Tumgik
#saos2017
feegur-blog · 7 years
Quote
In my youth, all my friends used to watch Gunga Jumna and wanted to be Dilip Kumar. The girls were crazy about Dev Anand. Then came another phase. Women liked Rajesh Khanna and guys liked that Amitabh Bachchan fellow. And these days they like that.. He has a very nice name.. Salman khan and that Sanjay Dutt. Every fucker's got his own movies playing inside his head. Every fucker is trying to become the hero of his own imaginary film.
Gangs of Wasseypur - part 2 (2012)
2 notes · View notes
feegur-blog · 7 years
Text
Jatuh Cinta pada Film India (sudahlah, kau tak akan mengerti…)
Tumblr media
Saya masih ingat betapa saya membenci film Kuch Kuch Hota Hai.
Bapak saya tidak habis-habisnya mengutuki Shah Rukh dengan sebutan cengeng, banci, dan lain sebagainya. Ketika ada Shah Rukh di televisi, Bapak saya hanya mampir berdiri di depan televisi sambil memakinya. Namun, alasan saya membenci film tersebut bukan berdasar pada sinisme Bapak saya. Geli rasanya melihat adegan di mana lelaki yang jauh dari kesan gagah karena gampang menangis karena cinta. Apalagi ditambah dengan kegemaran menyanyi dan menari di taman! (Belakangan saya mulai nggak yakin kalau film yang bikin saya geli dengan Shah Rukh adalah Kuch Kuch Hota Hai, jangan-jangan termasuk Dil To Pagal Hai, Dilwale Dulhania Le Jayenge, de el el)
Shah Rukh adalah alasan saya membenci film Kuch Kuch Hota Hai… hingga kemudian saya membenci film India. Konon televisi swasta jaman saya masih SD dulu kompakan untuk selalu memutar film(-nya) Shah Rukh Khan setiap kali mereka niat bikin program box office film Bollywood. Praktis saya selalu mengasosiasikan film India dengan Shah Rukh. Ya, si Shah Rukh! Menonton film India berarti bersedia melihat si Shah Rukh berlenggok dan menangis (bawang) bombai karena cinta. Jangan salahkan prasangka anak SD!
Masa-masa kejayaan si Shah Rukh di televisi (Jakarta yang bersiaran ke seluruh) Indonesia tersebut seolah menghapus segala memori indah masa kecil saya bersama film India. Mungkin saya masih berusia empat. Mungkin saya masih TK nol kecil. Saya tidak begitu ingat. Tapi saya ingat bahwa dulu mata saya berulang kali lengket ke layar kaca saat nonton film India yang tayang siang hari. Judulnya saya tidak pernah ingat. Saya hanya ingat Inspektur Vijay menang melawan penjahat di suatu lapangan pasir yang luas mirip alun-alun di tengah bangunan, lalu untuk alasan yang selalu klise bala bantuan polisi selalu datang terlambat… Barangkali itu filmnya Amitabh Bachchan. Atau Govinda??
Film India yang begitu Indah dan membuat saya terpaku itu menyajikan keseruan luar biasa (barang kali… saya juga tidak ingat). Keseruan itu berupa adegan berkelahi mungkin mirip serial Power Ranger yang selalu saya tonton di hari Minggu. Barang kali… saya juga tidak ingat. Tapi saya yakin memori potekan dari masa kecil saya ini benar kenyataan. Pokoknya begitu!
Film India selalu di sana… menanti saatnya yang tepat untuk kembali menyapa saya. Tanpa sepengetahuan si Shah Rukh tentunya.
Sewaktu saya SMA, saat yang agak tepat akhirnya datang. Film India kembali menyapa saya melalui 3 Idiots. Bukan jagoan yang ahli berkelahi, bukan inspektur polisi yang berkeringat seusai menghajar cecunguk, namun jelmaan om-om dalam peran anak kuliahan. Sebagai anak SMA yang sedang kehilangan sosok idola yang pantas digilai, saya langsung kesengsem dengan tokoh Rancho yang tampan, konyol, namun luar biasa jenius sekaligus peka.
3 Idiots membuat saya merasakan kembali mata saya yang sempat lengket ke layar (yang sudah berganti zaman jadi layar) LCD. Namun, sepertinya si Shah Rukh mengetahui konspirasi film India untuk kembali dalam kehidupan saya. Bayang-bayang kegelian menonton si Shah Rukh muncul kembali ketika melihat adegan joget mana pun dalam film 3 Idiots. Tidak cukup di situ, si Shah Rukh nampaknya masih murka dengan konspirasi tengil ini. Sebagus apa pun film 3 Idiots, film tersebut tetap berakhir dalam label “film norak karena asalnya dari India” dalam lingkaran pertemanan saya. Saat yang agak tepat memang tidak bisa memaksa, sehingga film India kembali menjadi kategori yang saya benci.
Aamir Khan memang cukup mengisi kekosongan sosok idola yang saya cari. Meski di bawah tekanan, saya melanjutkan nonton Taare Zameen Par setelah nonton 3 Idiots. Semua dilakukan diam-diam, tanpa woro-woro saya sudah menonton satu film bagus ke teman-teman. Namun, agaknya si Shah Rukh masih belum mengizinkan cinta yang bersemi antara saya dengan film India. Ini karena saya masih percaya bahwa setiap adegan joget dalam film India adalah adegan yang tidak perlu. Pikturisasi lagu, begitu menyebutnya, selalu mengingatkan saya dengan si Shah Rukh yang melenggok di taman sambil menggoda lawan main perempuan yang kehabisan kain baju.
Sulitnya kisah cinta saya dengan film India membuat saya berhenti dan menyerahkan diri pada film-film standar (maksudnya Hollywood) yang dipercayai oleh lingkungan saya sebagai film yang normal, bagus, berkelas, dan selera (lebih) tinggi (daripada Bollywood). Standar kuantifikasi atas film Hollywood tidak pernah saya tanyakan dari mana asalnya. Mungkin akibat imperialisme yang kelamaan. Mungkin juga itulah cara untuk selamat dalam kerasnya lingkungan pertemanan. (Atau jangan-jangan ini ulah si Shah Rukh?!)
Begitu terus sampai bertahun-tahun… saya hanya menonton film Hollywood (sesekali Indonesia). Bisa dibilang, awiting tresna jalaran saka kulina. Kebiasaan saya mengkonsumsi film Hollywood membuat saya bisa menyebutkan film mana saja yang menyenangkan untuk ditonton. Sering kali merasa bangga dengan beberapa pilihan film tertentu karena plot cerita yang aneh. Atau sekedar berusaha menjadi penggemar dari kisah imajinatif yang kelewatan tentang masa depan.
Sebegitu terbiasanya saya dengan film Hollywood hingga saya abai pada sapaan halus film India. Bahkan ketika lingkungan pertemanan tidak lagi memiliki kategori norak untuk negara produsen film, saya tetap tidak menggubris film India.
Sapaan selanjutnya adalah melalui film PK. Aamir Khan yang sempat dulu saya puji karena wajahnya yang rupawan dalam 3 Idiots kembali menyapa saat itu. Namun, saya tidak menggubris. (Belakangan saya menyesal luar biasa tidak memanfaatkan kesempatan untuk nonton PK di bioskop Indonesia! Luar biasa menyesal dan berakhir nyesek! Bioskop Indonesia jarang sekali menjual film India. Jika pun ada yang menjual, maka itu adalah bioskop-bioskop Jakarta. Saya tidak memanfaatkan kesempatan itu ketika saya tinggal di Jakarta. Masih nyesek. Aamir Khan selayar tancep nggak ditengok!).
Nampaknya film India belum lelah juga. Kesetiaan untuk menunggu kesempatan YANG TEPAT akhirnya datang untuk film India dalam kehidupan saya. Masih melalui Aamir Khan, si santo, film India kembali menyapa saya dengan film Dangal. Santo Aamir hanya terlihat tampan selama beberapa menit, sisanya ia nampak seperti roti khas India yang sedang dibakar di atas kompor, menggembung. Bukan karena fisik santo Aamir yang sempat saya puji, namun justru karena cerita yang entah mengapa terasa masuk akal dan detil.
Akibat Dangal itulah dengan seketika saya merasa Hollywood adalah omong kosong belaka. Si Shah Rukh dengan Kuch Kuch Hota Hai-nya telah terperdaya berhasil dibuang ke palung. Saya jatuh cinta kembali dengan film India! Tanpa takut mengalami tekanan dalam lingkaran pertemanan, tanpa bayang-bayang si Shah Rukh, tanpa asosiasi lelaki norak yang cengeng dalam setiap film India!
Semua serba tiba-tiba. Tiba-tiba juga saya nggak nafsu dengan film Hollywood apa pun. A-pa-pun! Saya bahkan melewatkan aksi terbaru Jack Sparrow yang dulu sempat menjadi panutan saya semasa sekolah. Saya juga melewatkan banyak film kartun terbaru bikinan Pixar maupun Dreamworks. Menonton trailer film Hollywood terbaru pun seolah sudah bisa menebak akhir filmnya.
Semua itu saya rasakan berbeda dengan film India. Setelah Dangal, saya memburu film India. Film apapun, tidak ada santo Aamir pun tidak masalah! Saya merasakan ekstase luar biasa ketika mampu memahami kaitan dialog dalam durasi yang terkutuk. Saya merasakan ekstase ketika saya gagal membuat plot twist untuk akhir cerita yang sulit saya tebak. Saya juga merasakan ekstase ketika saya bersimbah air mata atas kisah cinta mematikan yang tidak bisa diselamatkan dengan logika apapun (nah ini ada ceritanya tersendiri… nanti saya tulis!). Hollywood tidak memiliki hal yang seperti ini! Ekstase tersebutlah yang membuat saya kembali mencintai film India, sangat mencintai. Santo Aamir sudah menumpas si Shah Rukh yang cengeng dan seperti godir meliuk-liuk!
Ah sudahlah… Kau tak akan mengerti.
 PS: I never said Shah Rukh is a bad actor. Forget it, you won’t understand.
3 notes · View notes
feegur-blog · 7 years
Text
Curiga Aamir Khan Pernah Ngopi Bareng Theodor Adorno
Munna Bhai nyaris membuat saya patah hati.
Meminjam peribahasa tidak ada gading yang tak retak, Aamir dengan segala ambisinya mengejar orisinalitas film yang digarapnya senantiasa mengalami ketidaksempurnaan. Itu menyakitkan untuk saya, seorang penggemar baru yang memujanya. Di tengah ekstase menikmati segala laga di setiap film yang dibintanginya, saya harus menerima kenyataan bahwa ada ‘kembaran’ untuk kebanyakan film Aamir Khan. Terlalu berat hati untuk saya mengatakan bahwa film Aamir sebagian besar (yang terkenal) adalah jiplakan, tiruan, atau plagiat. Mungkin dengan menyebut filmnya memiliki ‘kembaran’ kekecewaan saya ini bisa sedikit terobati. Seperti anak kembar, mungkin semua kembaran-kembaran film Aamir itu hanya kebetulan.
Anehnya film Aamir yang punya kembaran itu tidak jarang mengalami kesuksesan luar biasa.
3 Idiots, sebuah film yang pertama kali mengenalkan santo Aamir ke dalam hidupku, ternyata memiliki kesamaan dengan film yang lebih dulu dibuat oleh sutradara dan produser yang sama berjudul Munna Bhai M.B.B.S. Om Sanju yang memerankan Munna Bhai bertindak sama dengan Rancho. Ia mengungkapkan kritiknya tentang sistem yang sudah ada melalui pertanyaan-pertanyaan sederhana. Boman Irani pun nggak ada bedanya dengan Virus di 3 Idiots, hanya saja ia berada di bidang studi medis dengan jabatan yang lebih rendah. Chatur si thucuk thucuk juga nggak ada bedanya dengan Swami, teman sekamar asrama Munna Bhai.
Seperti yang saya katakan tadi, Munna Bhai hanya nyaris membuat saya patah hati. Semakin saya menghabiskan menit-menit menontonnya, saya semakin yakin bahwa film ini lebih mirip Patch Adams dari pada 3 Idiots. 3 Idiots hanya memiliki starting point yang sama dengan Munna Bhai. Bisa dibilang wajar, wong sutradara dan produsernya sama! Bisa jadi misi politiknya pun sama!
Itu baru 3 Idiots. Film seperti Akele Hum Akele Tum, Ghajini, Mann, PK, Dhoom 3, Dangal juga termasuk film-film yang membuatku patah hati. Baiklah, 3 film pertama yang saya sebutkan memang sudah terbukti sebagai sebagai film tidak sekedar terinspirasi, tapi memang kurang nilai orisinalitasnya (Tuhan, jauhkan aku dari upaya menuduh Aamir sebagai tukang plagiat… hiks hiks).
PK sebagai film yang membuat saya CLBK dengan Aamir juga ternyata nggak orisinil-orisinil banget. Adegan PK yang melaporkan tindak kecurangan Tuhan di sebuah kantor polisi adalah adegan yang luar biasa mirip dengan Kanji yang berusaha mengisi aduan di hadapan pengacaranya.
Dhoom 3 juga begitu. Apa bedanya Aamir dan Joker selain lebih ganteng (karena tanpa coreng moreng di wajah) dan lebih bisa menari? Dangal pun sama. Hampir seperti kebanyakan film biopik atlet yang bertebaran di Hollywood. Dangal juga berkisah tentang tokoh underdog yang kemudian sukses luar biasa. Bedanya adalah Dangal lebih mengandung kisah feminisme yang India banget.
Dengan deretan film yang sebenarnya nggak beda-beda banget dengan film lainnya, lalu apa yang membuat Aamir lebih dicintai dari pada 2 orang Khan lainnya di dataran Cina? Perhatikanlah, film Aamir di tahun 2016 hanya 1 saja. Begitu juga di tahun-tahun sebelumnya. Namun, keuntungan yang dihasilkan satu film Aamir saja dapat mengalahkan film-film Sallu dan Shah yang berjumlah lebih dari 1 tiap tahunnya. Aamir masih menjadi juara bertahan dalam mengalahkan rekor jualan filmnya sendiri.
Ada sebuah pernyataan merendah yang pernah diungkapkan Aamir di hadapan media tentang kawannya sendiri, Salman Khan. Ia menyebut bahwa Sallu memiliki segalanya sebagai seroang aktor, sedangkan ia sendiri hanya memiliki beberapa.
Saya tidak kuasa untuk mengaitkan pernyataan rendah hati Aamir itu dengan sejarah kegagalan orang tuanya di dunia film.
Barang kali ada benarnya juga. Aamir bukanlah Shah Rukh Khan yang begitu dipuja warga India dan menjadi benchmark saat mereka ingin menjadi aktor. Aamir bukanlah Salman Khan yang jangkung (kalau jeli, kalian bisa melihat bahwa Aamir selalu memakai sepatu lelaki ber-heels atau mengambil jarak dari lawan mainnya agar tidak terlihat pendek), bersuara lumayan, kekar, dan tampan (sesuai standar warga India tentunya).
Setelah maraton nonton filmya di era 80an akhir hingga 90an, saya semakin tak kuasa membuat cocoklogi dangkal untuk mengira-ngira ide pemasaran yang ada di otak Aamir untuk menjual brand dirinya sendiri. Apalagi setelah nonton Lagaan, film yang menjadi penyebab Aamir harus membuat production house-nya sendiri.
Ketidakberdayaan saya ini membuat saya berimajinasi… seandainya bisa kembali ke era tahun 2000an awal untuk ngopi bersama om Aamir. Om Aamir mungkin akan bercerita bahwa ia memang berambisi untuk terlibat dalam proyek-proyek film yang orisinil (meskipun di hadapan media ia bercerita bahwa ia hanya perlu skrip yang membuat hatinya tergerak untuk dapat disetujui). Juga bahwa segala yang ia ceritakan di media itu hanya keterampilannya bersilat lidah dan ia sendiri lebih memilih menghindari media. Ah om Aamir memang begitu, ia bisa membuat orang sekitarnya benar-benar sebal dengan dirinya, namun ia tidak akan membiarkan orang-orang mempercayai persepsi bahwa ia adalah orang yang menyebalkan.
Boleh jadi rentetan filmnya di tahun 90an itu hanya masalah kuantitas. Om Aamir mungkin berkelakar tentang film debutnya sebagai film keluarga besarnya. Kalau begitu, saya sangat setuju dengan om Aamir bahwa publik memang gampang lupa. Dengan intensitas kemunculan di banyak film, menggandeng bintang lain yang juga terkenal, sembari rajin merilis film; tentu om Aamir akan diingat banyak orang.
Tapi masalah kuantitas bukan masalah utama sebenarnya. Masalahnya ada pada segmen mana om Aamir bisa merajai. Om Aamir bisa rajin merilis film. Om Aamir juga bisa seperti Shah yang kemaruk dalam mengerjakan film, tapi toh secara fisik om Aamir sangat mudah untuk dikalahkan dengan Sallu dan Shah. Saya membanyangkan om Aamir bisa setuju dengan pendapat saya kemudian menyeruput kopinya. Aih…
Saya akan memuji om Aamir sebagai seorang jenius dalam bisnis film. Om Aamir akan mengangkat tangannya ke wajahnya sambil mengucapkan sukriya yang berarti terima kasih. Pujian jenius untuk om Aamir tersebut karena ia sungguh jeli membidik penontonnya yang tak lain tak bukan adalah pasar untuk sebuah film yang rampung ia garap. Saya menebak bahwa om Aamir sungguh memahami rantai supply-demand yang dikuasai Shah dan Sallu, sehingga kemudia bisa menemukan diferensiasi. Mungkin juga artis lain yang lebih gaek atau seumuran. Saya yakin om Aamir tidak akan bertahan jika tetap memerankan all around good boy dalam film-film masala seperti di tahun 90an. Peran yang seperti itu sudah ditahbiskan untuk Shah! Lagi pula sudah saatnya beranjak dari film-film sejenis Kuch Kuch Hota Hai. Dengan demikian, saya setuju jika om Aamir harus gelisah mencari peran yang baru!
Namun, om Aamir, saya tak ingin mendetilkan tebakan saya tentang strategi yang om Aamir dan tim terapkan. Saya yakin lebih baik om Aamir yang menjadi narasumber saya.
Soal pencarian karakter, saya menonton video behind the scene beberapa film om Aamir. Betapa om Aamir begitu menghabiskan waktu untuk membentuk karakter. Betapa nehi-nya kostum-kostum yang sempat dipilih om Aamir untuk PK. Betapa saya kaget bahwa beberapa kostum om Aamir di 3 Idiots berasal dari lemarinya sendiri. Betapa saya setuju dengan sutradara bahwa Bhuvan tidak muncul jika om Aamir masih berkumis. Betapa saya sempat jejeritan menonton transformasi om Aamir untuk Ghajini. Saya terkejut om Aamir sempat membaca buku karangan salah satu body builder terkenal. Ehem… tapi saya tidak akan bilang betapa om Aamir tampak menyebalkan saat pencarian karakter di film Dhoom 3 hehehe. Mungkin di saat yang seperti ini saya dapat melihat om Aamir tersenyum melihat saya cuap-cuap.
Mungkin dedikasi pencarian karakter ini salah satu strategi juga untuk memasarkan brand diri. Om Aamir boleh terkejut dengan pendapat saya ini. Saya sebagai seorang penggemar akan menemukan karakter yang beragam jika saya membuat kolase foto om Aamir di berbagai film; mulai Lagaan hingga Dangal. Saya bisa menjejernya dan saya berani jamin meskipun itu om Aamir, semuanya tampak berbeda satu sama lain! Tentu ini tidak saya dapatkan jika saya menonton filmnya Sallu atau Shah. Mereka seperti hanya punya 2 sisi saja. Nah, om Aamir punya banyak sisi. Ohoho saya akan melihat adegan sukriya lagi dari om Aamir!
Tumblr media
Hingga detik ini, bisa saya simpulkan bahwa kejeniusan Aamir Khan memang terletak pada kemampuannya memanfaatkan media power. Mungkin om Aamir pernah membaca bukunya Adorno? Atau buku pembacaan atas pemikiran Adorno? Atau buku-buku ekonomi politik? Atau buku bisnis media? Om Aamir kan doyan membaca karena lebih mungkin mengambil buku dari pada memutar DVD sepulang kerja…
Kecurigaan tambahan dari saya… jangan-jangan segala ulah yang menguntungkan yang dilakukan Aamir Khan ini sebatas pembuktian kepada orang tuanya bahwa ia sanggup survive di dunia perfilman?
Mujhe nahin pata.
 *Theodor Adorno wafat tahun 1969, omong kosong sensasional ala clickbait belaka kalau Aamir Khan pernah ngopi bareng Theodor Adorno. Bagaimana pun juga, saya tetep ingin memberi judul yang demikian untuk blogpost ini karena keawetmudaan Aamir lebih mirip dalam film The Death Becomes Her. Membayangkan mereka bertemu seperti tidak terlalu sulit karena wajah Aamir awet sepanjang masa, masanya Adorno pun. Buktinya, perbedaan fisik antara Sanju dan Aamir sangat jauh, padahal umur mereka nggak jauh beda. Di Munna Bhai MBBS sanju terlihat sesuai usianya 44 tahun, sedangkan Aamir di usia yang sama malah sukses nampak seperti anak kuliahan di 3 Idiots
2 notes · View notes
feegur-blog · 7 years
Text
Berjibaku Ke Bioskop Demi Jagga Jasoos, Sebuah Film yang Panen Cemooh
Tumblr media
Jarak yang harus saya tempuh hari itu adalah 26 kilometer. Hanya 35 menit jika ditempuh menggunakan mobil pribadi atau nebeng driver Uber, tapi jadi nyaris 2 jam kalau naik kendaraan umum. Dengan jarak dan waktu tempuh yang serba relatif tersebut sebenarnya saya sudah terhitung ke luar kota (tapi nggak jauh-jauh amat).
Kenyamanan perjalanan harus dipungkiri demi sebungkus popcorn dan segelas es teh manis; akhirnya saya memilih naik kendaraan umum untuk menempuh 26 kilometer itu. Semua ini demi nonton Jagga Jasoos!
Saya harus naik bus Trans Gerbangkertasusila dari kabupaten Sidoarjo sampai Terminal Bungurasih/Purabaya. Terminal ini merupakan perbatasan antara Kabupaten Sidoarjo dengan Kota Surabaya. Kemudian lanjut naik bis kota sampai Royal Plaza. Baru dari situ saya nyambung naik Go-Jek untuk sampai tujuan akhir, Mall Ciputra World. Inilah potret transportasi umum yang menghubungan kota metropolis dengan kota satelitnya: minim dan munyer-munyer.
Sudahlah… perjuangan saya menembus padat dan panasnya jalanan Sidoarjo-Surabaya terbayar saat saya mendapatkan tiket nonton Jagga Jasoos. Awalnya sempat ragu sebab baru terjual 1 tiket hari itu. Itu pun saya yang beli! Sempat harap-harap cemas kalau film ini batal diputar karena penjualan tiket nggak memenuhi kuota. Ternyata saya salah, ada sekitar 10 orang yang membeli tiket nonton Jagga Jasoos.
Sebelum film dimulai, saya sempat memperhatikan satu per satu penonton yang masuk gedung bioskop. Sembari mata saya berkeliling, otak saya tak habis-habisnya menduga motivasi mereka nonton film India di bioskop besar seperti ini. Mungkin mereka nggak tahu ini film India. Mungkin mereka hanya ingin melihat Ranbir Kapoor yang manis. Mungkin mereka penasaran. Mungkin karena ada logo Disney di posternya. Mungkin asal beli. Mungkin mereka penggemar film India yang lebih medok dari pada saya. Mungkin dan kemungkinan yang lain.
Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Ada motivasi yang cukup kuat mendorong saya untuk menonton Jagga Jasoos di bioskop, meskipun resikonya adalah sambung menyambung naik moda transportasi umum. Meskipun resikonya harga perjalanan dan harga makan siang yang 2 kali lipat dari pada harga tiket. Sebuah motivasi edan itu bernama pengalaman! Saya penasaran bagaimana sih rasanya menyaksikan film India di gedung bioskop Indonesia? Bagaimana dengan kualitas suara yang dihasilkan oleh teknologi Dolby yang sudah keterlaluan canggih? Apa ada kesempatan pipis saat film menginjak intermission? Bagaimana jedum-jedumnya gedung bioskop saat pikturisasi lagu? Bagaimana rasanya nonton dagunya Ranbir Kapoor yang mulus sehabis cukuran?
Saya pikir semua pertanyaan itu akan terjawab jika saya mendapatkan kesempatan menonton film India di layar lebar. Sejak kecil saya kebanyakan nonton film Hollywood di bioskop. Meskipun belakangan saya mulai menambah pengalaman dengan nonton film Indonesia, tapi tetap saja… sama sekali belum pernah untuk film Bollywood!
Benar memang. Semua pertanyaan tersebut terjawab dalam pengalaman nonton Jagga Jasoos di layar lebar. Saya baru tahu edannya dukungan teknologi Dolby dalam men-jedum-jedum suara alat musik tradisional yang terselip selama pikturisasi lagu. Saya juga baru tahu kalau tidak ada jatah waktu untuk pipis saat intermission. Terlebih saya baru tahu betapa beningnya dagu Ranbir Kapoor yang niscaya adalah dedengkot wakdoyok.
2 jam 35 menit film karya Anurag Basu ini cukup membuat saya kenyang terhibur. Namun nyatanya tidak demikian kata media-media India yang memberitakan Jagga Jasoos semenjak tanggal perilisannya. Media tidak berhenti mengintai pendapatan film ini yang nggak sebagus materi promosinya. Patokan mereka adalah semakin tinggi total crores yang didapat maka semakin sukses Jagga Jasoos ini. Sampai di sini saya masih bisa menilai ini adalah patokan yang wajar. Hollywood juga memakai patokan yang demikian. Terlebih jika mengingat pengerjaan film ini yang lebih dari 3 tahun dan menelan budget yang tidak minim, maka perhitungan tersebut adalah lumrah.
Nggak cuma soal pendapatan film yang segitu-gitu aja, ternyata pattern cerita juga menjadi bahan patokan tersendiri untuk mencemooh Jagga Jasoos. Berdasarkan pengalaman selama 2 jam 35 menit menuntaskan film ini, saya merasa sebenarnya Jagga Jasoos punya plot cerita seperti film India pada umumnya: campur aduk. Namun bagi media-media di India, ramuan pola cerita yang ditawarkan Jagga Jasoos terlalu dipaksakan. Ide mengkombinasi Tintin dan Indiana Jones yang sempat membuat Anurag Basu maupun Ranbir Kapoor bersemangat ternyata tidak bisa diterima media. Media menganggap kombinasi ini tidak berhasil.
Upaya jualan tampang yang diwakili Ranbir Kapoor dan Katrina Kaif pun disebut-sebut tidak mampu membantu banyak dalam peningkatan pendapatan. Duh…
Baiklah, setelah berbagai cemoohan media dan kenyataan pahit angka pendapatan Jagga Jasoos, saya tetap menyarankan kalian nonton film ini di bioskop jika masih ada. Kalaupun sudah nggak ada, nggak rugi juga kalian menghabiskan 2 jam lebih nonton film ini. Secara garis besar, anjuran saya ini didasari oleh persepsi pribadi setelah nonton film ini. Saya tidak memiliki penilaian negatif karena:
Come on, they give you excellent color!
Menurut saya Anurag Basu masih konsisten memanjakan mata penontonnya. Sudah pernah nonton Barfi! belum? Nuansa warna yang ditawarkan Anurag Basu dalam Jagga Jasoos mirip-mirip dengan Barfi!. Tidak ada mood cuaca India yang panas, namun justru dominan mood cuaca sejuk. Itulah Darjeeling yang berusaha ia suguhkan. Tempat daun teh dari brand kesayanganmu yang ala ala Inggris itu dipetik. Ia tidak menyuguhkan Delhi yang sumpek atau Mumbai yang ruwet yang hanya membuat pikiran jadi cupet.
Well, it’s the Genius Pritam
Apalagi yang bisa saya katakan, Jagga Jasoos yang tergolong film musikal ini dikerjakan oleh seorang music director yang menurut saya luar biasa jenius! Saya termasuk golongan yang menyukai lagu-lagu India kekinian, seperti yang dikerjakan Pritam. Saya rasa pasar film selain India akan mudah menerima produk lagu bikinan Pritam. Mungkin kita yang di Indonesia akan menyamakan lagu-lagu India dengan lagu dangdut klasik. Entah karena kemiripan alat musik atau karena masalah contek mencontek lagu yang sudah jadi kasus biasa di industri musik. Buang jauh-jauh segala prasangka dangdutanmu itu! Pritam banyak bermain dengan genre dari negara-negara lain untuk disajikan dalam sebuah film. Nggak percaya?
Galti Se Mistake mungkin terasa terlalu India, namun coba putar Khanna Khaake, Musafir, Phir Wali, Jhummritalaiya, atau Ullu Ka Pattha (lho kok kesebut semua??). Those things are somewhat global taste, but it works for Jagga Jasoos.
Pritam membuat saya kesengsem melalui Barfi! Sekarang pun masih kesengsem. Malah tambah kesengsem.
Good Actor Ranbir
Ranbir boleh jadi adalah bagian terbaik dalam Jagga Jasoos. Figur pahlawan seperti ini mungkin yang akan saya cari jika saya adalah seorang anak kecil. Namun, kenyataan usia saya yang melebihi seperempat abad ini tetap memandang Jagga sebagai tokoh pahlawan yang sukses diperankan Ranbir. Jagga hanya hidup melalui Ranbir. Ah… rasanya ingin mengkoleksi topeng, kaos, dan kacamata si Jagga.
Selain itu, di film ini Ranbir berperan sebagai seorang bocah yang gagap sejak kecil. Sebenarnya saya sempat underestimate, saya pikir Ranbir tidak akan nampak terlalu berbeda dengan Barfi sebagai lelaki yang bisu sejak kecil. Kenyataannya tidak. Ranbir sebagai generasi aktor baru India ini memang lebih berani mengambil resiko untuk coba-coba peran. Berbeda dengan generasinya si Shah Rukh Khan. Melihat Ranbir sebagai penjahat manis dalam Bombay Velvet kemudian estafet melihatnya sebagai Jagga… wah luar biasa!
 Disamping pujian saya atas film Jagga Jasoos, saya sebenarnya lumayan setuju dengan media untuk membatalkan sekuel Jagga Jasoos. Iya, saya tahu lakon penjahat favorit saya yang bakal main di sekuel, si Nawazuddin Siddiqui! Tapi masalahnya film ini sudah membuktikan Hukum Gossen pertama (atau kedua yak saya lupa sebenernya hehehe). Apa mau dikata, Jagga Jasoos membuat saya sebagai penontonnya menjadi kenyang… sampai eneg. Seperti membaca skripsi yang digadang-gadang luar biasa, namun njelimet, tebal, dan repetitif saat eksekusi. Kalau sudah seperti itu, ngapain dilanjutkan?
1 note · View note
feegur-blog · 7 years
Text
Kaise mujhe tum mil gayi? (How did I find you?)
“Apa pekerjaanmu?”
“Aku penggemar berat Bachchan dan aku bilang ke semua orang tentang itu!”
(Bombay Talkies, 2013)
Tumblr media
Apa mau dikata, pertama kali saya kesengsem dengan Aamir Khan adalah saat menonton 3 Idiots. Meskipun tergolong nggak terlambat nonton (karena saya menonton film tersebut di tahun yang sama dengan tahun rilisnya), tetap saja saat itu dia sudah berusia 40an.
Mungkin saya pernah melihatnya saat TPI masih getol-getolnya muter film India di siang bolong tahun 90an. Masalahnya, mana mungkin saya ingat?
Sebagai kaum milenial yang hidup dengan kemudahan akses internet, buru-buru saya googling tentang Aamir Khan setelah nonton 3 Idiots. Awalnya saya tidak tahu kalau pemeran Rancho ini sudah berusia 40an tahun. Cukup terkejut sih… apalagi hasil pencarian yang banyak muncul adalah tentang berita perceraiannya dengan si mantan istri, Reena Dutta. Kejutan ini agaknya terlalu bikin shock saya yang saat itu masih duduk di bangku SMA. Keterkejutan ini kemudian perlahan menjadi kekecewaan lantaran Aamir Khan tidak semuda yang saya kira. Jadi, saya tidak memulai karir saya sebagai penggemar Aamir Khan di tahun itu.
Aamir Khan saya simpan dalam memori sebagai satu-satunya aktor India yang menurut saya tampan. Nggak seperti Shah Rukh Khan yang kurang tampan.
Tahun berganti tahun, Aamir Khan tetap dengan karirnya sebagai aktor film yang disegani dan saya tetap tidak menonton film Aamir Khan yang lain selain 3 Idiots (dan Taare Zameen Par).
Tahun 2017, karena kejenuhan dan kebencian yang luar biasa memuncak terhadap produk film Hollywood. Saya banting setir ke film-film Asia. Saya melahap banyak produk film dari berbagai negara di Asia, mulai dari Korea Selatan (jelas, lagi ngetrend soalnya), India, Jepang, Thailand, film berbahasa Mandarin, dan tak lupa Indonesia. Film-film Asia jauh lebih menghibur ternyata! Dari pada film Hollywood. Mungkin ini karena ada kedekatan, saya juga orang Asia.
Namun, ini tidak berlangsung lama. Kejenuhan saya pada film Korea Selatan akhirnya terjadi juga. Film Jepang apalagi… hanya perlu 30 menit! Sisanya tidak ada yang menawan hati saya… kecuali film India!
Thanks to Shri Amitabh Bachchan! Filmya yang berjudul Pink seolah berhasil memperbaiki image norak yang dulu ditanam oleh Shah Rukh Khan dan Karan Johar lewat Kuch Kuch Hota Hai. Film ini luar biasa serius karena tidak ada adegan yang hingar bingar. Selama 2 jam saya melahap permainan dialog dalam setting film yang berada di pengadilan pidana. Film ini juga sarat akan isu-isu feminisme yang terjadi di India.
Tapi… saya ingat satu kesukaan saya dalam film India yang telah lama terkubur semenjak SMA, Aamir Khan.
Alhasil saya mencari semua film Aamir Khan yang bisa saya dapatkan. Warnet di Yogyakarta bisa dibilang menyisihkan sekelumit surga bagi pecinta film India. Dari warnet yang berada di jalan Kaliurang tersebut saya mengantongi film Aamir Khan yang berjudul Dangal, PK, Ghajini, Talaash, Fanaa, Lagaan, dan Dhoom 3. Secara bergantian saya menonton film-film tersebut. Secara bergantian saya merasakan ekstase yang berupa perasaan terharu, sedih, hingga bahagia. Jika sedih, maka saya akan bersimbah air mata. Melalui film-filmnya, Aamir Khan sudah seperti santo yang datang kepada saya. Ia memperbaiki citra film India di mata saya dan membuat saya jatuh cinta. (Kalimat menye-menye khas penggemar, bodo amat!)
Tahun 2017 saya memulai karir saya sebagai penggemar Aamir Khan. Saat usia pujaan saya ini tidak lagi muda, yaitu 52 tahun. Hey… tapi siapa yang percaya jika ia berusia 52 tahun dengan penampilan seperti ini?!
Tumblr media
Mr. Perfectionist, begitulah julukannya (belakangan Aamir sendiri yang menggantinya dengan Mr. Passionate). Julukan ini bisa jungkir balik 180 derajat jika saya melihat tulisan tentang plagiasi film yang dibintangi Aamir Khan. Ada 2 jilid buku bagus yang mungkin harus dibaca penggemar film India di Indonesia, judulnya Aku dan Film India Melawan Dunia. Penulisnya bernama Mahfud Ikhwan. Dari bukunya tersebut saya mempelajari bahwa Aamir Khan berulang kali kebludruk (jika nggak mau dibilang sengaja plagiasi) membintangi film yang ternyata adalah hasil plagiat. Akele Hum Akele Tum adalah jiplakan film berjudul Kramer vs Kramer. Mann memiliki cerita yang sama dengan An Affair to Remember. Kedua film tersebut yang dianggap paling plagiat. Masih dari buku yang sama, saya juga mempelajari bahwa Aamir mulai lebih serius dalam mengerjakan film-filmnya. Namun, usaha Aamir yang ambisius untuk menghadirkan orisinalitas selama ini akhirnya bolong juga dengan dibuatnya film Ghajini yang menjiplak Memento.
Lantas saya batal lagi gitu memulai karir sebagai penggemar Aamir Khan?
Enggak lah. Saya membaca resensi yang ditulis Mahfud Ikhwan di bukunya dulu baru nonton Akele Hum Akele Tum dan Mann. Kalau Ghajini sudah lebih dulu saya tonton, namun juga saya membaca sekilas di internet kalau film ini memiliki kemiripan dengan Memento. Tapi toh semua kasus jiplak menjiplak itu tidak menjadi masalah berarti untuk saya. Dalam perspektif saya sendiri, Akele Hum Akele Tum dan Mann dibuat saat Aamir masih menapaki karirnya sebagai aktor. Umpamanya pegawai baru, mau jadi apa dia kalau picky begitu? Ghajini juga… ini saya yakin Aamir merasa tergerak saat menonton filmnya (Ghajini yang dibintanginya merupakan versi remake dari film Tamil yang berjudul sama) lalu memutuskan untuk membuatnya ulang. Aamir memang jarang menonton film, sekalinya nonton dia langsung tertarik bikin ulang. Mungkin juga dia sudah tahu kalau filmnya memiliki kemiripan dengan Memento, tapi buat apa dipermasalahkan jika kebiasaan orang India adalah memproduksi film untuk dinikmati bangsanya sediri. Masalah apes aja sih kalau ternyata Ghajini luar biasa sukses dipasaran.
Lagian, saya juga mengalami perasaan yang sama dengan Mahfud Ikhwan saat nonton versi India dari film-film yang dijiplak. Lebih menderai air mata. Saya sampai nggak bisa tidur berhari-hari setelah nonton Ghajini! Saya kelewat sedih dan akhirnya sibuk bikin plot twist biar Kalpana nggak mati dan bisa nikah sama Sanchin -_-
Apa pun yang akan dibilang orang tentang Aamir Khan, baik verbal maupun tulisan, saya sudah terlanjur terjun sebagai penggemarnya. Saya akan selalu seperti Vicky yang terkejut sambil menutup mulutnya ketika mendapat cendera mata Katrina Kaif. Atau menjadi seperti Gaurav yang memiliki tempat pemujaan Aryan Khanna yang eksklusif (tanpa obsesi yang gila tentunya).
 Jadi, apa pekerjaanmu?
Aku penggemar berat Aamir Khan dan aku bilang ke semua orang tentang itu!
1 note · View note
feegur-blog · 7 years
Text
Kuliah Dibayarin Kemendikbud–bukan tips & trick lolos Beasiswa Unggulan!
Tumblr media
Saya bukan pemburu beasiswa sebenarnya. Saya tipikal orang yang gemar memanjatkan Puji Tuhan hamdalah syukur kepada Allah ketika punya foster parents yang bersedia mendanai UKT plus uang saku selama kuliah S2. Namun, tidak demikian kata Sekar ketika mengetahui sikap saya tersebut. Sekar adalah kakak kelas semasa kuliah S1 yang sekarang sekelas dengan saya di Komunikasi FISIPOL UGM. Sekar ini calon ibu yang luar biasa oportunis, jika tidak ingin disebut pelit. Bagi Sekar, kalau bisa mendapat kucuran dana dari negara untuk menebas buku sekaligus baju cantik a la butik, kenapa harus repot-repot nithil tabungan? Sekar inilah yang mendorong saya mendaftar Beasiswa Unggulan. Mungkin ia tidak sampai hati hanya melihat kawannya ini hanya nongkrong di rak buku Gramedia sambil gigit jari kemudian pulang dengan tangan hampa :’)
Seperti yang saya katakana tadi, saya bukan pemburu beasiswa. Ketika Sekar mendorong saya untuk daftar Beasiswa Unggulan, hati saya luar biasa bimbang. Mungkin malas lebih tepatnya… hahaha. Saat itu beban tugas kuliah sedang luar biasa kampret, belum lagi ditambah adek-adek bimbel yang wajib saya tuntun pola belajarnya seperti anak bebek. Di masa yang demikian ini, menyiapkan syarat pendaftaran beasiswa bukanlah hal yang bisa dikerjakan sambil santai. Males aja boo… harus menyusun proposal studi, rencana penelitian, esai yang semuanya harus mewakili kelayakan saya sebagai kandidat.
Tapi semua kemalasan untuk mempersiapkan berkas syarat pendaftaran harus saya kalahkan. Senjata yang saya gunakan untuk menumpas kemalasan ini adalah bayang-bayang merasakan perut yang luar biasa kenyang setiap hari karena ada tambahan uang saku dari negara, bayang-bayang ekstasi karena bisa membeli buku apapun yang dimau dengan uang buku dari negara, sekaligus bayang-bayang pendanaan tesis yang membuat saya jadi terserah-ente-mau-neliti-apa-aja-nih-ada-duitnya-kok! Bayangan yang terakhir inilah yang luar biasa mendorong saya (atau bayangan pertama sih).
Singkat kata, saya berhasil menjadi salah satu penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud batch 1 tahun 2017. Berdasarkan kesepakatan dengan kawan-kawan yang juga merupakan kandidat, kami menyadari bahwa hanya ada sekelumit informasi tentang beasiswa ini. Berbeda dengan beasiswa kekinian mentereng punya Kemenkeu itu. Mungkin akibat kalah pamor, kami yang sesama kandidat ini akhirnya bingung mencari referensi situasi mulai pendaftaran hingga saat wawancara. Meskipun ada sekelumit informasi tentang beasiswa ini, isinya cuma tuntunan menyiapkan batin, mental, dan mantra. Lha lek iku yo faham lek kudu dicepakno, tapi tidak ada satupun catatan tentang peradaban selama bertemu dengan panelis. Nah, tulisan ini niatnya menyajikan hal yang beda. Tulisan ini bukan tentang upaya membongkar misteri pikiran panelis wawancara beasiswa, bukan juga tips mempersiapkan daftar beasiswa! Saya mau kasih gambaran suasana mengikuti tes beasiswa lewat tulisan ini; teristimewa Beasiswa Unggulan Kemendikbud.
 Mengapa Beasiswa Unggulan?
Saya juga nggak tahu. Sebelum membayar UKT perdana ke UGM sebagai pengesahan saya sebagai maba, saya sempat berpikir untuk membuang kesempatan kuliah ini. Sebabnya adalah saya ditolak mentah-mentah sama UGM untuk menunda pembayaran. Asumsi saya saat itu UGM bersedia memberikan saya LoA untuk mendaftar LPDP dan juga bersedia menangguhkan status penerimaan saya sambil menunggu saya dapat beasiswa. Nyatanya enggak.
Jadilah saya kuliah dengan bantuan dana dari foster parents yang (sepertinya meneruskan berkat Tuhan untuk) memahami keinginan bocah untuk sekolah tinggi. Lupalah saya dengan cita-cita menjadi penerima beasiswa LPDP.
Nah, jika sistem penerimaan UGM dan LPDP tidak bisa saling mendukung, maka sistem Beasiswa Unggulan Kemendikbud tidak demikian. Beasiswa Unggulan Kemendikbud bersedia mendanai mereka yang sedang berkuliah (on-going). Bukan reimburse, tapi membayar sisa masa studi yang belum ditempuh. Semisal pada kasus saya, saya terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 2 sewaktu saya mendaftar Beasiswa Unggulan. Kemendikbud bersedia membayar biaya kuliah semester 3 dan 4 yang belum saya tempuh. Ditambah uang saku selama 12 bulan dan uang buku.
Mungkin sistem itulah yang mengizinkan saya memilih Beasiswa Unggulan ini.
Baiklah, kemudian ada isu juga yang menyebutkan Beasiswa Unggulan ini semacam ban serep LPDP lantaran persaingannya lebih mudah ditembus. IDIH KATA SIAPA?! Landasan tujuan diadakannya Beasiswa Unggulan sangat berbeda dengan LPDP. Kalau berpikir persaingan Beasiswa Unggulan lebih mudah ditembus, yah mungkin itu hanya faktor keberuntungan saja sih. But, keep this in your mind, penalti Beasiswa Unggulan jauh lebih mematikan dari pada LPDP! Setidaknya menurut pendapat pribadi saya sih… Penerima Beasiswa Unggulan harus memenuhi kewajibannya. Jika mengalami kegagalan dalam beberapa pasal yang ada di kontrak, maka silahkan tunda pesta pernikahanmu demi mengganti uang negara sebanyak DUA KALI LIPAT dari yang sudah kamu terima (modyar kon gak sido rabi!).
 Menjadikan Dirimu Kandidat yang Menguntungkan
Saya nggak tahu tentang sistem perputaran uang dalam program Beasiswa Unggulan Kemendikbud, tapi yang saya selalu yakini dari dunia beasiswa adalah eksistensi investor. Logika sederhana tentang potensi investasi kadang diwujudkan dalam pertanyaan menjebak nan mendebarkan seperti: Mengapa anda layak menerima beasiswa ini? Harah kon… mau menjawab a la motivator yang pede abis, nyatanya masih banyak kandidat yang jauh lebih unggul dari pada kita. Mau menjawab dengan rendah hati, nanti malah dikira nggak niat mendapatkan beasiswa. Pertanyaan inilah yang membuat saya melek semalam suntuk sebelum tes wawancara. Kalau cuma menjawab pertanyaan ini via esai atau proposal sih masih bisa membela diri sampai berlembar-lembar kertas. Kalau langsung ditanyai oleh panelis, ya beda sih gugupnya. Di tengah kekalutan, saya memutuskan untuk menyatakan diri saya sebagai sebuah bentuk investasi yang menjanjikan bagi investor atau pembiaya beasiswa saya.
Mungkin saya beruntung, mungkin saya sial. Jawaban yang sudah susah payah saya siapkan tidak pernah mendapat pertanyaan yang sesuai. Panelis yang ada di hadapan saya justru berimprovisasi memecah pertanyaan sejenis mengapa-anda-layak-menerima-beasiswa-ini. Jadilah saya dikejar pertanyaan tentang aktivitas lain yang dilakukan selain belajar. Aktivitas yang mendukung kegiatan belajar. Aktivitas yang sanggup dikelola tanpa mengorbankan prestasi akademik saya. Semua pertanyaan memiliki konteks waktu semasa saya SMA dan S1… semua kegiatan yang saya lakukan lebih dari 3 tahun lalu dan entah mengapa sangat sulit untuk mengingatnya kembali di hadapan panelis saat itu. Persekongkolan apa ini…
Mungkin saya beruntung dibandingkan kawan saya yang juga menjadi kandidat. Wujud pertanyaan mengapa-anda-layak-menerima-beasiswa-ini diturunkan berulang kali dulu sebelum di lempar ke dia. Kisahnya adalah kawan saya ini dengan semangat menjelaskan bahwa skenario pendanaan dari Kemendikbud bisa membantu ia dan orang tuanya untuk membayar UKT. Ia dan orang tuanya kemudian dapat membelokan dana pribadi yang sebelumnya untuk membayar UKT ke dana penelitian disertasi. Ia juga bersemangat menjelaskan urgensi dan keunikan calon disertasinya tersebut. Sebelum ia sempat melanjutkan penjelasannya disertasinya yang luar biasa itu, panelis menampakan wajah bosan. Akhirnya ia pun berhenti bercerita. Panelis yang sempat bosan itu melanjutkan pertanyaan pengandaian yang paling membuatmu mual sewaktu wawancara: Bagaimana jika kamu tidak menerima beasiswa ini? Lagi, ini pertanyaan membingungkan sekaligus mematikan. Kawan saya tersebut menjawab dengan mantap bahwa sesuai perhitungannya, baik ia dan orang tuanya akan mengalami kesulitan keuangan. Sekali-kali ia menekankan lagi dengan halus bahwa ia memerlukan dana beasiswa dari Kemendikbud sebagai bantuan untuk biaya studinya.
Hasilnya, kawan saya gagal.
Di kesempatan selanjutnya, karena kebetulan kami satu kampus hanya beda nasib (FYI, kawan saya ini lebih muda 1 tahun dari saya, tapi angkatan kuliah S1-nya setahun lebih awal dari saya, dan sekarang dia sudah menempuh pendidikan doktoral sedangkan saya masih kayak kecebong yang bingung mau nulis apa untuk paper UAS), saya turut membantunya berkontemplasi tentang kegagalan yang baru saja dialami. Dengan otak saya yang cuma berisi untung-rugi ini, saya menjelaskan bahwa mungkin sebaiknya ia mencoba ‘menjual diri’ di kesempatan lain. Sebenarnya saya tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa panelis doesn’t want any of your drama.
Dalam analisis banal saya, kami berdua sebenarnya sama-sama ditanyai tentang kelayakan kami sebagai kandidat penerima beasiswa, namun kalimat tanyanya saja yang berbeda. Pertanyaan yang diajukan kepada kami berdua sebenarnya sama-sama tricky. Sama-sama memiliki potensi menjerumuskan dirimu ke lubang yang semakin lama semakin dalam kamu gali sendiri. Tapi bedanya saya ‘memaksa’ panelis hanya melihat catatan keberhasilan saya secara obyektif. Sayangnya, kawan saya ini mengemas ceritanya dengan penderitaan. Maksud saya adalah… begini lho… investor itu mau tahu seberapa jauh kamu dapat menjamin keberhasilan investasi mereka karena kamu tidak akan telat lulus. Seberapa jauh kamu bisa membuat mereka tenang karena kamu paham betul skema pendanaan yang akan mereka lakukan (ingat ya, Beasiswa Unggulan cuma bersedia membayar SPP, uang hidup, dan uang buku; so don’t even try to make them fund your research!). Investor mungkin bisa bersimpati, tapi bukan itu yang mereka ingin lakukan: investasi karena kasihan. Jadi, kalau kamu mendapat pertanyaan bagaimana jika kamu gagal? Ya sudah, jawab saja seperti bocah nan lugu: ya ikut lagi pak/bu, kan masih boleh. Case closed!
 Tak Mendapat Beasiswa, Tak Masalah
Kalau kata Sekar, ini semacam pasrah dan tidak berharap berlebih. Ini adalah fase termustahil untuk dijalani setelah submit berkas secara online. Awalnya saya memang ogah-ogahan mendaftar beasiswa ini, namun setelah submit semua berkas saya jadi berharap. Harapan saya semakin menggendut sejak tahu saya lolos seleksi administrasi dan berhak maju ke babak wawancara. Harapan saya kemudian berubah menjadi obsesi yang rawan takabur menjelang hari H wawancara. Tapi saat saya menjejakan kaki di lokasi wawancara, semua keserakahan sebagai manusia itu menguap. Nggak tau uapnya disedot siapa.
Lokasi wawancara yang diberikan pada panitia ke saya beralamat di Hotel Tjokro Style Yogyakarta. Hari itu saya datang mepet, sekitar 10 menit lebih awal dari jam yang ditetapkan. Seharusnya sih nggak mepet-mepet amat sehingga masih bisa dapat antrean awal, tapi para kandidat rupanya terlalu bersemangat. Mungkin sehabis subuh mereka berangkat. Perkiraan saya adalah saya datang saat waktu registrasi sudah berjalan selama 20 menit. Demi apa untuk waktu yang demikian itu saya mendapat jatah wawancara nyaris bontot! Menurut jadwal resmi wawancara dimulai pukul 8.00 WIB, sedangkan saya dapat giliran wawancara sekitar pukul 17.00 WIB. Eits.. jangan sedih, masih ada yang lebih malam lagi lho, pukul 20.00 WIB!
Ruang wawancara berada di meeting room lantai 2 Hotel Tjokro Style. Guna menganulir segala ketakutan hati saya yang cengeng ini, saya tidak mengucapkan mantra all izz well, justru saya melongok ke dalam ruangan. Mungkin ini sebab musabab isu yang menuding Beasiswa Unggulan jauh lebih mudah ditembus persaingannya: panelis yang bertugas mewawancarai kamu hanya SATU orang saja!
Namun asumsi konyol tersebut mendadak terbirit-birit kabur dari otak saya setelah saya bertemu dengan beberapa kawan sekelas di UGM dan beberapa kenalan baru. Sambil menunggu giliran wawancara kami duduk (di lantai, karena kalau nyari kursi harus ke ballroom dan itu berarti tidak mendengar giliran wawancara yang dibacakan panitia) melingkar seperti sedang mengadakan pemujaan berhala. Kami saling berkenalan dan menanyakan kehidupan masing-masing. Sesekali kami bergunjing. Kami juga tak lelah menebak-nebak pertanyaan yang akan diberikan kepada kami.
Percayalah, ada banyak keuntungan jika kamu berkenalan dengan orang-orang baru di ajang-ajang seperti ini! Tidak usahlah kamu berpikir bahwa mereka akan mengalahkanmu dalam kompetisi mencari beasiswa. Setiap orang punya kapasitas yang berbeda dan membandingkan dirimu dengan orang lain hanya akan membuatmu terisolasi dalam pikiran cekak nan bebal.
Ada 5 orang saat itu yang membuat lingkaran pemujaan, sebut saja namanya Agra, Rosa, Bayu, Hanum, dan saya. Sebenarnya saya juga sempat berkenalan dengan sesorang bernama Kitty, namun saya tidak tahu ia kemana saat kami mengadakan lingkaran pemujaan tersebut. Anyway, percaya atau tidak, kehadiran 4 orang inilah yang menguapkan segala keserakahan manusiawi saya sebagai kandidat penerima beasiswa. Bagaimana mungkin saya bisa menjadi sombong dihadapan seorang peraih medali Sea Games? Bagaimana mungkin saya bisa sok tahu dihadapan seseorang yang lebih mengetahui bisnis media dibanding saya yang cuma tahu lewat buku? Bagaimana mungkin saya bisa sok pintar dibanding seseorang yang jauh lebih jenius dibanding saya? Bagaimana mungkin saya bisa sok ngerti ilmu pemasaran dibanding praktisi yang menekuni bidang tersebut? Keempat orang tersebut membuat saya melihat kembali ke dalam diri saya sambil mengumpat: Asem tenan, apa yang harus tak jual di hadapan panelis?! Fiuh…All izz well… all izz well.
Sejak menit itu, saya menjalani apa yang dikatakan Sekar sebelumnya… pasrah dan tidak berharap lebih.
 Layak atau Sekedar Beruntung?
Saya nggak berani mengatakan bahwa saya sepenuhnya layak karena saya yakin keberhasilan saya ini melibatkan strategi untung rugi dalam investasi. Jika saja jawaban saya berbeda, maka saya mungkin gagal dan menganggap diri saya tidak layak. Saya lebih suka mengatakan saya ini beruntung.
Sering kali saya temukan kandidat berusaha menerka-nerka sebuah sistem penilaian yang terapkan panitia (termasuk saya sendiri sih!). Mencoba memecahkan misteri dibalik penilaian sewenang-wenang panelis. Panik setengah mati cari kisi-kisi wawancara kesana kemari. Kawan, ijinkan saya beri tahu bahwa tidak ada gunanya kita memikirkan sistem penilaian mereka. Biarkanlah itu menjadi hak mereka. Saya yakin berdoa dan menyiapkan mental pun tidak mampu membongkar sistem yang mereka terapkan. Yang sudah berdoa banyak barangkali gagal. Yang sudah siap secara mental dan fisik barangkali tidak mendapat kesempatan. Yang cuma ketawa-ketiwi kadang malah dianggap mumpuni. Dari titik ini saya yakin bahwa masalah kelayakan adalah relatif, masalah keberuntungan jauh lebih misterius lagi. Tapi setidaknya itu milikmu dan Tuhan.
Saya tidak tahu bagaimana dengan penerima beasiswa yang lain.
Jika saya melihat ulang kisah dibalik kesaktian berkas yang saya kiriman, maka saya tidak dapat memungkiri bahwa saya hanya beruntung. Konstelasi kejadian masa lalu dalam hidup saya secara bergilir menjadi de javu yang menguntungkan bagi kehidupan masa kini saya. Bagian yang ini ingin saya nikmati sendiri tanpa harus menuangkannya menjadi kata-kata dalam blog. Inilah keperkasaan Tuhan yang tidak bisa saya dekonstruksi karena saya tidak berani.
Jadi semoga beruntung kawan-kawan yang mau mencoba mendaftar Beasiswa Unggulan batch 2 tahun 2017!!!
2 notes · View notes
feegur-blog · 7 years
Text
Dunia Relijius Penggemar dan Kemudahan Akses Musik Hari Ini
Tumblr media
Tepat tanggal 3 Maret lalu Ed Sheeran secara resmi merilis albumnya yang berjudul ÷ (Divide). Album ini sudah masuk daftar album yang saya antisipasi sekali. Saat tanggal 3 Maret datang, tidak bisa saya bayangkan betapa biasa saja perasaan saya!
Tidak, tidak, saya tidak kecewa dengan kualitas musik mas Ed. Seperti fans yang taat, saya menyukai lagu apapun yang dia buat. Baik yang ia nyanyikan sendiri dan yang ia tulis untuk dibawakan penyanyi lain. Perasaan biasa saja ini bukan salah mas Ed, tapi memang seperti ini keadaannya karena proses produksi dan konsumsi hulu ke hilir tidak sesulit zaman dulu.
Izinkan saya bercerita tentang perasaan deg-degan dan lutut yang mendadak lemas karena konsumsi musik pop. Di awal tahun 2000an, saya adalah fans baru sebuah boyband asal Irlandia bernama Boyzone. Demi mengejar ketertinggalan berbagai publisitas yang sudah mereka buat, maka saya rajin membeli album mereka dan majalah apa pun yang memuat wajah mereka. Uang saku yang sekelumit saya kumpulkan dengan sabar untuk membeli album terbaru mereka dalam format kaset pita. Uang saku hari raya pun selalu beristirahat kekal di mesin kasir toko kaset dan CD. Tak lupa pula saya rajin mengunjungi kios majalah untuk sekedar cari-cari majalah yang memuat berita tentang mereka.
Itu baru untuk beli album, untuk bisa punya kesempatan melihat video klip mereka di MTV, saya harus berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tiba-tiba muncul video klip mereka. Bahkan di zaman Dunia Dalam Berita masih tayang, saya berdoa agar ada salah satu stasiun televisi yang berbaik hati memutar video klip Baby Can I Hold You untuk menghabiskan durasi sebelum tayangan berita dari diktator. Begitu saya tahu Tuhan mendengar doa saya, betapa saya tidak berkedip memandang televisi. Hati langsung dag-dig-dug dan mulut terngaga. Bersyukur bisa melihat rekaman audiovisual boyband kesayangan saya ini. Tuhan sungguh Maha Kuasa!
Saya ingat kalau dulu saya sungguh menempatkan harapan yang besar pada Indosiar. Zaman dulu rasa-rasanya hanya ada beberapa stasiun televisi yang sanggup menyiarkan konser musisi mancanegara. Apalah daya saya yang hanya fans di bawah umur dan tidak punya penghasilan. Keinginan saya untuk melihat konser Boyzone harus ditahan sampai waktu yang tidak jelas, oleh sebab itu saya hanya berdoa pada Tuhan agar Indosiar, atau stasiun televisi lain, menyiarkan rekaman konser mereka. Lagi-lagi, ketika Tuhan mendengarkan doa saya, kaki saya lemas. Kali ini lemas sepanjang tayangan tunda konser Boyzone. Biar kata konsernya 10 jam juga sepanjang itulah kaki saya lemas. Mau ke kamar mandi saja ditahan, nunggu iklan. Haram sekali rasanya berkedip saat tayangan konser sedang berlangsung, apa lagi disambi bikin Indomie ke dapur!
Jika datang hari di mana Boyzone merilis album baru, saya harus menunggu sekitar 2 minggu kemudian untuk berangkat ke toko kaset terdekat. Meskipun iklan di televisi ngomongnya “out now”, saya berusaha memahami bawa jarak tempuh Jakarta-Surabaya itu jauh. Harus bersabar. Ini sudah hal biasa, coba tanya ke ibu atau bude kalian. Dulu jika ada produk saus botolan terbaru, iklan selalu menyebutkan bahwa produknya baru tersedia di Jabodetabek. Jika kamu hidup di luar Jabodetabek, maka bersabar untuk memulai konsumsi adalah keniscayaan.
Saya ingat sekali hari itu saya datang ke sebuah toko kaset kecil dekat rumah saya. Lokasinya berdekatan dengan pasar tradisional. Saya ingat ada 2 toko yang berdiri di dekat pasar itu. Toko pertama yang di lantai bawah tidak terlalu lengkap, sedangkan toko kedua di lantai kedua adalah toko yang selalu up-to-date. Hari itu saya bertandang ke toko yang kedua. Saya datang dengan persiapan yang sempurna, sudah mandi, sudah makan, dan memakai baju terbaik. Batin saya juga sudah ditata, jaga-jaga kalau penjualnya mengatakan bahwa ia belum mendapat kiriman album musik yang saya inginkan. Saya berjalan masuk ke toko yang mungkin saat ini tidak lebih lebar dari pada kamar mandi kosan saya. Saya melihat sekeliling dan langsung deg begitu melihat album Ronan Keating deluxe edition sudah ada di etalase. Perasaan aneh yang dulu muncul itu sama dengan perasaan gugup menjelang presentasi makalah yang saya alami sekarang. Meskipun beda hal, gejalanya tetap sama: asam lambung naik, lutut lemas, tangan bergetar, mata terbelalak, dan sebagainya.
FYI saja deh, Ronan Keating dulu seperti Zayn Malik yang kalian kenal hari ini, tapi bedanya Boyzone bubar. Om Ronan tidak hengkang untuk bikin album solo seperti dek Zayn. Dan ya, saya penggemar beratnya!
Ketika kaset musisi kesayangan sudah di tangan saya, maka saya akan berkomitmen untuk menjaga agar pitanya tidak cepat kusut, kertas sampulnya tidak cepat lungset, bahkan hal gila semacam bungkus mikanya tidak gores. Saya tempatkan kaset pita tersebut di rak yang tidak berdebu. Memutarnya pun harus diawasi betul. Termasuk juga tidak membiarkan kaset ini masuk black hole saat dipinjam teman sekolah.
Baiklah, mari membandingkan dengan keadaan yang saya alami saat ini. Mungkin juga kalian alami. Bukalah telepon pintar kalian masing-masing dan sebutkan aplikasi musik online yang kalian pakai! Apakah itu Joox? Spotify? iTunes? Atau yang lain? Sama saja, intinya hari ini ada yang disebut layanan musik digital gratis.
Hari ini produsen musik sudah menjalin banyak kerja sama dengan aplikasi musik digital ini. Musisi hari ini tidak perlu mengumpulkan 10 lagu untuk bisa dijual dalam sebuah album, sebab mereka bisa menjual sebuah single saja. Kita pun sebagai penikmat musik tidak perlu berjibaku ke toko musik untuk membeli album fisik, cukup install aplikasi saja dan poof! Album yang kalian inginkan sudah ada di ujung jari.
Benar juga apa yang dikatakan oleh John V. Pavlik bahwa kemajuan teknologi yang berbasis digital sudah berhasil memotong proses produksi, penyimpanan, tampilan, hingga distribusi. Hari ini jika ada sebuah band dari daerah ingin merekam lagunya, mereka tidak perlu memohon welas asih dari para dewa major label. Rekam saja sendiri, toh hanya diperlukan hasil rekaman digital untuk bisa mulai diunggah. Karena semua sudah serba digital, tidak ada lagi proses penyimpanan lagu yang harus melalui beberapa tahap sebelum benar-benar jadi kaset pita atau CD yang bisa dibeli secara bebas di toko. Hari ini kita punya Reverbnation, iTunes, Spotify, hingga Facebook yang bersedia menyimpan hingga membantu perilisan sebuah karya musik. Jika pendengar tidak suka, mereka tidak akan memaki-maki karena rugi uang. Iya, tutup saja aplikasinya atau hapus lagu aneh itu dari daftar pemutar!
Lalu bagaimana dengan video klip? Bersyukurlah pada Tuhan karena diciptakannya YouTube. Jika dulu harus nongkrong di depan MTV untuk melihat video klip terbaru, maka hari ini cukup akses YouTube. Dengan sistemnya yang ajaib, ia bisa membaca selera musikmu melalui kolom suggestions. Urusan rilis merilis video klip tidak lagi eksklusif, sebab band sekaliber Maroon 5 pun memilih untuk merilis musiknya lewat YouTube.
Akhirnya, semua konten musik dan materi pengiring lainnya bisa didistribusikan kepada fans mereka hanya melalui kanal internet. Luar biasa!
Lebih luar biasanya, pengembang teknologi tidak pernah berhenti berinovasi dan industri musik tidak pernah berhenti berjualan. Fasilitas live yang disajikan Facebook dan Instagram pun tidak luput menjadi kanal distribusi musik. Band favorit saya sejak kelas 6 SD, yaitu Busted, beberapa waktu lalu memanfaatkan Facebook live untuk menyiarkan acara music jamming mereka. Acara ini merupakan rangkaian coming-back mereka sejak tahun lalu. Saat itu, dunia saya sebagai seorang penggemar nampaknya sedang menitikan air mata akibat kemudahan virtual ini. Keinginan saya berinteraksi dengan mereka seperti terwujud lewat siaran langsung gig secara mandiri ini. Hari itu saya masih berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdoa untuk melindungi dan menguatkan sinyal Wi-Fi kosan saya.
1 note · View note
feegur-blog · 7 years
Text
Denda Tilang Bukan Untuk Polisi Lapar
Hari ini saya ditilang. For the first time ever in my life… kok ya pengalaman ditilang sih?!
Sebagai kaum milenial yang tidak steril dari internet, aku mengajukan ide yang sama ketika ditilang: minta form biru!
Perolehan form biru ini sebenarnya tidak segampang yang dituliskan blogger di internet. Untuk mendapatkannya kita harus mengikuti polisi yang berhasil menepikan kendaraan kita hingga menuju pos polisi terdekat. Dalam pos polisi yang hanya selebar bong kuburan tersebut, pelanggar akan diberi omongan basa-basi dulu. Yah semacam dibacain lantang-lantang isi SIM-nya, sampai ditanyain rumahnya di mana. Nanya doang, mau datang lamarin kagak!
Anyway, setelah ditanya-tanya hal remeh, petugas kemudian menjelaskan kesalahan kita dan apa yang harus kita lakukan untuk menebus kesalahan kita. Oke, ini soal form merah dan biru. Sebenarnya saya juga nggak benar-benar tahu isi tulisan di form merah, kalau yang biru tadi sudah selesai dibaca lamat-lamat. Namun, netizen menganggap form merah diperuntukan bagi mereka yang tidak mengaku bersalah dan bersedia diadili. Sedangkan form biru adalah untuk mereka yang mengaku bersalah, bersedia diadili dan/atau bersedia membayar denda atas bentuk penebusan kesalahan.
Nah, form merah ini sering dimanfaatkan oleh petugas korup untuk memperkaya diri. Namun, karena transparansi yang setengah mati dituntut kepada lembaga negara, petugas korup begini bakal takut dan menawarkan form biru. Setelah mendapatkan form biru, kita bisa bisa langsung membayar di bank BRI regional tempat kita tertangkap melakukan pelanggaran. Kemudian baru kembali ke pos polisi untuk menukar SIM / STNK yang disita dengan surat tilang dan bukti transfer.
Saya kira dengan bentuk transparansi demikian masalah tilang-ditilang menjadi clear. Nyatanya nggak juga! Sistem transparansi yang ditawarkan oleh petinggi kepolisian sebenarnya masih ada celahnya. Ya, celah untuk korup. Lewat mana? Pos polisi yang tertutup! Di pos polisi yang dibangun dari beton tersebut, petugas masih bisa menegosiasikan transparansi. Saya ditawari untuk dapat form biru dan bayar denda di bank BRI atau bayar di pos polisi dan dapat form merah. Nominalnya sama sih, tapi kalau saya ambil opsi yang kedua sama saja dengan kegiatan menyuap yang diberi struk. Ya kali ke sevel -_-
Saya tidak menyalahkan petugas itu. Mungkin dia juga lapar. Upah pekerjaan juga tidak sanggup mengenyangkan perut sekeluarga.
Saya membayangkan sebuah sistem pembayaran denda tilang yang tidak mengharuskan pelanggar masuk k epos polisi, misalnya dengan kamera yang merekam langsung kejadian. Informasi plat nomor yang terintegrasi dengan rekening memungkinkan pemotongan nominal uang langsung. Kalau di rekening nggak ada uangnya, ya terhitung ngutang di setoran selanjutnya.
Dengan sistem yang demikian mungkin acara bayar denda tilang nggak perlu ke bank dan pakai acara diketawain teller. Tapi, bisa jadi tidak ada efek jera (wtf?!) sekaligus semakin banyak petugas yang kelaparan.
Kok seperti lingkaran setan ya…
0 notes
feegur-blog · 7 years
Text
Perempuan Tomboy, Penampilan Feminim, dan Pixie Cut
Aku ingat suatu hari di saat aku masih kecil. Waktu itu mama dan mbah Nono (sebutan untuk eyang putri dari pihak bapak; aku curiga Nono merupakan nama unyu dari suaminya eyang putri: Soemarjono) sedang pergi ke pasar. Mereka pulang dengan membawa sepasang sprei bergambar Donald Duck dan Desy Duck. Satu berwarna merah tua dan satu berwarna biru tua. Mereka memperlihatkan kedua sprei itu di hadapanku dan kakak laki-lakiku (selanjutnya aku tulis sebagai masku). “Mau pilih yang mana?” kalau nggak salah itulah pertanyaan mama kepada kami berdua. Masku dengan cepat menyatakan pilihannya: warna merah. Sementara aku, bukan tidak ingin bertengkar atau ingin mengalah, memang lebih menyukai warna biru.
Sampai sekarang, aku masih menyimpan curiga bahwa si mbah Nono punya pemetaan gender yang biner dan diidenfikasikan dengan warna. Aku juga masih curiga kalau dulu mama setuju dengan pendapat beliau. Selepas kami memilih warna sprei masing-masing, mbah Nono berusaha membujuk kami untuk mengubah pilihan kami. Bagi beliau, warna merah justru lebih pantas digunakan oleh aku yang adalah anak perempuan. Sebaliknya, sebagai anak laki-laki, masku lebih cocok tidur di sprei berwarna biru. Tapi saat itu kami yang polos ini bisa kekeuh dengan pilihan warna sprei yang kami sukai. Case closed. Nothing more to debate.
Lain waktu, mama membawakan kami berdua selimut tebal. Masih dengan gambar karakter kartun Disney. Kali ini bewarna biru muda bergambar Goofy dan merah tua bergambar Desy Duck. Tanpa ada open forum mama membagikan selimut itu. Warna biru muda untuk masku dan aku kedapatan yang warna merah tua. Wong namanya kami masih polos, ya terima-terima saja dengan pembagian macam begitu, pokoknya bisa cerita ke teman-teman di sekolah. Dulu di jaman itu punya selimut tebal yang biasa dijual dengan nama bed cover merupakan sebuah pencapaian luar biasa. Seperti berhasil mengikuti tren masa kini. Kekinian gitu kalau kata anak sekarang…
Aku kira ini cuma perkara warna kesukaan, tapi ternyata ada yang lebih bikin mama merasa janggal saat itu. Aku masih ingat waktu mama mempertanyakan kecenderunganku yang seperti laki-laki, misalnya tidak suka main Barbie. Iya sih, waktu aku kecil selalu iri dengan mainannya masku. Ada rodanya, bisa digeret-geret. Ada remotenya, bisa jalan sendiri. Atau warnanya macam-macam kayak pelangi dan bisa disusun membentuk kastil. Opo iku Barbie! Boneka plastik kaku njegidek mek iso lungguh karo awe-awe. Fitur mainan masku yang lebih beragam membuatku sering meninggalkan mainanku sendiri, kemudian beranjak mengamati masku yang sedang asik main lalu minta pinjam mainannya. Saat itu, masku akan merengek protes karena aku tidak disiplin memainkan ‘jatah’ mainanku sendiri.
As I grew up, aku masih bertahan dengan model rambut yang dipilihkan mama sedari aku kecil. Rambut pendek cocok untuk anak kecil, karena tidak ribet jika sedang beraktivitas dan juga tidak memberikan kesan dewasa pada wajah anak. Rambut pendek masih setia menempel di kepalaku sampai aku SMA. Although I learned so many things in my life about being a girl, orang-orang disekitarku cuma punya 2 perbendaharaan kata untuk mendeskripsikan fisik perempuan: feminim dan tomboy.
Aku masuk kategori yang kedua. Sialnya, selama masa remajaku aku habiskan untuk mengejar ekspektasi orang-orang di sekitarku untuk menjadi kategori yang pertama: feminim.
Demi mencapai kategori itu, aku banyak mengubah diriku di masa-masa kuliah. Rambutku kubiarkan tumbuh memanjang dengan apik, menghasilkan kelok-kelok di ujungnya. Model rambut yang mereka sebut keriting gantung. Aku mengenal berbagai macam perangkat rias berkat mata dosen mata kuliah yang selalu mewajibkan mahasiswanya berbalut busana a la office look. Aku mulai mengkoleksi berbagai alat rias wajah hingga alat rias rambut. Aku juga semakin menggilai hak tinggi, semakin tinggi maka semakin banggalah aku. Sama bangganya dengan anak kampung yang berhasil naik enggrang tanpa jatuh. Gaya busana menjadi mainan baru buatku. Rok-rok mini yang menampilkan kakiku menjadi favorit. Meskipun kakiku nggak jenjang-jenjang amat, tapi aku suka melihat pahaku yang kurus dan semakin ngecimpring ketika memakai hak tinggi. Label feminim itu kini ada di tanganku.
Memasuki masa skripsi, permainan menjadi feminim terasa membosankan bagiku. Aku mulai malas berdandan. Banyak dekilnya daripada cakepnya. Hingga beranjak masa kerja, situasi semakin ribet, aku semakin tidak tertarik untuk stay feminim. Aku sering ke kantor dengan pakaian yang sama santainya dengan bosku: celana dan baju berkerah. Sering kali aku juga malas memoles diri meskipun sesederhana pakai lipstik. Padahal dengan gajiku, harusnya aku mampu membeli berbagai lipstik dari shades paling kiri sampai paling kanan.
Lantaran banyak bertemu orang baru dari jaman kuliah hingga kerja, aku mendengar sebutan itu lagi: tomboy. Mereka langsung mengetahui aku tomboy dari body language-ku. Meskipun aku sudah berdandan, pakai rok, hingga memakai sepatu cantik, tetap saja… bagi mereka tomboy adalah undeniable body language yang aku miliki. Agatha yang jadi feminim itu cuma perkara kadang-kadang. Sungguh, inikah gender-ku?
 Sewaktu aku kuliah dulu, dosenku pernah berkata bahwa gender itu tergantung pada budaya setempat. Aku menulis post ini setelah aku selesai membaca beberapa artikel dalam National Geographic edisi Januari 2017. Aku membayangkan seumpama aku terlahir di benua yang berbeda, negara yang berbeda, suku yang berbeda, mungkin saja saat ini aku sedang terapi hormon testosteron.
Sebagai anak yang terlahir di keluarga suku Jawa, gender adalah biner. Jadi perempuan atau laki-laki sudah ada panduan ajegnya yang disebut kodrat. Tidak boleh ditengah-tengah maupun menampilkan sifat-sifat yang berlawanan dengan gender lahirnya. Ketika aku versi ingusan menyatakan keinginan untuk mengendarai motor pembalap 200 cc untuk pergi ke Indomaret, memotong rambut seperti Ronan Keating di album solonya, dan lebih memilih memakai baju bergambar Dragon Ball dari pada Sailor Moon; aku dianggap mengalami kesalahan yang harus buru-buru diluruskan sebelum ‘kebacut’.
Being tomboy is forgiven. Karena perempuan tomboy tidak menyalahi kodratnya sebagai perempuan. Hanya penampilan saja yang lebih tidak feminim. Tapi perempuan tomboy tetap di tengah-tengah, meskipun termaafkan bukan berarti diterima. “Mbok ya pake rok toh… kan kamu cewek,”adalah sebuah anjuran yang lazim didengar perempuan tomboy.
Suatu hari aku memutuskan memangkas rambutku menjadi gaya pixie cut. Why? Because why not. Apa salahnya perempuan yang berambut cepak? Toh laki-laki juga banyak yang berambut panjang sampai dikuncir. Sebuah pikiran terselip di benakku, menunggu reaksi orang sekitarku terhadap rambut baruku. Secetek mereka bisa melihat kulit kepalaku dari kejauhan. Akhirnya, aku mendengar omongan seperti kamu-lebih-cantik-dengan-rambut-panjang. Tahu kan, kosakata cantik hanya dialamatkan bagi perempuan. Kalau sampai ada laki-laki yang dibilang cantik, berarti kosakatanya salah alamat. Sama kayak ganteng yang salah alamat kalau mampir ke perempuan.
Aku sampai pada titik di mana aku berpikir bahwa gender adalah konstruksi. Dalam budaya Jawa, khususnya di daerahku, cuma ada 2 konstruksi gender. Konstruksi gender biner ini mungkin tidak sama di daerah lain, misalnya di kalangan seniman Reog Ponorogo dan Bissu. Tapi aku bukan dari kalangan tersebut. Aku masih ingat betapa guruku semasa SD menyayangkan mayoritas perilaku siswi di kelasku yang cenderung brawokan (itu berarti juga aku termasuk siswi yang brawokan atau nggak bisa bertutur halus dan lemah lembut). Katanya, tidak sepantasnya anak perempuan seperti itu. Aku yakin, guruku tersebut, sama sepertiku. Dalam hidupnya, ia diceburkan dalam diskursus tentang peran biner laki-laki dan perempuan dari orok sampai bangkot. Ia mengalami masa belajar yang sama denganku tentang gender biner.
Akhirnya, aku mulai berpikir ulang, apakah aku menyesal memenuhi ekspektasi orang-orang disekitarku untuk menjadi sosok yang feminim dan menerima label tomboy? Mungkin tidak. Aku mungkin tidak tomboy, tidak juga feminim. Aku hanya memenuhi standardisasi ekspresi kedua kata tersebut. Secara sadar, aku selalu memilih baju apa yang aku ingin pakai, aku sadar aku bertindak bagaimana sebagai seorang individu. I’m not both. I am who I am. Aku tidak punya kosakata untuk menyebut diriku sesuai dengan kerumitan yang ada di kepalaku. Biarkan begitu saja… perempuan, sebagaimana aku terlihat dari kategori jenis kelamin, biarkan begitu.
Bahkan ketika nanti rambutku kembali panjang, itu tidak akan terjadi atas nama feminim, namun karena aku ingin membiarkannya panjang.
0 notes
feegur-blog · 7 years
Text
Daftar S2 Ilmu Komunikasi UGM: Nggak pake ribet!
First post on 2017!
Mari menulis yang berfaedah bagi kemaslahatan beberapa orang hehehe…
 Keberanian itu akhirnya muncul lho sodara-sodaraaa… keberanian untuk resign dan memilih sekolah tanpa ada pemasukan dana sama sekali. Memilih mlarat dari segi rekening tapi kaya ilmu… hehehe singkatnya kayak gitu deh.
Anyway, ini sudah menjelang semester kedua di program pascasarjana Ilmu Komunikasi UGM. Memilih daftar di UGM bukan tanpa alasan sebenarnya. Di tengah gencetan pekerjaan dan mimpi untuk kembali bersekolah, aku merasa nggak punya banyak waktu dan uang yang bisa disisihkan untuk daftar sekolah.
Saat masa pendaftaran program pasca, aku bisa membagi sistem penerimaan maba di berbagai universitas menjadi 2 sistem mayoritas. Sistem pertama, yang mengharuskan pendaftaran online, pengiriman berkas offline, dan wawancara di tempat. Sedangkan sistem kedua adalah pendaftaran online dan pengiriman berkas offline saja. Sebenarnya aku tidak menemukan sebuah sistem yang benar-benar online… seperti di negara tetangga.
Aku punya ekspektasi yang demikian juga bukan tanpa alasan. Sudah bukan wacana lama menjadikan sistem penerimaan maba menjadi online. Sekarang apa-apa online. Dulu jamanku SMA, hanya pengumuman nama-nama mahasiswa yang diterima saja yang dapat dilihat online. Sedangkan pendaftaran masih dilakukan secara kolektif melalui jalur offline. Setelah sekian tahun… aku harap ada dong ya kemajuan. Namun, nyatanya harapanku itu harus dikhianati oleh masalah ijazah palsu, dokumen palsu, ini palsu, itu palsu. Dengan merancang sistem pendaftaran maba yang semuanya online, tentu masalah palsu-palsuan ini masih sulit dibentengi. Yaweslah… sudah diikuti saja sistemnya.
Sebenarnya sempet iri juga sama Dwikyoga yang mendaftar kuliah di Iceland melalui jalur yang serba online. Enak gitu ribetnya di depan laptop bisa sambil garuk-garuk ketek, belum mandi, minum es teh (I didn’t say she did all of those things, those are my imagination lol)… oh forget it! Jadi…. Yaweslah… sudah diikuti saja sistemnya.
Ngomongin soal 2 sistem mayoritas penerimaan maba, aku cenderung memilih sistem yang kedua: pendaftaran online, pengiriman berkas offline, tanpa repot-repot harus datang ke universitas untuk wawancara. Percayalah, saat itu universitas ternama di pulau Jawa tidak ada yang mampu menyajikan sistem yang demikian kecuali Ilmu Komunikasi Fisipol UGM! I mean, I don’t know about other faculty, but Fisipol has this system. So, I go with them.
Sebagai gambaran sistem pendaftaran universitas yang lain, selain pendaftaran online, UI masih mewajibkan calon maba hadir di tempat-tempat yang ditunjuk untuk mengikuti SIMAK UI. Unair masih meminta calon maba hadir di universitas di tanggal yang ditentukan untuk mengikuti wawancara… sekaligus dengan membawa rancangan tesis setebal 10 halaman. Apalagi ya… Undip masih mewajibkan tes di universitas. UGM tidak mewajibkan calon mabanya untuk hadir di universitas guna mengisi lembar tes maupun wawancara.
Isn’t it cool for busy worker like me then?
Yep! That’s what I’m looking for.
Sebenarnya, kamu juga tetap masih bisa hadir di kampus untuk mengikuti tes, namanya tes PAPs (setara TPA) dan AcEPT (setara TOEFL, TOEP, dan/atau IELTS). Yah… kali-kali aja kamu nggak pede gitu kalau nggak ikut tes yang diadain UGM sendiri hehehe. FYI, UGM tidak memiliki tes khusus seperti SIMAK UI. Dalam syarat pendaftaran umum, UGM hanya meminta sertifikat TPA dari Bappenas atau HIMPSI ditambah sertifikat TOEFL/TOEP/IELTS. Kalau kamu sudah punya kedua sertifikat ini, maka kamu sudah bisa mendaftar program pascasarjana UGM secara umum.
Kayaknya masalah tes TPA dan Bahasa Inggris menjadi syarat yang online dan offline yang krusial gitu ya? Enggak kok! Universitas juga perlu tahu seluk beluk pengetahuanmu terkait dengan jurusan yang kamu pilih. Seperti mencari jodoh, ogah dong kalau salah pinang… Universitas juga males lah dapat mahasiswa yang nggak bisa ngejar materi perkuliahan lantaran dia jadi jaka-sembung-bawa-golok melulu kalau di kelas. Oleh karena itu, banyak universitas yang mengadakan tes wawancara. Ada pula yang sampai minta rancangan tesismu!
Unair adalah salah satu universitas bidikanku saat itu. Sayang, salah satu syarat mereka yang paling membuatku gentar adalah tes wawancara sambil membawa 10 halaman proposal tesis. I was like… shoot I don’t know what am I supposed to write or say! Ini bukan berarti aku cuma pengen sekolah tanpa tujuan yang jelas. Yes indeed I have an idea about my thesis, but I didn’t have enough time to articulate my mind and just write it down in 10 pages long! But wait… is it worthwhile?
Nope! Sedih hati ini ketika tahu kalau seumpama aku berjibaku mempersiapkan diri guna masuk Unair, yaitu dengan begadang bikin proposal (yang pasti ejaannya pun nggak akan genap), buang duit transport Jakarta-Surabaya-Jakarta, buang waktu juga… ternyata aku nggak mendapat sebuah tempat kuliah yang terakreditasi A. Come on…
Yaudah, coba tengok UGM lagi. Eehhh lhaaa ternyata dari jurusan tidak mewajibkan syarat tambahan yang repot semacam tes wawancara tatap muka langsung. Mereka hanya meminta calon maba untuk menuliskan esai (kalau nggak salah 1000 kata panjangnya) tentang fenomena komunikasi terkini. Lha kalau yang ini aku sanggup. Dicicil 300 kata per hari atau dikerjakan waktu weekend pun bisa. Masih disanggupin lah ya..
Bagiku, jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM menjawab semua kebutuhanku saat itu: daftar kuliah nggak pake acara keluar kota, serba online, syarat offline pun tinggal dipaketin lewat JNE yang berada di gedung tetangga. Plus… mereka sudah terakrediasi A. Cucok abis!
Singkat cerita, aku diterima di UGM. Setelah merasakan atmosfer di sana, baru aku tahu kalau mereka tengah giat dalam bidang IT. Tidak ketinggalan juga jurusan ilmu komunikasi. Semua bisa serba online gitu… pinjam sepeda kampus tinggal online, cek stok buku perpus tinggal online, ini itu tinggal online! Ohh.. ini toh sebabnya mereka bisa mengadakan sistem penerimaan maba yang lebih simpel dibanding universitas lain.
This could be a good step.
0 notes