Tumgik
#ruanguntukku56
ruanguntukku · 2 years
Text
Badai itu Mengubah Kehidupan Kita
Dulu, ketika gawai belum menjadi barang yang umum bagi kalangan anak-anak, aku dan teman-teman di sekolah dasar terbiasa main dengan hal yang sederhana.
Sesederhana bermain petak umpet, taplak, galaxin, dan sesederhana menirukan lomba "AFI" dengan teman-teman sekelas sepulang sekolah (belum paham ilmu syar'i saat itu).
Namun, suatu ketika datanglah badai itu. Sebuah perubahan yang menggemparkan dunia. Ketika ponsel mulai mampu dibeli oleh masyarakat menengah, satu per satu temanku memilikinya ketika kami berada di kelas 6 SD.
Sebuah barang yang sangat "wah" pada zamannya. Dan jadi sebuah kasta yang baru dalam pertemanan. Anak-anak Genk eksis di kelas yang cenderung mampu mulai memilikinya. Lalu, temanku, anak yang nggak tergabung di dalam Genk itu pun punya ponsel. Ketika dibawa ke sekolah, maka ia tiba-tiba menjadi anggota Genk baru mereka.
Lantas, aku dan teman-teman yang nggak punya ponsel pun mulai terpinggirkan. Permainan ajang AFI yang sebelumnya sering kami mainkan jadi sepi dan akhirnya bubar. Tiap anak mulai merengek kepada orang tuanya untuk bisa dibelikan ponsel juga.
Anak-anak yang dihantam ujian ekonomi keluarganya akhirnya harus banyak bersabar dan mencoba bertahan pada permainan klasik yang saat itu sebenarnya udah nggak terlihat menarik lagi.
Kalau ditanya, kapan aku punya ponsel pertamaku? Kelas 3 SMP tahun 2008. Cukup terlambat dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. Ponsel pertamaku pun adalah ponsel lungsuran ayah.
Tapi satu hal yang masih aku ingat, ketika ada bapak-bapak kantoran di kereta yang aku dan teman-teman temui saat perjalanan menuju sekolah, bertanya siapa saja yang punya ponsel. Aku satu-satunya yg belum punya, tapi bapak tersebut malah mengacungkan jempol mengatakan bahwa didikan orang tuaku sudah tepat.
Ya, perubahan ini terasa asing bagi orang-orang yang hidup lebih dulu. Mereka mungkin sudah menelaah dampaknya untuk perkembangan anak-anak di masa depan.
Didikan orang tuaku yang mungkin saat itu kurang umum dan terkesan kolot, ternyata masih bisa dipahami dan diapresiasi oleh orang lain yang punya sudut pandang yang sama.
Dari situ aku belajar bahwa di balik sebuah perubahan yang melahirkan kasta baru dalam kehidupan, bersyukurnya masih ada manusia yang tetap memanusiakan manusia lain secara adil dan bijak, meski mereka tak banyak ditemui.
Sebelum adanya tren ponsel ini, ada kasus bullying yang cukup membekas di diriku dan berkaitan dengan perubahan. Hal ini terjadi lebih jauh ke belakang ketika aku berusia sekitar 5 tahunan.
Di zaman itu kalau mau beli boneka Barbie, mayoritas yang dijual adalah yang kualitas original dengan harga mahal. Barbie-barbie KW (yang bisa dicopot-copot badannya) belum begitu banyak. Sehingga mayoritas yang punya Barbie ORI ya cuma anak-anak borju.
Di zaman itu kondisi keuangan orang tuaku tidak memungkinkan untuk bisa belikan aku Barbie ORI. Tapi aku pun nggak tau kalau Barbie KW udah mulai dijual di pasaran, karena belum ada hp, sosmed dan gugel 😂
Aku pernah minta dibelikan Barbie ke ibuku, tapi ya seperti biasa pasti nggak di-ACC. Aku merengek hampir tiap hari gegara nggak boleh ikutan main sama teman-teman di dekat rumahku, dengan alasan karena aku nggak punya Barbie dan mereka lagi asyik mainan Barbie semuanya, so aku dianggap kayak benalu kali ya wkwk. Hingga suatu hari aku seneng banget pas teman mamaku kasih hadiah sebuah boneka Barbie ORI!
Dengan penuh percaya diri aku bawa Barbie baruku ke rumah salah seorang teman yang satu gang sama aku. Pede dong pasti boleh ikutan main. Pas dateng mereka liat Barbie yang aku bawa. Salah seorang dari mereka bilang, "Wiihhh Barbie dia ORI!" Sambil takjub.
Tapi temanku yg punya rumah mukanya asem banget, kayak nggak suka. Cuma ya aku saat itu mana ngerti kalau dia tuh iri, aku cuma fokus mau main aja saking senangnya.
Pas baru main sebentar, tiba-tiba temanku yg mukanya asem tadi sebut saja (U) minta pinjam Barbie yang aku punya. Di depan mataku itu Barbie ditekuk kakinya, ternyata bisa bengkok, yang aku sendiri kagak ngerti. Dan pas dia mau copot tangannya, Alhamdulillah langsung dicegah dan dibilang kalau Barbie ORI nggak bisa dimutilasi.
Nah, seakan nggak puas tiba-tiba si U ini sama kakaknya si D, bawa Barbie aku ke arah dapur. Aku nggak boleh ikut. Teman yg takjub di awal ikut sama si U dan D. Mereka tiba-tiba ketawa-ketiwi di belakang.
Lalu, akhirnya aku panggil-panggil mereka karena feeling dah nggak enak dan aku ngerasa sesak mau nangis. Pas mereka balik, benar aja.
Barbieku diiris hidungnya, bagian tangan dan kaki dibaret-baret pakai pisau sampai lecet, rambutnya jadi kusut. Aku nangis dan marah, tapi cuma bisa lari pulang sambil bawa Barbieku.
Di rumah nggak ada orang. Ortu kerja 22nya, ART lagi sibuk di luar. Cuma bisa nangis sejadi-jadinya tanpa bisa cerita ke siapapun. Karena kalau cerita ke ibu pasti diomelin lagi ujungnya karena itu barang mahal.
It was so tragic. Aku sampe sekarang kalau ingat kayak mikir mereka tuh di usia segitu bisa ngebully selevel psycho, mainnya udah pake pisau ya ampun, nggak sebatas ngatain doang 😤
Back to topic, balik lagi ke masa ponsel. Alasan aku bisa sabar dan terima didikan orang tuaku yang nggak belikan hp sampai aku kelas 3 SMP ya karena aku sadar, dengan memilikinya pun nggak akan bawa banyak perubahan. Meski kita mungkin jadi diterima dan disukai oleh mereka yang sok eksklusif, yang cuma mau temenan sama yang sama-sama punya privilege, tapi ya buat apa kita memaksa kehidupan kita bisa diterima oleh orang-orang yang seperti itu?
Justru di saat kita nggak punya privilege, kita bisa menilai dan menyeleksi orang-orang yang bisa kita jadikan teman dekat. Karena aku sadar mau sampai kapanpun kasta-kasta dalam pergaulan pasti akan terus ada, ya karena dunia ini terus berubah.
Sama halnya dengan kasta di masa sekarang. Ketika orang begitu kagum sama akun sosmed tenar dengan followers banyak, bertabur love dan pujian. Banyak muncul artis dadakan yang akhirnya disebut "selebgram", "seleb TikTok" dan sebagainya.
Akhirnya muncul tipe manusia yang hanya mau temenan sama mereka yang sama-sama eksis dan populer, lebih menghargai mereka yang punya followers banyak, dan sayangnya jadi diskriminatif sama yang punya followers dikit. Nggak semua kayak gitu, tapi banyak yang begitu 😁
Jenuh, capek dan muak ketika kita terus mengikuti tren pasar hanya demi diterima dan diakui oleh segelintir manusia yang cenderung nggak open minded. Hanya menghargai orang lain dari standar privilege kemewahan dan ketenaran itu nggak open minded. Karena nggak semua orang yang punya privilege itu orang yang beres baik dari segi akhlak dan kehidupannya. Betapa banyak manusia-manusia fake yang maksa hidupnya agar terlihat wah, dengan menghalalkan segala cara. Dari mulai beli followers, pura-pura kaya dan trik tipu-tipu lainnya.
Uniknya, ketika dunia semakin jenuh dengan perubahan-perubahan zaman yang ada, hal-hal klasik yang sempat kehilangan daya tariknya mulai terlihat mewah lagi. Seperti permainan-permainan klasik yang nggak butuh teknologi canggih untuk menikmatinya dan sesederhana perbincangan tanpa distraksi gadget yang terasa lebih hidup dan hangat.
Ya, kadang kita mulai buta dengan arus perkembangan teknologi di zaman ini, tapi ada sebagian dari kita yang disadarkan bahwa hal-hal sederhana dan apa adanya, jauh lebih mewah dan bermakna.
Kita hanya perlu jadi jujur di dalam berinteraksi dan berteman. Berbuat baik dan menghargai orang lain tanpa melihat embel-embel di belakangnya. Jangan sampai kemilaunya dunia membuat adab dan ketulusan kita mampu dibeli oleh hal-hal murahan yang mudah dipalsukan.
Semoga tulisan yang panjang ini bisa menemukan titik intinya, yaitu tentang bagaimana kita tetap memanusiakan manusia dan tak buta dengan kepalsuan dunia. Semoga orang-orang yang tetap teguh dalam aktualisasi di kehidupan nyata, masih ada. Semoga mereka yang bisa tulus dalam berteman, masih tersisa. Jika sekiranya kita belum bisa menemukan satu dari mereka, maka jadilah satu di antaranya.
—SNA, Ruang Untukku #56
Rabu, 20-04-2022 | 12.53
Venetie Van Java, menulis hal-hal yang memenuhi relung jiwa beberapa hari ini.
1 note · View note