Tumgik
danyusuf · 3 years
Text
there are so many languages i want to learn, books i want to read, places i want to visit but im here lying down with no motivation to go anywhere but to the kitchen.
170 notes · View notes
danyusuf · 3 years
Text
Jika ada yang bertanya kenapa skripsi saya belum selesai, maka jawabannya sesungguhnya adalah karena saya sudah ada dalam kondisi burnout. Sederhananya, saya kehilangan motivasi. Gejalanya sudah terasa sejak semester 7 sebenarnya. Hanya saja, keadaan semakin parah ketika semester 8 pandemi menghantam, menyebabkan rencana saya untuk menjaga motivasi dengan tetap ke kampus pudar.
Masalah ini diperparah dengan sifat saya yang cukup perfeksionis. Hampir di setiap saya mengerjakan skripsi, pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang sedang saya kerjakan selalu bermunculan. Sayangnya, pertanyaan ini tidak bisa saya jawab sendiri, dan saya belum menemukan orang yang bisa membantu saya untuk menjawabnya, mengingat tema yang saya ambil tergolong baru, bahkan untuk dosen pembimbing saya.
Walhasil, tanpa terasa sudah hampir genap 2 tahun sejak saya memutuskan mengambil tema ini, belum ada kemajuan yang signifikan. Padahal, dalam kondisi ideal, saya yakin bisa menyelesaikannya dalam hitungan 3 bulan saja. Tentu ini menjadi pr besar bagi saya. Bagaimana saya akan melanjutkan studi lanjut apabila saya masih dalam keadaan seperti ini?
Tapi setidaknya, saya masih bersyukur diberikan banyak nikmat di sela kegalauan ini. Pertama tentu saja keluarga yang tetap sabar dan memberikan kepercayaan penuh. "Kalau kamu, Ummi percaya kamu tau dan bisa menyelesaikan masalahmu sendiri." Begitu kata Ummi ketika bertemu sebulan yang lalu. Selain itu, lingkungan asrama juga cukup mendukung untuk terus belajar, meskipun kadangkala saya jadi terlampau asyik belajar yang lain. Terakhir tentu saja saya bersyukur diberikan dosen pembimbing yang sampai sekarang membimbing saya dengan sabar, yang akhirnya dalam banyak kasus berhasil meredam ketakutan saya akan kekurangan di skripsi saya.
Saat ini, saya sedang mengurus perpanjangan studi semester 11, bersamaan dengan semester terakhir di asrama. Teman seangkatan pun sudah mulai banyak yang telah menyelesaikan studinya. Dengan kondisi seperti ini, maka saya kembali menata hati, pikiran, dan perasaan, untuk fokus menyelesaikan tugas yang tertunda. Sudah cukup barangkali setahun lebih tugas ini "menyakiti" saya, sudah saatnya saya melawannya dan menghilangkan semua beban ini. Bismillah, insyaallah semester depan terakhir.
Nb: tulisan ini sengaja saya buat sebagai coping saya, setelah akhirnya kembali merasakan sakit perut dan pusing-pusing yang disebabkan oleh proses dalam mengurus perpanjangan studi. Bagi yang membaca tulisan ini, tidak perlu menanyakan lebih lanjut secara pribadi, karena dalam beberapa kasus hal itu dapat memberikan dampak negatif kepada saya. Cukup doakan saja, semoga saya bisa segera menuntaskan tugas ini.
11 notes · View notes
danyusuf · 3 years
Text
Asya'irah dan Atsariyyah
Tumblr media
Saya lahir di lingkungan Nahdliyyin, namun dididik dalam kecondongan ke Muhammaddiyah. Dengan keadaan demikian, saya sering berjumpa dengan konflik yang berada di ranah fiqh. Entah pengucapan niat, penggunaan qunut, atau tentang penentuan awal bulan hijriyah. Tidak ada sama sekali terpikir bahwa perkara khilafiyyah juga muncul di ranah Aqidah.
Semua bermula ketika saya menginjakkan kaki di Yogyakarta. Di kota di mana ragam pemikiran muncul dan berkembang dengan bebas, saya memilih belajar di kubu salafi-tarbiyYah yang cenderung dekat dengan madzhab Atsariyyah. Dalam kesempatan belajar itu, saya mulai merasa bahwa saya tidak pernah mengkaji Aqidah dengan model seperti ini. Pembagian Tauhid menjadi 3: Tauhid Rubbubiyyah, Tauhid Illahiyyah, dan Tauhid Asmaa' wa Shifaat dimunculkan, dan menimbulkan tanya dalam pikiran saya, "Mengapa saya baru mendengar ini sekarang?" Sebaliknya perkara seperti sifat wajib Allah tidak pernah diungkit. Padahal hingga kini, pembelajaran mengenainya -bahkan lagu untuk menghafalnya masih terngiang. "Sifat wajib bagi Allah, itu ada dua puluh. Wujud ada, Qidam dahulu, Baqa' kekal selamanya..." Dan seterusnya.
Tanya ini baru terjawab setelah beberapa tahun saya belajar, bahwa perihal aqidah pun muncul perbedaan pendapat hingga melahirkan madzhab-madzhab aqidah. Di antaranya ada yang (menurut beberapa ulama) masih tergolong aqidah yang benar (ahlussunnah wal jamaa'ah), di antaranya Asya'irah, Atsariyyah, dan Maturidiyyah. Ketiga madzhab ini, meskipun berbeda, namun perbedaannya berkutat ke dalam masalah furuu' (cabang) sehingga masih ditoleransi. Sedangkan madzhab lain semisal Mu'tazilah atau bahkan Syi'ah, terindikasi memiliki penyimpangan di persoalan ushul (pokok).
Kembali ke tiga madzhab utama yang masih tergolong ahlussunnah wal jamaa'ah, perbedaannya terletak kepada penggunaan akal untuk memahami aqidah. Di satu sisi, Asya'irah dan Maturidiyyah memiliki kemiripan, yaitu sama-sama berusaha menggunakan akal dan wahyu secara seimbang. Di sisi lain, Atsariyyah menggunakan wahyu secara murni untuk mempelajari aqidah.
Ada pun di Indonesia, mayoritas menganut madzhab Asya'irah -yang memang relatif dekat dengan madzhab fiqh Syafi'iyyah. Sehingga buku pelajaran agama yang dipelajari ketika sekolah banyak menggunakan madzhab ini untuk diajarkan dalam bab aqidah. Hal ini tergambar dengan apa yang sempat saya singgung di atas, misalnya tentang diajarkannya sifat wajib bagi Allah. Sedangkan beberapa ada yang menganut madzhab Atsariyyah -yang relatif dekat dengan madzhab fiqh Hambaliyyah. Untuk yang terakhir ini, dapat dengan mudah dijumpai dalam kelompok yang biasa menamai diri mereka dengan salafi -pengikut kaum salaf (terdahulu). Salah satu cirinya, seperti yang saya sebutkan pula di atas, membagi perkara tauhid menjadi tiga.
Di titik ini, saya kembali bersyukur dapat belajar di Bentala. Rujukan kami, Prof. Naquib al-Attas, secara aqidah lebih dekat ke Asya'irah. Hal ini wajar mengingat dalam ranah pemikiran, utamanya kalam, Asya'irah mampu memberikan argumen rasional untuk menjawab pertanyaan filosofis yang acapkali muncul di kalangan para pemikir. Sedangkan guru kami, Ustadz Anton, sengaja mengajarkan aqidah Atsariyyah. Alasan beliau sederhana, "Di dalam Aqidah Atsariyyah, kita diajarkan untuk dekat dengan wahyu, utamanya al-Quran. Maka jika di suatu titik kalian merasakan keletihan dalam proses berpikir, kalian tahu ke mana kalian harus pulang."
Dari sini, saya mendapatkan pelajaran. Bahwa khazanah Islam sangatlah luas. Keluasan itu menuntuk diri kita untuk selalu belajar, tidak berpuas diri begitu saja. Jangan sampai hanya karena kita tidak mengetahui duduk perkara akan suatu hal, kita serta merta memberikan cap negatif kepada seseorang -seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, tentang perdebatan mengenai Allah ada di mana. Maka mari terus belajar, sembari menahan diri untuk tidak ikut campur dalam hal yang belum kita ketahui. Sehingga dengannya, kita semakin paham, bahwa sebagai manusia, kita sangatlah terbatas, dan semakin menundukkan diri ke hadapan Allah Ta'ala.
Yogyakarta, 16 Februari 2021 Dan Yusuf, kembali belajar
5 notes · View notes
danyusuf · 3 years
Photo
Tumblr media
Sebenarnya saya sudah menyiapkan tulisan yang agak panjang tentang kisah bagaimana akhirnya saya mempunyai 2 partner baru berupa HP dan laptop. Namun karena ada kecelakaan sedikit, tulisan itu akhirnya hilang -meskipun sesungguhnya tinggal dipublikasikan. Maka akhirnya saya coba sampaikan paragraf penutupnya saja.
Intinya, kita tidak akan pernah tau tentang apa yang akan kita alami. Sesuatu yang kita anggap buruk, bisa jadi baik untuk kita, pun sebaliknya. Seperti saya yang mengalami kehilangan laptop di kala proses pengerjaan skripsi. Setelah mencoba meridai dan mengambil hikmah darinya, banyak hal baik datang bertubi-tubi hingga akhirnya sebulan setelahnya saya telah mendapatkan laptop (yang meskipun second tapi lancar jaya, bahkan mengalahkan laptop yang dicuri), dan HP baru untuk menggantikan HP lama yang sudah berumur lebih dari 4 tahun. Di titik ini, tidak ada ruang bagi saya untuk tidak bersyukur. Tinggal bagaimana ke depannya saya harus memastikan agar rasa syukur itu tereksekusi dan tidak hanya berhenti di lisan.
Yogyakarta, 13 Februari 2021 Dan Yusuf, dengan 2 partner baru
4 notes · View notes
danyusuf · 3 years
Text
Refleksi Dua-dua: Literasi & Pergeseran
Tumblr media
Sekali lagi, tulisan ini seharusnya saya buat di bulan November lalu. Namun berhubung ada satu-dua keadaan, ditambah dengan kejadian hilangnya laptop, butuh waktu bagi saya untuk memulai kembali menulis di sini.
Di antara hal yang ingin saya biasakan dalam setiap tahunnya ialah mencoba merefleksikan kegiatan literasi saya. Sejak memutuskan untuk menjadikan literasi sebagai hobi, saya merasa perlu untuk membuat satu-dua tulisan berkenaan dengannya. Utamanya untuk melihat seberapa jauh saya menikmati hobi ini, dan seberapa bermanfaatnya hobi ini.
Menginjak tahun ke dua puluh dua saya diberi kesempatan untuk hidup, ketertarikan saya ke buku juga semakin dalam. Kondisi ini ditambah dengan lingkungan asrama yang memang mendukungnya. Coba saja, jika kalian menyempatkan untuk mampir ke Bentala, maka pemandangan yang pertama kali tersuguhkan adalah jajaran buku yang memenuhi dinding-dindingnya. Tak hanya secara fisik, seringkali, obrolan-obrolan yang menghiasi ruang asrama ini tak bisa lepas dari buku-buku itu. Maka tak heran, kami semua mau tidak mau menjadi dekat dengan dunia literasi.
Di tahun ini pula, secara kuantitas, koleksi buku saya meningkat dengan peningkatan yang lebih banyak daripada tahun sebelumnya. Dari 162 buku yang saya miliki per 14 November 2019, meningkat menjadi 236 buku per 14 November 2020. Artinya, terjadi penambahan sebanyak 74 buku di jarak selama satu tahun tersebut. Angka tersebut lebih banyak daripada tahun sebelumnya yang “hanya” mengalami peningkatan sebesar 57 buku dalam setahun. Namun meskipun mengalami peningkatan, saya belum bisa berpuas diri. Saya teringat dengan perbincangan suatu ketika dengan Ustadz Anton di asrama mengenai koleksi buku yang beliau miliki. Beliau memperkirakan, koleksinya ada di kisaran 2000 buku, yang berarti koleksi saya sekarang kurang dari 15% dari total yang beliau miliki. Padahal, umur kami tidak begitu terpaut jauh, hanya sekitar 10 tahun. Artinya, jika 10 tahun ke depan penambahan koleksi buku saya diasumsikan ada di angka 100 buku per tahun, maka angkanya masih jauh dari jumlah yang beliau miliki di umur yang sama. Sehingga di titik ini saya merasa sedikit menyesal karena terlambat terjun ke dunia perbukuan.
Berkaitan dengan jenis buku yang saya beli, saya mencoba untuk menjadi semakin selektif dalam memilih buku. Pasalnya sederhana, keterbatasan anggaran ditambah dengan keperluan studi yang semakin mengerucut membuat saya mulai memilah-milah mana buku yang perlu saya beli dan mana yang tidak. Buku-buku seperti novel misteri mulai jarang saya beli, utamanya karena buku tipe ini jarang saya baca ulang (bahkan terakhir, saya memutuskan untuk menjual beberapa di antaranya). Sebagai gantinya, saya mulai mencoba menjajal novel dengan sastra khas Indonesia. Alasannya sederhana, keinginan saya untuk mengambil “rasa” dalam menulis bisa saya temukan di novel-novel tersebut. Kalau pun ada novel terjemahan yang saya beli, itu karena memang nilai yang terkandung di dalam novelnya lah yang ingin saya cari, bukan karena kesenangan semata.
Selain pergeseran jenis novel, semakin ke sini saya juga mencoba untuk memfokuskan koleksi buku saya ke tema-tema yang menjadi fokus studi saya ke depan. Sains, utamanya relasinya dengan agama menjadi prioritas tertinggi dari buku-buku yang ingin saya miliki.  Tak lupa buku-buku sains populer terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) juga menjadi incaran. Hal ini tidak terlepas dengan kepentingan saya untuk membaca pemikiran sains yang tumbuh di masyarakat umum, mengingat KPG lah yang memimpin wacana sains saat ini --terlepas dari ketidaksetujuan saya terhadap nilai-nilai yang ada di buku terbitannya. Dengan fokus ini, saya berharap ke depannya untuk mampu berkontribusi secara total di wilayah keilmuan yang saya geluti, yakni sains.
Walhasil, atas segala perjalanan literasi saya selama setahun ini, perlu rasanya saya ucapkan alhamdulillaah, rasa syukur yang amat dalam atas segala kesempatan untuk bergelut di dunia yang sarat ilmu ini. Tinggal bagaimana konsistensi serta produktivitas dalam menghasilkan karya yang perlu ditingkatkan ke depannya. Semoga kita semua senantiasa diberikan semangat untuk belajar dan tak pernah lelah untuk mencari ilmu. Aamiin
nb: daftar koleksi buku saya dapat diakses di sini.
Yogyakarta, 29 Januari 2021 Dan Yusuf, mari kembali serius
22 notes · View notes
danyusuf · 3 years
Text
Refleksi Dua-dua: Bukan Sebuah Krisis
Tumblr media
Tahun telah berganti –baik Masehi maupun Hijriah, dan umur pun telah bertambah. Dua puluh dua sudah bukan angka yang bisa dianggap kecil bagi manusia kini. Di umur ini, apa yang didaku sebagai quarter-life crisis­, sebuah “penyakit psikis” yang dialami manusia “modern” mulai banyak melanda. Sederhana saja, di umur ini, jika menurut kebiasaan, pendidikan jenjang strata 1 telah usai dilampaui. Setiap orang mulai memikirkan urusannya masing-masing. Berpisah dengan kawan dekat sudah menjadi hal yang biasa. Dan tanpa sadar, kita semua mulai sibuk menanyakan diri sendiri. Tentang apa yang akan dituju? Apa yang akan dilakukan setelah ini? Serta apa tantangannya? Dan tak lupa dengan siapa akan melewatinya?
Perasaan-perasaan semacam itu pun juga saya rasakan, meskipun saya pribadi tidak mau menganggapnya sebagai krisis. Alasannya sederhana, saya adalah orang idealis sejak kecil, dan saya percaya (sekaligus memperhitungkan tentu saja!) bahwa ada jalan untuk melewatinya. Maka saya menjadi tidak begitu terpengaruh dengan lingkungan saya.
Barangkali di antara gejalanya, yang sangat saya rasakan adalah hilangnya teman-teman terdekat. Kehilangan ini semakin terasa karena pandemi yang menyebabkan banyak di antara kita tidak sempat berpamitan satu sama lain. Hal ini tentu saja menghasilkan perasaan sedih terhadap diri saya.
Sebagai orang dengan arti nama “sendirian”, saya sebenarnya terbiasa menyendiri. Hanya tetap saja, saya tetaplah manusia dengan keinginan bersosialisai. Meskipun bedanya, saya cenderung selektif dalam memilih teman berbicara. Maka di titik ini, ketika suasana Jogja semakin sepi, keinginan bersosialisasi itu saya luapkan ke satu-dua orang terdekat saja, yang alhamdulillah, sampai sekarang masih setia menemani kegiatan bercerita bersama saya.
Faktor lain yang sedikit saya rasakan adalah tekanan dari teman-teman sekitar. Ketika sebagian besar di antara mereka satu per satu telah wisuda dan bahkan bekerja, saya masih saja di sini, berkutat dengan skripsi yang belum kunjung usai, sembari sesekali mencari peluang pekerjaan sambilan yang tak tentu ada. Tapi setidaknya dengan adanya asrama, saya lebih tenang dalam mengahadapi masa depan. Maklum, asrama yang saya tempati telah memiliki tujuan dan arah yang jelas yang sesuai dengan rencana hidup saya.
Pada akhirnya, di umur ke dua puluh dua ini, memang banyak hal yang perlu dikerjakan dan dipikirkan secara serius. Tapi bukan berarti itu harus menjadi beban yang dipikirkan terlalu banyak dan memicu krisis. Insyaallah akan ada jalan selama kita mau mencarinya dan tidak berputus asa. Maka semoga kita semua dilindungi dari beban-beban pikiran yang tidak diperlukan, dan mampu menjalani hidup dengan menyenangkan, apa pun keadaannya.
Yogyakarta, 4 Januari 2021 Dan Yusuf, memasuki dua-dua
Refleksi dua-dua adalah tulisan mengenai Fardan yang telah memasuki umur 22 tahun. Sejatinya rubrik ini diterbitkan ketika 14 November lalu, namun baru bisa terwujudkan awal Januari Ini.
2 notes · View notes
danyusuf · 4 years
Text
Pagi Bersama Intelektual Islam Indonesia
Tumblr media
Di sela-sela kesibukan asrama dan skripsi, hari ini saya memutuskan untuk rehat sejenak, menikmati pagi dengan seduhan teh sereh dan kayu manis, sembari berselancar dan membaca tulisan tentang tokoh-tokoh islam terdahulu. Biografi singkat dari beberapa tokoh telah terbuka, di antaranya adalah Rasjidi, A Hassan, dan Hasbi Ashiddiqie. Ketiga tokoh besar ini memang sedang ingin saya pelajari, mengingat geliat mereka di dunia intelektual islam yang mengesankan namun tidak begitu diketahui khalayak umum.
Satu per satu tulisan mengenai mereka saya daras, dan semakin lama saya semakin menggelengkan kepala. Heran! Pada masanya, geliat intelektual umat islam di Indonesia begitu menakjubkan, namun kini semua jejak itu hilang begitu saja.
Hilangnya jejak ini tentu membuat saya berpikir, “Ada apa gerangan sehingga nama mereka seakan menjadi tidak familiar di kalangan umat sekarang?” Lebih lanjut lagi, “Mengapa semangat tokoh-tokoh demikian tidak terwariskan ke umat islam sekarang, utamanya kaum muda muslim?” Ah, nampaknya saya memang harus mencoba untuk mencari referensi mengenai keterputusan garis intelektual ini, menuangkannya dalam tulisan, sembari berharap agar kejadian serupa tidak hadir kembali di masa depan.
Yogyakarta, 10 Oktober 2020 Dan Yusuf, dalam usaha mencari semangat intelektual
0 notes
danyusuf · 4 years
Text
Percakapan Yang Tak Bisa Dilupakan
Tumblr media
“Saya tau kok Mas Ibay itu siapa.”
Jalanan di daerah Pogung Kidul lengang, jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh kurang, dan hujan yang baru saja turun membuat orang-orang enggan untuk keluar dan memilih berada di tempatnya masing-masing. 
“Emang kamu tau dari mana?” “Ya taulah mas, mata-mata saya banyak, hehe.” Pembicaraan kita mengalir begitu saja, mas menceritakan “rahasia” dari mereka, dan aku -dengan sok taunya- mengiyakan serta memberikan pendapat. Tapi dari sana lah, kita menjadi semakin dekat.
Tumblr media
“Aku nginep sini aja yo, Dan!” “Yo mas, sans, udah biasa juga.” Malam-malam di mana mas menginap di kos-kosan barangkali selalu menjadi malam-malam yang dipenuhi dengan berpikir. Diselingi dengan kerecehan-kerecehan yang mas keluarkan, diskusi kita berjalan begitu lancarnya, hingga tak jarang, jarum jam telah melewati angka 12, pertanda hari telah berganti.
“Aku tertarik sama dia.” Hahaha, sejujurnya aku ingin tertawa mendengarnya, dan faktanya saat itu aku benar-benar tertawa. Bukan, aku tidak menertawakan tentang perasaan mas yang sebegitu seriusnya, tapi tentang betapa uniknya diskusi kita. Terkadang kita mendiskusikan perihal politik kampus, di lain kesempatan kita membahas tentang ilmu dan mimpi-mimpi kita, dan ternyata kita juga bisa berdiskusi tentang hal sentimentil seperti itu! Tapi sejujurnya, meskipun aku tidak pernah mengungkapkan siapa yang sedang kupikirkan, namun mas selalu bisa saja menarikku untuk mengatakan secara jujur apa yang kupikirkan tentang orang tertentu.
“Dan, anterin ke kosan yo.” Agaknya memang benar asumsiku bahwa mas tidak bisa menaiki sepeda. Berkali-kali kita berjumpa, selalu saja mas dalam kondisi yang sama, berpakaian sederhana dengan tas kecil, dan berjalan kaki. Ah, tapi tak apa. Aku menyukai pengalaman membonceng mas dari satu tempat ke tempat lain, selalu dan selalu, pembicaraan kita mengalir begitu mudahnya, tentu tak lupa dibumbui dengan kerecehan kita!
“Astaghfirullah...” Sapaku. “Kamu ngapain istighfar setiap ketemu aku?” “Lha seharusnya mas bangga to? Bisa mengingatkan orang lain untuk beristighfar.” Perbincangan-perbincangan ringan yang selalu kita ulang di tempat wudhlu masjid kampus itu selalu terngiang-ngiang di dalam diriku. Senyum aneh mas setiap berjumpa denganku pun juga masih kuingat dengan jelas dalam imajiku.
Tumblr media
“Ih, ketemu orang ini lagi.” Kataku suatu ketika saat memasuki Perpustakaan Baitul Hikmah (PBH). Ya, kita selalu saja berjumpa. Entah itu di kampus, di maskam, di PBH, pun di tempat-tempat lain yang berhubungan dengan ilmu yang kita pelajari. Mungkin apa yang kukatakan terkesan jahat, namun apa yang ada di dalam diriku sesungguhnya sebaliknya, aku tidak pernah bosan bertemu dengan mas.
“Lho, Mas Ibay mana?” Tanyaku pada Mas Alfian. “Ibay katanya pulang, dia sakit. Batuk-batuk dan gatal-gatal. Di sini nggak ada yang ngerawat, makanya dia pulang ke Jakarta.” Jawabnya. Jujur, aku merasa kesepian. Ruang yang biasanya selalu terwarnai oleh mas, tiba-tiba kehilangan warna itu. Tapi tidak apa-apa, toh cuman batuk-batuk dan gatal-gatal, bukan masalah besar.
“Aku baru ketemu Ibay, dia di Jogja sekarang, lagi beresin kos-kosannya. Keadaannya mengkhawatirkan, suaranya serak, wajahnya terlihat pucat, dan tubuhnya kurus sekali.” Kata Mas Dalton ketika beliau sedang mengunjungi Bentala. Separah itu kah mas? Sakit apa yang mas derita? Pikiranku kacau, Ingin rasanya aku segera menghubungi mas untuk bertemu, namun pada akhirnya tidak kulakukan karena kegiatanku saat itu yang benar-benar padat.
“Harusnya kamu jadikan itu novel.” Komentar Mas Ibay ketika aku membaca Relativitas karya Einstein. “Hahaha, ide bagus! Mas masih di Jogja? Atau udah balik Jakarta?” “Udah balik, mau ngobat.” “Syafaakallah, laa ba’saa thohuutun insyaallah.” “Aamiin.” “Balik Jogja lho mas, durung pamitan neng aku e.” “Jangkrik, wk.” “Wkwkwkwk.” “Aku juga lagi baca buku. Buku tentang Diponegoro. Entah kenapa akhir-akhir ini lagi suka baca buku tentang sejarah DIY.” “Hahaha, mas mau jadi Gubernur DIY? Menggantikan aturan Gubernur DIY agar bukan sultan lagi?” “Iya dong, wqwqwq. Kumpulin pasukan dulu~” “MantaPKS!” “Nah itu pasukannya, Manta(PKS). Nanti kita bisa berargumen tentang interaksi aliran kebatinan di keraton.” “Ngawur, makar gitu ya? Pake propaganda, wkwkwk.” “Iya dong, harus, wqwqwq.” “Siaapppp!”
“Dan, kamu dapat DM di instagram dari seseorang?” Pesan pagi itu begitu mengusikku entah kenapa. “Enggak mas, piye?” “Aku di-DM, dia bilang dia saudaranya Indrabayu. Tadi malam Indrabayu meninggal.” Terdiam, tiba-tiba semua memori kita terlintas di benakku. Tentang kosan, nuklir, KM, PBH, JS, al-Attas, dia yang mas ceritakan, dan impian-impian besar mas, pun tentang segala petualangan kita, di jalan-jalan Pogung, Pasar Kangen, Kampung Buku, semuanya lewat begitu saja. Meninggalkanku dalam kondisi yang tidak bisa dijelaskan lagi. Di titik itu aku sadar, aku sudah kehilangan satu orang berharga di hidupku.
Selamat tinggal Mas Ibay, terima kasih atas segala sesuatunya. Terima kasih atas diskusinya. Terima kasih atas informasi buku-bukunya. Terima kasih telah menceritakan mimpi mas, yang sebagian akhirnya menjadi mimpiku juga. Teirma kasih atas kerecehan mas yang selalu mewarnai pertemuan kita. Terima kasih atas pinjaman bukunya, maaf sampai akhir, aku tidak bisa mengembalikannya secara langsung. Terima kasih atas segala pengalaman bertemu dengan mas. Semoga Allah membalas jasa-jasa mas dan mengampuni dosa-dosa mas.
Tumblr media
Epilog “Dan, kamu tau? Di Max Planck Institute ada program namanya Final Theory Project.” “Ohya, apa itu?” “Itu program di mana keberadaan Final Theory dibahas secara filosofis. Apakah mungkin kita menemukannya? Sudah benarkah jalannya? Dan pertanyaan semacamnya.” “Wuss, mantap. Keren juga ya. Setelah kupikir-pikir, fisikawan sekarang cuman manut-manut aja nyari Final Theory tanpa tau apakah mereka sudah benar atau belum.” “Nah ya itu!” “Hmm, kayaknya menarik bergelut di dunia sejarah dan filsafat fisika. Ya udah, kayaknya aku bakal cari info ke sana!”
Yogyakarta, 1 Agustus 2020, 23:59 Dan Yusuf, dua hari setelah kepergiannya.
1 note · View note
danyusuf · 4 years
Text
Bunga Yang Di-”nanti”-kan
Tumblr media
“Kau benar-benar tidak ingin menanam mawar merah?”
Siang itu angin dingin sedang berhembus, menggerakkan gantungan yang sengaja kupasang di langit-langi teras pekarangan ini, menjadikannya berdenting dan menghasilkan suara yang menenangkan. Cuaca memang sedang cerah seperti musim kemarau pada umumnya. Kombinasi antara terik matahari di siang hari ditambah dengan angin dingin yang datang memang menjadikanku tergerak untuk kembali ke tempat ini, sekadar menikmati dan mengamati perkembangan pekarangan bunga yang kutanam ini.
“Bukankah mawar sedang populer akhir-akhir ini?” Akhir-akhir ini entah mengapa bunga mawar memang sering kulihat ada di mana-mana. Orang-orang di sekitarku berlalu-lalang membawanya, entah masih berupa benih, atau pun yang sudah mekar. Ada pula yang belum memlikinya namun menyatakan harapannya untuk segera memilikinya.
“Lantas?” Aku? Aku memilih untuk tidak menanamnya saat ini, Tidak, bukan tidak ingin, aku menginginkannya, namun tidak saat ini.
“Mengapa?” Pekarangan luas yang menjadi taman bunga ini memang terlihat begitu indah dari luar. Orang yang sekadar melintasinya mungkin mudah terpesona melihatnya. Namun di sisi lain, masih perlu usaha keras untuk memperbaikinya. Tak jarang, badai datang menghancurkan bunga-bunga yang sudah susah payah kutanam. Pun juga masih sering aku mengabaikannya hingga muncul rerumputan liar yang merusak keindahan pekarangan ini. Kuakui, aku memang masih harus belajar untuk merawatnya. Apalagi, saat ini aku sedang ingin menanam bunga-bunga lain, dahlia, dandelion, parsley, tulip, akasia, dan sejenisnya.
“Lantas kapan?” Mawar merah? Bagiku, ia adalah bunga yang spesial. Ia perlu ditanam di tempat dan waktu yang tepat. Jika tidak, maka ia akan tumbuh tak terkendali, dan durinya akan melukai, tidak hanya aku, mungkin orang lain juga. Pun bahkan ketika katakanlah ada yang ingin memberikannya padaku, aku butuh waktu. Dengan kondisi pekaranganku saat ini, setidaknya paling cepat aku perlu waktu 1,5-2 tahun untuk membereskan semuanya, sampai tiba saatnya untuk menanam bunga itu. Terlebih...
“Terlebih?” Aku teringat dengan pekarangan sebelah yang telah dipenuhi dengan buket bunga krisan...
Yogyakarta, 1 Agustus 2020 Dan Yusuf, kembali ke pekarangan
4 notes · View notes
danyusuf · 4 years
Text
HAMKA Bicara al-Quran
Tumblr media
Ramadan lalu, setelah iseng berselancar di instagram, saya menemukan beberapa eksemplar Tafsir al-Azhar terpampang di lapak buku bekas, Massa Aksi Yk. Saya tergelitik untuk membelinya. Maklum, target membaca tafsir saya kala itu tidak bisa berlanjut karena kendala kepemilikan buku. Selama ini, saya membaca tafsir tersebut hanya dari hasil pinjaman di Perpustakaan Baitul Hikmah, dan itu pun dibatasi waktu maksimal 2 pekan. Di sisi lain, sebenarnya kakek saya juga mempunyai satu set tafsir tersebut dari juz 1 hingga 30. Ummi pun pernah berkata untuk mengusahakan agar buku-buku tersebut “diwariskan” saja ke saya. Namun berhubung rasa cinta kakek saya terhadap buku-bukunya, tidak tega rasanya untuk mendesak agar buku-buku itu segera dikirimkan ke saya. Maka tak perlu pikir panjang, saya menghubungi Mas Lentho -pemilik lapak Massa Aksi Yk- untuk memeas buku tafsir tersebut.
Hasilnya memuaskan, setelah mampir ke lapaknya, saya berhasil membawa pulang Tafsir Al-Azhar 5 juz dengan banderol masing-masing 30.000 rupiah. Harga yang tergolong sangat murah mengingat cetakan terbaru tafsir ini dihargai 200.000 hingga 300.000 rupiah per 3 juz.
Meskipun hanya 5 dari 30 juz yang saya punya, hal itu tidak menghalangi saya untuk mulai menjalankan kegiatan membaca tafsir. Target saya sederhana -meskipun berat-, 1 juz setiap pekannya, yang artinya kurang lebih 40 halaman harus didaras setiap harinya. Adapun untuk juz-juz yang belum saya miliki, untuk sementara saya membacanya melalui perangkat elektronik. Insyaallah nantinya apabila diberi kesempatan, akan saya lengkapi koleksi tafsir ini.
Melakukan kebiasaan membaca tafsir ini nyatanya mudah-mudah sulit. Empat puluh halaman bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat saya juga harus mendaras buku-buku lain. Apalagi sifat tulisan HAMKA yang sangat perasa, menyebabkan saya hanya bisa membacanya di waktu-waktu saya sedang sendirian. Maka pagi hari selepas syuruq, dan sore selepas ashar menjadi waktu ideal untuk merenungi tafsir ini.
Meskipun pada eksekusinya saya baru mengkhatamkan satu juz setelah berpekan-pekan lamanya, namun sudah banyak hal yang saya dapatkan dari tulisan HAMKA ini. Pada awalan bahasan, HAMKA menceritakan sedikit sejarah dan perjuangannya dalam merampungkan tafsir ini. Nama “Al-Azhar” pun bukan sembarang dipilih. Nama itu dipilih berdasarkan nama masjid baru di depan rumahnya di mana beliau membahas tafsir Quran. Adapun nama masjid ini disandarkan kepada Universitas Al-Azhar yang mana kala itu baru saja memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada HAMKA. Selain itu yang menarik lagi adalah perjuangan HAMKA dalam menyelesaikan tafsir ini. Bertahun-tahun beliau mengisi kajian tafsir di Masjid Al-Azhar namun hanya beberapa juz yang beliau khatamkan. Maka beliau sempat berpikir bahwa usia beliau tidaklah cukup untuk merampungkan ketigapuluh juz al-Quran. Beberapa saat kemudian, ada suatu kejadian yang cukup menyedihkan terjadi. Buya HAMKA ditangkap dan dipenjara atas tuduhan makar. Meskipun beliau sempat putus asa (ihwal cerita ini dapat dibaca di pengantar bukunya yang lain, Tasawuf Modern), namun ternyata di penjara ini lah beliau mampu merampungkan tafsir ini hingga khatam. Maka di awal pembahasannya, tafsir ini sudah mampu memberikan banyak pelajaran tentang kesabaran, keteguhan, dan kehebatan Kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beranjak ke isinya, tafsir ini bisa dikatakan cukup berbeda dari kebanyakan tafsir yang ada. Ketika tafsir yang lain seringkali membahas tafsir dengan membredel kata per kata, HAMKA justru membahasnya dengan banyak bercerita. Barangkali hal ini disebabkan karena HAMKA memang sengaja menyusun tafsir ini khusus diperuntukkan khalayak umum di tanah Nusantara. Maka seperti kebanyakan tulisan HAMKA yang lain, membaca Tafsir Al-Azhar terasa seperti mendengarkan lansung pitutur beliau. Kalimat-kalimatnya, alih-alih membuat pembaca memutar otak, lebih banyak mengajak pembaca untuk berefleksi, merenungi isi al-Quran serta merasakan gejolak perasaan di setiap ayatnya. Maka kalau boleh saya katakan, tafsir ini sangat cocok bagi mereka yang ingin menata hatinya agar cocok dengan al-Quran.
Barangkali salah satu kekurangan yang dimilki tafsir ini adalah bahasa yang penulis gunakan. Bagi angkatan muda saat ini, bahasa yang beliau gunakan cukup berat untuk dipahami. Maklum, latar beliau dari Sumatera menyebabkan bahasa sastra yang ia gunakan sangat kental dengan Bahasa Melayu yang mendayu-dayu. Namun hal ini bukanlah masalah besar sebenarnya, apabila pembaca mau bersabar sedikit untuk membiasakan dengan tulisannya.
Maka bagi saya, membaca Tafsir Al-Azhar adalah sedikit upaya dalam rangka memahami al-Quran lebih dalam. Karena jangan sampai seorang muslim terlalu menggebu-nggebu untuk mendiskusikan hal yang “melangit” mengenai islam, namun justru abai terhadap dasar islam itu sendiri. Pun juga bagi saya, membaca Tafsir Al-Azhar adalah secercah usaha untuk menghormati karya ulama-ulama lokal, sembari memahami bahwasanya banyak ulama-ulama hebat di bumi Nusantara ini yang seringkali kita lupakan.
Yogyakarta, 28 Juli 2020 Dan Yusuf, merenungi Al-Azhar
2 notes · View notes
danyusuf · 4 years
Text
Tentang Masakan
Tumblr media
Salah satu hal yang paling menyenangkan ketika tinggal di asrama adalah memasak. Apalagi semenjak ditunjuk menjadi penanggung jawab bagian dapur dan bahan makanan, kegiatan memasak dan berbelanja menjadi hiburan selingan di sela-sela kesibukan (?) yang lain.
Tapi berbulan-bulan semenjak aku mulai memasak untuk asrama, ada satu perasaan yang kupahami dari seorang yang bergelut di dapur. Perasaan itu adalah kebahagiaan ketika masakan yang kubuat dimakan dengan lahap, atau sebaliknya, kesedihan ketika tidak ada yang memakannya.
Perasaan itu berkembang sedemikian rupa sampai tak jarang aku mengorbankan kenikmatan diri sendiri demi melihat masakanku dinikmati oleh yang lain. Seperti misalnya, dalam beberapa kesempatan secara sengaja aku memilih makanan-makanan yang “agak gagal” agar yang lain dapat menikmati makanan yang sempurna. Pun pernah suatu ketika, saat aku sudah sedang menyiapkan makan malam, tiba-tiba satu per satu teman asrama pamit untuk makan malam di luar. Perasaan sesak pun tak tertahankan hingga air mata hampir saja menetes -iya, aku orang yang sebegitu perasanya-.
Pengalaman ini lantas membuatku berpikir, “Jadi, selama ini ummi merasakan hal yang sama?” Bagaimana perasaan beliau ketika dulu beliau sudah memasak dengan jumlah yang banyak (hanya karena tau anaknya yang jarang pulang ini akan kembali ke rumah), lalu tiba-tiba aku mengabarkan bahwa pulang telat hanya karena ingin bertemu teman? Sesederhana itu.
Sampai akhirnya dari sini aku berazam untuk lebih menghargai masakan orang lain, siapa pun itu. Apalagi masakan orang-orang terdekat, baik itu ummi, istri (kalau sudah punya), atau teman-teman yang lain. Agar setidaknya, mereka bisa merasakan rasa bahagia itu dan sebaliknya, tidak merasakan kesedihan. Toh, kita hanya perlu makan!
Foto: Soto yang kumasak demi memenuhi rasa kangen dengan masakan ummi di rumah.
Yogyakarta, 27 Juli 2020 Dan Yusuf, ketika berat badan mulai naik
2 notes · View notes
danyusuf · 4 years
Quote
Ini rumit, tapi pada akhirnya aku selalu ingin menyendiri.
Fardan, hanya ingin menjadi Fardan
2 notes · View notes
danyusuf · 4 years
Text
Renungan di Rumah Sakit
Seperti malam-malam biasanya, Rumah Sakti Akademik (RSA) UGM malam ini terasa lengang. Ruangannya yang luas namun minim pencahayaan menjadikannya terkesan “horor”, utamanya bagi orang-orang yang penakut-tentu saja aku tidak termasuk!-. Aku membaringkan tubuh di pojok salah satu kamar pasien di lantai 4. Kebetulan saat ini, salah satu teman asramaku sedang mengidap penyakit Demam Berdarah, maka satu per satu di antara kami saling bergantian menjaganya, dan aku kebetulan mendapatkan kesempatan malam ini.
Agaknya, suasana keheningan di RSA berhasil kembali menerbangkan imaji pikiranku, berkelana ke sana ke sini, hingga akhirnya ia berakhir kembali ke diri sendiri. Mencoba menerka, seperti apa sebenarnya diri ini? Apa yang ia butuhkan? Apa yang ia inginkan? Apa yang sedang ia rasakan?
Di tengah keadaan seperti itu, aku mencoba menelusuri tulisan-tulisan yang telah kubuat selama ini. Setidaknya, menurutku, mereka mampu memberikan petunjuk tentang keadaan diriku saat ini. Setelah membaca beberapa tulisan, aku mulai memahami satu hal-kebanyakan tulisanku pada dasarnya sangat berorientasi pada diriku sendiri!
Tentu ini sedikit mengganggu pikiranku, kenapa selama ini rasanya aku jarang sekali menuliskan sesuatu yang tidak melulu tentang diri sendiri, entah tentang fenomena apa yang sedang terjadi, tentang permasalahan yang sedang muncul, atau pun tentang kondisi lingkungan sekitarku?
Setelah merenung agak lama, aku mulai mendapatkan penjelasan. Setidaknya, ada 2 alasan mengapa aku begitu suka menulis tentang diri sendiri.
Alasan yang pertama adalah gaya kepenulisanku yang cenderung terpengaruh oleh gaya penceritaan novel. DImulai dari penjelasan latar, keadaan, hingga apa yang dilihat dan dirasakan oleh subyek -yang tidak lain dan tidak bukan ya aku sendiri-. Gaya kepenulisan seperti ini membuat hampir setiap tulisanku selalu menceritakan tentang diriku, dan mempunya subyek yang jelas, yakni “aku”. Oke, aku paham ini mungkin terkesan hanya sebagai alasan yang tidak berdasar, tapi setidaknya ini juga berpengaruh.
Alasan kedua -yang barangkali lebih tepat- adalah karena aku tipe orang yang suka bercerita. Iya, aku yang sebenarnya sangatlah cerewet, sekalinya bercerita, maka cerita tersebut bisa saling sambung menyambung hingga menghabiskan waktu berjam-jam! Namun permasalahannya, aku hanya bercerita kepada orang-orang tertentu, itu pun dengan kadarnya masing-masing. Selalu ada batasan bagiku untuk bercerita ke orang lain. Barangkali, satu-satunya orang yang bisa kupercayai untuk mendengarkan ceritaku tanpa henti hanyalah Ummiku. Walhasil, kondisiku seperti itu akhirnya menyebabkan tulisanku sebagai media “pembalasan”-ku untuk bercerita mengenai diriku. Maka wajar ketika tulisanku kebanyakan cenderung “egois”, hanya menceritakan tentang diriku sendiri.
Soal alasan kenapa aku hanya bercerita ke orang-orang tertentu, itu sangat rumit. Faktor kepercayaan yang ketat, kemampuan subyek untuk mendengarkan dan -yang paling berpengaruh- konsep “batasan interaksi” saling berkelindan, menutup keinginanku untuk bercerita pada orang lain. Terlebih, kebiasaanku yang senantiasa berusaha menjadi “pendengar yang baik” benar-benar membuatku mengutamakan telinga daripada mulut. Maka, terbentuklah diriku yang tertutup ini.
Pada akhirnya -ya, aku begitu suka menutup tulisan dengan frasa ini-, sekalipun tulisanku adalah tulisan yang penuh dengan cerita tentang diriku, aku berharap semoga para pembaca tulisanku bisa mendapatkan satu-dua hal yang bermanfaat, sekecil apa pun itu.
Yogyakarta, 22 Juli 2020 Dan Yusuf, dalam hening rumah sakit akademik
1 note · View note
danyusuf · 4 years
Text
Sedih dan Syukur
Tumblr media
Malam ini aku kembali terharu tersebab nikmat Allah yang begitu besarnya yang Ia berikan di saat yang tak terduga. Pada awalnya, hari ini kujalani dengan diliputi kesedihan. Kesedihan ini hadir sebab hari ini adalah waktu bagiku untuk memulai kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) secara daring. Padahal di saat yang bersamaan, beberapa kawan mengunggah kenangan KKN mereka yang dilaksanakan tepat satu tahun lalu. Sebagai seseorang yang “gagal” mengikuti KKN tahun lalu, dan “gagal” terjun secara langsung di KKN kali ini, sedikit banyak perasaan sedih menghhampiriku.
Namun tak butuh waktu lama sebelum akhirnya kesedihan ini berubah menjadi rasa syukur. Malam ini, seperti malam Selasa sebelum-sebelumnya, aku beserta beberapa santri Bentala melanjutkan kegiatan kelas Worldview Islam yang dilakukan dengan mendaras buku Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam karya Syed Muhammad Naquib al-Attas. Bab yang dikaji kali ini adalah Peri Akhlak dan Kesejahteraan. Pembahasan dimulai dengan mendedah makna kebebasan dalam islam. Bahwasanya islam memaknai kebebasan sebagai ikhtiyaar, mencari sesuatu yang khair, yang terbaik. Islam tidak menganggap bahwa perkara buruk itu tergolong kebebasan, karena sesungguhnya ketika kita melakukan suatu perkara buruk, kita berada dalam keadaan “terkekang” oleh hawa nafsu kita, tidak bebas.
Penjelasan kemudian berlanjut ke bagian kesejahteraan (sa’aadah). Sayangnya rasa kantuk mulai memenuhi diriku ketika pembahasan ini berlangsung. Maklum, kegiatan KKN-ku hari ini berjalan dari siang hingga sore. Ditambah kondisi Bentala yang kedatangan tamu seorang Syafi’i, bocah aktif yang merupakan putra dari salah satu pengurus Bentala. Maka meskipun di forum kali ini seduhan kopi robusta menemaniku, namun ia belum mampu untuk melawan rasa lelah yang telah terakumulasi. Walhasil, beberapa kali kesadaranku sempat menghilang di pembahasan ini. Untungnya, paragraf yang dibahas kali ini alih-alih bersifat menguras pikiran, lebih bersifat reflektif. Sehingga walaupun beberapa kali kehilangan kesadaran, setidaknya aku dapat mengambil poin pentingnya, bahwasanya kebahagiaan dalam islam yang paling tinggi terletak di garis finish-nya, yaitu di akhirat kelak.
Setelah pembahasan mengenai kesejahteraan usai, forum akhirnya ditutup. Seperti budaya Bentala pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, ditutupnya forum hanyalah penanda dibukanya forum diskusi bebas. Di waktu ini lah kami mulai membahas banyak hal. Dimulai dari kebebasan akademik, kemudian membahas mengenai ketidakmampuan umat islam kini dalam bertarung wacana dengan pemikiran lain, hingga berujung pada kritik terhadap aktivisme yang terhenti di permukaan masalah saja. Di titik ini lah akhirnya aku kembali merasakan kenikmatan, di saat di mana efek kopi robusta mulai memenangi pertarungan dengan rasa kantuk, di saat yang sama pula otak kami diminta untuk memproses serta merenungi kondisi umat islam kini. Maka aku kembali bersyukur. Di balik KKN daring ini, aku masih dianugrahi oleh lingkungan yang begitu menyenangkan, lingkungan yang senantiasa mendorong kita untuk terus berpikir dan belajar. Sehingga barangkali, dengan berlakunya KKN daring ini, Allah tidak memberiku kesempatan untuk terlena dari kegiatan belajar ini. Bahwa di waktu-waktu seperti ini, Allah memberiku keluangan untuk menyelesaikan kewajiban akademik sembari tetap mendalami ilmu yang semoga dengan izin-Nya, akan berguna untuk memperbaiki umat islam.
Maka terakhir, aku ingin mengucapkan alhamdulillah, segala puji atas-Nya yang telah mengatur hidupku sedemikian rupa, sehingga dengan apiknya mampu memberiku banyak perenungan dan dengannya banyak ruang-ruang kemudahan yang kudapatkan. Semoga kita semua senantiasa diberi petunjuk oleh-Nya.
Yogyakarta, 29 Juni 2020 Dan Yusuf, ketika sedih berubah menjadi syukur
1 note · View note
danyusuf · 4 years
Text
Tazkiyyatun Nafs
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ - ٩ “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)“ (QS asy-Syams: 9)
Selepas salat isya’, Mas Naufa tiba-tiba bergerak menghadap ke rak asrama. Terdiam sejenak, meneliti satu per satu judul buku, beliau akhirnya mengambil salah satunya. Tazkiyyatun Nafs, begitu yang tertulis di wajah buku tersebut. Karena buku itu hanya ada satu di asrama, maka dapat dipastikan buku itu adalah buku milik saya. Melihat hal itu, tiba-tiba terlintas sejarah tentang bagaimana saya mendapatkan buku tersebut. Seingat saya, buku itu saya dapatkan ketika dalam forum kajian khusus menyambut mahasiswa baru yang diadakan Forum Kajian Islam Mahasiswa (FKIM). Buku tersebut dibagikan secara gratis selepas acara. Jujur saja ketika itu, sebagai peminat kajian pemikiran, saya tidak begitu tertarik dengan tema-tema tentang hati. Karena bagi saya, urusan hati adalah urusan yang bisa dilatih sendiri tanpa perlu mengkajinya secara serius. Maka buku tersebut saya simpan begitu saja tanpa pernah membacanya. Hal yang ternyata saya sesali di kemudian hari.
Ingatan saya melayang kembali, kali ini ke paruh kedua tahun 2018. Saya baru menuntaskan tugas sebagai ketua RDK ketika Mas Yusuf tiba-tiba menawari saya untuk bergabung dengan liqo’-nya. Liqo’ tersebut sebenarnya adalah sisa liqo’ kepengurusan tahun sebelumnya. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk langsung menyetujuinya, mengingat pembina liqo’-nya, Ustadz Anton, tidak lain dan tidak bukan adalah pengampu Forum Mengeja Hujan (FMH), forum yang mengupas tentang pemikiran dan peradaban di JS. Namun ternyata bayangan liqo’ yang “keren” itu sirna ketika saya mengetahui bahwa materi yang dibahas adalah tazkiyyatun nafs. Hati kecil saya sempat berkata, “Sudah susah-susah liqo dengan ustadz sekelas Ustadz Anton, kok yang dibahas tazkiyyatun nafs sih!” Tetapi berhubung saya terlanjur mengiyakan, maka saya coba untuk tetap mengikutinya.
Di pertemuan-pertemuan awal, bisa dikatakan saya kesulitan untuk mengikutinya secara sungguh-sungguh. Waktu liqo’-nya yang malam hari, ditambah dengan temanya yang menurut saya “itu-itu aja” menjadikan saya mudah mengantuk bahkan tertidur ketika liqo’ berlangsung. Belum lagi kitab rujukannya yang menggunakan teks Arab gundul membuat saya terkadang tidak bisa mengikuti materi yang sedang dibahas. Namun semakin lama, saya mulai memiliki perasaan yang berbeda.
“Bahasan ini, adek-adek sekalian. Sekalipun adalah bahasan yang sebenarnya kita semua sudah paham, tetapi penting untuk terus diulangi. Agar kita selalu merefleksikan diri kita, dan mengembalikan nafs kita kembali ke fitrahnya.” Kalimat yang diulang-ulangi oleh Ustadz Anton ini lah yang sedikit demi sedikit mulai menyentuh hati saya dan berhasil memberikan sensasi yang berbeda. Di titik ini, saya menangkap makna sesungguhnya dari tazkiyyatun nafs. Pada dasarnya, jiwa kita adalah jiwa yang suci, hati kita pun sesungguhnya adalah elemen yang bersih. Hanya saja, dosa kita lah yang menyebabkan ia terkotori dan menjadi gelap. Apabila jiwa kita mulai terkotori, maka secara alami kita akan merasakan ketidaknyamanan, yang dapat mewujud ke stress atau semacamnya. Sehingga perlu bagi diri kita untuk berusaha membersihkan jiwa kita, mengembalikan ke fitrahnya, agar jiwa kita menjadi jiwa yang tenang. Proses ini lah yang disebut dengan tazkiyyatun nafs. Tazkiyyatun nafs bisa dilakukan dengan banyak hal, dari mulai dzikir, sholat, membaca al-Quran, dan masih banyak lagi. Lebih lanjut lagi, tazkiyyatun nafs secara sederhana juga dapat diterapkan dengan mengurangi hal-hal yang bersifat duniawi, seperti makan dan tidur. Dari kesemuanya, poin yang terpenting dari tazkiyyatun nafs adalah bagaimana kita bisa melatih hati ini untuk senantiasa berada dalam ketundukkan kepada Allah Ta’ala.
Setelah menangkap makna tersebut, perlahan saya mulai berubah. Jika sebelumnya saya meremehkan persoalan yang bersifat “hati” ini, maka setelahnya saya menjadi lebih berfokus kepadanya. Maka, beragam pertanyaan mulai menghampiri. Sudahkah diri ini melakukan segala sesuatu dengan ikhlas, hanya kepada-Nya? Atau jangan-jangan segala aktivitas, termasuk ibadah, mencari ilmu, bahkan “dakwah” yang selama ini dilakukan hanya berlandaskan ego pribadi? Apalah arti harta yang banyak dan ilmu yang luas ketika hati ini tidak tenang? Terlebih bukankah manusia akan mencapai tingkatan tertinggi justru ketika berada dalam ketundukan yang terdalam kepada Allah Ta’ala?
Sayangnya saat ini liqo’ tersebut sudah tidak berlanjut karena kesibukan beliau yang semakin padat, meskipun alhamdulilah, saya mendapatkan penggantinya di kelas Aqidah yang dilaksanakan di asrama dengan pembina yang sama, Ustadz Anton.
Tersenyum mengingatnya, saya akhirnya membuka buku Tazkiyyatun Nafs bersama Mas Naufa. Sampai kemudian saya baru menyadari setelah sekian lama, bahwa buku itu adalah versi terjemahan dari buku yang kami daras bersama di liqo’ yang telah saya ceritakan sebelumnya. Pada akhirnya saya terharu, karena ternyata jalan yang Allah buat begitu indahnya, begitu indahnya sampai kita tidak akan paham kapan hati kita akan dibalik untuk kembali ke jalan-Nya.
Yaa muqallib al-quluub, tsabbit qolbi ‘alaa diinik Wahai sang pembolak-balik hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu
Yogyakarta, 4 Juni 2020 Dan Yusuf, dalam refleksi yang pertama
5 notes · View notes
danyusuf · 4 years
Text
Merasa Bodoh
Tumblr media
Berada di Bentala, sejujurnya selalu membuatku merasa bodoh. Betapa tidak? Orang-orang di sekitarku bukan sembarang orang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang bisa membuatku minder. Pengetahuan mereka luas, dibalut dengan kemampuan mengartikulasikannya dalam diskusi atau tulisan selalu merasa membuatku berpikir, “Ah, aku ini bodoh sekali!”
Barangkali, satu-satunya kelebihan yang kumiliki adalah fakta bahwa aku menyumbang koleksi buku terbanyak di Bentala. Hanya sebatas itu! Kemampuan menulis? Sampai sekarang aku merasa tulisanku sangat berantakan untuk dilihat orang. Kemampuan diskusi? Rasanya aku selalu kehabisan stok untuk menjalankan suatu diskusi dan lebih sering jadi pendengar pasif. Pengetahuan keislaman? Bahasa Arab? Apalagi! Seumur-umur aku belum belum pernah merasakan pendidikan formal tentang agama. Hanya bermodal ngaji ngalor-ngidul tanpa kurikulum yang jelas. Bahasa Arab meskipun aku sudah pernah mengikuti kelas di suatu ma’had ketika maba, namun itu tidak bertahan lama. Tidak sampai satu tahun sampai aku akhirnya berhenti di tengah jalan dan kesusahan untuk memulainya lagi. Pengetahuan lain? Masih sangat kurang! Apalagi kalau yang dibahas adalah filsafat yang notabene kutolak sampai aku berumur 19 tahun.
Perasaan bodoh ini secara tidak langsung pada akhirnya selalu membuatku berpikir, bahwa aku tidak bisa selamanya menjadi seperti ini. Harus ada gerakan perubahan yang kulakukan. Aku perlu belajar lebih banyak lagi. Aku perlu membaca lebih banyak lagi. Aku perlu menulis lebih banyak lagi. Aku perlu berdiskusi lebih banyak lagi. Dan yang terpenting, aku harus meningkatkan kedekatanku dengan al-’Aliim.
Yogyakarta, 22 Mei 2020 / 29 Ramadan 1441 Dan Yusuf, Manusia Bodoh.
0 notes
danyusuf · 4 years
Text
Sudut Produktif
Tumblr media
Semenjak #dirumahaja, saya memutuskan untuk berpindah “tempat tinggal” dari kamar ke ruangan tengah. Alasannya sederhana, selain karena kamar saya lebih dibutuhkan sebagai tempat kerja salah satu penghuni asrama, saya merasa lebih nyaman berada di ruang tengah dengan fasilitas karpet, meja belajar, dan buku yang berderet-deret. Fasilitas yang ada ini secara tidak langsung mampu memaksa saya untuk mengurangi kegiatan bermalas-malasan dan melakukan kegiatan yang bermanfaat.
Setelah beberapa kali mengatur, akhirnya saya menemukan konfigurasi tempat yang sesuai dengan keinginan. Saya namakan konfigurasi ini sebagai “sudut produktif”. Di “sudut produktif”, saya meletakkan dua meja. Meja lipat bermerek PEMBINA untuk laptop, dan meja belajar yang lebih pendek tapi lebar untuk membaca buku. Tak lupa terpasang lampu belajar juga di sana. Di bagian atas, terjajar buku-buku yang sedang dipelajari, sedang dibaca, terjadwalkan dibaca, dan referensi yang perlu beberapa kali dibuka.
Dari “sudut produktif” ini, saya berharap, khususnya selama #dirumahaaja, motivasi untuk membaca, membaca, dan menulis terus tumbuh. Bahkan saya targetkan selama sebulan ini minimal 8 buku terdaras, dan review buku dapat tertuliskan di kanal ini setiap harinya mulai besok. Sambil menyelesaikan tugas akademik tentunya.
2 notes · View notes