Tumgik
#Indonesian Terjemahan Lama
Text
Tumblr media
9 Bahwa orang dua baik dari pada seorang orang, karena sedaplah bagi mereka itu hasil pekerjaannya. 10 Maka jikalau jatuh, seorang dapat membangkitkan seorangnya; tetapi wai bagi dia yang seorang orang sahaja apabila ia jatuh, karena tiada jodohnya akan membangkitkan dia pula. 11 Demikianpun jikalau dua orang berbaring bersama-sama, maka tubuh keduanya bersuhu adanya, tetapi ia yang seorang orang bagaimana gerangan diberinya bersuhu tubuhnya. 12 Maka jikalau kiranya seorang orang dapat dialahkan, dua orang akan berdiri tetap juga dan tali yang tiga lembar itu tak suang-suang putus.
9 Two are better off than one, because together they can work more effectively. 10 If one of them falls down, the other can help him up. But if someone is alone and falls, it's just too bad, because there is no one to help him. 11 If it is cold, two can sleep together and stay warm, but how can you keep warm by yourself? 12 Two people can resist an attack that would defeat one person alone. A rope made of three cords is hard to break. — Ecclesiastes 4:9-12 | Indonesian Terjemahan Lama (IndLama) and Good News Translation (GNT) The Indonesian Terjemahan Lama Bible translation was converted automatically from data files made available by the Unbound Bible Project and Good News Translation® (Today’s English Version, Second Edition) © 1992 American Bible Society. All rights reserved. Cross References: 1 Kings 1:1; Ecclesiastes 4:8; Ecclesiastes 4:13
17 notes · View notes
mampirminum · 3 years
Text
Memoar Ben Anderson: Perihal Politik Bahasa, Alih-bahasa dan Bahasa Nasional
Ahli Asia Tenggara (khususnya Indonesia, Filipina dan Thailand) ini menyumbangkan banyak warisan pengetahuan sejarah, kebahasaan dan antropologi untuk kita. Dia meninggal Desember, 5 tahun lalu. 
Tumblr media
DI SEBUAH pertandingan lokal, hari itu Romelu Lukaku mendapat serangan rasis. Saat itu, ia masih berusia 11 tahun dan bermain di akademi Lierse. Para orang tua dari tim lawan berupaya agar Lukaku yang tinggi-besar dibanding sebayanya, tidak bermain. Salah seorang dari mereka bertanya, “Berapa umur anak ini? Mana KTP-mu? Darimana kau berasal?”
Lukaku membela diri. Dia mengambil tasnya dan menunjukkan KTP-nya ke semua orang tua. Mereka memeriksanya dengan seksama. Tentu saja Lukaku adalah warga Belgia. Dia lahir di Antwerpen. Pengalaman di-lain-kan itu memaksanya untuk belajar bahasa. Beberapa tahun setelahnya, penyerang yang saat ini membela Inter Milan itu menjadi polyglot. Lukaku menguasai tujuh bahasa.
Rasisme terus memburunya. Setiap kali Lukaku bermain buruk, ia diserang dengan ejekan: “Pesepakbola Belgia keturunan Kongo”. Dalam retrospektifnya, Lukaku yang dongkol mengatakan, “Jika kau tidak menyukai cara saya bermain, tidak apa-apa. Tapi saya lahir di sini. Saya dibesarkan di Antwerp, Liège, dan Brussel. Saya bermimpi bermain untuk Anderlecht. Saya bermimpi menjadi Vincent Kompany. Saya akan memulai kalimat dalam bahasa Prancis dan menyelesaikannya dalam bahasa Belanda, serta saya akan memasukkan beberapa bahasa Spanyol atau Portugis atau Swahili Kongo--didapat dari kedua orangtuanya yang lahir di Kongo, tergantung di lingkungan mana kami berada.”
Masalah ras pula, membuat Benedict Anderson risih ketika melakukan kerja-kerja lapangan di Indonesia. Berbeda dengan Lukaku, Ben merasa ditinggikan oleh orang-orang Jawa. Ia kurang sreg dengan panggilan “Tuan” dan kelakuan beberapa orang yang terkesan menunduk-nunduk hormat pada mahasiswa asing yang tak penting ini, semata-mata karena warna kulit. Oleh karena itu, Ben memperkenalkan sebutan “bule” bagi orang berkulit albino seperti dirinya. Sebutan yang kemudian digunakan dan dipopulerkan oleh penulis dan jurnalis Indonesia sejak tahun 1963.
Ben Anderson adalah seorang Indonesianis. Sejak 1960an, ia fokus dalam studi kajian wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Filipina, dan Thailand. Ben kerap menulis kajian sejarah, politik, dan kebahasaan. Salah satunya adalah catatan penting tentang pembunuhan massal di Indonesia tahun 1965-66, biasa disebut Cornell Paper (Anderson & McVey, 1971).
Ben Anderson juga polyglot, ia belajar hampir selusin bahasa. Sebagai peneliti yang berfokus pada kajian Asia Tenggara, Ben merasa perlu mengetahui bahasa ibu dari subyek-subyek yang akan ia cermati. Jika Lukaku menguasai banyak bahasa sebagai bentuk perlindungan diri, motivasi Ben ialah untuk wawancara penelitian. Namun, antara keduanya ada persamaan mendasar: sebagai pesepakbola dan peneliti yang kerap berpindah-pindah tempat, ada keperluan beradaptasi pada lingkungan baru.
Akan menjadi sukar jika tak memahami bahasa setempat. “Ketika kau mulai tinggal di sebuah negara yang bahasanya nyaris tak kau pahami sama sekali,” sebut Ben dalam memoarnya, “Kau akan merasa tercerabut secara linguistik, kesepian dan bahkan terkucil, dan kau akan mencari-cari sanak sebangsa untuk bergaul. ... Namun lantas, jika kau mujur, kau tembus tembok bahasa itu, dan mendapati diri berada di dunia lain. Kau seperti penjelajah, dan mencoba mencermati dan memikirkan semuanya dengan cara yang tak pernah kau lakukan di tempat asal.” (Benedict Anderson, Hidup di Luar Tempurung, 2016, hlm. 128). 
Bahasa dan Kuasa
Bagi Lukaku, bahasa adalah sarana bagi dirinya untuk menyatakan sikap politiknya terhadap rasisme. Dia takkan mampu ‘mengedukasi’ sebagian pendukung Cagliari dengan bahasa Inggris. Sedang orang-orang di pojokan Manchester emoh mendengar keluhan Lukaku, kalau ia ngoceh pake bahasa Prancis. Menjadi masuk akal kemudian, belajar bahasa, bukanlah semata-mata mempelajari sarana komunikasi linguistik. Melainkan juga mempelajari cara berpikir dan cara merasa dari suatu kelompok manusia yang bicara dan menulis dengan bahasa yang berbeda dengan kita. Berarti juga mempelajari sejarah dan budaya yang menjadi landasan pemikiran dan perasaan mereka, dan dengan demikian, belajar berempati pada si empunya bahasa.
Kombinasi empati dan rasa penasaran, bisa jadi, membuat kita bertungkus lumus mempelajari kuasa-kuasa yang membentuk bahasa menjadi sedemikian rupa. Sebuah laku perjuangan dalam melawan penyalahgunaan bahasa yang disebut George Orwell sebagai bentuk arkaisme sentimental. Mempermasalahkan kepercayaan bahwa sebuah bahasa adalah sesuatu yang tumbuh alamiah, dan bukan sebagai alat yang kita gunakan untuk memberi bentuk pada tujuan-tujuan kita (George Orwell, Politik dan Bahasa Inggris, 1946).
Belakangan, topik ini menjadi fokus Ben. Saripati pemikiran Ben Anderson tentang kekuasaan atas bahasa selanjutnya ditulis oleh Joss Wibisono dalam sebuah buku. Terbit Maret 2020, dengan judul: Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa. Sebelumnya, pada tahun 1990, Ben telah menerbitkan buku bertema sama, berjudul Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia.
Menurut Ben Anderson, ada tiga masalah serius dalam diskursus politik kebahasaan di Asia Tenggara. Pertama ialah ejaan; kedua, pengkultusan bahasa Inggris; dan ketiga, pengalihbahasaan--menyasar pula terhadap kualitas terjemahan yang, meniru ungkapan tersohor Rusdi Mathari, buruk saja belum.
Menjadi masalah besar karena secara tidak disadari, pengaruh politik yang mendominasi sebuah negara berkontribusi atas pemikiran si pengguna bahasa, yaitu masyarakat itu sendiri. Bisa berdampak pada keengganan mereka belajar sejarah, tak mau membaca teks-teks lawas, hingga melanggengkan budaya dan cara pikir kolonial—sebagian negara di Asia Tenggara bekas jajahan Eropa.
Pada 1972, Orde Baru—Joss Wibisono seringkali menyebutnya dengan orde bau (tanpa “r” dan tanpa pakai kapital)—mengganti ejaan Suwandi dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Penggantian ini, sebut Ben, adalah upaya politik Soeharto memberangus segala hal mengenai kebahasaan era Sukarno. Soeharto ingin menegaskan perbedaan antara Indonesia di bawah dirinya yang ‘lebih modern’ dengan Indonesia di masa sebelumnya yang ‘lebih jadul’. Lebih dari itu, ini menjadi upaya rezim untuk membujuk generasi muda agar tidak tertarik membaca buku-buku ejaan lama karena dianggap sulit dipahami.
Dengan menguasai bahasa, otomatis Orde Baru menguasai alam pikir masyarakatnya. Praktik eufemisme adalah gejala kekuasaan merumuskan bahasa. Eufemisme dipakai untuk memanipulasi kesadaran warga saat memandang dan menilai kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga tidak heran pada masa Orde Baru masyarakat cenderung statis, homogen dan hampir tidak pernah timbul gejolak sosial.
Pengaburan makna bahasa masih kerap kita jumpai, bahkan setelah dua dekade Orba tumbang. Coba perhatikan, polisi lebih memilih menggunakan frasa ‘diamankan’ ketimbang ‘ditangkap’ atau ‘diculik’ dalam wacana kebijakan teror pemerintah kepada warganya. ‘Relokasi’ dibanding ‘penggusuran’, ‘untuk kepentingan umum’ dibanding ‘kepentingan orang-orang kaya dan korporasi’.
Ben Anderson Emoh Lost In Translation
Selain penting untuk menjaga percakapan sebuah topik tetap hidup, menerjemahkan (harusnya) adalah tindakan politis. Membuat teks tertentu dapat diakses oleh pembaca tertentu dengan membawanya melintasi batas-batas linguistik, haruslah bertujuan. Terjemahan dapat digunakan sebagai instrumen dan medium kekuasaan, atau sebaliknya: gagasan politik alternatif yang, bisa saja, dianggap subversif oleh penguasa.
Tanpa terjemahan, aksi kolektif menjadi tidak mungkin. Semua potensi politik alternatif menghilang. ... Setiap pemberontak-gerakan oposisi harus melakukan penerjemahan dengan sangat baik, jika baik saja belum cukup. Sebagai jalan perjuangan, tidak mungkin melakukan gerakan politik tanpa praktek penerjemahan yang memadai (David Harvey, Spaces of Hope, 2000, hlm. 245).
Ben Anderson mengkritik pedas penyimpangan terjemahan yang, dinilai Ben, dilakukan secara sistematis oleh León María Guerrero. Ini Ben lakukan setelah ia membaca Noli Me Tángere (1887), karya Jose Rizal yang diterjemahkan oleh Guerrero ke dalam bahasa Amerika pada tahun 1950-an. Menurut Ben, terjemahan novel itu punya 7 penyimpangan, yakni; demodernisasi, penyingkiran peran pembaca, penghilangan bahasa Tagalog, pembuangan istilah atau adegan yang dianggap tidak senonoh, penyingkiran lokasi, penyingkiran unsur maupun faktor Eropa, dan yang terpenting: anakronisme. Inilah yang disebut Ben sebagai politik terjemahan (politics of translations). 
Seumur hidup, Ben selalu tergugah oleh sulit dan nikmatnya terjemahan. Faktanya, dari tahun 1966 hingga 2011, Ben Anderson menerbitkan sedikitnya 20 artikel di Jurnal Indonesia--pengecualian esai "The Languages of Indonesian Politics" yang diterbitkan pada edisi pertama (April 1966). Hampir semuanya adalah terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, ada pula terjemahan dari serat bahasa Jawa dan satu esai sejarah yang diterjemahkan dari bahasa Belanda. Terjemahan sastra yang paling menantang dan menarik dalam jurnal itu antara lain: “The Suluk Gatoloco” (1981-1982), “Djalan Sampoerna” karya Soetjipto (2006-2007), cerpen Eka Kurniawan "Corat-Coret di Toilet" (Graffiti di Toilet) (2008), "Jimat Sero" (The Otter Amulet) (2010) dan sebuah cerita pendek gubahan Pramoedya Ananta Toer berjudul "Dendam" (Revenge) yang pertama kali diterbitkan dalam kumpulan cerpen “Subuh, Tjerita-Tjerita Pendek Revolusi” (Daybreak, revolutionary short stories) (1950).
Bagi Ben, penerjemahan adalah semacam seni. Bukan sekedar pengalihbahasaan, menerjemahkan adalah menangkap gagasan pengarang asli. Penerjemah perlu memproduksi pesan melalui seleksi ketat setiap padanan kata bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Di sinilah pentingnya memahami hal-hal yang, bisa jadi, berkaitan dengan budaya asal pengarang asli, gaya pengarang asli, dan kekhasan sebuah bahasa.
Bergulat dengan bahasa baru, kata Ben Anderson, sangatlah bagus untuk melatih diri melakukan komparasi yang serius, sebab kata-kata asing tidak langsung dengan apik terterjemahkan secara otomatis ke dalam bahasa yang ada di benakmu. 
“Indonesia, misalnya, punya kata ‘gurih’ untuk menyebut rasa nasi (‘deliciously pungent’ menurut sebuah kamus). Bila kau berasal dari Inggris, kau lantas mulai menyadari bahwa rasa nasi tidak bisa dijabarkan oleh satu kata Inggris tertentu. ... Hal yang juga berlaku untuk konsep. Bahasa Jawa punya kata longan, untuk menyebut ruang kosong di bawah kursi atau ranjang, yang tidak dimiliki bahasa Inggris,” tulis Ben (2016: 129).
Setiap kali menerjemahkan, Ben selalu menaburkan banyak catatan kaki dan menyisipkan catatan penerjemah untuk menjelaskan soal definisi, idiom, ungkapan dan/atau informasi sejarah dan budaya suatu tempat yang dianggap asing oleh sasaran pembaca. Dalam “Revenge” karya Pram, ada 37 catatan kaki yang dibuat oleh Ben (Ramon Guillermo, “He was a translator”: Benedict Anderson, Translation and Cosmopolitanism, 2017). 
Kerewelan Ben dalam penerjemahan juga terjadi pada bukunya yang legendaris: Imagined Communities. Diceritakan, Ben tak sreg dengan terbitan pertama terjemahan bahasa Indonesia yang berjudul “Komunitas-komunitas Imajiner: Renungan tentang Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme”, terbitan Pustaka Pelajar dan Insist Press, 1999. Dia melihat banyak kekeliruan definisi di dalamnya.
Dari terjemahan Intan Naomi tersebut, Ben menyadari bahwa banyak konsep dan kejadian dalam sejarah dunia tidak dikenal oleh mahasiswa (dan sarjana) Indonesia. Terjadi lost In translation. Oleh karena itu, Ben memutuskan untuk menerjemahkan sendiri Imagined Communities, dan menambahkan catatan kaki yang ditujukan untuk pembaca Indonesia—catatan kaki yang jumlahnya lebih banyak dari catatan kaki dalam Bahasa Inggris. (Terjemahan bahasa Indonesia suntingan Ben ini diberi judul “Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang”. Dicetak (ulang) oleh Pustaka Pelajar dan Insist Press pada 2001).
Bahasa Nasional dan Obsesi Globalisasi
Pada tanggal 4 Maret 1999, Ben Anderson hadir pada ulang tahun Tempo yang ke 28 dan berpidato tentang nasionalisme. “Nasionalisme bukanlah sebagai “kejayaan nenek moyang yang begitu agung” dan tak bisa diotak-atik lagi, melainkan lebih kepada sebuah proyek bersama (common project) untuk kini dan di masa depan,” ucap guru besar Universitas Cornell di New York, Amerika Serikat tersebut di Hotel Borobudur, Jakarta.
Proyek nasional yang bisa kita kerjakan kini, salah satu usul Ben adalah membebaskan bahasa Indonesia, bahasa nasional kita, dari belenggu Hukum Pidana Kebudayaan yang dijuluki Soeharto cs sebagai “bahasa yang baik dan benar”. Ben menggugat EYD sebagai ejaan yang membosankan bukan kepalang, kaku, tanpa mutu, penuh dusta dan serba seragam. Setali tiga uang, Ben sekaligus mengusulkan kita untuk membebaskan diri sendiri untuk memakai bahasa atau ejaan apa saja yang cocok dengan pribadi-pribadi kita, maksud-maksud kita, dan pergaulan-pergaulan kita masing-masing. 
Namun, alih-alih memulai proyek nasional dengan mempelajarinya, tak banyak orang punya kebanggaan pada bahasa Indonesia. Bahasa sendiri dianggap lebih rendah daripada bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Pejabat pemerintahan, anggota DPR, atau tokoh masyarakat seringkali memakai bahasa “gado-gado” dalam komunikasi publiknya. Padahal, seharusnya merekalah suri teladan pengguna terbaik bahasa kita.
Saat pandemi COVID-19, pemerintah rezim Jokowi menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris. Tentu saja istilah-istilah itu asing bagi sebagian kalangan masyarakat. Belakangan, mereka memakai padanan dalam bahasa Indonesia; ‘kebiasaan baru’ menggantikan ‘new normal’, ‘hindari kerumunan’ menggantikan ‘social distancing’, ‘uji usap’ menggantikan ‘swab test’ dan sebagainya.
Tak hanya pejabat negara, para penggiat literasi Indonesia pun masih malu menggunakan bahasa sendiri. Sebutlah Indonesia International Book Fair (IIBF), Jogja Literary Festival (JLF) dan Jakarta International Literary Festival (JILF) yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kenapa tak memakai bahasa Indonesia: Pameran Buku Indonesia, Festival Literasi Jogja dan Festival Literasi Jakarta?
Alih-alih menunjukkan kelas dan keakbaran acara tersebut, penempatan label ‘internasional’ malah secara gamblang memperlihatkan cara berpikir yang masih mengikuti negara tuan, sebut Anindita S. Thayf dalam esainya, Para pegiat literasi keminggris ini, tulis Anindita, selain terlena oleh iming-iming prestise dan naik kelas, mereka punya obsesi yang membabi-buta pada globalisasi.
Dan ‘globalisasi’ jenis ini yang ditentang oleh Ben Anderson. Ben melihat fenomena keminggris ini di lingkungan akademis. Makin banyak peneliti yang merasa harus menerbitkan penelitian dalam bahasa Inggris-Amrik. Hal yang lumrah asalkan tidak memengaruhi kesadaran kita. Tapi dampaknya, kata Ben, adalah makin lama makin banyak peneliti di berbagai negara yang berbeda merasa bahwa bila mereka tidak menulis dalam bahasa Inggris-Amrik, mereka tidak akan dikenal secara internasional. Dan pada saat yang sama cendekiawan Amerika sendiri makin malas mempelajari bahasa asing, kecuali mereka yang harus melakukan kerja lapangan. 
Di lain sisi, Ben Anderson juga memperingatkan bahwa nasionalisme bikin kau cupet jika kau malas mempelajari bahasa asing. Seperti katak yang mendekam dalam tempurung yang kelam. “Nasionalisme dan globalisasi memang punya kecenderungan untuk membatasi pandangan kita dan menyederhanakan perkara,” tulisnya.
Sebelum meninggal pada 13 Desember di Kota Batu lima tahun silam, Ben memberi satu pedoman agar kita hidup di luar tempurung: “Itu sebabnya yang kian diperlukan adalah percampuran serius dan canggih dari kemungkinan-kemungkinan emansipatif nasionalisme dan internasionalisme.” (2016: 197).
1 note · View note
nanasungu-blog · 6 years
Text
RHSI [Yuudachi no Ribon (Indonesian Translyric)]
Tumblr media
Sumber gambar
Judul : 夕立のりぼん (Yuudachi no Ribon / Ribbon of the Evening Shower) >> Rinai Hujan Sore Itu
Vokal : MAYU
Produser : Mikito-P (musik dan lirik)
Tautan PV : NND | YT
Off-vocal : Mastered | No Mastering
Translirik didasarkan dari terjemahan bahasa Inggris oleh descentsubs @ YT (kunjungi di sini). Thank you for subbing this beautiful song for us!! 
Translirik ini ditulis berdasarkan hasil pengolahan terjemahan Bahasa Inggris yang sumbernya telah disebutkan dan diterbitkan di internet untuk keperluan hiburan semata dan bukan untuk kepentingan komersial. Dapat digunakan secara bebas dengan mencantumkan credit / pengutipan.
Mari bernyanyi bersama!
Tiba-tiba hujan sore hari menghampiri Berlari kita berteduh di bawah rintik Kedua napas memburu mengejar Debarnya terus menggema Menjamah dinginnya bajumu yang menerawang Begitu sukarnya saling samakan tatap Bibirku juga bibirmu kini tiada berjarak lagi Aku ingin menyimpan rahasia, “akan kukunci mulutku” Berulang kali semenjak hari itu terus terbayang dalam batinku Kuingin sentuhanmu yang membuatku lupa Tak ingin kuingat sakitnya masa lalu Karena ‘sehat’ dan ‘sesat’ tak lagi jauh berbeda menurut akalku Terkilas waktu yang kekal Di tengah gerimis yang menderas, berbisik ungkapan asmara Saat itu juga hancurlah persahabatan yang terjalin sejak lama Pulanglah bersamaku, dipayung renjana! Kedua napas memburu mengejar, debarnya saling berbalas Bibirku juga bibirmu kini tiada berjarak lagi Di tengah gerimis yang menderas kucoba tuk abaikan semua Beserta kerling mata dan senyumanmu yang seolah tiada berdosa Aku ingin menyimpan rahasia, “akan kukunci mulutku” Berulang kali semenjak hari itu terus terbayang dalam batinku
Rinai hujan di sore itu...
Catatan :
Karena tidak ada yang dicetak tebal, jadi dinyanyikannya sesuai dengan apa yang tertulis yaa~ Bisa ikutin guide-nya di atas tadi walaupun gaje uhh~
Translyricist notes (boleh diabaikan haha) :
Nampaknya daku begitu mencintai Mikito-P... *tersipu malu* *digebuk* Ohiya THIS IS MORE INTENSE THAN MY HIGH SCHOOL ROMANCE *HA*
Jadi according to Sang Tjintah yang rikues translirik, ini lagunya tentang anu. Anu itu apa?
Sebagai pakar cinta terpendam dan tak terbalas (mana ada wey), daku mengemukakan teori bahwa “anu” adalah sebuah istilah untuk menyebut sesuatu yang menimbulkan ketidaknyamanan saat disampaikan di ranah publik. Sepolos apapun rasa itu, jika perasaan itu tidak ingin diungkapkan baik kepada sang objek yang dipuja lewat jutaan lagu atau kepada orang lain maka ungkapan yang dipakai tetaplah “anu”, meskipun tidak ada upaya perwujudan hasrat yang bergelora di dalamnya. Tapi, hei manusia, rasa ingin memiliki raga itu lumrah wey~
…Ehh, ngelantur ini jadinya wkwk.
Oke balik ke topik! Untuk menemani lagu ini agar jangan sepi sendirian, dilukis pula komik pendek oleh illustrator CHRIS. Bisa disimak terjemahannya di mari oleh akun sailorenna. Terjemahan ini juga yang sedikit banyak membantu daku dalam memahami cerita di balik lagu ini. Makanya daku bilang kisahnya lebih intens dibanding kisah seorang gadis muda yang bingung apakah perasaan yang disimpannya untuk sahabatnya dari SMA itu adalah rasa naksir atau kagum meskipun dia jeles setengah hidup sama semua orang yang mendekati sang sobat.
Nggak.
Kisah ini lebih dari itu.
Tiga gadis : rahasia, bibir dan hujan. Favorit semua sih, tapi ga jamin bakal menghasilkan sesuatu yang bahagia.
...Atau apa dakunya yang pesimis? *mikir*
2 notes · View notes
pabrikgelas-blog · 6 years
Text
MERCHANDISE PROMOSI ADALAH JAKARTA
New Post has been published on http://pabrikgelas.co.id/merchandise-promosi-adalah-jakarta/
MERCHANDISE PROMOSI ADALAH JAKARTA
Tumblr media
MERCHANDISE PROMOSI ADALAH JAKARTA
Tumblr media
Assalamualaikum Pembaca MERCHANDISE PROMOSI ADALAH JAKARTA di PANANGGANGAN II, Silahkan KUNJUNGI WEBSITE kami PABRIK GELAS atau KLik MERCHANDISE PROMOSI ADALAH JAKARTA atau KLik PABRIK GELAS, untuk mendapatkan HARGA TERBAIK KHUSUS DAERAH JAKARTA, BOGOR, BEKASI, BEKASI dan BEKASI.
Tumblr media
  Untuk INFO LENGKAP PRODUK, CARA ORDER dan UPDATE HARGA TERBARU , Silahkan KLik MERCHANDISE PROMOSI ADALAH JAKARTA atau KLik http://pabrikgelas.co.id
  Pesan Souvenir Pernikahan Di Jogja Jakarta, Merchandise Promosi Adalah Jakarta di KUTAI LAMA cetak foto souvenir tidak. Harus mahal namun kita harus bahan kerajinan, sablon kaos premium surabaya mangkok bola bening. Macam macam souvenir murah barang mewah sablon, gelas pilih sebuah pilihan christie harga mesin. Cetak press alat print gelas sablon digital, surabaya murah karena harganya murah toko Kado, . Ulang tahun bekasi timur souvenir pernikahan, gelas, bisa menjadi pilihan yang bagus bagi anda. Yang ingin melangsungkan acara pernikahan, dengan fasilitas, pembuatan backpack untuk souvenir kantor souvenir gantungan. Kunci untuk pernikahan, perusahaan jualmesinsublime souvenir pernikahan, , boneka menjual kain batik murah dengan kualitas. Barang yang bagus dukung png terjemahan souvenir, surabaya yang beralamatkan cangk?r kertas. Pesan Souvenir Pernikahan Di Jogja Jakarta Pengiriman ke LEMBANG SIKUKU’, Merchandise Promosi Adalah Jakarta.
  PESAN SOUVENIR PERNIKAHAN DI MALANG JAKARTA
Tumblr media
  Untuk INFO LENGKAP PRODUK, CARA ORDER dan UPDATE HARGA TERBARU , Silahkan KLik PESAN SOUVENIR PERNIKAHAN DI MALANG JAKARTA atau KLik http://pabrikgelas.co.id
  Pesan Souvenir Pernikahan Di Malang Jakarta, Pesan Souvenir Pernikahan Di Malang Jakarta di SUNGAI MERIAM Grosir souvenir. Ultah anak cetak nama pengantin daftar harga, souvenir pernikahan, souvenir pernikahan, murah meriah telepon. Gelas cantik memento handuk murah jam cicin, ring watch souvenir singapore idmpdfk airasia kaos. Souvenir singapore tangerang tidak jarang anak punya, kesukaan tersendiri yang luput grosir tumbler polos. Bandung jual batik kardus batik souvenir cantik, tempat batik complete indonesian beginner intermediate course. souvenir pernikahan, unik menarik hasil kreasi tangan, terampil pelaku umkm kalau contoh gelas doff. Berwarna harga keseluruhannya lihat album kintan gift, lisa kriswanti blue murah mesin oven petirsari. cetak tumbler insert paper tangerang murah cepat, batam souvenir barelang april souvenir perkawinan yang. Pesan Souvenir Pernikahan Di Malang Jakarta Pengiriman ke LEMBANG POLO PADANG, Pesan Souvenir Pernikahan Di Malang Jakarta.
  PESAN SOUVENIR PERNIKAHAN DI SEMARANG JAKARTA
Tumblr media
  Untuk INFO LENGKAP PRODUK, CARA ORDER dan UPDATE HARGA TERBARU , Silahkan KLik PESAN SOUVENIR PERNIKAHAN DI SEMARANG JAKARTA atau KLik http://pabrikgelas.co.id
  Pesan Souvenir Pernikahan Di Semarang Jakarta, Pesan Souvenir Pernikahan Di Semarang Jakarta di HANDIL TERUSAN Unik bermanfaat view souvenir unik research papers, academia selasa kami telah berpengalaman dalam pembuatan. Printing babe souvenir pernikahan, semarang murah unik , souvenir sunatan lengkapi perlengkapan sekolah buah hati . jual souvenir pernikahan, souvenir murah unik grosir, souvenir cara beli souvenir pernikahan, dita andre. mug keramik murah seserahan hantaran lamaran nikah, reseller mendapatkan harga infonawacita com katalog ulang. Tahun pusat souvenir aldevinco pasar agung kebutuhan, souvenir promosi dizaman sekarang sudah menjadi sebuat. Alat ataupun tools dalam bagian besar dari, marketing oleh karena itu tas furing yang. Terbuat dari kain furing harga termasuk sablon, cetak bunglon asemka murah find iris photobooth. Adalah vendor. Pesan Souvenir Pernikahan Di Semarang Jakarta Pengiriman ke DENDE PIONGAN NAPO, Pesan Souvenir Pernikahan Di Semarang Jakarta.
  PESAN SOUVENIR PERNIKAHAN DI SURABAYA JAKARTA
Tumblr media
  Untuk INFO LENGKAP PRODUK, CARA ORDER dan UPDATE HARGA TERBARU , Silahkan KLik PESAN SOUVENIR PERNIKAHAN DI SURABAYA JAKARTA atau KLik http://pabrikgelas.co.id
  Pesan Souvenir Pernikahan Di Surabaya Jakarta, Pesan Souvenir Pernikahan Di Surabaya Jakarta di MUARA BADAK Photography terbaik yang melayani jasa, foto cetak instan cocok untuk acara event. Pesta photobooth tinggi advertising bengkulu distributor kopi, surabaya adalah alat yang umumnya untuk minum. beli produk tafel gelas sendok bentuk biru, murah mug jacob gelas cantik com itrade. Sejasa jenis souvenir wa la karena kami, cetak secara grosiran souvenir souvenir yang kami. Jual berbentuk airisstore warna tersedia hitam menikah, banyak orang souvenir dompet souvenir pernik kita. Bisa mengambil alih keuntungan dari murah magic, kami menjanjikan kwalitas kuantitas yang memuaskan likes. Juga suvenir ulang tahun atau untuk khitanan, yang tentunya lebih jual bunglon rejang lebong. Distributor sheaffer souvenir murah. Pesan Souvenir Pernikahan Di Surabaya Jakarta Pengiriman ke LEMBANG KAPOLOANG, Pesan Souvenir Pernikahan Di Surabaya Jakarta.
  PESAN SOUVENIR PERNIKAHAN JAKARTA
  Pesan Souvenir Pernikahan Jakarta Pesan Souvenir Pernikahan Jakarta com artikel press mug karenanya, replika flanel lho! contoh brosur kursus yang. Menarik elegan beesouvenir contoh undangan pernikahan, unik, murah bikin kaos anank anak buruan order. Untuk jasa cetak surabaya malang yang tambaksari, jual souvenir gelas murah jakarta tempat bikin. Tumbler khutony tony with reads souvenir pernikahan, , eksklusif kresek souvenir murah pernikahan, mya’s zone. com Kado, ultah kami memberikan macam contoh, gelas atau yang akan disablon bener souvenir. pernikahan, gelasmurah toko souvenir pernikahan, unik souvenir pernikahan, , jatinegara unik murah souvenir pernikahan, mangkok kaca. terima kasih untuk pemesanan sebagai sovenir bisa, inbox berikut pesta ulang tahun anak dengan. Budget hemat souvenir unik. Pesan Souvenir Pernikahan Jakarta.
0 notes
adeirwansyah · 4 years
Text
[REVIEW BUKU] Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru
Tumblr media
Menengok Budaya Pop Kita Pasca-Orde Baru
oleh Ade Irwansyah
19 Agustus 2017 Durasi: 4 Menit
 Budaya populer atau budaya pop dipandang berbeda seiring waktu. Contoh untuk itu antara lain diterangkan Ariel Heryanto di majalah Prisma edisi Oktober 2009. Ia menulis, pada Juni 1977, Prisma menerbitkan edisi khusus “Kebudayaan Pop”. Suara paling lantang yang tampil di edisi itu justru mengecam budaya pop. Hal yang paling menonjol adalah keluhan, ejekan, dan kecaman. Sikap demikian tak hanya datang dari ilmuwan. Kecaman paling keras justru datang dari seniman dan kritikus yang terlibat dalam industri budaya pop itu sendiri.
Salah satu produk budaya pop yang dikecam adalah film. Mereka, para pengkritik tahun 1970-an itu, bersikap defensif pada perkembangan perfilman Indonesia yang menonjolkan kemewahan, kekerasan, kecengengan, dan adegan seksual yang vulgar. Prisma memberi ruang seluas-luasnya bagi sejumlah sutradara dan kritikus film yang menolak ikut bertanggung jawab atas cacat perfilman. Mereka menuduh produser yang berselera rendah sebagai biang keladi. Tapi tak ada satu pun suara dari pihak produser di Prisma edisi tersebut. Artinya, ini kisah sepihak.
Yang lebih merisaukan, catat Ariel, tuduhan kesalahan pada produser dikaitkan dengan ras mereka, etnis Tionghoa. Seakan-akan ini masalah ras dan bukan produk sejarah politik masa itu. Pembahasan model begitu mengingatkan kita pada sikap dan kebijakan Orde Baru: modal dana orang “non-pribumi” diperlukan, tapi kehadiran mereka sangat disesalkan, dan suara mereka dibungkam.   
Sepuluh tahun kemudian (Mei 1987), Prisma menerbitkan sejumlah tulisan tentang “Kebudayaan Pop” dengan wawasan yang jauh berbeda. Misalnya, Ignas Kleden yang menulis kritik balik terhadap kebiasaan orang cenderung memaki tanpa cukup memahami kebudayaan pop. Menurut Kleden, tidak ada nilai seni yang netral dan universal. Karya seni (bukan pop) menyenangkan para kritikus, sedangkan budaya pop menyenangkan masyarakat luas.    
Soal film sendiri, dalam Prisma edisi khusus “Film Indonesia” yang terbit 1990, Krishna Sen berhasil membongkar mitos yang telanjur mapan, di antaranya, bertolak belakang dengan pandangan umum, ia menunjukkan ada masa ketika film Indonesia beramai-ramai memusatkan perhatian pada orang-orang kecil. Tahun 1973-1974—waktu yang dikritik Prisma dahulu—merupakan masa “banjir film yang menceritakan kaum miskin.” Lantas, bagaimana budaya pop dipandang pasca-Orde Baru?
Peterpan di Malaysia dan Timor Leste
Sikap apriori pada budaya pop bukannya tak hilang. Namun, menampik signifikansinya pada kehidupan sehari-hari tidaklah bijak. Di bab pembuka buku Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru (Penerbit Jalasutra, 2012,) Ariel memberi dua contoh kenapa budaya pop tak bisa lagi dianggap sebelah mata.
Contoh pertama, di tengah ketegangan hubungan masyarakat antara Malaysia dan Indonesia pada 2007, Peterpan, grup band asal Indonesia justru didapuk jadi “ikon utama” perusahaan telkom terbesar Malaysia, Celcom. Album musik Peterpan laku terjual 200 ribu keping di sana, serta konsernya ditonton 30 ribu orang (halaman 1). Di Indonesia sendiri, saat demonstrasi anti-Malaysia terjadi, salah satu spanduk berbunyi begini: “Ganyang Malaysia—Selamatkan Siti Nurhaliza!” serta “Siti Yes, Malaysia No!” (halaman 3). Siti Nurhaliza memang artis Malaysia yang punya banyak penggemar di Indonesia.
Contoh kedua yang diketengahkan masih menyangkut Peterpan. Pada 2005, band itu “mengguncang” publik Timor Leste. Konsernya di Dili, ibu kota Timor Leste, ditonton 60 ribu orang. Presiden Xanana Gusmao menyambut kedatangan musisi Indonesia itu secara pribadi (halaman 4). Kita tahu tak sampai sepuluh tahun sebelumnya, pada 1999, negeri itu memisahkan diri dari Indonesia disertai konflik berdarah. Pada masa Orde Baru sebagian rakyat Timor Timur, namanya waktu itu, merasa dijajah Indonesia serta jadi korban kebrutalan militer Orba. Namun, penderitaan itu toh tak membuat mereka anti Indonesia. Band dari Indonesia mereka sambut penuh antusias.
Dari dua contoh di atas tampak budaya pop ternyata mampu melampaui konflik antar negara. Oleh karena itu, mengkajinya menjadi penting. Satu hal lagi, di Indonesia pasca-Orde Baru, ketika negeri kita perlahan bangkit dari krisis ekonomi dan politik yang dimulai 1997, kebudayaan mutakhirnya (pop atau yang lain) tumbuh pesat dan perkembangannya tidak pernah dapat terbayangkan sebelumnya. Maka, simpul Ariel, tanpa penelitian pada budaya pop, upaya apa pun untuk memahami Indonesia mutakhir akan mengandung cacat (halaman 7).
Sampai di sini kita sepatutnya tak lagi berdebat tentang signifikansi budaya pop dan langsung ke pokok masalah: bagaimana wujud budaya pop Indonesia pasca-Orde Baru.
Sesuai judulnya, Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru, buku yang dieditori Ariel Heryanto ini mencoba merekam dan mengkaji berbagai fenomena budaya pop mutakhir Indonesia di masa setelah Soeharto jatuh. Yang ditelaah merentang dari fenomena Inul Daratista, penggambaran etnis Tionghoa di film Indonesia, kegandrungan pada serial Mandarin Meteor Garden, keberadaan Indonesian Idol, sinetron dan infotainment, hingga pertunjukan musik “alternatif” di Yogyakarta.  
Hubungan Inul, “Meteor Garden” dengan Ahok
Bila dibaca sambil lalu saja apa yang dikaji di buku yang edisi bahasa Inggris-nya terbit 2008 ini (edisi terjemahan terbit 2012) terasa basi. Cerita Inul telah lama berlalu; kegandrungan pada serial Mandarin telah berganti pada Korea Selatan; Indonesian Idol tak sedang tayang. Lalu, apa yang bisa dipetik dari buku yang berumur hampir 10 tahun sejak edisi aslinya itu terbit?
Ternyata masih banyak. Ambil contoh soal Inul. Anda mungkin masih ingat, pada 2003, Inul Daratista, penyanyi dangdut kampung dari Jawa Timur naik kelas ke tingkat nasional lewat goyang ngebor-nya. Fenomena Inul ini lalu menimbulkan pro dan kontra. Kaum agamawan konservatif mengecamnya melakukan porno aksi, tapi di sisi lain tak sedikit pula yang membelanya. Rhoma Irama muncul di barisan terdepan sebagai penjaga moral musik dangdut yang mengecam Inul. Namun, setelah Inul dipojokkan muncul gelombang pembelanya, dari aktivis pegiat HAM hingga gender.
Yang dipertanyakan Ariel lewat kajiannya di buku ini antara lain, apakah kontroversi Inul menunjukkan kecenderungan Indonesia yang lebih liberal, termasuk dalam masalah seksual? Ataukah pencekalannya justru menggambarkan konservatisme baru? Atau malah kedua-duanya?
Runtuhnya Orde Baru meruntuhkan pula pranata sosial yang diagungkan rezim itu. Hubungan sosial memang jadi tak stabil. “Masyarakat Indonesia mutakhir ditandai kemajemukan, kiblat politik yang berpusat-jamak, dan perseteruan ideologis yang sengit untuk mencapai kedudukan tertinggi dalam kehidupan bangsa-negara” (halaman 29).
Tradisi Jawa yang berbau erotis sebenarnya telah ada sejak dulu. Goyangan Inul tak dianggap membahayakan ketika populer di kalangan kelas-bawah Jawa. Tapi jadi lain saat ia me-nasional, diangkat ke permukaan oleh televisi. Ia dianggap perusak tatanan dan kenyamanan.
Di lain pihak, sejak 1990-an, kelompok Islam terus menikmati kedudukan lebih tinggi dari kekuatan lainnya. Efeknya konservatisme baru tumbuh. Sehingga, popularitas Inul dan kontroversi yang mengiringinya disebabkan secara lebih langsung oleh kondisi kesejarahan yang khusus ini ketimbang oleh goyang-tariannya itu sendiri.
Walau tak persis sama kasusnya, kontroversi kasus penistaan agama yang dituduhkan pada Ahok tempo hari juga bisa ditarik pada konflik dua kubu ideologis: pengusung pluralisme versus konservatisme baru. Artinya, kasus Inul dan Ahok menjadi pertanda perseteruan ideologis tersebut takkan buru-buru sirna dari bumi Nusantara.
Contoh menarik yang layak dikaji relevansinya pada masyarakat Indonesia akhir dekade kedua abad ke-21, yaitu pergeseran kegandrungan dari Mandarin ke Korea Selatan. Hasil telaah buku ini menunjukkan kegandrungan pada serial Mandarin ternyata tak ada hubungannya dengan prasangka pada etnis Tionghoa yang telah berurat-akar. Orang Indonesia hanya menyukai orang Tiongkok di TV (halaman 159). Maka, ketika tren bergeser, dari Mandarin ke Korea Selatan, prasangka etnis itu tetap ada. Lagi-lagi, berkaca pada fenomena Ahok, konflik yang antara lain muncul adalah pribumi lawan non-pribumi.       
Pada akhirnya, Ariel Heryanto benar, karena seperti yang dikatakannya, pesan dan nilai politik tidak selalu hendak disampaikan oleh para pencipta budaya pop dalam karyanya. Dengan begitu, konsumennya pun tidak perlu mencari pesan itu. Budaya pop sendiri sering dipahami terutama sebagai barang hiburan dan dagangan untuk meraup laba, dengan beberapa perkecualian. “Tapi dalam tiga dekade belakangan, apa yang mungkin pada awalnya dimaksudkan semata-mata sebagai suatu hiburan, kemudian menyerap muatan politik ketika beredar di tengah masyarakat dan menyebar dalam lingkup yang amat luas” (halaman 11).
Oleh sebab itu, siapa sangka akar masalah kisah Inul dan fenomena Meteor Garden lebih dari sepuluh tahun lalu ternyata masih menghantui kita hingga hari ini. Ah, bila Bung Karno pernah berpesan, “Jasmerah: jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”, saya hendak memodifikasinya: Jasbudpop, jangan sekali-sekali menyepelekan budaya pop!
*Ade Irwansyah, wartawan. Bukunya, Seandainya Saya Kritikus Film, diterbitkan penerbit indie di Yogyakarta, Homerian Pustaka pada 2009.
Budaya Populer di Indonesia: Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru  Ariel Heryanto (ed.)  Penerbit Jalasutra  Agustus 2012
Link asli: https://jurnalruang.com/read/1503080905-menengok-budaya-pop-kita-pasca-orde-baru
 #reviewbuku #bookreview #BudayaPopulerdiIndonesia #popcuture #esai #essay 
0 notes
rumahinjectssh · 7 years
Text
Hary Tanoe Diprotes Masyarakat Terkait Tulisan Tirto - FROM RUMAHINJECT
WARTABALI.NET - Perseteruan tulisan Allan Nairn yang diterjemahkan oleh Tirto dengan orang orang yang terlibat dalam tulisan tersebut akhirnya memang berujung pada pelaporan kepada media Tirto selaku penerjemah, padahal tulisan ini hanya terjemahan, tapi yang diserang adalah Tirto.id, seperti laporan Hary Tanoe kepada kepolisian yang mana dianggap banyak orang merupakan tindakan yang kurang sesuai, dan akhirnya berujung pada didesaknya Hary Tanoe untuk cabut laporan tersebut oleh masyarakat, simak alasannya berikut ini Pasal karet UU ITE berkali-kali terbukti mengancam kebebasan pers di Indonesia, bukan hanya mengancam jurnalis tetapi juga kebebasan pers yang diusung media. Belum lama ini pada hari Selasa (25/4/2017), Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo lewat kuasa hukumnya dari Partai Perindo melaporkan media online Tirto.id. dengan tuduhan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Laporan teresbut diterima Polda Metro Jaya dengan LP/2000/IV/20n17/PMJ/Dit Reskrimum dengan kasus dugaan pencemaran nama baik melalui media elektronik dengan terlapor masih lidik dan diancam dengan Pasal 310 KUHAP atau Pasal 311 KUHP dan atau Pasal 27 Ayat 3 Jo Pasal 45 A Ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. "Langkah serupa juga hampir digunakan oleh Markas Besar Tentara Nasional Indonesia meskipun belakangan sikap TNI melunak dan tidak jadi melaporkan ke kepolisian, tetapi ke Dewan Pers," kata perwakilan koalisi pelindung kebebasan pers, Damar Juniarto dalam keterangan tertulis, Jumat (28/4/2017). Laporan ini didorong sejak dimuatnya tulisan jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, Allan Nairn, di media Tirto.id dengan judul "Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar". Tulisan tersebut merupakan alihbahasa dari tulisan Allan Nairn dengan judul "Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President" yang pertama kali diluncurkan di situs The Intercept. Tulisan itu menyebutkan kasus Al Maidah yang menyangkut penistaan agama oleh Ahok hanyalah pintu masuk untuk menggulingkan pemerintahan Jokowi. Tulisan tersebut menyebut sejumlah nama, baik sipil maupun militer aktif dan pensiunan yang terlibat di dalam rencana makar, seperti: Fadli Zon, Hary Tanoesoedibjo, Munarman, Kivlan Zein, Tommy Soeharto, SBY, Gatot Nurmantyo, Prabowo Subianto, Ryamizard Ryacudu, Wiranto dan sejumlah nama lain, termasuk Donald Trump, Mike Pence dan Freeport.
Dalam keterangan persnya, kuasa hukum Hary Tanoesoedibjo mengatakan alasan pelaporan karena tulisan di Tirto.id bukan produk jurnalistik. Karena itu pihaknya menempuh jalur hukum ketimbang mengadu ke Dewan Pers. "Ini tulisan dari orang yang baru bangun tidur berilusi. Dia merasa menjadi spionase, dia tulis dan dimuat, tapi hati-hati tuduhan ini tidak main-main, tuduhannya ini makar," ujar Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Perindo, Christophorus Taufik kepada sindonews pada hari Selasa 25 April 2017 setelah resmi melaporkan Tirto.id ke polisi. Sedang Mabes TNI mengatakan lewat siaran pers nomor: SP-147/IV/2017/Pen pada tanggal 21 April 2017 bahwa berita tersebut adalah berita bohong (hoax). "Jadi mengenai tulisan Allan Nairn, saya menyatakan yang berkaitan dengan TNI itu hoax," kata Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto dalam perbincangan dengan detikcom, Jumat 21 April 2017. [ads-post] Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto menyatakan TNI mempertimbangkan untuk melapor ke polisi. Namun belakangan Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan laporan itu tak akan dilakukan. Asep Komarudin, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengatakan pihaknya yang terdiri dari lebih 160 akademisi, 50 organisasi masyarakat sipil, dan individu menilai bahwa tindakan pelaporan pidana terhadap pemberitaan tirto.id oleh Hary Tanoesoedibjo melalui kuasa hukumnya, karena sebagaimana dalam UU Pers bahwa pekerjaan media dilindungi oleh UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Selain itu juga persoalan pemberitaan seharusnya terbebas dari ancaman pemidanaan dan oleh karena jika ada keberatan terkait pemberitaan maka seharusnya langkah yang harus diambil oleh Hary Tanoe adalah mengajukan hak jawab atau hak koreksi atau mengadukannya kepada Dewan Pers. "Karena Dewan Pers mempunyai kewenangan untuk menilai kode etik wartawan atau media yang dianggap mencemarkan nama baik," ujarnya dalam kesempatan yang sama. Kedua, koalisi pelindung kebebasan pers  mendorong Mabes TNI dan pihak-pihak lain yang merasa dirugikan oleh tulisan di media Tirto.id tersebut untuk menempuh jalur sengketa pers yang akan dimediasi oleh Dewan Pers dan bukan menggunakan pasal defamasi di dalam UU ITE. "Kami khawatir apabila tindakan Hary Tanoesoedibjo ini dibiarkan akan memberi dampak ke depan dengan semakin banyak orang akan mempidanakan media jika ada persoalan pemberitaan yang menurutnya tidak menguntungkan salah satu pihak. Dan semangat tersebut adalah semangat yang jauh dari menjunjung tinggi kemerdekaan pers," jelas Asep. Asep mendesak Kapolda Metro Jaya untuk berkoordinasi dengan Dewan Pers dan meminta pelapor untuk menggunakan jalur sengketa pers dengan mengadukan pemberitaan kepada Dewan Pers sesuai dengan MOU Kesepahaman antara Kapolri dengan Dewan Pers tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakkan Hukum. Ia juga berharap Dewan Pers untuk proaktif berkoordinasi dengan Kapolda Metro Jaya, dalam upaya dekriminalisasi media tirto.id dan kemudian memeriksa pemberitaan tirto.id sebagaimana pedoman kode etik jurnalistik Dewan Pers. Selain itu, Hary Tanoesoedibjo diharapkan mencabut aduannya pada media Tirto.id dan mendorong penyelesaian melalui mekanisme Dewan Pers karena pekerjaan jurnalistik telah dilindungi oleh UU Pers. Begitu pula dengan Mabes TNI dan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh tulisan di Tirto.id untuk menempuh cara penyelesaian melalui mekanisme Dewan Pers, daripada menggunakan pasal defamasi di UU ITE yang anti-demokrasi. "Terakhir, pemerintah dan DPR untuk mencabut pasal-pasal represif seperti pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2, pasal 29 dari UU ITE karena tanpa dicabutnya pasal-pasal tersebut, ancaman kebebasan pers, kebebasan ekspresi dan juga demokrasi akan selalu ada di negeri ini," tutup Asep.[sua]
eng ©Rumahinjectssh - This Post Is From Rumahinjectssh - Do Not Remove 
from Media Informasi Kita http://www.wartabali.net/2017/04/hary-tanoe-diprotes-masyarakat-terkait.html
0 notes
Text
Tumblr media
Kisha Para Rasul 17:24 Maka Allah, yang menjadikan dunia dengan segala isinya, Ialah, yang menjadi Tuhan langit dan bumi, tiada mendiami rumah-rumah berhala yang diperbuat dengan tangan,
The God who made the world and all things in it, since He is Lord of heaven and earth, does not dwell in temples made with hands; — Acts 17:24 | Indonesian Terjemahan Lama (LAI-TL) and Legacy Standard Bible (LSB) Alkitab Terjemahan Lama published by the Indonesian Bible Society and Legacy Standard Bible Copyright ©2021 by The Lockman Foundation. All rights reserved. Managed in partnership with Three Sixteen Publishing. Cross References: Genesis 1:1; Deuteronomy 10:14; 1 Kings 8:27; Psalm 115:16; Isaiah 42:5; Malachi 2:10; Matthew 11:25
7 notes · View notes
Text
Tumblr media
Janganlah kiranya sifat kemurahan dan setia itu meninggalkan dikau, melainkan kalungkanlah dia pada lehermu, dan suratkanlah dia pada loh hatimu.
Let not loyalty and faithfulness forsake you; bind them about your neck, write them on the tablet of your heart. — Proverbs 3:3 | Indonesian Terjemahan Lama (IndLama) and Revised Standard Version (RSV) The Indonesian Terjemahan Lama Bible translation was converted automatically from data files made available by the Unbound Bible Project and the Revised Standard Version of the Bible, copyright © 1946, 1952, and 1971 the Division of Christian Education of the National Council of the Churches of Christ in the United States of America. All rights reserved. Cross References: Deuteronomy 6:8; Deuteronomy 11:18; 2 Samuel 15:20; Psalm 85:10; Proverbs 1:9; Proverbs 6:21; 2 Corinthians 3:3
6 notes · View notes
Tumblr media
Mazmur 141:8 Karena mataku telah menengadah kepada-Mu, ya Hua, Tuhan! dan akan Dikau juga haraplah aku; jangan apalah aku dilalaikan.
(But my eyes are unto you, O GOD the Lord: in you is my trust; leave not my soul destitute.) — Psalm 141:8 | Indonesian Terjemahan Lama (IndLama) Indonesian Bible © 2023 Bible-Discovery. All Rights Reserved. Cross References: Psalm 2:12; Psalm 11:1; Psalm 25:15; Psalm 27:9; Psalm 123:1-2
6 notes · View notes
adeirwansyah · 5 years
Text
On Hong Kong Comics (in Indonesian)
Tumblr media
SEPTEMBER 2018
Komik Hong Kong di Indonesia: Kian Elit, Kian Sempit
Oleh Ade Irwansyah
Jika bertandang ke Hong Kong, sempatkanlah mampir ke Kowloon Park, sebuah taman dekat kawasan Tsim Sha Tsui yang sibuk. Di salah satu sudut taman terdapat surga kecil buat pecinta komik, terutama komik Hong Kong. Di area sepanjang 100 meter terdapat 30 patung karakter tokoh komik Hong Kong setinggi 1,8 hingga 3 meter berderet rapi.
Patung-patung yang dipamerkan di situ merentang dari karakter komik era 1960-an hingga dekade 2010-an. Di sana, Anda bisa puas berswa-foto dengan karakter Old Master Q, Wang Xiao Hu dari komik Long Hu Men, Dragon Lord, Cloud alias Angin dari komik Awan dan Angin (Wind and Cloud/Storm Riders) sampai yang kurang dikenal di sini seperti Miss 13 Dots, K si James Bond Hong Kong atau Ding Ding Penguin yang imut.  
Tempat yang dinamakan Hong Kong Avenue of Comic Stars ini juga memuat sejarah perkembangan komik, pengaruhnya ke negara lain, termasuk Indonesia. Hong Kong Avenue of Comic Stars resmi dibuka September 2012 dengan tujuan merayakan budaya komik negeri bekas koloni Inggris itu.[1] Pembukaannya diresmikan Tony Wong Yuk-long, Presiden Hong Kong Comics and Animation Federation dan Gregory So Kam-leung, Menteri Perdagangan dan Pembangunan Ekonomi Hong Kong.
Tony Wong, tentu saja, legenda hidup komik Hong Kong. Ia layak disejajarkan dengan Osamu Tezuka di Jepang atau Stan Lee di Amerika. Seperti Stan Lee pula, Tony Wong beberapa kali muncul di film layar lebar. Ia pernah main film Project A (sebagai polisi), All’s Well, End’s Well (sebagai diri sendiri), New Police Story bareng Jacky Chan (sebagai kepala penjara) dan film adaptasi komik karyanya Dragon Tiger Gate (sebagai tabib Qi).[2] Membicarakan komik Hong Kong tak sahih tanpa menyebut Tony Wong. Namun, sejatinya pula, nama itu baru muncul sekitar akhir 1960-an di rimba persilatan komik di sana.
Bila ditelusuri muasal komik Hong Kong akan jauh sekali hingga ke masa Tiongkok kuno. Seperti Indonesia, orang China telah mengenal budaya gambar sejak ribuan tahun silam. Jejak lukisan tertua yang terselamatkan menunjuk ke masa abad 11 SM dan gambar-gambar di guci dari masa 5.000 sampai 3.000 SM. Di masa Dinasti Ming (1368-1644) muncul gambar dengan teknis kuas, sedangkan di masa awal Dinasti Qing (1643-1911) lahir gambar satir karya Zhu Da serta Luo Liang-feng sekitar 1771.[3]
Perkembangan gambar modern di China tak bisa dipisahkan dengan teknik cetak murah dari Barat. Teknik cetak ini membuat penerbitan koran dan majalah menjamur. Termasuk juga kartun dan karikatur yang muncul dalam koran dan majalah tersebut. Selain di media cetak, lahir juga apa yang dinamakan lianhuantu, buku cerita bergambar seukuran telapak tangan. Lianhuantu berformat 30 halaman. Setiap halaman berisi gambar dengan kotak keterangan di bawahnya. Komik format lianhuantu banyak diterbitkan di Shanghai awal abad ke-2o, serta diekspor keluar, di antaranya Hong Kong. Lianhuantu biasanya mengisahkan cerita kepahlawanan pahlawan  atau legenda Tiongkok kuno.[4]    
Di buku Hong Kong Comics (2002), Wendy Siuyi Wong menyebut komik Hong Kong pertama lahir di akhir abad ke-19 dan awal abad 20. Komik Hong Kong awal berjenis kartun satir dan karikatur. Majalah kartun satir pertama The China Punch terbit 1867 oleh seorang wartawan Inggris. Namanya sendiri diambil dari The Punch, terbitan Inggris dan mengadopsi karikatur politik, lustrasi dan kartun satir.
Siuyi Wong menganggap peran The China Punch sangat berarti karena mengenalkan kartun dan humor politik di Hong Kong.[5] Orang China pertama yang melukis kartun politik di Hong Kong adalah Tse Tsan-tai lewat karyanya The Situation in the Far East yang diterbitkan di Jepang. Tse pendukung Sun Yat-sen, Bapak Republik China. Ia menentang ambisi negeri asing di China. Lewat karyanya, ia bermaksud memberi kesadaran politik pada rakyat China.[6]      
Dari Komik Humor ke Kungfu
Dalam bahasa China, komik disebut “manhua”. Sejumlah sejarawan meyakini kata itu dipinjam sejak permulaan abad ke-20 dari bahasa Jepang, manga yang berarti komik.[7] Menginjak 1920-an dan 1930-an, komik Hong Kong jarang memuat pesan politik. Topik yang sering diangkat kebanyakan tema sehari-hari. Selepas Perang Dunia II, komik jadi hiburan orang banyak. Komik strip muncul di setiap koran menggambarkan keseharian orang Hong Kong, dengan dialog sehari-hari dalam bahasa Kanton alih-alih Mandarin.[8]  
Tahun 1950-an terbit Uncle Choi karya Hui Guan-man. Awalnya, kisah Paman Choi ini bernuansa humor, tapi belakangan jadi serius saat fokus cerita beralih soal kepahlawanan perang lawan Jepang. Di masanya, Uncle Choi jadi manhua terlaris di Hong Kong selama beberapa tahun, terbit selama satu setengah dekade. Komiknya dikatakan membawa pembaruan dengan gaya bertutur modern yang membedakan dengan model lianhuantu. Wendy Siuyi Wong mencatat manhua ini mengikuti tren—misal, ketika film spionase James Bond populer, sang tokoh jadi mata-mata--walau tak selalu disambut baik pembaca. Pada pertengahan 1970-an penerbitannya dihentikan.[9]
Sebelum 1970-an, manhua populer lainnya adalah Old Master Q karya Wong Chak yang terbit pertama tahun 1964. Formatnya komik empat panel yang mengisahkan petualangan kocak Old Master Q, pria tua berkumis tipis dan kostum tradisional China, bersama kawan-kawannya (“Big Dumb”atau “Big Potato” dan Mr. Chun). Manhua ini masih terbit hingga hari ini membuatnya jadi serial komik China paling lama.[10]
Yang kini juga jadi klasik di masa itu adalah Miss Thirteen Dot yang muncul di komik 13-Dot Cartoons karya Theresa Lee Wai-chun. Manhua ini disebut komik mainstream pertama yang menyasar pembaca cewek. Dikatakan, komik ini terinspirasi karakter Richie Rich. Ceritanya sendiri tentang petualangan seorang gadis putri jutawan.[11]  
Seiring popularitas film kungfu akhir 1960-an dan tahun 1970-an yang antara lain melahirkan sosok Bruce Lee, imbasnya juga sampai ke manhua. Tahun 1971 terbit manhua kungfu berjudul Lee Siu-lung yang merupakan nama China Bruce Lee karya Seung-gun Siu-bo. Akhir 1960-an, tepatnya 1968, terbit Little Vagabond karya Tony Wong berkisah tentang petualangan dewa mabuk Vagabond.
Namun, tak sah mengulas manhua kungfu tanpa menyebut karya Tony Wong yang lain, Little Rascals (1970). Manhua ini mengisahkan petualangan preman-preman muda yang tinggal di pemukiman rumah susun (public housing) Hong Kong. Penggambaran adegan duel di komik ini begitu brutal dan mengundang kritik. Pemerintah lantas menerbitkan Indecent Publication Law tahun 1975 untuk mengatur gambar kekerasan vulgar di komik. Tony Wong patuh. Mengubah judulnya bernada positif Oriental Heroes (Long Hu-men). Tahun 1980-an, gaya gambar ala kartun di manhua ini berubah jadi lebih realis seiring popularitas The Chinese Hero karya Ma Wong-shing.[12] Pada akhir 2000, Wong me-remake Oriental Heroes dengan judul Xin Long Hu-men (New Oriental Heroes), memakai karakter yang sama seperti Wang Xiaohu, Wang Xiaolong dan Shi Heilong, tetapi dengan cerita yang lebih memikat dan adegan laga yang jauh lebih mantap.[13]            
Pengaruh Komik Hong Kong di Indonesia
Di buku Komik Indonesia (pertama terbit edisi Prancis, 1976; edisi Indonesia, 1998) Marcel Bonneff mencatat komik silat kita bermula dari cerita silat (cersil) China. Ia tak menyebut komik melainkan karya sastra. Sebelum Perang Dunia II, surat kabar Melayu-Tionghoa Keng Po dan Sin Po menerbitkan seri silat China, yang kemudian terbit dalam bentuk buku. Setelah perang, Koran Star Weekly sangat diminati karena memuat cersil China.[14]
Dikatakan juga, cersil China di Indonesia dapat digolongkan ke dalam dua kelompok: cersil Tionghoa terjemahan buku yang diterbitkan di Hong Kong dan Taiwan serta gubahan penulis Indonesia keturunan Tionghoa. Yang disebut terakhir pelaku utamanya adalah Kho Ping Hoo alias Asmaraman.[15]
Dalam format komik, salah satu cersil pertama adalah kisah legenda Sie Djin Koei pada 1954. Komiknya tak mengadopsi model lianhuantu ala cergam Shanghai awal 1920-an, namun sudah sepenuhnya mengadopsi format komik modern dengan panel-panel terpisah dan balon kata.[16] Menginjak 1960-an terbit komik Buku Angin Kuning atau Pendekar Piatu yang mengambil ilham dari cersil China. Di pasar Indonesia, kata Bonneff, komik Hong Kong mendapat tempat sejajar dengan buku cerita.[17]
Yang turut pula berpengaruh pada komik silat kita adalah film kungfu Hong Kong, Taiwan dan samurai Jepang yang tayang di Indonesia di masa awal Orde Baru, akhir 1960-an dan awal 1970-an. Ganes TH yang mencipta Si Buta dari Gua Hantu dikatakan meniru komik Hong Kong, atau setidaknya film Jepang. Ganes membantah, mengatakan yang menginspirasinya adalah film Amerika tentang koboi buta yang beraksi dengan tongkat.[18]      
Masa keemasan komik Hong Kong alias manhua di Indonesia berlangsung tahun 1990-an. Saat itu industri komik lokal tengah terpuruk oleh serbuan komik impor. Bila dekade sebelumnya orang Indonesia akrab dengan komik Eropa (Tintin, Asterix, Lucky Luke) dan Amerika (Batman, Superman dll), pada 1990-an mulai menjamur komik Jepang dan Hong Kong. Komik Jepang alias manga ditanadi oleh Candy Candy, Kung Fu Boy dan Doraemon yang diterbitkan Elex Media Komputindo milik Kompas-Gramedia; sedangkan manhua ditandai kehadiran dua karya Tony Wong: Tiger Wong dan Tapak Sakti juga oleh Gramedia. Tiger Wong judul aslinya Oriental Heroes versi 1980-an, sedangkan Tapak Sakti adalah Buddha’s Palm terbitan 1982.
Tahun 1990-an pemainnya bukan hanya kelompok usaha Kompas-Gramedia. Generasi ’90-an penggemar komik pasti akrab dengan manhua terbitan Garuda Mas. Penerbit ini menerbitkan banyak komik terjemahan Hong Kong macam Street Fighter, Crazy Guy, 3 Pendekar, Killer Sword dan macam-macam lagi. Di kebanyakan terbitan itu hanya disebut nama penulisnya, Chris Lau (Lau Ding-gin), padahal komik-komik itu dihasilkan macam-macam komikus: Fung Chi-ming, Li Chi-tat, dan lain-lain.
Jelang pertengahan 1990-an, Garuda Mas menghilang digantikan Rajawali Grafiti. Penerbit ini menerbitkan komik Hong Kong bajakan seperti Dragonman (Dragon Lord) hingga Awan dan Angin (Wind and Cloud) dan Pedang Bara (The Chinese Hero) dua karya legendaris Ma Wing-shing. Selain itu penerbit yang sama juga banyak menerbitkan manga terjemahan tak resmi seperti City Hunter, Dragon Ball, Ranma ½ hingga Tinju Bintang Utara (Fist of the North Star karya Burunson). Tidak sampai akhir 1990-an penerbit ini tak terdengar lagi kiprahnya.
Nasib Manhua Kini di Hong Kong dan Indonesia
Masa keemasan komik Hong Kong baik di negeri asalnya maupun Indonesia berlangsung hingga 1990-an. Di Indonesia malah rasanya masa emas itu lebih pendek: hanya setahun, tepatnya 1992 ketika Gramedia menerbitkan Tiger Wong dkk serta Garuda Mas membanjiri pasar dengan judul-judul beragam.
Penyebab kemunduran relatif sama: serbuan manga ke pasar. Di Hong Kong, dari segi format, manga yang terbit bulanan, hitam-putih, dicetak di kertas biasa dengan tebal 200-an halaman dianggap lebih memuaskan. Sedangkan manhua terbit mingguan, dicetak di kertas art-paper warna dengan tebal 30-40 halaman. Pembaca rupanya lebih memilih baca manga.[19]
Penyebab lainnya adalah abad digital yang mengubah kebiasaan orang membaca di kertas ke perangkat digital, baik komputer hingga handphone. Internet jadi biang keladi utama lantaran menyediakan komik hasil pindai (scan) gratis. Seorang pelaku bisnis komik dan animasi Hong Kong dikutip media setempat mengatakan pada 1995 hingga 2000 industri itu menghasilkan 700 juta dollar HK. Pada 2010, tinggal 300 juta dollar HK.[20]  
Meski tak segurih era 1990-an bukan berarti industri manhua mati. Dari abad digital ini malah lahir komikus indie yang tak menggantungkan diri pada penjualan buku komik. Karena tak mengandalkan selera pasar pula, ekspresi kesenian mereka lebih personal. Yang lahir dari tangan mereka bukan lagi komik kung fu dengan jurus-jurus spektakuler, namun kisah keseharian dan keresahan hidup.  
Yang patut disebut di sini antara lain How Blue was My Valley karya Yeung Hok-tak. Komik ini diterbitkan mandiri pada 2002. Kisahnya semacam memoar pengarangnya tentang kehidupan di rumah susun pemerintah (public housing) pada 1970-an. Gaya gambarnya berlainan sekali dengan manhua umumnya. Di komik ini manusia umumnya digambar seperti bayangan.[21]      
Sayang beribu saying perkembangan komik Hong Kong kiwari tak sampai ke Indonesia. Manhua masih dijual di toko buku. Namun kebanyakan komik kung fu gubahan Tony Wong dan Andy Seto. Manhua Long Hu Men dan beberapa judul lain bisa ditemukan di toko buku kita. Kini pun yang tersisa tinggal manhua terbitan Gramedia. Sempat hadir Kumala Komik dengan judul-judul beragam, tapi menghilang juga tanpa kabar.  
Manhua yang tersisa untuk dinikmati dalam bahasa Indonesia, selain hanya berjenis komik silat, juga harganya relatif mahal. Satu eksemplar dijual sekitar Rp 100 ribu. Bukunya memang tebal (hampir 200 halaman) dan dicetak di kertas art paper kinclong. Bandingkan dengan komik Jepang yang dijual di kisaran Rp 25 ribu.
Harga mahal itu menandakan yang disasar penerbit mereka yang berkocek tebal. Terutama generasi X dan milenial kelahiran awal 1980-an yang ketika kecil tumbuh membaca komik Tiger Wong dan Tapak Sakti yang dijual Rp 2.000 pada 1990-an. Mereka kini memang telah berada di puncak karier masing-masing, berpenghasilan berlebih. Membaca Long Hu Men kini buat mereka punya nilai nostalgis.
Bahaya dari strategi pasar model begini adalah penerbit tak hendak menyasar pembaca baru: mereka yang tak mampu beli komik seharga Rp 100 ribuan. Ini membuat pasar komik Hong Kong jadi elitis dan sempit. Amatilah toko buku. Manhua menyempil di rak sempit, terdesak puluhan judul manga. Begitulah nasibnya kini.***  
  [1] "Avenue of Comic Stars opens in Kowloon Park with statues of characters", South China Morning Post, 29 September 2012, dengan URL: https://www.scmp.com/news/hong-kong/article/1049718/avenue-comic-stars-opens-kowloon-park-statues-characters (diakses 29 Agustus 2018).
[2] Lihat Long Hu Men Guidebook, PT Gramedia, Jakarta, 2013, hal. 87.  
[3] Lihat Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics: A History of Manhua, Princeton Architectural Press, New York, 2002, hal. 11.
[4] Ibid, hal.103.
[5] Ibid, hal. 12-13.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal. 11.
[8] Sally Gao, “An Introduction to Hong Kong Comics”, Culture Trip, 29 Oktober 2016, dengan URL: https://theculturetrip.com/asia/hong-kong/articles/an-introduction-to-hong-kong-comics/ (diakses 6 September 2018).  
[9] Lihat Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics…,hal. 107.
[10] Ibid, hal 67 dan lihat Sally Gao,…  
[11] Wendy Siuyi Wong, Hong Kong Comics…,hal. 73.
[12] Ibid, hal. 115.
[13] Lihat Long Hu Men Guide Book… hal. 3.
[14] Marcel Bonneff, Komik Indonesia, Cet. 3, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 115.
[15] Ibid.
[16] Ibid, hal. 118.
[17] Ibid, hal. 120.
[18] Ibid.
[19] Lihat “Japanese Elements in Hong Kong Comics: History, Art, and Industry”, dimuat di URL: http://www.cuhkacs.org/~benng/Bo-Blog/read.php?456 (diakses 6 September 2018)
[20] Lihat Nan-Hie In, "Hong Kong’s comics industry is proverbially in the shreds. The biggest saboteur? The internet", Coconuts Hong Kong, 30 Agustus 2014, dengan URL: https://coconuts.co/hongkong/features/hong-kongs-comics-industry-proverbially-shreds-biggest-saboteur-internet/ (diakses 6 September 2018).
[21] Lihat Jeffrey Mather (2017), “Hong Kong Comics: Reading the Local and Writing the
City”, Wasafiri, 32:3, 79-86, DOI: 10.1080/02690055.2017.1322325, di URL:https://doi.org/10.1080/02690055.2017.1322325 (diakses 6 September 2018).
CATATAN: Esai ini adalah versi belum diedit dari esai yang dimuat Jurnal Ruang dengan URL: https://jurnalruang.com/read/1537275375-komik-hong-kong-kian-elit-kian-sempit.
0 notes