Sampai kalimat dalih hilang sudah pentingnya, dihajar letih yang mengiringi dada tiap kali kamu ajak aku bicara.
Semulanya kakiku tangguh berdiri, yakinkan diri agar bisa sesekali tatap kembali bulatan arang pada matamu. Malah lejar menyulut sendi untuk layu, tidak ada obat perenggang ataupun keberanian; supaya bisa setidaknya membalas keadaan.
Satu-dua yang aku benci soal jatuh dan cinta, keduanya berbuntut lelah yang tak habis berkunjung. Kala jatuh pasti jadi nyeri, cinta pula rajin berdaya lara. Maka jatuh cinta … perlu pandai dalam meresponsnya. Adalah aku … yang tidak miliki mampu jika itu semua tentang kamu.
Apa kata yang lebih tepat untuk “lelah”? Rasa diri tidak calak untuk berdampingan dengan kata tersebut, lantaran buat-buatannya hanya di sini, tidak keluar dari putaran dunia — pula tidak tertuju pada alam setelahnya.
Kita bertemu saat pancarona; yang campuran beragamnya menghasilkan hitam. Saat setetes biru jatuh, ia berhasil menyatu dengan merah. Sayang sekali gumpalannya cepat mengering, niat hati ingin membereskan, namun pecahan sekasar abu yang dihasilkan.
Mungkin tekanannya terlalu kuat, atau kuasnya memang sudah rapuh. Siapa sangka, seniman nyata sepertimu semudah itu menyerah?
Aku belajar warna darimu, belajar ukiran, jenis kuas hingga kerangka patung —yang hampir mustahil dipahat darimu. Bagimana melukis dengan lihai, buat nilai 'apik' karya seni buah jerih payahmu hanyalah sampah, menurutmu. Namun di mata dunia, harga dibayar ratusan ribu detikpun tak cukup.
Senang di balik senang, puluhan kanvas yang kau tinggalkan di ruang senimu ternyata mengundang rindu. Sialnya rasa makin membuncah saat aku tersadar, bahwa tak ada satupun karyamu yang berhak aku sentuh walau bingkainya.
Aku hanyalah penikmat seni,
Hingga pesonamu hadir menyulap putih menjadi warna, saat itu pula netraku yakin untuk tatap matamu, bak menemukan bukti nyata bahwa mahakarya memang selalu jadi antusias dunia.
Singkat, tetap namun tidak tepat,
Lukisan indahmu hanya tinggalkan palet kering berhiaskan debu kusam di atasnya. Ya, bagiku hanya itu, juga kaki easel yang patah serta rambut kuas beku yang sudah lewat masa fungsinya.
Lagi pula.. lain daripada peninggalan, janjimu untuk lukis aku masih jadi pemenangnya.
Ternyata menikmati seni hanyalah buaian belaka, jikalau aku yang menjadi pengagummu.
Saatnya aku kembalikan kepada semua, seelok sutra jari-jarimu mencuri dikara dunia, agar tetesan cat air milikmu ataupun air mataku tak sia-sia.
Namun bagaimanapun, kau tetap seorang seniman bagi kompleksnya dunia.
Mungkin saja di kehidupan yang lain —jemari kokoh itu menggenggam erat punyaku, saling tertaut dengan rasa aman di antara angkara dunia.
Atau kerutan wajah tertarik manis ke atas, mengukir bintang tak berpucuk sambil menimbang tentang esok, yakin jika masih bisa tersenyum seperti itu di balik alasan yang sama.
Mungkin saja di lain cerita, hati patuh pada jalan yang ditempuh, tidak menghalau dengan sendirinya yang malah sisakan peluh.
Mungkin yang diharap kini bisa rasakan semua, kalau saja tidak ada janji yang lekang dari bibir, pula lukah tidak lancar mengena.
Masih mungkin dalam harap di cerita yang lain, jemarimu benar mengenggam punyaku, pula lengan saling merengkuh ucapkan maaf,