Tumgik
notedown · 3 years
Text
Dari Bandara ke Wisma Karantina
LUBABUN NI’AM
Penulis dan editor partikelir
Saya turun dari Bandara Soekarno-Hatta dengan perasaan yang tak asing lagi. Panas tropis yang eksotis dan sedikit menyiksa, setidaknya untuk beberapa waktu ke depan. Entah akan seberapa lama. Hawa laut—dan juga keringat. Internet yang lambat; datang dan pergi. Hampir tak bisa diandalkan. Dan sebentar lagi, aplikasi ojek online. Juga jasa-jasa dadakan yang tumbuh dari upaya memanfaatkan situasi sempit dan ketakberdayaan orang, seperti menjajakan pulsa internet yang dilakukan oleh (atau dengan sepersekongkolan) petugas karantina.
Dari bandara, saya dibawa pergi dengan bis Damri. Satu koper besar dan tas naik gunung, yang keduanya terisi penuh dengan berbagai barang bawaan, masuk ke dalam bagasi bis. Satu tas punggung dan tas selempang naik bersama saya ke dalam bis. Paspor diminta oleh sopir bis sebelum berangkat. Tiap penumpang duduk berjarak; masing-masing satu orang pada lajur kiri dan kanan. Satu kursi di tiap lajur dikosongkan. Saya memakainya untuk menaruh kedua tas saya.
Saya jatuh tertidur di perjalanan dari bandara ke Wisma Atlet, tempat saya akan menghabiskan setidaknya delapan hari dan tujuh malam masa karantina. Saya memegangi kedua tas saya begitu saya tertidur. Seperti ingin menjaga kedua barang tersebut dari serobotan orang asing. Sesuatu yang tak masuk akal. Bagaimana orang tidur bisa menjaga sesuatu? Mungkin lebih karena ada rasa takut akan sesuatu yang bakal hilang. Rasa waswas yang muncul begitu saja.
Begitu terbangun, gedung Wisma Atlet sudah terlihat di sisi kiri saya. Dari kaca jendela di dalam bis, saya bisa melihat pintu gerbang Wisma Atlet yang dijaga tentara. Sopir bis masuk dengan segepok paspor penumpang di tangan; disetorkan ke petugas di meja penerimaan. Dia lantas mengeluarkan semua koper penumpang. Semuanya dikeluarkan sendiri. Begitu terkumpul, koper-koper disemprot sesuatu. Mungkin disenfektan. Saya, dan para penumpang lain di dalam bis, baru keluar bis begitu ada aba-aba dari si sopir.
Turun dari bis, kami menuju kursi tunggu yang dijaga oleh dua tentara muda. Tak lama kemudian, salah seorang di antara mereka memberi keterangan tentang segenap aturan yang berlaku selama tinggal di karantina. Seperti memberi perintah. Dilarang berkerumun dan berkeliaran di sekitar Wisma Atlet, kecuali untuk berolah raga! Tidak boleh membawa minuman beralkohol! Makanan harus diambil satu orang di depan lift! Meski sekadar menyampaikan sejumlah informasi pun terdengar seperti memberi perintah. Kantin dan ATM di gedung 10! Klinik di gedung 9! Makan tiga kali sehari! Tes PCR dua kali! Informasi belaka, tapi terucapkan sebagai perintah.
Pengerahan tentara adalah wajah penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Mereka ada di mana-mana. Di bandara, mereka terlihat diposkan di sejumlah titik. Di pintu keluar setelah pengambilan bagasi, ada tentara. Di area kedatangan penumpang, yang menjadi titik terakhir sebelum orang-orang naik bis (atau dijemput pihak hotel), ada tentara. Di dekat bis yang akan membawa orang-orang ke Wisma Atlet, ada tentara lagi. Polisi juga. Di Wisma Atlet, mereka adalah pintu masuk yang harus dilewati, yang juga mengatur orang-orang. Mereka memang mengatur negeri ini.
Di Wisma Atlet, satu ruangan diperuntukkan bagi tiga orang. Dalam satu ruangan, ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan ruang menjemur pakaian. Salah satu kamar tidur berisi dua kasur, satu lagi satu kasur. Saya dan Reza, kawan dari Wageningen yang berangkat dengan saya sejak dari Belanda, berada dalam satu kamar. Kamar yang lain dipakai Fauzan, kawan yang kami temukan di Bandara Schipol. Di setiap kamar, ada pendingin udara, tapi kami tak menemukan remote control-nya. Saya tidak bisa tidur dengan pendingin udara. Saya mendapat jatah kasur, tapi tak bisa memakainya. Saya mengetik tulisan ini di sofa yang berada di ruang tamu, yang ruangannya tidak berpendingin udara. Saya tidur di sana.
Sebenarnya ruangan dan fasilitas karantina ini tidak terlalu buruk. Ada air hangat di kamar mandi. Ada tali jemuran baju. Ada lemari pakaian. Ada bak untuk mencuci baju. Masing-masing orang diberi selimut dan handuk, juga sikat dan pasta gigi, seperti di hotel. Saya rasa banyak kos-kosan mahasiswa yang lebih buruk dari ini. Kami hanya tidak bisa menemukan gantungan baju, tidak di kamar mandi maupun di kamar tidur. Plafon di kamar tidur kami sudah retak. Kata Reza, cat putih dindingnya sudah kusam. Kami akhirnya juga mendapati bahwa pintu kamar mandi terkunci otomatis begitu ditutup rapat, jadi kami membiarkannya sedikit terbuka kalau tidak ada orang yang memakainya.
Saya sendiri berharap ada kompor di sini. Setidaknya saya bisa merebus air untuk bikin kopi. Saya sudah menyiapkan biji kopi yang sudah disangrai dan coffee maker-nya, termasuk juga seperangkat alat masak naik gunung. Semua itu tidak berguna karena tidak ada kompor. Sebelumnya, saya sempat tanya Ardha, seorang kawan yang sudah lebih awal karantina di Wisma Atlet. Dia bilang bahwa ada water heater di sini. Saya salah tangkap. Water heater yang dimaksud adalah pemanas air di kamar mandi, bukan teko pemanas air. Itu namanya water boiler, katanya. Untuk minum, kami akhirnya bergantung pada air mineral dalam kemasan, yang disediakan bersamaan dengan jatah makanan.
Sebelum masuk Wisma Atlet, kami juga mendengar bahwa tidak ada fasilitas internet di sini. Ardha bilang memang ada router, tapi tidak ada jaringan internetnya. Itu router sisa ajang Asian Games yang dihelat pada 2018 lalu. Saya akhirnya membeli mobile WiFi (MiFi), yang dijual dengan kartu perdana Simpati di dalamnya. Dibantu beberapa kawan, saya pun bisa menerimanya begitu tiba di bandara dan sebelum diberangkatkan ke wisma karantina. Di wisma, dengan bantuan internet dari kartu Halo yang masih aktif di hape saya yang sudah rusak baterainya, Fauzan mendaftarkan nomor perdana bawaan MiFi. Dia tinggal di Bekasi. Jadi, dia bisa memakai kartu tersebut begitu masa karantina selesai. Pendaftaran kartu memakai hape punya Reza. Cuma hape dia yang bisa dipakai. Hapeku dan hape Fauzan dibeli di Belanda, belum bisa dipakai di Indonesia.
Namun, sinyal MiFi tersebut rupanya berjalan sangat lambat, bahkan lebih sering tidak ada koneksi internetnya. Kami mencoba mencari jalan keluar selama berjam-jam. Reza memutuskan untuk tidur sejenak karena sudah tak tertahankan lagi. Begitu dia terbangun petang hari, kami memutuskan untuk mengganti kartu perdana bawaan MiFi dengan kartu Halo. Kali ini berjalan lebih baik. Jauh lebih baik. Semua hape sudah tersambung dengan internet. Hape Fauzan juga sudah bisa dipakai setelah diurus di bandara sebelumnya. Sebelum tidur, saya dengar Fauzan bercakap panjang dan tertawa di ujung telepon.
Dengan adanya MiFi tersebut, saya sendiri akhirnya bisa memutar sejumlah cuplikan pertandingan bola yang saya lewatkan, meski saya selalu gagal memutar streaming. Saya melewatkan laga Arsenal lawan Tottenham Hotpurs. Reza melewatkan pertandingan Juventus. Tapi kehilangan waktu menonton pertandingan sepakbola bukan satu-satunya kekesalan yang terjadi. Laptop saya, yang sudah lama bermasalah dengan penangkapan sinyal, susah sekali menangkap sinyal MiFi. Lebih sering tak tersambung. Saya berharap mengejar tenggat editan selama masa karantina dan melanjutkan kursus bahasa Jerman lewat Zoom dari kamar karantina. Saya ingin masa karantina ini terasa tak begitu lama.
Jakarta, 27 September 2021
Untuk Mas Yanuar, yang menyarankan saya untuk membeli MiFi!
1 note · View note
notedown · 3 years
Text
Jumat di Wisma Atlet
ARMIN HARI Fotografer dan aktivis
Ini adalah hari Jumat kedua.
Dalam ingatan masih samar, bayangan kuning dan orang-orang berpenutup hidung dan mulut yang tak saling menyapa. Sembilan orang, termasuk saya, sejak siang sudah ada di bangku besi yang mulai berkarat di beberapa bagian. Garasi yang disulap jadi ruang layanan, dan tak seorang perawat pun menegur. Kami pun demikian. Masker penutup seperti membatasi gerak mulut untuk sekadar bertukar sapa.
Hingga sore, kami digiring ke bus sekolah berwarna kuning yang telah diubah sedemikian rupa di bagian depan. Duduk saling berjauhan, kami masih menunggu kendaraan diberangkatkan. Kami dipisahkan dengan sopir bus. Tripleks berlapis menyekat ruang antara kami dan sopir. Hanya kami yang berpakaian rupa-rupa. Orang-orang lain mengenakan pakaian berbahan plastik warna putih yang menutupi seluruh badan. Demikian pula wajah mereka.
Dan lampu sirine ambulans masih menyala di depan bus. Tidak bergerak. Cahayanya berpendar ke segala arah. Sembilan orang di dalam bus kuning yang duduk berjauhan tak mengeluarkan suara. Hanya bising mesin kendaraan yang mengisi. Sepi.
Keheningan pecah oleh suara seorang perawat perempuan yang memanggil nama kami satu per satu. Setelah itu, ia memberitahukan bahwa sebentar lagi kami akan dibawa ke Wisma Atlet Kemayoran.
Dari celah jendela bus, kaca belakang ambulans memantulkan cahaya papan lampu LED di depan bus yang bertuliskan: PASIEN COVID.
***
Tumblr media
Bidang kosong di lantai dua belas, menara nomor lima, disulap. Kamar-kamar yang saling berhadapan tertutup rapat. Hanya nomor-nomor dan catatan di kertas tempel yang terlihat di pintu kayu. Kami pun duduk bersila berjauhan. Sebagian besar yang ada terlihat rapi. Baju baru dicuci, dan sarung yang tidak sempat disetrika. Lusuh dan keriput di beberapa bagian. Sajadah pun dibentangkan, dan beberapa lainnya meletakkan kantong-kantong belanja bekas dari bahan kertas di hadapan mereka. Atau karton bekas air mineral. Pengganti alas untuk sujud. Memang kami tidak sempat menyiapkan beberapa perlengkapan dasar untuk dibawa karena panik dan tidak ada arah. Kosong saat diberangkatkan.
Di beberapa bagian, kantong-kantong plastik berwarna kuning masih ditumpuk di sudut. Karton bekas pembungkus nasi disesakkan. Ikut juga sampah-sampah lainnya. Di lantai juga masih ada cairan menggumpal. Mungkin ada yang bocor saat diseret. Debu pun masih terlihat jelas di atas lantai. Tentu saja tidak dipel saat disiapkan, hanya disapu saja. Ruang beribadah ini pun sementara. Hanya untuk hari Jumat saja.
Saya pun memilih duduk agak di belakang. Masih ada satu saf di belakang saya sebelum dinding.
Lantunan ayat-ayat suci dari masjid sebelah memenuhi ruangan. Seseorang di bagian saf depan berdiri. Ia meminta jika ada di antara kami yang bersedia menjadi perangkat pelaksana salat Jumat. Menjadi juru azan, pengkhotbah, atau imam. Suaranya beradu dengan penyampaian dari gedung sebelah. Beberapa orang pun kemudian berdiri dan maju ke depan.
Suara muazin kami tenggelam. Memang tidak ada pengeras suara. Demikian pula saat khotbah disampaikan. Hanya sayup yang bisa didengar. Semuanya dilenyapkan oleh pengeras suara masjid sebelah. Toh kami tidak punya banyak pilihan. Menjadi minoritas dengan segala keterbatasan seperti ini harus diterima. Tidak boleh memprotes, tidak bisa mengkritik.
Ruangan semacam aula dan lorong-lorong kamar mulai sesak. Jemaah laki-laki dari menara ini mulai berdatangan. Ada tiga puluh dua lantai, lebih dari empat ratus unit kamar, dan masing-masing diisi oleh dua atau tiga orang penderita. Lantai dua belas penuh diisi oleh saf-saf jemaah salat Jumat.
Hampir tidak ada yang bisa saya dengar. Hanya gerakan tangan pengkhotbah yang terlihat. Nampak seperti penerjemah bahasa isyarat di sudut kecil televisi.
Di bagian doa akhir yang dipimpin imam, saat semua jemaah menengadah, sayup-sayup suara isakan terdengar di sudut-sudut ruang. Suara imam bergetar memimpin doa. “Ya Allah, Engkau adalah Maha Pemberi dan Pengampun. Ampunkan kami. Sembuhkan kami. Ringankan penyakit saudara-saudara kami yang kurang beruntung. Angkat penyakit ini, Ya Allah. Kami rindu sanak keluarga, jangan biarkan kami sendiri.”
Dalam hati, saya bergumam, “Ah, masih ada beberapa hari ke depan yang harus dilalui. Di sini.”
Jakarta, 11 Desember 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
Di Tiga Kota Itu
SHEILA NURFAJRINA Penikmat arsitektur. Senang jalan-jalan, fotografi, dan eksplorasi semua bentuk seni.
Di kota pertama. Suara burung camar mulai ramai menerobos jendela berbingkai putih yang kontras dengan langit biru. Dan mentari yang selalu muncul lebih awal di musim ini. Kubuka jendela yang segera menghilangkan batas kami dengan hiruk pikuk kota, dan suara-suara. Ah, sudah pagi.
Kami susuri jalanan kota. Mataku yang senang mengikuti garis-garis pemisah batu, bergantian melihat mata temanku. Kami bercerita tentang banyak hal di luar dan di dalam dunia kami berdua. Lalu dalam sekejap jalan berbatu berganti aspal, menyeberangi jalan kecil yang tetiba dilintasi motor bising. Ke stasiun kereta yang tidak begitu berkesan kecuali karena percakapan.
Lalu hening.
Bepergian dengan seseorang yang membuat kita merasa tidak sendirian meski sama-sama sedang diam, itu sangat berharga, kupikir. Tenggelam dalam pikiran masing-masing dan, tak masalah.
Tiba di kota kedua, Gdynia namanya. Dominansi bangunan warna putih yang secara alam bawah sadar membuat kita jatuh cinta. Itu benar. Kota ini disebut mutiara, dengan gaya modern akhir 1960-an yang memang cukup terlambat mengikuti arus internasional. Tapi tak apa, Corbu pasti senang melihat liuk balkon yang menyerupai haluan kapal itu ada di mana-mana. Apalagi warna putih bersih seperti Villa Savoye, yang entah kapan bisa kukunjungi itu.
Wangi laut dan lembap udara, hembus angin yang kuatnya menerbangkan aku, temanku, dan rok kami berdua. Kami bertatapan, berjalan meramaikan trotoar yang sepi dengan gelak tawa.
Sampai dekat laut. Kembali burung camar bersahutan, ramai, berlomba dengan angin dan ombak. Dan mentari di atas kepala.
Lalu hening.
Ombak di luar tak lagi terdengar. Sibuk, pikiranku sibuk. Mendengar jiwa sendiri. Pikiran sendiri. Lalu hati sendiri.
Perlahan hembus angin menyatukan aku kembali. Kudengar deru ombak, angin berdesir meniup rambut. Pasir hangat menyentuh kulit, juga sentuhan air dan bebatuan yang hangat karena siang.
Sudah saatnya pergi mengejar kereta ke kota ketiga. Sopot namanya. Kotanya ramai, penuh manusia berkeringat dan kepanasan. Galeri seni dan toko suvenir memenuhi jalan, juga anjing-anjing berlarian berkejaran seperti berada di taman. Sampai habis dua batang rokokku, di jalan kami memutuskan untuk menghabiskan waktu di sebuah kafe. Meneduhkan diri dan bicara lagi. Berteman es kopi, es krim, dan pai apel yang kami pesan.
Tiga kota ini mungkin saja akan menjadi tempatku di masa depan, kataku memulai dan mengakhiri percakapan. Juga mengakhiri cerita ini. Ya, kita lihat saja nanti. Mungkin aku akan menulis lagi.
Gdańsk, 26 Juli 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
Tentang Rencana dan Takdir
T.A. HIDAYAT
Di akhir tahun pertama studi masterku 2018 silam, aku diwajibkan mengambil sebuah mata kuliah berjudul Academic Consultancy Project (ACT). Mata kuliah ini bagi anak Wageningen memang merupakan mata kuliah yang begitu dinanti-nanti–baik dalam konotasi positif maupun negatif. Setiap mahasiswa diwajibkan memilih sebuah topik riset/proyek yang disediakan sesuai dengan minat mereka, yang akan mereka kerjakan dengan bimbingan dari dua pihak: kampus dan industri profesional. Matkul ini memberiku kesempatan untuk terpapar dengan industri dan kalangan profesional. Riset dilakukan berdasarkan kebutuhan sebuah perusahaan.
Topik-topik yang ditawarkan begitu menarik. Dari awal aku tertarik untuk mendalami bidang penginderaan jauh, yang bisa diaplikasikan untuk kebutuhan precision farming. Rasanya ini sejalan dengan institusi tempatku menjadi asisten riset saat baru lulus sarjana. Apalagi bidang ini Wageningen banget: pertanian dan lingkungan, dilihat dari sisi peta dan geospasial. Mantaplah diriku untuk mengambil topik ini dan mendaftarkan diri ke sebuah perusahaan pertanian.
Namun, beberapa saat sebelum aku konfirmasi pilihanku, tiba-tiba ada topik lain yang menarik hati. Tentang model 3-dimensi sebuah kota. Topik yang terdengar menarik, namun belum pernah aku telisik sebelumnya. Penasaran, aku pun langsung pilih topik itu. Benar-benar di menit terakhir.
Keputusan itu akhirnya memperkenalkanku kepada seseorang yang begitu baik, yang bekerja di sebuah perusahaan yang bernama CGI. Perusahaan tersebut kemudian menjadi tempatku magang selepas proyek riset itu selesai. Yang kemudian berlanjut menjadi tempatku bekerja sekarang.
Keputusan menit akhir yang bisa dibilang mengubah hidupku.
-
Dua minggu yang lalu, aku menikah. Setelah berbagai tantangan dan ketidakpastian yang sangat membolak-balikkan hati.. Setelah macam-macam perubahan rencana.
Awalnya aku dan Ajeng memang merencanakan acara resepsi pernikahan di gedung di Jakarta. Kami mempertimbangkan untuk menikah di bulan April, namun kami tunda karena pikirku itu agak jauh dari lebaran. Aku ingin berlebaran di Indonesia setelah dua tahun berlebaran di Belanda. Akhirnya pilihan tanggal jatuh pada 6 Juni, 2 minggu setelah lebaran. Cari-cari gedung, yang sesuai sama kantong sudah dipesan semua. Akhirnya kami pilih tanggal 13 Juni 2020.
Tentu saja, pandemi yang datang membuat segala sesuatu menjadi tidak pasti. Karena pertemuan dan kerumunan banyak orang tidak memungkinkan, rencana diubah menjadi acara akad saja di mesjid. Lama-lama jadi akad saja di KUA.
Lalu penerbangan yang sudah aku pesan dibatalkan. Koneksi Amsterdam-Jakarta yang awalnya belasan kali per minggu menjadi hanya sekitar 2x per minggu. Dengan syarat-syarat yang sulit yang sangat menciutkan hati. Muncul pertanyaan: “Bisa pulang ga ya? Masa harus nikah daring?”
Beruntung masih bisa pulang dan mendarat di Jakarta. Namun sesampainya di Indonesia, pergerakan antar kota pun dibatasi. Was-was karena acara direncanakan di Jakarta, sedangkan orang tuaku tinggal di Bandung. Mengurus surat izin untuk masuk Jakarta tapi ditolak. Tegang, ga tenang, rasanya otak penuh sama pikiran-pikiran negatif. Aku sampai memutuskan untuk tidak pulang ke Bandung sampai hari-H pernikahan, demi menghindari resiko tidak bisa kembali ke Jakarta nantinya.
Namun di balik tantangan yang kami hadapi dan perubahan-perubahan rencana kami putuskan, ada banyak sekali hal-hal yang mungkin terlihat kecil dan tersembunyi, namun sangat membantu melancarkan pernikahan kami. Tanggal-tanggal yang detail aku sebutkan di atas ada maksudnya.
Seandainya pernikahan kami tetapkan pada bulan April, kami harus sudah melunasi seluruh biaya pernikahan kami pada bulan Maret. Bulan Maret pandemi ini belum merebak. Namun pada bulan April, acara-acara yang menyangkut kerumunan sudah tidak diperbolehkan. Kami mungkin bisa kehilangan banyak (uang) kalau kami merencanakan untuk menikah di bulan April sejak awal. Acara yang kami tetapkan pada bulan Juni memberi kami waktu lebih untuk berpikir dan memantau kondisi.
Lalu tentang tanggal 13 Juni. Seandainya pernikahan kami langsungkan di tanggal 6 Juni, besar kemungkinan kedua orang tuaku tidak bisa datang karena penjagaan keluar-masuk Jakarta sedang ketat-ketatnya. Penjagaan baru dilonggarkan tanggal 8 Juni–tepat di minggu dimana kami menikah!
Kami pun mengadakan syukuran kecil yang hanya dihadiri keluarga dekat dan beberapa perwakilan kerabat. Acara berlangsung lancar, khidmat, dan intim. Aku dan Ajeng bahkan tidak harus selalu berdiri di panggung. Kami bisa makan, keliling, mengobrol. Yang sejatinya, merupakan pernikahan yang sudah kami bayangkan sejak dahulu: intim.
Alhamdulillah, aku bisa kembali ke Indonesia dan tetap sehat. Alhamdulillah, orang tua kami semua sehat dan bisa hadir di pernikahan kami. Alhamdulillah, boleh nikah di masjid, bukan “cuma” di KUA. Alhamdulillah, akhirnya kami menikah! :-)
-
Kisah di atas menyadarkanku bahwa segala sesuatu itu tersusun dari hal-hal kecil. Satu saja hal kecil tersebut diatur dan dirubah, bisa menyebabkan perubahan besar. Dan entah mengapa aku yakin bahwa ada sesuatu yang besar yang mengatur semua ini. Entahlah. Betapa manusia hanya bisa berencana, dan Tuhan-lah yang menentukan.
Tumblr media
Jakarta, 1 Juli 2020
2 notes · View notes
notedown · 4 years
Text
Komorbid dan Standar Akhlak yang Baru
NABILAH MUNSYARIHAH
Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Pondok Tambakberas, dan Pondok Krapyak
Saya mulanya terganggu dengan narasi “seleksi alam” (survival of the fittest) dan banyaknya berita yang mengabarkan bahwa kebanyakan pasien positif Covid-19 yang meninggal adalah mereka dengan komorbid. Komorbiditas adalah penyakit penyerta selain penyakit utama yang sedang menyerang. Berita-berita itu seolah mengesankan: santai saja, korban yang meninggal memang orang penyakitan; jika kamu sehat, kamu akan baik-baik saja.
Hasil kulakan saya dari sejumlah artikel, berita, podcast, dan video, penyakit-penyakit yang dianggap komorbid dalam kasus Covid-19 adalah hipertensi, jantung, infeksi paru, dan diabetes—didasarkan pada riwayat penyakit pasien. Belum ada data pasti dari para ilmuwan bagaimana Covid-19 menyerang imunitas—apa yang diaktifkan—sehingga penyakit yang tampaknya lebih rentan, misalnya kanker dan lupus, tidak masuk dalam daftar tersebut. Apakah ini hanya semacam hasil survei dari pasien postmortem? Apakah hasil ini sebenarnya hanya mencerminkan penyakit mayoritas dalam populasi kita?
Saya hanya orang awam. Tetapi, menurut saya, berita semacam itu tidak sensitif dan mengandung sikap masa bodoh (ignorant) terhadap orang dengan panyakit penyerta. Ada banyak orang dengan penyakit di atas di lingkungan kita. Parahnya, berita-berita itu tidak dilanjutkan dengan bagaimana orang-orang dengan penyakit penyerta sebaiknya diperlakukan? Sementara itu, tenaga kesehatan sudah kewalahan mengatasi membanjirnya pasien positif Covid-19 dengan komorbid.
Apakah orang-orang dengan risiko tinggi harus kita segel saja, kita sisihkan dari masyarakat, agar kehidupan orang-orang sehat kembali normal dan perekonomian kembali melaju seperti harapan pemerintah? Atau kita biarkan saja mereka nanti tersapu sendiri oleh wabah, meninggalkan mereka di belakang?
Berdamai dengan Siapa?
Presiden Joko Widodo meminta kita berdamai dengan Covid-19. Orang sehat bisa berperang, lalu memenangi Covid-19. Imunitas mereka bisa bekerja dengan baik dengan catatan harus bergaya hidup sehat. Tetapi, orang dengan penyakit penyerta tidak akan berdamai dengan Covid-19, Bapak Presiden yang terhomat!
Orang dengan penyakit risiko tinggi juga berhak melanjutkan hidup. Kita harus melindungi mereka agar terhindar dari wabah mematikan. Jangan sampai karena sikap ignorant kita, mereka tersapu secara alami oleh wabah.
Kini waktunya kita memikirkan bagaimana orang dengan penyakit penyerta bisa bertahan hidup di tengah wabah. Mereka ini bisa saja orangtua kita, anak, saudara, sahabat, atau bahkan diri kita sendiri.
Saya dan anak saya termasuk orang dengan risiko tinggi. Sejak pandemi, saya selalu dihantui kecemasan, apalagi jika penyakit anak saya kambuh. Intensitas kambuhnya meningkat dua bulan ini. Saya jadi lebih protektif dan overthinking. Akhirnya, saya pun sampai pada puncak emosi. Setelah itu, saya sadar, saya tidak bisa terus-terusan begini.
Ada banyak manusia lain yang harus bertahan hidup (survive). Meski masa pandemi nanti telah lewat, Covid-19 dikabarkan akan tetap bersama kita. Tentu hal ini membuat saya makin khawatir. Tetapi, saya segera menepisnya. Saya harus berdamai dengan diri saya sendiri. Tubuh saya tidak bisa berdamai dengan Covid-19. Saya harus menerima bahwa orang seperti saya memiliki keterbatasan secara fisik. Saya harus menerima bahwa lingkungan tiba-tiba menjadi tidak aman bagi orang dengan penyakit risiko tinggi.
Saya sebaiknya mempertahankan protokol Covid-19 sepanjang hidup, bergaya hidup sehat, mengontrol penyakit dengan baik, dan mengambil jarak. Saya juga mulai memikirkan bagaimana anak saya yang masih balita bisa tumbuh dengan baik ke depan. Bagaimana ia memahami bahwa ia memiliki keterbatasan? Bagaimana ia menggunakan keterbatasannya untuk membuat terobosan, agar ia bisa tetap hidup bahagia dan berguna?
Dalam dunia binatang, ketika mereka melahirkan anak dengan kecacatan, anak tersebut akan dimakan oleh induknya. Alasannya, pertama, karena anak itu tidak akan bertahan di alam liar. Kedua, induknya perlu energi untuk menghidupi anak-anaknya yang probabilitas hidupnya lebih tinggi. Tetapi, peradaban manusia tidak hidup dengan cara demikian. Kita memiliki nurani dan akal untuk memberikan kesempatan hidup yang sama bagi semua manusia.
Saya lalu teringat pada teman-teman difabel. Mereka memiliki keterbatasan fisik. Tetapi, banyak dari mereka yang bisa menerima diri, bangkit, dan hidup layak. Meski dunia menganggap miring orang difabel, mereka bertahan. Keberadaan mereka tidak tersapu oleh keadaan. Sementara itu, orang dengan penyakit risiko tinggi bisa dilibas oleh pandemi. Ini sebuah different ability yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Standar Akhlak Baru
Kini meningkatkan kesadaran terhadap orang dengan penyakit risiko tinggi lebih penting daripada sebelum-sebelumnya. Sebelum ini, kita mungkin tidak terlalu menaruh perhatian pada orang dengan penyakit hipertensi dan asma di sekitar kita. Kita bersalaman dengan orang yang punya diabetes atau tidak. Kita tidak tahu apakah kita duduk berdekatan dengan orang asing yang punya penyakit jantung atau tidak.
Karena kita tidak tahu, sementara mereka harus dilindungi, maka melaksanakan hidup higienis dengan menjaga kebersihan dan kesucian adalah sebuah kewajiban. Selama pandemi ini, barangkali mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, dan ganti baju setelah keluar rumah adalah bagian dari akhlak. Akhlak adalah sikap spontan yang menjaga orang lain supaya tidak tersakiti oleh kita. Kini akhlak tidak hanya untuk menjaga sopan santun. Akhlak hidup sehat dilakukan untuk menjaga nyawa orang-orang di sekitar kita.
Kita perhatikan dan selidiki apakah di sekitar kita ada orang dengan risiko tinggi. Kita lindungi mereka dengan perilaku sehat kita. Jangan sampai kita mengantarkan virus kepada mereka dan memangkas hak hidup mereka. Kita hentikan laju kematian pasien positif Covid-19 dengan meningkatkan kesadaran terhadap orang dengan komorbiditas di sekitar kita. Hanya dengan itu, mereka bisa selamat dan melanjutkan hidup dengan layak. Bantu mereka memahami keterbatasan kondisi yang bisa membahayakan hidup mereka.
Saya tidak tahu apa kebijakan yang tepat, tapi saya merasa pemerintah harus mengambil langkah segera untuk mengetahui siapa saja yang berisiko tinggi mulai dari lingkungan tersempit dan hal-hal apa yang harus dilakukan agar mereka survive di tengah pandemi dan tidak menambah laju kasus Covid-19 di Indonesia. Jumlahnya pasti jutaan. Tetapi, pasti ada yang bisa dilakukan jika kita berhasil menaruh perhatian pada orang-orang berisiko tinggi.
Momen lebaran ini menguji kita, apa kita benar-benar peduli atau bersikap masa bodoh. Apakah kita akan salat Id di masjid tanpa mengindahkan protokol atas nama kemareman hati? Apakah kita akan bersalaman demi rasa memaafkan dan dimaafkan? Apakah kita tetap sowan kepada para sepuh, kiai, dan bunyai yang mungkin beliau termasuk orang dengan risiko tinggi? Apakah kita akan berjubel di tempat umum demi merasa bahagia sesaat? Apakah setelah Ramadan yang damai kita merasa bebas untuk kembali seperti semula?
Pandemi belum selesai, bahkan tampaknya menuju puncak. Jaga akhlak hidup sehat dan perhatikan orang dengan risiko tinggi di sekitar kita. Jaga mereka dari perilaku ceroboh yang bisa mengancam nyawa mereka.
WaLlahu a’lam.
Magelang, 22 Mei 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
Virus yang Asing, Tubuh yang Asing
PERDANA PUTRI
Setelah sekian lama tidak bertemu subspesies kulit putih berjenis Karen, kami berjumpa di toko kelontong Morse Fresh Market. Karen adalah ejekan populer di Amerika untuk menyindir perempuan kulit putih yang rasis, merepotkan layanan publik/privat, dan merasa menjadi axis mundi peradaban. Pertanyaan andalannya, “Bisa bicara sama manajermu, gak?” atau kalimat-kalimat pasif-agresif lain yang menyembunyikan bahwa mereka segerombolan narsis yang mengira mereka tahu lebih banyak. Sejak hijrah ke Chicago-Evanston sejak 2017, rasisme, fetisisme, dan agresi-mikro menjadi hal yang lumayan akrab bagi saya, seorang perempuan kulit berwarna (woman of color). Apalagi, saya tidak white-passing, alias tidak sedikit pun ada keraguan bagi yang melihat bahwa saya bukan orang kulit putih.
Saya berdiri tepat di belakang isolasi penanda jarak yang dipasang di antrian kasir. Karen berdeham keras-keras di depan saya yang berdiri satu setengah meter di belakangnya. Ia tidak memakai masker, saya sendiri baru memasang masker tepat sebelum ia berbicara. “Kamu bisa mundur lagi gak? Kamu tahu, kan, yang mereka bilang kita harus berjaga-jaga.” Ia menaikkan dagunya menatap saya. Ia berdiri di sebelah seorang lain (bukan orang Asia), kurang dari sejengkal. Ia tampak tidak keberatan dengan kenyataan tersebut. Ia terus mengoceh, “Kita harus jaga kebersihan juga.” Khotbah yang kurang sesuai dengan tindakannya yang menaruh keranjang dengan roda yang kotor bekas lantai toko ke atas meja kasir. Kepercayaan dirinya benar-benar memukau saya, sebab kurang dari sepuluh detik sebelum ia berdakwah soal kebersihan, kasir toko memarahinya karena urusan keranjang tersebut.
Saya cuma diam dan menatapnya dengan malas—dan memutar bola mata saya jauh-jauh ke belakang kepala sampai bisa melihat neraka. Kalau tidak pakai masker, semua orang bisa melihat bibir saya melipir dan mendecak. Petugas kasir menatap saya dengan simpatik; ia paham betul apa yang sedang terjadi. Dan Karen jelas jengkel melihat saya tidak menganggapnya serius. Bagi seorang Karen, apa pun yang ia lakukan dan ucapkan adalah sebuah wahyu dari Tuhan. Sayangnya, karena kami tidak berbagi Tuhan yang sama, saya tidak begitu terpukau. Rasisme hari ini di Amerika adalah rasisme yang sama sejak 1619. Tidak ada yang baru, tidak ada yang orisinal.
Tinggal di negara yang dibangun di atas penindasan rasial dan etnis menambah kecemasan saya menghadapi Covid-19. Ketika wabah mulai merayap di Amerika, banyak media memberitakan komunitas Asia dan Asia-Amerika yang menjadi sasaran tindak kejahatan rasisme. Mulai dari menempeleng perempuan Korea (New York), membacok anak-anak hanya karena mereka “terlihat Cina” (Texas), dan puncaknya adalah Presiden Amerika Serikat sendiri bersikukuh memanggil Covid-19 “Chinese virus.”
Saya cukup beruntung karena belum pernah mengalami hal yang lebih menyebalkan dari agresi-mikro dari Karen sedunia. Paling parah, saya hanya diteriaki buat balik ke negara asal atau diteriaki, “Japs” dan “Chingchong.”  Tetapi, politik ras di Amerika membuat saya semakin sensitif—dan lebih gampang lelah—dalam menerima berita perkembangan virus. Sudah sebulan sejak Chicago memberlakukan “stay-at-home” order (selevel Pembatasan Sosial Berskala Besar di Indonesia), saya hanya beraktivitas seperlunya. Belanja tetap saya lakukan sekali per dua minggu, mengunjungi seorang teman dan berdiam di tempatnya selama beberapa hari untuk menjaga ritme kerja, dan pergi ke taman di depan apartemen untuk mendapat sinar matahari secukupnya. Kecemasan berlebih, karena saya tidak yakin bagaimana keasiaan dilihat di ruang publik, mengurangi interaksi saya dengan transportasi publik.
Chicago Transit Authority (CTA) adalah sistem transportasi publik Chicago dan daerah pinggir kotanya yang terhubung. Terlepas dari lambannya dan betapa tidak bisa diandalkannya CTA pada banyak kesempatan, saya senang dengan pelayanannya. Hampir seluruh cerita komedik “balada numpang sekolah” (istilah kolega saya, Sari Ratri) saya ada di CTA. Mulai dari melihat orang-orang mabuk bergelimpangan di hari St. Patrick, perempuan yang alisnya terhapus sebelah karena berdesakan di Jalur Merah, rapper amatir yang juga merangkap pedagang asongan (secara diam-diam karena aslinya ilegal!), hingga pendakwah-vampir antivaksin. Pada saat yang sama, hampir semua peristiwa rasis yang saya temui terjadi di CTA.
Wabah rupanya memperdalam kesadaran rasial dan menggeser kesadaran spasial seseorang. Tidak pernah terpikir oleh saya untuk menggunakan CTA setidaknya sampai kondisi lebih tenang dan kondusif. Akibatnya, belanja pun tidak bisa jauh-jauh dan terbatas di tempat yang harganya kurang bersahabat. Untuk bepergian, saya menggunakan layanan taksi daring dan lumayan menguras kocek. Tetapi, saya tidak bisa berkompromi; ini soal kesehatan yang sudah rapuh (karena saya terdaftar sebagai penyandang disabilitas) dan berjaga-jaga agar seorang Karen dan sejenisnya tidak menonjok saya. Naik mobil tidak pernah menjadi pilihan utama saya dalam berkendara. Selain karena motion sickness yang lumayan parah, saya berkali-kali mengalami pengalaman yang tidak enak. Suatu kali, pengemudi Ub*r mengejek, “Kalau kamu sehat, kamu tidak perlu pakai masker.”
“Tapi aku gak sehat-sehat aja.”
“Kamu kena virusnya?” Nadanya mulai tinggi dan cemas, air mukanya tegang.
“Bukan, sebelum ada virus pun aku sudah pakai masker ke mana-mana,” jawab saya, mengenang masa-masa jadi #AnKer (Anak Kereta Rel Listrik yang mencari nafkah di pusat, tapi rumah di pinggir kota saban hari kerja), “karena aku gampang sakit.” Rasanya ingin sekali menjawab, “Karena saya gak tertarik untuk terpapar dengan zat-zat menjijikkan dari tubuh orang lain.” Cuma saya tahu diri saja dan malas berdebat.
Dan ketika saya turun di supermarket, dia kembali mengejek, “Gak usah ngepul barang ya!”
Kali ini saya benar-benar jengkel dan cuma membalas, “Gak ada duit juga.”
Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin dia benar. Saya tidak butuh masker. Dengan mata yang kecil, tubuh yang kuning, dan aksen kental, orang-orang mungkin akan berpikir dua kali untuk mendekat. Keberadaan saya yang tidak akan pernah dianggap sebagai bagian dari Amerika adalah masker itu sendiri. Tubuh ini, dalam bahasa sosiolog Nirmal Puwar, adalah penginvasi ruang—virus itu sendiri—bagi tempat yang berdiri di atas kuasa laki-laki (dan) kulit putih.
Chicago, 19 Mei 2020
2 notes · View notes
notedown · 4 years
Text
Kami Pulang
ATINA ROSYDIANA
Kami memutuskan pulang ke rumah orangtua.
Kami pulang kampung.
Kami mudik.
Saya sempat berpikir beberapa kali sebelum memberanikan diri menulis tentang pengalaman pulang kampung atau mudik di kala pandemi. Saya sadar bahwa ini bisa menimbulkan kesan yang kurang bijak. Pemerintah mengimbau untuk tidak mudik dan banyak di antara kita yang harus menahan diri untuk tetap tinggal di perantauan guna memutus mata rantai penyebaran wabah. Pergolakan batin serupa juga kami rasakan, meski akhirnya kami kesampingkan. Kami tetap pulang kampung. Kami memilih mudik.
Tinggal berdua di Jogja, saat puasa, dan membayangkan akan berlebaran tanpa sanak keluarga ternyata nggrentes, menyedihkan, dan merana. Biarpun telah beberapa kali berlebaran sendirian tanpa keluarga, atau meski sekarang sudah berdua, kumpul bersama keluarga tetap memiliki daya magis yang nyaris tak tergadaikan dengan apa pun. Hal pertama yang kami lakukan sebelum melakukan perjalanan pulang adalah memastikan bahwa kami berdua sehat dan (kemungkinan besar) bebas dari korona. Untuk itu, kami memutuskan hari kepulangan pada 14 hari setelah kami bersepakat untuk mudik.
Perdebatan mudik vs pulang kampung menyusul wawancara Presiden Joko Widodo dengan Najwa Shihab tak pelak menimbulkan stigma bagi siapa pun yang melakukan perjalanan ke luar kota, bukan hanya bagi mereka yang pulang-kembali ke kampung halaman. Meski akal dan nurani saya membantah ada perbedaan di antara keduanya, saya tetap yakin keduanya tetap bisa dilakukan asal dengan protokol kesehatan dan kontrol diri yang kuat. Kami berasumsi bahwa Jogja maupun Kudus bukanlah zona rawan. Apalagi, kami berdua sudah hampir dua bulan hanya beraktivitas di rumah (kontrakan). Meski demikian, kami tetap khawatir dan cenderung takut untuk menggunakan moda transportasi umum. Jadi, kami minta jemputan dari Kudus.
Hari Penjemputan
Mobil dari Kudus berpelat K dicegat di gerbang kampung Pogung. Kakakku yang menyetir mobil pun diganjar dengan beberapa pertanyaan menyelidik oleh para pemuda di pos jaga.
“Dari luar kota ya?”
“Dari mana?”
“Mau ke rumah siapa?”
“Tidak boleh menginap!”
Karena gugup dan tanpa persiapan, kakakku hanya menjawab seadanya. Saya sedikit merasa bersalah karena tidak memberi informasi apa pun terkait pos penjagaan. Setelah mobil diparkir di halaman rumah dan kedua kakakku masuk ke dalam rumah, seorang pemuda dari pos jaga ternyata terlihat mengamati mobil. Pemuda tersebut mendapat misi untuk memastikan siapa saja warga yang dihampiri oleh mobil asing tersebut. Tampangnya terlihat menyelidik dan kurang bersahabat. Setelah mengetahui bahwa kami akan pulang kampung, dia menginstruksikan kami untuk melapor ke otoritas kampung. Tak mengelak, kami melapor ke Ketua RT dan mendapati tidak ada pencatatan apa pun. Ketua RT hanya bilang, “Hati-hati, semoga lancar dalam perjalanan.” Kami berpikir, sejatinya untuk apa kami diminta datang ke Ketua RT. Tak apalah, setidaknya kami dapat doa baik.
Pukul 8 malam, kami memulai perjalanan pulang Jogja-Kudus. Jarak tempuh normal sekitar lima jam. Sebelumnya saya sudah sedikit mengumpulkan informasi mengenai kondisi arus jalan dan seberapa ketat patroli polisi di daerah-daerah perbatasan. Saya menanyai beberapa kawan pelaju yang bekerja di Jogja dan kerap pulang ke Kudus tiap akhir minggu. Dari informasi yang saya dapat, pos penjagaan polisi memang mulai tampak di beberapa batas kota, tapi relatif aman alias tanpa pengecekan.
Benar, sepanjang Jogja-Magelang, mobil kami melenggang aman nyaris tanpa hambatan. Lalu-lalang mobil tergolong sepi. Kawan-kawan kami adalah mobil-mobil boks (jasa kurir paket), truk, dan segelintir mobil pelat hitam. Ketika kami melewati pos jaga polisi di Muntilan, kami hanya mendapati beberapa mobil polisi yang diparkir di pinggir jalan dengan lampu strobo yang tetap menyala. Tak terlihat adanya pengecekan mobil. Para petugas terlihat berdiri dan mengayun-ayunkan tangan, mempersilakan kendaraan melaju.
Begitu pun daerah-daerah lain setelah Magelang, seperti Ambarawa, Kota Semarang, dan Demak. Kondisi jalan begitu lancar dan sepi, meski bisa jadi karena sudah malam. Memasuki Kota Kudus, kami dihadang beton-beton yang dipasang di jalan utama masuk kota, tapi nirpenjagaan. Entah apa maksudnya penghadang itu dipasang. Kendaraan hanya perlu belok ke kanan untuk masuk ke jalan lingkar dan belok kiri di perempatan pertama untuk masuk ke kota.
Sekitar pukul 11.30 malam, kami sampai di rumah. Para penghuni rumah masih terjaga menunggui kedatangan kami. Tanpa salam-salaman, kami masuk rumah dan membersihkan diri serta mengganti baju. Selanjutnya, kami melakukan isolasi, meski bukan isolasi diri sebagaimana sering digambarkan dengan mengurung diri di kamar dan tidak berkontak dengan siapa pun. Metode isolasi yang kami pilih adalah dengan sebisa mungkin menjaga jarak aman saat berbincang dengan para penghuni rumah. Saya tidak masuk ke kamar tidur lain selain kamar yang saya pakai tidur. Kami juga tidak melakukan kegiatan di luar rumah atau berinteraksi dengan orang luar sama sekali.
Pascaisolasi
Setelah merasa aman, dengan memperhatikan bahwa seluruh anggota keluarga dalam keadaan sehat dan tanpa gejala, kami mencoba keluar rumah. Kami mengendarai motor ke jalan raya (dengan tetap mengenakan masker) dan mendapati jalanan ramai luar biasa. Nyaris seperti tidak terjadi apa-apa. Orang-orang berkerumun, pusat perbelanjaan ramai pengunjung, dan warung-warung tetap buka dan ramai. Cukup mencengangkan memang. Itu jauh berbeda dengan suasana di Jogja yang lebih mirip kota mati. Meski Jogja dan Kudus sama-sama belum (tidak) menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kondisi dan respons masyarakat bisa sangat berbeda.
Saya sempat berpikir bahwa masyarakat Kudus terlalu menganggap enteng virus yang telah membunuh ribuan orang ini. Pada waktu yang sama, saya juga skeptis dengan respons inkonsisten yang dilakukan sebagian warga di Jogja. Mereka sangat membatasi mobilitas warga, tapi pada saat bersamaan justru berlama-lama berkerumun di pos jaga.
Beragam reaksi masyarakat agaknya didorong oleh kebingungan. Reaksi yang ditunjukkan dapat bersifat (over-)reactive maupun (over-)innocent. Masyarakat terpaksa menyerap berbagai macam informasi tanpa dibekali kesiapan dan tidak punya cukup waktu untuk mengelolanya. Aksi-aksi yang ditimbulkan pun cenderung bersifat spontan, reaktif, dan gagap. Belum lagi tuntas mencerna pernyataan dan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, kita juga harus sibuk menjadi pengawas sejawat, kemudian berbondong-bondong merundung aksi mereka yang dianggap tidak cukup teredukasi. Sementara kita sibuk memikirkan banyak hal, termasuk mencemaskan keberlangsungan hidup, negara masih juga sibuk menambal-sulam judul-judul kebijakan terbaru perkara krisis, misalnya soal relaksasi PSBB atau anjuran absurd seperti berdamai dengan korona. Penegakan peraturannya saja kurang jelas dan masyarakat sudah lebih dahulu relax dan santuy, Pak.
Kudus, 18 Mei 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
Cerita dan Berita Masa Korona
ANDHINA RATRI
Yak, pasti sudah banyak yang mulai kehilangan hitungan hari berapa lama #dirumahaja. Dari yang hitungannya presisi hari per hari, jadi minggu per minggu, perlahan bergeser jadi satuan bulan. Kali ini yang aku ingat persis adalah tanggal 14 Maret sebagai hari terakhir keluar dan bertemu teman-teman dalam keadaan “bebas”. Walaupun pada saat itu, kami secara hati-hati memilih lokasi pertemuan. Mencari tempat makan yang sepi di daerah Cikini, agar tidak perlu ke mall dan berpapasan dengan banyak orang.
Tumblr media
Ini foto terakhir saya berkumpul bareng temen-temen alumni WUR yang sedang di Jakarta.
Pada hari pertemuan itu, saya sudah punya firasat bahwa ini adalah pertemuan terakhir sebelum pada akhirnya di hari berikutnya, kantor saya mengumumkan bahwa kami semua akan WFH. Waktu itu kebijakan kantor menerapkan WFH dengan durasi dua minggu. Saat itu saya dapat pengecualian untuk bisa pergi wawancara dalam masa WFH, karena proses pengambilan data wawancara saya belum selesai. Kebijakan dua minggu terkesan ‘cukup’ menyesuaikan masa inkubasi virus, walau dalam hati, saya merasa ini tidak akan selesai secepat itu.
Hari ini yang sudah menyentuh dua bulan (dari 15 Maret - 17 Mei) saya di rumah, sepertinya tidak banyak yang berubah. Terlebih Jakarta menjadi pusat pandemi yang saat ini saya juga sudah tidak mengikuti beritanya. Sudah tidak tahu lagi angka presisi penambahan kasus tiap harinya. Namun, rasanya belum ada perasaan “lega” bahwa usaha yang sudah dilakukan seluruh pihak membuat saya merasa yakin akan keberhasilannya. Oleh karena itu, saya sendiri cukup memilih jenis berita yang saya ikuti. Demi kesehatan diri sendiri.
Ketika saya berkomunikasi dengan teman-teman, masih sering saya dapati pertanyaan seperti,”Andhin pulang ke Jogja?”, “Andhin nanti mudik gimana, bisa?” atau “Tetap di Jakarta nanti lebarannya gimana, shalat ied?” dll. Saya sendiri tidak paham kenapa teman-teman saya masih memiliki keyakinan bahwa lebaran tahun ini akan berjalan seperti biasanya. Misalnya, akan ramai orang pakai baju baru, pergi shalat Ied, mengunjungi saudara, kemudian juga mudik. Jujur saja, bayangan-bayangan tentang lebaran yang seperti itu sudah hilang dari benak saya. Saya sudah mempersiapkan diri untuk keadaan yang paling buruk. Bahwa tiada shalat Ied untuk lebaran tahun ini, karena jelas akan menyebabkan kerumunan dan pengumpulan massa yang cukup besar. Tidak akan berkunjung ke rumah saudara secara fisik, karena akan meningkatkan kemungkinan transmisi virus. Apalagi berpikir beli baju baru, itu tidak sama sekali terlintas. Prioritas saya saat ini satu, saya tetap bertahan selama mungkin di rumah, karena saya tidak tahu apa yang terjadi di luar.
Bisa jadi pemikiran saya tersebut tidak sama dengan banyak orang, yang terbiasa dengan suasana meriah lebaran. Bagi saya, lebaran tidak di rumah Jogja, bukan kali pertama. Sudah beberapa kali saya merayakan lebaran di tempat perantauan. Jadi, saya tidak akan terlalu kaget atau bersedih akan hal ini. Orang tua saya juga sangat cukup memahami kondisi ini. Dari awal mereka tahu bahwa saya tidak pulang, dan lebih baik saya di Jakarta hingga keadaan membaik.
Ada satu pertimbangan yang juga lebih masuk akal bagi saya untuk tetap bertahan dalam kondisi ini. Cerita ini tidak banyak saya bagikan, hingga saya menuliskan ini. Bahwa, di awal-awal WFH, minggu kedua, saya mendapat berita yang lumayan mengejutkan. Pagi itu ada berita lelayu (meninggal) di grup Whatsapp kantor saya. Kurang lebih begini:
“(Berita lelayu), kayaknya kita beberapa kali berkomunikasi sama bapak ini ya?” - pesan dari advisor kami
“(Saya biasanya tidak secepat ini membuka grup, tapi kebetulan dan kemudian saya baca perlahan, bahkan berulang kali, nama di berita tersebut sangat familiar) Pak XX ini narasumber wawancaraku” - saya segera membalas saat sadar bahwa nama orang yang meninggal tersebut saya kenal
“Kapan kalian wawancara? Bapak ini meninggal dalam keadaan PDP, beliau terindikasi covid-19” - pesan dari advisor kami yang lain, yang juga mendapat info dari instansi terkait
Pagi itu, saya seperti melayang rasanya. Tapi tetap mencoba tenang. Namun, gambaran banyak kemungkinan terus melintas di kepala saya. Grup WA kantor mendadak ramai, langsung mengambil tindakan untuk contact tracing, cari kemungkinan tes, dan lain-lain. Pada bulan Maret itu, jumlah alat tes masih sangat terbatas, bahkan hanya PDP yang bisa dapat tes, beda dengan hari ini, ketika alat rapid test mulai banyak beredar, kapasitas lab juga meningkat. Saat itu, jika belum benar-benar sesak nafas dan harus dijemput ambulans rasanya susah untuk bisa ikut tes. Angka yang ada di portal web juga masih sedikit. Kami semua mencari cara bagaimana bisa dapat tes, karena jika saya positif, akan banyak tindakan lain yg perlu dilakukan.
Ternyata, bayangan stigma itu memang nyata. Pikiran saya sudah jauh hingga bagaimana kalau nanti saya harus dijemput ambulans, bisa-bisa setelah tes saya tidak punya tempat tinggal lagi, karena pemilik kos akan mengusir saya. Bagaimana jika saya positif, karena tepat satu hari dari hari wawancara tersebut saya bertemu beberapa deputi, yang besokannya meeting dengan menteri. Bagaimana jika saya yang menularkan. Bagaimana jika saya benar-benar harus diisolasi. Bagaimana jika saya sebenarnya negatif, tapi saat saya harus tes malah jadi tertular. Banyak sekali yang saya pikirkan. Namun, saya juga harus menjaga kesadaran, karena pikiran tersebut dapat melemahkan imun di tubuh saya dan membuat saya menjadi rentan.
Setelah percakapan di grup WA tersebut, saya langsung mencoba melaporkan diri ke call center DKI Jakarta, kemudian memberikan kronologi dan lain-lain. Akhirnya, saya mendapatkan kontak puskesmas terdekat. Walau sempat salah rujukan, akhirnya saya mendapat kontak petugas puskesmas di area domisili saya. Lalu, saya diberi jadwal untuk datang ke puskesmas.
Sore itu, perasaan saya campur aduk saat mau ke puskesmas. Sempat panik karena tidak punya masker (karena memang sempat langka dan harganya mahal sekali). Hingga teman kantor saya mengirimkan masker miliknya sebelum saya pergi. Saya ke puskesmas mengendarai motor sendiri, karena saya benar-benar tidak ingin berinteraksi dengan orang lain. Resikonya terlalu besar.
Sesampai di puskesmas, saya ditanya oleh petugas jaga di depan gerbang, apa keperluannya. Saya bilang saya sudah janjian, dan lain-lain. Disitu, saya berusaha untuk tidak berbicara dengan siapapun. Bisa dibayangkan jika pengunjung lain yang duduk di kursi tunggu tahu bahwa saya ODP, mereka bisa tidak tenang melihat saya. Petugas puskesmas sepertinya juga tahu itu, sehingga proses komunikasi dengan saya dilakukan terpisah. Setelah menunggu, saya dimasukkan ke ruang khusus untuk periksa. Kosong isinya, sepertinya memang sudah dikhususkan untuk pemeriksaan covid-19. Di dalam ruangan yang kosong dan tidak ada siapa-siapa rasanya juga tidak tenang. Bagaimana kalau sebelum saya ada yang sudah positif kesini, hingga saya tidak berani menyentuh apapun. Takut.
Tumblr media
Ini adalah ruang periksa tempat saya menunggu
Setelah kurang lebih 30 menit saya menunggu, ada dua orang tenaga kesehatan yang masuk ke ruangan. Satu dari petugas tersebut mengenakan APD darurat, yang dibuat dari mantel plastik. Miris melihatnya. Petugas lainnya tidak memakai APD namun menggunakan masker dan sarung tangan. Dalam hati saya,”pasti jadi petugas ini juga deg-degan rasanya ketemu saya, karena kalau saya positif, mereka bisa ada kemungkinan tertular”. Kemudian, saya ditanya BPJS, yang hampir saja membuat saya tidak bisa diperiksa karena faskes saya di Tanah Abang (puskesmas dekat kantor). Namun, akhirnya bisa. Pertanyaan yang diberikan ke saya seputar informasi dasar seperti BB, TB, golongan darah, riwayat kesehatan dan gejala yang saya rasakan, ukur tensi, suhu badan, dan lain-lain. Saat itu, suhu badan saya normal, 36 derajat Celcius. Kemudian semua rekam medis saya dicatat dalam borang khusus untuk kasus covid-19 yang akan dilaporkan ke pusat. Hari itu saya resmi tercatat ODP. Saya melengkapi angka ODP hari itu yang pertama kalinya menembus angka 2000. Lagi-lagi dalam hati saya “wah di dalam angka itu ada saya salah satunya”. Oiya, saya tidak mendapat tes apapun hari itu. Saat saya bertanya, mereka menjawab sesuai dugaan, karena saya tidak sesak nafas sampai berat, saya tidak bisa dites. Walaupun saya ada kontak dekat dengan pasien (yaitu dalam kasus saya: wawancara dua jam di ruangan tertutup berhadapan). Sore itu saya kembali namun belum bisa tenang. Pulang dari puskesmas saya buru-buru mandi dan semua baju saya cuci. Saya tidak mau ambil resiko.
Selang beberapa hari, tepatnya pada tanggal 29 Maret, akhirnya saya mendapat panggilan untuk rapid test. Satu kelegaan, akhirnya saya bisa mendapat kepastian. Bisa mendapatkan tes yang saat itu perbandingannya 1 banding 1 juta penduduk itu rasanya campur aduk juga. Satu sisi, saya tahu banyak orang juga yang kesulitan mendapatkan akses tes ini, namun di sisi lain, tes ini bukan untuk diri saya sendiri, ada banyak nama yang menunggu status saya. Mereka menunggu dengan was-was dan gelisah juga. Kemudian, 30 Maret, saya datang lagi ke puskesmas untuk tes. Saya sudah mengenakan masker lengkap juga kacamata (berita munculnya penularan dari mata membuat saya harus siaga juga). Waktu itu, lokasi tes ada di halaman SD sebelah puskesmas. Sengaja dibuat di ruangan terbuka dan terpisah untuk meminimalisir potensi transmisi.
Tumblr media
Ini adalah bilik untuk tes covid-19 yang dibuat di halaman sekolah
Saya menunggu sambil berdiri, untung saat itu hanya dua orang yang menunggu. Tentu kami tidak saling bicara, karena kami sama-sama tahu akan resikonya. Berdiri berjauhan hingga tiba giliran. Saat sudah tiba giliran saya, kemudian dipersilakan duduk, dicocokkan datanya, tentu ini penting agar tidak tertukar, kemudian petugas memberikan label khusus pada tabung tes saya, ada nama saya disitu. Lalu, proses rapid test ini dilakukan, dengan mengambil sampel darah dari tangan kanan saya. Deg-deg an rasanya. Saya sampai benar-benar memastikan untuk melihat bahwa jarum yang tadi dipakai adalah baru, dll. Saya sadar, resikonya terlalu besar untuk lengah di saat seperti ini. Pulang dari tes, saya langsung mandi, setidaknya mengurangi potensi tertular karena petugas menyentuh tangan saya dengan APD yang sudah kontak dengan pasien lain.
Malam harinya, ada satu WA yang muncul di handphone saya, berisi, “mbak berikut adalah hasil rapid test hari ini (disertai lampiran gambar, tidak ada kata kata lain)”. Lagi-lagi rasanya gelisah. Saya tidak berani membukanya, saya takut dan gemetar. Selama hidup, tidak pernah saya menginginkan status “negatif” kecuali dari covid-19 ini, hehe. Hingga akhirnya, tanpa melihat layar, saya forward pesan itu ke rekan kantor saya, biar dia yang melihatnya untuk saya. Tangan saya sudah berkeringat dingin. Membayangkan kemungkinan terburuk. Hingga, masih dengan tangan gemetar, saya mengintip pesan dari rekan saya yang bisa dilihat dr layar walau dalam keadaan terkunci. Dia bilang “alhamdulillah Ndin, negatif, lega banget rasanya”. Langsung lemas badan saya membaca itu, lemas karena lega. Sangat lega. Membaca hasil tes ini jauh dari deg-degannya saya dalam menunggu hasil tes lain seumur hidup.
Lalu, saya membalas pesan dari petugas tersebut dan diberitahukan bahwa dalam tujuh sampai sepuluh hari saya harus melakukan rapid test lagi, untuk memastikan saya benar-benar negatif. Jika hasilnya positif, saya akan mendapat tes swab. Lalu, setelah sepuluh hari dari tes, saya yang belum mendapatkan jadwal tes kedua, bertanya ke petugas puskesmas. Jawabannya begini,”maaf mbak, baru menginfokan, alat tes kami habis dan kami belum bisa melakukan tes lagi”. Mmm, sedih sekali rasanya. Hal lain yang membuat saya sedih bercampur marah adalah saya menemukan seseorang membuat posting-an yang cukup menjadikan twitter gaduh karena dia menjualn alat rapid test. Iya menjualnya dengan bebas. Tanpa perlu surat dll. Bagaimana bisa, fasilitas kesehatan tidak punya alatnya, tapi ada warga yang mencari untung dari menjual alat kesehatan bahkan tidak melalui toko bersertifikat? Geram sekali rasanya. Saya sendiri beruntung selama proses itu dipantau kesehatannya dan tidak menunjukkan gejala sama sekali. Bagaimana jika ada orang yang benar-benar membutuhkan untuk dites, namun terhambat karena ada yang menimbun alat rapid test sehingga susah diakses oleh faskes? Saya tidak habis pikir melihat fenomena ini, oportunis sekali.
Lalu, singkat cerita, akhirnya saya sudah tidak berstatus ODP, sudah clear dan negatif. Saya sudah cukup lega, rekan kantor saya juga lega, karena saya berpotensi tertular covid-19 saat tugas kantor. Oiya, bapak yang meninggal tadi meningkat statusnya dari PDP menjadi positif covid-19. Hasilnya baru keluar seminggu setelah meninggal (sedih sekali tau proses ini lambat yang membuat penanganannya juga lambat dan berakibat fatal). Pengalaman ini cukup saya rasakan sekali saja, dan menjadi bagian dari catatan perjalanan hidup saya. Ini bekal saya untuk lebih hati-hati juga, sehingga bayangan mudik itu sirna dalam pikiran saya. Tidak lagi ODP namun saya tetap beranggapan bahwa bisa jadi saya OTG, atau carrier. Ini akan membahayakan banyak orang. Ataupun, jika benar-benar saya bersih, berkumpul dengan banyak orang bisa membawa kemungkinan transmisi dari orang yang tidak saya kenal dan ketahui status kesehatannya.
Jadi, cerita ini saya tulis sebagai bagian dari pengingat saya. Bahwa tinggal di Indonesia, merasakan harus rapid test seperti sebuah kemewahan, yang bisa jadi biasa saja di negara lain. Bayangan tentang stigma negatif juga muncul, ini perasaan yang nyata. Ini juga jadi pengingat bagi saya untuk bisa meletakkan empati saya pada mereka yang harus tertular covid-19 hingga kehilangan nyawa, pun juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Sedih sekali pasti, sakit sendirian, tidak boleh dijenguk, dan hingga meninggal tidak boleh diantar. Saya doakan teman-teman yang membaca tulisan saya ini sehat semuanya, tetap hati-hati, jaga kesehatan dan kebersihan, pakai masker untuk melindungi diri dan orang lain. Covid-19 ini nyata, sekali tertular, bisa jadi itu saat terkahir kita bertemu dengan semua keluarga dan sahabat. Jadi jangan sampai itu terjadi. Untuk semua tenaga kesehatan yang menjadi garda depan, saya ucapkan terima kasih atas dedikasinya. Semoga Indonesia bisa segera melewati ini semua, aamiin :)
Jakarta, 17 Mei 2020
1 note · View note
notedown · 4 years
Text
Berburu Takjil di Masa Pandemi
AKHMAD RIFKY SETYA ANUGRAH
Memasuki hari kesekian virus korona menyebar ke seluruh pelosok negeri, masyarakat Indonesia sudah mulai berdamai dengan keadaan. Mereka harus menggunakan masker setiap bepergian ke luar rumah dan mencuci tangan dengan sabun setiap kali kembali. Hal-hal baru yang membawa perubahan pola pikir tentang cara hidup sehat tersebut mungkin tidak pernah ada jika Covid-19 tidak muncul.
Peraturan pemerintah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan semakin sulit diterapkan, khususnya setelah memasuki bulan Ramadan. Aturan untuk menjaga jarak dan tidak berkumpul di keramaian tak tampak dipatuhi menjelang buka puasa tiba. Masyarakat berburu takjil untuk persiapan berbuka dengan membeli berbagai kue dan minuman yang memuaskan nafsu setelah seharian berpuasa. Kegiatan berburu takjil ini mulai tampak bergeliat setelah azan Asar hingga sebelum azan Magrib berkumandang. Waktu sebelum beduk ditabuh dan azan Magrib dikumandangkan adalah momen puncak bagi masyarakat untuk berburu takjil. Rasa lapar dan dahaga setelah seharian menahan diri dari makan dan minum rasanya terbalaskan saat berbuka.
Para pedagang dadakan Ramadan pun tak ingin kehilangan kesempatan menjajakan berbagai makanan dan minuman khas penggugah selera. Mereka berjejer membuat lapak-lapak semipermanen di pinggir jalan yang ramai dilalui para pemburu takjil. Makanan seperti ayam bakar dan ikan bakar menjadi menu andalan bagi keluarga yang tak sempat mempersiapkan masakan saat berbuka. Jajanan kue dan minuman, seperti ketupat udang, kurma, kue bingke (makanan khas Pontianak dengan bahan dasar telur dan rasanya manis), air kelapa, air tebu, dan sari tahu berwarna-warni, menghiasi jalan-jalan.
Hal yang sedikit berbeda dari momen berburu takjil tahun ini adalah masyarakat masih merasa perlu menggunakan masker ketika sedang mengantri membeli takjil. Akan tetapi, mereka tetap berkerumun, berkumpul menunggu gorengan mereka siap untuk dibawa pulang. Beberapa lapak, yang terkenal menjual bakwan yang gurih, banyak dikerubuni orang yang rela mengantri. Mereka rela menunggu dengan sabar saat bulatan-bulatan tepung itu dicemplungkan ke dalam minyak panas yang berbuih. Namun, tetap saja, menunggu dalam kerumunan untuk sekadar mendapat sebungkus bakwan goreng kiranya tak setimpal dengan risiko penyebaran virus korona dari satu pembeli ke pembeli lain.
Saat matahari semakin rendah, cahaya di ufuk barat semakin redup, mereda pula kegiatan perburuan takjil. Para pedagang dadakan mulai berkemas membereskan lapak dan sisa dagangan yang belum laku untuk dijual lagi keesokan hari. Sementara itu, masyarakat kembali ke peraduan mereka untuk mempersiapkan piring-piring saji dan menaruh berbagai jenis kue dan makanan hasil buruan sore itu; menunggu suara sayup yang mereka rindukan selama satu harian itu: azan Magrib.
Terkadang, hal-hal yang sudah membudaya amat kental di masyarakat terlalu sulit untuk diubah dalam waktu singkat. Penerapan PSBB oleh pemerintah boleh jadi merupakan langkah pahit yang harus diambil untuk menghentikan penyebaran virus korona. Tetapi, keberhasilan penerapan aturan tersebut sangat bergantung pada bagaimana masyarakat memandang aturan ini: menjaga jarak dan membatasi diri di rumah atau mempertaruhkan kesehatan dengan keluar berkerumun dalam keramaian untuk mendapat sebungkus bakwan goreng.
Pontianak, 11 Mei 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
The Courage of Hopelessnes
MOHAMMAD ZAKI ARROBI
Tulisan ini merupakan semacam terapi psikologis bagi saya yang akhir-akhir ini dilanda kebingungan, kekalutan, dan mungkin sedikit frustrasi. Tentu semua merasakan itu di masa pandemi global akibat penyebaran virus korona. Tak memandang kelas sosial, pejabat atau orang biasa, kaya atau miskin, apa pun agama, etnis, dan bangsanya, saya yakin semua merasakan hal yang sama. Yang membedakannya ialah tingkatannya dan bagaimana mereka mampu menghadapi tekanan-tekanan psikologis yang tidak mengenakkan akibat krisis.
Secara pribadi, dan saya tidak sedang ingin membicarakan penderitaan atau kesusahan yang dialami banyak orang lain, tidak juga ingin mendramatisasi bahwa kondisi sayalah yang paling menderita, yang mana jelas bukan. Tulisan ini hanya ingin berbagi bagaimana kerentanan, ketidakpastian, dan kegelisahan telah menjadi bagian dari hidup saya belakangan, dengan derajat yang semakin tinggi di era pandemi dan bagaimana saya mencoba mengatasi itu semua meski sadar tidak mungkin untuk menghilangkan sama sekali.
Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi, tentu saya memilki penghasilan secara reguler dan posisi pekerjaan yang relatif aman. Namun, ini tidak berarti saya terbebas dari kerentanan-kerentanan yang terjadi akibat situasi krisis pandemi. Saya sendiri sebenarnya telah mengantongi beasiswa untuk melanjutkan studi doktoral yang seharusnya dimulai pada awal Mei ini di sebuah universitas di Belanda. Apa boleh buat, di tengah situasi pandemi yang mengakibatkan pembatasan pergerakan di mana-mana, surat beasiswa saya diundur sampai Agustus 2020. Padahal, sebelumnya saya sudah mengajukan surat permohonan tugas belajar dari kampus tempat saya mengajar dan sudah menyesuaikan jadwal kuliah yang minimalis sebagai persiapan keberangkatan. Tak dinyana semua rencana harus berubah.
Pada mulanya saya berpikir saya hanya butuh sedikit kesabaran sembari bertahan menanti keadaan membaik dan segera berangkat untuk memulai studi saya. Akan tetapi, apa yang saya alami ternyata tidak semudah itu. Berbagai persoalan nyatanya tetap menghantui saya dan membuat saya terlalu banyak berpikir tentang masa depan yang tidak keruan, saya overthinking dan menjadi lebih sensitif ketimbang hari-hari biasanya. Persoalan aplikasi visa yang belum tuntas, pencarian akomodasi di Belanda yang tidak menentu, hingga persoalan-persoalan beban dan tanggungan ekonomi di sini menjadi hal-hal pelik yang acap kali mengganggu ketenangan hidup saya belakangan. Tentu saja ini belum menghitung kemarahan dan kekecewaan kita atas respons pemerintah maupun sebagian kelompok masyarakat dalam menghadapi pandemi. Semua itu rasanya membuat pikiran makin semrawut dan jiwa makin kalut.
Soal-soal di atas memerlukan kepastian dan itu yang teramat sulit digapai pada era seperti ini. Yang paling pelik bukanlah mengurai kerumitan persoalannya itu sendiri atau mencari solusi atasnya, melainkan karena kita seolah tidak berdaya dan tidak dapat berbuat apa pun untuk menghadapinya. Oleh keadaan, saya seolah dipaksa untuk hanya diam, melihat, dan menyaksikan semuanya sambil berharap keadaan segera membaik. Kita nyaris kehilangan agensi. Pada akhirnya, kita melihat diri kita sendiri tak mampu berbuat apa pun. Jangankan berbuat sesuatu yang berarti untuk orang lain, untuk diri kita sendiri saja rasanya kita tidak berdaya.
Barangkali hari-hari ke depan kita akan semakin sering menghadapi situasi demikian. Hidup bersama wabah menjadi normalitas baru di tengah-tengah kita. Normalitas baru jangan-jangan bukan hanya soal persoalan teknis-medis semata, melainkan juga mentalitas dan relasi sosial. Bukan hanya kita akan menyaksikan protokol kesehatan yang semakin ketat di mana-mana, tetapi juga berangkali cara hidup dan pola pikir kita akan secara radikal berubah. Orang-orang akan semakin terbiasa hidup dengan segala ketidakpastian. Krisis dan kerentanan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita.
Saya sendiri, yang mungkin terbiasa hidup secara ketat dan selalu berusaha mencari kepastian, tampaknya harus mulai berlatih untuk merangkul kerentanan dan ketidakpastian sebagai bagian yang akan selalu melekat dalam kehidupan. Seperti kata filsuf maverick asal Slovenia, Slavoj Žižek, di tengah kekalutan keadaan dunia, barangkali hanya dengan mengakui bahwa tidak ada harapan sama sekali kita bisa segera menemukan secercah cahaya di ujung lorong yang gelap. The courage of hopelessness.
Yogyakarta, 7 Mei 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
Konspirasi Wabah, Kontraktor, Kota Pedagang, dan Kehidupan Pascakorona
MUHAMMAD ULIL AHSAN
Malam keempat belas Ramadan saya menjalani rutinitas olahraga. Lari sepuluh keliling lapangan selama lima belas menit, push up, sit up, dan beberapa gerakan penghancur lemak di perut dan lingkar pinggang. Seperti biasa, sepulang olahraga saya mampir membeli kopi di kedai milik seorang kawan untuk dibawa pulang. Tapi, malam ini berbeda. Saya tertahan dalam diskusi bersama beberapa orang hingga larut di dalam toko bangunan tepat di samping kedai kopi dan pulang ke rumah pukul 1.30 pagi, menjelang waktu sahur. Kopi Melulu, menu andalan yang tadinya saya pesan untuk dibawa pulang, terminum di tengah asyiknya suasana diskusi. Kami berdelapan, bertahan hingga larut. Tidak begitu mengindahkan anjuran jaga jarak, sebab perbincangan kami malam itu begitu berapi-api seperti hendak merencanakan aksi penyelamatan dunia dari bencana global yang menakutkan ini.
Pemilik toko bangunan itu sebenarnya juga merupakan pemilik kedai kopi. Bangunan kedai kopi ini dulunya adalah satu bagian dari ruko toko bangunan tersebut. Hanya saja, kedai kopi ini dikelola oleh kawan saya, sementara toko bangunan itu dikelola oleh kakaknya. Mereka sekeluarga adalah alumni perguruan tinggi di Jogja. Mereka pernah tinggal di asrama daerah milik Pemerintah Kabupaten Wajo, juga pernah menjadi saksi kebersahajaan Jogja selama kurang lebih lima hingga tujuh tahun. Mereka sama dengan saya, alumni Jogja yang masih menggebu jika berkumpul, bercerita, dan mengulik kembali kenangan tentang Jogja.
Di dalam toko bangunan itu, tampak beberapa senior alumni Jogja sedang berkumpul dan sepertinya asyik bercerita di lorong toko yang dipenuhi dengan berbagai macam perangkat dan bahan bangunan, mulai dari engsel pintu, pipa beragam ukuran, tumpukan sak semen, cat tembok bermacam warna, dan bahan material bangunan lainnya. Saya masuk dengan niat untuk sekadar manyapa, tidak pernah berpikir untuk bergabung mengambil bagian dari keseruan nostalgia mereka. Generasi kami cukup jauh, mungkin sekitar lima hingga tujuh tahun, sehingga saya mungkin hanya akan jadi pendengar ocehan-ocehan mereka.
Para senior yang hadir dalam obrolan malam ini memiliki profesi macam-macam, mulai dari arsitek, sinematografer, pemilik warung makan khas Jawa Timuran, pedagang beras sekaligus politisi, peternak sapi, dan pemilik toko bangunan yang sekaligus tuan rumah pada malam itu. Mereka semua pernah menjalani hari-hari bersama di Jogja. Pada saat pertama kali tiba dan tinggal di asrama daerah, saya hanya mendengar cerita-cerita glorifikasi tentang perjuangan mereka selama di Jogja. Malam ini saya duduk bersama dan menjadi pendengar setia.
Malam belum terlalu larut. Salah seorang mantan ketua perhimpunan mahasiswa Wajo di Jogja membuka cerita dengan menyinggung kegemilangan peradaban Eropa. Sejak saya pulang dari sekolah master di Belanda, para alumni yang saya temui selalu membuka topik pembicaraan dengan rasa penasaran terhadap Belanda dan Eropa. Saya agak merasa canggung setiap topik itu dijadikan perbincangan awal. Malam ini juga sama. Sang mantan ketua itu dengan sumringah membuka topik tersebut, sembari mengenang beberapa kunjungannya ke Eropa dan negara anglosphere (negara berbahasa Inggris) lain. Setiap ditanya tentang apa pun mengenai Belanda, saya hanya menjawab seadanya dan mencoba mencari celah untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Selama masa pandemi Covid-19, obrolan malam bersama kawan mungkin kurang lengkap tanpa menyinggung soal kisruh di balik wabah ini. Tongkrongan bersama alumni ini banyak diisi dengan teori-teori konspirasi, psikologi pandemi, hingga analisis soal vaksin. Ada yang berargumen bahwa kunci penurunan pandemi ini adalah vaksin. Jika belum ada kabar resmi keberadaan vaksin, keresahan sosial karena Covid-19 tidak akan sirna. Ini disebabkan oleh psikologi masyarakat yang dibentuk oleh rezim industri farmasi yang jika sakit harus minum obat. Sedari kecil kita dijejali obat dan dokter saat sakit. Sedikit-sedikit minum obat, sedikit-sedikit pergi dokter. “Dokter umum yang ada di sini bahkan sampai kewalahan,” ungkap salah seorang senior. Karena itu, kalau pandemi global ini belum ditemukan obatnya, keresahan sosial dianggap akan terus ada. Contoh kecil, informasi-informasi di media daring di Indonesia saat pandemi mulai ramai diberitakan, berbagai ramuan penyembuh Covid-19, dari minum jahe dan madu hingga klorokuin, bermunculan bak jamur di musim hujan.
Malam mulai agak larut. Satu per satu senior mulai beranjak pulang. Senior-senior yang paling pagi beranjak dari kursi adalah mereka yang telah ditelepon berkali-kali oleh istri masing-masing. Seorang dari senior sempat membercandai senior yang lain, “Dia mau jalan-jalan ke Eropa berapa puluh juta pun akan dikeluarkan, Lil. Persoalannya adalah semenit saja dia pergi, istrinya akan menelepon dan mencarinya. Jadi, susah orang seperti dia mau ke luar negeri.” Semakin larut, perbincangan semakin dalam. Selepas cerita soal Covid-19, atmosfer perbincangan berubah menjadi lebih serius ke ranah politik lokal dan rezim infrastruktur.
Alumni yang berkumpul malam ini bisa dikatakan sebagian adalah kelompok oposisi pemerintah. Setiap kali bertemu dengan salah satu dari mereka, tidak pernah tidak untuk membahas kritik terhadap pemerintah. Kali ini perbincangan kami mengarah pada hubungan kontraktor dan pemerintah daerah dalam rezim infrastruktur. Sebenarnya saya hendak pulang karena jam telah menunjukkan pukul 12 malam. Tapi, saat mereka membuka perbincangan tentang permainan anggaran daerah dan proyek infrastruktur, saya mengajukan pertanyaan pemantik–yang membuat obrolan ini semakin panjang–yang saya sedikit sesali. Saya bertanya tentang celah para kontraktor dalam memainkan proyek infrastruktur pemerintah daerah.
Dua alumni begitu semangat bercerita tentang celah ini. Salah satunya adalah seorang arsitek yang pernah mengerjakan proyek tiga puluh bangunan sekolah di beberapa daerah. “Bayangkan tiga puluh bangunan sekolah dengan anggaran yang sama setiap sekolah dan desain yang sama juga,” tegasnya pada saya. Satunya lagi adalah senior pemilik toko bangunan yang juga merupakan seorang kontraktor lulusan teknik sipil di Jogja. Saya dan alumni lain menjadi pendengar pasif setelah melontarkan pertanyaan tersebut. Mereka berdua tampak bersemangat menceritakan dari A sampai Z strategi kontraktor dalam memainkan proyek infrastruktur. Tak jarang mereka saling debat, terutama soal celah yang dimainkan dalam penyusunan anggaran pembangunan, dari material, harga per satuan, volume, hingga koefisien. Sang pemilik toko bangunan itu bahkan mendebat dengan menceritakan pengalamannya saat kuliah di Jogja membantah teori dosennya saat ujian skripsi.
“Waktu itu teori dosenku kubantah. Saya katakan ke dia kalau teorinya ini kurang. Ada faktor di lapangan yang tidak dimasukkan. Lalu dosen saya mengatakan, “Bagaimana kamu bisa tahu itu?”
Dia mendebat dosennya dengan data lapangan yang dia dapatkan dari proyek infrastruktur yang digarap ayahnya. Menurutnya, teori tersebut luput memperhatikan faktor X yang ada di lapangan, sehingga mau seperti apa pun model penganggaran proyek infrastruktur, jika tidak memperhatikan faktor ini akan percuma. Faktor yang dimaksud tersebut adalah celah yang digunakan oleh para kontraktor dalam memainkan anggaran infrastruktur. Dia membayangkan, seandainya ada aplikasi maupun software yang mampu mengontrol dengan ketat dan secara otomatis anggaran-anggaran yang berpotensi menyimpang dalam setiap pengajuan maupun pelaporan dari para kontraktor, hal itu akan mengurangi celah permainan kotor seperti yang banyak dilakukan dan membudaya saat ini.
“Dalam pemerintahan itu, Dik, proyek infrastruktur ini kuncinya. Karena potensi keuntungan dan celah permainannya besar sekali. Makanya infrastruktur ini yang banyak digenjot, karena uang (politik) harus dikembalikan,” ujarnya.
Beranjak dari topik infrastruktur, perbincangan kami menjadi lebih membumi. Lewat tengah malam, pembahasan mengarah tentang rahasia berdagang orang Sengkang. Lekat dengan kehidupan kami sehari-hari. Masyarakat Bugis, terutama yang berasal dari Sengkang, dikenal sebagai padagang ulung. Lihat saja di Singapura, terdapat sebuah wilayah pemukiman yang dinamakan Sengkang, wilayah kedua paling ramai di negara itu. Ada juga Bugis Street yang terkenal sebagai pusat belanja di Singapura. Daerah tersebut sangat lekat sejarahnya dengan Kota Sengkang, kampung halaman kami. Meskipun di daerah lain pedagang Tionghoa dikenal sebagi pebisnis tangguh yang selalu mendominasi kota-kota besar, di Sengkang argumentasi itu tidak berlaku, menurut senior pemilik toko bangunan ini.
“Orang Sengkang berdagang terkadang tidak masuk di akal. Harga modal seribu rupiah, dia jual sembilan ratus rupiah. Ada yang menjual sesuai harga modalnya. Banyak orang yang menyerah karena tidak mampu bersaing dengan pedagang Sengkang yang punya strategi ini, termasuk beberapa pemilik toko yang berketurunan Tionghoa. Sempat berjaya, tapi tidak begitu lama. Itulah hebatnya orang Sengkang dalam berdagang,” jelasnya.
Semakin larut, topik tentang perdagangan semakin bersifat personal. Senior pemilik toko bangunan ini mengeluarkan cerita tentang strategi bisnisnya. Tidak dapat dipungkiri, pandemi ini menyebabkan penurunan omset toko bangunannya. Namun, itu tidak menjadi alasan baginya untuk mencari cara agar usahanya tetap meraup untung. Dirinya melakukan diversifikasi usaha dengan menjual pasir eceran per karung. Ide ini berangkat dari kejeliannya melihat warga yang terkadang ingin merenovasi rumah, tapi hanya ingin membeli pasir dalam jumlah sedikit. Pasar produk ini ternyata banyak. Tidak sampai di situ. Baginya, ide ini dapat mendorong sumber penghasilan baru bagi pekerja lain, terutama pengemudi bemor (becak motor). Selama pandemi, para pengemudi bemor sepi pelanggan. Pasir karungan yang dijualnya bisa diangkut dengan bemor. Karena itu, baginya, diversifikasi usaha ini membuka sumber ekonomi baru bagi pengemudi bemor. Terbukti, seringnya pesanan pasir eceran dari para pelanggan tokonya selalu datang lewat pengemudi bemor.
“Setelah korona, nanti saya mau jual itu (menunjuk sebuah kotak akuarium kecil di dekat pintu masuk toko),” ungkap senior pemilik toko. Saya berbalik lalu mengernyitkan dahi, tanda penasaran mengapa tiba-tiba toko bangunan ini ingin menjual akuarium setelah pandemi. Sebelum senior lain menyelesaikan pertanyaannya soal rencana itu, senior pemilik toko menjelaskan,
“Korona ini menciptakan kebiasaan baru bagi orang-orang, kebiasaan cuci tangan. Nanti orang kalau setiap masuk rumah cuci tangan. Jadi saya mau buat ada wastafel di teras rumah, dekat pintu masuk. Tapi saya maunya itu yang bagus, ada nuansa bergeraknya. Sehingga itu juga berfungsi sebagai hiasan. Mungkin bukan cuma akuarium dengan ikan yang bergerak, bisa juga burung di atas wastafel itu.”
Kami semua akhirnya mengerti konsepnya. Senior lain yang seorang arsitek mendekat ke prototipe tersebut dan meraba-raba materialnya sembari menilai estetika karya kawannya itu. Selepas memeriksanya, dia terkesima sembari memberi masukan, “Saya suka konsepnya. Ini ide yang bagus. Kalau bagi saya, material belakangnya perlu diganti, jangan pakai triplek. Posisi akuariumnya perlu agak ditinggikan.” Saya dan alumni lain yang tidak begitu paham soal furnitur dan material hanya bisa menyimak. Keduanya tampak antusias berbagi gagasan tentang perkembangan desain wastafel teras ini. Saat itu, saya berefleksi bahwa akan ada banyak perubahan di kehidupan kita setelah pandemi. Contoh kecilnya kusaksikan malam ini. Jika ide wastafel teras, inovasi di bidang furnitur dari seorang inovator pemilik toko bangunan kecil di sudut Kota Sengkang tercipta karena imaji kehidupan pascapandemi yang terlintas di pikirannya, saya membayangkan banyak hal baru secara simultan bermunculan di sudut-sudut lain dunia. Bisa saja itu tentang sebuah teori baru, model bisnis, produk makanan, model busana, dan beragam inovasi lain.
Tumblr media
Ilustrasi (Sumber: Photo by Khoa Tran on Unsplash)
Beberapa waktu lalu, algoritma Twitter mengantarkan saya ke akun Rich Brian, rapper muda asal Indonesia yang sukses berkiprah di Amerika. Bekerja sama dengan Guapdad4000, dirinya merilis sebuah video klip lagu yang berjudul “Bali” yang berkonsep charity di tengah pandemi. Dalam video tersebut, Brian mengendalikan drone dengan remot untuk mengantarkan tas berisi makanan berikut pesan ke rumah teman-temannya sesama pelaku seni untuk ditukarkan dengan bantuan dana kepada tenaga kesehatan dan masyarakat yang kehidupannya terpukul karena pandemi ini. Melalui kotak kecil bergambar tokoh animasi film Frozen, teman-temannya memasukkan sumbangan dana mereka, lalu diantarkan melalui drone kepada pemilik usaha katering untuk membuat makanan gratis bagi para tenaga kesehatan. Sebagian lagi mengirim uang melalui drone ke keluarga tidak mampu untuk membayar utang, juga kepada pedagang manisan gerobak yang sepi pelanggan. Sebagai balasan, di video tersebut, Brian mendapatkan sebungkus manisan dari pedagang gerobak itu. 
Video klip ini seakan menginspirasi para pelaku industri musik bahwa bencana bukanlah pengekang kreativitas. Pandemi ini dijadikan oleh manajemen Rich Brian sebagai sebuah momentum untuk menciptakan karya video musik rap yang humanis dan inovatif. Tidak melulu dipenuhi gelimang emas, perempuan, dan minuman keras. Karya ini berupaya memberikan sebuah warna baru pada musik rap di Amerika. Serupa dengan cerita dalam diskusi bersama senior hingga larut tadi, inovasi muncul dengan situasi pandemi sebagai pintu masuknya. Selama wabah ini berlangsung, kreativitas manusia tidak pernah padam. Melahirkan inovasi-inovasi baru. Inovasi yang terkadang muncul dari tekanan, situasi yang mencekam, di ruang-ruang yang sempit sekalipun. Dan dorongan itu hadir dengan optimisme bahwa bencana pasti ada akhirnya dan dunia baru penuh warna telah tampak di depan mata.
Wajo, 8 Mei 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
Tentang Pesan Pendek, Pengajian, Masker, dan Doa
LUBABUN NI’AM
Sebuah pesan dari Ibu menyelinap ke ponsel saya. “Nanti malam sahur puasa pertama Ramadan. Jangan lupa niat,” tulisnya.
Meski sudah hampir dua bulan saya tinggal di Belanda, saya masih tetap memakai nomor Indonesia. Saya bukan tak punya nomor Belanda. Saya mempertahankan nomor Indonesia semata karena Ibu. Saya tak pernah, dan tak perlu, mencari tahu sudah berapa banyak pulsa yang dihabiskannya untuk mengirimi saya pesan-pesan pendek secara langsung. Kalau berkomunikasi dengan saya melalui aplikasi berbasis internet, dengan atau tanpa video, dia mesti bergantung pada adik-adik saya, Uud atau Rina. Keduanya memakai ponsel pintar.
“Mas, jangan lupa besok puasa,” pesan dari Uud datang, beberapa jam kemudian. Saya yakin itu perintah Ibu. Ibu memang kerap meminta adik-adik saya untuk mengirim pesan tertentu kepada saya, yang kadang justru berujung salah paham antara saya dan adik-adik saya.
Ibu mungkin satu-satunya orang yang masih mengirimi saya pesan-pesan pendek dalam arti yang sesungguhnya, tanpa aplikasi berbasis internet. Dia masih ditemani ponsel biasa, yang selalu diletakkan di samping bantal tidurnya, yang dering nada tunggunya baru saja saya hentikan beberapa bulan lalu ketika saya sempat pulang ke rumah selepas kuliah S-2.
Kepulangan saya ke Indonesia membuat saya mengurus lagi nomor Indonesia. Nomor itu menjelma laksana jalan tembus yang langsung menyambungkan saya dengan Ibu secara virtual. Nomor itu memungkinkan dia untuk menelepon dan mengirim pesan-pesan pendek kepada saya secara leluasa.
Yang jelas, mengirim pesan pendak adalah cara Ibu yang paling merdeka untuk menyalurkan rasa cemas dan kalut yang kadang melanda. Ketika dia kaget luar biasa karena ketemu kelabang di kamar mandi, dia menuliskan kejadian tersebut ke saya. Tiga bulan lalu, ketika dia kebetulan sedang berada di rumah sendirian, dia disergap ketakutan yang tak masuk akal oleh tikus-tikus yang gaduh, dikiranya hujan besar tengah menerjang dan akan menggulung rumah beserta dirinya. Dia mengirim rentetan pesan yang dramatis ke saya pada saat itu juga. Saya menelepon Uud untuk meluapkan murka yang egois.
***
Sepuluh tahun lalu, begitu pindah ke rumah yang terletak di tengah pemukiman padat, Bapak dan Ibu langsung menyulap ruang tamu menjadi tempat anak-anak sekitar belajar membaca Al-Qur’an. Ada karpet hijau yang dibawa dari rumah lama sebagai alas. Saya tak tahu dari mana datangnya dua meja kayu panjang, tapi keduanya membantu para murid untuk mengantri sebelum disimak oleh Bapak. Sejumlah Al-Qur’an sudah disiapkan, meski setiap anak boleh juga membawa Al-Qur’an sendiri dari rumah. Ibu selalu menanyai siapa yang belum datang, kenapa sebelumnya tidak datang, dan kadang menyela dari kejauhan kalau ada pelafalan Al-Qur’an yang salah meski sedang disimak Bapak.
Waktu saya kanak-kanak, Bapak juga menyulap rumah yang ditinggalinya menjadi tempat bagi anak-anak saudara-saudaranya untuk belajar membaca Al-Qur’an. Saya adalah salah satu anak didiknya. Ketika Ramadan, kami lebih memilih dia untuk salat tarawih berjamaah daripada ke langgar bersama para santri. Bapak membuat tarawih berlangsung kilat. Kami bisa bergegas menonton televisi setelahnya. Kini, di rumah yang terasa asing bagi saya, Uud atau adik saya satunya, Abik, yang bertugas memimpin tarawih berjamaah.
Rumah wakaf yang ditinggali ibu dan adik-adik saya terletak di belakang masjid dan pondok-pondok pesantren. Ada pondoknya Pak Dhe, pondoknya Pak Lek, dan pondoknya almarhum Pak Lek yang lain. Pusat-pusat pendidikan keislaman itu seperti cahaya penerang bagi sekitar, tapi mungkin terlalu terang. Karena para tetangga mengirim anak-anak mereka untuk belajar Al-Qur’an ke rumah, bukan ke pondok pesantren, Ibu pun lekas menjadi panutan. Dia akrab disapa Bu Nyai, kadang Bu Salim, yang dari situlah saya kerap dihadiahi kecupan tangan anak-anak, yang tak satu pun saya ketahui nama mereka.
Sebelum Ramadan, saya kaget menerima kabar bahwa Ibu ternyata masih memimpin pengajian. Di salah satu pertemuan, Ibu berceramah di hadapan jamaah supaya Tuhan menyelamatkan seluruh umat Islam dari serangan virus korona. Dia meyakini sepenuhnya bahwa penyerahan diri kepada Tuhan adalah cara yang pasti akan menyelamatkan manusia dari marabahaya. Dia memohon supaya orang yang menciptakan virus korona untuk segera bertobat atas niat dan perbuatannya yang telah menyengsarakan umat manusia.
Untuk perkara yang terakhir itu, tiba-tiba saya merasa harus meluruskan. Saya takut kalau seruan yang terdengar seperti teori konspirasi tersebut, yakni seolah-olah ada orang yang dengan sengaja memiliki niat jahat untuk menghancurkan umat Islam melalui virus korona, tersebar lebih luas. Saya, yang terlalu angkuh karena mengakses informasi tentang pandemi korona dari portal berita dan media sosial berbahasa Inggris, merasa tak mungkin dan tak sanggup untuk menggurui Ibu.
“Bagaimana kalau di balik virus itu adalah Tuhan itu sendiri?” kata saya.
***
Saat ini, Uud aktif di kepengurusan Ansor, organisasi pemuda yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, tingkat kecamatan. Dia juga sudah lama terlibat dalam aktivitas-aktivitas Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)—yang buat saya tetap aneh bagi seorang nahdliyin untuk berkiprah di organisasi gerakan mahasiswa nasionalis. Dia kerap memasang gambar-gambar imbauan resmi dari kedua organisasi tersebut mengenai penanggulangan penyebaran virus korona, seperti imbauan untuk jaga jarak dan pemakaian masker.
Namun, setiap hari Uud masih saja pergi ke warung kopi dan berkumpul dengan teman-temannya, tanpa memedulikan jarak. Dia sendiri bahkan gagal meyakinkan ibunya untuk memakai masker ketika pergi ke luar rumah. “Aku nggak sanggup bernapas, Nik,” kata Ibu. Di rumah, saya biasa dipanggil Anik.
Beberapa waktu lalu, Ibu menuju rumah sakit untuk mejenguk salah satu ponakan yang tertimpa musibah kecelakaan lalu lintas. Karena itu, dia harus memakai masker. Di rumah sakit, dia sempat murka ke petugas rumah sakit lantaran tak diizinkan masuk ke kamar inap di mana ponakan dia dirawat. Dia memaki-maki sang panjaga. Dia melepaskan masker karena hanya menghalang-halangi amarah dia untuk membuncah. Dia merasa masker tersebut menyekap lubang hidungnya sendiri bersama api kekesalan yang tak keruan.
Itu bukan pertama kali Ibu keluar rumah pada masa pandemi korona. Beberapa hari sebelumnya, dia juga tidak berada di rumah ketika saya menelepon Rina, yang sedang menempuh perkuliahan dari rumah dengan dukungan internet yang terbatas. Saya heran mengapa Ibu sering tak berada di rumah, setidaknya pada beberapa kali kesempatan saya menelepon orang-orang rumah. Saya lebih kaget lagi bahwa sesekali dia ternyata sudah beraktivitas di dapur. Saya melihat semua ini secara buta sebagai kemajuan yang sedikit menenangkan.
Saya mendapati kelulusan S-2 dengan kondisi Ibu yang semakin susut badannya dan bertambah lebar botak kepalanya. Waktu kecil, saya sering diminta Ibu mencabuti uban-uban di kepalanya. Dia bilang uban-uban itu membuat kepalanya gatal. Saya berkali-kali menolak perintah tersebut dan sering dongkol melakukannya. Kini, sudah bertahun-tahun dia mengonsumsi obat untuk penyakit diabetes yang dideritanya. Dia juga harus mandi dengan rebusan daun binahong. Rina tak pernah tega menatapnya ketika dia tak sanggup mengenakan atau melepaskan pakaian sendiri begitu tubuhnya mesti menahan keringat dingin karena jantung yang melemah. Saya lebih tak tega lagi.
Selama saya di rumah, saya memainkan peran yang sangat minimal. Pada jadwalnya, saya mengantarkan dia pergi ke lokasi terapi untuk kesehatan jantung. Dia memasang raut muka penuh antusiasme ketika berada di sana, meski saya yakin dia menahan rasa sakit yang dalam. Bertemu para pasien yang rata-rata paruh baya, termasuk para pelatih terapi yang berlagak akrab dan banyak bicara, dia seperti lupa pada rasa sakit yang diderita. Tempat terapi itu sekarang tutup karena korona. Ibu merasa beruntung sudah membeli alas pijat yang biasa dipakai di lokasi terapi.
Kondisi kesehatan Ibu tersebut sempat membuat saya merasa terlalu memaksakan kehendak ketika mendesak Uud untuk segera mencari pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Ibu jelas tidak bisa ditinggal. Selama saya kuliah S-2, sejak Bapak meninggal pada akhir 2018, saya selalu memaksa-maksa dia agar segera memanfaatkan ijazah S-1-nya untuk mencari kerja. Kepulangan ke rumah membantu untuk menyadarkan saya bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi di sana. Uud jauh lebih baik dalam memainkan peran saya sebagai anak pertama. Saya merasa gagal.
***
Saya tak pernah menjelaskan secara rinci kondisi saya di Belanda di tengah wabah korona kepada Ibu. Selain karena saya baik-baik saja, saya juga kesulitan untuk menjelaskan situasi di Belanda kepadanya. Saya tak menemukan cara untuk menghadirkan gambaran satu sudut dunia yang belum pernah dibayangkan olehnya. Saya tak mau menciptakan fantasi yang tak akan terjamah olehnya. Banyak hal yang tak sanggup saya utarakan kepadanya, seperti juga banyak hal yang tak terbahasakan kecuali dalam doa-doa yang dirapalkannya.
Ketika saya baru tiba kembali di Belanda, saya menceritakan kepadanya apa-apa yang hendak saya kerjakan. Sebelum berangkat, saya pamit ke dia bahwa saya harus pergi ke Belanda untuk menghadiri sebuah undangan. Tesis saya dipilih sebagai salah satu tesis terbaik oleh sebuah lembaga kajian di Belanda. Saya terangkan kepadanya bahwa saya belum tentu mendapat penghargaan, tapi resepsi pemberian penghargaan semacam itu sangat sayang untuk dilewatkan. Saya akan mencari pekerjaan di Belanda, kalau bisa dalam hal penelitian atau pengajaran, sembari mempersiapkan artikel untuk dapat diterbitkan.
Dia tak sanggup menerobos pikiran saya. “Entahlah, Nik. Aku kok nggak sanggup meraba apa yang kamu damba,” katanya di ujung telepon.
Pekan depan, saya akan memulai peran baru sebagai salah satu tutor pada mata kuliah metodologi penelitian ilmu sosial. Beberapa pekan lalu, ketika saya kabarkan kepadanya tentang kesempatan tersebut, dia sontak merapalkan doa yang sedemikian panjang. Saya memegang ponsel saya. Tercenung. Tak menyela. Napas dan tangisnya menghantar doa-doa tersebut menembus dunia yang memisahkan kami. Saya menyedikan ruang di dada untuk menyimpan doa-doa tersebut. Saya tak sanggup melakukan lebih dari itu.
Wageningen, 4 Mei 2020
Terima kasih kepada Mas Darmanto atas obrolan dan bacaan yang turut menginspirasi terbentuknya tulisan ini.
1 note · View note
notedown · 4 years
Text
Paradoks Kebosanan
MUHAMMAD AGNI SAHA
Sudah hampir dua bulan sejak perusahaan tempatku bekerja menerapkan kebijakan #lockdown bagi semua karyawan, tak terkecuali aku. Kebijakan ini terbukti mampu menghambat laju penyebaran korona di sini. Kasus positif di Pelalawan tidak bertambah, bahkan hari ini pasien terakhir juga telah dinyatakan sembuh. Lockdown memang efektif, tapi kebijakan ini juga memberikan efek samping berupa rasa bosan yang sudah mulai kronis.
Sebelum korona melanda, aku hampir selalu menghabiskan akhir pekan di Pekanbaru. Tempat yang kukunjungi di Pekanbaru sebenarnya ya itu-itu saja, tapi entah mengapa tempat-tempat itu selalu bisa menghilangkan rasa jenuh selama di kantor. Bagiku, menikmati satu paket double cheese burger di McDonald atau menyantap semangkuk udon sudah cukup untuk melepas separuh rasa bosan, separuh lagi akan luruh begitu aku melihat deretan buku-buku baru yang ada di Gramedia. Kesannya memang monoton, tapi ini efektif untuk me-recharge energi untuk satu minggu berikutnya. Sayang beribu sayang, sejak korona melanda, burger “mekdi” kini tinggal menjadi hayalan yang entah kapan aku bisa menikmatinya kembali.
Aku sudah berusaha untuk menghilangkan rasa bosan dengan berkebun dan menulis, tapi si bosan ternyata lebih dari tangguh dari yang aku bayangkan. Akibatnya, aku menjadi malas untuk melakukan apa pun. Tulisan yang harusnya aku update seminggu sekali, kini menumpuk di angan-angan. Tanaman yang harusnya aku pupuk seminggu sekali, kini menjadi dua minggu sekali atau ketika aku ada keinginan untuk melakukannya. Berawal dari rasa bosan, kini aku menjadi seorang pemalas. Rasanya malas sekali untuk melakukan sesuatu. Sepulang dari kantor, aku biasa untuk meluangkan satu atau dua jam untuk membaca. Kini, aku habiskan dengan menonton Youtube atau tidur cepat. Akhir pekan yang biasanya aku nanti-nantikan menjadi hari biasa yang ingin segera aku lewati.
Namun, jika aku pikirkan, sebenarnya aku masih jauh lebih beruntung daripada orang-orang di luar sana karena aku masih bisa merasakan bosan. Bagi orang-orang yang kehilangan pekerjaan, rasa bosan mungkin telah menjadi sebuah kemewahan tersendiri karena orang yang mengalami kebosanan tidak harus memikirkan makanan apa yang terhidang esok hari. Rasa bosan yang aku alami juga lebih baik daripada perasaan takut yang dialami oleh petugas medis yang berjibaku di garis depan. Rasa bosan merupakan hal yang remeh dibandingkan menahan rasa lapar selama beberapa hari.
Tumblr media
Gambar oleh S. Hermann dan F. Richter dari Pixabay.
Bosan kini menjelma menjadi sebuah paradoks bagiku si pengeluh ini. Setiap hari, aku mencaci makinya. Tetapi, pada saat yang sama, aku bersyukur karena ujianku hanyalah kebosanan, bukan tentang bagimana harus bertahan hidup. Aku memang bosan, tapi keadaanku jauh lebih baik karena aku masih bisa bekerja dan makan seperti biasa. Di kepalaku saat ini, rasa bosan yang mulanya bersifat sangat pribadi kini menjelma menjadi persoalan keadilan sosial yang sangat rumit. Aku merasa menjadi seorang manusia yang kejam karena tidak bisa mensyukuri rasa bosan yang aku alami. Di luar sana tentu akan banyak orang yang ingin berganti tempat denganku. Merasakan bosan dengan perut yang kenyang tanpa mengkhawatirkan apakah besok akan dipecat atau tidak.
Kerumitan ini menjadi semakin rumit takala adanya paradoks kebosanan bahwa aku masih jauh lebih beruntung ternyata tidak bisa menjadi energi yang positif untuk melawan kebosanan itu sendiri. Di satu waktu, aku bersyukur masih bisa merasa bosan, tapi di lain waktu aku juga mengutuk kebosanan tanpa ampun.
Kebosanan adalah paradoks dan akan tetap menjadi seperti itu sampai wabah korona ini berlalu.
Pangkalan Kerinci, 3 Mei 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
Gejolak Masa Muda di Masa Pandemi
MUHAMMAD ULIL AHSAN
Seminggu lebih puasa Ramadan berlangsung. Sebagian besar aktivitas dipenuhi dengan ibadah, tidur, dan makan. Karena minimnya aktivitas fisik, badan mulai kaku, lemak di perut serta di bagian tubuh lain mulai terasa tebal. Setiap gerakan hentak, gelambir tubuh juga ikut terhempas. Pagi hari baiknya diisi dengan olahraga. Tetapi, karena khawatir energi puasa terkuras di awal hari, jadinya ragu untuk dilakukan. Olahraga sore pun enggan karena kadung merasa tak punya energi. Lebih baik berdiam di rumah menunggu momen berbuka puasa sembari rebahan dan mendengar radio yang bersenandungkan lagu-lagu kasidah. 
Sejatinya, olahraga di tengah pandemi korona ini penting untuk menjaga kebugaran tubuh dan mencegah berbagai penyakit fisik maupun mental, termasuk penyakit yang bisa disebabkan oleh tumpukan lemak berlebih di tubuh. Pengalaman pribadi saya, badan akan memberi sinyal ketika lemak sudah berlebih atau melewati ambang batas berat badan ideal. Saya akan mudah lemas dan ada waktu dimana merasa napas mulai agak sesak. Kondisi imun bahkan bisa menurun. Ini juga menjadi salah satu alasan saya meninggalkan Makassar dan memutuskan pulang ke kampung halaman. Selain sulitnya meluangkan waktu berolahraga, juga asupan makanan kurang beragam (karena hanya bisa membeli di warung atau pesan daring). Sementara itu, makanan rumah lebih bervariasi. Desa dan pasar tradisional di kampung masih menyimpan beragam sumber nutrisi.
Di hari kelima puasa, saya memutuskan untuk keluar rumah dan berolahraga di Lapangan Merdeka Sengkang. Pada akhirnya saya memilih waktu malam hari pukul 8.30 selepas salat tarawih bersama keluarga di rumah. Waktu ini saya rasa cukup ideal untuk keringat karena lapangan sepi dan tampak tidak ada yang meminati olahraga di malam hari. Mungkin ini karena mitos “olahraga malam tidak sehat” yang dipercaya oleh sebagian besar warga kota ini. Saya masih ingat bagaimana orangtua saya marah setiap kali saya berangkat bermain basket di malam hari ketika masa Sekolah Menengah Atas (SMA) dulu. Sampai sekarang mereka masih sesekali memperingatkan saya dan menegur dengan tegas jika saya pulang olahraga, apalagi jika ketahuan mandi malam selepas mencari keringat.
Jalur lari lapangan selalu kosong setiap kali saya datang. Selama pandemi korona berlangsung, hanya bibir lapangan yang berpenghuni. Sebagian besar dipenuhi oleh anak-anak muda yang mungkin usianya bisa dikatakan sebagai generasi Z (lahir di atas 2000-an), berkerumun dengan telepon pintar di tangannya, yang enggan mengindahkan aturan tinggal, belajar, dan beribadah di rumah. Mereka merasa kebal dan tak tersentuh virus ini. Memilih nongkrong, menikmati hisapan rokoknya sembunyi-sembunyi, bercerita, atau sembari melakukan pendekatan dengan gadis remaja seusianya yang juga turut ikut “menembok” di pinggir lapangan.
Tumblr media
Ilustrasi (sumber:  Photo by Mojor Zhu on Unsplash)
Sesaat setelah menyelesaiakan lari sepuluh putaran tanpa henti, saya duduk beristirahat di sisi selatan lapangan. Pandangan saya berpaling ke gerombolan anak muda di sisi barat lapangan tadi. Mereka tampak panik dan seketika membubarkan diri. Dua gadis remaja yang turut bersama mereka dengan cepat melompat ke motor bebeknya dan kabur terburu-buru. Sepertinya operasi pedekatan anak muda pada dua gadis remaja malam itu gagal total. Mereka berhamburan dan lari terbirit-birit karena ternyata dari sisi timur lapangan tampak dua mobil bak terbuka dengan belasan pasukan berseragam Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sedang berpatroli dan melakukan razia masyarakat yang tidak mengindahkan aturan pembatasan jarak fisik dan sosial (social and physical distancing).
Saya datang seorang diri untuk berolahraga dan tak ada alasan khawatir menghadapi kedatangan dan teguran rombongan Satpol PP tersebut. Saya tetap duduk sambil mengistirahatkan badan sembari mengatur napas yang masih berat akibat aktivitas fisik yang cukup melelahkan malam itu. Rombongan petugas itu lewat di hadapan saya dan melontarkan pertanyaan tegas, “Dengan siapa ke sini? Sedang apa?”
“Sendirian dan baru selesai olahraga,” jawab saya.
Dua orang anggota satuan perempuan kemudian menanyai saya lagi, “Mana maskermu? Pakai masker ya!”
“Pakai jaketnya!” lanjut seorang anggota satuan laki-laki.
Rombongan itu tidak menghabiskan waktu lama untuk menyapa saya yang sedang sendirian. Mereka memang sejak awal menargetkan rombongan anak muda yang berkumpul tadi. Sayangnya anak-anak muda itu kabur dengan cepat dan lihai untuk menghindari para petugas. Mereka lari tunggang langgang melihat banyak petugas hendak menghampiri mereka. Setelah para petugas itu beranjak dari lapangan dan melanjutkan patroli, rombongan anak muda tadi datang kembali dan melanjutkan aktivitas nongkrong yang terputus karena patroli. Mungkin hendak melanjutkan keseruan bercerita mereka.
Hal serupa terjadi di tempat yang lain. Ketika beranjak dari Lapangan Merdeka, saya mampir di kedai kopi milik kawan untuk membeli segelas es kopi gula aren untuk dibawa pulang ke rumah. Setibanya di sana, kawan pemilik kedai menceritakan bahwa dia mendapatkan teguran dari rombongan petugas Satpol PP karena halaman kedainya yang terlalu ramai dan tidak mengindahkan imbauan pembatasan jarak sosial. Kawan pemilik kedai ini tidak bisa berbuat banyak karena dia menyadari bahwa gerombolan anak muda itu selalu menjadikan halaman kedainya sebagai tempat berkumpul, dengan gawai di tangan, atau bercerita hingga subuh. Dia mengaku telah menegur mereka untuk menjaga jarak, tapi imbauan sang kawan saya itu juga tidak diindahkan. Saat petugas datang menegur, rombongan anak muda itu pergi. Tidak membubarkan diri, tapi pindah tempat nongkrong di kedai kopi kawannya yang lain yang tidak tersisir petugas.
Dua hari berselang, saya datang ke lapangan dan melakukan rutinitas berolahraga seperti biasa. Pemandangannya tetap sama. Anak-anak muda dengan telepon pintar di tangan berkerumun di sisi-sisi lapangan. Ada yang duduk berjejeran di sisi lapangan seperti di open air internet café atau warung internet terbuka. Begitu pula di kedai kopi milik kawan saya. Saat mampir membeli kopi sepulang berolahraga, halaman kedai kopinya dipenuhi jejeran motor dengan anak-anak muda yang duduk di atasnya berkerumun dengan telpon pintar di tangan. Sesekali meneriaki kawan lain yang ada di depannya, tetapi pandangan matanya masih tertuju pada layar telepon pintar. Entah permainan apa yang dia mainkan. Lagi-lagi, petugas Satpol PP juga tidak bosan berpatroli, memergoki, dan menyambangi kerumunan anak-anak muda ini. Tetapi, selalu saja mereka berhasil kabur, lalu kembali lagi beberapa saat setelah situasi kembali kondusif.
Darah muda, darah para remaja, kata Si Raja Dangdut. Sepertinya memang tak takut dengan banyak hal, termasuk korona dan akibat-akibat akutnya. Masa mereka berapi-api, seakan mampu membakar berbagai virus menghampiri. Ditegur melawan, diusir datang lagi. Mungkin hanya guru Bimbingan Konseling (BK) dan mantri sunat yang bisa membuat mereka gemetar, keringat dingin, dan patuh. Wajo, 3 Mei 2020 
1 note · View note
notedown · 4 years
Text
1,2,3 Korona
KYANA DIPANANDA
Tulisan ini dapat dibaca secara acak karena angka bukan penanda urutan. Kamu bisa mulai di sana, lanjut dengan di mana-mana, dan berakhir di sini. Atau, tentu saja kita bisa mulai di mana-mana, lalu berakhir di sana. Di sini tidak dibaca pun tak apa. Pada akhirnya, 1, 2, atau 3 tidak akan berarti apa-apa. Mereka hanya angka. Seperti hari, sudah hari keberapa kita begini? Tidak tahu. Dan tidak penting lagi. 
1. Di Sini
Sudah sebulan lebih sepuluh hari saya kembali ke Amsterdam setelah sebelumnya berada di Pulau Madura untuk riset lapangan. Sebuah keputusan yang cepat, tidak mudah tapi juga tidak gegabah, dan tentu saja penuh pertimbangan. Enam bulan riset lapangan yang sudah saya jalani ternyata harus ditunda entah sampai kapan. Berganti dengan studi literatur, menulis, dan berdiskusi daring dengan kolega juga promotor. Selama hampir lima minggu itu pula saya berada di studio kami dengan segala keamanan, kenyamanan, dan privilese yang menempel. 
Sibuk, banyak yang harus dikerjakan, tapi juga membosankan. Tanpa ke kantor, perpustakaan, toko buku, maupun kedai kopi untuk sekadar melamun dan membaca blurb buku membuat saya minim inspirasi. Lima minggu berjalan cepat dan sepertinya saya belum melakukan apa-apa selain menemukan fakta-fakta kecil tentang diri sendiri, dan juga sekitar (meski “sekitar” adalah tolok ukur yang pantas dipertanyakan karena imbauan jaga jarak harus dipatuhi).
Dari sekian banyak fakta tersebut, di antaranya, pertama, ternyata pertemuan-pertemuan daring membuat saya nyaman terlihat tanpa make up. Polos, cukup modal sisiran. Meski make up bagi saya sebenarnya hanya pewarna alis dan bibir, tapi ternyata saya merasa baik-baik saja tanpa keduanya, entah karena malas atau saya menemukan konsep presentasi diri yang baru.
Kedua, melalui seorang kawan perempuan berkebangsaan Belanda yang sedang menempuh studi master dan tinggal di rumah komunal bersama mahasiswa yang lain, saya belajar istilah “panda points” (poin panda). Poin panda merujuk pada jumlah bulan yang Anda lewati tanpa berhubungan seksual. Setiap bulan yang terlewati tanpa berhubungan seksual akan menambah poin panda seseorang dan siapa pun yang mendapatkan poin panda tertinggi maka pantas mendapat julukan Panda of the Year. Poin panda harusnya meningkat pada bulan-bulan pandemi, tapi yang terjadi di rumah komunal para mahasiswa tersebut justru kebalikannya. Tidak ada panda yang tersisa untuk tahun ini karena, dengan ditiadakannya kelas tatap muka semester ini, pasangan-pasangan para penghuni rumah rutin berkunjung. 
Ketiga, mengetahui kondisi orang lain yang terdampak pandemi, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, maupun sosial, ternyata selalu diikuti dengan perasaan marah terhadap sistem (politik) yang ada.
Keempat, ternyata kemarahan tersebut langsung diikuti oleh perasaan sedih dan putus asa karena merasa tidak (bisa) banyak melakukan apa-apa.
Kelima, sulit sekali memikirkan dampak pandemi pada masyarakat yang lebih rentan tanpa merasa marah dan kecewa pada diri sendiri karena merasa tidak memanfaatkan privilese dengan baik. Kurang berkontribusi, kurang produktif, dan kurang memanfaatkan waktu yang (katanya dan semestinya menjadi lebih) banyak karena kita diharuskan berkegiatan dari rumah. Mungkin benar, kita bisa bersembunyi dari kerumunan. Tapi, kita tidak bisa lari dari kemuraman.
Keenam, suara ambulans yang terdengar nyaring dari jendela menjadi terdengar lebih menyebalkan dari biasanya.
2. Di Sana
Asas resiprositas dan modal sosial. Dalam sebuah diskusi daring mengenai pangan dan kemiskinan rakyat dalam konteks krisis masa pandemi yang diadakan oleh salah satu lembaga studi perintis studi agraria di Indonesia, beberapa pembicara sering sekali kedapatan mengulang kedua kata tersebut. “Absennya negara membuat anggota masyarakat dirawat tetangganya masing-masing,” begitu salah satu pembicara berujar. Tentu saja ini menjadi pernyataan menyakitkan yang membuat saya bertanya: benarkah?
Setiap tiga hari sekali, saya punya jadwal mengobrol dengan Hayatun, seorang kawan dekat yang tinggal di desa tempat saya melakukan penelitian untuk studi doktoral. Desa tersebut terletak di sebelah timur Pulau Madura dengan garis pantai sepanjang 2,32 kilometer. Berdasarkan identifikasi keadaan geografis, desa tersebut termasuk desa pesisir, meski memiliki satu dusun yang, berdasarkan pemahaman penduduk, letaknya di “gunung.”
Kami sering bertukar kabar tentang saya dan suami, tentang Hayatun dan ibunya, tentang musim panen, tentang nelayan yang pindah ke utara karena musim kemarau, juga tentang usaha pembuatan genting milik ibunya yang berhenti karena tidak ada pesanan. Tapi, selalu ada korona dalam setiap obrolan kami. “Kamu takut korona nggak, Tun?” entah kenapa saya bertanya begitu. Tentu saja semua orang takut korona, lebih tepatnya takut mati karena korona. Paling tidak saya pikir begitu. 
“Nggak sih, Mbak. Aku nggak takut. Mbak emang takut?” Ya saya takut. Akhir-akhir ini, saya takut akan banyak hal. Tapi percuma juga cerita ke Hayatun kenapa saya takut dan hal-hal apa saja yang membuat saya takut. Saya mencoba mengalihkan pembicaraan, “Tun, di desa ada yang berubah nggak karena korona?”
Hayatun diam di ujung sana. Sepertinya berpikir. “Apa ya, Mbak? Nggak banyak sih. Masjid-masjid disemprot aja paling. Orang-orang masih salat tarawih berjamaah. Buka puasa bersama masih ada, tapi orangnya dibatasin.” 
“Dibatasin gimana maksudnya, Tun?” saya penasaran. “Nggak jelas juga sih, Mbak. Katanya kalebun (kepala desa) nggak boleh kumpul-kumpul. Tapi aku nggak ngerti juga gimana (aparat desa) ngawasinnya. Wong ini banyak yang pulang dari Jakarta pada pol-kompol, lama nggak ketemu.” Jantung saya seperti melorot sampai ke perut. Mules. Saya diam, masih mencerna. Akhirnya, saya hanya bisa bilang, “Oh gitu ya, Tun….” Lalu hening kembali. Di ujung telepon, Hayatun melanjutkan, “Iya, Mbak. Di Jakarta itu toko-toko pada tutup. Jadi, mereka pulang ke sini. Daripada susah makan, Mbak, katanya.”
Mencoba menanggapi dengan sisa-sisa tenaga yang ada, “Kalau di sana, makanan aman ya, Tun? Beras, ikan, gitu?” Hayatun menanggapi dengan cepat dan ceria, “Ya aman, Mbak, wong sawahnya dekat, lautnya dekat. Orang sini kan abis panen, ngeslep (menggiling) gabah sendiri terus berasnya dimasukin karung buat simpanan.”
Aku diam, ingin rasanya berdiskusi jauh soal kerentanan pangan dan implikasi panjang akibat korona, tapi rasanya bukan di sini tempatnya. Di ujung sana, Hayatun masih bercerita soal sekarung jagung dari Ibu Zaitun yang dikirim untuk ibunya. 
3. Di Mana-Mana
Gara-gara pagebluk korona, rasanya banyak yang ingin dituliskan, dibicarakan, dan dibagikan. Tapi, di sisi yang lain, rasanya semakin sulit melakukan itu semua karena terlalu banyak mengonsumsi informasi yang menguras emosi. Suatu waktu, saat saya sedang berdiskusi dengan seorang rekan di kampus, Dreano, kami berdua sampai pada satu kesimpulan bahwa ada “different temporality” atau dua jenis spatiotemporal berbeda yang sedang terjadi pada masa krisis ini. 
Sebelum kita tersesat dalam istilah rumit kepakaran yang sombong, mari kita lihat apa yang dimaksud dengan spatiotemporal. Spatiotemporal atau temporal spasial adalah istilah yang sering digunakan dalam analisis big data untuk menjelaskan proses pengumpulan data yang melintasi ruang dan waktu. Analisis data spatiotemporal adalah bidang penelitian dengan pengembangan prosesor komputasi yang kuat untuk melihat fenomena di lokasi dan periode waktu tertentu.  Sering kali aplikasi dari spatiotemporal dapat kita temukan pada riset di bidang biologi, ekologi, meteorologi, transportasi, dan kehutanan. 
Baik saya maupun Dreano tidak mendalami bidang-bidang tersebut. Kebetulan kami sama-sama mahasiswa S-3 di departemen antropologi di mana saya tergabung dalam kelompok kajian yang mempelajari konsekuensi sosial dari perpindahan orang maupun barang. Sementara itu, Dreano tergabung dalam kelompok kajian antropologi kedokteran yang mempelajari pola penyebaran penyakit, proses pencegahan penyakit, dan berbagai sistem penyembuhan penyakit. Meski kami berdua tidak menggunakan metode spatiotemporal, model pemikiran metode ini membantu kami berdua untuk menjelaskan fenomena yang terjadi saat ini. 
Secara sederhana, Dreano dan saya sependapat bahwa dunia yang sama-sama kita “kenal” selama ini sedang berhenti. Dari yang tanpa batas menjadi terbatas pada lockdown, self-quarantine, pembatasan sosial berskala besar, movement restriction order, apa pun namanya. Jabat tangan, tepukan bahu, dan pertemuan dalam kelompok besar dihindari. Dunia yang kita kenal ramai, seru, dan tidak akan habis dijelajahi mendadak sunyi, senyap, dan sempit. Dari bangun sampai tidur lagi, kita diutus untuk hidup seperti semut dalam kotak korek api. 
Sementara itu, ada spatiotemporal yang sebenarnya tidak baru, tapi seperti lahir kembali dan mendapatkan suntikan energi baru. Spatiotemporal yang ini justru sedang ramai-ramainya. Melalui layar kecil pada gawai kita, dunia digital menjadi normal yang baru. Tulisan pada media daring, kelas jarak jauh, pertemuan-pertemuan maya, panel-panel daring, penggalangan dana, konser, photoshoot, musik, film, permainan, segala inisiatif penawar bosan, semua ada. Gaduh, seperti pasar hantu. Di sinilah kita semua mengerubung seperti semut yang menemukan gundukan gula di sudut dapur. 
Amsterdam, 30 April 2020
2 notes · View notes
notedown · 4 years
Text
Pulang Kampung
MUHAMMAD ULIL AHSAN
Pemberitahuan WhatsApp muncul di layar telepon pintar saya. Itu pesan panjang dari kakak yang tinggal di Kota Bekasi, meneruskan sebuah pesan dari gurunya di sebuah universitas ternama di Bogor. Sang guru mengingatkan para murid, termasuk kakak saya, akan ancaman kekacauan ekonomi yang akan semakin besar di pertengahan Ramadan. Atas perhitungan sang guru, kakak saya memperingatkan dengan tegas agar saya tidak menunda-nunda kepulangan ke kampung halaman. Selang beberapa hari, Ibu menelepon. Beliau meminta saya untuk segera pulang ke Wajo sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di Kota Makassar. Pada hari yang sama, tak lama berselang setelah Ibu menelepon, Bapak mengirimkan pesan WhatsApp berisi dokumen Surat Keterangan (SK) Menteri Kesehatan mengenai penetapan PSBB di wilayah Kota Makassar.
Kondisi fisik saya tengah sehat, terlebih sudah genap sebulan saya melakukan isolasi mandiri sejak pandemi korona berlangsung (di Indonesia). Tanpa berpikir lama, saya memutuskan untuk pulang kampung keesokan hari. Sejauh yang saya pahami, jika PSBB diberlakukan, aktivitas keluar masuk wilayah Makassar akan ditindak tegas atau bahkan dihentikan. Tetapi, saya memahami bahwa SK Menteri Kesehatan tidak akan serta merta diterapkan pada hari itu juga. Membutuhkan waktu satu hingga dua minggu untuk menerapkan PSBB karena harus melalui proses birokrasi pembuatan SK di tingkat kota, sosialisasi, hingga uji coba.
Ritme tidur saya masih sama. Sulit terlelap sebelum pukul 12 malam. Malam sebelum keberangkatan, saya berbaring di tempat tidur pukul 1.30 dini hari dan baru bisa terlelap pukul 3 dini hari. Bangun pukul 5 pagi, ibadah, lalu mempersiapkan keberangkatan. Pulang kampung kali ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang menggunakan kendaraan umum (mobil) antarkota. Saya menggunakan motor bebek milik Bapak dan berangkat dari Makassar menuju Kabupaten Wajo dengan waktu tempuh berkisar empat hingga lima jam. Meski agak khawatir dengan durasi tidur yang pendek, saya tetap menjalankan rencana pulang kampung. Saya hanya bisa berharap pada momen-momen bagus di sepanjang perjalanan agar rasa kantuk dapat teralihkan.
Saya berangkat pukul 5.30 pagi. Langit masih agak gelap. Cuaca tampak cerah. Suhu udara Kota Makassar pagi itu sangat sejuk. Saya menarik dan menghela napas dalam-dalam agar leluasa menikmati kelimpahan oksigen. Setelah tiga kilometer meninggalkan kosan, saya sesekali menengadah ke langit. Saya memperlambat kendaraan untuk sekadar menikmati indahnya lukisan alam saat fajar menyongsong. Tuhan memang maha pencipta. Menciptakan fajar di awal hari dan senja di penghujungnya. Keduanya hanya hadir pada waktu yang begitu singkat dan dalam waktu “emas.”
Bagi saya, ini kali pertama pulang kampung menggunakan motor dari Makassar. Kesempatan ini saya manfaatkan dengan mengambil jalur yang berbeda dari keberangkatan sebelumnya (dari Sengkang menuju Makassar) beberapa bulan lalu. Saat itu, saya melewati jalur Camba (salah satu kecamatan di Kabupaten Maros), melintasi Kabupaten Soppeng, Bone, dan Maros. Di perjalanan kali ini, saya memilih jalur Bulu’ Dua (jalur berbukit di wilayah Kabupaten Soppeng), melintasi Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, dan Soppeng. Kedua jalur ini dikenal sebagai jalur cepat dari dan ke Kota Makassar bagi orang-orang yang berasal dari wilayah Ajattappareng (daerah-daerah bagian barat Sulawesi Selatan) dan bagian utara seperti daerah Luwu dan sekitarnya.
Selain dikenal sebagai jalur cepat, kedua jalur ini juga menyuguhkan pemandangan yang begitu indah. Keluar dari perbatasan Kota Makassar, masuk ke wilayah Kabupaten Maros, pesona hamparan padi yang membentang luas tersaji. Melewati wilayah ini, saya sengaja mengurangi kecepatan kendaraan dan membuka kaca helm hanya untuk menghirup wangi padi di pagi yang sejuk. Keindahan ini semakin lengkap dengan pemandangan persawahan luas yang berlatar belakang jejeran bukit karst purba yang menjulang tinggi dan membentang di sepanjang jalur poros Maros hingga perbatasan Kabupaten Pangkep. Memasuki Kabupaten Pangkep, pemandangan sangat berbeda. Kini, bentangan air laut, perahu-perahu nelayan, hempasan angin pantai, dan kilau pantulan cahaya matahari oleh air laut menghiasi perjalanan saya sepanjang beberapa kilometer. Tak terasa, dua setengah jam berlalu sejak berangkat dari Kota Makassar. Saya memasuki wilayah Kabupaten Barru, berbelok di persimpangan Pekkaé. Persimpangan ini adalah pintu masuk menuju jalur berbukit Bulu’ Dua di wilayah Kabupaten Soppeng.
Bulu’ Dua bukanlah sebuah wilayah administratif (desa atau kecamatan). Bulu’ Dua adalah bahasa Bugis yang artinya “gunung dua.” Orang-orang yang melintasi wilayah ini akan melihat dengan jelas sepasang gunung batu besar yang berdiri kokoh. Dua gunung batu inilah yang menjadi penanda dan asal nama jalur ini. Jalan menuju ke sana berkelok-kelok dan berbukit. Dari daerah Pekkaé, jalan semakin menanjak dan suhu udara semakin turun. Satu hal yang sangat saya nantikan dalam perjalanan di jalur ini adalah pemandangan dari atas bukit yang begitu indah. Karena jalannya berkelok dan cukup ekstrem, saya berkendara dengan kecepatan normal sembari awas. Sesekali saya mencuri-curi kesempatan melihat pemandangan bukit hijau yang menawan berpadu dengan aliran sungai berbatu yang jernih di sisi kanan dan kiri jalan. Semakin ke dalam, bedeng-bedeng sawah semakin tampak mengagumkan. Bukan cuma Bali yang memiliki pemandangan semacam ini.
Sebelum melalui dua gunung tersebut, saya melintasi sebuah gardu kosong di kanan jalan. Tak jauh dari situ, saya menghentikan kendaran dan berbalik arah menuju ke gardu tersebut untuk beristirahat sejenak setelah berkendara tiga jam tanpa henti. Insting saya tepat. Itu sebuah gardu warga yang menyajikan pemandangan yang sangat indah. Saya bisa melihat bukit hijau, bedengan padi yang rapi, hingga Selat Makassar dengan kapal besar di bibir pantai. Saya bisa melihat sejauh mana saya telah melintas dalam tiga jam terakhir. Sungguh pemandangan yang begitu menyejukkan hingga membuat saya tidak sedikit pun merasakan kantuk dan lelah. Saya melepaskan dahaga dan mengisi perut dengan kudapan di tempat ini sebelum melanjutkan perjalanan yang tinggal melintasi satu kabupaten lagi.
Tumblr media
Pemandangan dari gardu pandang di perjalanan menuju wilayah Bulu’ Dua, Kabupaten Soppeng.
Setelah melewati dua gunung, jalan semakin menurun, tapi masih agak berkelok. Jalan datar dan lurus semakin terasa, tanda Kabupaten Wajo sudah dekat. Di sepanjang jalan di dataran rendah Kabupaten Soppeng, terlihat karung-karung gabah putih berjejer di pinggir jalan menunggu truk-truk pembeli (atau tengkulak) menjemput. Kini sebagian wilayah Sulawesi Selatan sedang menyambut musim panen. Perjalanan semakin mengarah ke utara. Aktivitas panen semakin ramai terlihat. Di kiri jalan, tampak hamparan luas padi kuning dipanen dengan sebuah alat berat pemanen kombinasi (combine harvester); sementara di kanan jalan, terhampar sawah yang terdiri dari petak-petak yang lebih kecil tengah dipanen oleh puluhan buruh tani dengan cara-cara manual. Beberapa petani perempuan tampak memukul-mukulkan batang jerami padi yang digenggam ke sebuah alat sederhana dari kayu untuk merontokkan gabah. Beberapa orang menjemput karung gabah dengan motor trail dan seorang yang lain menunggu di pinggir jalan di samping mobil bak terbuka. Meski dalam situasi krisis di tengah pandemi korona, para petani tetap beraktivitas memastikan pangan untuk masyarakat tetap tersedia.
Akhirnya, saya memasuki wilayah Kabupaten Wajo. Di gerbang perbatasan daerah, beberapa petugas memberhentikan saya untuk melewati proses pendataan. Sebelum itu, saya harus memasuki bilik disinfektan, lalu ke meja petugas kesehatan dengan menunjukkan kartu identitas. Protokol ini juga saya lalui di tiga kabupaten yang saya lintasi sebelumnya. Petugas medis dan Satuan Tugas Covid-19 di tingkat kabupaten bekerja begitu gigih untuk mencegah penyebarluasan virus korona. Untuk itu, selama perjalanan pulang, saya merasa bertanggung jawab untuk memastikan diri saya sehat dan mencegah semaksimal mungkin potensi paparan virus selama di perjalanan.
Tiba di rumah, saya langsung melepas pakaian lapis luar dan mencuci tangan di halaman. Ibu menyambut di pintu depan, lalu meminta adik saya menyemprotkan disinfektan ke tubuh dan barang-barang yang saya bawa. Saya masuk ke dalam rumah dan membersihkan diri. Rasa lapar saya bergejolak. Setelah berbenah, saya langsung menuju dapur. Mengambil dua ekor bale katombong (ikan gembung), lalu menggorengnya di wajan dengan minyak bekas (jelantah) yang tampak sudah ada di dalamnya. Telah tersaji juga ikan masak kuah kuning yang tidak pernah absen dari rumah kami. Disajikan dengan nasi panas, kedua lauk sederhana itu mampu menghilangkan rasa lapar saya. Ikan memang sumber nutrisi yang baik selama pandemi, apalagi jika dipadu kuah dengan bahan bawang putih dan kunyit (yang membuatnya berwarna kuning) yang kaya akan kurkumin, yang memiliki fungsi antiinflamasi dan meningkatkan imunitas tubuh. Sangat tepat dikonsumsi selama masa pandemi virus korona.
Pulang kampung, bagi saya, adalah pilihan yang logis dan aman sebelum PSBB diterapkan dan sebelum Ramadan tiba. Ini cerita pulang kampung, bukan mudik. Kedua istilah tersebut sempat mengguncang jagat dunia maya akibat penjelasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat diwawancarai Najwa Shihab (23/4). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, penjelasan Jokowi tampaknya sudah sesuai dengan keterangan di laman tersebut. Tetapi, entah mengapa, saya lebih suka menggunakan kata “pulang kampung” daripada “mudik.” Tanpa mempermasalahkan perbedaan arti keduanya, bagi saya, kata “mudik” terlalu Jawasentris. Beberapa sumber bacaan menjelaskan “mudik” adalah aktivitas pulang untuk sementara. Ada pula yang menjelaskan bahwa “mudik” berasal dari bahasa Jawa “mulih dilik” yang artinya “pulang sebentar.” Selain itu, saya belum tahu pasti apakah kepulangan saya dari Makassar bersifat sementara atau tidak. Belum ada tempat yang bisa saya katakan “permanen.” Kedua pengertian yang dijelaskan Jokowi tentang dua istilah tersebut tidak begitu mewakili dan berguna bagi kondisi saya saat ini.
Wajo, 28 April 2020
0 notes
notedown · 4 years
Text
Malam Minggu di Bulan April
MAHESTI HASANAH
Sabtu (18/4) sore ini aku keluar untuk bertemu dengan teman-temanku di Sakapatat, suatu tempat nongkrong di dekat Tugu Jogja. Akhirnya, aku melihat dunia setelah hampir lima minggu. Membeli buah dari tukang sayur di dekat perempatan besar, yang berjarak kurang dari 20 meter, adalah jajahan terjauhku selama lima minggu terakhir.
Keramaian adalah hal pertama yang aku lihat di jalan raya. Aku agak kaget melihat banyaknya kendaraan di sepanjang Jalan Palagan dan A.M. Sangaji di Jogja. Sepertinya tidak ada yang banyak berubah selama masa karantina ini. Tapi, aku tidak mau memberi label yang macam-macam karena aku sendiri juga masih keluar. Hahaha.
Ketika aku sampai di Sakapatat, empat orang temanku sudah duduk manis sambil memegang botol minuman dan beberapa snack. Aku memang agak terlambat karena temu kangen dulu dengan teman-teman kuliahku via internet.
Rindu bertemu manusia adalah alasan utama kami berkumpul. Sebenarnya, kami sudah beberapa kali mengagendakan untuk berkumpul di tempat ini. Tapi, tempat ini tutup pada awal-awal lockdown. Sakapatat menjadi tempat favorit kami untuk mengobrol. Selain karena suasananya yang nyaman, nasi goreng jawa dan belgian fries-nya juara!
Korona membuat pengelola harus memutar otak untuk mempertahankan tempat ini. Sakapatat hanya beroperasi dari pukul 4 sore hingga 9 malam. Tapi, pada akhir pekan, mereka buka sampai pukul 11 malam. Jam buku itu hanya sepertiga dari waktu beroperasi mereka pada masa normal. Selain membuat promo-promo menarik untuk take away, mereka juga membatasi jumlah tamu.
Kami datang sejak 4 sore. Dan selama empat jam awal, kami berlima adalah tamu tunggal mereka. Di satu sisi, aku senang karena pelayanan mereka menjadi cepat. Tapi, di sisi lain, aku juga prihatin. Pada waktu normal, tempat ini selalu ramai dikunjungi orang, termasuk para ekspatriat di Jogja. Hingga akhirnya pada pukul 8, ada dua orang laki-laki yang datang. Sedikit lega melihat ada orang lain di tempat ini. Dan tidak lama kemudian, dua orang laki-laki bule menyusul.
Pada pukul 9 malam, kami memutuskan untuk pulang. Aku sendiri sudah senang karena bisa menenggak beberapa botol minuman dan menghabiskan seporsi nasi goreng jawa yang lezat itu. Setibanya di kasir, aku membungkus beberapa botol minuman untuk persediaan di kos. Ketika menunggu di kasir, temanku bertanya, “Mbak, kenapa kemarin tutup? Padahal kami pengen ke sini.”
“Kami tidak pernah tutup, Mbak,” serobot Mas Doni, Manajer Sakapatat yang juga berada di meja kasir. “Heleh, kemarin pengumumannya tutup tiga bulan, pada sedih tahu,” timpal temanku yang lain.
“Oh iya, itu cuma di awal karantina doang. Sekarang kami buka terus. Cuma Senin saja libur,” jelas Mas Doni.
Setelah menyelesaikan strukku, mbak-mbak kasir pun ikutan menjawab, “Kalau mbaknya sedih, bagaimana dengan kami? Jauh lebih sedih, Mbak, nggak punya duit.” Aku senyum-senyum sendiri sembari mendengarkan obrolan dan menerima struk belanjaan pada saat yang bersamaan. Bukan karena isi obrolannya. Tapi, karena nama kasirnya. Di struk itu, tertulis nama kasirnya adalah Tatik. Itu nama kesayangan dari nenekku untukku. Hahaha. Ah, jadi rindu. Besok aku teleponlah (padahal awal minggu kemarin kami baru saja teleponan, hehehe).
Oke, kembali ke malam mingguku. Pembicaraan tentang kekhawatiran keuangan tidak hanya sekali dua kali aku dengar. Mas Tri, pemilik warung penyetan yang hanya berjarak 5 meter dari kosku pun mengalami hal yang sama. Padahal, dia merupakan warung penyetan yang cukup ramai. Satu-dua minggu pertama masih banyak orang yang datang. Tapi, pada awal minggu ini, dia mengeluh.
“Stok makananku masih banyak, terpaksa kumasukin kulkas ini. Semoga besok bisa lebih ramai,” ucapnya pada suatu sore ketika aku membeli lele goreng dan sambal bawang. Aku hanya bisa mendengarkan sembari melontarkan pertanyaan normatif. Aku tidak kuat jika menanyakan hal-hal yang lebih sensitif.
Selain itu, ketika pulang dari Sakapatat, aku menemukan Indomaret, yang biasanya selalu ramai, pun sudah tutup. Padahal, jam tanganku baru menunjukkan pukul 21.20. Pemerintah memang memberikan imbauan untuk tutup lebih awal. Tapi, aku jadi sedih sendiri membayangkan dampak ekonominya terhadap karyawan-karyawan itu.
Bahkan, beberapa teman kuliahku yang bekerja di organisasi nonpemerintah internasional di Thailand juga harus kembali ke negara asal mereka karena korona. Aku tidak menyangka bahwa mereka juga terkena imbas korona. Seorang dari mereka menjadi temporary jobless, yang entah sampai kapan, karena kontrak kerjanya ditangguhkan oleh International Labour Organization (ILO) di Bangkok. Semua benar-benar tidak terkendali.
“Calamity is a great teacher” adalah kutipan artikel yang dibagikan oleh dosenku yang sedang S-3 di Inggris. Memang benar, aku pribadi, belajar banyak hal selama masa karantina ini. Tapi, tetap saja, tahun 2020 adalah the wildest year ever bagiku. Tidak ada yang tahu bagaimana tahun ini akan berakhir dan bagaimana dunia akan meresponsnya. Apakah warna dunia akan berubah pada Desember 2020? Only God knows.
Yogyakarta, 18 April 2020
0 notes