Tumgik
#seringai
tianawritesagain · 8 months
Text
Lagu Kilometer Terakhir (Seringai) bisa diterjemahkan sebagai perjuangan seorang dalam menempuh suatu babak dalam hidupnya yang cukup berat. Orang ini telah sampai pada tahap terakhir babak ini dan mengerahkan seluruh semangat dan gairahnya agar perjuangan tersebut dapat diselesaikan dan ia dapat menjalani babak selanjutnya dalam kehidupannya.
0 notes
berisikradio · 10 months
Text
Seringai dan Burgerkill Tour Bersama untuk Pertama Kalinya!
Dua raksasa metal tanah air, Seringai dan Burgerkill, akan menggelar tur bersama pada pertengahan Juli 2023 ini. Dalam tur bertajuk High Octane Metal Engine (H.O.M.E) Tour tersebut, Seringai dan Burgerkill seakan mengumumkan mereka BERANI BERSUARA BESAR, serta berjanji untuk menguras adrenalin fans musik keras di wilayah Jawa Barat. Tur yang dipromotori oleh Rich Music ini sebenarnya adalah mimpi…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
naikkelasmedia · 2 years
Photo
Tumblr media
JogjaROCKarta Festival #5 / 2022 “Rock on Jeep” 24-25 September 2022 di Lanud Gading Wonosari, Yogyakarta. Line Up : Burgerkill Dead Squad Death Vomit Edane Jamrud Serigala Malam Seringai Superman Is Dead Prison of Blues The Hydrant Voice of Baceprot and many more Promoted by: @rajawaliindonesia ⠀ Official Broadcaster : @ikonserchannel ⠀ More Info : Instagram, Twitter, & Tiktok : @jogjarockartafestival Hotline : 08 222 666 4343 #JogjaROCKarta #JogjaROCKartaFestival #JogjaROCKarta2022 #JRF #Burgerkill #DeadSquad #DeathVomit #Edane #Jamrud #SerigalaMalam #Seringai #SupermanisDead #PrisonofBlues #TheHydrant #VoiceofBaceprot (at Special Region of Yogyakarta) https://www.instagram.com/p/CdfY0UTJ0_c/?igshid=NGJjMDIxMWI=
1 note · View note
amiramtrandares · 2 years
Photo
Tumblr media
"KILOMETER TERAKHIR" . . . #infiniteartdesign #vectorart #vectorindonesia #vector #art #motorcustom #melesatdijalan #kilometerterakhir #seringai (di Special Region of Yogyakarta) https://www.instagram.com/p/CdYCWZJhw9o/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
skyrettes · 2 months
Text
Dive Into You
Tumblr media
Genre: Fluff & smut
Words: 2.5K
Warnings: Pool sex, unprotected sex, teasing, fingering, nipple play, semi-public sex, talking about pregnancy.
Playlist: It's you by Zayn Malik
Alessia
Kesibukan pekerjaan agaknya menjadi momok yang nggak bisa gue ataupun Damian hindari hingga detik ini. Momen kita bersama hampir bisa dikatakan cukup singkat sebab kegiatan masing-masing yang amat padat. Gue bisa menghabiskan lebih dari dua puluh empat jam di rumah sakit lalu pulang hanya untuk singgah tidur, sedangkan Damian sibuk menjajahi berbagai sirkuit selama berbulan-bulan dan menetap selama beberapa hari lalu menghilang bak seperti rutinitas.
Hubungan ini tetap berjalan baik, bahkan jauh dari kata baik sebab gue sendiri merasa semua hal berjalan dengan semestinya. Awalnya gue khawatir hubungan ini nggak akan berjalan mulus seperti kebanyakan orang karena kita terlalu fokus dengan diri sendiri, tapi ternyata dugaan itu malah terjadi sebaliknya. Gue menemukan keseruan disana, kita menemukan keasikan menjalin hubungan ditengah kesibukan ini. Akan ada banyak stock cerita yang kita simpan untuk diceritakan pada masing-masing saat waktunya tiba, dan menurut gue itu adalah hal yang seru.
Hari ini Damian pulang. Seperti halnya seorang istri yang baik, gue akan membuatkan masakan kesukaannya, merapikan seisi rumah, lalu menyambutnya dengan hangat. Kalau boleh jujur, perasaan kangen yang menghantui gue selama dua minggu terakhir ini cukuplah menyiksa. Bahkan mendengarkan suaranya melalui telepon pun nggak mampu menghilangkan rasa kangen itu.
Senyum gue merekah ketika mendengar suara pintu yang terbuka. Kaki gue berjalan dengan penuh excited beserta senyum lebar saat sosoknya menatap gue bingung.
“Hai!” sapa gue dengan perasaan bersemangat disertai dada gue yang terasa begitu penuh saat wajah lelah dan seringai khasnya itu merontokkan rasa kangen ini.
Gue masih diam beberapa langkah di depannya sambil merentangkan kedua tangan dengan percaya diri. Dia terkekeh kecil sembari mengerutkan alisnya, mungkin merasa bingung sebab istrinya ini terlihat jauh lebih bersemangat daripada sebelum-sebelumnya.
“Are you okay?” tanyanya lalu mendekat untuk kemudian menarik tubuh ini masuk kedalam pelukan hangatnya.
Lega. Rasanya benar-benar lega seolah semua masalah gue bisa terselesaikan hanya dengan masuk ke dalam dekapannya. Jantung gue masih berdetak begitu cepat, sensasi excited yang timbul ketika melihatnya seperti tidak pernah hilang hingga detik ini. Bahkan pipi gue sering kali memerah tanpa sebab yang jelas ketika berada didekatnya. Gila, gue benar-benar udah gila karena cowok satu ini.
“Ini mah bukan kangen lagi namanya.” cibirnya kembali mengolok-olok gue karena masih terlalu gengsi untuk bilang kangen secara langsung.
Gue nggak tahu bagaimana mendeskripsikannya, tapi pelukan Damian adalah pelukan paling nyaman yang pernah gue rasakan. Lebaynya gue nggak akan bisa hidup tanpa pelukan ini untuk waktu yang lama. He's so comfortable, He has a warm chest, broad shoulders, soft touch and he smells good.
“Mau berdiri aja atau gimana?” tanyanya dengan nada lembut yang membuat gue semakin nggak ingin lepas dari pelukannya.
“Diam dulu, ini aku masih sharing energy sama badan kamu.” jawab gue asal yang kemudian mengundang gelak tawanya.
“Bisa gitu, ya?” Gue hanya mampu memberikan cengiran kecil lalu kemudian melepaskan tautan diantara kita.
Gue kembali mengikuti langkah kaki Damian menuju kamar untuk meletakkan beberapa barang-barangnya. Saat dia mulai sibuk mengeluarkan beberapa baju dari dalam kopernya, gue hanya berdiri tegap seperti anak kecil sambil menunggu sosoknya kembali mengalihkan atensinya pada gue.
Hari ini gue kenapa, ya? Iya, gue juga cukup bingung dengan sikap gue hari ini yang menjadi sangat manja dari sebelumnya. Gue cukup sadar akan rasa kangen ini, tapi gue nggak menyangka akanmenjadi bersikap clingy seperti ini.
“How's your day, sayang?” Pertanyaan sederhana itu hampir nggak pernah terlewat dia lontarkan setiap harinya. Hal simple yang menurut gue punya impact yang besar tanpa gue sadari.
“Aku hari ini cuma rapi-rapiin rumah, terus baca buku sebentar sama tadi tidur siang dua jam an. It was good, jarang-jarang juga aku bisa tidur siang.” jawab gue dengan mata yang masih sibuk menatap punggung lebarnya itu.
“Terus tadi sempat telepon sama Mama juga sebentar.”
“Oh, ya? How is she?” Damian kembali menutup kopernya lalu menyisihkannya ke sisi lain begitu barang-barangnya sudah kembali ke tempatnya masing-masing.
“Sehat kok, dua hari lalu udah aku cek gula darah, tensinya dan lain-lain, semuanya normal. Orangnya telepon nanyain mantunya udah pulang apa belum.” ujar gue yang membuat Damian langsung tertawa.
Damian berjalan untuk kemudian membuka pintu samping kamar yang membuat angin malam itu sukses menyapu kulit gue. Gue mengikuti langkah kakinya munuju luar kamar, lalu terdiam saat dia menepuk-nepuk pahanya, meminta gue untuk duduk diatas pangkuannya.
Damian
“Kamu mau berenang?”
Gue hampir terkekeh kecil begitu melihatnya mengalihkan pandangan ke arah kolam renang untuk mengabaikan instruksi gue. Gue nggak langsung menjawab pertanyaannya untuk mengamati gerak-gerik salah tingkahnya yang begitu lucu itu.
Masih sama. Ales nggak pernah benar-benar berubah sejak dulu, tingkahnya masih seperti anak kecil yang ajaib. Kadang membuat gue hilang kata-kata, atau sakit perut karena terlalu lama tertawa.
“Iya, habis ini sekalian mandi.” jawab gue lalu kemudian beranjak untuk duduk bergabung bersamanya di pinggiran kolam.
Ales adalah tipe orang yang cukup gengsi untuk mengungkapkan perasaannya, tapi dia selalu punya cara tersendiri supaya perasaannya itu bisa tersampaikan meskipun nggak melalui kata-kata secara langsung. Seperti hari ini contohnya, melihat dia excited ketika menyambut gue lalu memeluk gue dengan manja sudah cukup menggambarkan bagaimana perasaannya.
“Tapi airnya dingin, nanti kamu—” Tawa gue nggak tertahan begitu dia dengan reflek mengalihkan pandangan saat gue dengan jahil langsung membuka baju.
“Ihhhh, kan aku belum selesai ngomong!” serunya dengan wajah cemberut sambil sesekali melirik gue.
“Kenapa lihat ke arah lain? Masih malu lihat suami sendiri nggak pakai baju?” goda gue sambil mencolek dagunya.
“Nggak! Siapa juga yang malu?!” jawabnya sambil pura-pura berani menatap kearah gue. Pipinya tiba-tiba merona saat dengan iseng gue mengangkat alis kiri gue sembari tertawa.
“Apasih, nggak usah ketawa! Udah sana renang!”
“I'd love to.” jawab gue lalu dengan kecepatan kilat mencium bibirnya itu untuk kemudian masuk kedalam kolam.
***
Tentu saja Alessia tahu bahwa suaminya itu sangat-sangat jahil. Sifat yang dari dulu tidak pernah berubah dan sering kali membuatnya jengkel. Meskipun begitu, tak jarang sifat menyebalkan Damian yang satu itu sukses membuatnya tersipu malu, seperti saat ini contohnya.
Ia hanya mampu terdiam dengan tingkah laki-laki itu. Dalam hati ia ingin berteriak karena sudah dibuat salah tingkah seperti ini. Alessia berdehem singkat, kemudian memperhatikan Damian yang masih sibuk berenang kesana kemarin di kolam renang mereka. Ia sempat bergidik singkat karena air kolam yang terasa begitu dingin ini menyelimuti kakinya.
“Yan,” Alessia kembali bersuara saat laki-laki itu berenang menuju ketepian.
“Hmm?”
“Kayaknya aku telat datang bulan deh.” Gadis itu sempat ragu dengan asumsinya sendiri. Pasalnya memang benar jika sudah seminggu lebih tamunya itu belum datang. Awalnya ia berpikir jika semua itu disebabkan karena stress semata, tapi Alessia ingat jika kesibukannya akhir-akhir ini cukuplah normal.
“What does it mean?” tanya Damian dengan polos yang membuat Alessia pun tiba-tiba menjadi kikuk.
“Ya, telat. Biasanya kan siklus menstruasiku datangnya tepat waktu, tapi udah semingguan ini nggak dateng-dateng.” Damian berenang mendekat kearah Alessia dengan berbagai macam pertanyaan di kepalanya.
“Kamu hamil?” tanya laki-laki itu spontan yang membuat Alessia hampir tersedak air ludahnya sendiri.
“No! I mean, I don't know yet. But, what if I did?” ujarnya lemas yang membuat Damian malah tambah dibuat bingung.
“Come in.” ujar laki-laki itu yang langsung dibalas gelengan kuat oleh Alessia.
Mungkin Alessia pikir penolakannya barusan sudah cukup membuat Damian paham, tapi ia baru ingat jika Damian bukanlah Damian apabila keinginannya tidak terpenuhi.
Laki-laki itu menarik pinggang Alessia masuk kedalam kolam yang membuat istrinya itu memekik kaget.
“Yan!!”
“Kamu apaan sih! Dingin airnya!” seru Alessia dengan kedua tangan yang bertaut erat pada leher suaminya itu. Ia menatap Damian kesal lalu memukul dadanya yang malah mengundang senyum menyebalkan khas milik Damian.
Kini tubuh dan juga rambutnya basah kuyup, angin malam yang berhembus hari itu membuat air kolam yang sudah dingin bertambah dingin.
“Stay still.” ujar Damian sambil mengeratkan tautan tangannya pada pinggang istrinya itu.
"Nanti airnya nggak bakal dingin." ujar Damian yang membuat Alessia tidak bergerak. Tak lupa ia masih mengalungkan kedua tangannya pada leher Damian supaya dirinya tidak tenggelam karena tidak bisa berenang.
Alessia cukup dibuat kaget karena kata-kata Damian barusan benar adanya. Air yang membalut seluruh tubuhnya itu secara perlahan terasa lebih hangat menyesuaikan suhu tubuhnya.
“What if I'm pregnant?” tanya Alessia kembali.
Selama dua tahun menikah, obrolan tentang memiliki anak di antara mereka masih belum begitu sering. Bukan karena mereka tidak menginginkan hal itu, tapi dua tahun masih belum cukup bagi mereka untuk menghabiskan waktu hanya berdua. Damian dan Alessia masih ingin melanjutkan hubungan seperti halnya pacaran itu sedikit lebih lama.
“Then I'll be the luckiest husband in the world.” jawab Damian yang membuat Alessia pun langsung terdiam.
“Maaf ya?”
“Kenapa jadi minta maaf?” Damian mengusap pipi kanan istrinya itu saat tiba-tiba ekspresi murung menghiasi wajah cantik Alessia.
“Ya, aku nggak nyangka aja bakal secepat ini. Apalagi dari awal kita masih mau habisin waktu berdua dulu.”
Hati Damian pun sukses dibuat tersentuh. Laki-laki itu kembali tersenyum lalu memeluk Alessia kuat, mencium pipi dan juga bibirnya secara bergantian.
“But still, itu masih asumsiku aja. Aku nggak berani ngecek sendiri.” ujar Alessia.
“Nanti kita cek bareng-bareng.” tutur Damian yang dijawab berupa anggukan kecil oleh istrinya itu.
Untuk beberapa saat dua insan yang berpelukan erat itu hanya saling bertatapan. Berjalan perlahan menuju sisi lain kolam tanpa niat untuk melepaskan tautan di antara mereka.
"Aku nggak bohong soal I'm the luckiest husband in the world, because I am. Kalau kamu pikir aku nggak bahagia, kamu salah. I'm more than happy and grateful, Al. I swear to God." kata Damian yang entah mengapa membuat Alessia seperti ingin menangis.
"Me too, thank you, Yan." jawab Alessia dengan senyum lebarnya.
Tidak ada perasaan kecewa sedikitpun yang Damian rasakan. Mungkin berita yang disampaikan istrinya barusan masih belum tentu kebenarannya, tapi ia sangat bahagia. Dan mungkin ia akan menjadi orang paling bahagia di bumi ini jika istrinya itu benar-benar hamil.
“I think I wanna learn how to swim.” celetuk Alessia ketika tubuhnya jauh lebih relax setelah beberapa kali berjalan ke sisi-sisi kolam bersama Damian.
“I'll teach you.” jawab Damian sambil tersenyum tipis.
Damian brought the two of them closer to the edge, so she could hold onto the pool stairs. Alessia felt Damian's wet lips and tongue in her neck, causing her to moan his name.
“Wait—” Interupsi Alessia sambil menahan dada telanjang Damian supaya sedikit menjauh darinya.
“Yes?” Alessia menelan ludah susah payah saat tatapan Damian kembali menusuk ke arah matanya. Rasanya ia kini seperti seekor kelinci yang hendak diterkam singa yang lapar.
“Kalau misal ternyata aku nggak hamil gimana?” tanyanya kembali dengan khawatir.
Kemungkinan penyebab ia telat datang bulan tidak benar-benar condong pada satu hasil saja. Meskipun setengah bagian hatinya berharap ia hamil, tapi rasanya akan cukup sulit jika ia menerima hasil yang sebaliknya, apalagi pernikahan mereka sudah berjalan selama dua tahun dan mereka tidak benar-benar menggunakan pengaman saat berhubungan seks.
“I'll get you pregnant then.”
She whined softly, being sensitive to his touch. Alessia membekap mulutnya ketika suara tak senonoh itu lolos begitu saja dari bibirnya saat ciuman Damian di bagian lehernya menjadi brutal.
He's craving her all day long, and he deserves to get his meals. Damian mengarahkan tangan Alessia pada rambut laki-laki itu saat ia mulai bermain di sisi lain leher istrinya itu.
With the light of the moon, the stars and the burning torches it felt special. Alessia melingkarkan kakinya di pinggul Damian dengan erat ketika tangan laki-laki itu mulai menjarahi area lain tubuh Alessia.
He slipped his fingers between her legs, rubbing her clothed core, then slid her mini dress bottom to the side and slowly entered her pussy with his fingers.
“Ahhh…” Her fingers danced through his hair, drawing him in as a delicious wave of pleasure washed over her. Alessia found herself breathless, her body trembling with anticipation. Damian felt her growing intensity, his touch deepening as shivers ran down her spine.
Damian tersenyum menang saat melihat ekspresi wajah Alessia yang tidak karuan. Laki-laki itu menarik tengkuk istrinya untuk kemudian menyatukan bibir mereka. Damian mencium, menyesap bahkan menggigit bibir bawah Alessia tanpa ampun seolah tidak akan ada hari esok.
Alessia tried to stay quiet. Meskipun ia tahu tidak ada orang lain selain mereka berdua di rumah ini. Tapi tetap saja ia tidak ingin erangan menjijikkannya itu menggema di seluruh rumah mereka.
“Let me hear your voice, sayang.” His index finger trailing down in between her breasts, Alessia felt herself going insane. She couldn't help but let a moan slip from her lips.
“Damian…” Kepala Alessia terasa begitu penuh. She loves it, she loves every touch of Damian's hands all over her body. It's so overwhelmed that she couldn't think insanely.
“Nervous?”
She shook her head and met his eyes again, “No. Are we going to do this here?” tanya Alessia dengan nada polos yang membuat Damian tidak mampu menahan rasa gemasnya. Laki-laki itu mengangguk lalu kembali mencium bibir istrinya itu.
“Pool sex sounds so much interesting.” bisik Damian lalu menjilat telinga Alessia dengan sensual.
“Please…” ujar Alessia lirih yang membuat senyum miring Damian kembali terbit.
He was so goddamn cocky and she's begging did nothing to help that. Alessia couldn't help but think the smug look on his face would be there all night.
Damian pressed his wife firmly against the cool surface of the pool wall. A fleeting sensation brushed against her back, but lost in the intensity of the moment, it barely registered.
“Relax, sayang.” Damian kissed her cheek, her jawline, then stopped to nibble on the pulse point on her neck.
He undress himself and help her to unbutton her underwear. Tubuhnya yang setengah telanjang dan basah itu terlihat begitu sexy di mata Damian. His eyes went darker when Alessia grabbed his neck to kiss his lips.
She kissed him, then he kissed her back like he was about to eat her alive.
Alessia moaned as the both of you let out a guttural moan when he pushed himself deeper inside her hole. “Ahh, Damian…”
"Are you okay?" He rasped.
“I'm fine.”
She held onto Damian tightly, making him smile. He kept her close as they moved together. The water made things a little slow, but Damian enjoyed being close.
Alessia moans grew louder with every thrust, and she felt as if her bodies were colliding in the dance of pure desire under the moon's ethereal glow.
“Ahh, Damian I’m—”
Her big breasts bounced lightly, splashing the warm water on his chest. He took her right nipple in his mouth, giving it a harsh suck.
“Ahhh, no…”
Damian beralih pada sisi buah dada Alessia untuk dimainkan dengan lidahnya. He moved into her deep and hard, that makes her eyes rolling back out of pleasure.
“Dam— Ah…”
He nearly made Alessia scream with how hard he fucked her. The tears disguised by the pool water were enough to describe the pleasure that Alessia felt.
Damian looked down at her, his eyes filled with lust, watching her write underneath him. He shook his head, his pace increasing,
“Shit, I’m not gonna last much longer,” he grunted out another moan, cursing under his breath.
Damian kembali bergerak cepat mengikuti puncaknya yang hampir sampai. Gerakannya yang begitu lambat karena bertarung dengan air tak membuat laki-laki itu tertahan. He adjusted himself slightly, sending both of them over the edge as he buried himself deeper inside of her.
Only a minute later Alessia felt herself climax on his dick, sending herself into a heavenly headspace. Her body shook around him, her nails digging in his shoulders as she felt his cum over her womb.
Nafas mereka memburu, berebut untuk menyerap oksigen sebanyak-banyaknya setelah pertarungan penuh hasrat itu. Air kolam yang semula terasa dingin kini berganti menjadi panas sebab nafsu membara mereka.
Damian menggendong tubuh Alessia naik ke atas sebagai wujud usainya aktivitas panas mereka. Laki-laki itu menggendong sang istri ala bridal dengan kondisi tubuh mereka yang polos.
“Oh, God… What have we done…” ujar Alessia lirih sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah di antara leher suaminya itu.
“Having the hottest intellectual conversation with the hottest wife on earth.”
“Oh, shut up…” jawab Alessia yang membuat tawa Damian pun seketika meledak memenuhi kamar mereka.
12 notes · View notes
auliyasblog · 2 days
Text
Sekuat itukah aku? Hingga aku terus berjalan di atas runcingnya duri yang berjajar rapi.
Setangguh itukah aku? Hingga aku berlari tanpa berhenti di atas kobaran bara api?
Sasabar itukah aku? Hingga aku berdiam diri di tengah gempuran seringai kekecewaan?
Apakah ini ujian? Atau peringatan? Atau justru pelajaran?
4 notes · View notes
s-arina · 18 days
Text
King of Hell's Brithday (1,2)
Aku tahu ini sudah seminggu, namun setelah ini aku mungkin akan menghilang. bukan tanpa alasa, aku masih kuliah akan ada ujian dan aku mengikuti dua lomba kepenulisan. mungkin aku akan tetap upload dengan cerita yang pendek nanti. siapa tahu.
I know it's been a week, but after this I'll probably disappear. Not without reason, I'm still in college and there will be exams and I'm taking part in two writing competitions. Maybe I'll still upload short stories later. Who knows.
#############################################
Lucifer turun dari tangga dsambil mengoceh dengan seseorang dari telepon.
“Tidak Paimon! Tidak! Aku tidak perlu dilayani, aku bisa mengatasi diriku sendiri. ....... Apa?! ....... Argh, tolong jangan uji kesabaranku Paimon. Seperti yang aku katakan berkali-kali padamu selama puluhan atau mungkin ratusan tahun. Aku ... tidak memerlukan Goetia untuk mengurus keseharianku! ....... Ya, memang urusan Pride semakin banyak dan sulit sejak aku hadir lagi setelah absen acak. Tapi- ....... Paimon!”
Lucifer berhenti di area dimana mereka sedang berada karena tidak kuat lagi dengan stres yang harus dihadapi. Dirinya terlalu sibuk dengan pembicaraan telepon dengan Paimon dan beberapa urusan yang harus dilakukannya sebentar lagi hingga tidak menyadari kalau dirinya sedang ditonton oleh kru hazbin. Bahkan Sins yang melakukan panggilan video pun juga menonton setelah kamera di atur untuk menghadap ke arah King of Hell tersebut.
Namun, sedikit suara dari tawa mereka yang tertahan sudah cukup membuat Lucifer menoleh dan terkejut mendapati dirinya ditonton. “Ah wow ... Aku tidak tahu kalian ada disana.”
“Tidak apa-apa short king, sepertinya kau akan sangat sibuk ya,” ucap Angel Dust dengan postur dan kedipan genitnya. Lucifer hanya mendengus sambil berjalan mendekat ke arah mereka. “Ya, tentusaja … kalian tahu apa masalahnya-kan ... Hell, Sinner, Vees, Heavens, Rings dan ... Sins.” Saat mengucapkan Sins mata Lucifer menajam melihat layar telepon yang menampilkan keenam Sins dengan seringai masing-masing kecuali Belphegor yang sepertinya akan kembali tidur. Tapi dengan cepat melambaikan tangan dan menyapa mereka dengan riang.
“Hai teman-teman!”
“Hai” / “Hai Luci.”
“Aaaa... Luci-“ sebelum Mammon selesai Lucifer langsung menyelanya karena sudah menebak apa yang ada di pikiran sang Greed.  “Tidak Mammon! Tidak! Jika ini adalah masalah Fizzaroli lagi. Aku akan menumpuknya dengan dua kasus! kasus ini dengan kasus plagiatmu itu!”
“Hei! Kau tidak bisa melakukan itu!”
Lucifer mendengus, memutar mata sebelum berbicara lagi. “Oh, tentu aku bisa! Aku Hell of King sobat~ dan jangan kira aku tidak tahu semua penggelapan yang kau lakukan selama ini. Itu bisa menambahkan banyak hal dalam daftar tuntutanmu Mam.”
Mammon berusaha untuk membela dirinya lagi sebelum sebuah jari telunjuk bergoyang kepada layar telepon. “Jangan Jangan! Kau jangan melontarkan apapun untuk sekarang ini. Aku sedang tidak dalam mood yang bagus karena aku akan sangat sibuk. Jadi aku mohon maaf atas sikap kasarku, tapi jika kau masih bersikeras Mam. Aku terpaksa menggunakan otoritasku dan melakukan hal yang tidak adil untukmu dan ring-mu walau pun sebenarnya itu bukan gayaku. Juga! Jangan coba-coba mengungkit atau menggunakan hal-hal hak kehendak bebas karena aku juga punya hak dalam hal itu. Jadi, bisa dimengerti? Wahai teman baikku yang serakah?”
Saat Lucifer melakukan pidatonya, semua orang disana terdiam bahkan ada yang takjub melihat cara dia mengatasi Greed layaknya pemimpin. Bahkan mereka tidak menyangka saat Lucifer menyebutkan akan menggunakan otoritasnya sewenang-wenangnya, yang mana hal itu adalah hal yang tidak ingin Lucifer lakukan walau dia adalah Raja karena dia membiarkan kehendak bebas ada di Hell. Sedangkan Sin merasakan nostalgia yang terasa seakan sudah lama tidak mereka saksikan, kecuali Mammon yang menjadi lawan Lucifer tentunya.
“Kau bercanda kan?” -Mammon.
“Ya.” Lucifer berucap menggunakan wajah lugunya, seketika Kru Hazbin yang sedari tadi diam sekarang melotot dengan terkejut begitu pula dengan Sins. “Tapi-“ suaranya berubah menjadi berat senyum Lucifer ditarik dan lebih seperti seringai licik dan aura disekelilingnya sedikit menggelap yang dirasakan kru hazbin bahkan Sins bisa merasakannya di tempat masing-masing. “-Aku bisa melakukannya jika aku mau.”
Hening sekali lagi dalam beberapa menit. Setelah terlihat Mammon menyerah karena tidak bisa melawan Lucifer untuk saat ini. Saat itu pula para Sins meledak begitu pula dengan para kru hazbin.
“Itulah Raja Kita.” - Leviathan
“King of Hell telah kembali teman-teman!” - Beelzebub
“Bravo.” - Belphegor
“Aku pasti berhutang budi padamu Luci!” - Asmodeus
“Ha! Aku pikir kau akan membebaskannya.” – Satan
Lucifer menunduk pelan sebentar lalu menegakkan tubuhnya pada mereka seperti habis melakukan suatu pertunjukkan layaknya pemimpin sirkus.
“Apa-Apaan tadi itu?!.” – Husk
“Bocah Nakal!” – Nifty
“Wow ... Tadi itu panas.” – Angel Dust
“Aku hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.” – Cherry Bomb
Bahkan Paimon yang terlupakan pun tidak luput, terdengar suara tepukan dari telepon Lucifer sebelum ada pujian yang keluar. “Hebat sekali tuanku. Tadi adalah hal yang menakjubkan yang anda lakukan.”
Lucifer tersentak hampir panik mendengar teleponnya. Dia benar-benar melupakan Paimon dan bahkan sepertinya dia tidak sengaja menekan pengeras suara. “Aduh! Maaf Paimon. Aku lupa kita sedang dalam panggilan telepon.”
“Tidak apa-apa tuanku. Ini sepadan dengan apa yang telah terjadi tadi.” Meski begitu Lucifer merasa tidak enak karena telah mengabaikan Paimon. Namun sebelum pikirannya menjauh panggilan Charlie sudah cukup membuatnya fokus ke dunia. “Ayah.”
“Ya Char-Char?” 
Charlie agak merengut harus mengatakan pendapatnya atau tidak, tapi bukankah lebih baik mengetahui bagaimana tanggapannya dulu sebelum memutuskan harus melakukan apa agar menghindari hal yang tidak di inginkan. Berpegang pada itu Charlie dengan mantap meski terdengar ragu pun bersuara. “umm... Suatu saat, apa aku boleh merayakan ulang tahunmu?”
Bahunya merosot, Lucifer terlihat terkejut mendengar pertanyaan putrinya. Dia sudah mengatakan kalau itu bukan hal penting dari ketersitegangannya dengan Alastor dan di sinilah dia bersama putrinya yang meminta izin. Jika dirinya boleh jujur, Lucifer bertanya-tanya apa yang membuatnya kedalam topik itu. Dia tertawa untuk menghilangkan rasa canggung sebelum berkata, “Kenapa kau menanyakan itu Charlie? Itu bukanlah sesuatu yang penting untuk dilakukan. Jadi kau tidak perlu-“
“Tapi itu penting untukku!” Charlie sedikit berteriak untuk memotong Lucifer. “Ayah selalu menganggap penting hari ulang tahunku. Jadi setidaknya aku ingin melakukan hal yang serupa pada ulang tahun ayah.” Charlie mengambil  salah satu tangan lucifer yang bebas dan menggegamnya lembut. “Tolong.”
Lucifer tahu betul dia tidak bisa melawan Puppy Eyes milik Charlie, jadi dia memutuskan untuk melihat ke arah yang lain dan mendapatkan tanggapan yang sama. Tanggapan dalam bentuk tatapan tanpa gerakan dengan mengisyarakatkan untuk melakukannya. Lucifer berkonflik dengan pikiran dan hatinya, antara keengganan merayakan hari yang seharusnya spesial untuknya atau mengiyakan permintaan putrinya. Dia akhirnya menghela nafas kalah lalu mengangguk. “Baiklah.”
Charlie langsung melompat kegirangan dan memeluk ayahnya erat yang hampir menjatuhkan teleponnya dimana Paimon masih mendengarkan. Yang lain juga merasakan hal yang sama seperti Charlie. “Terimakasih! Terimakasih! Terimakasih! Jadi kapan harinya?” Charlie melepaskan pelukannya dan memegang bahu Lucifer, mata Puppy Eyesnya masih ada.
“4 hari kedepan.“ Lucifer meletakkan teleponnya dimeja yang sama dimana telepon yang digunakan untuk menghunungi Sins berada. Tidak ingin teleponnya jatuh karena hal konyol. “-dan sungguh, kebetulan yang luar biasa bahwa pengangkatanku sebagai raja adalah keesokannya.” Bagian ini dia mengucapkan dengan sedikit sarkas untuk dirinya sendiri. “Dan luar biasa juga aku masih mengingatnya,” kali ini adalah gumaman yang amat sangat pelan.
“Woah woah woah! Tunggu sebentar pak.” Cherry angkat bicara dengan tangan diangkat meminta waktu untuk mencerna informasi. Namun, sepertinya tidak hanya dia yang perlu waktu itu. “Apa kau ingin bilang kalau kau menyelenggarakan dua acara besar untukmu selama berturut-turut?!”
“Tidak. Aku berhenti merayakan Ulang Tahunku sebelum aku jatuh, dan perayaan pengangkatan adalah acara formal yang terpaksa harus aku adakan. Aku tidak pernah merayakannya secara sekaligus bahkan berhenti merayakan keduanya karena beberapa masalah.” Dan masalah itu sudah pasti tentang Lilith yang sudah umum untuk semua yang dalam zona mendengarkan itu. “Satu-satunya ulang tahun yang aku rayakan hanya hari peringatan pernikahan dan hari Charlie lahir. Jangan bertanya soal ulang tahun Lilith karena dia yang memutuskan untuk merayakannya atau tidak.” Lebih tepatnya jangan menanyakannya lebih lanjut atau itu akan mengirimkan gelombang kesedihan, kekecewaan, kemarahan, dan penyesalan yang berujung depresi bagi Pride dan akan mengacaukan jadwal sibuknya.
Lucifer menatap yang lain bahkan mendengar Paimon untuk menyadari mereka paham, dan itu suatu hal yang bagus untuknya. Mengambil ponselnya untuk memeriksa jam dia hampir melompat panik setelah memastikan dia tidak salah baca. “Sial! Maaf Char, aku harus pergi atau aku akan terlambat untuk Carmilla dan Zestial.”
Charlie mengangguk dan sebelum Lucifer berbalik dia menariknya dalam pelukan lainnya, kali ini itu lebih erat. “Jangan paksakan dirimu ayah.” Lucifer mengangguk dan membalas pelukan itu. “Baiklah.” Keduanya melapas pelukan itu dan saling menatap. “Aku mungkin akan sangat terlambat atau bisa saja tidur di istana. Jadi kau tidak perlu menungguku.” Charlie mengangguk dan hanya itu yang diperlukan untuk Lucifer berbalik dan sedikit menjauh, melanjutkan pembicaraannya dengan Paimon lalu menghilang dalam kabut spiral merah untuk berteleportasi.
“Dia akan memaksakan diri.” – Satan
“Pasti.” -Beelzebub
“Jika dia masuk rumah sakit Sloth karena itu maka aku akan memarahinya.” – Belphegor
“Tapiiiiiiii~” Charlie menyeringai bahagia namun terlihat licik secara bersamaan. “Dia bilang empat hari lagi kan? Itu sudah cukup untuk menyiapkan pesta~ Hehehe.”
“Oh wow ... Sayang....” Vaggie tidak bisa meneruskan apa yang ingin diucapkannya setelah melihat Charlie yang ini, entah kenapa dia memerah karena ini.
Angel Dust bersiul, “Jika kau seperti itu akan menegaskan kalau kau memang putri neraka, DollFace.”
“Mirip seperti ayahnya dan tidak perlu diragukan,” ucap Asmodeus yang diangguki Sins.
“Hehehe ... Terimakasih.” Charlie berhenti sebentar untuk menarik nafas dan berbicara dengan yang lain. “ Walau gagasan merayakan ulang tahun ayah adalah keegoisanku. Tapi aku ingin ini akan bermakna untuknya dan untukku dan ini juga merupakan kegiatan bagus untuk latihan ikatan untuk kita di hotel dan mungkin Sins juga ingin ikut ke dalamnya.”
Leviathan pun memutuskan untuk membalas. “Kami tahu bagaimana ini berhubungan. Tapi sepertinya kami akan menjadi tamu undangan karena pekerjaan. Itu jika kau mengundang kami Charlie.”
Mendengar itu Charlie tidak bisa menahan senyumnya, mau bagaimana pun Sins sudah seperti keluarga. “Kenapa tidak? Tentu saja aku mengundang kalian! Kita sudah seperti keluarga dan kalian semua juga boleh membawa teman untuk bergabung, tapi karena ini hanya pesta ulang tahun sederhana pastikan yang kalian undang tidak akan membuat siapapun terganggu.”
“Mengingat ini untuk Lucifer juga maka itu dapat dimengerti.” Ucap Mammon, meski sudah dipermalukan seperti itu terlihat tidak ada indikasi kemarahan padanya.
“Kalau begitu kau harus mengundang Paimon dan Stolas. Aku yakin mereka akan sangat senang untuk bergabung.” - Asmodeus
“Uh! Aku tidak sabar untuk pesta ini!” - Beelzebub
“Dan sebelum aku lupa atau terganggu lagi. Tolong rahasiakan ini.” Ucapan Charlie membuat Beelzebub memekik terlalu senang mengetahui rencananya. “Pesta kejutan?! Itu lebih baik lagi!!”
Sin hampir akan mengomeli sang Gluttony andai saja mereka tidak terlalu fokus dengan Charlie, sedangkan Putri Neraka itu sendiri hanya bisa tertawa geli melohat salah satu dosa. “Itu belum bagian hebohnya bibi.” Charlie menarik nafas sekali dan terdiam untuk bersiap memberitahukan rencana selanjutnya.
“Pestanya akan dilaksanakan di Istana Morningstar!”
“hah?” Hanya itu yang keluar sebelum keheningan melanda lagi dan selanjutnya adalah ledakan kekacauan. ”APA?!”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Lucifer descended the stairs while ranting to someone on the phone.
"No, Paimon! No! I don't need to be served, I can handle myself… What?!… Argh, please don't test my patience, Paimon. Like I've told you countless times over the decades or maybe hundreds of years. I… don't need Goetia to manage my daily life!… Yes, indeed, matters of Pride are getting more numerous and difficult since I've been back after a random absence. But-… Paimon!"
Lucifer stopped in the area where they were because he couldn't handle the stress anymore. He had been too engrossed in the phone conversation with Paimon and the tasks he had to do shortly, not realizing that he was being watched by the Hazbin crew. Even the Sins who were on a video call were watching after the camera was adjusted to face the King of Hell.
However, a suppressed chuckle was enough to make Lucifer turn and be surprised to find himself being watched. "Ah wow… I didn't know you were there."
"It's okay, short king, looks like you'll be very busy," Angel Dust said with his posture and flirtatious wink. Lucifer just snorted as he walked closer to them. "Well, of course… you know what the problem is… Hell, Sinner, Vees, Heavens, Rings and… Sins." As he said 'Sins', Lucifer's eyes sharpened, looking at the phone screen displaying the six Sins with their respective grins, except for Belphegor who seemed like he would go back to sleep. But quickly waving and greeting them cheerfully.
"Hi, guys!"
"Hi" / "Hi, Luci."
"Aaaa… Luci-" before Mammon finished, Lucifer cut him off because he guessed what was on Greed's mind. "No, Mammon! No! If this is about the Fizzaroli issue again. I'll stack it with two cases! this case with your plagiarism case!"
"Hey! You can't do that!"
Lucifer snorted, rolled his eyes before speaking again. "Oh, yes, I can! I'm the Hell of King, buddy~ and don't think I don't know all the embezzlement you've been doing all this time. That can add a lot to your list of charges, Mam."
Mammon tried to defend himself again before a finger wagged at the phone screen. "Don't! Don't you utter anything for now. I'm not in a good mood because I'll be very busy. So I apologize for my rough attitude, but if you persist, Mam, I'll have to use my authority and do unfair things to you and your ring even though it's not my style. Also! Don't try to mention or use free will stuff because I also have rights in that matter. So, understood? My dear greedy friend?"
As Lucifer delivered his speech, everyone there fell silent, some even amazed at how he handled Greed like a leader. Even they didn't expect when Lucifer mentioned using his authority arbitrarily, which was something Lucifer didn't want to do even though he was the King because he allowed free will to exist in Hell. Meanwhile, the Sin felt a sense of nostalgia that felt like it had been a long time since they saw it, except for Mammon, who was Lucifer's opponent, of course.
"Are you kidding?" - Mammon.
"Yes." Lucifer said with his innocent face, instantly the Hazbin crew who had been silent now widened their eyes in surprise, as did the Sins. "But-" his tone turned heavy, Lucifer's smile was pulled and more like a sly grin, and the aura around him darkened slightly, felt by the Hazbin crew and even the Sins could feel it in their respective places. "-I could do it if I wanted to."
Silence again for a few minutes. After Mammon seemed to give up because he couldn't fight Lucifer for now. It was then that the Sins exploded, as did the Hazbin crew.
"That's our King." - Leviathan "The King of Hell has returned, folks!" - Beelzebub "Bravo." - Belphegor "I owe you big time, Luci!" - Asmodeus "Ha! I thought you were going to let him go." - Satan
Lucifer bowed slightly before straightening up to them as if he had just performed a circus leader show.
"What was that all about?!" - Husk "Naughty boy!" - Nifty "Wow… That was hot." - Angel Dust "I can hardly believe what just happened." - Cherry Bomb
Even the forgotten Paimon did not escape; applause could be heard from Lucifer's phone before praise came out. "My lord, that was amazing what you did."
Lucifer was startled, almost panicked, hearing his phone. He completely forgot about Paimon and even seemed to accidentally press the speaker. "Oh! Sorry, Paimon. I forgot we were on a phone call."
"It's okay, my lord. It's worth what just happened." Nevertheless, Lucifer felt uncomfortable for neglecting Paimon. However, before his mind drifted away, Charlie's call was enough to refocus him on the world.
"Dad."
"Yes, Char-Char?"
Charlie frowned slightly, debating whether to state her opinion or not, but wouldn't it be better to know his reaction first before deciding what to do to avoid unwanted things. Holding onto that, Charlie firmly, albeit sounding hesitant, spoke up. "umm… Someday, can I celebrate your birthday?"
His shoulders slumped, Lucifer looked surprised to hear his daughter's question. He had already said that it wasn't important from his tension with Alastor, and here he was with his daughter asking for permission. If he were to be honest, Lucifer wondered what got her into that topic. He laughed to dispel the awkwardness before saying, "Why are you asking that, Charlie? It's not something important to do. So you don't have to-"
"But it's important to me!" Charlie slightly raised her voice to cut Lucifer off. "Dad always thinks my birthday is important. So at least I want to do something similar for your birthday." Charlie took one of Lucifer's free hands and held it gently. "Please."
Lucifer knew well he couldn't resist Charlie's Puppy Eyes, so he decided to look elsewhere and get the same response. The response in the form of a silent, motionless gaze suggesting to do it. Lucifer conflicted between his mind and his heart, between reluctance to celebrate a day that should be special for him or agreeing to his daughter's request. He finally sighed in defeat and nodded. "Alright."
Charlie immediately jumped for joy and hugged her father tightly, almost dropping her phone where Paimon was still listening. The others felt the same as Charlie. "Thank you! Thank you! Thank you! So when is it?" Charlie let go of her hug and held Lucifer's shoulder, her Puppy Eyes still there.
"In four days." Lucifer placed his phone on the same table where the phone used to contact the Sins was. He didn't want his phone to fall because of something ridiculous. "-and it's amazing coincidence that my coronation is the next day." He said this with a hint of sarcasm for himself. "
And it's also amazing that I still remember it," this time it was a very soft murmur.
"Whoa whoa whoa! Hold on a second, sir." Cherry spoke up with her hand raised, asking for time to digest the information. However, it seemed not only she needed that time. "Are you trying to say that you're holding two major events for yourself consecutively?!"
"No. I stopped celebrating my birthday before I fell, and the coronation celebration is a formal event that I'm forced to hold. I never celebrated them together, and I stopped celebrating both because of some issues." And those issues were certainly about Lilith, which were common knowledge to all those within earshot. "The only birthdays I've celebrated are the wedding anniversary and Charlie's birthday. Don't ask about Lilith's birthday because she decides whether to celebrate it or not." More accurately, don't ask further or it will send waves of sadness, disappointment, anger, and regret that lead to depression for Pride and will mess up his busy schedule.
Lucifer looked at the others, even hearing Paimon to realize they understood, and that was good for him. Taking his phone to check the time, he almost panicked after making sure he wasn't reading it wrong. "Damn it! Sorry, Char, I have to go or I'll be late for Carmilla and Zestial."
Charlie nodded, and before Lucifer turned around, she pulled him into another hug, this time tighter. "Don't push yourself, Dad." Lucifer nodded and returned the hug. "Okay." They released the hug and stared at each other. "I might be very late or might sleep at the palace. So you don't have to wait for me." Charlie nodded, and that was all Lucifer needed to turn around and step away a bit, continuing his conversation with Paimon before disappearing into a red spiral mist to teleport.
"He's going to push himself." - Satan "Definitely." - Beelzebub "If he ends up in the Sloth hospital because of it, then I'll scold him." - Belphegor
"Butiiiiii~" Charlie grinned happily but looked cunning at the same time. "He said it's in four days, right? That's enough to prepare a party~ Hehehe."
"Oh wow… Darling…." Vaggie couldn't continue what she wanted to say after seeing this Charlie, for some reason she blushed because of it.
Angel Dust whistled, "If you're like that, it'll confirm that you're indeed a daughter of hell, DollFace."
"Like father, like daughter and no doubt about it," said Asmodeus, nodded by the Sins.
"Hehehe… Thank you." Charlie paused for a moment to take a breath and speak to the others. "Even though the idea of ​​celebrating Dad's birthday is my selfishness. But I want this to be meaningful for him and for me, and it's also a good bonding activity for us at the hotel and maybe the Sins also want to get involved."
Leviathan decided to respond. "We know how this works. But it seems we'll be guests due to work. That's if you invite us, Charlie."
Hearing that, Charlie couldn't hold back her smile. Anyway, the Sins were like family. "Why not? Of course, I'll invite you! We're like family and all of you can also bring friends to join, but since this is just a simple birthday party, make sure who you invite won't bother anyone."
"Given that it's for Lucifer too, it's understandable." Said Mammon, even though he had been embarrassed like that, there seemed to be no indication of anger towards him.
"In that case, you should invite Paimon and Stolas. I'm sure they'd be thrilled to join." - Asmodeus "Uh! I can't wait for this party!" - Beelzebub
"And before I forget or get distracted again. Please keep this a secret." Charlie's statement made Beelzebub squeal too excitedly upon knowing her plan. "A surprise party?! That's even better!!"
Sin was almost about to scold the Gluttony if they weren't too focused on Charlie, while the Hell Princess herself could only laugh gleefully watching one of the sins. "That's not the exciting part yet, Auntie." Charlie took a deep breath and fell silent to prepare to tell the next plan. "The party will be held at Morningstar Palace!"
"huh?" That was all that came out before silence fell again and the next thing was chaos exploding. "WHAT?!"
#############################################
Aku lebih suka menggambarkan Dosa seperti keluarga tapi untuk Lucifer itu adalah saudara dengan Lucifer sebagai yang tertua. Kurasa itu cukup manis untuk mereka dan aku akan meluangkan ruang untuk memperlihatkannya.
I prefer to describe the Sins like family but for Lucifer it is brothers with Lucifer being the oldest. I think it's pretty sweet of them and I'll take the space to show it.
6 notes · View notes
cyaranide · 2 years
Text
meeting the parents
"liat tuh, yang lagi kasmaran."
jody mengangkat kepalanya dari deretan spreadsheet yang tersebar di atas meja, lalu memutar mengikuti ke arah ben menunjuk. di pojok kedai, samping dinding dan dekat pot tumbuhan kecil yang ucup dan ben dapatkan dari doorprize lomba 17-an, adalah dua pemuda tanggung yang sedang asyik berbicara.
atau lebih tepatnya; satu lagi berbicara, satu lagi mendengarkan dengan khidmat.
yang satu, piko namanya, dengan kacamata bertengger di hidungnya, sedang menceritakan sesuatu dengan bersemangat, tangannya melayangkan berbagai macam gestur dengan binar mata terang di balik lensanya. satu lagi, duduk di sebrang sang pemuda berkacamata, sedang melipat kedua lengannya di atas meja, tersenyum pada apapun yang dikatakan pemuda di hadapannya.
yang satu ini, kebetulan, adalah ucup.
"dapet dari mana ya si ucup," ben menggelengkan kepalanya dengan seringai tipis. "bisa bisanya. ampe heran gue, kok piko mau ama bocah tampilan begitu ye?"
"hus," kaki jody sontak menendang tulang kering ben, menatap sinis saat lelaki itu langsung terkesiap, terlonjak dan meringis dengan komikal. "ngomong baek dikit kek, anak lu itu."
"anak kita, jod."
ben masih setengah meringis, meloncat-loncat dengan satu kaki, tapi senyumnya makin melebar setelah dia berkata demikian. sedikit tengil, bangga, bahagia. ekspresi yang penampakannya bisa dihitung jari, dan semuanya diarahkan pada jody. senyuman yang sama saat kedai mereka pertama kali resmi dibuka; saat mereka pertama kali melihat kelulusan sma ucup; saat ucup, masih dengan seragam putih merahnya, mengubur wajahnya di celana ben dan pertama kali memanggilnya 'ayah'.
"dulu kita kek gitu juga ga ya?"
kedua pasang mata masih memandangi dua pemuda tanggung yang duduk di pojok meja, terlalu hanyut dalam gelembung mereka sendiri untuk menyadari atensi yang disasar padanya. piko, yang masih bersemangat menceritakan apapun yang berada dalam kepalanya, sesekali menyesap kopi yang disajikan sebelum kembali berceloteh. ucup, yang kali ini sudah menadahkan dagunya di atas telapak tangan, tidak juga mengalihkan matanya dari piko. gelas kopi di hadapannya sendiri nyaris tidak tersentuh, es yang mencair telah berubah jadi bulir dingin yang mengembun di permukaan plastik.
jody terkekeh. "si ucup makin mirip lu aja, gue liat."
ben langsung menolehkan kepalanya kembali, seolah tidak terima. "kagak ah anjir. lu liat tuh bocah? bibit bibit bucin tolol itu. mana ada gue kayak begitu."
"bucin, debatable. tolol, iya."
"kalo gue bucin lo juga sama ae bucinnya."
"mananya gue bucin?"
"nih ye biarpun lu kikir kek mampus, ini kedai kan lu yang bikin. tuh mesin kopi hadiah dari lu. itu baju dari gue beli grosiran masih ae lu pake."
"ya karena baju di lemari udah abis! nah kan jadi inget, siapa yang giliran nyuci minggu ini—"
"WOI, BAPAK BAPAK DI SANA!"
keduanya sontak menoleh kembali, kali ini dihadapkan pada pemandangan ucup yang nyengir terlalu lebar dan piko yang terlihat setengah panik, setengah mau nangis. ucup mengabaikan tangan piko yang berkali-kali menarik lengan bajunya, dan begitu perhatian kedua orang tuanya sudah diambil, ucup berteriak kembali. "PACARAN MULU LU PADA KEK ANAK SMA."
"ucup!"
piko meringis sambil menepuk pundak temannya, namun ada sekilas senyum di wajahnya, mati-matian menahan tawa. pemuda itu menoleh dengan senyum kikuk, tatapan yang seolah memohon, "maafin ucup ya." yang lucu juga, dipikir-pikir, saat mereka semua di sini juga tahu kalau ben dan jody sudah berhadapan dengan tingkah laku ucup selama 20 tahun dia hidup.
sehingga ben tidak ragu ragu membalas. "DARIPADA LU, GA PERNAH TUH PULANG KE RUMAH NGENALIN PACAR."
ucup menyoraki lagi, tidak terima, dan jody tidak perlu melihat dekat dekat untuk tahu bahwa pipi anak itu mungkin sedikit memerah. namun tidak luput dari perhatian mereka adalah suara tawa piko, yang memotong teriakan ucup yang nyaris keluar dari tenggorokan. tawa piko, yang kemudian disusul gerutu kecil ucup, dan kekehan ben di samping telinganya.
ben menggelengkan kepalanya kembali. "anak kita, jod."
jody tertawa, diakhiri dengan senyum tipis yang ditutupinya di balik tangan. namun dia tahu ben melihatnya—jody tahu, karena ben menatapnya dengan senyum lembut yang sama.
"anak kita, ben."
(jody pikir, hidupnya hanya akan berkutat dengan angka di atas kertas, dengan lembaran uang di tangan, dan beban yang akan selalu dipikulnya di pundak.)
(jody melihat ben, pada topi yang nyaris tidak pernah dilepasnya di luar rumah, diiringi seringai tengil yang memeta di wajahnya, seolah menjanjikan banyak hal. jody melihat ucup, mengingat kepalanya yang hanya mencapai paha jody, sebelum tingginya melesat nyaris setara dengan kedua ayahnya.)
(kalau jody di masa lalu dibilang kalau dia akan punya keluarga, mungkin dia tidak akan percaya.)
--
inspired by this. // versi sosmed au.
48 notes · View notes
dmyry · 10 months
Text
Cemburu
AzuSyah Fluff!
"Kenapa..?" Untuk kesekian kalinya Azuya menanyakan kata itu kepada kekasih prianya ini,ya kekasih pria. Ia menatap datar Roman yang sendari tadi tidak berhenti mendiaminya.
"Hmmph–" dan untuk kesekian kalinya Roman hanya bisa mengeluarkan suara itu dan tentu saja itu membuat seorang Azuya Surya yang biasanya ribut sekarang harus jadi orang penyabar. "Shhh..haahh..oke Roman,ini terakhir kalinya aku tanyakan..kenapa?" Azuya sudah tidak tahan.
Sudah sekitar hampir setengah harian Roman mendiaminya dan kalau ditanya ia akan selalu mengeluarkan dengusan kesal. Dan sekarang untuk terakhir kalinya Azuya mencoba menanyakannya kembali dengan suara super duper lembutnya dan pandangan memohonnya yang lelah,sekarang Azuya jadi putus asa,ia menunduk untuk menyembunyikan raut wajahnya nya itu.
Roman tersentak dengan perlakuan Azuya,sebenarnya ini hanya masalah sepele,namun sebagai pasangan kekasih yang baru saja saling mengungkap q minggu yang lalu tidak heran jika masalah kecil saja akan diperdebatkan.
Roman yang melihat wajah lelah dan putus asanya menjadi merasa bersalah,ia segera mengubah raut kesalnya menjadi sedih dan perlahan mendekati Azuya dan memeluknya perlahan membuat Azuya yang sedang menunduk pundung tersentak. Ia mengakat wajahnya dan melihat surai lembut kekasihnya yang bersender dibahunya.
Gantian,perasaannya jadi tidak enak sekarang. Azuya segera membalas memeluk dan mengusap surai dan punggung kecilnya. Sudah ia duga,beliau malah nangis. Aduhnahh lagi pms nih pasti.
"Hei..ada apa sih?..makanya kalau aku tanya dijawab,aku yang pundung kok kamu yang malah nangis" Azuya tertawa kecil dan meringis pelan kala bahunya digigit oleh Roman. Roman mengangkat wajahnya yang telah memerah basah oleh air mata.
Azuya yang tidak tahan merengek pelan dan mengubah posisi mereka menjadi Roman dipangkuannya berhadap-hadap an seraya ia peluk gemas sang kekasih. "Gemes banget sih!! Pacar siapa coba".
"Pake nanya" Azuya tertawa mendengar jawaban Roman. Azuya menangkup pipi penuh milik Roman dan memandangnya hangat. "Coba cerita..kenapa ngambekkan sampe setengah hari gak mau ngomong sama aku? Kan akunya jadi sedih didiemin" Azuya merengek ala OOC membuat Roman memandangnya dengan rasa bersalah.
"M-maaf..a-aku..cemburu" lirih Roman yang mau acara ngambekkan ini cerpat selesai langsung to the point. Azuya membelalak kaget tercengang dengan to the point si ayang. Kemudian tawanya menyusul dengan keras membuat Roman semakin memerah dibuatnya karna malu.
"AHahaha– kamu cemburu sama siapa heh?" Tanya Azuya kembali seraya mencoba menghentikan tawanya. "Euh…Di-dianna.." jujurnya kembali dengan wajah memerah. Azuya pun mencoba mengingat kejadian apa yang membuat Roman sampai ngembek sama dia.
Kemudian ia terinagt kejadian kemarin dimana ketika Dianna jatuh pingsan diacara minum teh ia segera membantunya dan saat itu tanpa sadar kepeduliannya kepada dianna menjadi nomor satu dan saat itu Roman juga ada disana dan tanpa sadar ia abaikan. Setelah mengingat itu Azuya menjadi merasa bersalah juga.
Perlahan Azuya menangkup mengangkat wajah Roman dan memandangnya dengan pandangan bersalah. "Maaf yaa.. kamu pasti sakit hati karna aku abaikan kemarin.." Azuya mengutarakan permohonan maafnya dan mencium dahi Roman pelan dengan kasih sayang. Roman yang mendapat hal manis itu kembali memerah tomat.
"A-anu.." ucapnya gagap. "Anu apa? Mau nganu?" Ucapan Azuya membuatnya mendapat jentikan keras didahinya. "BUKAN BODO sange mulu perasaan pikiran lu" sembur Roman kesal membuat Azuya tersenyum kaku dan melirihkan maaf lagi.
Setelah lumayan lama terdiam satu sama lain dengan peluk memeluk hangat tanpa ada percakapan Azuya kembali menangkut dan mengangkat wajah Roman dan dengan lembut mengecup bibir kecilnya itu.
"Jadi..aku dimaafin gak nih?" Tanya Azuya,membuat Roman yang masih ngeblank karna dicium pun gelagapan kembali. "Hmm? Kok gak dijawab..mau dicium lagi heh?" Goda Azuya deagn seringai nakalnya membuat Roman mengerang kesal membuat Azuya tertawa geli melihatnya.
"Ya..aku maafin" ucap Roman. "Hah!? Gak dengar" Azuya yang mempermainkannya membuat dirinya kesal. "Gak!" Bantahnya kesal. Azuya hanya bisa kembali tertawa,sudah cukup puas ia mempermainkan sang kekasih.
"Iya iya..makasih yaa~" ucapnya, dan segera membawa Roman keciuman lembutnya. Roman belum sempat memperoses dan akhirnya terbuai oleh ciuman lembutnya. Setelah puas mereka melepas tautannya dan saling memandang sejenak. Keduanya saling tersenyum dan memutuskan menghabiskan sisa malam diranjang dengan selimut dan tidur seraya berpelukkan satu sama lain menikmati kehangatan dan kasih sayang yang saling melindungi keduanya.
4 notes · View notes
arufikalam · 1 year
Text
-MAYA-
Tumblr media
Dinginnya malam, serasa menguliti ku hingga ke tulang. Begitu sampai kamar, kuhempaskan tubuhku di tempat pembaringan. Tujuanku adalah merebahkan diri, menghalau sedikit rasa payah yang menghampiri. Berharap segera terlelap. Namun nyatanya, lelah tubuhku justru tak menghentikanku mengingat masa lalu. Lalu, satu per satu darinya hadir, menyesakkan.
***
Di bangku sebuah taman yang tak jauh dari tempatku tinggal, aku duduk termenung. Menunggui seseorang yang aku tidak tahu kapan datangnya. Sebelumnya, kami berjanji temu pukul 3, tapi kali itu sudah lebih dari tiga puluh menit, orang yang aku tunggu belum muncul juga. Aku sebal, sebab tidak satu dua kali dia begitu.
Sesekali, kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Benda yang hampir tak pernah absen kupakai ketika aku pergi. Lalu, indera penglihatanku teralihkan dengan dua anak kecil yang saling berkejaran di lapangan basket yang ada tepat di sebelah taman. Riuh gema tawa mereka seakan mensyaratkan, tiada beban yang bersarang di pundaknya. Ceria sekali. Setidaknya begitu yang tersurat dari kacamataku.
“Lagi lihat apa sih? serius amat, sampai-sampai nggak sadar aku dateng.”
Aku terkejut dengan suara seseorang yang tiba-tiba ada disebelahku. “Astaga, bisa nggak sih nggak bikin kaget orang,"kataku memprotes perilakunya yang mengejutkanku. Dia tidak tahu bahwa ulahnya itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari ritme sebelumnya.
"Habisnya kamu diajak ngobrol pas aku dateng nggak nyaut, taunya ngelamun.” “Siapa yang ngelamun!.” Dia menunjuk ke arahku dengan dagu sambil tersenyum dengan seringai jahil yang seakan meledekku. Seperti, dia berhasil menebak sesuatu yang benar, sedangkan aku berkilah. Menyebalkan.
“Aku nggak ngelamun!,"ucapku dengan nada naik satu oktaf. Aku kesal. Teramat kesal. Pertama, karena dia terlambat datang. Kedua, dia membuatku kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Ketiga, dia meledekku.
"Bisa nggak sih kau hargai waktu orang sedikit. Tiap menit keterlambatanmu itu sama dengan waktu orang lain yang kau korbankan untuk menunggu,"sungutku. Raut mukanya berubah sendu, mungkin merasa bersalah. Seketika kami terdiam dan aku merasa tak enak hati dibuatnya.
"Oke oke, aku minta maaf. Sudah ya, jangan marah,"rayunya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan, tapi lebih baik tidak disini,"sambungnya.
***
Dua kursi berhadapan dengan satu meja sebagai pemisah keduanya, disudut dekat jendela sebuah kafe bernama Cendana adalah tempat yang kami pilih untuk melanjutkan obrolan. Lebih tepatnya, Fahmi yang ingin membicarakan suatu hal yang aku tidak tau apa itu. Setelah memesan beberapa menu di meja kasir, kami dipersilakan menunggu beberapa saat sampai menu di antarkan ke meja.
"Di,"suara Fahmi menyapaku, memecah hening diantara kami berdua. Aku yang tengah mengamati interior kafe itu seketika menoleh ke sumber suara, memusatkan perhatianku padanya.
"Ya?,"jawabku singkat.
"Setelah kelulusan nanti, aku akan berangkat ke Singapura,” ucapnya tanpa basa-basi.
Tunggu sebentar, apa maksudnya? Otakku masih belum selesai mencerna,“Aku diterima di Media, Arts and Design School, Singapore Polytechnic,"jelasnya sumringah. Aku melihat binar mata bahagianya. Tapi, mengapa aku merasa tidak sesenang itu mendengarnya?.
"Oh ya? Selamat ya,"ungkapku akhirnya, lalu aku terdiam mendengar semua tutur katanya. Dia menceritakan usahanya dengan begitu bangga, sampai pada saat dia diterima sebagai mahasiswa di kampus impiannya itu.
***
"Apa ini?,"tanyaku setelah mendapat sodoran amplop besar berwarna coklat.
"Brosur dan berkas pendaftaran UBAYA. Papa mau kamu ambil sekolah bisnis.”
“Aku ingin belajar sastra Pa, boleh tidak kalau aku….” Belum sempat kalimatku secara lengkap terucap, Papa menimpali,“Mau jadi apa kamu kalau masuk sastra? Sudahlah, ikuti saja saran papa,"tegas Papa tanpa mau dibantah.
Beberapa orang beruntung, tahu apa yang diinginkannya dalam hidup lalu bisa menjalaninya. Beberapa lainnya beruntung tahu apa yang diinginkannya dalam hidup tapi harus bersabar atas ketiadaan kesempatan menjalaninya. Keduanya sama-sama beruntung, bukan? Tapi aku, adalah contoh yang kedua. Lebih tepatnya, tidak lebih berani mengupayakan keinginan yang kupunya. Kata lainnya, aku pengecut.
***
Hari pertamaku menjadi mahasiswa jurusan Bisnis Internasional UBAYA, adalah menjadi hariku juga melepas kepergian Fahmi ke Singapura. Setelah kuliah pagiku selesai, aku bergegas menuju Juanda. Tempat yang akan menjadi saksi perpisahan kami berdua. 
"Gimana rasanya jadi mahasiswa jurusan bisnis?,"tanyanya memecah keheningan antara kami berdua. Aku yang duduk tepat di sebelahnya bergeming. Aku menunduk, memandangi jari jemariku yang bertaut diatas pangkuanku.
"No feeling good,"lirihku masih dengan tertunduk.
"It’s okay.” Fahmi merangkul dan menepuk-nepuk pundakku perlahan. Mungkin dia ingin menenangkan. Sebab dia tahu, pilihan itu tidak mudah kujalani, tidak seperti dirinya yang memilih pilihannya sendiri.
“Mari buat kesepakatan,"serunya tiba-tiba, sembari dia bangkit dari duduknya dan berpindah berdiri di hadapku, mengulurkan tanganku agar bisa kujabat.
"Kesepakatan? Apa?,"tanyaku tak mengerti.
"Saat kita berdua sudah lulus nanti, kita akan buat projek bersama. Kamu jadi konseptor bisnisnya, aku tim kreatifnya. Kita berkolaborasi.”
Aku saja tidak yakin, aku bisa menyelesaikannya atau tidak, pikirku. “Ya, bolehlah,"sambungku akhirnya.
"Saya Fahmi Fachriza Rudianto berjanji, akan segera kembali begitu saya lulus dan akan membuat bisnis bersama dengan kawan saya Diani Pratiwi,"ucapnya seraya mengangkat telapak tangannya serupa orang bersumpah.
"Ya, janji diterima, ku tunggu kau menepatinya,"ujarku malas-malasan, seolah tau bahwa janji itu hanya celotehan anak belia yang belum tau bagaimana kehidupan akan bekerja dengan sesungguhnya. Seakan meyakini bahwa janji itu akan berakhir sebagai gurauan belaka.
Sementara itu, pesawat yang akan ditumpangi Fahmi sebentar lagi akan lepas landas. Dia pun bersegera menyiapkan diri untuk check-in.
"Jaga dirimu baik-baik,"begitu pesannya sebelum meninggalkanku. Aku menatap kepergiannya sampai bayangan punggungnya menghilang. Aku melepaskannya pergi ke negara seberang untuk mengejar mimpinya. Sementara aku, mungkin harus berdamai lagi dengan pilihan yang sudah ditentukan.
Tak terasa air mataku menetes ketika bayangan-bayangan itu melintas dalam ingatan. Dan benar saja, kesepakatan yang dulu terucap antara aku dan dia, kini hanya terpintal menjadi kenangan belaka. Bahkan, setelah dua tahun kelulusan pun, tak ku tahu rimbanya dimana. Fahmi apa kabar? Aku rindu.
***
4 notes · View notes
fragmentosdebelem · 1 year
Photo
Tumblr media
Ed. Costa Leite, 1943 / Hippostcard
O Edifício Costa Leite construído em 1938 por Judah Levy e David Lopes foi destinado a ser um prédio comercial (1). O verso da foto acima traz o seguinte texto:
“11/8/43 Anne, This is the Edificio Costa Leite - where your Dee Dee works. My office is on [ilegível] 3rd. floor at the 1st window on the right. When I send you photograph cards will you let your mummy keep them. But the pictures cards of Indians are for you to keep with your pictures. Wish all my love. Your Dee Dee”.
A foto tem como destino o Estado do Alabama nos EUA. Um documento que relata a cronologia da fundação do Instituto Evandro Chagas (2) diz que o Ed. Costa Leite foi a primeira sede do Serviço Especial de Saúde Pública (SESP). O SESP agregava técnicos brasileiros e americanos para realização de obras de saneamento na cidade, decorrência dos Acordos de Washington.
Em fevereiro de 1947 O Liberal veicula uma mensagem da Rubber Developpment Co. agradecendo ao Governo do Pará pela cessão do edifício à empresa (3). Essa agência americana era responsável pela mobilização de trabalhadores do nordeste para o seringais da Amazônia. A mensagem no jornal coincide com a finalização dos Acordos de Washington, tratados de cooperação entre Brasil e EUA durante a 2ª Guerra Mundial (4).
O Edifício Costa Leite continua abrigando órgãos públicos estaduais.
1.  Modernização, inventividade e mimetismo na arquitetura residencial em Belém entre as décadas de 1930 e 1960 ~ Celma Chaves Pont Vidal (2008).
2. Linha do Tempo do Museu.
3. O Liberal de 10 de fevereiro de 1947
4. A Guerra no inferno verde ~ Carlos Pontes (2015)
6 notes · View notes
dstntflwr · 1 year
Text
The Princess of the Thorns (Part 08)
Tumblr media
“Yang Mulia, dengan penuh hormat–” Zelda meletakkan dahinya di atas kepalan tangannya, menepuk-nepuknya perlahan. “Pajak terlalu sedikit, para rakyat bisa-bisa tidak terkendali–” dia bersumpah, jika Mammon yang mempengaruhi keserakahan mereka–
“Kau terus membicarakan pajak, Menteri Keuangan,” akhirnya dia membuka suara. “Sayang sekali, pajak ini sudah menjadi ketetapan dari buyut, kakek, ayah, serta kakakku. Jika kau ingin protes, aku bisa mengirimmu pada mereka.”
Menteri itu menundukkan kepala, memerah.
Namun seorang lagi bicara. “Tapi, Yang Mulia, pajak memang seharusnya dinaikkan. Ini demi mengendalikan rakyat–”
“Pengendalian apa yang kau maksud?” tanyanya, dan dari sudut matanya, dia dapat melihat sosok berjubah hitam-kuning bersandar di pintu, menguap seolah dia terpaksa berada disini. Mammon. “Aku harap kau tahu kalau uang rakyat bukan pundi-pundimu.”
“Yang Mulia, saya tak berani–”
“Benarkah?” tanyanya. Mammon menunjuk dirinya sendiri, lalu memberinya gerakan memutar dengan tangannya. Makan. Zelda memutar matanya. “Kalau begitu katakan padaku pembangunan mendesak apa yang sedang kita lakukan hingga kita perlu menaikkan pajak?”
Mammon kembali menunjukkan gerakan meminta makan padanya. Biarkan saja dia kelaparan, Zelda kembali menggelengkan kepalanya. Jika Mammon berada disini, pasti ketamakan menteri-menterinya sudah berada di ambang batas.
“Tidak ada yang menjawab?” Semuanya hening. “Kasus ditutup.”
Dia dapat melihat Mammon membentuk wajah tak percaya, mengangkat kedua tangannya dengan kesal, lalu pergi.
“Yang Mulia,” panggil seseorang kembali. “Kami percaya bahwa anda sedang tidak di dalam keadaan yang stabil untuk mengurus kerajaan.” Zelda menatapnya tajam. “Kami percaya, itu mempengaruhimu.”
“Itu?” tanyanya balik. “Kau menyebut anakku, itu?”
“Saya tak berani, Yang Mulia.” Namun raja itu mengepalkan tangannya. “Tapi bukankah cukup ketika keberadaan putra mahkota sudah terjamin? Anda tidak perlu melakukan hal–”
“Tak senonoh?” tanya sebuah suara, dan Zelda melebarkan matanya. Dari ujung ruangan adalah Lucifer, dengan jubah merah Valleria, rambutnya turun hingga poninya menutupi dahinya. “Apa itu yang ingin kau katakan?”
Dia menatap suaminya tak percaya, seringai terbentuk di bibirnya. Sementara para menterinya terhenyak, terkejut ketika melihat orang asing yang tak pernah mereka lihat datang ke rapat internal mereka.
“Aku rasa kalian belum pernah bertemu dengannya,” ucap Zelda, tatapannya masih lurus ke depan, menatap iblis yang berada di karpet merah menuju singgasana. “Pangeran Agung Morgenstern. Suamiku.”
2 notes · View notes
berisikradio · 5 months
Text
M Bloc Gelar Konser Kemanusiaan Gaza dalam Tujuh Seri
 Enam belas artis dan band ternama Indonesia sepakat tampil profesional tanpa dibayar (pro bono) di tujuh seri Konser Kemanusiaan Untuk Gaza guna menggalang dana bagi para korban sipil agresi militer Israel di Palestina. Mereka adalah Efek Rumah Kaca, The Adams, Seringai, The Brandals, David Bayu, Danilla, Lomba Sihir, Endah N Rhesa, The Panturas, Kelompok Penerbang Roket, SORE, .Feast, Kunto…
Tumblr media
View On WordPress
3 notes · View notes
aksaratua · 2 years
Text
: delapan belas mei
aku ingin mengirimkan sepotong rembulan untukmu, Sya
dalam amplop cokelat yang kulipat rapat-rapat.
sebab aku tak ingin sekadar memberimu hadiah yang biasa
seperti lelaki baru jatuh cinta yang menganggap semua hal norak menjadi bahagia
aku ingin memberimu lebih
hal yang kelak akan kamu ingat sebagai sesuatu yang istimewa
—seperti kamu
kamu mungkin tidak pernah tahu seberapa megah keistimewaan yang kamu punya
seringai senyum sederhana yang membuat peliknya dunia menjadi baik-baik saja
lengking omelan yang menjadi pengingat bahwa hidup tak semudah mendongakkan kepala
atau sekadar belai lembut manja saat kamu jatuh dalam pelukku
duniaku yang beku menjadi hangat, —saat itu
kamu adalah keistimewaan yang tuhan berikan saat aku sedang teramat kesepian
menjadi pelipur bagi jiwaku yang hancur
menjadi penenang saat aku sedang sendirian
maka malam ini, izinkan aku mengirim sepotong rembulan untukmu, Sya
dalam amplop cokelat yang kulipat rapat-rapat
karena aku ingin memberimu hadiah yang istimewa
— aku dan segalanya
12 notes · View notes
renticat · 6 days
Text
𝐭𝐮𝐦𝐛𝐥𝐫 𝐢𝐬 𝐬𝐨𝐜𝐢𝐚𝐥 𝐦𝐞𝐝𝐢𝐚 𝐛𝐚𝐛𝐞.
𝐈 𝐟𝐨𝐫𝐠𝐨𝐭 𝐭𝐨 𝐭𝐞𝐥𝐥 𝐳𝐞𝐧 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐭𝐡𝐢𝐬 𝐭𝐮𝐦𝐛𝐥𝐫 𝐢𝐬 𝐬𝐨𝐜𝐢𝐚𝐥 𝐦𝐞𝐝𝐢𝐚. 𝐈 𝐦𝐞𝐚𝐧 𝐲𝐞𝐚𝐡 𝐢𝐭'𝐬 𝐦𝐨𝐫𝐞 𝐥𝐢𝐤𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐠, 𝐭𝐡𝐚𝐭'𝐬 𝐰𝐡𝐲 𝐢𝐭'𝐬 𝐩𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭 𝐟𝐨𝐫 𝐦𝐞 𝐰𝐡𝐨 𝐥𝐨𝐯𝐞𝐬 𝐭𝐨 𝐫𝐚𝐦𝐛𝐥𝐞 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐬𝐨𝐦𝐞𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐚𝐧𝐝 𝐭𝐡𝐞𝐧 𝐣𝐮𝐦𝐩 𝐭𝐨 𝐚𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐭𝐨𝐩𝐢𝐜 (𝐛𝐮𝐭 𝐦𝐨𝐬𝐭𝐥𝐲 𝐭𝐮𝐦𝐛𝐥𝐫 𝐰𝐡𝐢𝐜𝐡 𝐡𝐚𝐬 𝐬𝐨𝐨 𝐦𝐚𝐧𝐲 𝐟𝐨𝐥𝐥𝐨𝐰𝐞𝐫𝐬 𝐨𝐧𝐥𝐲 𝐩𝐨𝐬𝐭 𝐬𝐢𝐦𝐢𝐥𝐚𝐫 𝐭𝐨𝐩𝐢𝐜 𝐢𝐧 𝐨𝐧𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐠) 𝐚𝐧𝐝 𝐲𝐞𝐚𝐡 𝐦𝐢𝐧𝐞 𝐢𝐭'𝐬 𝐦𝐨𝐫𝐞 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐣𝐨𝐮𝐫𝐧𝐚𝐥𝐬 𝐚𝐧𝐝 𝐩𝐡𝐢𝐥𝐨𝐬𝐨𝐩𝐡𝐲 𝐬𝐡𝐢𝐭 (𝐈 𝐦𝐞𝐚𝐧 𝐈 𝐩𝐡𝐢𝐥𝐨𝐬𝐨𝐩𝐡𝐢𝐳𝐞 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐦𝐲 𝐥𝐢𝐟𝐞). 𝐓𝐡𝐞𝐫𝐞'𝐬 𝐬𝐨 𝐦𝐮𝐜𝐡 𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐰𝐞 𝐜𝐚𝐧 𝐥𝐞𝐚𝐫𝐧 ��𝐧 𝐩𝐚𝐢𝐧 𝐛𝐮𝐭 𝐭𝐡𝐞𝐧 𝐈 𝐟𝐞𝐞�� 𝐧𝐮𝐦𝐛 𝐚𝐧𝐝 𝐈 𝐰𝐫𝐢𝐭𝐞 𝐛𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐈 𝐦𝐢𝐬𝐬 𝐲𝐨𝐮, 𝐢𝐭'𝐬 𝐩𝐥𝐮𝐫𝐚𝐥 𝐲𝐨𝐮 𝐚𝐧𝐝 𝐥𝐢𝐤𝐞 𝐦𝐚𝐧𝐲 𝐩𝐞𝐨𝐩𝐥𝐞 𝐥𝐨𝐥(𝐨𝐟𝐜 𝐛𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐰𝐡𝐞𝐧 𝐭𝐡𝐞𝐲'𝐫𝐞 𝐛𝐲 𝐦𝐲 𝐬𝐢𝐝𝐞 𝐈 𝐝𝐨𝐧'𝐭 𝐡𝐚𝐯𝐞 𝐦𝐚𝐧𝐲 𝐭𝐢𝐦𝐞𝐬 𝐚𝐬 𝐰𝐞 𝐰𝐢𝐥𝐥 𝐝𝐚𝐧𝐜𝐞 𝐚𝐧𝐝 𝐤𝐢𝐬𝐬 𝐬𝐨 𝐦𝐮𝐜𝐡, 𝐟𝐢𝐠𝐡𝐭 , 𝐟𝐢𝐠𝐡𝐭, 𝐟𝐥𝐢𝐫𝐭 𝐛𝐮𝐭 𝐭𝐡𝐞𝐧 𝐲𝐨𝐮'𝐫𝐞 𝐠𝐨𝐧𝐞).
𝐃𝐢𝐝 𝐲𝐨𝐮 𝐬𝐭𝐢𝐥𝐥 𝐰𝐫𝐢𝐭𝐞 𝐚𝐧𝐲 𝐩𝐨𝐞𝐭𝐫𝐲 𝐭𝐡𝐨𝐮𝐠𝐡? 𝐈 𝐦𝐢𝐬𝐬 𝐭𝐡𝐞𝐦. 𝐈𝐧 𝐟𝐚𝐜𝐭 𝐈 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐚 𝐥𝐢𝐤𝐞 𝐲𝐨𝐮𝐫 𝐟𝐫𝐢𝐞𝐧𝐝𝐬'𝐬 𝐩𝐨𝐞𝐭𝐫𝐲 (𝐨𝐤𝐚𝐲 𝐬𝐨𝐫𝐫𝐲 𝐛𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐛𝐚𝐜𝐤 𝐭𝐡𝐞𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐛𝐥𝐨𝐠𝐬𝐩𝐨𝐭 𝐨𝐟 𝐲𝐨𝐮 𝐚𝐧𝐝 𝐲𝐨𝐮𝐫 𝐭𝐰𝐨 𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐟𝐫𝐢𝐞𝐧𝐝𝐬👭👬) 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐚 𝐜𝐚𝐩𝐭𝐮𝐫𝐞𝐝 𝐦𝐲 𝐡𝐞𝐚𝐫𝐭, 𝐞𝐬𝐩𝐞𝐜𝐢𝐚𝐥𝐥𝐲 𝐭𝐡𝐞 𝐩𝐨𝐞𝐦 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐣𝐮𝐦𝐩𝐢𝐧𝐠 𝐛𝐮𝐧𝐧𝐲.
𝐈 𝐥𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐭, 𝐰𝐢𝐬𝐡 𝐈 𝐜𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐫𝐞𝐚𝐝 𝐦𝐨𝐫𝐞 𝐨𝐟 𝐡𝐢𝐬 𝐩𝐨𝐞𝐦𝐬 𝐨𝐫 𝐲𝐨𝐮𝐫𝐬 (𝐰𝐞𝐥𝐥 𝐲𝐨𝐮 𝐤𝐢𝐧𝐝𝐚 𝐡𝐮𝐫𝐭 𝐦𝐞 𝐩𝐡𝐲𝐬𝐢𝐜𝐚𝐥𝐥𝐲 *𝐜𝐨𝐮𝐠𝐡* 𝐠𝐢𝐯𝐢𝐧𝐠 𝐦𝐞 𝐜𝐨𝐨𝐭𝐢𝐞𝐬 𝐬𝐨 𝐲𝐞𝐚𝐡 𝐢𝐭'𝐬 𝐲𝐨𝐮𝐫 𝐟𝐚𝐮𝐥𝐭 𝐲𝐨𝐮'𝐫𝐞 𝐧𝐨𝐭 𝐟𝐚𝐯𝐨𝐫𝐚𝐛𝐥𝐞 𝐢𝐧 𝐦𝐲 𝐡𝐞𝐚𝐫𝐭 𝐚𝐧𝐲𝐦𝐨𝐫𝐞 𝐥𝐨𝐥) 𝐚𝐥𝐬𝐨 𝐰𝐡𝐲 𝐝𝐨 𝐲𝐨𝐮 𝐬𝐚𝐲 𝐲𝐨𝐮 𝐥𝐢𝐤𝐞 𝐦𝐞 𝐰𝐡𝐞𝐧 𝐰𝐞'𝐫𝐞 𝐛𝐞𝐬𝐭 𝐚𝐬 𝐟𝐫𝐢𝐞𝐧𝐝𝐬 𝐰𝐡𝐨 𝐭𝐚𝐥𝐤𝐬 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐰𝐡𝐚𝐭 𝐞𝐱𝐚𝐜𝐭𝐥𝐲? 𝐬𝐞𝐞 𝐈 𝐝𝐨𝐧'𝐭 𝐬𝐞𝐞 𝐚𝐧𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐥𝐢𝐧𝐤 𝐛𝐞𝐭𝐰𝐞𝐞𝐧 𝐮𝐬 𝐛𝐮𝐭 𝐬𝐨𝐦𝐞𝐡𝐨𝐰 𝐢𝐭 𝐟𝐞𝐞𝐥𝐬 𝐠𝐫𝐞𝐚𝐭 𝐭𝐨 𝐡𝐚𝐯𝐞 𝐲𝐨𝐮 𝐛𝐲 𝐦𝐲 𝐬𝐢𝐝𝐞 𝐨𝐧𝐜𝐞 𝐢𝐧 𝐚 𝐫𝐞𝐝 𝐦𝐨𝐨𝐧.
𝐓𝐡𝐢𝐬 𝐢𝐬 𝐦𝐲 𝐩𝐨𝐞𝐦,
𝐅𝐨𝐫 𝐚𝐧𝐲𝐨𝐧𝐞 𝐥𝐨𝐥 𝐈 𝐦𝐚𝐝𝐞 𝐩𝐨𝐞𝐦 𝐟𝐨𝐫 𝐲𝐨𝐮 𝐛𝐚𝐜𝐤 𝐭𝐡𝐞𝐧 𝐈 𝐝𝐨𝐧'𝐭 𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐰𝐡𝐞𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐲𝐨𝐮 𝐟𝐮𝐜𝐤𝐢𝐧 𝐥𝐢𝐤𝐞 𝐢𝐭 𝐨𝐫 𝐧𝐨𝐭 𝐛𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐲𝐨𝐮 𝐦𝐨𝐬𝐭𝐥𝐲 𝐥𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐭𝐨 𝐦𝐞.
Kotak-kotak jendela terbuka menganga, menyapa, hangatnya nuansa menjaga, membuka seringai tawa dan bias cinta yang sekejap membuka mata lalu sirna
Mataku terpejam, terbuka, oleh keanggunan embun pagi menyergap dinginnya hati, kulihat kau terperangkap disana, mengerang kenikmatan, lembut sentuhan berganti kesakitan penantian, menyerang Mulut-mulut yang berucap manis, janji yang tak akan ditepati Pahit, kau menanti lalu menangis
Klise, melewati jendela-jendela penuh romansa dan dusta. Kakiku terhenti namun hatiku tak bisa berhenti menanti repetisi fluktuasi irama tubuhmu semanis peri-peri bunga yang mengecup dahiku lalu  terbang tinggi selucu ikan-ikan koi yang beradu mulut tadi Entah apa yang mereka bicarakan Cinta, dilema, benci Lama-lama juga sirna Sepertimu, tinggal bayangan berulang di kepalaku bagai kutukan yang tak bisa hilang Andai bisa kujilat wangi keanggunan dan kebusukan hatimu Mungkin bosan akan cepat menghampiri Tapi aku hanya terdiam Berjalan dan menikmati kotak-kotak jendela kenangan dari seberang terhalang tirai panjang dan kau dengan dirinya sekarang
𝐈𝐭'𝐬 𝐢𝐧 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚𝐧 𝐚𝐬 𝐦𝐲 𝐞𝐧𝐠𝐥𝐢𝐬𝐡 𝐰𝐞𝐥𝐥 𝐲𝐨𝐮 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐛𝐲 𝐲𝐨𝐮𝐫𝐬𝐞𝐥𝐟. 𝐈 𝐫𝐞𝐚𝐥𝐥𝐲 𝐡𝐚𝐭𝐞 𝐰𝐡𝐞𝐧 𝐲𝐨𝐮 𝐬𝐚𝐢𝐝 𝐲𝐨𝐮 𝐰𝐞𝐫𝐞 𝐬𝐭𝐮𝐩𝐢𝐝 𝐛𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐈 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐲𝐨𝐮 𝐬𝐚𝐢𝐝 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐭𝐨 𝐟𝐞𝐞𝐥 𝐛𝐞𝐭𝐭𝐞𝐫 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐲𝐨𝐮𝐫𝐬𝐞𝐥𝐟 𝐚𝐬 𝐲𝐨𝐮 𝐜𝐥𝐞𝐚𝐫𝐥𝐲 𝐧𝐨𝐭 𝐬𝐭𝐮𝐩𝐢𝐝. 𝐇𝐞𝐚𝐫𝐭𝐥𝐞𝐬𝐬 𝐰𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐝𝐞𝐬𝐜𝐫𝐢𝐛𝐞 𝐲𝐨𝐮 𝐛𝐞𝐭𝐭𝐞𝐫. *𝐫𝐮𝐧𝐧𝐧𝐧*
Tumblr media
𝐓𝐡𝐞𝐫𝐞'𝐬 𝐬𝐨 𝐦𝐚𝐧𝐲 𝐜𝐚𝐟𝐞 𝐡𝐞𝐫𝐞 𝐛𝐮𝐭 𝐲𝐞𝐚𝐡 𝐢𝐭'𝐬 𝐧𝐨𝐭 𝐩𝐫𝐢𝐜𝐞𝐲 𝐟𝐨𝐫 𝐲𝐨𝐮 𝐛𝐮𝐭 𝐦𝐞. 𝐆𝐨𝐬𝐡 𝐈 𝐫𝐞𝐦𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐲𝐨𝐮 𝐮𝐬𝐞𝐝 𝐭𝐨 𝐠𝐨 𝐛𝐮𝐭 𝐧𝐨𝐭 𝐡𝐞𝐫𝐞 𝐨𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐬𝐢𝐝𝐞 (𝐦𝐲 𝐬𝐢𝐝𝐞 𝐈 𝐰𝐚𝐥𝐤𝐬 𝐧𝐨𝐰) 𝐚𝐧𝐝 𝐲𝐞𝐚𝐡, 𝐲𝐨𝐮𝐫 𝐰𝐨𝐫𝐝𝐬 𝐲𝐨𝐮 𝐡𝐚𝐧𝐠𝐢𝐧𝐠 𝐨𝐮𝐭 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐲𝐨𝐮𝐫 𝐟𝐨𝐥𝐤𝐬 (𝐈 𝐝𝐨𝐧'𝐭 𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐭𝐡𝐞𝐦).
𝐈 𝐦𝐢𝐬𝐬 𝐡𝐚𝐧𝐠𝐢𝐧𝐠 𝐨𝐮𝐭 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐦𝐲 𝐟𝐨𝐥𝐤. 𝐎𝐧𝐥𝐲 𝐨𝐧𝐞, 𝐡𝐚𝐡𝐚𝐡𝐚 𝐛𝐮𝐭 𝐭𝐡𝐞𝐧 𝐬𝐡𝐞'𝐬 𝐠𝐨𝐧𝐞. 𝚃𝚑𝚎 𝚘𝚝𝚑𝚎𝚛 𝚏𝚘𝚕𝚔𝚜 𝚠𝚎 𝚓𝚞𝚜𝚝 𝚑𝚊𝚗𝚐𝚒𝚗𝚐 𝚘𝚞𝚝 𝚘𝚗 𝚌𝚑𝚊𝚝.
𝐈𝐭'𝐬 𝐬𝐨 𝐥𝐨𝐧𝐞𝐥𝐲 𝐭𝐡𝐨𝐮𝐠𝐡, 𝐰𝐢𝐬𝐡 𝐈 𝐜𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐩𝐮𝐧𝐜𝐡 𝐲𝐨𝐮. 𝐂𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐲𝐨𝐮'𝐫𝐞 𝐬𝐨 𝐚𝐧𝐧𝐨𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐚𝐧𝐝 𝐲𝐨𝐮 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐭𝐡𝐚𝐭.
𝐉𝐞𝐧𝐝𝐞𝐥𝐚 𝐡𝐚𝐭𝐢 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐛𝐮𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐮
𝐅𝐮𝐜𝐤 𝐧𝐞𝐯𝐞𝐫 𝐫𝐞𝐚𝐥𝐥𝐲 𝐬𝐩𝐨𝐤𝐞 𝐢𝐧 𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫𝐚𝐭𝐮𝐫𝐞 𝐦𝐚𝐧𝐧𝐞𝐫 𝐢𝐧 𝐦𝐲 𝐨𝐰𝐧 𝐦𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐥𝐚𝐧𝐠𝐮𝐚𝐠𝐞 𝐚𝐧𝐲𝐦𝐨𝐫𝐞, 𝐟𝐞𝐞𝐥𝐬 𝐬𝐨 𝐬𝐭𝐫𝐚𝐧𝐠𝐞. 𝐈'𝐯𝐞 𝐛𝐞𝐞𝐧 𝐝𝐢𝐬𝐭𝐚𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐦𝐲𝐬𝐞𝐥𝐟 𝐛𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐭𝐡𝐞𝐫𝐞'𝐬 𝐣𝐮𝐬𝐭 𝐩𝐚𝐫𝐭 𝐨𝐟 𝐦𝐞 𝐧𝐨 𝐦𝐚𝐭𝐭𝐞𝐫 𝐡𝐨𝐰 𝐡𝐚𝐫𝐝 𝐈 𝐭𝐫𝐢𝐞𝐝 𝐭𝐨 𝐭𝐚𝐥𝐤 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐢𝐭, 𝐭𝐡𝐞𝐲 𝐰𝐨𝐧'𝐭 𝐠𝐞𝐭 𝐢𝐭, 𝐰𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐧𝐨𝐭 𝐰𝐚𝐭 𝐧𝐨𝐭 𝐛𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐭𝐡𝐞𝐲 𝐜𝐚𝐧'𝐭. 𝐒𝐨 𝐈 𝐡𝐚𝐭𝐞 𝐢𝐭 𝐚𝐧𝐝 𝐣𝐮𝐬𝐭 𝐬𝐩𝐨𝐤𝐞 𝐢𝐧 𝐥𝐚𝐧𝐠𝐮𝐚𝐠𝐞 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐦𝐚𝐤𝐞𝐬 𝐦𝐞 𝐜𝐨𝐦𝐟𝐨𝐫𝐭𝐚𝐛𝐥𝐞 𝐛𝐞𝐜𝐚𝐮𝐬𝐞 𝐞𝐯𝐞𝐧 𝐦𝐲𝐬𝐞𝐥𝐟 𝐢𝐬 𝐬𝐨𝐦𝐞𝐰𝐡𝐚𝐭 𝐬𝐭𝐢𝐥𝐥 𝐧𝐨𝐭 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐜𝐥𝐨𝐬𝐞 𝐭𝐨 𝐢𝐭 𝐛𝐮𝐭 𝐧𝐨𝐰 𝐰𝐞'𝐫𝐞 𝐠𝐞𝐭𝐭𝐢𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐭𝐭𝐞𝐫 𝐚𝐧𝐝 𝐭𝐡𝐚𝐭'𝐬 𝐚𝐠𝐚𝐢𝐧 𝐈 𝐟𝐞𝐞𝐥 𝐭𝐡𝐞 𝐫𝐮𝐬𝐡 𝐭𝐨 𝐥𝐞𝐚𝐫𝐧 𝐚𝐧𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 𝐥𝐚𝐧𝐠𝐮𝐚𝐠𝐞 𝐬𝐨 𝐈 𝐜𝐚𝐧 𝐡𝐢𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐫𝐨𝐦 𝐦𝐲 𝐨𝐰𝐧 𝐦𝐢𝐧𝐝 (𝐰𝐡𝐞𝐧 𝐢𝐭'𝐬 𝐢𝐦𝐩𝐨𝐬𝐬𝐢𝐛𝐥𝐞 𝐨𝐟𝐜).
0 notes
ocombatenterondonia · 25 days
Text
Mercado de borracha natural deve alcançar R$ 123 bilhões até 2029
O mercado global de borracha natural está em crescimento, devendo faturar R$ 97,4 bilhões agora em 2024, e atingir R$ 123,8 bilhões até 2029. Essa tendência, impulsionada pela crescente demanda por essa matéria prima para indústrias que vão de pneus de automóveis e aviões, a luvas médicas, preservativos etc, entre outras, tem atraído a investimentos para o plantio de seringais. A seringueira,…
View On WordPress
0 notes