetap terjaga dalam kehangatan. Kali ini pikiranku sedang membeku karena dingin. Tapi hatiku, aih! Kini dia tengah hangat-hangatnya. Ketika ricik hujan luruh dari rahim semesta, kebekuan yang mengudara nyatanya mencairkan kenangan jiwa. Dalam hal ini, hujan adalah paradoks yang lucu serta jenaka.
Tatkala langit bocor, dan gerombolan bulir hujan menyerbu bumi, keganjilan hujan bulan Juni bukan lagi petaka bagiku yang kebingungan ini. Sebab rerumputan di belakang rumah telah dia basuh, sebab dia memberikan nyawa kepada bunga yang nyaris layu di pekarangan taman, dan barisan pohon yang mulai langka di perkotaan, bisa bertahan hidup dari bencana kekeringan. Meski hujan tidak juga sepenuhnya berkah – seringkali dia berlaku jahil. Betapa kerap seseorang dengan waktu yang singkat mendadak jadi sentimental karenanya.
"Pernahkah kau bercakap-cakap dengan hujan?"
Ada setetes bulir, bagian dari hujan bulan Juni, yang begitu istimewa bagiku. Ketika teks ini tengah berjalan, dia tersangkut tepat di jendela kamar. Seketika kudengar riciknya seperti membisik: "aha! Kutemukan kau!"
Akupun menjemput sebutir hujan yang baru saja menyusuri pengembaraan panjang. Kubawa dia masuk, kujamu dia bak raja – segalibnya kita menjamu tamu sesuai sunnah rasul. Kuseduh kopi, dan memantik api, menyalakan sebatang marlboro merah di kamar kost sempit ini. Sudah kusiapkan hati dan imajinasi sebagai proyektor, dan hujanpun berhikayat, lalu jiwaku tenggelam dalam ingatan hujan.
"Sebelum jatuh disini, aku tengah terombang-ambing dalam ketidakjelasan waktu dan ruang. Awalnya aku dan teman-temanku lain berhimpun dalam sebuah gugusan awan. Kami kadang membentuk awan menjadi sebuah pola, agar elok dipandang, dan membangkitkan gairah berimajinasi anak-anak. Kadang kami meniru wujud gajah, kadang kuda, kadang burung."
Ketika itu hujan berkisah dengan amat teduh, matanya aktif menyisir langit-langit ruangan seakan merekonstruksi balok demi balok ingatan yang menyenangkan itu. Aku sendiripun teringat masa kecil. Sehabis mengejar layang-layang yang putus, aku dan teman-temanku gemar membaringkan diri di rerumputan. Sembari melayangkan tatap ke arah awan, dan mengukir garis demi garis imajinasi, membentuk ruang dan waktu pada dunia yang serasa hanya milik kita sendiri.
Hujan melanjutkan kisahnya. Kali ini dengan agak murung dan menundukan muka,
"Tapi demi bersauh kemari, kerapkali tidaklah mudah. Aku harus menguap dan mengembun berkali-kali; tersuling dari laut asin menjadi awan mendung atau merembes dari kawanan awan ketika terjadi turbulensi di udara, hingga ditarik oleh gravitasi bumi; aku harus mengalami siklus yang disebut kondensasi secara terus menerus."
"Kadang aku dan kawan-kawanku terpaksa mengerubuni birai-birai karang. Seketika itu kami harus meminta maaf padanya, karena telah meruncingkan wujud mereka sehingga terlihat menakutkan di mata para nelayan."
"Di lain waktu, bila cuaca sedang tidak bersahabat. Kerapkali kami dinilai ganas dan kejam. Misalnya ketika angin sedang kencang, langit terlihat muram dan sedih, turbulensi di udara menjadi-jadi, halilintar menggeletar; badai tidak terhalangi lagi. Tidak ayal, langit penuh huru-hara bagai orchestra alam semesta. Rumah warga amblas dikarenakan banjir menggusur suatu pemukiman, lalu lintas perkotaan mengalami macet total, bayi-bayi polos menangis sekuat-kuatnya hingga membuat kami bergidik gemetar. Acapkali ketika itu terjadi, kami biasanya dijadikan objek kutukan serta sumpah serapah. Padahal di ujung dunia lain, dimana pedesaan dikelilingi gurun tandus, kami biasanya dipuja bahkan disembah layaknya berhala."
"Manusia memang membingungkan," hiburku pada bulir hujan yang syahdu itu.
"Manusia suka menanam laut dalam proyek reklamasi, alibinya supaya kota tertata rapi dan elok dilihat. Disisi lain, begitu banyak sampah yang menggunung di sudut-sudut kota pun perkampungan, gorong-gorong sudah penuh dengan bau busuk dan bacin akibat ulah manusia. Kita begitu tidak peduli dengan perubahan iklim serta pengaruhnya terhadap proses simbiosis umat manusia serta keberlangsungan ekosistem. Tetapi kita mengutuk apa yang dibalas alam atas ulah kita sendiri. Manusia memang menggelikan. Dan kau, hujan, tidak perlu sedih. Terkadang kami pantas menerimanya."
Setelah bulir hujan itu lega karena aku bisa memahami posisinya, dia kembali melanjutkan hikayat,
"Perjalanan ini menyita waktu sangat panjang dan melelahkan bagiku. Proses kondensasi terus menerus begitu menyiksa. Sekarang aku mengerti, bahwa metamorfosa ulat menjadi kupu-kupu, adalah proses yang sangat menyakitkan. Transformasi bentuk, dari uap ke cair dan sebaliknya, adalah proses perubahan metamorphosis yang melelahkan dan menguras tenaga."
"Di sela-sela petualanganku, seringkali aku dihibur oleh sekawanan hujan yang sama-sama membawa pesan untuk tuannya. Seringkali senja yang semburat memancarkan bahasanya lewat pendar-pendar keemaasan dan berwarna jingga kekuning-kuningan di hamparan laut, sembari menceramahi: 'akupun tau, selaku pembawa pesan gembira maupun duka, kesetiaan menanggung amanah adalah sebuah kehormatan bagi makhluk kosmos sepertiku. Maka hapus kesedihan di wajahmu hujan. Tetaplah maju, sampai kepada alamat yang kau tuju'."
"Terkadang aku juga terlibat percakapan dengan para nelayan. Saat itu kebetulan aku menyatu dengan perairan. Setelah capek bermain dengan gulungan ombak yang berkejaran, aku menghampiri seorang lelaki tua berbadan legam dengan caping dikepalanya. Dia tengah asyik menjaring ikan di tengah samudera, dia berceloteh pelbagai perkara kehidupan: 'aku akan bersauh, kemanapun ikan pergi berenang, meski itu sejauh menempuh horizon, hingga layar sampanku tenggelam dalam pandangan bibir pantai. Dan tidak ada secuilpun getir bersemayam dalam batinku. Sebab aku tahu, kecintaan akan rumah, menuai harga atas ikan yang kutangkap demi keluarga, adalah pedoman sejati bagi pengembara lautan manapun.' Tutur kakek berbadan legam dan bercaping itu."
Seraya memekarkan senyum dipipinya,
"Aku percaya, bahwa rindu adalah kompas yang tidak mungkin berdusta. Dan doa-doa senantiasa jadi suar penerang perjalanan menuntun ke arahmu. Hari demi hari, aku mengembarai belantara samudera dan pulau-pulau Nusantara untuk mengantarkan pesan padamu."
"Ketika aku membagi kisahku pada semesta, mereka langsung memahami perasaanku. Mereka juga mahfum, betapa menyakitkan rindu yang tak terbalas dan tak bernama. Sebagaimana semua makhluk merindukan haribaan sang Pencipta. Semestapun menyalakan simfoninya, meletakan rindu sebagai komposisi utama dalam teater universal alam raya. Tugasku hanya menyesuaikan tarian dengan irama. Dan rindu yang kubawa sebagai pesan, ialah peta perjalanan menuju ke pucuk tujuan."
"Aku hanyalah setetes hujan, yang bereinkarnasi dari air yang tumpah di mata seorang perempuan yang menunggumu. Aku adalah sebutir air asin yang lahir dari hati yang rapuh dan rikuh karena diterkam rindu yang tajam, diluapkan oleh jendela matanya, sembari gemetar menggenggam doa yang hendak dia serahkan kepada Tuhan, 'tolong bantu dia, untuk cepat pulang',katanya, 'aku rindu dia, Tuhan'."
"Bagaimanapun juga kita tidak mungkin bisa mengelak. Bahwa air mata yang tumpah karena laranya merindu, jauh lebih asin dari samudera; jauh lebih pahit dari kopi tanpa gula. Barangkali aku yang tumpah dari balik bilik dadanya, adalah bagian dari hati yang tersayat pedih: Tatkala ruang dan waktu bersekutu, terciptalah skenario konspirasi. Rindu mendadak menjelma jadi silet, dia mengiris kalbu. Meski bukan darah yang mengucur, tapi aku."
"Lalu aku tersimpuh di lantai. Ketika fajar tiba, sedikit hangat cahaya sudah cukup membantuku menjelma jadi uap, lalu mencari celah menyelinap keluar rumah, agar kemudian bersatu dengan sekawanan awan, yang membawa berita rindu dari Riau, ke Sulawesi Utara."
Sebulir hujan telah selesai dengan kisah perjalanannya. Sebulir hujan telah sampai pada ranum yang dituju rindu, telah sampai pada hati yang teriris syahdu. Sebulir hujan yang dingin memelukku hangat. Mengirimkan peluk untuk peliknya dunia seorang anak manusia yang hatinya hanya mencintai seorang wanita. Wanita yang sering ku sebut candu untuk canda yang jarang bertamu. Wanita yang sering ku sebut raga tanpa hati. Jiwa yang ingin sekali ku hidupkan kembali. Bahkan ketika wanita itu menyakiti, aku tetap kembali. Aku bergumam kecil pada hujan,
"ia adalah aku, cerminan diriku, sebagian dirinya adalah aku, ada aku didalam dirinya yang entah bagaimana bisa kutemukan tanpa sengaja, seperti semesta memang sudah merencanakan ini jauh sebelum kami dilahirkan."
Setelahnya, bulir hujan itu melanjutkan pesan rindu terakhir dari tuannya.
"Tatkala pada suatu waktu aku menelisik lebih dalam pada dada yang menimang rindu itu. Kau tidak pernah tahu, mungkin saja hanya cinta yang bisa begitu rumit. Beda bagi seorang raga bertubuh mungil itu. Aku membawa rindu tapi aku tahu tak hanya itu yang ia simpan rapat-rapat. Aku minta untukku bawa namun ia menolak. Ia menangis. Menyayat-nyayat nadir yang biru ke permukaan epidermis. Kata perempuan itu 'Cukuplah rindu ini kau bawa padanya. Cukuplah kasih ini kau sampaikan padanya. Cukuplah peluk ini kau antarkan padanya. Bagian selain dari rinduku untuknya, biar aku saja. Cukup aku saja..'"
73 notes · View notes
bandhumanhistha · 4 years
Text
Terraform
Tumblr media
Is a seed that brings you to life
Immerse pain and tenderness
Make an impression between right and wrong
Drowning sorrow
Change happiness
And let me terraform it to the biggest civilization
            Di penghujung timur semesta Omar terus saja mendayung perahunya menuju obsesi liarnya menuju tanah antah berantah. Dia terus berkata kepada angin “ kemanakah engkau membawa tubuh yang kehilangan ini ”. Lantas menghardik ombak yang terus saja membuatnya terombang – ambing selama seminggu.
  “ Aku akan membawamu pada apa yang tak kau cari ” Jawab angin.
 “ Tidak , kau tak bisa melakukannya ” seru Omar.
 “ Kenapa tidak, aku yang punya kuasa disini, dan aku akan menyuruh ombak       mendorong perahu mu secepat mungkin menuju balik cakrawala, dimana kau     akan menemukan fitrahmu sebagai manusia.”
             Perahu terus saja melaju dengan Omar yang terbaring lemas di dalamnya. Ia buka stock perbekalan yang mulai menipis. Dan lambat laun Ia mulai terlihat frustasi setelah hampir satu bulan terombang-ambing di laut lepas.
           Omar adalah manifestasi dari sosok manusia dengan ambisi dan obsesi yang meluap-luap. Ia kabur dari desa nelayan di ujung barat samudra setelah mendengar desas-desus bahwa  seorang Pelaut dari Pulau Sebrang menemukan peta menuju pulau misterius dimana terdapat emas yang melimpah dan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi yang dihiasi oleh beragam flora dan fauna yang tidak pernah ditemukan di tempat lain selain di pulau tersebut.
           Semacam tanah yang dijanjikan menurut mitologi kuno. Dan tentu saja hal tersebut membuat Omar tergoda untuk melakukan pengembaraan menuju pulau tersebut dan keluar dari desanya yang miskin.
           Namun terdengar pula kabar jika Sang Pelaut dari Pulau Sebrang tersebut belum kembali setelah 20 tahun kepergiannya. Dan kabar itupun tak menciutkan sedikitpun nyali Omar untuk berangkat. “ Lebih baik aku mati diterjang ombak di lautan namun dikenang sebagai petualang seutuhnya, daripada mati dengan damai di desa namun hanya dikenang sebagai nelayan miskin.”
           Perbekalan pun habis , dan Omar pun hanya terduduk lesu di dalam perahu menanti ketidakpastian dan kemungkinan-kemungkinan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Ia ambil jorang pancing dan mulailah Ia coba peruntungannya di tengah laut.
           Dua jam berlalu tak satupun ikan yang mengenai kailnya. Tiba-tiba kelopak matanya yang keriput dikejutkan dengan sebuah benda yang terapung-apung ditengah lautan. Ia coba arahkan perahunya menuju benda tersebut dan ditemukannya sebuah botol dengan sesuatu di dalamnya.
           Adalah sebuah benih yang terdapat dalam botol tersebut. Entah benih apa namun Omar tampak kecewa karena menurutnya tak ada pengharapan yang bisa Ia dapat dari benih tersebut. Ia pun melempar kembali botol berisi benih tersebut ketengah laut.
           Namun hati kecil Omar seolah membujuknya untuk kembali kepada benih tersebut. Kembali Ia arahkan perahu tersebut menuju botol yang dibuangnya tadi. Diambillah botol tersebut dan disimpannya botol itu ke dalam tas perbekalannya. Hari itupun Omar tertidur pulas dengan perut keroncongan dan harapan yang sirna.
           Keesokan harinya Ia dibangunkan dengan goncangan dari perahunya. Ia merasa bahwa perahunya telah membentur sesuatu. Alangkah terkejutnya Ia , ternyata perahu itu membentur sebuah batu di tepian pantai. “ Demi lautan ! akhirnya aku menemukan pulau ” serunya.
           Ia coba menyusuri pulau tersebut dengan tubuh sempoyongan karena lapar dan haus. Ia tembus semak belukar penuh duri . Tiba-tiba matanya yang lesu berbinar memancarkan sinar setelah dilihatnya pemandangan yang tak pernah Ia duga dan diluar ekspektasinya sama sekali.
           Sebuah air terjun raksasa nan indah dengan sungai mengalir jernih dibawahnya dengan ikan-ikan berloncatan di setiap arusnya. Dihiasi dengan berbagai pepohonan rindang dengan buah-buahan yang melimpah di setiap sudutnya. Dan setelah Ia coba buah dari pepohonan tersebut , ternyata rasanya sangatlah manis tak terkira.
           Ia semakin terkejut karena dibalik pepohonan tersebut ternyata Ia temukan gundukan emas yang sangat tinggi melebihi barisan pepohonan. Matanya berbinar memancarkan sinar yang memantul dari cahaya yang dipancarkan oleh gundukan emas tersebut.
           Kemudian Omar berkata kepada angin “ Hei lihatlah, kau tidak bisa menggagalkan rencana ku, akhirnya kutemukan pulau ini dengan segala yang melimpah didalamnya ”. Angin pun hanya terdiam tanpa kata seraya meniup-niup setiap dedaunan di pohon.
           Omar pun menghabiskan hari-harinya di pulau tersebut untuk bersantai dan memakan setiap hasil bumi yang ada didalamnya. Ikan-ikan Ia tangkap dengan jumlah yang banyak, buah-buahan di pohon Ia kumpulkan dengan jumlah yang banyak pula dan semuanya Ia makan dengan rakus. Ia juga menghabiskan hari-harinya untuk berburu fauna langka di hutan untuk Ia cicipi bagaimana rasa dagingnya.
           Saat melakukan perburuan di dalam hutan Omar pun melihat sebuah gubuk yang tak terawat. “ Jangan-jangan ini adalah gubuk Pelaut dari Pulau Sebrang yang hilang itu ” gumamnya dalam hati. Ia coba telisik ruangan dalam gubug kecil tersebut dan yang Ia temukan hanya sebuah kertas kecil di dalam kotak kayu yang penuh lumut dengan tulisan :
Jangan kau biarkan ego mengalahkan kebajikan
Apa yang kau ambil harus mampu kau kembalikan
Jiwa yang serakah hanya akan membuatmu hancur lebur
Apa yang kau tanam itulah yang akan kau tuai.
             Ia biarkan tulisan itu tergeletak pada tempatnya dan kembali mencari hewan buruannya di hutan. Dan hari itu Ia tutup perburuannya dengan memasak dan memakan daging hewan buruan sepuasnya. Setelah makan malam yang memuaskan tersebut, terbesit pikiran untuk membawa emas dalam jumlah yang besar ke tempat asalnya dan kembali kesana sebagai saudagar kaya raya. Pikiran tersebut pun membuat hati Omar bahagia setelah membayangkan bagaimana Ia akan dielu-elukan orang saat kembali dengan membawa perahu yang terisi emas sepenuhnya.
           Malam itupun Ia tertidur dengan pulas. Dalam tidurnya Omar bermimpi didatangi sesosok Putri yang sangat cantik jelita. Putri cantik tersebut datang dari arah kegelapan dan perlahan berjalan menghampiri Omar yang hanya diam terpukau.
           Pada tangan kanannya Putri tersebut memberikan sebuah benda yang ternyata adalah sebuah botol berisi benih persis seperti yang ditemukan Omar ditengah lautan. Setelah benih tersebut Ia genggam pada tangannya , perlahan Putri Cantik itupun berjalan meninggalkan Omar dan seketika Omar pun terbangun dari tidur lelapnya.
           Dan betapa kagetnya Ia karena saat terbangun dari tidur lelapnya Ia hanya menemukan hamparan tanah kosong tanpa barisan pepohonan dan mahkluk hidup di pulau tersebut seperti sediakala. Omar yang sangat marah melihat kejadian tersebut pun mengumpat dan berteriak  sejadi-jadinya bagaikan hewan buas yang kehilangan mangsanya.
           Tiba-tiba pusaran angin yang besar datang menghampiri Omar. Angin itu pun berseru pada Omar “ Hei, Anak Manusia yang serakah. Selama ini hatimu dipenuhi obsesi dan ambisi yang mengalahkan kebajikan didalamnya. Kau hanya bisa mengambil tanpa mengembalikan ataupun memberi, dan Kaupun hanya bisa merusak tanpa memperbaiki. Sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk memberi dan mengembalikan. Segera ambil benih dalam perahumu dan mulailah menyemainya menjadi sebuah kehidupan baru ”.
1 note · View note
iksanharis · 4 years
Text
Bertahan di Pulau tidak berpenghuni (1)
Sungai Tuweley membelah kecamatan Baolan menjadi dua kelurahan, Tuweley dan Panasakan. Ironi memang karena sungai ini merupakan sumber air bersih satu-satunya di dalam kota yang dikelolah PDAM Ogomalane  untuk dialirkan kerumah-rumah warga, yang akan berubah menjadi malapetaka ketika hujan deras seharian turun lalu menggenangi rumah-rumah warga yang berada dibantaran sungai atau di titik yang lebih rendah, salah satunya kelurahan Panasakan.
“Kalau musim kemarau, coba main-main ke hulu sungai diatas, airnya jernih dan udaranya segar.” Sahut mas Ardi sambil mengelus-elus mainan vespa di meja kerjanya.
“Oke mas, kami mau main ke Pulau saja dulu.” Kataku mantap, membayangkan pulau Kabetan yang tampak memanjang seperti Peta Jepang dari atas pesawat ATR pertama yang kutumpangi dulu ke Tolitoli.
“Hah. Bermalam? Sama siapa? Jangan berani-berani ke Pulau bulan Desember, cuaca lagi tidak bagus begini, nantipun kalau mau ke pulau sebaiknya ajak orang lokal.” Nasihatnya sama seperti Oma Poe dulu waktu kami mau menikmati libur semester di kota Tomohon.
Rencana yang sudah kubuat matang-matang, dan sebenarnya sudah kutahan jauh-jauh hari tak boleh tertunda lagi. Seminggu sebelum keberangkatan, setiap sore saya merapat ke Tanjung batu untuk menanyai nelayan perihal kapal-kapal yang akan berangkat menuju Kabetan. Peralatan kami sudah siap, Hoga sudah mempersiapkan tenda dan kompor serta peralatan yang dibutuhkan selama libur natal di pulau (dari semua orang yang kuajak ke pulau, cuma Hoga yang berani dan bersedia, dengan pesimistis sebenarnya mengingat ia sering berubah pikiran akhir-akhir ini).
Hari yang ditunggu telah tiba, namun sayangnya pagi itu angin kencang dan hujan turun begitu deras, nelayan yang akan berangkat ke rumahnya di pulau kabetan mengabari kami untuk menunggu hingga cuaca berubah cerah. Kami harap-harap cemas pada cuaca sembari menunggu di pos satpam.
“Cuma kalian berdua?” Tanya Benyak, satpam tua di kantor kami dengan ekspresi tidak biasa yang kubalas dengan anggukan seadanya, mataku menatap daun-daun berguguran di terpa angin dan hujan di jalanan, berharap segera reda.
Dua jam kemudian cuaca menjadi cerah, angin diajaknya berdamai. Pak Nurdin, nelayan yang akan mengantarkan kami ke Pulau Kabetan mengabariku untuk bersiap-siap. Pukul 10.55 kami sudah berada diatas kapal kecil, ada sepuluh orang, empat diantaranya wanita, kebanyakan dari mereka membeli kebutuhan sehari-hari di pasar Susumbolan sambil berjualan hasil bumi dari pulau Kabetan, terlihat juga seorang gadis muda berseragam SMA yang harus menempuh perjalanan laut setiap harinya, 45 menit di kapal yang bising ini pikirku, suatu perjuangan yang harus diapresiasi.
Setelah mengantarkan penumpangnya turun di Pulau Kabetan, tampaknya kami sepakat untuk merubah rencana yang awalnya ingin menginap di pulau kabetan menjadi menginap di Pulau Buol yang mungil, tanpa sumber air tawar dan tidak berpenghuni.
Setelah kami berlabuh, waktu seakan diperlambat. Saya dan Hoga sepakat untuk tidak saling mengatur satu sama lain, kami punya itinerary bebas hari ini. Saya berencana untuk mengelilingi pulau, membersihkan area tenda kami dari sampah plastik, dan tentunya snorkeling. Sementara Hoga sepertinya ingin tidur siang dulu, rencana selanjutnya belakangan.
Tumblr media
1 note · View note
perempuanbanyu · 7 years
Text
Memburu Saturnus di Boyong
Tumblr media
Derik lambat roda si hitam tua menggerus jalan lingkar luar Yogyakarta dari Selatan menuju ke Utara. Tigapuluhempat kilometer yang harus ditekuni dengan lambat.
15 Juni 2017, tersimpan di gawai sebelumnya, informasi mengenai posisi Saturnus yang berada satu garis lurus dengan Bumi dan Matahari. Kita bisa melihat cukup jelas kilau oranye planet dengan cincin menawan itu di langit timur, dari Bumi. Kebetulan, saya mendapat kupon menginap gratis dari Zen Rooms karena memenangi sebuah kuis tempo lalu.
Setelah saya cari-cari melalui aplikasi, akhirnya memutuskan untuk menginap di Zen Rooms Boyong, Kaliurang Barat. Ah, ini tempat yang pas untuk memburu Saturnus dengan hawa sejuk pegunungan. Toh, sekalian tamasya mencari suasana baru. Sudah beberapa hari ide menulis mentok, sedangkan saya punya kewajiban personal untuk meyelesaikan tugas tulisan tentang trip ke Nusa Tengara Barat yang telah lewat. Barangkali ide muncul dengan derasnya di tempat yang lebih segar dibanding rumah, pikir saya saat itu.
Memasuki Jalan Boyong, rintik turun dengan lembutnya. Turun bersama kabut yang juga tipis. Kami—saya dan seorang teman—berhenti sebentar, melihat peta eletronik di gawai, duasetengah kilometer lagi sampai, dan si hitam harus terus melaju dengan sabar.
Limabelas menit berselang, akhirnya kami tiba di Zen Rooms Boyong. Sempat bingung menemukan lokasi hotel, karena tidak ada papan nama Zen Rooms di hotel, hanya ada penanda nama hotel itu sendiri. Setelah memastikan melalui aplikasi, kami masuk menuju halaman hotel.
Hoopla! Kami tiba di Akasa Hotel. Turun dari motor, berjalan seraya mengelus si hitam pada gagang besi belakang sambil berujar, “Aih, terima kasih hitam.” Si Teman senyum-senyum geli melihat perlakuan saya kepada motor yang setia menemani saya sejak tahun 2003.
Setelah urusan administrasi selesai, kami masuk ke dalam kamar. Melihat keadaan kamar yang cukup baik, dua tempat tidur, satu besar yang lainnya lebih kecil; barang-barang di meja yang semua berwarna merah dan jumlahnya sepasang; kantong tas yang berisi sikat gigi beserta pasta, buku catatan kecil dan pena. Ada pula cangkir putih dengan teh dan gula kemasan, teko pemanas air, dua botol air mineral dengan tatakan gelas bulat berwana merah dengan kutipan Dalai Lama yang begitu saya suka, “Once a year, go someplace you’ve never been before.” Ya, pergilah dan berjalanlah ke tempat-tempat baru, masuk ke dalamnya, berbaur dengan masyarakatnya, karena barangkali, ada sesuatu hal yang bisa mengubah hidup kalian.
Tumblr media Tumblr media
***
Saya berjalan keluar kamar untuk melihat area luar hotel. Kamar berjajar entah berapa jumlahnya, tidak menghitung. Semua kamar menghadap ke taman tengah dengan dua pohon kamboja. Rumput-rumput semerbak hijau membuat permadani sendiri dengan dahannya. Di luar pagar, sebuah rumah tua berdiri kokoh, berusaha tak ingin lekang oleh jaman. Di ujung sana, Merapi pun tidak ingin ketinggalan untuk menjadi bagian yang bisa dipandang mata dari halaman tengah hotel.
Kembali masuk ke kamar, saya merebahkan tubuh di tempat tidur, menyalakan televisi, tidak ada acara yang menarik. Teringat saya akan tujuan ke tempat ini: mencari ide menulis. Saya bergegas menggambil komputer lipat di tas.
“Langsung menulis?” tanya si Teman. Saya mengangguk mengiyakan dan menjawab, “’Kan memang tujuannya mau menulis.”
“Bukannya ingin melihat Saturnus?” ia bertanya lagi penasaran. “Itu juga.” jawab saya kemudian.
***
Duduk di atas tempat tidur, menyalakan komputer lipat, mencari fail tulisan terakhir tentang Pulau Moyo. Saya membaca sekilas kembali tulisan yang sudah dua hari ini tidak tersentuh. Macet total. Melihat jumlah kata di sudut kiri bawah, duaratustujuhpuluhtujuh. Masih dibutuhkan lebih dari seribu kata sehingga layak disebut satu artikel. Si teman juga duduk  dan bersandar pada kepala tempat tidur seraya menonton televisi entah acara apa.
Saya mulai mengetik beberapa kata. Perjalanan dari Sumbawa menuju Pulau Moyo menjadi bahan tulisan kali ini. Cukup lancar ternyata. Benar dugaan, suasana baru membuat ide lebih mengalir.
Lalu saya beranjak dari tempat tidur dan berjalan mengelilingi kamar, mencari inspirasi kembali. Membuka tirai jendela, melihat pemandangan luar: tidak ada apa-apa. Hanya tembok tinggi dan ujung-ujung atap bangunan sekitar dan pohon-pohon bersela di antaranya. Kabut cukup tebal.
Selesai dengan jendela, saya menuju meja yang pertama tadi. Menuang air kemasan ke dalam teko pemanas dan menyalakannya. “Mau kopi?” tanya saya kepada si Teman. Ia mengangguk mengiyakan.
Menunggu air masak, saya berjalan menuju tempat tidur dan duduk di tepian. Melihat acara televisi yang sedang disaksikan si Teman. Tidak menarik.
Saya kembali berjalan ke meja, air belum masak. Duduk pada kursi di samping meja dan membuka kantong tas dan mengeluarkan isinya. Lumayan dapat buku catatan dan tatakan gelas. Omong-omong soal buku catatan, benda itu termasuk barang yang menjadi koleksi di rumah. Kalau kebetulan menemukan buku catatan dengan gambar yang lucu-lucu, saya pasti membeli. Pernah suatu saat, saya diberi buku catatan dengan gambar sampul Union Jack oleh seorang teman. Bahagia bukan kepalang.
Buku catatan menjadi penting untuk seorang pelupa seperti saya, dan selalu berada di dalam tas, kemana saja saya pergi. Saya selalu mencatat perihal apa saja di buku kecil itu. Acap kali terjadi, ketika sudah hendak tidur, lalu tiba-tiba ada ide tulisan atau apapun terbang di kepala, dan malas membuka komputer lipat, saya menuliskannya di situ. Benda penyelamat.
Setelah air masak, menyeduh kopi kemasan yang, kebetulan sekali, dibawa dan membawanya ke atas tempat tidur, menyesapnya sekali lalu melanjutkan menulis.
Seperti sulap, jemari tanpa henti mengetuk-ngetuk di setiap huruf pada komputer lipat, membentuk kata, membentuk rangkaian kata. Kafein memang selalau berhasil menjalankan tugasnya. Mengingat-ingat kembali rasa takut yang mengelayut di tengah Laut Flores kala itu. Dua jam di atas sebuah kapal nelayan menuju Pulau Moyo. Dua jam melawan ketakutan akan laut, takut tenggelam, takut mabuk, takut hanyut. Brengsek! Di laut tidak bisa hanyut, Wid! Dua jam bersumpah serapah pada hantaman ombak dua meter. Aish, sekalipun saya tidak akan bisa melupakan cerita itu.
Sesekali berhenti untuk menyesap kopi yang cepat sekali menjadi hangat, lalu jari kembali menggelitik dengan gemulai. Membentuk kalimat, membentuk rangkaian kalimat. Kopi tersesap lagi, kembali membentuk paragraf, membentuk rangkaian paragraf, sehingga hilang rasa takut dan akhirnya cerita selesai dengan seribulimaratusduapuluhempat kata, dan berlabuh di Pulau Moyo. Luar biasa.
Saya melirik arloji di gawai, waktu menunjukkan pukul limatigapuluh sore. Saya bergegas keluar kamar, katanya Saturnus bisa dilihat pada jam-jam Matahari beranjak ke ufuk Barat. Tanpa alas kaki, menapaki pekarangan tengah hotel, berjalan mengitarinya seraya melihat ke langit, mencari bintang yang, katanya, memancarkan sinar oranye itu. Tidak ada tanda-tanda. Langit masih menyisakan warna biru. Saya kembali masuk ke dalam kamar dengan perang dingin dalam hati, mungkin menungu langit lebih gelap sedikit.
“Bisa terlihat Saturnusnya?” tanya si Teman yang sedari tadi tidak berubah posisi. “Tidak. Belum mungkin.” jawab saya singkat.
Bersila kembali di depan layar, saya mencoba membuka lembaran baru untuk menulis lagi. Kopi masih ada setengah. Satu paragraf pun belum selesai, di kepala hanya gundah akan Saturnus yang belum muncul. Membuka kembali artikel di gawai tentang munculnya planet terbesar kedua itu, membaca ulang, Saturnus bisa disaksikan sampai tengah malam, begitu tulisnya. Masih ada waktu.
Saturnus adalah planet favorit saya. Pada catatan kaki surat elektronik di gawai, saya menuliskan “Sent from Saturnus”. Pernah suatu saat, seorang teman bilang, “Kalau dapat email dari Mbak Widi itu berasa lagi terbang di angkasa, sent-nya dari Saturnus,” setelah ia mendapatkan sebuah surat elektronik dari saya.
Saya begitu terbuai akan cincin indahnya. Cincin yang katanya berupa kumpulan debu dan es, beterbangan, memutari planet yang, kalau dilihat dari foto-foto, berwarna kuning hampir oranye. Ingin rasanya pergi mendekat, melihat lebih jelas planet beserta cincinnya itu berotasi, bahkan kalau bisa, melewati, menembus cincin, lalu mendaratkan pesawat di Saturnus. Ah, kau, Wid, berkhayal saja kerjanya. Tidak bisa mendarat di Saturnus! Planet itu hanya berupa gumpalan gas. Yang ada kau masuk terjerembap sampai ke inti. Bodoh!
Ketika menulis ini, saya teringat akan cita-cita semasa kecil dulu: ingin menjadi astronot. Bisa pergi ke luar angkasa, menengok Bulan, Saturnus, bahkan ingin ke Pluto. Iya, Pluto!
Lalu, setelah lulus SMA, untuk menggapai cita-cita itu, saya terpaksa mengikuti SPMB, mendaftar di Institut Teknologi Bandung, memilih Program Studi Astronomi. Saya pasti tertawa kalau mengingat cerita ini, apa hubungannya ingin menjadi astronot dengan Program Studi Astronomi, Wid? Pikir saya waktu itu, masih ada hubungan antara astronomi dan astronot, sama-sama ada “astro”-nya. Tapi saya sungguh-sungguh tidak tahu harus bagaimana, pokoknya jadi astronot! Titik. Dan kalau dipikir-pikir lagi sekarang, betapa bodohnya saya dulu.
Sekarang, saya bukan seorang astronot. Cita-cita saya kandas. Bagaimana tidak, ujian SPMB saja saya tertidur. Tapi, ada bagusnya juga saya gagal menjadi Matt Damon di film Martian, karena kalau iya, Indonesia mungkin malu punya seorang astronot bodoh seperti saya.
Kembali ke tulisan, petang itu saya masih mengamati satu paragraf yang tidak beranjak banyak itu. Macet total. Lagi. Mungkin karena lapar. Menghabiskan seperempat cangkir kopi, keluar kamar lagi, menengok, barangkali Saturnus sudah muncul. Melewati si Teman yang sedang merokok di teras kamar, mengitari pekarangan dengan telanjang kaki, mencari sosok planet gas itu,
Si Teman penasaran melihat saya berputar seraya melihat langit, kemudian ikut mencari. Dia bertanya, “Yang mana Saturnus itu?” tanyanya kepada saya hendak membantu mencari Saturnus. “Kamu cari Bulan, lalu lihat sekelilingnya. Kalau ada bintang tidak berkelip berwarna oranye, itu Saturnus.” jawab saya memberi keterangan.
Tidak puas dengan satu tempat, saya yang, diikuti si Teman, menaiki anak tangga menuju bangunan restoran. Masih tanpa melihat ke bawah. Tiba-tiba saya terkejut karena merasa menyentuh sesuatu pada kaki. Astaga! Saya melompat terkejut sekenanya. Kodok besar sekali. Saya hampir menginjak kodok. Sontak kami tertawa bersama.
Saya berjalan menyisiri kolam ikan depan restoran. Kepala masih mengadah ke atas. Kemana kamu Saturnus? Ada beberapa bintang kerlap-kerlip di angkasa. Tidak, Saturnus tidak bekerlip, begitu artikel itu menulis.
Saya beralih mencari Bulan kembali, untuk mempermudah navigasi. Tidak terlihat juga. Saya terus berjalan mengitari bangunan restoran hingga sampai di halaman depan hotel, mengaba-aba di mana arah Utara, Timur, Selatan, dan Barat. Nihil! Saturnus tidak muncul. Jangankan Saturnus, Bulan pun yang tiap malam dengan gempita menemani Bumi, tiba-tiba menghilang dari peredaran. Apakah dia sudah kehilangan gravitasi? Atau, mungkin dia sudah bosan mengelilingi Bumi. Bulan mau berjalan sendiri mengitari Matahari tanpa Bumi. Kiamat sudah!
Krucuk-krucuk perut terdengar sampai telinga. Rupanya lambung sudah bosan hanya diisi air melulu, ia minta makan. Kami juga sudah berniat untuk makan di Warung Poci Astomulyo, salah satu kedai teh poci Kaliurang.
Kabut tebal bertalu. Dalam hawa dingin pegunungan, kami melaju dengan si hitam kembali. Tidak begitu jauh, hanya limaratus meter. Sebenarnya kedai teh poci ini bukan tempat yang dulu ketika jaman kuliah, ia sudah berpindah alamat, tapi masih di dalam kawasan Kaliurang.
Ciri khas–nya pun masih sama, dinding-dinding yang dipenuhi coretan cat semprot besar-besar. Memberi kesan seolah berada di dalam garasi. Tempatnya lebih luas dari yang dulu, ada area lesehan juga. Tapi saya tidak sudi duduk lesehan hanya beralaskan tikar. Bukan apa-apa. Dingin!
Kami memesan menu yang sama: mie instan rebus dengan telur dan potongan cabai. Oiya, dan tentu teh poci.
***
Kepulan asap mie instan berhasil memburamkan kaca mata yang saya pakai. Si Teman yang melihat kejadian itu tertawa ringan.
Lahap sekali saya makan. Dengan cepat, mie hangat itu lesap masuk ke dalam mulut, turun sampai lambung.
Mie rebus habis, yang tersisa adalah teh dalam poci gerabah dengan gula batu dan obrolan ringan.
Tidak begitu lama kami berada di kedai itu. Udara yang dingin membuat kami tidak bisa berlama-lama di luar ruangan hanya dengan jaket seadanya. Selepas menghabiskan satu teh poci, kami beranjak kembali menuju hotel.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Malam sunyi senyap. Kabut menggelayut girang pada udara pegunungan, tampak hanya temaram lampu kendaraan yang melintas. Sesekali saya melihat lagi ke langit, mencari sinar oranye primadona angkasa.
Nihil.
Hanya kabut tebal.
Saya masuk ke kamar dengan dengki hati. Menutup komputer lipat dengan diam. Menyimpannya kembali ke dalam tas. Masuk ke kamar mandi, membasuh tubuh dengan perasaan sebal.
Gagal sudah.
Rebah di atas tempat tidur, melihat buku Bumi Manusia yang sedari tadi didiamkan. Membaca kembali kisah Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies. Melupakan Saturnus.
Sementara si Teman menonton televisi dengan diam.
Tumblr media
2 notes · View notes
loveanimalself · 4 years
Text
Berikut 7 Spesies Penyu yang Tergolong Langka yang Hidup di Dalam Laut
Tumblr media
Penyu sudah ada sejak zaman dinosaurus, tetapi ketujuh spesies di dunia menghadapi kepunahan potensial. Oceana menjalankan kampanye terbukti untuk melindungi kura-kura laut dari kematian seperti bycatch, degradasi habitat dan masalah lainnya. Pelajari fakta-fakta menyenangkan dan bagaimana Anda dapat membantu penyu favorit Anda mulai dari berselisih hingga penyu belimbing dan reptil laut lainnya dengan mengeklik spesies di bawah ini. Berikut ini 7 jenis penyu / kura-kura yang hidup di bawah laut :
Penyu pipih
Penyu pipih dinamai karena kerataan relatif dari cangkangnya, salah satu karakteristik yang membedakannya dari penyu lainnya di seluruh dunia. Kebanyakan kura-kura laut bermigrasi dalam jarak yang sangat jauh, bepergian melintasi seluruh cekungan samudera beberapa kali sepanjang hidup mereka. Penyu pipih, bagaimanapun, memiliki jangkauan yang jauh lebih kecil, adalah satu-satunya penyu yang tidak mengunjungi Amerika, dan terbatas pada perairan pantai Australia dan Papua Nugini. Penyu pipih memiliki jangkauan geografis terkecil dari ketujuh spesies penyu, dan tidak melakukan migrasi laut terbuka yang panjang. Penyu-penyu ini biasanya menemukan perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 60 meter di sepanjang pantai atau landas kontinen Australia.
Penyu Hijau
Penyu hijau adalah spesies terbesar dalam keluarga penyu bercangkang keras dan penyu penyu belimbing terbesar kedua di antara semua penyu. Nama umumnya bukan berasal dari warna kulit atau cangkangnya, yang umum di antara sebagian besar spesies penyu, tetapi dari warna kehijauan dari lemaknya. Kura-kura hijau adalah satu-satunya kura-kura laut yang merupakan herbivora yang ketat, dan makanan lamun dan ganggang dapat berkontribusi pada jaringan lemak hijau. Sama halnya dengan kura-kura laut lainnya, penyu hijau diketahui melakukan perjalanan yang sangat jauh selama masa hidup mereka. Dalam beberapa kasus, individu dapat melakukan perjalanan melintasi seluruh cekungan samudera dari area makan mereka ke pantai bersarang di daerah tropis dan sub-tropis. Penyu hijau menggunakan medan magnet bumi seperti peta yang tak terlihat untuk menavigasi ke seluruh migrasi mereka. Seperti kura-kura laut lainnya, kura-kura hijau betina kembali ke pantai yang sama di mana mereka menetas untuk bersarang. Dua daerah bersarang yang tersisa terbesar (dalam hal jumlah betina bersarang) untuk penyu hijau adalah pantai Karibia Amerika Tengah dan Great Barrier Reef di Australia.
Penyu sisik
Kura-kura penyu sisik mendapatkan nama umum dari bentuk paruh melengkung, yang menyerupai burung pemangsa. Mereka menggunakan paruh ini untuk memakan bunga karang dan invertebrata lain yang tumbuh di terumbu karang. Penyu sisik menghabiskan sebagian hidupnya di laut terbuka, tetapi lebih banyak berhubungan dengan terumbu daripada spesies penyu lainnya. Penyu sisik adalah predator generalis yang mencari makan di terumbu untuk makanan favorit mereka, spons, serta berbagai invertebrata lain yang mereka temukan. Beberapa spons dan hewan kecil yang dikonsumsi penyu sisik beracun. Untungnya, lemak tubuh mereka dapat menyerap racun tanpa membuat kura-kura sakit, tetapi daging mereka berpotensi beracun bagi manusia. Tidak seperti spesies penyu lainnya, yang mungkin melintasi seluruh cekungan samudera beberapa kali sepanjang masa hidupnya, penyu penyu sisik mungkin memiliki terumbu karang di rumah (dan bahkan tempat persembunyian favorit di terumbu) di mana mereka menghabiskan sebagian besar kehidupan dewasanya.
Penyu Kemp's Ridley
Kura-kura ridley Kemp adalah kura-kura laut yang paling terancam di dunia, terlepas dari kenyataan bahwa betina dari spesies ini lebih sering bersarang daripada hewan lain. Nama umumnya berasal dari Richard M. Kemp, seorang nelayan dan naturalis Floridian yang pertama kali mengajukan ridley Kemp untuk identifikasi pada tahun 1880. Saat ini, ridley Kemp sering dapat ditemukan di perairan dekat pantai Teluk Meksiko di mana pria dan wanita memiliki banyak ruang untuk makan dan berkembang biak. Dari enam spesies penyu laut yang hidup di perairan A.S., Ridley Kemp adalah yang terkecil di antara mereka semua, dengan rata-rata di bawah 30 inci dan beratnya sekitar 100 pon setelah tumbuh sepenuhnya. Ridley Kemp juga dapat dibedakan dengan karapasnya yang hampir bundar, atau cangkang, yang hampir selebar itu dan tampak hijau di atasnya, tetapi kuning pucat di bagian bawah. Kura-kura ridley Kemp terutama memakan kepiting, tetapi juga akan memangsa ikan, ubur-ubur dan moluska kecil.
Penyu Belimbing
Mencapai berat hingga 2.200 pon (1.000 kilo), penyu belimbing adalah penyu terbesar yang hidup di planet ini. Tidak seperti kura-kura laut lainnya, penyu belimbing tidak memiliki karapas yang keras dan bertulang. Alih-alih, seperti namanya, ia memiliki cangkang keras, karet yang terdiri dari jaringan seperti tulang rawan. Memiliki distribusi global terluas dari semua spesies kura-kura, penyu belimbing ditemukan di perairan tropis dan beriklim Atlantik, Pasifik, dan Samudra Hindia sejauh utara ke Alaska dan sejauh selatan ke Selandia Baru. Tidak seperti banyak spesies reptil lainnya, penyu belimbing mampu mempertahankan suhu tubuh yang hangat dalam air dingin karena beberapa adaptasi unik yang memungkinkan mereka untuk menghasilkan dan mempertahankan panas tubuh, termasuk ukuran tubuh mereka yang besar, lapisan lemak yang tebal dan mengubah aktivitas berenang mereka. Penyu ini juga memiliki struktur pembuluh darah khusus disebut penukar arus balik - yang memungkinkan mereka mempertahankan suhu tubuh yang lebih tinggi dari air di sekitarnya. Ini memberi mereka keuntungan besar di perairan yang sangat dingin.
Kura-kura Tempayan
Kura-kura tempayan adalah kura-kura laut bertubuh besar bernama untuk kepalanya yang luas dan kuat. Penyu ini adalah predator generalis dan menggunakan kepala berotot dan rahang yang kuat untuk menghancurkan cangkang keong ratu, lobster berduri Karibia dan invertebrata bercangkang keras lainnya. Penyu tempayan adalah hewan yang tumbuh lambat, berumur panjang, yang tidak mencapai kematangan seksual hingga mereka berusia 35 tahun. Mereka ditemukan di seluruh daerah beriklim sedang dan tropis di Samudra Atlantik, Pasifik dan India, dan merupakan spesies penyu laut paling banyak ditemukan di perairan pesisir Amerika Serikat. Kura-kura tempayan menghabiskan sebagian besar waktunya di lautan dengan betina yang baru saja mendarat di sarang. Setelah kawin di laut, betina datang ke pantai beberapa kali selama musim bersarang, menggali lubang di pasir, dan bertelur 100-120 telur setiap kali. Setelah beberapa minggu, tetas tempayan muncul dari sarang dan masukkan air bersama-sama.
Kura-kura Olive Ridley
Penyu olive ridley adalah spesies penyu paling banyak di dunia1 dan dikenal karena agregasi bersarangnya yang disebut arribadas (artinya “kedatangan” dalam bahasa Spanyol). Penyu Olive Ridley juga merupakan salah satu spesies penyu terkecil dengan panjang hanya 2 hingga 2,5 kaki (0,6 hingga 0,7 m) dan 80 hingga 110 pon (36 hingga 50 kg). Mereka diberi nama karena warna zaitun dari cangkang mereka yang berbentuk hati.Penyu ridley zaitun hidup secara global di perairan pantai setidaknya 80 negara. Umumnya, penyu zaitun tidak diketahui bergerak di antara atau di antara cekungan laut. Mereka mungkin bermigrasi antara zona nitik dan samudera dekat pantai bersarang mereka. Penyu ridley zaitun adalah spesies kura-kura laut paling melimpah yang sebagian besar disebabkan oleh agregasi bersarang massal mereka di Meksiko, India, Nikaragua dan Kosta Rika. Lebih dari 521.000 sarang diletakkan setiap tahun di pantai India saja.
0 notes