Tumgik
#Sejarah Nahdlatul Ulama
terasikip · 2 years
Text
Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah
Resolusi Jihad dan Narasi Pembungkaman Sejarah
Terasikip.com  – Resolusi jihad dan narasi pembungkaman sejarah. “Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” tak lain merupakan pidato terakhir kepresidenan Bung Karno pada 17 Agustus 1966, yang kelak lebih populer dengan istilah “Jas Merah”. “Untuk menghancurkan sebuah bangsa dalam abad modern seperti saat ini, tidak perlu persenjataan dan konfrontasi fisik. Tetapi hilangkanlah sejarah dari…
Tumblr media
View On WordPress
1 note · View note
realita-lampung · 6 months
Text
Sambut Hari Santri, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Way Kanan Duduk Bersama Banom
Tumblr media
Menjelang Hari Santri Nasional (HSN) 2023, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Way Kanan melaksanakan rapat koordinasi di Gedung PCNU setempat yang ada di wilayah Kecamatan Baradatu pada, Rabu (18/10/2023). Pada rapat itu jajaran PCNU Kabupaten Way Kanan bersama Badan Otonom (Banom) dan Lembaga di bawah PCNU Way Kanan merumuskan rangkaian kegiatan memperingati Hari Santri Nasional. Ketua PCNU Kabupaten Way Kanan, KH Nurhuda mengatakan, rangkaian kegiatan HSN diawali dengan kegiatan pembacaan shalawat nariyah di setiap Majelis Wakil Cabang Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) se-Kabupaten Way Kanan dan Banom. “Pembacaan shalawat nariyah ini merupakan bagian instruksi yang digaungkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pada HSN 2023 ini, PBNU menyerukan untuk membaca 1 Miliar shalawat nariyah bagi Nahdliyin se-Indonesia,” ujarnya. Ia mengatakan, adapun puncak acara HSN 2023 akan dilaksanakan pada 22 Oktober mendatang dengan apel di Kecamatan Bumi Agung yang diikuti oleh seluruh pengurus, banom, dan lembaga NU se-Kabupaten Way Kanan. “Saya meminta seluruh jajaran kepengurusan PCNU Kabupaten Way Kanan, banom, serta lembaga untuk ikut aktif dan terlibat dalam menyemarakkan HSN 2023,” katanya. Ia melanjutkan, peringatan HSN juga bertujuan untuk meneladani semangat jihad para santri dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang digelorakan para ulama dan kiai. “Bulan Oktober dipilh sebagai Hari Santri merujuk kepada sejarah bangsa. Tepatnya 22 Oktober ditetapkan pemerintah sebagai Hari Santri Nasional,” katanya. Hal ini ditujukan untuk mengingat jasa besar dan peran ulama serta kiai pondok pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. (M9G) Read the full article
0 notes
kobongkastrol · 7 months
Text
Nahdlatul Ulama: Meniti "Karang" Pada Masa Pendudukan Jepang
Jayabaya-seorang raja dari Kerajaan Kediri-tak sedang mengigau saat ia meramalkan bahwa “Pulau Jawa kelak akan diperintah bangsa kulit putih (Belanda), kemudian dari arah utara akan datang bangsa Katai, kulit kuning bermata sipit. Pemerintah dari bangsa kulit kuning tidak lama, hanya seumur jagung. Dan sesudah itu Jawa akan merdeka”. 
Ratusan tahun kemudian, bukan kebetulan kalau prediksi Jayabaya menjadi kenyataan. Imbas Perang Dunia II antara blok sekutu (Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet) melawan blok poros (Jerman, Italia, dan Jepang) sampai juga ke Indonesia. 
Barangkali Belanda tak akan menyangka, bala tentara berkulit kuning dengan perawakan tak terlampau tinggi itu berhasil merangsek ke nusantara. Keterkejutan ini menjawab pernyataan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Cornelis de Jonge, tujuh tahun sebelumnya. 
De Jonge pada tahun 1935 pernah mengatakan secara angkuh “Als ik met nationalisten praat, begin ik altijd met de zin: Wij Nederlanders zijn hier al 300 jaar geweest en we zullen n��g minstens 300 jaar blijven. Daarna kunnen we praten.” (Apabila saya berbicara dengan para nasionalis, saya selalu memulai dengan kalimat: Kami Belanda telah di sini 300 tahun dan kami bahkan akan tinggal paling sedikit 300 tahun lagi. Kemudian kita bisa bicara).
Barangkali benar kata-kata bijak yang berbunyi, “Keangkuhan datang menjelang kejatuhan.” Terompet dan kembang api tahun baru mungkin masih terngiang, atau bisa jadi tak ada hura-hura di saat pergantian tahun, ketika Jepang bertandang ke Tarakan pada 11 Januari 1942. Tarakan yang sarat sumur minyak bumi, menjadi incaran pertama sebelum bergerak menuju Jawa sebagai “kunci” dan tentu Sumatra. 
Gongnya terjadi di Kalijati, Subang, Jawa Barat, pada 8 Maret 1942 ketika Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh menyerah tanpa syarat kepada Jenderal Hitoshi Imamura. Imamura mengunci Jawa. Ia dengan cerdik mendaratkan pasukannya di Teluk Banten, Eretan Wetan, dan Kragan.
Praktis sejak saat itulah wilayah Hinda Belanda (Indonesia) jatuh ke tangan pemerintahan militer (Gunseikanbu) Jepang. Dengan masygul, Bert Garthoff, penyiar radio NIROM, memutar lagu berjudul Wilhelmus berbarengan menutup siaran terakhirnya pada hari itu pukul 23.00. Ia mengucapkan kata-kata perpisahan dalam bahasa Belanda yang artinya, “Selamat Berpisah! Sampai berjumpa di waktu yang lebih baik.”
Waspada Sejak Mula
Bergantinya tampuk pemerintahan berdampak pada seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu ormas Islam yang sudah berdiri di tahun 1926, dan telah memainkan peranan penting dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan juga tak luput dari dinamika masuknya Jepang ke nusantara. Benarlah sebuah pepatah. Keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. 
Daoed Joesoef dalam Rekam Jejak Anak Tiga Zaman menuliskan kenangannya, “Kedatangan Jepang di Medan mula-mula disambut meriah oleh penduduk. Mereka bersorak-sorai, bertepuk tangan, berdiri di tepi jalan, dan berusaha menyalami serdadu yang sedang tegak berjaga di nyaris setiap persimpangan jalan. Orang dari kampung-kampung di sekitar Kota Medan yang kerjanya sehari-hari memasok pisang dan buah-buahan lainnya ke pasar-pasar kota, berbondong-bondong menyumbangkan pisang mereka ke tangsi tentara Dai Nippon yang mereka pahlawankan. Rumah-rumah Belanda diteriaki oleh penduduk dan dilempar batu kalau ada penghuni bule berani tampil ke luar.” 
Dan tipu muslihat itu tak bertahan lama. Slogan Gerakan Tiga A (3A) yang mempunyai semboyan Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Cahaya Asia hanyalah hiasan mulut tak berotot dan lidah tak bertulang. 
Menyebut Indonesia sebagai saudara muda rupanya taktik belaka dalam merebut simpati, demi kepentingan terselubung di belakangnya. R.E Elson dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan menuliskan, bahwa nyatanya memerdekakan Indonesia bukanlah prioritas utama bagi Jepang, dan Jepang menolak mentah-mentah upaya para pemimpin Indonesia berperan sebagai pemerintah langsung di bawah pengawasan Jepang. 
Sebelumnya, janji-janji manis nan licin dilontarkan Jepang dalam maklumat nomor satu tertanggal 7 Maret 1942, yang dikeluarkan Gunseikanbu. Dengan kata-kata yang tercantum didalamnya semisal, “memperbaiki nasib rakyat Indonesia”, “yang sebangsa dan seketurunan dengan bangsa Nippon, “mendirikan ketenteraman yang tangguh untuk hidup dan makmur bersama-sama dengan rakyat Indonesia”, atau “mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera.”
Maklumat nomor satu itu serta merta menjadi perbincangan menarik di sana sini. Tak terkecuali para aktivis NU wilayah Banyumas, tepatnya di Sokaraja. KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren mengisahkan bagaimana sebuah rapat NU menanggapi tentara Dai Nippon yang mengambil alih wilayah Indonesia. “Kalimat memperbaiki nasib rakyat Indonesia saya kira cuma bujuk rayu kalau bukan kata-kata tipuan. Apalagi kalimat...’yang sebangsa dan seketurunan dengan bangsa Nippon’ rasa-rasanya kok baru sekarang ini mendengarnya...itu cuma muslihat. Jangan lupa: alharbu khid’ah, perang itu penuh tipu muslihat.” kata Ustadz Mursyid, seorang penggiat NU Sukaraja. 
Kekhawatiran Ustadz Mursyid bahwa perang penuh tipu daya sebagaimana dikisahkan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya itu tak salah. “Kesewenang-wenangan Jepang,” tulis Andrée Feillard dalam bukunya NU vis-à-vis Negara, “Terutama penghormatan terhadap kaisar Jepang yang dipaksakan dengan cara membungkukkan badan ke arahnya pada waktu-waktu tertentu, mulai menyulut reaksi penolakan dari pihak kiai, antara lain Kiai Hasyim Asy’ari yang dijebloskan ke penjara selama beberapa bulan tahun 1942 lantaran perkara ini.”
Bersiasat Demi Umat
NU yang berpandangan bahwa membela tanah air adalah sebagian daripada iman, tak tanggung-tanggung membela Indonesia, apalagi jika hal itu selaras dengan pandangan tauhid. Pengalaman NU di masa kolonial Belanda yang melakukan perlawanan kultural lewat pesantren dan organisasi yang dibangunnya tak mudah gentar dengan siapapun. Jejak sejarah mencatat bagaimana KH Zainal Mustofa dari pesantren Sukamanah yang sekaligus pengurus NU Tasikmalaya berjibaku dan menjadi martir melawan penindasan Jepang. 
Amirul Ulum dkk menulis dalam buku Rekaman Biografi 23 Tokoh Pendiri NU, bahwa akibat keteguhan NU memegang prinsip, KH Hasyim dituduh mengobarkan semangat anti penjajah. Tak lama kemudian, KH Mahfudz selaku ketua PBNU juga ditangkap Jepang dengan tuduhan yang sama seperti KH Hasyim. Atas ulahnya itu, Jepang mendapat kemarahan dari banyak kiai dan rakyat waktu itu. 
Apakah saat itu Pemerintah Militer Jepang sedang cek ombak atau tidak terhadap NU, yang jelas lobi-lobi intensif yang dilakukan oleh KH Wahab Hasbullah berhasil membebaskan KH Hasyim Asy’ari beserta kiai-kiai lainnya dari tahanan Jepang. 
Cengkeraman kebijakan militer pendudukan Jepang membuat hampir seluruh organisasi massa dan pergerakan dipaksa bertiarap. Termasuk NU yang walaupun sudah lama berdiri pada zaman Belanda dilarang melakukan kegiatan. Menurut Amirul Ulum dkk dalam buku Rekaman Biografi 23 Tokoh Pendiri NU, kecuali NU keresidenan Banyumas yang berhasil mempertahankan eksistensinya. 
Akibatnya tak ada tempat yang cukup leluasa menjalankan roda organisasi. Larangan beraktivitas dengan massa mencolok dimaklumatkan, dan apabila melanggar, Kempetai Jepang sudah barang tentu akan menindaknya. 
Dalam catatan di Berangkat dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri mengenang bahwa tahun-tahun pertama di masa pendudukan tentara Dai Nippon, Maret 1942-Maret 1943, ditandai oleh tumbuhnya kebencian rakyat kepada tingkah serdadu-serdadu Nippon dan rasa muak terhadap propaganda Nippon seperti romusha, saikerei, jugunianfu, dan lain-lain. Keadaan kemudian berbalik. Jepang yang butuh dukungan rakyat Indonesia, terutama umat Islam sebagai mayoritas, pelan-pelan didekatinya. 
“Meskipun pada mulanya menutup semua organisasi pribumi, termasuk organisasi-organisasi Islam,” tulis Kevin W. Fogg dalam Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia, “Jepang mendukung aktivitas organisatoris Islam. Terutama untuk mendapatkan persekutuan dengan kaum muslim., dengan berharap dapat membangun kekuatan yang dapat dimobilisasi dalam perang jika diperlukan. Diantara aksi-aksi pertama mereka dalam hal ini pada 1942, Jepang mendirikan kantor urusan Islam dengan staf yang diisi para tokoh muslim lokal maupun Jepang, di lapangan pusat Jakarta.”
Mula-mula yang terlibat sebagai kepala kantor urusan agama (Shumubu) adalah Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat. Lalu KH. Hasyim Asy’ari, yang kemudian karena alasan sudah lanjut usia dialihkan pada anaknya, KH Wahid Hasyim. Tentu tak mudah mengemban amanah tersebut. Tak pelak, bagaimanapun KH. Wahid Hasyim adalah representasi NU dan juga umat Islam Indonesia di mata Jepang. 
Hal ini menunjukkan bahwa NU adalah salah satu reperesentasi mayoritas di Indonesia dengan tokoh-tokohnya yang sudah mengakar. Fakta sosiologis ini tak bisa kita ingkari. Dan yang kedua, mungkin saja ini adalah strategi Jepang merebut hati rakyat Indonesia pada masa perang supaya lebih mudah dimobilisasi. 
Peran KH. Wahid Hasyim tak sebatas berkiprah di NU saja. Walaupun masih berusia muda, radius pergaulannya sudah sangat luas. Wahid Hasyim berkawan dengan Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansur, Natsir, Wondomiseno, Prawoto, Tan Malaka, dan lain sebagainya. Ia terbiasa pulang pergi antara Jombang Jakarta via kereta api, untuk merapikan barisan keumatan dengan-sepengakuan KH Saifuddin Zuhri-memanfaatkan karcis kereta malam kelas I secara gratis. Ia kemudian menjadi salah satu motor dari meleburnya Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) menjadi Masyumi. 
Wahid Hasyim dalam karangannya yang bertajuk “Menyongsong Tahun Proklamasi Kemerdekaan yang Kedelapan”, dan kemudian dimuat oleh H. Abubakar di Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim menulis ihwal Masyumi yang lebih berpihak rakyat Indonesia ketimbang menjadi corong propaganda Jepang. “Dan sejak itu Masyumi lebih banyak menjadi saluran untuk menyatakan keluh kesah rakyat daripada menjadi alat propaganda Jepang. Bahkan rencana mereka untuk membawa Masyumi guna menggerakkan pengerahan romusa telah dapat digagalkan sama sekali dengan tegas. Selanjutnya Masyumi tidak lagi giat, artinya di lapangan propaganda, bahkan sengaja tidak berusaha, kecuali untuk memperlunak dan memperingan ketajaman pisau rencana Jepang yang ditujukan kepada rakyat, dan lagi dalam mengisi tentara Peta pada umumnya dan mengisi Hizbullah pada khususnya.”
Kalau masa penjajahan Belanda melahirkan elit dan intelektual pribumi lewat kebijakan politik etis dan sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial seperti HIS, MULO, AMS, HBS, GHS, RHS, MOSVIA, dan THS, maka berkah dalam musibah pada masa pendudukan Jepang adalah munculnya lapisan kaum santri-terutama yang berada di Jawa dan Madura-ke permukaan melalui latihan-latihan kemiliteran yang diinisiasi oleh Jepang. 
Kosakata santri dalam konteks ini adalah pemimpin pesantren, ulama lokal, dan ustadz-ustadz muda aktivis organisasi keislaman. Mungkin tujuan jangka pendeknya sebagai cadangan guna mobilisasi perang Asia Timur Raya, namun nyatanya pendidikan kemiliteran ini kelak sangat berguna di kemudian hari saat Indonesia bersiap merdeka dan sesudahnya. 
Harry J. Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang menuliskan keadaan bahwa pada tanggal 1 Juli 1943 dimulailah kursus latihan pertama bagi para kiai dan ulama dalam satu upacara yang mengesankan oleh Kolonel Kawasaki selaku perwakilan Gunseikan dan juga Kolonel Horie sebagai kepala Shumubu. 
Aiko Kurasawa secara rinci mencatat hal ihwal latihan alim ulama ini dalam bukunya yang klasik dan otoritatif, Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Menurutnya, jumlah seluruh alim ulama yang menjalani latihan ini diperkirakan sekitar lebih dari seribu orang. Dengan memperhitungkan fakta bahwa menurut statistik tahun 1943 yang dipersiapkan oleh Gunseikanbu jumlah seluruh kiai di Jawa ialah 18.466 maka mereka yang ikut dalam pelatihan mencapai sekitar 5,5% dari jumlah seluruh kiai. 
Aiko juga mendaftar afiliasi organisasi peserta yang mengikuti latihan alim ulama tersebut. Dalam buku tersebut Aiko mengemukakan bahwa sangat mengesankan bahwa hampir 40% dari seluruh peserta latihan adalah anggota NU. Karena menurut catatan keanggotaan NU pada Agustus 1942 berjumlah 178.436 orang. Ini menjelaskan bahwa kiprah NU tak menyia-nyiakan setiap kesempatan walaupun pada masa sulit, yang mungkin saja akan berguna di masa mendatang. 
Benar saja. Jepang hanya berkuasa seumur jagung. Hiroshima dan Nagasaki yang luluh lantak pada Agustus 1945, menjadi pertanda berakhirnya kekuasannya Jepang di Indonesia. Kemerdekaan yang menurut Bung Karno disebut sebagai jembatan emas, ditatap penuh harapan oleh generasi muda NU pada waktu itu seperti KH Wahid Hasyim, KH Masykur, KH Muhammad Ilyas, KH Wahib Wahab, KH Saifuddin Zuhri, Zainul Arifin, dan lain-lain. 
*Asep Imaduddin AR, alumnus Pondok Pesantren Darussalam Ciamis
0 notes
megaismayanti · 7 months
Text
Peranan Tersembunyi Perempuan dalam Tafsir Agama Perjuangan Menurut Denny JA
Peran perempuan selalu ada dalam konteks agama, meskipun terkadang tidak terlihat. Banyak perempuan yang melakukan perjuangan dalam bidang agama, meskipun tidak mendapat pengakuan yang layak dari masyarakat. Dalam tafsir agama, peran perempuan dalam perjuangan agama juga terkadang tidak terlihat. Denny JA, seorang tokoh intelektual Indonesia, membahas tentang peran tersembunyi perempuan dalam tafsir agama. Dalam Puisi Esainya yang berjudul "Laki-Laki yang Menjadi Perempuan: Tafsir Kritis Gerakan Feminis Islam", Denny ja membahas tentang pentingnya memahami peran perempuan dalam tafsir agama. Menurut Denny JA, peran perempuan dalam tafsir agama seringkali terabaikan. Padahal, sejarah agama menunjukkan bahwa perempuan juga melakukan perjuangan dalam menyebarkan ajaran agama. Denny ja mencontohkan sejumlah tokoh perempuan dalam sejarah agama. Salah satunya adalah Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad SAW. Khadijah bukan hanya istri Nabi Muhammad, tetapi juga seorang pedagang yang sukses. Ia mendukung Nabi Muhammad dalam menyebarkan ajaran Islam dan menjadi salah satu pilar utama dalam penyebaran Islam di awal perjuangan. Selain Khadijah, Denny JA juga mencontohkan Aisha, istri Nabi Muhammad yang merupakan seorang intelektual dan juga melakukan perjuangan dalam menyebarkan ajaran Islam. Denny JA menilai bahwa peran Khadijah dan Aisha dalam sejarah Islam tidak hanya sebagai istri Nabi Muhammad, tetapi juga sebagai tokoh yang aktif dalam perjuangan agama. Di Indonesia, perjuangan perempuan dalam bidang agama tampak dalam gerakan keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini mulanya membatasi perempuan dalam berperan dan mengatur peran-peran perempuan dalam organisasi. Namun, seiring berjalannya waktu, perempuan mulai terlibat dalam kegiatan organisasi dan melakukan perjuangan dalam menyebarkan ajaran Islam. Denny JA menilai bahwa peran perempuan dalam tafsir agama perlu diperhatikan. Sebab, peran perempuan dalam sejarah agama juga tidak kalah pentingnya dengan peran laki-laki. Oleh karena itu, Denny JA menekankan pentingnya para intelektual untuk memberikan perhatian yang lebih pada peran perempuan dalam tafsir agama. Denny JA juga mengkritisi pandangan tradisional yang masih banyak menganggap perempuan tidak berperan dalam tafsir agama. Menurutnya, pandangan semacam itu perlu diubah agar pengetahuan tentang agama Islam di Indonesia bisa berkembang dengan baik. Selain itu, Denny JA juga menyoroti tentang pandangan bahwa perempuan tidak bisa menjadi ulama. Menurutnya, perempuan juga bisa menjadi ulama karena agama Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam mencari pengetahuan agama. Oleh karena itu, perlu ada dukungan dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk berkembang dalam bidang agama. Dalam Puisi Esainya, Denny JA juga mengajak umat Islam untuk memahami bahwa Islam bukanlah agama patriarki, melainkan agama yang menghargai laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang sama. Pengetahuan tentang agama Islam tidak terbatas hanya pada laki-laki, tetapi juga pada perempuan. Oleh karena itu, perlu ada kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam berkembang dalam bidang agama. Melalui Puisi Esainya yang berjudul "Laki-Laki yang Menjadi Perempuan: Tafsir Kritis Gerakan Feminis Islam", Denny JA memberikan pemahaman yang lebih luas tentang peran perempuan dalam tafsir agama. Perjuangan perempuan dalam bidang agama memang terkadang terlihat tersembunyi. Oleh karena itu, perlu ada perhatian yang lebih terhadap peran perempuan dalam tafsir agama agar pengetahuan tentang agama Islam bisa berkembang dengan lebih baik dan adil. Cek Selengkapnya: Peranan Tersembunyi Perempuan dalam Tafsir Agama: Perjuangan Menurut Denny JA
0 notes
aldisaputtraa · 9 months
Text
Dari Nasionalisme Ke Nasionalisme Religius; Interpretasi Kesadaran Agama dan Memori Kolektif Muslim Masyarakat Hindia-Belanda
Panggung sejarah kemanusiaan di seluruh peradaban, bangsa, agama dan kebudayaan, terdapat decisive moments-nya, periode-periode menentukan yang kemudian mengubah arah sejarah setelahnya. Profesor Enan misalnya, mencantumkan 24 peristiwa penting yang menentukan arah sejarah Islam seperti pertempuran Tours dan Poiters, pengepungan Konstantinopel, kaum Muslim sebagai raja lautan, penyerbuan kaum Muslim ke kerajaan Roma, asal muasal Perang Salib, Pertempuran ‘Ayn Jalut, Jatuhnya Granada, Perjalanan Marcopolo dan Ibnu Batuta dan lain-lain.
Dalam sejarah Islam Indonesia, juga sangat banyak decisive moments in history, menyebut beberapa contoh, masuknya Islam ke Nusantara, berdirinya kesultanan-kesultanan Islam dari Samudera Pasai hingga Mataram Islam, runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kesultanan Demak, periode dakwah walisongo, pengepungan Benteng Sao Joao Baptista oleh Sultan Babullah di Ternate yang menamatkan intervensi Portugis abad ke-16 di wilayah Nusantara Timur, masuknya kolonialisme dan mulainya era penjajahan, perang Kesultanan Mataram dengan VOC, Perang Jawa 1825-1835, Perang Aceh 1873 sampai 1904, Kongres Natico SI di Bandung 1916 yang menginginkan negara berdaulat sendiri yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto, berdirinya organisasi-organisasi Islam modern awal abad ke-20 (SDI, SI, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, Masyumi dll) yang mengantarkan pada gerbang kemerdekaan Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan 1945, digantikannya Piagam Jakarta oleh Pancasila, perang ulama-santri dengan Belanda pada Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, proklamasi NII/TII oleh Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo 1948, asas tunggalisasi orpol dan ormas tahun 1984 oleh Presiden Soeharto, jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, dan masih banyak yang lain.
Secara Historis, Kolonialisme Belanda di Indonesia dibagi menjadi dua babakan sejarah, yaitu masa Verenigde Oostindische Compagnoie atau VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) yang berkuasa tahun 1602-1799 dan Pemerintahan Hindia-Belanda yang berkuasa tahun 1801-1942. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu bagaimana mempertahankan kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara atau Hindia Timur. Meskipun demikian, pada perjalanannya, semangat perlawanan rakyat di beberapa bagian nusantara, pergerakan nasional, tekanan politik di dalam negeri Belanda sendiri serta transformasi kolonialisme gaya lama menjadi kolonialisme gaya baru merubah kebijakan Pemerintah Belanda di tanah jajahannya Hindia Belanda.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut kebijakan Beretika (Bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik dan memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini. Munculnya gerakan Ethische Politiek yang menghendaki agar politik kolonial tidak semata-mata bertujuan mengeduk kekayaan bumi Indonesia saja melainkan juga hendaknya meningkatkan taraf kecerdasan dan kehidupan rakyat Indonesia berpengaruh kepada paradigma susunan pemerintah Hindia Belanda yang sentralistis.
Dalam sejarah pemikiran, konsepsi tentang nasionalisme erat berelasi dengan bangsa dan negara. Tiga konsep ini tidak bisa dipisahkan dan saling terikat satu sama lain, terutama nasionalisme dan bangsa. Pertama-tama adalah nasionalisme, konsep ini meskipun tidak pernah melahirkan pemikir besar seperti demokrasi, liberalisme ataupun sosialisme namun melahirkan berbagai peristiwa penting dalam sejarah seperti revolusi-revolusi, perang besar dan yang terpenting adalah bangsa-bangsa baru. Gellner, dalam karya fenomenalnya Nation and Nationalism, ia berpendapat nasionalisme adalah political principle, “sebuah prinsip yang beranggapan bahwa unit politik dan nasional hendak selaras”. Nasionalisme adalah program politik yang menkontruksi dan mengarsiteki bangsa. Kenyataannya, memang tidak ada nasionalisme tanpa unsur politik dan tidak ada bangsa yang lahir tanpa politik yang terlibat di dalamnya.
Nasionalisme adalah sekeping mata uang yang mempunyai dua sisi-poilitik dan etnik. Kenyataannya, nasionalisme selalu mengandung aspek politik dan aspek etnik. Ide kebangsaan adalah ide pilitik dan tidak ada ada nasionalisme tanpa unsur politik. Setelah kemunculan gelombang baru nasionalisme kerakyatan sejak tahun 1820an di Eropa yang banyak dipengaruhi oleh Revolusi Perancis dan Amerika, negara imperium macam inggris agak was-was dengan spiritnya yang bisa mempengaruhi situasi negara jajahannya. Inggris lalu mengadakan sebuah usaha.
Pada abad ke-19 saat prinsip nasionalitas menjadi sebuah prinsip politik utama negara-negara di Eropa, berkembanglah menurut David Landes bentuk imperialisme model baru menggantikan model imperialisme model lama. Kolonialisme di wilayah jajahan menimbulkan berbagai konsekuensi, dari mulai positif sampai negatif dalam relasinya dengan konteks kelahiran nasionalisme dan gagasan kebangsaan. Kolonialisme menghadirkan perasaan berbeda antara pribumi dengan orang eropa. Pencarian jati diri adalah implikasi tidak terhindarkan untuk mencari perbedaan-perbedaan yang akhirnya ditemukan. Kaum intelektual di negara jajahan menemukan perasaan berbeda dalam hal identitas: imajinasi sejarah, etnis, budaya, bahasa yang melahirkan solidaritas pemikiran bahwa “bangsa kita” berbeda dengan “bangsa kalian”.
Penemuan kompleks dari berbagai macam faktor yang melahirkan nasionalisme dan gagasan kebangsaan tidak kurang dan tidak lebih dipengaruhi efek dari modernitas yang dibawa oleh negara Eropa ke dalam wilayah kolonial. Modernisasi membawa perubahan dalam birokrasi ke arah rasional dan modern. Modernisasi membawa perubahan dalam teknologi dan pola hubungan komunikasi.
1 note · View note
tebuirenginitiatives · 10 months
Text
Gus Ulil: Halaqah Memiliki Kontribusi Penting dalam Sejarah NU
Gus Ulil Abshar Abdalla menyebut halaqah memiliki kontribusi penting dalam sejarah Nahdlatul Ulama (NU). Hal tersebut karena dengan adanya halaqah kitab kuning telah berhasil mendorong para kiai untuk mengkaji, membaca ulang dan mendiskusikan kembali pemikiran ulama terdahulu yang terlampir dalam kitab kuning sehingga tetap sesuai dengan kondisi setiap zaman. “Tercetusnya forum halaqah telah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
kbanews · 1 year
Text
Anies: Jawa Timur dan NU Memiliki Sejarah Panjang dalam Perjuangan Bangsa
JAKARTA | KBA – Bakal Calon Presiden (Bacapres) Koalisi Perubahan Anies Baswedan melanjutkan kegiatan silaturahmi kebangsaannya di Jawa Timur khususnya Surabaya dan Madura. Di hari kedua ini, Anies menyempatkan diri berziarah ke makam-makam pendiri NU. Menurutnya, Jawa Timur dan NU memiliki sejarah panjang dalam perjuangan Bangsa Indonesia. “Jawa Timur dan Nahdlatul Ulama memiliki garis sejarah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
Text
0 notes
barometerjatim · 2 years
Text
Hari Lahir Pancasila 1 Juni, Penetapannya Tak Lepas dari Usulan PWNU Jatim
Hari Lahir Pancasila 1 Juni, Penetapannya Tak Lepas dari Usulan PWNU Jatim
USULAN PWNU JATIM: Runutan sejarah penetapan Hari Lahir Pancasila 1 Juni. | Data Grafis: Media Center NU Jatim SURABAYA, Barometerjatim.com – Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016, pemerintah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sekaligus sebagai Hari Libur Nasional. Penetapan itu tak lepas dari usulan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim yang tertuang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
pusatbajunu · 2 years
Text
POTONGAN HARGA, WA 0857-9151-5559, Baju Kaos Nahdlatul Ulama Jawa Timur
Tumblr media
KLIK https://wa.me/6285791515559, Kaos NU Ganteng Shopee, Kaos NU Ganteng Terbaru, Kaos NU Ganteng Unik, Kaos NU Ganteng Viral, Kaos NU Ganteng
YouTubePREMIUM QUALITYProduk Best SellerNyaman Dipakai Sablon Tidak Mudah PecahReady Stok, SIAP KIRIMKaos NU Asli dari JOMBANG, menggunakan bahan cotton 30S sehingga sangat lembut, dingin dan nyaman dipakai. Sablon semi plastisol, kuat, tahan lama dan tidak mudah pecah.
Kunjungi juga:Instagram Resmi :https://instagram.com/nustoreofficial
Shopee : https://shopee.co.id/nustoreofficial
#kaosgusdurian #kaosgusdurmurah #kaosgusdurgurubangsa #kaosgusdurianbandung #bajukaosnu #bajunahdatululama #bajunu #bajunuanak #bajunuid #bajunujogja
0 notes
kobongkastrol · 2 years
Text
Revolusi, Islam, dan Kontribusi Keumatan
*Tulisan ini telah dimuat Harakatuna 27 Maret 2022
Judul Buku: Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia, Penulis: Kevin W. Fogg, Penerjemah: Yanto Musthofa, Penerbit: Noura Books (Mizan Publika), Tahun Terbit: Cetakan Pertama, November 2020, Tebal: 435 halaman.
Lewat studinya yang sudah menjadi klasik dan menjadi banyak rujukan, Kahin lebih menonjolkan peran elite sebagai aktor utama dalam nasionalisme dan revolusi di Indonesia. Sedangkan sejarawan kondang dari Universitas Cornell yang pernah dicekal masuk ke Indonesia, Ben Anderson, memberikan perhatian utama pada aktivitas para pemuda di sepanjang tahun 1944-1946, tahun-tahun yang teramat krusial dan menentukan.
Kevin Fogg dalam “Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia” justru menelusuri kiprah dan komitmen kebangsaan umat Islam pada era perang kemerdekaan. Fogg berkisah tentang bagaimana seorang Mohammad Natsir-mantan politikus Islam terkemuka di awal kemerdekaan-bersama rekan-rekannya berjalan berkeliling sebuah pameran di Jakarta tentang Revolusi Indonesia pada tahun 1972 dengan hati masygul, karena sisi Islam dari revolusi tak bisa ditemukan dalam pameran tersebut (hal 35).
Fogg berpandangan bahwa konsolidasi umat Islam akar rumput di tengah kobaran api revolusi kurang mendapat tempat yang layak. Aspek-aspek yang menggerakkan narasi-narasi legitimasi rezim-terutama kultur pribadi Sukarno atau prestise militer sebagai pengawal kemerdekaan-mendapat perhatian cermat, sementara para pelakunya terlupakan (hal 36).
Apalagi secara statistik, umat Islam Indonesia merupakan salah satu yang terbesar. Jadi tak masuk akal jika perannya tak signifikan sama sekali. Ditambah dengan kenyataan bahwa secara geografis wilayah Indonesia begitu luas. Yang tentu saja kajian-kajian masa revolusi sebelumnya masih berkutat di Jawa.
Fogg dengan sadar mengisi kekosongan itu dengan mengambil sumber sejarah lisan dan episode di sekitar revolusi kemerdekaan yang terjadi di luar Jawa. Hal ini bisa menambah khazanah dan perspektif tentang bagaimana kontribusi umat Islam Indonesia masa revolusi kemerdekaan yang selama ini masih sedikit terabaikan.
Selepas proklamasi yang dibacakan oleh Sukarno dan Hatta di Jakarta, umat Islam di seantero Indonesia langsung meresponsnya dengan bersemangat. Mereka secara aktif langsung menggabungkan diri pada barisan-barisan perjuangan seperti Hizbullah dan Sabilillah.
Sejak permulaan revolusi, kaum Muslim akar rumput tak hanya menyebarkan slogan tentang agama dan perjuangan, namun mereka juga mendengar fatwa dari para ulama tentang perang. Salah satu dari fatwa-fatwa paling awal yang dikeluarkan oleh pemimpin Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasjim Asj’ari, pada September atau Oktober 1945, kini hilang dalam sejarah, mungkin karena fatwa itu dikeluarkan dalam aksara pegon sehingga tidak disiarkan media cetak berhuruf Latin (hal 103).
Yang paling terkenal barangkali seruan resolusi jihad dari NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 yang mendapat perhatian luas umat Islam Indonesia terutama di Jawa. Di Sumatra Utara, seorang ulama dari Jamiyatul Washliyah bernama M Arsjad Thalib Lubis mengeluarkan manifesto revolusi Islam bertajuk “Toentoenan Perang Sabil”. Fatwa yang biasanya terkait dengan urusan hukum atau ibadah, pada saat itu malah mengumandangkan seruan aksi melawan penjajah.
Bahkan karena banyaknya fatwa-fatwa tentang seruan perang sabil, wakil presiden Mohammad Hatta sampai harus mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa siapa pun di luar pemerintah, ilegal mendeklarasikan perang  atau perang sabil. Dan faktanya hal tersebut tak berpengaruh terlalu banyak di akar rumput.
Seruan untuk melakukan aksi perjuangan yang dilandasi oleh spirit keagamaan memberikan motivasi bertempur demi membela Allah dan negara. Keyakinan inilah yang mendorong lasykar-lasykar Islam berjuang untuk hidup mulia atau mati syahid dalam setiap pertempuran yang diikutinya.
Meski tentara-tentara Islam ini bukan pasukan reguler, tidak berarti kontribusi mereka pada pertempuran tidak penting. Sebaliknya lasykar-lasykar Islam sering menjadi kekuatan tempur lokal yang paling kuat dan terkenal kegigihannya-dan sering dengan keberanian yang membabi buta-di medan tempur (hal 141).
Fogg menemukan bahwa terkadang keberanian-keberanian yang ditonjolkan oleh para milisi muslim yang militan itu berasal dari kekuatan-kekuatan jimat atau benda-benda keramat yang dibawa kemana-mana. Biasanya setelah diberi jampi-jampi oleh guru agama yang mereka hormati.
Tidak mengherankan, jika seorang tentara yang meyakini dirinya kebal senjata musuh, dia akan menjadi tak punya rasa takut dalam pertempuran. Para santri pejuang dari pedalaman yang meyakini magi islami digambarkan sebagai “massa fanatik” dengan “intensitas tujuan besar”, dan mereka pun ditakuti oleh tentara asing dan orang-orang Indonesia abangan (hal 165).
Namun akibatnya adalah ketika sebagian anggota lasykar ini merasa mempunyai keberanian “berlebih”, maka ketidaktakutan akan begitu tinggi, sehingga jumlah korban anggota lasykar muslim menjadi tak terelakkan.
Tak hanya dalam perjuangan fisik, umat Islam juga berperan secara signifikan dalam lapangan politik di awal revolusi dan sesudahnya. Sesudah insiden tujuh kata ketika mempersiapkan dasar negara apa yang hendak dibuat, sejumlah kompromi-kompromi pun  seperti pendirian Kementerian Agama, yang menurut Fogg adalah kemenangan penting bagi masyarakat Islam Indonesia.
Selain mengonfirmasi bahwa urusan keagamaan tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari pemerintahan di Indonesia, dengan adanya Kementerian Agama, ia merupakan kemampuan baru perlindungan pemerintah terhadap tokoh Islam.
Organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah bisa memberi jaminan kehidupan yang layak bagi anggotanya dengan menunjuk mereka sebagai pejabat keagamaan lokal atau guru-guru agama di sekolah negeri atau dengan memberi kepada sekolah-sekolah Islam melalui kementerian (hal 289).
Lewat studinya yang komprehensif ini, Fogg menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia berkontribusi secara siginifikan, tak hanya dalam perjuangan fisik yang ditunjukkan lewat aksi-aksi heroiknya, namun juga berperan banyak dalam menentukan hendak kemana arah langkah negara yang baru lahir tersebut.
0 notes
kurangpiknik · 3 years
Text
PROPAGANDA PAHLAWAN NASIONAL
November 2016 silam, Presiden Joko Widodo memutuskan mengangkat K.H.R. As’ad Syamsul Arifin sebagai pahlawan nasional. Hanya satu nama saja!
Dari 2004 sampai 2014, SBY tak pernah hanya menahbiskan satu nama pahlawan nasional pada bulan November. Selain Jokowi pada 2016, pemerintah Indonesia pascareformasi hanya menahbiskan satu nama terjadi pada 2000 dan 2003: Gus Dur menobatkan Fatmawati pada 2000, Megawati menahbiskan Nani Wartabone pada 2003. Pada November 2014 dan 2015, Jokowi masing-masing menahbiskan empat dan lima pahlawan nasional yang baru.
Padahal ada 11 nama pahlawan nasional yang diusulkan pada 2016, tetapi hanya satu orang yang akhirnya diangkat. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Kepres yang menahbiskan K.H.R. As'ad Syamsul Arifin sebagai pahlawan nasional ditandatangani Jokowi pada 4 November 2016.
Mengapa hanya satu dan mengapa 4 November 2016?
Saat itu Jokowi sedang menghadapi tekanan yang kuat terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Jokowi sampai harus melakukan safari ke berbagai acara yang melibatkan ulama dan ormas-ormas Islam untuk meredakan situasi yang menekan itu. Jangan lupa, 4 November adalah momen demonstrasi besar-besaran yang menuntut Ahok diadili.
Untuk ukuran Jokowi yang kian mahir bermain pasemon, menetapkan seorang ulama, yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama, sebagai satu-satunya pahlawan nasional bukanlah tanpa maksud. Ia hendak memberi pesan politik: pemerintahannya bukanlah rezim yang anti-Islam atau anti-ulama.
Polemik Makam Heru Atmodjo
Letkol (pnb) Heru Atmodjo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 29 Januari 2011. Dua pekan kemudian, Gerakan Umat Islam Bersatu di Jawa Timur menuntut agar makam Heru di TMP Kalibata dibongkar dan dipindahkan. Alasannya: Heru Atmodjo terlibat dan sebagai "pelaku G 30 S/PKI." Tak ada kabar lanjutan setelahnya. Lalu, tiba-tiba saja, pada April 2011, beredar kabar kalau makam Heru Atmodjo sudah dipindahkan.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) saat itu, Imam Syufaat, mengatakan pemindahan itu terjadi karena kekeliruan. Alibinya, Heru Atmodjo berstatus tentara yang dipecat/diberhentikan. Kadispenum TNI Minulyo, saat itu berpangkat kolonel, mengatakan hal serupa: setelah dilakukan penelitian, ternyata Heru tidak memenuhi syarat untuk dimakamkan di TMP Kalibata.
Cara paling mudah untuk memahami kasus pemakaman Heru Atmodjo adalah administrasi negara tidak cermat. Bagaimana bisa, dengan merujuk ucapan Imam Syufaat, negara melakukan kekeliruan yang fatal? Dampaknya menyedihkan: jasad seseorang yang dimakamkan secara kenegaraan hanya untuk dibongkar kembali.
Membongkar makam Heru Atmodjo adalah praktik penyuntingan terhadap teks kepahlawanan. Heru sudah dimasukkan ke dalam teks kepahlawanan dengan memakamannya di TMP Kalibata. Namun, karena dianggap keliru, teks kemudian disunting ulang—kali ini dengan membuang nama Heru dari semesta teks.
Jika bersedia jujur, praktik penyuntingan seperti ini bukan barang baru. Puluhan tahun nama Tan Malaka, misalnya, dikeluarkan dari teks-teks resmi kepahlawanan. Pelajaran sejarah di sekolah-sekolah, sebagai versi resmi kepahlawanan, nyaris tak pernah memberi tempat pada kisah Tan Malaka sebagai tokoh bangsa. Padahal Tan adalah pahlawan nasional berdasarkan Keppres No. 53 Tahun 1963—keputusan yang tidak pernah dicabut sebenarnya.
Atau simaklah nama yang lain: Alimin Prawirodirdjo. Ia salah seorang pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Sukarno melalui Keppres No. 163 Tahun 1964. Ia bahkan dimakamkan di TMP Kalibata. Kepres pengangkatan Alimin sebagai pahlawan nasional tak pernah dicabut, makamnya juga tak pernah dibongkar, tapi namanya nyaris tak tertera dalam teks-teks resmi kepahlawanan yang diwedarkan dalam pelajaran sejarah resmi.
Tan Malaka dan Alimin adalah bagian yang sah, sekaligus resmi, dari semesta teks kepahlawanan nasional. Namun peran mereka tak diakui secara terbuka selama puluhan tahun. Ini sejenis penyuntingan diam-diam, berbeda dengan penyuntingan untuk Heru Atmodjo yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.
Praktik penyuntingan ini tidak hanya dilakukan oleh negara, tapi juga oleh kelompok sipil. Kelompok sipil yang menuntut makam Heru Atmodjo dibongkar adalah pelaku aktif penyuntingan teks kepahlawanan nasional. Jika mau, mereka bisa saja menuntut makam L.B. Moerdani di TMP Kalibata dibongkar. Sebagai mantan Pangkopkamtib yang dulu sangat berkuasa di lapangan, Moerdani bertanggungjawab terhadap pembantaian umat Islam di Tanjung Priok pada 1984 (Vedi R. Hadiz, Islamic Populism in Indonesia and the Middle East, 2016, hlm. 109).
Menciptakan Para Pahlawan
Pahlawan itu bukan dilahirkan, melainkan diciptakan. Pahlawan diciptakan bukan untuk diteladani tapi guna mengokohkan ideologi negara-bangsa, untuk mereproduksi narasi nasionalism. Setiap ideologi membutuhkan propaganda, dan teks kepahlawanan (termasuk Taman Makam Pahlawan) adalah alat propaganda nasionalisme. 
Untuk memenuhi tujuan itu maka dilakukanlah proses pemilahan, penyuntingan, dan penambahan pelbagai elemen agar teks kepahlawanan bisa memukau dan menjerat.  
Proses pemilahan dan penyuntingannya penuh prosedur birokratis, dimulai dari usulan masyarakat, diperiksa dan diteliti Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD), lantas Gubernur (pemerintah daerah) melanjutkan ke Badan Pembina Pahlawan Nasional yang ada di Departemen Sosial (Depsos), dan terakhir diserahkan pada Presiden yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres).
Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006 menjelaskan, kriteria pahlawan nasional: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi, berskala nasional serta sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh sudah meninggal.
Melalui prosedur yang birokratis, dengan kriteria yang ketat, para kandidat pahlawan nasional itu dikaji, diselidiki, dan diperiksa "secara klinis" untuk memastikan tak ada penyakit yang bisa merongrong kesucian teks kepahlawanan.
Setelah seseorang lolos “secara klinis", dan kemudian ditetapkan sebagai pahlawan, proses pun berlanjut dengan mengimbuhi sang pahlawan dengan elemen-elemen tambahan berupa pemilahan dan penyempurnaan foto atau lukisan wajah, lalu mendaur ulang hasilnya dengan sebanyak-banyaknya, disebarkan dengan pelbagai cara dan media (terutama buku pelajaran sejarah).
Itu harus dilakukan karena tak ada pahlawan yang tak ada gambar. Paras pahlawan diperlukan untuk membuat narasi kepahlawanannya menjadi lebih nyata, sehingga daya pukaunya bisa disebarkan. Apakah wajah yang ditampilkan itu persis seperti aslinya atau tidak, bukanlah isu pokok. Yang penting: parasnya cemerlang, bersih, dan beraura wingit.   
Perhatikan paras para pahlawan nasional, rata-rata terlihat meyakinkan, nyaris tak memuat kebimbangan, tak jarang luber dengan aura kebesaran, kombinasi kebijaksanaan dan kebangsawanan, meluapkan wibawa yang luhung, menyiratkan perkawinan antara keluhuran bakti dan silsilah mulia.
Agar sosok pahlawan itu leluasa diimbuhi pelbagai elemen tambahan itu, maka disyaratkan kandidat pahlawan haruslah orang yang sudah mati. Dengan tutupnya usia, riwayat kandidat menjadi “tertutup" karena sepak terjangnya telah rampung. Ia tak mungkin berbuat iseng yang jorok-jorok, yang akan menodai kepahlawanannya. Namun ketertutupan itu pula yang justru membuatnya menjadi terbuka: leluasa diutak-atik.  
Wujud resmi penyuntingan dapat dilihat dari buku-buku putih, buku pelajaran sejarah, dan buklet-buklet yang disebarkan ke perpustakaan sekolah dan museum. Melalui wujud resmi itulah kepahlawanan seseorang menjadi bergerak, bergulir, dan menebarkan pengaruhnya; semacam—dalam kosa kata Charles Sanders Peirce—"ground": abstraksi dari yang-konkret yang dapat menyiratkan kemungkinan-kemungkinan lain (Writings of Charles S. Peirce: 1867-1871, 1984: hlm. 55 ). 
Menyederhanakan Sosok Pahlawan
Selain menambah-nambahkan elemen, teks kepahlawanan hampir selalu menyederhanakan kompleksitas riwayat hidup seseorang. Hanya karena seseorang pernah bertempur dengan Belanda, misalnya, ia dengan gampang bisa dianggap sebagai pahlawan. Teks (resmi) kepahlawanan sering sungkan ambil pusing dengan motif yang non hitam-putih.
Pangeran Diponegoro, misalnya. Kontestasi dan konflik antar-bangsawan di Kesultanan Yogyakarta, atau motif pribadi untuk menggenapkan wangsit sebagai Juru Selamat, tidak terlalu menarik untuk dipaparkan karena bisa saja menodai “ketulusan" perjuangan Diponegoro menentang Belanda (Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855, 2014).
Sultan Hamengkubuwono I juga bisa dirujuk untuk menunjukkan penyederhanaan yang, jika menggunakan kalimat yang insinuatif, “mengaburkan sejarah". Anda hanya perlu membaca buku M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa (2002) untuk mulai menelusuri pendiri dinasti Keraton Yogyakarta ini.
Mangkubumi, gelar sebelum ia ditahbiskan sebagai Hamengkubuwana I, memulai perana dalam sejarah Jawa dengan menyanggupi (semacam) sayembara yang dibikin oleh Kasunanan Surakarta: Siapa yang bisa menyelesaikan perlawanan R.M. Said akan diberi hadiah tanah perdikan. Mengkubumi turun untuk memerangi R.M. Said dan ketika bisa memenuhi persyaratan sayembara itu, hadiah yang dijanjikan pun tak kunjung diberikan. Jengkel dan marah, Mangkubumi lantas bergabung dengan R.M. Said untuk melakukan perlawanan. Karena perlawanan itu tak bisa diselesaikan oleh Pakubuwana II & Belanda, lahirlah perjanjian Giyanti yang mengesahkan kekuasaan Mangkubumi di wilayah Yogyakarta.
Menjadikan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional bisa dipersoalkan karena beberapa hal. Pertama, Hamengkubuwana tak pernah secara serius menganggap Belanda sebagai pihak yang harus benar-benar diperangi. Belanda dipahami dan dimengerti sebagai titik kesetimbangan dalam konflik segitiga antara dirinya dengan Paku Buwana II dan R.M. Said. Apa yang dipikirkannya bukan bagaimana mengusir Belanda sebagaimana yang dipikirkan Diponegoro atau Sultan Agung, melainkan bagaimana caranya agar ia bisa menyatukan kembali Jawa di bawah kekuasaannya. Ini soal ambisi seorang politikus.
Kedua, karena berambisi menguasai Jawa dalam genggamannya (minimal oleh keturunannya kelak), maka bagi Mangkubumi, R.M Said jauh lebih jadi masalah karena didukung oleh banyak elite Jawa. Lagi pula, ini yang ironis, Mangkubumi bisa menjadi Sultan justru karena mula-mula ia memerangi R.M. Said (alias Pangeran Sambernyowo alias Mangkunegara I) yang juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Bagaimana tidak ironis jika dua pahlawan nasional saling bertempur? Yang mana pahlawan sebenarnya?
Sedangkan R.A. Kartini menjadi ilustrasi bagaimana teks kepahlawanan nasional seringkali menyempitkan dan menyederhanakan kehidupan. Kartini, dalam teks resmi, ditempatkan sebagai pelopor emansipasi perempuan. Dalam teks resmi itu, hayat dan nasib Kartini tak cukup dipampangkan dengan terbuka dan apa adanya. Kegagalan dan tragedi hidupnya, yang dimulai karena ia membatalkan cita-citanya sendiri untuk sekolah ke Belanda dan berakhir dengan pernikahan yang menjadikannya korban poligami, nyaris tak masuk dalam narasi resmi kepahlawanan Kartini.
Narasi kepahlawanan Kartini tak ubahnya sebuah biografi yang minimal, tak lengkap karena sengaja tak dilengkapi, penuh penyuntingan yang sering kali berlebihan.
Harus diakui, kepahlawanan adalah sebuah kisah yang dipadatkan, diringkaskan, disederhanakan dan (kadang kala) “mengada-ada" — jika kata “pemalsuan" dirasa kelewat telengas. 
Monumen “Agama" Nasionalisme
“Nasionalisme," tulis Ben Anderson, “harus dicerna dengan cara menyekutukannya dengan sistem-sistem kebudayaan besar yang mendahului kelahirannya." (Immagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang, 2002: hlm. 17).
Bagi Anderson, sistem-sistem kebudayaan besar itu adalah pandangan dunia religius tradisional atau agama. Kelebihan agama sebagai sistem, katanya, terletak pada pengakuannya terhadap “kebadian roh". Dengan itulah agama-agama mencoba menjelaskan kesinambungan antara yang belum mati, yang masih hidup, dan yang belum lahir.
Pemikiran religius memungkinkan kaitan antara yang-silam, yang-sekarang dan yang-menjelang; pendeknya: misteri regenerasi sekaligus kontinuasi (keberlanjutan). Inilah yang memungkinkan (komunitas) agama mampu melestarikan diri selama lebih dari satu milenium dalam lusinan bentukan sosial yang berbeda-beda.
Negara-bangsa, sebagai perwujudan dari nasionalisme, mengambil-oper hal itu dalam bentuk taman makam pahlawan. Jika biografi, buku pelajaran sejarah atau buklet-buklet dalam museum adalah medium sekuler, maka taman makam pahlawan adalah medium (kuasi) religius yang memungkinkan nasionalisme memiliki elemen “keabadian roh" yang dimaksud Anderson. Pada makam-makam pahlawan itu, baik pahlawan yang dikenal maupun yang tidak, perjuangan nasional dilekati elemen keabadian yang sakral, magis, sekaligus keramat.
Dari ribuan makam di TMP Kalibata, misalnya, terdapat 42 makam pahlawan tak dikenal. Makam-makam tak dikenal itu penting untuk menyempurnakan kesakralan Taman Makam Pahlawan. Melalui makam-makam tak dikenal itulah nasionalisme menjadi lebih kafah karena ditopang oleh orang-orang yang diasumsikan sangat tulus sehingga rela berkorban walau tak mendapatkan balas jasa apa pun.
“Tak ada lencana yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen- makam para tentara tak dikenal. … Makam-makam tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang menghantui," tulis Anderson.
“Khayalan nasional yang menghantui" itu beragam dampaknya: dapat mengingatkan tapi juga mampu bikin lupa. Mereka bisa mengingatkan peran dan jasa orang-orang yang dikuburkan di sana. Saat yang sama juga dapat melahirkan keterpukauan akan kemegahan, keindahan, dan kerapihannya. Keterpukauan itu dapat menyelimutkan pelbagai cerita yang tertanam di bawahnya: darah para korban tak bersalah yang tumpah, dusta-dusta sejarah, juga kontestasi kekuasaan yang pelik dan buas.
Salah seorang yang awas terhadap jebakan keterpukauan itu adalah Mohammad Hatta. Saat menghadiri pemakaman Soetan Sjahrir, seperti dipaparkan dalam epilog biografi Sjahrir yang ditulis Rudolf Mrazek, Hatta berkata pada salah seorang saudari Sjahrir bahwa ia “tak akan membiarkan orang lain memperlakukan dirinya seperti ini" (Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, 1994: hlm. 497).
Sjahrir menjadi ilustrasi dari betapa kepahlawanan nasional, dan posisi Taman Makam Pahlawan, kadang hanya melengkapi “permainan dan pertarungan politik" belaka.
Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan oleh Sukarno tanpa mendapatkan kesempatan membela diri secara fair dan terbuka di muka pengadilan. Ia ditangkap pada 1962 dan ditahan dalam satu bangunan yang sama dengan beberapa orang yang juga, ironisnya, kelak menjadi para pahlawan nasional (Anak Agung Gde Agung, Mohammad Natsir). Hanya karena serangan stroke sajalah Sjahrir diizinkan berobat di Zurich dengan status masih sebagai tahanan. Dan dalam status itu pula ia wafat pada 9 April 1966.
Ironisnya, di hari kematian itu pula, Sjahrir ditahbiskan sebagai pahlawan nasional justru oleh Sukarno yang dengan sewenang-wenang menangkap dan memenjarakannya tanpa proses peradilan. Ia jadi contoh bagaimana kekuasaan secara manasuka menukar-nukarkan stempel “musuh negara" dan “pahlawan negara". 
Persis seperti nasib jasad Heru Atmodjo di TMP Kalibata. Bisa dipahami mengapa Hatta enggan dimakamkan di sana.
======
Naskah ini tayang pertama kali di tirto.id pada 6 Februari 2017.
36 notes · View notes
ansorwonodadi · 3 years
Photo
Tumblr media
Sejarah lahirnya GP Ansor tidak bisa melihat sejarah panjang kelahiran dan gerakan NU itu sendiri. Tahun 1921 telah muncul ide untuk membangun organisasi pemuda secara intensif. Sebab pada saat itu banyak muncul organisasi pemuda bersifat kedaerahan seperti, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Minahasa, Jong Celebes dan masih banyak lagi yang lain. Dibalik ide itu, muncul perbedaan pendapat antara kaum modernis dan tradisionalis. Disebabkan oleh sekitar tahlil, talkin, taglid, ijtihad, mazhab dan masalah furuiyah lainnya. Tahun 1924 KH. Abdul Wahab membentuk organisasi sendiri bernama Syubbanul Wathan (pemuda tanah air). Organisasi baru itu kemudian dipimpin oleh Abdullah Ubaid (Kawatan) sebagai Ketua dan Thohir Bakri (Peraban) sebagai Wakil Ketua dan Abdurrahim (Bubutan) sebagai sekretaris. Setelah Syubbanul Wathan dinilai mantap dan mulai banyak remaja yang ingin bergabung. Maka pengurus membuat seksi khusus mengurus mereka yang mengarah kepada kepanduan dengan sebutan "ahlul wathan". Kecendrungan pemuda saat itu pada aktivitas kepanduan sebagaimana organisasi pemuda lainnya. Setelah NU berdiri (31 Januari 1926), aktivitas organisasi pemuda mendukung KH. Abdul Wahab (pendukung NU) agak mundur. Karena beberapa tokoh puncaknya terlibat dalam kegiatan NU. Meskipun demikian, Syubbanul Wathan tidak secara langsung menjadi bagian dari organisasi NU. Atas inisiatif Abdullah Ubaid, akhirnya pada tahun 1931 terbentuklah Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama (PPNU). Kemudian tanggal 14 Desember 1932, PPNU berubah nama menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU). Pada tahun 1934 berubah lagi menjadi Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Kemudian AD/ART NU diubah menjadi Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama. GP Ansor didirikan pada 10 Muharram 1353 Hijriyah atau bertepatan dengan 24 April 1934 di Banyuwangi, Jawa Timur. https://www.instagram.com/p/CQYOQBOgXEn/?utm_medium=tumblr
1 note · View note
kreditmultiguna · 4 years
Quote
بسم الله الرحمن الرحيمBiografi singkat KH. NAWAWI BERJAN PURWOREJO TOKOH DIBALIK BERDIRINYAJAM'IYYAH AHLITH THORIQOH AL-MU'TABAROH AN-NAHDLIYYAH ( JATMAN ) "Almaghfurlah Simbah KH. Nawawi Lahir pada hari Selasa Kliwon , 10 Januari 1916, Beliau KH. Nawawi kalau dirunut Silsilah atau garis Nasab beliau masih keturunan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo ( Raden Mas Djatmiko) dari Salah satu Putranya ke 6 yakni Sinuhun Sayyid Tegal Arum atau Sultan Amangkurat Agung yang dimakamkan di daerah Tegal , Adapun putra putri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo ;1. Pangeran Tumpo Nangkil atau Raden Muhammad Kosim2. Pangeran Ronggo Kawijen3. Bendoro Raden Ayu Winonga4. Pangeran Ngabehi Loring Pasar5. Sayyid Abdul Ghaffar atau Raden Purbaya atau Mbah Kyai Kalisoka dimakamkan di Desa Kalisoka Tegal6. Sayyid Tegal Arum atau Sinuhun Sultan Amangkurat Agung , beliaulah yang menggantikan kedudukan menjadi Sulthan atau Raja Mataram Islam Darussalam7. Bendoro Raden Ayu Wiratmantri8.Pangeran Haryo Danupoyo atau Raden Mas Alit , Beliau Raden Mas Alit inilah kelak yang menggantikan Sultan Amangkurat Agung ( Sayyid Tegal Arum) utk menjadi Sulthan atau Raja Mataram Islam Darussalam , dengan Gelar Kebangsawanannya. Sultan Amangkurat Mas I ( Sumber Silsilah Paneraban Pusat Sayyid Abdul Ghaffar atau Pangeran Purbaya Kalisoka Tegal )SULTAN AGUNG PRABU HANYOKROKUSUMO (Raden Mas Djatmiko) dirunut runut ke atas bersambung dengan Sunan Giri ( Sayyid Ainul Yaqin ) dan terus keatas nasabnya akan bertemu kepada Baginda Rosululloh SAW , adapun Nasab Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo bin Prabu Hanyokrowati ( Raden Mas Jolang) bin Panembahan Senopati bin Nyai Sabinah ( Istri Ki. Ageng Pemanahan ) bin Ki Ageng Saba bin Nyai Pandan bin Sunan Giri II (Sunan Giri Ndalem) bin Sunan Giri ( Sayyid Ainul Yaqin) bin Sayyid Maulana Ishaq ( Sumber dari Silsilah Paneraban Pusat Sayyid Abdul Ghaffar atau Raden Purbaya Kalisoka Tegal )Adapun Nasab atau Silsilah KH. Nawawi Berjan Purworejo bin KH. Shiddiq Berjan bin KH. Zarkasyi Berjan bin KH. Asnawi Tempel bin KH. Nuriman Tempel bin Ky. Burhan Joho bin Ky. Suratman Pacalan bin Jindi Amoh Plak Jurang bin Ky. Dalujah Wunut bin Gusti Oro Oro Wunut bin Gusti Untung Suropati bin Sinuwun Sayyid Tegal Arum bin Sultan Agung Hanyokrokusomo (Raden Mas Djatmiko) bin Pangeran Senopati. ( sumber buku Mengenal KH.Nawawi Berjan Purworejo ,hal 11 sd 12), bahkan dalam salah satu sumber menyebutkan bahwa Sinuwun Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo juga seorang Pengamal Tarekat Syadziliyyah ( Subhanalloh)NASAB KEILMUANIlmu Thoriqoh (Tarekat)Silsilah Kemursyidan Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyah (TQN) dari Ayahanda beliau yakni Syech Shiddiq Berjan Bin Syech Zarkasyi Berjan Purworejo juga dari Pakdenya yakni Syech Munir Berjan bin Syech Zarkasyi Berjan Purworejo , Kemursyidan Syech Zarkasyi bin Asnawi Berjan Purworejo dari Syech Abdul Karim Al-Bantani dari Syech Achmad Khotib bin Abdul Ghoffar Sambas Kalimantan . Salah satu murid yang utama diangkat menjadi Khalifah/ Mursyid adalah Tuan Guru Ali bin Abdul Wahhab Al-Banjari Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat Jambi bahkan Zawiyyah atau komunitas tarekat Tuan Guru Ali merupakan Zawiyyah yang terbesar di luar Pulau Jawa , karena Acara Peringatan Haul Sultanul Auliya' Syech Abdul Qodir Al - Jaelani QSA. masuk dalam APBD Provinsi Jambi. KH. Nawawi Bin Syech Shiddiq RA. ( 1947 - 1982 ) , juga telah mengangkat Kholifah sbb ; KH. Achmad Chalwani Bin KH. Nawawi, Tuan Guru Ali bin Abdul Wahhab Al Banjari Kuala Tungkal Jambi, KH. Masduqi Syarofuddin Purworejo , KH. Abdurrahim Kebumen , KH. Zuhri Syamsuddin Wonosobo, KH. Nachrowi Magelang, KH. Baqiruddin Magelang, KH. Madchan Magelang, KH. Machfudz Magelang, KH. Mundasir Magelang, KH. Parlan Cilacap , KH. Ilyas Singapura , KH. Djazoeli Magelang. Selain itu Beliau KH. Nawawi aktif menulis dan membaca terbukti dengan menghasilkan beberapa karya meliputi kitab tentang Tarekat, kitab-kitab fiqh, dan syair-syair.Ilmu Syari'atBeliau KH. Nawawi pernah belajar di beberapa pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Watucongol Magelang, Krapyak Yogyakarta, Lasem Rembang , Tremas Pacitan, Jampes Kediri , Tebuireng Jombang dan Lirboyo Kediri.ULAMA KHARISMATIKBeliau adalah Seorang Ulama kharismatik sekaligus Ulama Thoriqoh dari Dukuh Berjan Desa Gintungan Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo, sebagai seorang Guru Mursyid beliau juga berperan aktif diberbagai kegiatan thoriqoh yaitu pernah menjadi Ketua I Kongres I Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di Tegalrejo Magelang yang mengasilkan keputusan bahwa tanggal 10 Oktober 1957 adalah sebagai hari Lahirnya Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh yang pada tahun 1979 pada saat Muktamar NU ke 26 di Semarang, Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh kemudian dimasukkan sebagai salah satu Badan Otonom dibawah Nahdlatul Ulama dan dikukuhkan dengan Surat Keputusan Syuriah PBNU Nomor 137/ Syur.PBNU/V/1980. Sejak itulah sampai sekarang Jam'iyyah ini dikenal dengan nama Jam'iyyah Ahli Thariqoh Al- Mu' tabaroh An- Nahdliyyah (JATMAN) , bahkan beliau juga pernah ditunjuk menjadi Mudir Tsani Idaroh 'Aliyah Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al- Mu'tabaroh An-Nahdliyyah (JATMAN Pusat). Saat ini estafet kepemimpinan beliau dilanjutkan oleh putranya yaitu Romo KH. Achmad Chalwani Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo .Di Balik Berdirinya Jam’iyyah Ahli Thariqot al-Mu’tabarohSecara singkat, sejarah Thariqohal-Qhadiriyyah wa Naqsyabandiyyah berkembang di Berjan adalah merupakan hasil gabungan antara dua aliran, yakni aliran Thariqoh Qhadiriyyah dan aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah yang gagas oleh Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar daerah Sambas Kalimantan Barat (1802-1872 M). Sedangkan aliran Thariqoh al-Qhadiriyyah pencetusnya adalah Syaikh Abdul Qhodir al-Jailani sebagai pelopor cikal-bakal aliran-aliran organisasi thariqoh dengan cabang-cabangnya di belahan penjuru dunia Islam. Sementara aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah adalah dirintis oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari al-Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M) seorang tokoh sufi yang memulai belajar tentang tasawuf kepada gurunya Baba al-Samsyi pada saat berusia 18 tahun. Syekh Ahmad Khatib Sambas telah berhasil untuk menggabungkan dua aliran Thariqoh tersebut sebagaimana tertulis dalam karya kitabnya Fath al-Arifin dengan metode jenis Dzikir yaitu Dzikir Jahr dalam Thariqoh Qhadiriyyah dan Dzikir Khafi dalam Thariqoh Naqsybandiyyah. Syekh Ahmad Khatib Sambas menjadi pelopor pemikiran Thariqoh Qhadiriyyah wa Naqsyandiyyah walaupun lama bermukim di Mekah pada pertengahan abad ke-19, maka banyak yang bersedia menjadi muridnya baik dari Negara Malaysia, Jawa dan luar Jawa. Pada perkembangannya Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara banyak yang bersumber kepada salah satu atau ketiga menjadi Mursyid pertama, mulai dan Syaikh Abdul Karim paman Syekh Nawawi Banten sebagai pimpinan Thariqoh. Sedangkan muridnya meneruskan dan berjasa besar untuk mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara yaitu, Kiai Asnawi Caringan Banten (w.1937), Syekh Zarkasyi (1830-1914 M), pada tahun 1860. Sementara Syekh Zarkasyi pada periode pertama mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah diteruskan pada periode kedua Muhammad Siddiq dan diteruskan ke periode ketiga yaitu KH. Nawawi Berjan Purworejo Jawa Tengah. Pada periode KH Nawawi pada mulanya tidak bersedia untuk di baiat menjadi mursyid karena alasan berjuang bersama laskar Hizbullah pada saat itu, lalu pamannya, memberanikan diri Kiai Abdul Majid Pagedangan matur untuk di baiat sebagai mursyid tapi KH. Nawawi jawabannya tetap sibuk berjuang bersama laskar Hizbullah, maka sementara kedudukan mursyid dilanjutkan oleh pamannya sendiri, Simbah Kiai Munir bin Zarkasyi. Setelah pasca perjuangan melawan penjajah, dan saudara kandung mirip ayahandanya wafat bernama Muhammad Kahfi pada hari kamis tanggal 6 Dzulqo’dah 1371/1950 M, maka barulah KH Nawawi berkenan untuk di baiat sebagai mursyid kepada Simbah Kiai Munir (w. 1958) Amanah yang berat sebagai pewaris pimpinan pondok pesantren dan juga sebagai mursyid Thariqoh wa Naqsyabandiyah selama 35 tahun (1947-1982). Pada saat itulah, KH Nawawi mulai merasakan keadaan terhadap aliran dan organisasi Thoriqoh yang berkembang dengan saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan antara aliran Thariqoh seperti Thariqoh Tijaniyyah dan Thariqoh Syathoriyyah yang sejatinya sama-sama berasal dari organisasi NU. Pada tanggal 31 Desember Tahun 1955 KH Nawawi Berjan dan KH Masruhan berdialog untuk berusaha meluruskan para penganut Thariqoh dan perlunya menyepakati dalam bentuk Jam’iyyah thariqoh yang benar dan lurus, mana yang mu’thabaroh maupun yang tidak. Sekitar dua tahun kemudian, KH Nawawi bersilaturrahim kebeberapa daerah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah bersama Kiai Mahfudz Rembang, maka pada tahun 1957 yang didampingi oleh Kiai Abdurrahim Pagedangan sehingga melahirkan Tim Pentasheh Thariqoh yang beranggotakan enam orang diantaranya Kyai Muslih Mranggen, dan Kiai Baedlowi Lasem. Dengan keperihatinan dalam menyaksikan maraknya perpecahan dikalangan para penganut Thariqoh ini, kemudian KH Nawawi mengabadikan dalam catatan buku hariannya dengan menulis yaitu cara-cara yang menjalin hubungan persatuan berbagai panganut Thariqoh. Menurut catatan-catatanbuku harian KH Nawawi, cara-cara mengeratkan ukhuwah di antara ikhwan thoriqoh. Pertama, para mursyid diberi tuntunan-tuntunan asas Thoriqoh yang semuanya asas-asas tadi dimengerti sampai tahu betul para murid dengan asas tujuan Thoriqoh hingga paham adab-adabnya murid Thoriqoh, adab kepada guru dan adab teman-teman Thoriqoh dengan inshaf, dan patuh terutama adab ma’a Allah dan Rasulnya. Kedua, supaya dianjurkan tazawur diantara mursyidin dengan para abdal satu sama lain, dengan tukar pikiran bagaimana caranya mentarbiyah murid-murid mana yang baik ditiru oleh ikhwan lain agar menambah amal khair. Ketiga, para mursyid menganjurkan kepada abdal-abdal supaya berangkat khataman, tawajuhan dan riyadloh jasmaniyah dan rohaniyah serta tafakkur yang dapat mendekatkan muroqobah hingga para ikhwan Thoriqoh bisa melatih diri inshaf kepada ajaran-ajaran Sufi yang mana bisa sabar dan Ridho pada hukum Allah, dan membuat kebaikan kepada makhluk serta cinta kepada teman-teman dan menjauhi larangan-larangan tuhan dan terus mengabdi tambahannya ilmu serta ingat kepada mati agar giat beribadah. Dengan terbentuknya panitia sementara dalam rencana penyelenggarakan kongres pertama. Maka pada tanggal 11 Agustus tahun 1956 dengan susunan kepanitiaan Pelindung KH Romli Tamim Rejo Jombang dan Ketua I KH Nawawi Berjan serta pembantu-pembantu I KH Khudlori Magelang. Hasil Presidium Kepengurusan Kongres perdana dengan Anggota KH. Mandhur, KH. Chudlori Tegalrejo, KH. Usman, KH. Chafidz Rembang, KH. Nawawi, KH. Masruchan Brumbung, dengan sidang pertama di Rejoso Jombang. Kesepakatan kongres pada tanggal 19/20 Rabiul awal 1377 atau 10 Oktober 1957 sebagai hari lahir Jam’iyyah Ahli Thariqoh al-Mu’tabaroh. Pendirian Jam’iyyah ini telah direstui oleh KH. Dalhar Watucongol, walaupun pada saat itu beliau tidak berkenan naik panggung.Dalam kongres Jam’iyyah Ahli Thoriqoh ke 1 pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di Tegalrejo Magelang dalam kapasitasnya sebagai ketua Panitia Kongres, KH. Nawawi dan Kyai Siraj Payaman yang paling banyak memberikan Jawaban setiap pertanyaan dari peserrta, termasuk dari Kiai Mahrus Lirboyo.KAROMAH / KERAMATPada waktu wafatnya KH. Nawawi , tempat yang digali untuk pemakaman beliau tiba-tiba memancarkan cahaya sangat terang yang ditimbulkan oleh batu-batu yang menyerupai berlian/ permata. Seketika orang yang berada di sekitarnya berebut mengambil batu-batu tersebut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Konon, semasa hidupnya beliau pernah berwasiat ketika wafat nanti supaya dimakamkan di tempat tersebut. SubhanallohWafatBeliau wafat pada hari Ahad Pahing , tanggal 4 Syawal 1982 sekitar jam 23.00 WIB. dan di makamkan di Pemakaman Keluarga Desa Bulus Gebang Purworejo , pada waktu Upacara Pemakaman doa pemberangkatan dipimpin oleh KH. Nadzir Kebarongan Banyumas dengan diamini oleh KH. Achmad Abdul Haq Dalhar ( Mbah Mad ) Watucongol Magelang, KH. Mustholih Badawi Kesugihan Cilacap dan para muazziyin, muazziyat yang hadir. AlfatihahSumber :* Buku Mengenal KH. Nawawi Berjan Purworejo hal. 38, 39, 40 )* Pondok Pesantren An-Nawawi purworejo BIOGRAFI SINGKAT KH. NAWAWI BERJAN PURWOREJO TOKOH DIBALIK BERDIRINYA JATMAN Allaahumma sholli 'alaa Sayyidinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shobihi wa sallimDi tulis ulang dari grup / halaman facebook :Nunu Isco‎ ke SEJARAH ULAMA DAN KARAMAHNYADi dalam grup tersebut tulisan ini di publikasikan oleh :Nunu Isco‎ ke SEJARAH ULAMA DAN KARAMAHNYASemoga Allah memberikan kebaikan dan manfaat atas tulisan ini bagi kita semuanya, Amin...
http://www.masdull.com/2020/01/biografi-singkat-kh-nawawi-berjan.html
1 note · View note
mocha71mi08dja11 · 4 years
Text
KH Abu Amar
Sejarah Akan Terus Jadi Inspirasi Jumat, 10 Juli 2015 Mengenal Sosok Ulama Agung Dari Purbalingga Yang Mukim Di Makkah Salah satu ulama Banyumas yang menjadi guru para ulama di Mekkah adalah Syaikh Achmad Nahrawi Mukhtarom Al Banyumasi Al Makki. Dari tangan beliau Thariqah Syadziliyah, berkembang sampai ke Indonesia Bentang alam wilayah Banyumas berupa dataran tinggi dan pegunungan serta lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin kelangsungan pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi). Karisedenan Banyumas terdiri dari 4 Kabupaten yakni Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara. Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda. Maka tidak aneh, bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali keluarga-keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan para tokoh pengikutnya. Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang telah menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini. Tak terkecuali Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi, salah satu ulama Banyumas adalah Syaikh Achmad Nahrawi Mukhtarom Al Banyumasi lama berkiprah di Masjidil Harom. Beliau lahir di sekitar Banyumas pada 1800 M. Putra pasangan KH Hardja Muhammad dan Nyai Salamah merupakan generasi ketiga imam Masjid Darussalam (Masjid Kauman Purbalingga). Dari pasangan ini lahir Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom dan KH Abu ‘Ammar, dua Ulama terkemuka dari Purbalingga Jawa Tengah. Masa kecil Nahrowi sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja Nahrowi dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama kepada KH Harja Muhammad yang juga dikenal Imam Masjid Darussalam Purbalingga, sebelum meninggalkan tanah airnya. Sebagaimana para Ulama Jawa, kakak beradik ini, Nahrowi Mukhtarom dan Abu ‘Amar kemudian belajar ke Mekkah yang pada waktu menjadi pusat Ilmu pengetahuan Islam. Apalagi pada saat itu ada puncak geger Perang Diponegoro (1825-1830 M) yang membuat banyak sekali santri dan kalangan terpelajar dari tanah Jawa pergi ke luar negeri terutama sekali Mekkah untuk mempelajari agama dan menghabiskan waktu di sana sampai suasana tanah air tenang, baru mereka pulang. Mekkah saat itu memang menjadi pusat peradaban ilmu dengan guru-guru ulama yang sangat mumpuni seperti Syekh Muhammad al-Maqri a-Mishri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti madzab Syafi’iyah di Makkah, Syaikh Ahmad An-Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayyid Muhammad Shalih al-Zawawi al-Makki, salah seorang guru di Masjid Nabawi dll. Syaikh Nahrowi tidak kembali ke Nusantara, memilih berkarier di Makkah, di tempat dia menimba ilmu dan menjadi guru yang ulung. Berbeda dengan Syekh Achmad Nahrowi Mukhtarom, sang Kakak, Abu ‘Ammar pulang ke tanah air dan menjadi Imam Masjid Agung Purbalingga, Jawa Tengah. KH Abu Ammar begitu pulang dari Mekkah langsung menghidupkan dan memakmurkan Masjid Agung Purbalingga. Masjid Agung Purbalingga, merupakan peninggalan Mbah Abu ‘Amar dan keluarganya. Sebab, tanah wakaf itu atas nama KH Hardja Muhammad yang tidak lain adalah ayah Mbah Abu ‘Amar. KH Abu Ammar juga dikenal dengan kelapangan dan luwes dalam bergaul. Hal itu dibuktikan dengan kedekatan Mbah Abu ‘Amar dengan tokoh lintas organisasi, seperti KH Hasyim Asy’ari (NU) dan Kiai Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) pernah datang dan berdiskusi di Masjid Kauman semasa Mbah Abu ‘Amar. Bahkan Syaikh Syurkati, pendiri Al Irsyad Al Islamiyah dari Mekkah dikabarkan juga pernah bertandang. KH Abu ‘Amar, adalah kakak dari Syekh Achmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi. KH Abu ‘Amar ini adalah seorang intelektual muslim yang sangat disegani tidak saja pada regional Banyumas akan tetapi juga nasional. Kancah KH Abu ‘Ammar di tingkat nasional bisa ditelusur ketika berteman akrab dengan seorang hakim Belanda yang sangat terkenal yaitu Prof. Terrhar. Diskusi yang intens KH ‘Abu ‘Amar ini dengan Terrhar ini kemudian memunculkan perlunya sebuah peradilan bagi kaum inderland tersendiri yang terpisah dengan landrat yang ada ketika itu. Peradilan ini hanya diberlakukan buat kaum inderlands yang berhubungan dengan hukum-hukum perdata (Begerlijc Wetbook). Sektor yang diurus oleh peradilan ini meliputi pernikahan, perceraian, hukum waris. Peradilan ini kemudian dikenal dengan Pengadilan Agama, yang peradilan agama ini telah berkembang sekarang sampai keseluruh persada nusantara. Dalam sejarah peradilan di Indonesia, pengadilan agama ini sekarang telah menjadi salah satu dari empat peradilan di Indonesia. Dan sekarang pengadilan Agama telah sama kedudukannya dengan pengadilan umum serta dibawah satu atap Mahkamah Agung. Bahkan kewenangan Pengadilan Agama kini telah meluas tidak saja hal-hal yang berkenaan denngan hukum Perdata tapi juga menerima sengketa pidana yang bersifat syariah. Kembali kepada sang adik Abu ‘Ammar, Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi rupa-rupanya tidak mau pulang ke tanah Jawa. Bahkan oleh Pemerintah Saudi Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom diangkat menjadi guru mengajar santri dari berbagai Negara. Banyak mempunyai murid dan bahkan menjadi hakim agung di Arab Saudi (lihat; Islam transformasi; Azyumardi Azra; Gramedia; 1997). Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya, sebelum ada pengesahan dari Syaikh Ahmad Nahrowi Mukhtarom Al Banyumasi. Jadi bisa dipastikan waktu Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi ini bisa dikatakan habis untuk mengkoreksi dan mentahshih ratusan kitab karya ulama-ulama Nusantara pada waktu itu terkenal sangat produktif menulis karya tulis seperti Syaikh Mahfudz Al Tremasi, Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Cholil Al Bangkalani, Syaikh Junaid Al Batawi dll. Diibaratkan Syaikh Nahrowi adalah editor handal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama Nusantara pada masa itu. Sebagaimana ulama Banyumas yang terkenal jujur, rendah hati dan tidak mau menonjolkan ilmu, Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom disebut banyak ulama justru melahirkan kitab-kitab berjalan, yang tiada lain murid-muridnya yang kebanyakan belajar ilmu thariqah kepadanya. Selain mengasas kitab, Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom juga menjadi Mursyid Thariqah Syadziliyah. Thariqah Syadziliyah muncul secara Besar-besaran di tanah Jawa baru di abad 19, ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air. Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri Pesantren Jamsaren, Solo, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah. Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah Syaikh Shalih, yakni Syaikh Achmad Nahrawi Mukhtarom, ulama Haramain asal Purbalingga Banyumas, Jawa Tengah, yang seangkatan –atau lebih tinggi– dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru kepada Syaikh Muhammad Shalih. Ulama-ulama Jawa yang berguru thariqah Syadziliyyah kepada Syaikh Achmad Nahrowi Mukhtarom al Banyumasi antara lain : K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Achmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; dan Syaikh Abdul Malik, Kedungparuk Mersi, Purwokerto, Banyumas. Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Achmad Abdul Haqq (Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar (Salatiga). Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili Al Hasany, ulama kelahiran Ghamarah, sebuah kampung di wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko, pada tahun 593 H (1197 M), dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M). Beliau adalah seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri di hadapan Allah). Beliau juga mengajarkan pada muridnya untuk bersikap zuhud pada dunia dan iqbal (perasaan hadir di hadapan Allah). Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Qutul Qulub. Syaikh Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thariqahnya berdiri di atas lima perkara yang pokok, yaitu: Taqwa pada Allah Swt dalam keadaan rahasia maupun terbuka, Mengikuti sunnah Nabi dalam perkataan maupun perbuatan, Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan harapan) ketika berada di depan atau di belakang mereka, Ridlo terhadap Allah Swt dalam (pemberianNya) sedikit maupun banyak, Kembali kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun duka. Di samping itu beliau juga mengajak mereka untuk mengiringi thariqahnya dengan dzikir-dzikir dan do’a– do’a sebagaimana termuat dalam kitab-kitabnya, seperti Al-Ikhwah, Hizb Al-barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan sebagainya. Thariqah Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair, Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan belakangan thariqah ini kian digemari di Indonesia karena amalan wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu, sangat cocok u ntuk kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan –untuk di Pulau Jawa saat ini—tentu karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya yang saat ini menjabat sebagai tokoh sentral dalam Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah mu’tabarah yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama. Syaikh Nahrawi Mukhtarom Al Makki Al Banyumasi wafat pada tahun 1926 M, pada usia 125 tahun dan di makamkan di Mekkah. Namun kiprah dakwahnya di tanah air tidak pernah terputus. Dakwah Islamiyah itu juga terus bersambung dilanjutkan oleh keluarganya yang ada di Purbalingga hingga kini. Salah satu putra terpilih Mbah Abu ‘Amar adalah KH Muhammad ‘Isyom. Dia merupakan putera Mbah Abu ‘Amar dengan Ny Murtafingah binti KH Hasan Mu’min, Penghulu Banjarnegara. Almarhum KH Muhammad ‘Isyom dikenal fasih bahasa Inggris dan Arab. Sosok cerdas yang wafat 1976 tersebut, pernah menjadi juru bicara ulama-ulama Indonesia saat melakukan kunjungan ke beberapa negara di dunia. Pada saat KH ‘Isyom menjadi imam masjid jami’ Darussalam Purbalingga , mulailah dibangun lembaga pendidikan Al Ushriyyah di bawah naungan Yayasan KH Abu ‘Amar. Ini merupakan salah satu usaha untuk melestarikan perjuangan Mbah Abu ‘Amar. MTs Al Ushriyyah Purbalingga saat ini membuka pendidikan formal Madrasah Tsanawiyyah (MTs). Berdiri pada 1949, lembaga pendidikan yang berada di sisi utara bagian belakang masjid Darussalam Purbalingga-Jawa Tengah masih bertahan sampai sekarang. Itulah sedikit sejarah Ulama Agung Dari Purbalingga yang Menjadi Ulama dan Mursyid di Makkah al-Mukarromah. Semoga bermanfaat. Wiyonggo seto di 13.00 Berbagi 4 komentar: Anwar Hadja2 Januari 2016 18.19 Informasi yg luar biasa, memperluas wawasan sejarah lokal Banyumas-Purbolingga dan Sejarah perkembangan Islam Lembah Serayu Banyumas.Salam selalu.(Anwar Hadja ) Balas wiyonggo seto3 Januari 2016 06.50 آمين آمين آمين يارب العالمين Semoga Membantu Balas Balasan Anistya8 April 2019 06.15 Kak kalo mau tau lebih jauh tentang KH Abu Ammar kita bisa nyari informasinya dimana ya ? Balas Mazlum Syahid25 Januari 2018 14.57 https://drive.google.com/file/d/0B6ut4qmVOTGWMkJvbFpZejBQZWM/view?usp=drivesdk Web: almawaddah.info Salam Kepada: Redaksi, rektor dan para akademik Per: Beberapa Hadis Sahih Bukhari dan Muslim yang Disembunyikan Bagi tujuan kajian dan renungan. Diambil dari web: almawaddah. info Selamat hari raya, maaf zahir dan batin. Daripada Pencinta Islam rahmatan lil Alamin wa afwan Balas ‹ › Beranda Lihat versi web Menapak Jejak Mengenal Watak Wiyonggo seto Lihat profil lengkapku Diberdayakan oleh Blogger.
1 note · View note
heologic · 5 years
Text
MEMBACA SENI DEMOKRASI INDONESIA : INSTRUMEN INTEGRASI, ATAU POTENSI INTOLERANSI?
           Seperti sebuah siklus yang bergerak dalam interval yang konstan, animo demokrasi di Indonesia selalu lebih ‘terasa’ atmosfernya ketika menjelang Pemilihan Umum atau pemilu yang diadakan temporal sebagai ‘pesta’ demokrasi lima tahun sekali. Akar penyebutan pemilu sebagai ‘pesta demokrasi’ rakyat pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soeharto pada pemilu 23 Februari 1982, dengan kutipan : “Pemilu harus dirasakan sebagai pesta poranya demokrasi, sebagai penggunaan hak demokrasi yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak berubah menjadi sesuatu yang menegangkan dan mencekam,". Ungkapan Soeharto ini barangkali bisa dijadikan sebagai arah dari keberjalanan pemilu sebagai sarana demokrasi yang damai, bukan menegangkan atau memicu konflik dalam keberlangsungannya. Namun, ungkapan ini juga seolah membentuk paradigma sendiri dalam masyarakat. Mayoritas masyarakat berpikir bahwa pemilu adalah satu-satunya wujud partisipasi politik dalam wujud negara demokratis, kendatipun sebenarnya, pemilu hanyalah salah satu dari sekian banyak partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh warga negara, baik yang konvensional maupun yang non konvensional.
           Berbicara tentang pemilu, tentu tidak lepas dari linimasa pada tahun 1955, di mana pemilu untuk pertama kalinya diselenggarakan sebagai bentuk dari negara Indonesia yang berasaskan demokrasi Pancasila. Banyak literatur yang menyebutkan bahwa Pemilu 1955 yang diselenggarakan pada 29 September -untuk memilih anggota DPR- dan 15 Desember -untuk memilih  anggota Konstituante- merupakan pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah pemilihan umum di Indonesia. Ada beberapa kausal yang mendasari pelabelan ‘paling demokratis’ tersebut, di antaranya adalah terselenggaranya pemilihan umum yang bersifat terbuka secara regulasi, partisipasi masyarakat yang luar biasa, dan berjalan aman serta damai. Keterbukaan regulasi ini, seperti dikatakan Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia ditunjukkan dengan adanya peluang bagi kandidat untuk mencalonkan diri tidak hanya lewat parpol, melainkan juga secara independen. Pada masa itu, pemilu diikuti oleh 36 parpol dengan kekuatan terbesar adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Sarikat Islam.
         Kendati demikian, menurut saya, penyebutan Pemilu 1955 sebagai pemilu ‘paling demokratis’ dirasa kurang tepat, terlebih apabila dilihat dari indikator keamanan dan kedamaian. Kegiatan kampanye pada masa itu disulap menjadi arena propaganda antar golongan. Hal ini bisa dimaklumi karena parpol-parpol dengan kekuatan terbesar, kebanyakan dilandasi atas dasar ideologis masing-masing. Agitasi politik menjadi sarana untuk pertarungan ideologi yang berdampak pada terbengkalainya program parpol. Polemik politik tersebut semakin berkobar dengan saling kecam dan fitnah lewat media massa. Pers dan media pada waktu itu dijadikan salah satu instrumen propaganda untuk saling adu kuat dalam menyebar influensi. Konklusinya, pemilu perdana tersebut menjadi semacam ‘wadah politik’ dengan tensi yang selalu mengalami eskalasi.
           Tahun ini, genap enam dasawarsa lebih sejak berlalunya Pemilu 1955. Pada tahun ini pula, Pemilu 2019 akan menjadi pemilu ke-12 sejak awal dilaksanakan secara temporal. Apabila membaca rekam jejak pemilu dalam kurun waktu 1955-2014 yang lalu, sebenarnya banyak kita temui berbagai fluktuasi dinamika politik yang juga dependen pada iklim politik masing-masing masa. Dari mulai perang antar ideologi, sampai propaganda tunggal oleh rezim Orde Baru yang dimotori oleh Golongan Karya, sehingga memunculkan golongan dominasi mayoritas. Ketika era Orde Baru runtuh dan berganti dengan wajah Reformasi, polemik politik dalam pemilu semakin variatif. Meski demikian, sesuai dengan kutipan dari Karl Marx dalam bukunya, The Eighteenth Brumaire of Louis Napoleon : “Sejarah akan berulang, baik sebagai tragedi maupun lelucon.”-, dinamika pemilu yang pernah menyejarah akan berulang, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Baik dari segi kampanye, ataupun ‘perang dingin’ antar calon beserta kroni-kroninya.
           Bagi saya yang baru berumur 19 tahun, Pemilu 2014 lalu menjadi visualisasi pemilu secara langsung yang pertama kali saya rasakan. Seperti disinggung di awal bahwa momen pemilu merupakan fase peningkatan tensi politik, hingga dampaknya sangat melekat kuat pada waktu itu. Dalam pemilihan presiden, adalah wajar apabila masyarakat seolah mengalami fragmentasi menjadi bipolar dengan tendensi pada satu calon tertentu. Terlebih pada 2014 lalu, penggunaan internet sebagai sarana pemenuhan kebutuhan infromasi dan komunikasi semakin meningkat, maka bentuk partisipasi atau kampanye juga semakin variatif. Tidak hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Masyarakat semakin mudah dalam bersuara dan memilih, bahkan pada waktu itu juga dicetuskan program ‘Kampred’ atau Kampanye Presiden Damai. Namun, seperti yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya, keragaman pendukung dan media lagi-lagi menyuarakan black campaign atau kampanye hitam, teriring propaganda atau ujaran kebencian yang bertujuan untuk mendiskriminasi salah satu calon. Tidak hanya sekali dua kali, dan hal ini tentu menjadi cela dalam pemilu yang berasas ‘luber jurdil’ seperti yang biasa kita dengar. Adanya polarisasi, motif kepentingan yang bersifat primordialis, juga ditambah dengan upaya diskredit antarcalon yang begitu masif, sedikit banyak menjadi pemantik atas disintegrasi masyarakat yang sayangnya ‘bertunas’ di atas ‘tanah’ pemilihan umum.
           Setelah separuh dasawarsa berlalu, Pemilu 2019 kini tinggal menghitung jemari. Seperti yang sudah diproyeksikan dengan melihat geliat perkembangan masyarakat yang semakin terbuka, atmosfer dan tekanan politik pada pemilu kali ini bahkan jauh lebih terasa ketimbang pemilu yang lalu. Masing-masing kubu berusaha semaksimal mungkin untuk memberdayakan segala instrumen pendukung; mengadakan koalisi dengan berbagai golongan yang memiliki ’kiblat’ yang sama; dan saling adu dalam merebut simpati mayoritas rakyat, terutama masyarakat grassroot atau golongan akar rumput, karena kekuatannya dinilai cukup besar dalam aspirasi dan partisipasi politik. Dan lagi-lagi, seolah direpetisi dari masa ke masa, hal-hal yang bersifat inhibitor seperti black campagin, hoax, saling tuduh, diskredit, dan ujaran kebencian masih menjadi momok dan cacat dalam ‘pesta demokrasi’ ini. Menilik pada peristiwa-peristiwa sebelumnya, bahwa hal yang demikian bersifat ‘katalis’ dalam bentuk disintegrasi bangsa. Masyarakat akan semakin terkotak-kotak dengan kepentingan masing-masing, toh melihat fungsi parpol yang menjadi tunggangan bagi sekelompok golongan. Di samping itu, masyarakat yang tidak selektif dalam menerima informasi akan mudah terpengaruh dan sulit untuk berpikir jernih di tengah maraknya hoax , dan sebagainya. Bukan tidak mungkin bahwa dari polarisasi tersebut akan menurunkan polar-polar yang lainnya. Hal-hal seperti ini apabila tidak ditanggapi dengan serius, akan dapat menjadi pemicu dari melemahnya kesatuan bangsa.
           Memang tidak dapat dipungkiri bahwa adanya dinamika yang demikian memang konsekuensi dari negara demokrasi, yang menjadikan pemilu sebagai sarana bagi rakyat dalam berpartisipasi untuk kemajuan negaranya. Tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di negara Amerika Serikat dalam Pilpres 2016 yang lalu, ketika Donald Trump dari Partai Republik disinyalir melakukan berbagai tindakan kongkalikong guna menjatuhkan lawan politiknya -Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Meski demikian, apabila hal-hal tersebut tidak direduksi, maka akan berdampak buruk bagi kondisi masyarakat dan bangsa ke depannya. Maka sebagai warga negara yang insaf akan urgensi persatuan bangsa, sekiranya ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan, yaitu : 1) mengonsolidasikan semangat Pancasila sebagai landasan ideologi Negara dan memahami kembali UUD 1945; 2) bagi para petahana atau elit politik, hendaknya memberikan dorongan atau teladan yang baik kepada masyarakat, dan tidak menggadang-gadang kepentingan politik golongan; 3) tidak turut menjadi pemantik dalam informasi simpang siru yang belum jelas validitasnya; dan 4) menggalakan kembali budaya luhur bangsa, yaitu toleransi.
           Barangkali saran yang saya paparkan masih terlalu sederhana, atau justru terkesan  berlebihan, namun saya yakin, satu titik langkah kebaikan yang ditularkan akan menjadi kebaikan dan perubahan yang sejalan. Harapan saya, ‘seni’ dalam pemilu seperti kampanye dsb kelak bukan hanya menjadi ajang agitasi yang melompong. Bukan lagi menjadi sarana perekrutan pribadi atau golongan yang mentereng demi mulusnya jalan menuju pemerintahan. Bukan lagi alat untuk pemakluman dalam fanatisme, saling lempar hal-hal negatif, dan arena sikut-menyikut antar golongan. Pemilu yang baik, selayaknya memuat semua asas ‘luber jurdil’ dalam prosesnya tanpa kecuali. Dengan demikian, itulah yang selayaknya disebut sebagai ‘pemilu paling demokratis’ yang hingga kini masih jadi visi dan misi.
           Apabila pemilu dapat berjalan dengan aman, lancar, dan menjadi sebenar-benar media bagi masyarakat untuk berkecimpung dalam animo demokrasi, maka tujuan pemilu seperti yang dikatakan Soeharto, bahwa “Pemilu dilaksanakan untuk memperkokoh persatuan nasional, mendewasakan kehidupan demokrasi, dan menggelorakan semangat pembangunan. Sebaliknya, pemilu bukan untuk mencerai-beraikan persatuan nasional, melemahkan kehidupan demokrasi, dan menghambat persatuan nasional.” -akan terwujud sebagaimana mestinya. Bukan sebagai ajang intoleransi, melainkan sebagai instrumen integrasi.
REFERENSI
Buku :
Haris, Syamsuddin. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru : Sebuah Bunga Rampai. 1998. Yogyakarta : Yayasan Obor Indonesia
Herbert, Faith. 1957. The Indonesian Elections 1955. Cornell University
Kompas, Desk Polhuk Harian. Membaca Indonesia. 2018. Jakarta : Kompas
----------------------
Bodo amat deh, ini dibuat sejak bulan Februari, anyway. Berhubung lagi kzl, jadi dipost aja! :3
Banjarngr, 64 tahun Konferensi Asia-Afrika
Heo, yang buta quickcount.
6 notes · View notes