Tumgik
#arrohim
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Alloh Maha Tau & Maha Baik. Cukup Alloh Yang Mengetahui Kebaikan Ini #Dakwah #Islam
Tumblr media
Inilah saudaraku yang seharusnya kita ingat ketika melakukan suatu amalan yaitu haruslah ikhlas. Dengan ikhlas-lah suatu amalan sholeh bisa diterima di sisi Allah. Ketahuilah bahwa amalan puasa adalah rahasia antara hamba dan Rabbnya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits qudsi, “Setiap amalan manusia akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah berfirman (yang artinya): Kecuali amalan puasa. Amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Muslim no. 1151). Jika kita sudah mengetahui hal ini, maka sudah sepatutnya orang yang ikhlas berusaha untuk menyembunyikan amalan puasanya dengan berbagai cara sehingga orang lain tidak mengetahuinya. Lihatlah saudaraku apa yang dilakukan oleh orang sholeh terdahulu. Ketika berpuasa, mereka meminyaki jenggotnya, membasahi bibirnya sehingga orang-orang mengira bahwa mereka tidak berpuasa. Artinya mereka ingin menjaga keikhlasan dengan menyembunyikan amalannya. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaklah di pagi harinya dia menyisir rambutnya, lalu meminyakinya. Hendaklah pula tangan kirinya tidak mengetahui sedekah dari tangan kanannya. Hendaklah pula dia mengerjakan shalat-shalat sunnah di rumahnya.” Abu Tiyah juga mengatakan, “Aku mendapati ayah dan kakekku yang masih hidup. Jika berpuasa, di antara mereka ada yang memakai minyak dan mengenakan pakaian yang indah.” Begitu pula sebagian ulama salaf dulu ada yang sudah berpuasa selama 40 tahun. Tidak ada seorang pun mengetahui amalan puasa mereka. Seorang salaf ini memiki toko di pasar. Setiap harinya, dia membawa 2 roti dari rumahnya. Lalu dia keluar dari rumahnya menuju tokonya di pasar. Di tengah perjalanan, dia menyedekahkan 2 roti tadi. Anggota keluarganya mengira bahwa roti tadi untuk dia makan di tokonya. Sedangkan orang-orang yang berada di pasar mengira bahwa makanan tadi akan dimakan di rumahnya. Padahal salaf ini sedang puasa. Itulah strateginya untuk menyembunyikan amalan puasanya. Dan sangat jauh sikap kita dalam menyembunyikan amalan dibanding dengan para salaf dahulu. Orang yang berusaha menyembunyikan amalan puasa seperti inilah yang bau mulutnya lebih harum dari minyak misk di sisi Allah. Bau seperti ini akan terasa di dalam hati dan bau arwah yang sangat harum ini akan dihirup dan akan nampak setelah kematian dan di hari kiamat nanti. Oleh karena itu, Abdullah bin Gholib ketika dikubur, terasa semerbak bau kuburnya seperti bau minyak misk. Itulah bau yang begitu harum karena tilawah Al Qur’an dan menahan lapar ketika puasa. Sebagaimana terdapat dalam hadits: Orang-orang yang berpuasa akan keluar dari kubur mereka dan bau harum mereka ini dikenali dari amalan puasa mereka. Bau mulut mereka melebihi bau minyak misk. Semoga Allah memberi kita taufik untuk ikhlas dalam beramal. Rujukan: Lathoif Ma’arif, Ibnu Rojab Muhammad Abduh Tuasikal Artikel https://rumaysho.com Panggang, Gunung Kidul, 10 Muharram 1430 H Sumber https://rumaysho.com/131-orang-yang-ikhlas-orang-yang-menyembunyikan-amalannya.html Di saat kesulitan melanda, di saat hati telah merasa putus asa, yang diharap hanyalah pertolongan Allah. Hamba hanyalah seorang yang fakir. Sedangkan Allah adalah Al Ghoniy, Yang Maha Kaya, yang tidak butuh pada segala sesuatu. Bahkan Allah-lah tempat bergantung seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “Hai manusia, kamulah yang sangat butuh kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15) Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala menerangkan bahwa Dia itu Maha Kaya, tidak butuh sama sekali pada selain Dia. Bahkan seluruh makhluklah yang sangat butuh pada-Nya. Seluruh makhluk-lah yang merendahkan diri di hadapan-Nya.[1] Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Selu
ruh makhluk amat butuh pada Allah dalam setiap aktivitasnya, bahkan dalam diam mereka sekali pun. Secara dzat, Allah sungguh tidak butuh pada mereka. Oleh karena itu, Allah katakan bahwa Dialah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji, yaitu Allah-lah yang bersendirian, tidak butuh pada makhluk-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah sungguh Maha Terpuji pada apa yang Dia perbuat dan katakan, juga pada apa yang Dia takdirkan dan syari’atkan.”[2] Seluruh makhluk sungguh sangat butuh pada Allah dalam berbagai hal. Makhluk masih bisa terus hidup, itu karena karunia Allah. Anggota badan mereka begitu kuat untuk menjalani aktivitas, itu pun karena pemberian Allah. Mereka bisa mendapatkan makanan, rizki, nikmat lahir dan batin, itu pun karena kebaikan yang Allah beri. Mereka bisa selamat dari berbagai musibah, kesulitan dan kesengsaraan, itu pun karena Allah yang menghilangkan itu semua. Allah-lah yang memberikan mereka petunjuk dengan berbagai hal sehingga mereka pun bisa selamat. Jadi, makhluk amatlah butuh pada Allah dalam penghambaan kepada-Nya, cinta kepada-Nya, ibadah kepada-Nya, dan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Seandainya mereka tidak melakukan penghambaan semacam ini, niscaya mereka akan hancur, serta ruh, hati, dan kondisi mereka pun akan binasa. [3] Di antara bentuk ghina Allah (tidak butuh pada makluk-Nya) adalah Allah tidak butuh pada ketaatan yang dilakukan oleh orang yang taat. Tidak memudhorotkan Allah sama sekali jika hamba berbuat maksiat. Jika seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini beriman, tidak akan menambah kerajaan-Nya sedikit pun juga. Begitu pula jika seluruh makhluk yang ada di muka bumi kafir, tidak pula mengurangi kerajaan-Nya sedikit pun. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ “Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendir. Dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An Naml: 40) وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al ‘Ankabut: 6) فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوْا وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ “Lalu mereka ingkar dan berpaling; dan Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. At Taghobun: 6) إِنْ تَكْفُرُوا أَنْتُمْ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا فَإِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ حَمِيدٌ “Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 8) Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman, يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا “Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.”(HR. Muslim no. 2577) Di antara bentuk ghina Allah (tidak butuh-Nya Allah pada segala sesuatu) adalah Allah tidak butuh pada infak dari orang yang berinfak dan begitu pula Allah tidak mendapatkan bahaya jika ada orang yang pelit. Allah Ta’ala berfirman, وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ “Dan siapa yang kikir, sesungguhnya Dia hanyalah kikir terhadap di
rinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang butuh (kepada-Nya).” (QS. Muhammad: 38) Di antara bentuk ghina Allah (tidak butuh-Nya Allah pada segala sesuatu) adalah terbebasnya Allah dari berbagai ‘aib dan kekurangan. Barangsiapa yang menetapkan sifat tidak sempurna bagi Allah, maka itu berarti telah mencacati sifat ghina Allah. Allah Ta’ala berfirman, قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ “Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak”. Maha suci Allah; Dia-lah yang Maha Kaya; Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi.” (QS. Yunus: 68) Tidak ada yang sebanding dengan Allah dan tidak pula yang jadi tandingan bagi-Nya. Itulah bentuk ghina Allah yang lain. Lantas bagaimana seseorang menyamakan makhluk yang fakir dengan Allah. Bagaimana mungkin Allah yang ghoni Yang Maha Kaya disamakan dengan hamba. Allah Ta’ala berfirman, لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam”. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?”. Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Maidah: 17) Di antara bentuk ghina Allah (tidak butuh-Nya Allah pada segala sesuatu) adalah hamba-Nya amat butuh berdoa pada-Nya setiap saat. Allah pun berjanji untuk mengabulkannya. Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah dan Allah janji akan memberikan ganjaran. Barangsiapa yang mengetahui Allah memiliki sifat ghina (tidak butuh pada segala sesuatu selain Dia), maka ia akan mengenali dirinya yang fakir dan benar-benar butuh pada Allah. Jika hamba telah mengetahui bahwa ia sangat fakir dan sangat butuh pada Allah, itu adalah tanda bahagia untuknya di dunia dan akhirat.[4] Moga pelajaran ini bermanfaat dan membuahkan penyejuk hati bagi pembaca sekalian. Wallahu waliyyyut taufiq. Panggang-Gunung Kidul, 22 Jumadal Ula 1432 H (25/04/2011) www.rumaysho.com [1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/316. [2] Idem [3] Faedah dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 687. [4] Disarikan dari Fiqh Al Asmail Husna, ‘Abdurrozaq bin ‘Abdil Muhsin Al Badr, hal. 217-220. Sumber https://rumaysho.com/1701-sangat-butuh-pada-allah.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
7 notes · View notes
mellyoktafianii · 5 years
Text
Bukan hartamu yang akan membuatku tenang, apalagi fisik, bukan.
Tapi Iman.
Hanya dengan Akhlaq dan Agamamu, hidupku akan tenang.
Menenangkan khawatirnya dunia, juga akhiratku. Hanya dengan imanmu, bukan yang lain.
Tidak ada yang mampu menjaminkan surga, memang. Tapi semua bisa mengupayakan.
Mari sama-sama berupaya, mari sama-sama belajar, berjuang. Tidak harus ada yang lebih diantara kita, hanya perlu sama-sama berupaya. Terus-menerus, hingga menjadi 'layak' satu sama lain. Itu saja cukup bagiku.
Ada yang pernah mengingatkan, 'menikah itu ibadah seumur hidup, lhoo..' -Seumur hidup.
Jadi, aku tidak ingin sembarang memilih partner. Aku tidak mau hanya berdasar pada cintamu, karena cinta dari hati manusia bisa dengan mudah berubah, kan?
Aku ingin kita, menjadikan cinta kepada-Nya sebagai dasar. Ingat yaa, dasar. Awal dari segala awal.
Karena hanya Dialah yang cintanya tidak akan pernah berubah, Arrahman, juga Arrohim.
Segala yang berawal karena-Nya, akan selalu kembali pada-Nya. Pun segala yang didasarkan kepada-Nya, akan selalu berdasar pada aturan dan syariat-Nya.
Dengan begitu segala masalah yang kamu temukan didunia akan didasarkan hanya kepada sang pemilik dunia. Cara menghadapinya, cara menemukan solusinya, semua berdasar pada setiap ajaran-Nya.
Melalui apa yang diajarkan oleh manusia terbaik di bumi ini, yang diutus untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa kebenaran. Rasulullah, Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Cukup dengan itu, aku tenang. Dengan yakin memilihmu sebagai nahkoda, di perahu kecil kita.
1 note · View note
embunmerindu · 3 years
Text
Sirah Nabawiyah
KISAH RASULULLAH ﷺ
Bagian 121
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد
Ketidakpuasan Umar
Umar bin Khatab tidak puas dengan isi perjanjian itu. Ketidakpuasannya ini ditunjukkan setelah terjadi insiden saat penulisan perjanjian. Saat itu Ali bin Abi Thalib mendapat tugas Rasulullah ﷺ untuk menulis perjanjian itu.
“Tulislah Bismillahirohmanirohim!” Sabda Rasulullah ﷺ kepada Ali. “Stop!” seru Suhail. “Nama Arrohman dan arrohim ini tidak kukenal. Tulislah dengan bismika allahumma (dengan nama-mu Ya Allah)” “Tulislah dengan nama-mu Ya Allah,” Sabda Rasulullah ﷺ kepada Ali. “Lalu, tulislah: “Ini adalah perjanjian damai yang ditetapkan antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr.”
Namun delegasi Quraisy itu kembali menolak. “Jika kami mengakui bahwa engkau Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu. Karena itu tulislah namamu dan nama ayahmu.” “Baik. Hapuslah kata Rasulullah. Tulislah Muhammad bin Abdullah,” sabda Rasulullah ﷺ.
Sebagaimana para sahabat lain yang hadir, Ali bin Abi Thalib sudah memuncak kemarahannya kepada delegasi Quraisy itu, sehingga ia berkata, “Tidak ya Rasulullah! Demi Allah aku tidak sudi menghapus kata itu.” Akhirnya Rasulullah ﷺ sendiri yang menghapus kata-kata itu. Melihat hal itu Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar yang duduk disampingnya, “Bukankah dia itu Rasulullah?”
“Memang betul,” jawab Abu Bakar.
“Bukankah kita ini orang-orang Islam?”
“Memang betul!”
“Bukankah mereka itu orang-orang musyrik?”
“Memang betul!”
“Lalu Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?” seru Umar berapi api.
Abu bakar menenangkan Umar dengan kata-kata tegas, “Umar duduklah di tempatmu aku bersaksi bahwa dia Rasulullah.” Namun hampir semua sahabat berpendapat seperti Umar. Mereka merasa agama mereka telah dilecehkan dengan perjanjian ini. Bukan saja mereka gagal berhaji tahun ini tetapi juga harus menerima bahwa orang musyrik itu seolah merendahkan Allah dan rasulnya Rasulullah ﷺ. Kemudian terjadilah sebuah peristiwa yang membuat para sahabat semakin tidak menyukai perjanjian ini.
Kisah Abu Jandal
Belum lagi kering tinta perjanjian itu, tiba-tiba muncul Abu Jandal. Pemuda itu adalah anak Suhail bin Amr si perunding Quraisy. Para sahabat sangat terkejut menyaksikan kedua kaki Abu Jandal dalam keadaan terbelenggu sehingga ia berjalan tertatih-tatih. Rupanya ia berhasil melepaskan diri dari Mekah dan hendak menggabungkan diri dengan saudara-saudara muslimnya.
Namun begitu melihat anaknya itu, Suhail berseru,
“Ini adalah orang pertama yang ku tuntut Agar engkau mengembalikannya.”
“Kami tidak melanggar isi perjanjian ini sampai kapan pun,” jawab Rasulullah ﷺ.
“Demi Allah kalau begitu aku tidak akan menuntutmu karena sesuatu apa pun” kata Suhail.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kalau begitu, berilah dia jaminan perlindungan karena aku.”
“Aku tidak akan memberinya jaminan perlindungan karena dirimu,” tukas Suhail.
“Lakukanlah!” pinta Rasulullah ﷺ lagi
“Aku tidak akan melakukannya,” jawab Suhail.
Suhail melangkah cepat ke arah Abu Jandal dan memukul keras-keras anaknya itu. Suhail mencengkeram kerah baju Abu Jandal dan menyeretnya untuk dikembalikan kepada Quraisy. Abu Jandal berseru,
“Semua orang muslim, Apakah aku akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan menyiksaku karena Agamaku ini?”
Kaum Muslimin merasa geram. Hampir-hampir saja kaki mereka bergerak untuk datang melawan perjanjian yang sudah ditandatangani.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Wahai Abu Jandal bersabarlah dan tabahlah karena Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan orang-orang yang terdzalimi seperti dirimu. Kami sudah mengukuhkan perjanjian dengan mereka. Kami telah membuat perjanjian persetujuan dengan mereka atas peristiwa seperti ini dan mereka pun sudah memberikan sumpah atas nama Allah kepada kami. Maka kami tidak akan melanggarnya.”
Rasulullah ﷺ melihat ke sekeliling dan menangkap wajah pengikutnya yang tampak sangat tidak puas. Hal inilah yang membuat para sahabat tidak menuruti perintah Rasulullah ﷺ sesaat setelah itu.
Bersambung
18.55 🌜🌜190321
0 notes
aggilbewara · 4 years
Photo
Tumblr media
Bhabinkamtibmas Polsek Bandung Kidul Sosialisasi AKB Cegah Penyebaran Covid -19 Bandung, bewarajabar.com -- Rabu, 29 Juli 2020 Bhabinkamtibmas Kelurahan Wates Polsek Bandung Kidul Polrestabes Bandung, giat Sosialisasi Adaptasi Kebiasaan Baru Untuk Cegah Penyebaran Covid -19 ke Ketua DKM Arrohim Ustad Anang Satriana dan Tomas Rt.01/04 Kel.
0 notes
infokombanser · 4 years
Text
Kisah KH.As'ad Syamsul Arifin Saat Disuruh Mbah Kholil Bangkalan ( Pada Tahun 1924 )
Tumblr media
InfokomBanserNU- Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ro'. Saya ini pelat (cadal). “Arrohman Arrohim…” Kyai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!” “Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.” Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya. Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cedal itu? Sudah sembuh cedalnya?” “Sudah Kyai.” “Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari Jombang. Tahu rumahnya?” “Tahu.” “Kok tahu? Pernah mondok di sana?” “Tidak. Pernah sowan.” “Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.” “Ya, kyai.” “Kamu punya uang?” “Tidak punya, kyai.” “Ini.” Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya. Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: “Ke sini kamu! Ada ongkosnya?” “Ada kyai.” “Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?” Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca QS. Thaha ayat 17-21): وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١ “Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.” Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel: “Orang ini gila. Muda pegang tongkat.” Ada yang lain bilang: “Ini wali.” Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu. Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan. Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): “Siapa ini?” “Saya, Kyai.” “Anak mana?” “Dari Madura, Kyai.” “Siapa namanya?” “As'ad.” “Anaknya siapa?” “Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.” “Anaknya Maimunah kamu?” “Ya, Kyai” “Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?” “Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat.” “Tongkat apa?” “Ini, Kyai.” “Sebentar, sebentar…” Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?” Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat: وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١ “Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.” "Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.” Inilah rencana mendirikan Jam’iyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jam’iyah Ulama. Saya tidak mengerti. Setelah itu saya mau pulang. “Mau pulang kamu?” “Ya, Kyai.” “Cukup uang sakunya?” “Cukup, Kyai.” “Saya cukup didoakan saja, Kyai.” “Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.” Inilah asalnya Jam’iyatul Ulama. Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: “As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?” “Tidak, Kyai.” “Hasyim Asy'ari?” “Ya, Kyai.” “Di mana rumahnya.” “Tebuireng.” “Dari mana asalnya?” “Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy’ari Keras.” “Ya, benar. Di mana Keras?” “Di baratnya Seblak.” “Ya, kok tahu kamu?” “Ya, Kyai.” “Ini tasbih antarkan.” “Ya, Kyai.” Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya. Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: “Ke sini, makan dulu!” “Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,” “Dari mana kamu dapat?” “Saya beli di jalan, Kyai” “Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?” “Ya, Kyai.” Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: “Cukup itu?” “Cukup, Kyai.” “Tidak!” Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir. “Ini.” Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. “Kok leher?” “Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.” “Ya, kalau begitu.” Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu: “Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.” Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya. Ada yang narik: “Karcis! karcis!” Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin. Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya: “Apa itu?” “Saya mengantarkan tasbih.” “Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?” “Ini, Kyai.” (dengan menjulurkan leher). “Lho?” “Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.” Kemudian diambil oleh Kyai: “Apa kata Kyai?” “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” “Siapa yang berani pada NU akan HANCUR. Siapa yang berani pada ulama akan HANCUR.” Ini dawuhnya. ALLAHUMMA sholli 'alaa sayyidina muhammad wa angzilhu almaq 'ada almuqorrobba 'indaka yaumal qiyyamah wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa barrik wa ssalim ajma'in (Ansor Pejogol) Read the full article
0 notes
afinummah · 7 years
Text
Ibu..
Yang selalu terngiang... raut ceria Ibu yang ngga pernah bosan menghibur anaknya, bagaimanapun keadaan anaknya. Ya, cinta Ibu pasti melebihi cinta anak pada Ibunya, sebesar apapun cinta kita pada Ibu kita, ngga akan sebanding. . . Yang tak terbayangkan... betapa sayangnya Allah ‎ﷻ pada hambanya, tidak bisa dibandingkan dengan sayangnya Ibu pada anak, pastinya jauh lebih penyayangnya Sang ArRohman ArRohim. Bagaimanapun keadaan kita 😷 Oh Allah ‎ﷻ .... ajarkan kami selalu terbiasa, selalu yakin Rahmatmu selalu mendahului😊 . 🌼🌼🌼 . .
2 notes · View notes
setenangmalam · 5 years
Text
Tahun ini,, tahun lalu dan yang akan datang...
menengoklah barang sejenak untuk melihat diri yang lalu seperti apa? berjalanlah menapaki setiap elemen waktu hingga menemukan dirimu yang kini bagaimana? semua sisi,, baik yang terlihat maupun tak terlihat,,,
tetap samakah? atau justru lebih buruk? emb mungkin jauh lebih baik?
menelisiklah jauh lebih ke dalam,, pastikan,,
bersyukurlah jika menjadi lebih baik,, karena Dia,, Arrahman wa Arrohim kamu bisa berada di titik ini..
akan tetapi ingat,, menjadi lebih baik,, bukan berarti kamu telah mencapai tujuan menjadi orang baik,, bahkan ini mungkin masih awal.perjalanan,,
ilmu Allaah itu seluas lautan,, takkan cukup usiamu untuk bisa mendapat itu semua dan sampai pada taraf mengamalkan semua,,
nikmati semua stepnya.. jangan lelah apalgi menyerah,, instropeksi di tiap detiknya jangan pernah di tingglakan,, bertanya kabar dengan iman dalam tiap menitnya jangan pula di lalaikan,,,
menatap jauh ke depan susun kembali dengan lebih baik,, yakinlah Allaah lebih dekat dari urat nadi kita,,
0 notes
patas-id · 5 years
Text
KPU Anggap Masalah NIK Warga Asing Masuk DPT Sudah Clear
KPU Anggap Masalah NIK Warga Asing Masuk DPT Sudah Clear
CIANJUR, patas.id – Ketua KPU Kabupaten Cianjur, Hilman Wahyudi, menganggap soal NIK Gouhui Chen yang masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS 009 Kelurahan Sayang Kecamatan Cianjur Kabupaten Cianjur sudah selesai alias clear. KPU akan mengoreksi kesalahan NIK yang terdaftar di DPT atas nama Bahar (47 tahun), warga Gang Arrohim Kelurahan Sayang tersebut.
“Koreksi elemen NIK bisa dilakukan karena…
View On WordPress
0 notes
rzafkri-blog · 8 years
Quote
caring people in around of the earth and you can cared from the sky
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Alloh Maha Beri Nikmat Ikhlas. Kebaikan Jadi Lebih Berharga, Meski Tiada Makhluk Yang Mengetahuinya. Masya Alloh. #Dakwah #Islam
Tumblr media
Setelah sebelumnya kami membahas tanda ikhlas adalah berusaha menyembunyikan amalan shalih, maka selanjutnya kami akan utarakan dua tanda ikhlas lainnya. Kami harap pembaca bisa memahami betul pembahasan sebelumnya. Semoga bermanfaat. Kedua: Khawatir pada Popularitas (Ketenaran) Inilah di antara tanda ikhlas. Akan tetapi, kebanyakan orang malah ingin kondang dan tenar. Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Namun orang yang tahu agama pun punya keinginan yang sama. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir. Akhirnya, berbagai hal yang begitu aneh dilakuin karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor MURI pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan yaitu tenar. Sungguh hal ini sangat berbeda dengan kelakukan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita pun tidak usah mencari ketenaran. Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.” Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.”[1] Ibnul Mubarok mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.”[2] Daud Ath Tho’i mengatakan, “Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.”[3] Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal sholih. Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.”[4] Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.”[5] Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)”[6] Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.”[7] Ibrohim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.”[8] Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari  mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah.[9] Ketiga: Merasa diri penuh kekurangan dalam beramal Inilah juga di antara tanda ikhlas yaitu merasa diri serba kekurangan ketika menunaikan kewajiban-kewajiban. Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah, وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60) ‘Aisyah mengatakan, يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ
يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ». “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang shalat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.”[10] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Diterimanya suatu amalan berkaitan dengan melakukan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan. Setiap orang yang bertakwa pada Allah ketika ia beramal, maka ia akan melakukan sebagaimana yang diperintahkan. Akan tetapi ia tidak bisa memastikan sendiri bahwa amalan yang ia lakukan diterima di sisi Allah karena ia tidak bisa memastikan bahwa amalan yang ia lakukan sudah sempurna.”[11] Itulah yang membuat para salaf begitu khawatir dengan tidak diterimanya amalan mereka karena mereka sendiri tidak bisa memastikan sempurnanya amalan mereka. Itulah mereka –para salaf- yang merasa diri mereka serba kekurangan dalam amalannya. Lihatlah perkataan-perkataan para salaf berikut ini. Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Jika ada yang mengetahui orang yang tidak ikhlas (orang yang riya’), maka lihatlah pada diriku.”[12] Daud Ath Tho-i mengatakan, “Jika manusia mengetahui sebagian kejelekanku, tentu lisan manusia tidak akan pernah lagi menyebutkan kebaikanku.”[13] Ibnul Mubarok mengatakan, أَحَبُّ الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَأَبْغَضُ الطَّالِحِيْنَ وَأَنَا شَرٌّ مِنْهُمْ “Aku menyukai orang-orang sholih. Akan tetapi, aku bukan termasuk mereka. Aku membenci orang-orang tholih (yang suka maksiat, pen). Sedangkan aku sebenarnya lebih jelek dari mereka.”[14] Al Hasan Al Bashri sering mencela dirinya sendiri sambil mengatakan, “Diri ini sering mengucapkan perkataan orang-orang sholih, orang yang taat dan ahli ibadah. Namun diri ini sering melakukan kefasikan dan perbuatan riya’. Ini sungguh bukan perbuatan orang-orang yang ikhlas.”[15] Itulah contoh para salaf yang senantiasa mencela diri mereka dan merasa diri mereka memiliki kekurangan dalam beramal. Selanjutnya kita akan masuk pada pembahasan “salah paham dengan amalan yang ikhlas.” Semoga Allah senantiasa memudahkan kita menjadi orang-orang yang selalu berusaha untuk ikhlas dalam setiap amalan. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel https://rumaysho.com [1] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 276. [2] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 277. [3] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278. [4] Idem [5] Idem [6] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 280. [7] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284. [8] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 286. [9] Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284 dan 288. [10] HR. Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi. [11] Al Iman, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 348-349, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kelima, tahun 1416 H. [12] Ta’thirul Anfas, hal. 299. [13] Ta’thirul Anfas, hal. 301. [14] Hilyatul Auliya’, 8/170. [15] Ta’thirul Anfas, hal. 302. Sumber https://rumaysho.com/657-tanda-ikhlas-tidak-mencari-popularitas-dan-merasa-diri-serba-kekurangan.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiin
a innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
0 notes
sayadilaa · 9 years
Text
oh Allah, tegarkan hatiku dalam segala hal. Kuatkan imanku dalam setiap ujian. Luaskan rasa sabarku dalam setiap langkah. Mudahkan jalanku untuk meraih cita-cita.  Tegurlah daku dalam setiap langkah yang salah. Allah, aku mencintaiMu. Aku hanya manusia lemah dihadapanMu.
1 note · View note
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Alloh Maha Baik Mengabulkan. Ternyata Hanya Kepada Alloh Kita Berharap #Dakwah #Islam
Tumblr media
Tawakkaldibalas dengan kecukupan dan pertolongan dari Allah Yang Maha Mencukupi. Dialah yang mencukupi hamba-Nya di saat mereka butuh dan dalam keadaan sangat berharap. Kecukupan khusus yang Allah berikan adalah untuk orang beriman dan yang bertawakkal pada-Nya. Kecukupan yang dimaksud meliputi kecukupan dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman, أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” (QS. Az Zumar: 36). وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا “Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)” (QS. An Nisa’: 6). Di antara nama Allah adalah ‘Al Hasiib’. Maksud dari nama tersebut adalah bahwa Allah Maha Mencukupi hamba-Nya dalam urusan dunia dan agamanya yang mereka butuhkan. Allahlah yang memudahkan setiap kebutuhan dan Dialah yang menolak segala yang tidak disukai. Begitu pula maksud nama tersebut adalah Allah menjaga setiap apa yang hamba perbuat, Dialah yang memilih manakah amalan yang rusak, manakah amalan yang baik, lalu Allah yang membalasnya dengan pahala dan siksa. Sedangkan maksud nama Allah ‘Al Kaafi’ adalah Allah Maha Mencukupi seluruh hamba secara umum maupun khusus. Mencukupi secara umum maksudnya Allah mencukupi seluruh makhluk, mencukupi, memberi makan dan memberi minum pada mereka. Sedangkan secara khusus, Allah mencukupi setiap hamba yang bertawakkal, menyandarkan hati pada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat, وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath Tholaq: 3). Tawakkal inilah sebab meraih kecukupan dari Allah. Kecukupan di sini diberikan pada wali Allah yang beriman dan bertakwa. Ibnul Qayyim berkata, “Tawakkal adalah sebab terbesar yang membuatnya bisa mengatasi gangguan, kezholiman dan perlawanan dari makhluk terhadapnya. Tawakkal itulah sebab utama yang bisa menolong, dengan sikap ini pun akan mencukupi hamba. Jika Allah telah mencukupi, maka lawan pun mustahil untuk menundukkan hamba. Tidak ada pula yang bisa memudhorotkan kecuali hal yang mesti ada seperti tertimpa panas, dingin, kelaparan atau kehausan. … Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa Allah menjadikan bagi setiap amalan ada balasan yang sejenis dengannya. Sama halnya dengan tawakkal, Allah membalas dengan memberi kecukupan. Sebagaimana dalam ayat disebutkan (yang artinya), “Barangsiapa yang bertawakkal pada Allah, maka Allah akan beri kecukupan.” Di sini tidak dikatakan bahwa orang yang bertawakkal akan dibalas dengan pahala demikian dan demikian seperti balasan untuk amalan lainnya. Bahkan disebutkan balasan dari tawakkal adalah Allah sendiri yang mencukupinya. Jika seseorang benar-benar bertawakkal pada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar melalui langit dan bumi serta setiap makhluk di dalamnya yang Allah tundukkan, Allah akan mencukupi dan menolong orang yang bertawakkal tersebut.” (Badai’ul Fawaid, 2: 766-777). Di kitab lainnya, Ibnul Qayyim berkata, ومن اشتغل بالله عن الناس كفاه الله مؤونة الناس ومن اشتغل بنفسه عن الله وكله الله الي نفسه ومن اشتغل بالناس عن الله وكله الله اليهم “Barangsiapa yang menyibukkan dirinya dengan bersandar pada Allah (bukan bersandar pada makhluk), maka Allah akan mencukupi kebutuhannya. Sebaliknya, barangsiapa yang menyibukkan dirinya dengan bersandar pada dirinya sendiri (tidak tawakkal pada Allah), maka Allah akan membuatnya bersandar pada dirinya sendiri. Begitu pula jika seseorang bersandar pada manusia dan meninggalkan Allah, Allah pun akan membuat ia menggantungkan urusannya pada manusia (tanpa ada pertolongan dari Allah).” (Disebutkan dalam kitab Al Fawaid). Apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim di atas senada dengan hadits berikut, مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ “Barangsiapa yang mencari ridho Allah saat man
usia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridho manusia namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2414 dan Ibnu Hibban no. 276. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih) Dan maksud tawakkal adalah bersandarnya hati pada Allah dan mengambil sebab atau usaha untuk terwujudnya tujuan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang bertawakkal. Tawakkal itulah kunci kecukupan dari Allah. Hanya Allah yang memberi taufik. Referensi: Syarh Asmail Husna fii Dhoil Kitab was Sunnah, Syaikh Dr. Sa’id bin Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Al Malik Fahd, cetakan ke-12, tahun 1431 H, hal. 117. Fiqh Al Asmail Husna, Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrozaq bin ‘Abdul Muhsin Al Badr, terbitan Maktabah Al Malik Fahd, cetakan ke-2, tahun 1431 H, hal. 272-276. Badai’ul Fawaid, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Darul ‘Alamil Fawaid, cetakan ketiga, 1433 H. @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 26 Jumadal Akhiroh 1434 H www.rumaysho.com Sumber https://rumaysho.com/3338-tawakkal-pada-allah-yang-memberi-kecukupan.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Alloh Maha Merahmati Umat Rosululloh. Ajak Umat Bersholawat Insya Alloh Menenangkan Jiwa Menyehatkan Raga. #Dakwah #Islam
Tumblr media
Berikut teks Sholawat Tibbil Qulub lengkap latin dan artinya: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا وَنُوْرِ اْلأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ Allahumma sholli `ala Sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wa dawa-iha wa `afiyatil abdani wa syifa-iha wa nuril abshori wa dhiya-iha wa `ala alihi wa shohbihi wa sallim Artinya: “Ya Allah curahkanlah rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai obat hati dan penyembuhnya, penyehat badan dan kesembuhannya dan sebagai penyinar penglihatan mata beserta cahayanya. Semoga shalawat dan salam tercurahkan pula kepada keluarga serta para sahabat-sahabatnya.” Segala obat adalah sebagai perantara atau asbab, dan usaha kita sebagai hamba-NYA yang tetap yakin Allah SWT adalah musabab dan penentu diatas kesembuhan seseorang dan insyaAllah shalawat Thibbil Qulub atau Syifa’ ini juga dapat dijadikan salah satu amalan untuk menyembuhkan penyakit. Wallahu A’lam Bish-shawab Sumber : https://www.fathulghofur.com/sholawat-tibbil-qulub-teks-arab-latin-dan-artinya/ بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alhamdulillah Alloh Maha Sayang & Maha Menerima Tobat. Aku Jadi Kesayangan Alloh Saat Tobat Dari 70 Dosa Dosa Besar. #Dakwah #Islam
Tumblr media
Yang dimaksud dosa besar (al-kabair) adalah setiap dosa yang diancam neraka, terkena laknat, dimurkai, atau dikenai siksa. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. (Tafsir Ath-Thabari, 5:59) Keutamaan Menjauhi Dosa Besar Disebutkan dalam dua ayat berikut, إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’: 31) الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚإِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ “(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabbmu maha luas ampunan-Nya.” (QS. An-Najm: 32). Al-lamam yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah dosa-dosa kecil. Berarti dosa kecil dapat terhapus di antaranya karena menjauhi dosa-dosa besar. Pengertian al-lamam lainnya adalah dosa yang telah diperbuat seseorang baik dosa besar maupun dosa kecil lalu ia bertaubat darinya. (Lihat At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz’u Adz-Dzariyat, hlm. 188. Juga lihat Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur, 14:36-41) Jauhilah Tujuh Dosa Besar! عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan (al-muubiqaat).” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa yang membinasakan tersebut?” Beliau bersabda, “(1) Syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh kecuali jika lewat jalan yang benar, (4) makan riba, (5) makan harta anak yatim, (6) lari dari medan perang, (7) qadzaf (menuduh wanita mukminah yang baik-baik dengan tuduhan zina).” (HR. Bukhari, no. 2766 dan Muslim, no. 89) Al-Kabair: Berbuat Syirik Syirik adalah memalingkan salah satu ibadah kepada selain Allah. Orang yang memalingkannya disebut musyrik. Para ulama biasa membagi syirik menjadi dua macam yaitu syirik besar (syirik akbar) dan syirik kecil (syirik ashghar). Syirik akbar adalah mengambil tandingan selain Allah dan menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin. Sedangkan syirik ashghar adalah yang disebut syirik dalam dalil namun tidak sampai derajat syirik akbar atau disebut oleh sebagian ulama sebagai perantara menuju syirik akbar. Yang menunjukkan bahaya syirik salah satunya adalah ayat, إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48) Dalam hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim, no. 93) Al-Kabair: Sihir Sihir benar adanya sebagaimana disebutkan dalam ayat, فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan
antara seorang (suami) dengan isterinya.” (QS. Al-Baqarah: 102). Kata Imam Adz-Dzahabi rahimahullahdalam kitabnya Al-Kabair, “Sihir termasuk dosa besar karena seorang tukang sihir pasti kufur terlebih dahulu kepada Allah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ “Hanya setan-setanlah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 102). Tujuan setan mengajari manusia sihir hanyalah satu yaitu untuk menjerumuskan dalam kesyirikan.” Al-Kabair: Bermuamalah dengan Riba Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (peminjam), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (dalam melakukan yang haram).” (HR. Muslim, no. 1598) Ada kaedah umum dalam memahami riba disebutkan oleh para ulama, كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, فَهُوَ رِبًا “Setiap utang piutang yang ditarik manfaat di dalamnya, maka itu adalah riba. Ibnu Qudamah rahimahullahberkata, “Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al-Mughni, 6:436) Jika tambahan bukan prasyarat awal, hanya kerelaan dari pihak peminjam saat mengembalikan utang, tidaklah masalah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Raafi’ bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam dari seseorang unta yang masih kecil. Lalu ada unta zakat yang diajukan sebagai ganti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menyuruh Abu Raafi’ untuk mengganti unta muda yang tadi dipinjam. Abu Raafi’ menjawab, “Tidak ada unta sebagai gantian kecuali unta yang terbaik (yang umurnya lebih baik, -pen).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menjawab, أَعْطُوهُ فَإِنَّ مِنْ خِيَارِ النَّاسِ أَحْسَنَهُمْ قَضَاءً “Berikan saja unta terbaik tersebut kepadanya. Ingatlah sebaik-baik orang adalah yang baik dalam melunasi utangnya.” (HR. Bukhari, no. 2392 dan Muslim, no. 1600) Al-Kabair: Durhaka kepada Orang Tua Imam Nawawi dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim (2:77) berkata, “‘Uququl walidain atau durhaka kepada orang tua adalah segala bentuk menyakiti orang tua.” Para ulama juga mengatakan bahwa taat kepada orang tua itu wajib dalam segala hal selama bukan dalam maksiat. Dalam ayat disebutkan perintah berbakti kepada orang tua, وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚإِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23) Mengenai maksud berkata uff (ah) dalam ayat, dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dari perkataan para ulama, كُلُّ مَا غَلَظَ مِنَ الكَلاَمِ وَقَبُحَ “Segala bentuk perkataan kasar dan jelek kepada orang tua.” (Tafsir Ath-Thabari, 15:82). Imam Ath-Thabari rahimahullah mengatakan bahwa tugas kita adalah tidak mengatakan kata-kata kasar ketika melihat salah satu atau kedua orang tua kita (karena usia tuanya) melakukan tindakan mengganggu orang lain. Sikap kita semestinya sabar dan berharap pahala yang besar dengan bersabar menghadapi keduanya sebagaimana orang tua kita pun bersabar menghadapi kita ketika kita masih kecil. (Tafsir Ath-Thabari, 15:82) Dari Nufai’ bin Al-Harits Ats-Tsaqafi Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ مِنَ الْبَغِى وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ “Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini]–berikut dosa yang disimpan untuknya [di akhirat]–daripada perbuatan melampaui batas (kezaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Tirmidzi, no. 2511; Abu Daud, no. 4902; dan Ibnu Majah, no. 4211. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih) Al-Kabair: Meninggalkan Shalat Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, العَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ “Perjanjian yang mengikat antara kita dan mereka adalah shalat, maka siapa saja yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah kafir.” (HR. Tirmidzi, no. 2621 dan An-Nasa’i, no. 464. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih) Seorang tabi’in bernama ‘Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, كَانَ أصْحَابُ محَمَّدٍ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لاَ يَرَوْنَ شَيْئاً مِنَ الأعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ “Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang kufur karena meninggalkan amal, kecuali shalat.” (HR. Tirmidzi, no. 2622. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih) Dari Burairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ “Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalannya.” (HR. Bukhari, no. 594) Semoga Allah menyelamatkan kita dari dosa-dosa besar. Referensi: Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur. Cetakan Tahun 1436 H. Jalaluddin As-Suyuthi. Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At-Turki. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub. Al-Kabair.Cetakan Tahun 1422 H. Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi. Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Alamiyah. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj.Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Al-Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. Al-Mughni. Al-Muwaffaq Ad-Diin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali. Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At-Turki. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub. At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz’u Adz-Dzariyat. Cetakan pertama, Tahun 1427 H. Syaikh Abu ‘Abdillah Musthafa bin Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah. Kitab Al-Kabair. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Penjelasan: Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Penerbit Ar-Risalah Al-‘Alamiyah. Rasa’il fi Al-‘Aqidah. Cetakan pertama, Tahun 1423 H. Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad. Penerbit Dar Ibnu Khuzaimah. Tafsir Ath-Thabari (Jaami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi Al-Qur’an).Cetakan pertama, Tahun 1423 H. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm – Dar Al-A’lam. — Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 21 Syawal 1439 H Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel Rumaysho.Com Sumber https://rumaysho.com/18030-dosa-besar-yang-dianggap-biasa.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali.
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Ya Alloh Engkau “Maha Penyayang” Dan Aku Hanya Hamba Yang Kau Sayangi #Dakwah #Islam
Tumblr media
Ar Rahiim ( اَلرَّحِيْمُ ) artinya Yang Memiliki Mutlak sifat Penyayang. Perbedaan antara sifat Ar Rahman (Maha Pengasih) dengan Ar Rahiim (Maha Penyayang) adalah sifat Ar Rahman (Maha Pengasih) meliputi seluruh makhluk Allah baik yang beriman mau pun yang kafir. Allah memberikan alam semesta ini seperti air, udara, bumi dan sebagainya ke semua makhluknya tanpa pandang bulu. Ada pun sifat Ar Rahiim (Maha Penyayang) itu adalah khusus bagi hamba-hamba Allah yang beriman. Hamba Allah yang saleh: "Sungguh Allah lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anak bayinya" (HR Bukhari dan Muslim) "Dan Dia Yang Memiliki Sifat Penyayang kepada orang-orang yang beriman." (QS Al Ahzab 33:43) Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Ar_Rahiim AR-RAHIIM (DZAT YANG PENYAYANG) (Disebutkan dalam al-Qur’an: 141 kali) وَإِلَـٰهُكُمۡ إِلَـٰهࣱ وَ ٰ⁠حِدࣱۖلَّاۤإِلَـٰهَإِلَّاهُوَ ٱلرَّحۡمَـٰنُ ٱلرَّحِیمُ “Tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 163) Ar-Rahim dan ar-Rahman sama-sama diambil dari kata “rahmat” namun ar-Rahman lebih kuat (secara mubalaghah) dari ar-Rahim, dimana ar-Rahman meliputi seluruh ciptaan, sementara ar-Rahim menurut sebagian pendapat hanya khusus bagi orang-orang beriman saja. Allah berfirman: وكان بالؤمينين رحيما “.. Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Ahzab: 43) Sebagian pendapat lain menyatakan bahwa ar-Rahman adalah sifat dzat bagi Allah dan ar-Rahim adalah sifat perbuatan bagi Allah. Hendaknya seorang hamba memiliki sifat kasih sayang (rahmat) sebagai harapan dan permintaan untuk mendapatkan rahmat Allah. Maka bagiannya dari rahmat Allah disyaratkan dengan kasih sayangnya kepada orang-orang di sekelilingnya, sebagaimana Nabi mensyaratkan hal itu: لا يرحم الله من لا يحم الناس۔ “Allah tidak menyayangi orang-orang yang tidak menyayangi manusia.” (HR. Al-Bukhari: 7376) Sungguh seorang pelacur diampuni dosanya,karena kasih sayangnya kepada seekor anjing yang kehausan, lalu ia memberinya minum dengan sepatunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika seorang laki-laki sedang berjalan, dia merasakan kehausan yang sangat, lalu dia turun ke sumur dan minum. Ketika dia keluar, ternyata ada seekor anjing sedang menjulurkan lidahnya menjilati tanah basah karena kehausan. Dia berkata, ‘Anjing ini kehausan seperti diriku.’ Maka dia mengisi sepatunya dan memegangnya dengan mulutnya, kemudian dia naik dan memberi minum anjing itu. Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita bisa meraih pahala dari binatang?” Beliau menjawab, “Setiap memberi minum pada hewan akan mendapatkan ganjaran.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244) sebagaimana seorang wanita yang lain masuk neraka karena seekor kucing yang dikurungnya tanpa makanan dan minuman. Dari Abdullah ibn Umar radhiyallahu ‘anhu: Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Seorang wanita disiksa disebabkan mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan lalu wanita itupun masuk neraka. Dia (Ibn Umar) berkata: Beliau bersabda: Dan Allah Maha Mengetahui engkau tidak memberinya makan, engkau juga tidak memberinya minum ketika engkau mengurungnya, dan engkau juga tidak membiarkannya berkeliaran sehingga dia dapat memakan serangga tanah.(HR.Bukhori :2192) Dan sebelum seseorang menyayangi orang lain, hendaklah dia menyayangi dirinya terlebih dahulu, saat ia, misalnya menjalani musibah, krisis dan kesedihan, maka hendaklah ia tidak meninggalkan keimanannya terhadap adanya rahmat Allah, agar ia tidak terjerumus ke dalam perangkap kesesatan syaithan dengan jalan bunuh diri, misalnya, Allah berfirman: وَلَا تَقۡتُلُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِیمࣰا .. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, karena sesungguhn
ya Allah menyayangi kalian.” (QS. An-Nisa’: 29) Do’a-do’a memohon rahmat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sangatlah banyak untuk dihitung, maka hendaklah seseorang memohon rahmat setiap saat dan di setiap keadaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala وَقُل رَّبِّ ٱغۡفِرۡ وَٱرۡحَمۡ وَأَنتَ خَیۡرُ ٱلرَّ ٰ⁠حِمِینَ Dan katakanlah (Muhammad), “Ya Tuhanku, berilah ampunan dan (berilah) rahmat, Engkaulah pemberi rahmat yang terbaik.”[Surat Al-Mu’minun 118] Dalam keadaan sulit, hendaklah berharap akan kasih sayang Allah.beliau bersabda: دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ: اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ “Do’a orang yang sedang susah: ‘Allaahumma rahmataka arjuu falaa takilnii ilaa nafsii tharfata ‘ain, wa ashlih lii sya’nii kullahu,laa ilaaha illaa Anta (Ya Allah, aku mengharapkan rahmat-Mu, maka janganlah Engkau serahkan urusanku kepada diriku sendiri meski hanya sekejap mata; perbaikilah seluruh urusanku, tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau).” (HR.Abu Daud) Penulis: Haidar Andika Sumber Artikel dari Asmaul Husna Center: https://asmaulhusnacenter.com/ar-rahiim-dzat-yang-penyayang.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Ya Alloh Engkau “Maha Penyayang” Dan Aku Hanya Hamba Yang Kau Sayangi
0 notes
blogalloh · 1 year
Text
Alloh Maha Pengasih Ke Semua Makhluk Dan Maha Penyayang Ke Semua Muslim #Dakwah #Islam
Tumblr media
Ayat ketiga: Memahami Ar-Rahman dan Ar-Rahiim Ayat ketiga, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” Jalaluddin Al-Mahalli mengatakan, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ أَيْ ذِي الرَّحْمَةِ وَهِيَ إِرَادَةُ الخَيْرِ لِأَهْلِهِ . “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”, yaitu yang mempunyai rahmat. Rahmat ialah menghendaki kebaikan bagi orang yang menerimanya.” (Tafsir Al-Jalalain, hlm. 10) Alloh Maha Pengasih Ke Semua Makhluk Dan Maha Penyayang Ke Semua Muslim Apakah ada perbedaan antara Ar-Rahman dan Ar-Rahiim? Sebagian ulama menyatakan bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahiim bermakna sama. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) menyatakan ada perbedaan. Jika dianggap berbeda, istilah para ulama untuk kedua nama ini yaitu: الرَّحْمَنُ خَاصُ الاِسْمِ عَامُ الفِعْلِ وَالرَّحِيْمُ عَامُ الاِسْمِ خَاصُ الفِعْلِ “Ar-Rahman adalah nama yang khusus bagi Allah, menunjukkan umumnya rahmat Allah. Sedangkan Ar-Rahiim adalah nama yang umum (manusia pun diperkenankan bernama dengannya), dan menunjukkan perbuatan khususnya rahmat Allah.” (Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab, hlm. 20-21) Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan bahwa Ar-Rahman adalah Allah itu memiliki rahmat waasi’ah (yang luas). Sedangkan Ar-Rahiim adalah Allah memiliki rahmat waashilah (yang bersambung). Ar-Rahman menunjukkan sifat rahmat, sedangkan Ar-Rahiim menunjukkan perbuatan. Kedua nama ini masuk dalam istilah “idzaj-tama’a iftaroqo wa idzaftaroqo ijtama’a” (jika disebut berbarengan, maknanya berbeda; jika disebut berbeda tempat, maknanya sama). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hlm. 13. Faedah dari ayat Pertama: Allah memilik nama Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Kita menetapkan kedua nama ini dan makna yang terkandung di dalamnya yaitu Allah memiliki rahmat dilihat dari sifat dan perbuatan-Nya. Kedua: Bentuk rububiyyah Allah adalah Allah memberikan rahmat bagi hamba. Ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya yang menyebutkan Rabbul ‘Aalamiin. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, hlm. 13. Ketiga: Kaedah yang disepakati oleh para ulama yaitu beriman kepada nama dan sifat Allah, begitu pula dengan hukum yang terkait dengan sifat. Misalnya kita beriman bahwa Allah itu Ar-Rahman Ar-Rahiim, berarti Allah memiliki rahmat yang bersifat dengannya yang ini terkait dengan marhum (yang diberi rahmat). Segala nikmat adalah dampak dari kasih sayang (rahmat) Allah. Begitu pula untuk nama Allah lainnya. Nama Allah Al-‘Aliim menunjukkan bahwa Allah itu memiliki ilmu, mengetahui segala sesuatu. Allah itu Qadiir berarti Allah punya qudrah (kuasa, kemampuan), mampu mewujudkan segala sesuatu. Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 25. Referensi: At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Tafsir Surah Al-Baqarah fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah. Tafsir Al-Jalalain.Cetakan kedua, Tahun 1422 H.Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahalli dan Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Ta’liq: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerbit Darus Salam. Tafsir Jalalain. Penerbit Pustaka Al-Kautsar Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma. Cetakan ketiga, Tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Sumber https://rumaysho.com/23760-tafsir-surat-al-fatihah-ayat-3-memahami-ar-rahman-dan-ar-rahiim.html بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم – قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ – اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ – لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ – وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ Allohumma solli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa sollaita ‘alaa aali ibroohim, wa baarik ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarokta ‘alaa aali ibroohim, fil ‘aalamiina innaka hamiidummajiid. Allâhumma-ghfir liummati sayyidinâ muhammadin, allâhumma-
rham ummata sayyidinâ muhammadin, allâhumma-stur ummata sayyidinâ muhammadin. Allahumma maghfiratuka awsa’u min dzunubi wa rahmatuka arja ‘indi min ‘amali. Alloh Maha Pengasih Ke Semua Makhluk Dan Maha Penyayang Ke Semua Muslim
0 notes