Nabi Pertama yang Dikisahkan dalam Al-Qur'an:
Sebuah Alasan Untuk Tidak Menyerah
Sebagian besar orang akan berpikir bahwa Nabi Musa as. adalah nabi yang pertama dikisahkan kepada Rasulullah saw. Yang mereka ketahui adalah bahwa Nabi Musa as. memang merupakan yang terbanyak diceritakan namun bukanlah yang pertama. Lalu siapakah nabi tersebut sampai Allah swt. mengenalkannya terlebih dahulu sebelum nabi lainnya?
Al-Alaq (96) menempati urutan pertama wahyu yang diturunkan, diikuti surat Al-Qalam (68). Dalam surat Al-Qalam inilah Allah memperkenalkan satu kisah nabi yang kaya akan pelajaran.
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تَكُنْ كَصَاحِبِ الْحُوتِ إِذْ نَادَى وَهُوَ مَكْظُومٌ (48)
"Maka bersabarlah engkau (Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah engkau seperti (Yunus) orang yang berada dalam (perut) ikan ketika dia berdoa dengan hati sedih."
Sebuah Pembuka
Well, dalam hidup ini ada tanda-tanda yang akan memaksamu memberi jeda dan berefleksi mengenai keadaan spiritualmu. Agar kamu menilai kembali apakah pendekatanmu terhadap kehidupan itu sudah benar atau keliru.
Sumber refleksi bisa saja tanda-tanda yang tidak berasal dari Al-Qur'an, tetapi merupakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Biasanya berupa guncangan besar yang datang secara tiba-tiba, tidak terhindarkan, dan sifatnya sangat berbeda dari ujian sebelumnya.
Katakanlah kamu telah mengalami tragedi-tragedi besar dalam hidup. Dan kamu berpikir karena kamu telah berhasil dalam ujian itu, kamu bisa bereaksi dengan cara yang sama terhadap ujian yang datang kemudian. Dengan ini kamu merasa percaya diri saat melihat orang lain menghadapi krisis di ujian yang sama sepertimu dulu. Padahal ini bukan krisis dalam skalabilitas tragedinya, melainkan krisis dalam cara mereka meresponnya. Krisis dalam kebingungan total yang tertinggal setelah mereka ditimpa tragedi besar.
Mungkin iya, kamu telah membentengi diri dengan baik terhadap sifat tragedi yang dialami orang tersebut. Tapi kamu tidak pernah tahu akan suatu tragedi yang sifatnya mengguncangmu dengan cara yang tidak pernah kamu sangka.
Ke mana arah pembicaraan ini?
Inilah mindset para pejuang Uhud.
"Jika kita memenangkan Perang Badar dan hanya kehilangan sedikit orang dengan keadaan serba kurang, maka tentunya kita akan dapat mengatasi Perang Uhud dengan cara yang sama. Allah akan membuat ini mudah."
Lalu tiba-tiba Perang Uhud menjadi sebuah tragedi yang tidak disangka-sangka oleh siapapun.
Nabi saw. wafat? Itulah yang diteriakkan. Kaum muslimin mencoba berlari ke arah yang berbeda-beda tapi mereka telah dikepung dari kedua sisi. Sifat dari pertempuran ini telah berubah. Nabi memang tidak wafat, tapi beliau telah diserang secara brutal dengan berbagai cara.
Aisyah ra. mengobati Nabi saw. ketika Perang Uhud terjadi. Dia melihat keputusasaan di wajah banyak orang dan tidak bisa membayangkan hari yang lebih buruk dari hari Uhud. Bahkan Nabi saw. pun menangis dengan tangisan yang belum pernah didengar para sahabat. Aisyah ra. bertanya,
"Apakah Uhud adalah hari terburuk dalam hidupmu?"
"Tidak, hari terburukku sebenarnya hari terakhir (dari dua pekan menyeru orang-orang) di Thaif."
Aisyah ra. tidak melihat Nabi saw. ketika di Thaif. Dia terlalu muda dan belum menikah dengan Nabi saw. pada waktu itu. Dia tidak tau kejadian di Thaif itu seperti apa. Tetapi dia melihat Perang Uhud dan berasumsi bahwa tragedi tersebut adalah yang terburuk karena perang itu mengguncang dan menghancurkan rasa tak terkalahkan umat Islam. Nabi saw. hampir terbunuh, gigi beliau patah, bibir bawahnya dan keningnya robek, dan dua mata besi masuk melukai pipi beliau.
Di Thaif, beliau 'hanya' dihujani batu dan kata-kata. Beliau mendapati dirinya malam itu di tempat yang sepi, di bawah pohon, tanpa seorangpun bersamanya. Tiada dukungan emosional. Tiada yang peduli beliau terluka dan menangis. Tiada tempat mengeluh selain Allah.
Apakah Nabi saw. berdarah lebih banyak di hari Thaif dibandingkan di Uhud? Tidak.
Tapi peristiwa di Thaif lebih buruk.
Bukan karena luka atau rasa sakit, melainkan karena sifat dari ujian pada kejadian Thaif berbeda. Guncangannya memukul mental Nabi saw. sangat keras yang memaksa beliau menilai dan merefleksikan kembali semua yang telah terjadi hingga ke titik itu.
Itu merupakan titik kritis dalam kehidupan Nabi saw. Selama ini tekanan demi tekanan terus membawa beliau ke titik tersebut. Di masa pemboikotan, Nabi saw. harus mendengar anak-anak menangis di malam hari karena mereka terlalu lapar dan haus. Dan orangtunya tidak memiliki apa-apa untuk memberinya makan. Dapur Nabi saw. tidak mengepulkan asap selama tiga bulan lamanya. Bahkan para sahabat sampai memakan sandal mereka. Dan Abu Jahal datang dengan mengatakan, "kamu yang telah melakukan itu kepada orang-orangmu. Risalahmu yang menyebabkan anak-anak itu menangis." Itu tekanan. Itu menyakitkan.
Tak lama dari itu, beliau harus masuk ke dalam liang kubur dan menerima jasad Khadijah dengan menyadari bahwa penyebab kematiannya adalah boikot yang terjadi akibat dari pesan dakwahnya. Dalam tiga hari itu juga, beliau harus menguburkan pamannya, Abu Thalib.
Setelah dalam waktu sepuluh tahun ketika hidup beliau sedang indah-indahnya dan baik-baik saja, beliau harus melihat semuanya terjadi sia-sia. Tahun kesedihan dimulai. Tapi titik puncaknya belum mengenainya karena Nabi masih menyadari semua kejadian itu akan setimpal. Perginya keluarga dan penganiayaan datang bertubi-tubi mungkin hanyalah harga yang harus dibayar untuk harapan bahwa segalanya akan berbalik. Ke depannya tidak mungkin lebih buruk dari ini.
"Aku tidak akan diperlakukan lebih buruk dari apa yang orang-orang Mekah lakukan. Mulai dari sini, semuanya akan berjalan lebih baik," begitu pikir Nabi.
But Thaif hits different way.
Karena Thaif tampak seperti pintu tertutup. Tidak ada lagi harapan bahwa segalanya menjadi lebih baik setelah ini. Tidak peduli kepada siapa Nabi saw. sampaikan pesan dakwahnya, setiap waktu, intensitas dari penolakan akan meningkat. Setelah dihujani batu, Nabi saw. duduk di bawah pohon di sekitar area Thaif dan melihat ke atas dan bertanya-tanya.
"Ya Allah, ada apa ini? Sekarang apa? Apakah ini amarah-Mu? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku pernah ditolak oleh orang Mekkah, sekarang Thaif, dan aku kehilangan anggota keluargaku dalam prosesnya. Apa yang mungkin dapat berubah sekarang?"
Ini bukan tentang intensitas rasa sakit, melainkan kebingungan dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya dan apa yang telah kita lakukan hingga titik ini. Kita mulai melihat ke masa lalu kemudian melihat ke masa depan, seolah-olah semua hal tiba-tiba menjadi subjek yang dipertanyakan. Pertemanan, pendidikan, kehidupan keluarga, studi, karir, stabilitas, apapun yang kita punya dalam hidup kita pada titik itu.
Ujian seperti itu adalah krisis yang hampir dihadapi setiap individu dan akan menentukan keberhasilan atau kegagalan besar dalam hidupnya. Dan pada momen itu, yang menentukan adalah bagaimana seseorang bereaksi terhadap guncangan itu. Hasilnya adalah, seseorang akan disertai Allah atau dia akan ditinggalkan untuk menghadapi sisa ujian yang akan datang setelah itu tanpa mendapat pertolongan. Ini adalah momen yang sangat-sangat menakutkan.
Kembali ke kisah Nabi Yunus
لَوْلَا أَنْ تَدَارَكَهُ نِعْمَةٌ مِنْ رَبِّهِ لَنُبِذَ بِالْعَرَاءِ وَهُوَ مَذْمُومٌ (49)
"Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela." (Al-Qalam : 49)
Pada titik tersebut, Nabi Yunus bisa saja ditelantarkan dalam kemaluan, telanjang, dan dihinakan untuk sisa hidupnya. Ini luar biasa karena Allah katakan dalam surat lainnya,
فَلَوْلَآ أَنَّهُ ۥ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ (143) لَلَبِثَ فِى بَطْنِهِۦٓ إِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (144)
"Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai hari berbangkit." (As-Saffat: 143–144)
Nabi Yunus as. bisa saja tinggal di sana selamanya. Bukan hanya secara fisik melainkan juga secara spiritual. Sebagai seseorang yang hancur pada titik kritis itu. Dia bisa saja dikenal dan berakhir menjadi nabi yang berpaling, nabi yang meninggal dalam kehinaan.
Tapi..
فَاجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَجَعَلَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ (50)
"Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh."
Kenapa Allah memilih beliau? Bagaimana kisah titik kritis Nabi Yunus as. dan bagaimana coping mechanism ala beliau?
Nabi Yunus menghadapi titik puncaknya dan merasakan momen, "you know what? I'm done with you," terhadap kaumnya. Beliau menilai kembali semuanya.
"Tidak ada kebaikan lagi dalam kalian. Tidak ada harapan lagi pada kalian. Hukuman Allah akan mendatangi kalian. Aku selesai."
Dia sangat marah pada kaumnya. Dia senang mendengar kehancuran mereka atau mengetahui mereka akan dihancurkan. Dan ia berpaling dari orang-orang tersebut.
…وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا
"Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah…"
Tapi masalahnya bukan itu, melainkan..
…فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ…
"…lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya (menghukumnya karena dia berpaling)…"
Kemudian orang-orang di kapal melemparinya keluar dari kapal tersebut. Ibnu Qayyim berkata bahwa Nabi Yunus meninggalkan dakwah kepada kaum, yang padahal dakwah tersebut akan menyelamatkan mereka dari tenggelam dalam kekufuran mereka.
Dan sebagaimana Nabi Yunus berpaling, orang-orang di kapal tersebut meninggalkan Nabi Yunus dengan cara yang serupa dan membiarkannya tenggelam dalam kematian secara fisiknya. Mereka tau dengan mereka melemparkan Nabi Yunus keluar, beliau akan mati. Mereka tidak peduli karena mereka mencoba menyelamatkan diri mereka sendiri.
Dan Allah mengirim seekor ikan untuk menelannya. Coba pejamkan mata dan bayangkan kita baru dilemparkan dari kapal. Kita tenggelam dan kita sadar selagi kita tenggelam semuanya akan berakhir. Sebuah cara yang sangat kejam untuk dilalui kan? Karena kita tau, nafas kita semakin berkurang. Itu adalah malam yang menakutkan dalam tiga lapis kegelapan.
Ibnu Mas'ud berkata, "Bayangkan kejadiannya, dalam gelapnya malam, dalam gelapnya lautan, dan dalam gelapnya perut ikan paus tersebut. Di mana aku sekarang? Di mana aku menjatuhkan diriku?"
Kapan dan di mana waktu Nabi Yunus untuk menilai kembali dan menganalisa kembali?
Literally di dalam perut ikan. Momen itu, mungkin bagi kita justru lebih cocok untuk benar-benar berputus asa. Momen yang tepat untuk menyerah. Benar-benar mustahil suatu hal baik bisa terjadi dari situ. Nabi Yunus as. menyeru kepada Allah. Dia berkata:
"Ya Allah, aku memanggil-Mu dari suatu tempat, aku kira tidak ada yang pernah memanggil-Mu dari tempat ini sebelumnya."
Tidak mungkin ada orang lain yang berada dalam situasi seperti yang beliau hadapi sekarang ini. Di dalam perut ikan, di dasar lautan, di gelapnya malam, dan tidak bisa melihat apa-apa.
فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (87)
Maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, "Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang dzalim."
Itulah momen kesadaran. Nabi Yunus as. tidak memiliki keluhan. Dia tidak membawa kasusnya. Dia tidak berkata, "Ya Allah, kaum ini tidak seperti kaum lainnya. Aku tahu, Nuh punya rasa sabar selama 950 tahun. Tapi kaumku beda dari kaum Nuh."
Nabi Yunus tidak melakukan hal itu.
"Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk memintamu mengeluarkanku dari perut ikan paus ini. Aku hanya menyeru kepadamu. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Betapa sempurnanya Engkau. Akulah yang memiliki ketidaksempurnaan. Akulah orang yang menzalimi diri sendiri. Bukan salah-Mu Ya Allah. Aku tidak marah padamu."
"Aku tidak memiliki komplain terhadapmu Ya Allah. Aku tau aku pantas terhadap apa yang aku terima. Aku pantas berada dalam situasi putus asa ini. Aku tidak akan meminta-Mu meninjau kasusku dan memberitahukan betapa buruknya kaumku dan apa yang mereka lakukan padaku. Karena keadaannya tidak relevan dengan hubunganku dengan-Mu."
Ini bukan tentang keadaannya. Ini tentang Allah mengambil perjanjian dengannya dan beliau mengambil perjanjian dengan Allah. Dan beliau meninggalkan perjanjian tersebut.
Memang, kamu mengira semuanya akan baik-baik saja berdasarkan ujian-ujianmu sebelumnya, dan kamu merasa dapat menghadapi segala jenis badai. Tapi badai kali ini beda.
Allah telah memberitahumu bahwa Dia akan mengujimu. Allah telah memberitahumu Dia akan mengirimkanmu momen-momen yang benar-benar akan membakar seperti itu. Ini bukan tentang seberapa banyak momen-momen itu membakar, bagaimana rasanya, atau seberapa buruk kondisinya. Allah sudah bilang itu akan terjadi. Dan kamu berjanji pada Allah bahwa kamu akan mematuhi-Nya dan menyembah-Nya, dan kembali pada-Nya tidak peduli seberapa parah situasinya.
Lāilāhaillā anta..
Ya Allah, aku mengacaukan semuanya. Aku tidak memiliki alasan untuk menyalahkan-Mu. Aku tidak marah pada-Mu. Aku tidak berkata, "bisakah Engkau tidak memberiku ujian seberat ini? Karena jika Engkau membuatnya sedikit saja lebih ringan, mungkin aku bisa berhasil dengan kaumku."
Subhānaka
"Tidak. Engkau sempurna. Keputusan-Mu sempurna. Alasan-Mu sempurna. Kebijakan-Mu sempurna. Rahmat-Mu tidak dapat disangkal lagi. Keadilan-Mu sempurna. Penilaian-Mu tidak dapat disalahkan. Ya Allah Engkau sempurna dan aku mengacaukan. Aku salah membaca situasi. Aku bereaksi dengan cara yang salah."
Semua itu terkandung dalam "subhānaka". Betapa sempurnanya Engkau. Para malaikat mendengar suara ini dari langit dan mereka berkata, "itu suara yang pernah kami dengar sebelumnya namun dari tempat yang begitu aneh. Perut ikan."
Allah berfirman "kami selamatkan dia dari kegelapan tersebut, kami keluarkan dia."
Ikan tersebut meludahkan Nabi Yunus as. ke suatu pulau. Beliau tidak meminta untuk diselamatkan dari perut ikan. Beliau hanya meminta untuk diampuni karena itulah tujuan dari hidup, tidak mendurhakai Allah dengan cara yang akan membatalkan kita dari ampunan-Nya.
"Ampuni saja aku, ya Allah."
Allah mengampuninya dan Allah mengizinkannya berbaring bersamaan ketika matahari terbit. Kemudian beliau kembali kepada kaumnya. Dan apa yang beliau temukan?
Semuanya menjadi muslim. Bukan 70 atau 80 orang.
Nabi Nuh as. punya 80 pengikut kan? Peradaban Ninawa di Iraq adalah peradaban yang menurut Al Qurtubi, ketika Nabi Yunus as. kembali, beliau menemukan 100.000 orang beriman. Dia menemukan seluruh peradaban telah beriman dan menerima risalahnya.
Allah membuka jalan keluar untuknya. Tapi itu membutuhkan momen yang menghancurkan agar kita menganalisa kembali dan menilai kembali sehingga pada momen itu kita bereaksi sebagaimana kamu seharusnya bereaksi. Ada jenis coping mechanism tertentu yang Allah ridhai untuk kita lakukan. Dan ada juga yang tidak.
Kemudian yang datang setelahnya adalah futuhaat (kemenangan dalam hidup), bantuan Allah berupa hadiah perspektif baru, serta benteng di hati untuk bisa mengatasi ujian apapun yang datang setelahnya sehingga ujian selanjutnya akan mudah, secara relatif.
Titik Kritis dan Coping Mechanism Nabi Muhammad saw.
Dan Nabi saw., ketika dia menghadapi titik kritis itu, bisa saja itu menjadi akhir baginya. Bisa saja Nabi saw. berkata, "aku selesai dengan orang-orang ini. Hancurkan mereka"
Nabi saw. tidak hanya memiliki kesempatan untuk memohon kepada Allah, beliau bahkan dikirimi malaikat oleh Allah kepadanya yang menawarkan untuk menghancurkan mereka.
Malaikat penjaga gunung datang dan mengucap salam, "Wahai Muhammad, sekarang engkau bergantung kepada keinginanmu. Jika engkau mau, akan aku timpakan kedua gunung itu terhadap mereka."
Alih-alih ingin balas dendam, beliau malah berujar, "Jangan lakukan itu! Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang belum mengerti saja. Justru aku berharap dari keturunan mereka akan lahir orang-orang yang mengesakan Allah."
Pada hari itu seorang lelaki bernama Addas datang kepadanya untuk menyajikan kepadanya buah anggur. Nabi saw. berkata, "Bismillah" sebelum memakan buah tersebut. Dan Addas bertanya,
"Orang-orang di tanah ini tidak mengatakan bismillah. Dari mana kamu mendapatkan kata itu?"
Nabi saw. berkata, "kamu berasal dari mana?"
"Ninawa, Iraq," jawab Addas.
"Oh dari tanahnya saudaraku yang shalih, nabi yang shalih. Yunus bin Matta? Di sanakah kamu berasal?"
"Dari mana kamu tau?" tanya Addas heran.
"Dia seorang nabi, saya seorang nabi. Dan para nabi itu bersaudara di mata Allah."
Betapa luar biasa, di antara para nabi, yang pertama diberitahukan di dalam Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw. adalah Nabi Yunus as. Sebuah alasan untuk tidak menyerah.
Dan bayangkan, pada hari terburuk Nabi saw., ketika tidak ada seorangpun yang menolong beliau, ketika siapapun di antara kita akan menyerah jika di posisi tersebut, Allah mengirimkan Addas, buah dari saudara sepernabiannya, keturunan Ninawa, kaum Nabi Yunus as.
"Inilah alasan kamu tidak boleh menyerah."
Ini tentang bagaimana kita merespon balik sebuah penolakan dan tekanan. Karena meskipun orang-orang tersebut menolak, anak-anak mereka mungkin menerima Islam. Dan itu persis doa nabi di Thaif. Mungkin generasi berikutnya akan berbeda. Dan Allah memberikan itu padanya.
Mata Rantai Lainnya
Kota Thaif yang terdiri dari suku Tsaqif kemudian memeluk agama Islam sesudah Fathu Makkah, tepatnya setelah berakhirnya perang Hunain pada tahun 8 H. Ada dua tokoh penting dari Thaif yakni Urwah bin Mas'ud ats-Tsaqafi dan Al-Mughirah bin Syu'bah ats-Tsaqafi. Urwah adalah orang terpandang dari Bani Tsaqif dan termasuk orang pertama dari sukunya yang memeluk Islam. Namun keislamannya tidak lebih dulu dari Mughirah, keponakannya.
Kisah Mughirah berawal ketika sekelompok orang dari Bani Malik mengirim utusan ke Muqauqis (Gubernur Romawi) dengan membawa upeti. Mughirah bersikeras untuk ikut rombongan tersebut meskipun telah dilarang oleh pamannya, Urwah. Dalam perjalanan rombongan pulang ke Thaif untuk melaporkan hal tersebut, Mughirah menggagalkan rencana mereka. Di suatu tempat yang bernama Busaq, Mughirah memperdayai rombongan itu dan membunuhnya serta mengambil semua barang bawaan mereka. Setelah itu ia pergi ke Madinah untuk menemui Nabi saw. dan memeluk Islam.
Mengetahui hal tersebut, Urwah selaku paman Mughirah sekaligus orang terpandang di kaumnya membayarkan tebusan kepada Bani Malik atas nama Mughirah.
Di lain kesempatan yakni pada masa Perjanjian Hudaibiyah, Mughirah menjadi negosiator Nabi saw. sementara itu, Urwah menjadi utusan Quraisy tanpa mengetahui Mughirah adalah orang yang berdiri di samping Nabi saw. Ketika Urwah hendak memegang jenggot Nabi, Mughirah segera memukul tangan pamannya itu dengan gagang pedangnya.
Urwah kaget dan bertanya, "siapa orang ini?"
"Mughirah bin Syu'bah," jawab orang-orang sekitarnya.
Urwah berkata, "lelucon macam apa ini Muhammad? Hei, kau! Bukankah aku telah membelamu atas penghianatanmu itu?" ujar Urwah merujuk pada tragedi pembunuhan yang dilakukan Mughirah di Busaq.
Nabi saw. kemudian menjawab, "Aku telah menerima keislamannya. Sedang urusan harta yang kau bicarakan itu, aku tidak ikut campur sedikitpun."
Urwah masih memusuhi Nabi saw. hingga ia masuk Islam setelah Perang Hunain. Dari Madinah, ia ingin kembali ke Thaif untuk mendakwahi kaumnya. Setibanya di sana, penduduk Thaif membunuhnya, namun setelah menyadari kemurnian tekad Urwah, mereka berbondong-bondong masuk Islam seselesainya Perang Tabuk.
Kita beralih ke masa kekhalifahan.
Persis setelah Rasulullah wafat, keadaan kacau balau. Kemunafikan mulai kelihatan di Madinah. Bahkan tidak sedikit dari suku-suku Arab sekitar Madinah yang murtad keluar dari Islam. Ditambah lagi sebagian dari mereka tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Di antara kaum yang tetap istiqamah di atas Islam selain penduduk Mekkah dan Madinah adalah Bani Tsaqif di Thaif, mereka tidak lari dan tidak pula murtad.
Musailamah makin menunjukkan taringnya di Perang Yamamah. Pasukan Musailamah merupakan musuh terkuat di rangkaian Perang Riddah (perang melawan kaum murtad) yakni perang penentuan eksistensi politik Madinah.
Mughirah turut serta dalam pertempuran Yamamah melawan pasukan nabi palsu. Perang tersebut mengesahkan keimanan penduduk Makkah dan Thaif, yang tetap setia di bawah bendera Islam. Mughirah menyatakan, "ketika Bani Tsaqif masuk Islam, aku tidak mengetahui ada kaum dari suku arab yang seperti Tsaqif. Mereka itu sangat baik Islamnya, tidak sedikitpun berpaling dari Allah dan Qur'an."
Tak hanya itu, kemampuan negosiasinya yang baik membuat Saad bin Abi Waqash (selaku panglima di masa kekhalifahan Umar bin Khattab) mengangkatnya menjadi diplomat dan mengutusnya ke perkemahan panglima besar Rustum dalam misi pembebasan Persia. Dengan penuh keyakinan dan kesabaran akhirnya kaum Muslimin dapat menaklukkan ibu kota kerajaan Persia dalam Perang Qadisiyah.
Mungkin yang melempari Nabi saw. dengan batu sudah mati, tapi anak-anak merekalah yang melanjutkan perjuangan Islam, sehingga ketika suku-suku lain murtad, merekalah yang berpegang teguh dengan agama ini. Ketika awal mula mereka masuk Islam, Nabi saw. bahkan tidak pernah mengungkit mereka pernah melempari Nabi saw. Itu juga yang jadi salah satu hikmah mengapa keturunan Bani Tsaqif begitu menghormati Nabi saw. sebab Nabi saw. tidak pernah mencela orang tua mereka.
Benarlah firman Allah:
"Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu tertentu." (Yunus : 98)
Bayangkan jika saat itu Nabi Yunus menyerah (tidak bertaubat), mungkin Nabi Muhammad saw. tidak akan bertemu Addas di hari terberat beliau. Bayangkan jika Nabi Muhammad saw. menyerah di hari terberatnya (membiarkan Thaif ditimpa gunung), mungkin tidak akan ada pejuang seperti Urwah dan Mughirah, mungkin tidak akan ada keturunan Tsaqif yang menguatkan Abu Bakar di titik terberatnya. Mungkin Abu Bakar akan kesulitan menghadapi kekacauan. Mungkin Umar takkan punya diplomat ulung sebelum menghadapi Persia.
Serangkaian coping mechanism yang tepat ini sangatlah menyentuh hati. Inilah bukti bahwa keimanan kaum Yunus bermanfaat bahkan hingga ke zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Kita akhirnya sadar bahwa ketika Allah menguji kita, ada reaksi dan respon tertentu yang menentukan siapa kita di hadapan Allah. Maka dalam menghadapi kesulitan, doa Nabi Yunus as. merupakan doa coping mechanism yang sangat rendah hati dan bijaksana.
"Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang dzalim."
Itu sebabnya Nabi saw. bersabda:
"Doa dari saudaraku, Yunus. Tidak ada orang yang dalam kesulitan yang menyeru kepada Allah dengan doa tersebut, kecuali bahwa Allah akan menjawabnya."
Untuk menutup tulisan ini, mari kita mengakui keesaan Allah, kesempurnaan Allah, dan kekurangan kita sendiri. Hadapi ujiannya (centered on the problem). Jangan melarikan diri (don't get away and forget the problem).
Dan ketika pondasi kita terasa bergoyang, kokohkan kembali. Pegang teguh momen para nabi itu dan ingat bahwa orang-orang sebelumnya pernah berada di titik kritis juga. Semua orang menghadapi hal ini. Ini bukan titik yang hanya baru dilalui oleh kita seorang.
Mohonlah perlindungan dan ampunan Allah. Milikilah orang yang tepat di sekeliling kita untuk mengingatkan kepada Allah. Kita akan membutuhkan pengingat. Kita harus kuat. Insyaallah semua yang datang setelah itu dapat kita atasi.
Mudah-mudahan ketika kita menghadapi momen diuji sangat berat dalam kehidupan, yang membingungkan, yang mengguncang inti hati, Allah meneguhkan iman kita. Dan ketika kita menghadapi ujian yang tak terhindarkan, semoga momen terakhir dari hidup kita adalah momen kesenangan, ketenangan, dan kepuasan, dan keridhaan kepada Allah.
— Giza, sepertinya Lailatul Qadar tahun ini baginya adalah pelajaran tentang doa-doa para nabi. Next, belajar doa nabi siapa ya?
Sumber: https://playandlearn.org/Articles/HistoryOfQuran.pdf
https://risalahnet.wordpress.com/2023/10/28/mughirah-bin-syubah-negosiator-muslim-ternama/
https://biografi-tokoh-islam.blogspot.com/2016/06/mughirah-bin-syubah-sahabat-dan.html
https://biografi-tokoh-islam.blogspot.com/2016/06/urwah-bin-masud-dan-abdu-yalil-bin-amir.html
Al-Bidayah wan Nihayah
11 notes
·
View notes
‘bapak’
Mas, aku 5 bersaudara. aku anak ketiga, dengan dua orang kakak, dan dua orang adik. ayahku meninggal dunia saat aku masih kelas 3 SD. aku ingin kamu mengetahui bagaimana aku memandang mereka semua, yang akan kumulai dengan menceritakan bagaimana sosok yang kupanggil ‘bapak’ ini...
aku sebenarnya nggak punya banyak memori tentangnya, semenjak ia meninggalkan keluarga kami ketika kami masih dalam usia yang sangat belia.tetapi sebagian memori tentangnya masih terekam jelas diingatanku....
bapak adalah seorang yang tinggi besar, tetapi perawakan tinggi itu sepertinya hanya diturunkan untuk kedua adikku, sebab aku dan kedua kakakku bertubuh mungil (aku tidak mau menyebutnya pendek, karena itu tidak terdengar mengemaskan ^^). aku ingat sekali, karena tubuh tingginya itu, bapak nselalu menaikkanku ke atas bahunya dan mengajakku berkeliling desa. aku tidak tahu, apakah karena tubuh bapak yang terlampau tinggi, atau karena atap-atap warga yang teralu rendah, aku sering mengaduh ketika tak sengaja kepalaku terpentok atap rumah warga. bapak hanya tertawa dan langsung menundukkan kepalanya agar kepalaku terhindar dari hantaman selanjutnya.
bapak suka memancing. hobinya itu didukung dengan keberadaan empang besar di depan rumah kami, sewaktu bapak masih sehat, kondisi empang itu sangat bersih dan terawat, kegiatan rutin bapak setiap sore adalah memangkas rumput-rumput di sekitarnya. kami bahkan sempat memelihara beberapa ekor ikan mas, dua di antaranya kunamai ‘putih’ dan ‘manis’ kegiatan favoritku di pagi hari adalah memanggil nama mereka dari atas jendela kamarku yang langsung berhadapan dengan empang rumahku. aku selalu kegirangan ketika mereka seolah menyambut panggilanku dengan menampakkan kepala mereka di permukaan air.
sayang, ikan mas kesayanganku berakhir menjadi santapan keluarga besarku. ketika keluarga mamaku datang berkunjung dan memutuskan untuk menangkap ikan itu. aku menangis histeris. tak terima ‘putih’ dan ‘manis’ berakhir menjadi ikan kuah kuning. aku meronta-ronta dalam gendongan mama, tak terima hewan peliharaanku masuk ke dalam perut mereka.
ketika sedang kangen sama bapak, aku biasanya ke empang dan iseng-iseng memanggil nama ‘putih’ dan ‘manis’ padahal aku sudah tahu mereka sudah lama jadi kotoran manusia, anehnya, beberapa ikan kecil berwarna keemasan tiba-tiba muncul seakan menyahuti panggilan itu, aku rasa, sebelum meninggal dalam cara yang tragis, satu di antara mereka sedang mengandung buah hati.
bahasaku teralu lebay ya, Mas? hehe, soalnya ketika aku menyayangi sesuatu, aku tidak pernah setengah-setengah. mereka lebih dari sekedar hewan peliharan untukku. mereka kuanggap adalah temanku. seorang manusia yang bisa mendengar dan juga merasa.
di antara semua saudaraku, aku yang paling dekat dengan bapak. ketika beliau sakit keras, aku yang menemani beliau tidur berdua di kamar yang terpisah dari mama dan saudara-saudaraku. aku juga yang menemani beliau menjalani pengobatan di berbagai macam tempat dan rumah sakit. memandikan, bahkan membersihkan tubuh beliau selepas bapak buang air besar dan kecil, serta aku juga yang menjadi saksi, saat beliau menghembuskan nafas terakhir.
bapak adalah seorang yang berwibawa. hal itu didukung dengan postur badannya yang tegak, kumis lebat, dan juga wajahnya yang sangat kebapakkan. bapak adalah lelaki tertampan dalam hidupku.
beliau juga seorang yang sangat sabar. dengan kondisi stroke yang dideritanya selama 2 tahun, juga kaki lumpuh yang terancam diamputasi karena pengaruh terapi yang beliau lakukan membuat kondisi kaki beliau membusuk tetapi beliau tetap berusaha melakukan pengobatan, sudah cukup mengambarkan betapa sabarnya beliau.
sepertinya aku hanya mampu mengambarkan sosok beliau dengan beberapa kalimat saja ..., karena aku tidak mampu lagi menahan rasa sedih dan juga rindu ketika menuliskan ini. aku khawatir, laptopku tiba-tiba berhenti berfungsi, sebab kejatuhan banyak air mata.
aku tidak mau berandai-andai, karena kutahu itu takan mengubah apa yang sudah terjadi. penyesalan juga tidak akan membuat segalanya menjadi lebih baik.
aku hanya berharap. di sisa hidupku kini, aku bisa menjadi seorang anak yang lebih tahu diri.
tahu diri, bahwa jika bukan karena perjuangan dan juga kesabaran kedua orang tuaku untuk membesarkanku, aku mungkin tidak akan mampu bertahan hidup lebih lama di dunia yang sangat menyeramkan ini.
kelak, saat engkau memutuskan untuk mencintaiku, tolong cintai kedua orangtuaku juga ya, Mas? bisakan?
Surat Keenam, Kamis, 20 Juli 2023
35 notes
·
View notes