Tumgik
arfatardi · 4 months
Text
Tumblr media
ANTREAN YANG MENAKUTKAN
Oleh: Arfat Ardi Setiawan
Pernah tidak engkau melihat pabrik roti modern yang semua prosesnya sudah serba mesin dan otomatis? Bagaimana deretan roti berata di atas wadah berjalan, satu persatu dicelupkan ke kolam cokelat, lalu masuk ke dalam kemasannya. Semua terjadi sesuai dengan sistem yang telah ditentukan pemilik pabrik. Semua roti itu memiliki nasib yang pasti, yaitu dicelupkan ke dalam kolam cokelat lalu berakhir di dalam kemasan. Setiap biji roti berada di antreannya, tinggal menunggu waktu dan giliran untuk dicelupkan dan dikemas.
Hal yang sama berlaku kepada kita dalam kehidupan di dunia ini, bukan dalam perkara ketidakmampuan terhadap mengatur nasib, namun dalam perkara kepastian bahwa kita akan menjumpai titik akhir dari perjalanan hidup kita di dunia ini sebagaimana yang Allah ﷻ telah tetapkan, yaitu kematian. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)”. (Qs. Az-Zumar: 30).
Sebuah ketetapan yang tak dapat terelakan, sebesar apapun usaha untuk melawannya, atau sekuat apa pun usaha untuk lari darinya, Allah ﷻ berfirman:
أَيْنَمَا تَكُونُوا۟ يُدْرِككُّمُ ٱلْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِى بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ ۗ
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…”. (Qs. An-Nisa: 78).
Namun atas hikmah Allah ﷻ kita tidak pernah tau di antrean ke berapa nama kita tertulis, bisa jadi beberapa tahun ke depan, atau bisa jadi justru hari ini. Antrian acak yang tidak dibariskan berdasarkan usia tua ataupun muda, atau keadaan fisik sehat maupun sakit. Sebuah ketentuan yang berada di luar makrifat makhluk-Nya. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلْمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۢ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۢ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti”. (Qs. Luqman: 34).
Mungkin saja hal tersebut agar setiap insan senantiasa mempersiapkan diri terhadap kematian kapanpun ia datang. Sehingga ia selalu meningkatkan ketaatan, tidak menunda kebaikan ataupun taubat, serta takut untuk melakukan kemaksiatan karena khawatir kematian akan menghampiri saat diri sedang terjatuh dalam kubangan dosa.
Namun dibalik itu, kematian merupakan suatu ketetapan yang sangat menakutkan, namun pernahkah kita berfikir apa sejatinya yang membuat kita takut untuk menghadapi kematian tersebut? Semua berharap memiliki usia yang panjang di kehidupan dunia ini, lalu untuk apakah sebenarnya usia yang panjang itu? Apakah benar karena ingin mempersiapkan lebih banyak bekal untuk kehidupan selanjutnya? Atau karena ingin ‘menikmati dunia’ lebih lama? Bukankah di alam selanjutnya juga terdapat kenikmatan yang bahkan bisa jauh lebih nikmat dari semua kenikmatan yang ada di dunia ini? Atau kita takut kematian karena belum siap untuk menghadapinya? Kalau memang belum siap apa betul selama ini kita benar-benar mengambil langkah bersiap untuk menghadapinya? Mengumpukan bekal sebanyak mungkin untuk menghadapi perjalanan yang amat panjang tersebut. Atau justru kita tau bahwa diri kita belum siap namun lebih memilih menghadapinya dengan sikap seolah semuanya baik-baik saja, mencoba mencari segala sesuatu untuk melenakan pikiran dari hakikat kematian, mengalihkan perhatian dari ketakutan tersebut dan membiarkannya selalu menjadi kejutan yang tak disangka. Hingga akhirnya ketakutan itu selamanya akan bersarang dalam diri kita.
Seorang tabi’in bernama Abu Hazim pernah ditanya oleh sang khalifah Sulaiman bin Abdil Malik: “Mengapa kita membenci kematian?”, Beliau menjawab:
“Karena kalian hanya memakmurkan kehidupan dunia namun menghancurkan kehidupan akhirat kalian, sehingga hal tersebut membuat kalian benci untuk pindah dari tempat yang makmur menuju tempat yang hancur berantakan”
Hakikatnya setiap insan akan melalui tiga kehidupan, kehidupan di dunia, kehidupan alam barzah, dan kehidupan di negeri akhirat. Kehidupan yang pertama yaitu kehidupan dunia merupakan yang tersingkat, sangat singkat apabila dibandingkan dengan kehidupan selanjutnya. Namun dialah yang menentukan nasib seseorang di kehidupan selanjutnya. Sampai-sampai singkatnya kehidupan dunia apabila dibandingkan dengan kehidupan selanjutnya tergambar jelas pada apa yang Allah ﷻ firmankan:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْـًٔا وَّلٰكِنَّ النَّاسَ اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ ، وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَاَنْ لَّمْ يَلْبَثُوْٓا اِلَّا سَاعَةً مِّنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُوْنَ بَيْنَهُمْۗ قَدْ خَسِرَ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِلِقَاۤءِ اللّٰهِ وَمَا كَانُوْا مُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri. Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa) seakan-akan tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali sesaat saja pada siang hari, (pada waktu) mereka saling berkenalan. Sungguh rugi orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk”. (Qs. Yunus: 44-45).
Begitu juga dalam permisalan yang baginda Nabi Muhammad ﷺ berikan dalam haditsnya:
ما لي وما للدُّنيا ، ما أنا في الدُّنيا إلَّا كراكبٍ استَظلَّ تحتَ شجرةٍ ثمَّ راحَ وترَكَها.
“Apa urusanku dengan dunia, tidaklah keberadaanku di dunia melainkan seperti orang yang sedang dalam perjalanan lalu dia berteduh di bawah naungan sebuah pohon, kemudian dia melanjutkan perjalanannya dan meninggalkannya (pohon tersebut)”. (HR. Imam Tirmidzi No. 2377).
Namun sayang, banyak yang memilih dunia sebagai ‘tempat menetap’nya, kehidupan akhirat urusan belakangan. Pergelutan yang ia lakukan setiap hari hanya untuk membangun istananya di dunia, yang belum tentu dapat ia wujudkan. Sedangkan akhirat baginya ‘antara ada dan tiada’, biarkan hal ukhrowi tersebut menjadi misteri. Padahal Allah ﷻ telah memperingati dalam firman-Nya:
وَمَا هَٰذِهِ ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ لَهِىَ ٱلْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (Qs. Al-Ankabut: 64).
Pernahkah kita merenungkan, apabila Allah ﷻ mengirim malaikat maut-Nya untuk mencabut nyawa kita sekarang juga, kira-kira diri kita akan menghadapinya dengan senyuman atau malah penyesalan dengan penuh ketakutan?, kira-kira yang akan terlintas dalam benak adalah gambaran tentang semua ketaatan atau malah semua dosa dan kelalaian yang kita lakukan selama ini?. Jika jawabannya adalah yang kedua, masihkah kita mau untuk terus menjalani hidup dengan cara yang sama?
Padahal, apabila seseorang beramal untuk akhiratnya, maka dunia sendiri yang akan menyerahkan diri kepadanya. Sehingga saat dia membangun kehidupan yang baik untuk akhiratnya, kebaikan dunia akan mengikutinya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi ﷻ:
من كانتِ الآخرةُ هَمَّهُ جعلَ اللَّهُ غناهُ في قلبِهِ وجمعَ لَه شملَهُ وأتتهُ الدُّنيا وَهيَ راغمةٌ ، ومن كانتِ الدُّنيا همَّهُ جعلَ اللَّهُ فقرَهُ بينَ عينيهِ وفرَّقَ عليهِ شملَهُ ، ولم يأتِهِ منَ الدُّنيا إلَّا ما قُدِّرَ لَهُ
“Barang siapa akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menaruh kekayaan dalam hatinya, dan memudahkan urusannya, lalu dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Dan barang siapa yang dunia sebagai tujuannya, niscaya Allah akan menaruh kefakiran di depan kelopak matanya, dan urusannya akan dicerai beraikan, lalu ia tidak akan mendapatkan bagian dari dunia melainkan apa yang telah dituliskan untuknya”. (HR. Imam Tirmidzi No. 2465).
Selain itu, di saat kaum muslimin telah lebih memakmurkan dunia dari pada akhiratnya, yang mana hal tersebut akan menimbulkan rasa kecintaan yang mendalam terhadap dunia serta ketakutan untuk meninggalkannya, berlahan kemuliaan kaum muslimin akan hilang, menjadikan mereka tertinggal oleh umat-umat lain. Nabi ﷻ bersabda:
يُوشِكُ الأممُ أن تداعَى عليكم كما تداعَى الأكَلةُ إلى قصعتِها . فقال قائلٌ : ومن قلَّةٍ نحن يومئذٍ ؟ قال : بل أنتم يومئذٍ كثيرٌ ، ولكنَّكم غُثاءٌ كغُثاءِ السَّيلِ ، ولينزِعنَّ اللهُ من صدورِ عدوِّكم المهابةَ منكم ، وليقذِفَنَّ اللهُ في قلوبِكم الوهْنَ . فقال قائلٌ : يا رسولَ اللهِ ! وما الوهْنُ ؟ قال : حُبُّ الدُّنيا وكراهيةُ الموتِ
“Hampir saja para umat (non muslim) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring”. Kemudian seseorang bertanya,”Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata,”Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagaikan sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ‘Wahn’. Kemudian seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu ‘wahn’?”, Rasulullah berkata, “Cinta dunia dan takut mati”. (HR. Imam Abu Daud No. 4297).
Dalam hadits lain beliau ﷺ bersabda:
إذا تبايعتُم بالعينةِ وأخذتم أذنابَ البقرِ ، ورضيتُم بالزَّرعِ وترَكتمُ الجِهادَ سلَّطَ اللَّهُ عليْكم ذلاًّ لاَ ينزعُهُ حتَّى ترجعوا إلى دينِكُم
“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara Al-‘Inah (salah satu transaksi riba), dan kalian telah mengambil ekor-ekor sapi (bahasa kiasan menggarap tanah untuk ditanami) dan kalian telah ridha dengan perkebunan, lalu kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Imam Abu Daud: 3462).
Sehingga semakin kaum muslimin menenggelamkan diri dalam urusan dunia dengan mengenyampingkan perkara akhirat, hal itu tidak akan dapat mengembalikan kemuliaan dan kekuatan kaum muslimin, namun sebaliknya, justru dapat membuat rasa takut akan kematian tertanam dalam hati dan membuat tekad serta keberanian kaum muslimin tumpul.
Namun sebaliknya, apabila akhirat yang utama, sehingga keimanan dan ketakwaan selalu ditingkatkan untuk mengejarnya, maka sebagaimana yang Allah ﷻ janjikan:
وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكّ��نَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (Qs. An-Nur: 55).
Sehingga tidak heran apabila dahulu kaum muslimin pernah menikmati masa keemasan dan kejayaan mereka di dunia ini di saat akhirat dan beramal untuk mempersiapkannya masih menjadi perioritas utama mereka. Mengambil langkah yang tepat untuk kehidupan dunia dan persiapan untuk kehidupan selanjutnya, sehingga dunia dapat digenggam, kehidupan akhirat juga terjamin.
Penutup,
Nabi Muhammad ﷻ dan para sahabatnya merupakan orang-orang yang telah Allah ﷻ janjikan surga, tempat kehidupan abadi dengan kenikmatan yang sejati. Maka perbanyaklah membaca kisah hidup mereka, pelajari kedalaman keimanan mereka, pola pikir dan prinsip hidup mereka, dan bagaimana mereka menjalani kehidupan di dunia ini sampai mereka mendapat janji indah tersebut setelah dunia membuka pintunya untuk mereka. Semoga dengannya kita bisa mengambil tauladan, hidup kita tidak lagi hanya mengejar dunia sembari lari dari akhirat, dan semoga dengannya kelak kita memiliki nasib yang sama bersama mereka di surga firdaus-Nya ﷻ.
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (Qs. At-Taubah: 100).
Allah Ta’ala A’lam.
0 notes
arfatardi · 5 months
Text
Tumblr media
MALAM ITU, DAN MALAM INI (TENTANG AYAH)
Oleh: Arfat Ardi Setiawan
Dahulu, suatu malam saat aku masih kecil, tangan mungilku memeluk erat ayahku dari belakang, Kami mengitari kota dengan motor Supranya, lampu jalan yang redup, jalanan yang masih basah setelah diguyur gerimis, kendaraan yang lalu lalang, sebuah rekaman sudut kota kecilku yang masih melekat di dalam benak.
Potongan kenangan itu hadir kembali dalam bentuk siluet yang lewat satu persatu. Malam itu aku sering memerhatikan dengan penuh takjub lelaki-lelaki lusuh di pinggiran jalan; pejaja koran yang mendekap semua lembaran itu ke dadanya, pemilik toko kelontong yang menatap stoples jajan yang masih penuh, tukang parkir yang bising dengan peluitnya, pedagang sate yang membolak balik arang padahal tidak ada pembeli, pengumpul rongsok yang sampai membungkuk menarik gerobak reyotnya.
Malam itu sesekali aku bertanya, apa yang mereka lakukan? Mengapa harus sampai selarut ini? Apa mereka tidak lelah? Apa mereka tidak ngantuk?.
Seiring bergulirnya waktu sekarang aku sepenuhnya mengerti. Ternyata di balik peluh pejaja koran itu ada beras yang habis, di balik tatapan kosong pemilik toko kelontong itu ada tagihan sekolah anak-anak yang belum terbayarkan, di balik nyaringnya peluit tukang parkir itu ada istri yang sebentar lagi melahirkan, di balik goretan arang pedagang sate itu ada sewa kontrakan yang harus segera disetorkan, dibalik tumpukan rongsok itu ada harapan untuk kehidupan lebih baik bagi anak dan istrinya. Semua kemungkinan itu aku gambar sendiri dalam benak setelah statusku berubah menjadi seorang ayah.
Malam itu aku mengira mereka yang tengah termenung di pinggir jalan, atau sekedar mengasingkan diri di bangku taman, menatap langit sambil sesekali mengusap muka, aku kira mereka tengah menikmati malam, terpesona dengan kerlip bintang dan rembulan. Namun ternyata mereka tengah berdebat dengan pikiran, berdiskusi dengan jiwa yang begitu lelah, tentang satu perkara, yang menjadi alasan semua perjuanganya, ‘bagaimana cara mencukupi kebutuhan anak dan istri serta membahagiakan mereka’, sebuah alasan yang sederhana, namun telah membatu dari masa ke masa.
Memang ayah tidak seperti ibu yang menunggumu di hari-hari pertamamu sekolah, mengintip dari sudut jendela memastikanmu tak menangis di dalam, namun ia yang berkelahi dengan dunia agar sekolahmu tak terputus di tengah jalan. Memang ayah tidak seperti ibu yang meninabobokanmu di waktu malam, namun ia yang selalu menanyakanmu dari jauh dan mendekap kerinduan itu dalam-dalam. Memang ayah tidak seperti ibu yang mengajarkanmu tentang lemah lembut dan kasih sayang, namun ia yang memberimu contoh tentang kerja keras dan tanggung jawab.
Pernah tidak kau meminta sesuatu kepada ayahmu, mungkin sepeda baru seperti milik kawanmu, atau tas baru dengan gambar karakter favoritmu, atau mungkin hanya sekedar mainan baru yang sedang ngetren zaman itu, lalu ayahmu hanya berkata “In sya Allah Nak, doa dulu ya biar dikasih sama Allah”, pernahkah? Ketahuilah saat itu jawaban yang tak kau tau adalah ia tengah tak memiliki uang yang cukup untuk permintaanmu, atau sedang ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk didahulukan. Karena ayahmu, selama ia mampu untuk mengukir senyum di bibir mungilmu, atau mampu untuk menghilangkan sedih dari hati polosmu, ia akan pergi membelikanmu mainan yang kau minta walau harus dengan berjalan tanpa alas kaki. Bagaimana dengan keinginannya sendiri? Hah, telah lama ia telan semua itu bulat-bulat. Mengubur lalu melupakannya.
Tahukah kau, saat ayahmu mampu mengabulkan permintaanmu, atau saat menenteng sebuah kejutan kecil untukmu, selama perjalanan pulang, yang ada dalam hati dan pikirannya hanya lukisan senyum dan kebahagiaanmu, percayalah. Letih, peluh, luka, semua terabaikan hanya dengan bayangan senyum dari keceriaanmu.
Kalau ibu diibaratkan seperti rumah yang memberikan kehangatan dan kenyamanan, maka ayah merupakan pondasinya yang menopang semua beban rumah itu. kalau ibu diibaratkan sinar lentera yang menerangi, maka ayah adalah batang lilin yang rela meleleh untuk menjaga lentera itu tetap bercahaya. Kalau ibu diibaratkan bahtera yang melindungi kita dari terjangan ombak, maka ayah adalah angin yang senantiasa berhembus agar bahtera itu dapat berlayar.
Sayangnya, semua berbicara tentang kasih sayang ibu, namun sedikit yang merenungi perjuangan seorang ayah. Angin yang tak tampak namun selalu ada, gula yang larut namun selalu terasa, itulah ayah. Kadang ia tak pandai mengungkapkan kasih sayangnya melalui untaian kata atau bahasa kelembutan, namun dirimu sepanjang hidupnya akan menjadi alasan baginya untuk tetap kuat dan bertahan.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
جَاءَ رَجُلٌ إلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقالَ: مَن أَحَقُّ النَّاسِ بحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قالَ: أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أَبُوكَ.
"Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR. Imam Bukhari No. 5971, dan Imam Muslim No. 2548).
Dalam hadits di atas walaupun seorang ibu di sebutkan tiga kali, namun ada ayah di situ, ia disebutkan terakhir bukan berarti tak ada atau terabaikan. Maka kewajiban untuk berbakti dan menyayangi berlaku juga untuknya.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا، وَٱخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’”. (Qs. Al-Isra: 23-24).
Malam ini, melalui tulisan sederhana ini, sebuah pesan singkat untuk semua anak “Ayahmu, masih menyayangimu seperti dulu, dengan kasih sayang yang tak pernah luntur, dan masih menjadi salah satu pintu surga bagimu”, dan teruntuk semua ayah “Kalian hebat, perjuanganmu semoga menjadi ladang pahala bagimu, jazakumullah khoiron, semoga Allah ﷻ membalas kalian dengan seindah-indah balasan di dunia dan akhirat”.
Makkah, 15 November 2023
2 notes · View notes
arfatardi · 6 months
Text
Tumblr media
Air Mata Palestina, Embun yang Belum Mengering
Oleh: Arfat Ardi Setiawan
Palestina merupakan satu negeri penuh keberkahan yang mencakup sebuah situs suci, yaitu Masjidil Aqsha, hal tersebut merupakan ketentuan dari Allah ﷻ yang termaktub dalam firman-Nya:
سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al-Isra: 1).
Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma juga meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah berdoa:
اللَّهُمَّ بارِكْ لنَا في شامِنَا، وفي يَمَنِنَا.
“Ya Allah berkahilah untuk Kami negeri Syam Kami, dan negeri Yaman Kami”. (HR. Imam Bukhari No. 1037).
Zaid bin Tsabit radhiallahu’anhu juga pernah berkisah:
كُنَّا عِندَ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ نؤلِّفُ القرآنَ منَ الرقاعِ فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ طوبى للشامِ فقلْنا لأيٍّ ذلك يا رسولَ اللهِ قال لأن ملائكةَ الرحمنِ باسطةٌ أجنحَتَها عليْها
“Suatu hari kami sedang bersama Rasulullah ﷺ, kami menulis Al-Quran pada lembaran-lembaran, lalu Rasulullah ﷺ bersabda ‘Beruntunglah negeri Syam’, lalu Kami bertanya ‘Karena apa wahai Rasulullah?”, Ia ﷺ bersabda ‘Karena para malaikat Allah membentangkan sayap mereka di atasnya’”. (HR. Imam Tirmidzi No. 3954).
Di samping keutamaan tempatnya, Nabi ﷺ juga menjelaskan tentang keutamaan penduduknya, beliau ﷺ bersabda:
عليكم بالشَّامِ ، فإنَّها صفْوةُ بلادِ اللهِ ، يَسكُنُها خِيرتُهُ من خلْقِهِ ، فمَنْ أبَى فلْيلْحَقْ بيمَنِه ، ولْيَسْقِ من غُدُرِهِ ، فإنَّ اللهَ عزَّ وجلَّ تكفَّلَ لِي بالشَّامِ وأهْلِهِ
“Pergilah kalian ke Syam, karena ia merupakan bumi pilihan Allah, yang ditinggali oleh orang-orang terbaik, barangsiapa tidak mau (ke Syam) maka pergilah ke Yaman, dan minumlah dari sumber airnya, sesungguhnya Allah ﷻ menjamin bagiku negeri Syam dan penduduknya”. (Sohihul Jami’ No. 4070).
Dan negeri Syam hari ini mencakup empat negara; yaitu Suriah, Palestina, Yordania, dan Lebanon. Dan tentu pusat dari negeri Syam adalah Palestina itu sendiri, karena terdapat Masjid Al-Aqsha padanya. Lalu apa esensi Masjid Al-Aqsha di pandangan kaum muslimin? Berikut di antaranya:
1. Pahala berlipat untuk setiap shalat di dalamnya.
- أنَّهُ سأل رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ عَن الصَّلاةِ في بَيتِ المقدِسِ أفضلُ أو في مسجِدِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فَقالَ صلاةٌ في مسجِدي هذا ، أفضلُ من أربعِ صلواتٍ فيهِ
Bahwasanya Abu Dzal Al-Ghifari bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang shalat di Masjid Baitul Maqdis lebih utama ataukah di Masjid Rasulullah (Masjid Nabawi), maka Nabi ﷺ bersabda “Satu shalat di masjidku ini, lebih utama dari empat shalat padanya (Masjid Baitul Maqdis). (Shahih At-Targhib No 1179).
Dan dalam hadits lain Nabi ﷺ bersabda:
- صلاةٌ في مسجدِي هذا خيرٌ من ألفِ صلاةٍ في ما سواه إلا المسجدَ الحرامَ، وصلاةٌ في المسجدِ الحرامِ أفضلُ من مائةِ صلاةٍ في مسجدِي هذا
“Satu shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid-masjid selainnya kecuali masjidil Harom, dan satu shalat di Masidil Harom lebih utama dari seratus shalat di masjidku ini”. (HR. Imam Bukhari No. 1190, dan Imam Muslim No. 1394).
Sehingga dari kedua hadits di atas dapat kita simpulkan bahwa satu shalat di Masjid Baitul Maqdis/Masjidil Aqsha setara atau lebih utama dari dua ratus lima puluh shalat di masjid-masjidl lainnya.
2. Kiblat pertama kaum muslimin
Seorang sahabat, Bara’ bin ‘Azib berkata:
- صلينا مع النبيِّ نحو بيت المقدسِ ستةَ عشرَ شهرًا، أو سبعةَ عشرَ شهرًا وصُرف إلى القبلةِ
“Kami shalat bersama rasulullah (setelah hijrah) menghadap Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan, lalu (kiblat diarahkan) menghadap kiblat (Ka’bah)”. (HR. Imam Bukhari No. 40, dan Imam Muslim No. 525).
3. Tempat isra dan mi’rajnya Nabi ﷺ
Allah ﷻ berfirman:
سُبْحَٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al-Isra: 1).
4. Salah satu dari tiga masjid yang diperintahkan untuk senantiasa dikunjungi
Nabi ﷺ bersabda:
لا تُشَدُّ الرِّحالُ إلَّا إلى ثلاثةِ مساجدٍ : مسجدي هذا ومسجدُ الحرامُ ، ومسجدُ الأقصى
“Janganlah melakukan perjalanan (ke suatu tempat dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid; Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Harom, dan Masjidil Aqsa”. (HR. Imam Bukhari No. 1189, dan Imam Muslim No. 1397).
Dengan menilik beberapa hadits dan ayat di atas, maka jelaslah kepada kita sebab kemuliaan dari Masjidil Aqsa dan negeri Palestina serta ikatan yang kuat antara kita sebagai seorang muslim dengannya.
Bumi yang diberkahi itu pada hari ini dalam keadaan sebagaimana yang kita saksikan, tanahnya kerap bergetar akibat rudal musuh, langitnya kerap tertutup asap ledakan, rakyatnya puluhan tahun mengungsi di negeri sendiri, hingga situs suci tersebut begitu banyak mendengar hembusan nafas terakhir para syuhada yang memperjuangkannya.
Lantas apa pendirian kita di hadapan semua itu?
Kenyataan mereka merupakan seorang muslim seharusnya sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk berdiri di samping mereka dan mengibarkan bendera wala’ kepada mereka, dan mengapa kita sebagai seorang muslim tidak boleh menutup mata terhadap apa yang terjadi di negeri para nabi tersebut.
karena Nabi ﷺ bersabda:
- المُؤْمِنَ للمؤمنِ كالبُنْيانِ يشدُّ بَعضُهُ بعضًا
“Orang mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan sebuah (komponen) bangunan yang saling menguatkan”. (HR. Imam Bukhari No. 6026, dan Imam Muslim No. 2585).
��َا يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ، حتَّى يُحِبَّ لأخِيهِ ما يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
“Tidak beriman salah seorang kalian (dengan keimanan yang sempurna), sampai ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri”. (HR. Imam Bukhari no. 13, dan Imam Muslim no. 45).
مثلُ المؤمنين في تَوادِّهم ، وتَرَاحُمِهِم ، وتعاطُفِهِمْ . مثلُ الجسَدِ إذا اشتكَى منْهُ عضوٌ تدَاعَى لَهُ سائِرُ الجسَدِ بالسَّهَرِ والْحُمَّى
''Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.'' (HR. Imam Bukhari no. 6011, dan Imam Muslim no. 2586).
Lantas sampai kapan kita memilih diam atau acuh terhadap masalah ini, kesadaran akan ikatan persaudaraan yang dibangun di atas agama yang mulia ini harus senantiasa dihadirkan, keimanan yang mempersaudarakan kita, Allah ﷻ yang mempersaudarakan kita. Bukankah Allah ﷻ telah berfirman:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Qs. Al-Hujurat: 10)
Jangan terombang-ambing dengan banyaknya bisikan menyesatkan yang mengajak kita untuk kembali menutup mata dari apa yang tengah menimpa saudara kita, ucapan seperti “Mengapa jauh-jauh peduli dengan Palestina, kesulitan dan masalah di dalam negeri kita saja tidak ada habisnya, jadilah nasionalis”. Perkataan tersebut tidaklah muncul melainkan dari pemahaman keliru tentang nasionalisme, nasionalisme merupakan perasaan cinta dan bangga terhadap tanah air, namun bukan berarti menutup telinga dari jeritan penderitaan saudara kita di belahan dunia lain.
Atau ucapan “Penderitaan mereka disebabkan oleh tindakan mereka sendiri, seandainya mereka tidak melawan maka tidak akan dibom bardir oleh Israel”, subhanallah, andaikan anda memiliki sebidang tanah, lalu ada orang lain yang mengklaim dan berusaha untuk menguasainya, apakah anda akan diam saja? Andaikan dia mengajukan penawaran damai dengan syarat memberikan separuh lahan tersebut untuknya apakah anda akan menerima tawaran damai dengan persyaratan tersebut? Kalau anda seorang pendekar pasti anda menolaknya, karena bagaimanapun sejak awal lahan tersebut adalah milik anda. Itulah yang terjadi di Palestina semenjak tahun 1948 Masehi. Mereka adalah para pejuang yang berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang memang milik mereka.
Ditambah dengan fakta bahwa pelaku kejahatan terhadap saudara kita adalah kaum Yahudi zionis yang senantiasa melakukan makar terhadap para Nabi ‘alaihimusalam dan tak terlepas Nabi kita yang mulia Muhammad ﷺ, kaum yang dalam perjalanan sejarah telah menorehkan segudang kisah pembangkangan dan kedurhakaan kepada Allah ﷻ Rabb semesta alam.
Di antara ayat Al-Quran yang mengisahkan tentang pembangkangan kaum Yahudi:
1. Firman Allah ﷻ tentang kaum Yahudi yang mengatakan bahwa Allah ﷻ pelit dan fakta bahwa mereka senantiasa melakukan kerusakan :
وَقَالَتِ ٱلْيَهُودُ يَدُ ٱللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا۟ بِمَا قَالُوا۟ ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيْفَ يَشَآءُ ۚ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم مَّآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ طُغْيَٰنًا وَكُفْرًا ۚ وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ ٱلْعَدَٰوَةَ وَٱلْبَغْضَآءَ إِلَىٰ يَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ كُلَّمَآ أَوْقَدُوا۟ نَارًا لِّلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا ٱللَّهُ ۚ وَيَسْعَوْنَ فِى ٱلْأَرْضِ فَسَادًا ۚ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan”. (Qs. Al-Maidah: 64).
2. Firman Allah ﷻ mengabarkan bahwa mereka senantiasa memendam permusuhan kepada orang-orang Islam:
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ ٱلنَّاسِ عَدَٰوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۖ وَلَتَجِدَنَّ أَقْرَبَهُم مَّوَدَّةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّا نَصَٰرَىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنْهُمْ قِسِّيسِينَ وَرُهْبَانًا وَأَنَّهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri”. (Qs. Al-Maidah: 82).
3. Firman Allah ﷻ tentang perkataan kaum Yahudi bahwa Allah ﷻ faqir dan fakta bahwa mereka kerap membunuh para nabi yang diutus kepada mereka:
لَّقَدْ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوْلَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓا۟ إِنَّ ٱللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَآءُ ۘ سَنَكْتُبُ مَا قَالُوا۟ وَقَتْلَهُمُ ٱلْأَنۢبِيَآءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَنَقُولُ ذُوقُوا۟ عَذَابَ ٱلْحَرِيقِ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang mengatakan: "Sesunguhnya Allah miskin dan kami kaya". Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): "Rasakanlah olehmu azab yang membakar". (Qs. Ali Imran: 181).
4. Tentang sifat keras kepala mereka, yang tidak mau beriman walaupun setelah ditampakan begitu banyak ayat kepada mereka:
وَإِذْ قُلْتُمْ يَٰمُوسَىٰ لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى ٱللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ ٱلصَّٰعِقَةُ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya". (Qs. Al-Baqarah: 55).
Begitulah watak dan sepak terjang mereka semenjak dahulu, dan ingatlah pada zaman Nabi Muhammad ﷺ, dahulu di kota Yatsrib (nama lama dari kota Madinah Al-Munawarah) terdapat tiga kabilah yahudi yang telah lama menempati kota tersebut, yaitu Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraydzah. Setelah hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke kota Madinah, beliau membuat perjanjian bersama ketiga kabilah yahudi tersebut, untuk hidup damai dan saling membantu ketika ada musuh yang hendak menyerang kota Madinah. Namun ketiga kabilah tersebut berkhianat, dan senantiasa bermakar.
Yang pertama, pada tahun kedua hijriah, Bani Qaynuqa’ melecehkan seorang wanita mulimah di pasar mereka, lalu membunuh seorang sahabat yang menyaksikan kejadian tersebut dan membantu wanita muslimah tadi, sehingga mereka di usir oleh Nabi ﷺ keluar Madinah, mereka pindah ke Khaibar, sebuah kota yang berjarak sekita 168 kilo meter dari kota Madinah.
Yang kedua, Bani Nadhir, pada tahun keempat hijriah mereka berusaha membunuh Nabi ﷺ dengan cara menjatuhkan batu besar ke atas Nabi ﷺ di saat beliau berada di bawah satu rumah di permukiman mereka, padahal waktu itu Nabi ﷺ mendatangi mereka sebagai tamu. Akhirnya mereka dikepung dan diusir dari kota Madinah, lalu mereka pergi ke Khaibar menyusul Bani Qaynuqa’.
Adapaun yang ketiga, yaitu Bani Quraidzah, maka pengkhianatan mereka terjadi ketika perang Ahzab atau perang Khandaq (parit), di saat para yahudi dari Khaibar beraliansi dengan kaum kufar Quraish dan beberapa kabilah arab lain sehingga membentuk pasukan besar dengan jumlah sepuluh ribu pasukan untuk menyerang kota Madinah. Mereka mengepung kota Madinah sekitar tiga minggu lamanya, di musim dingin tahun kelima hijriah. Di saat genting itulah yahudi Bani Quraidzah, satu-satunya kabilah yahudi yang masih tinggal di dalam kota Madinah berkhianat. Akhirnya setelah Allah ﷻ mengirimkan angin yang memporak-porandakan tentara musuh yang mengepung Madinah dan memaksa mereka untuk mengakhiri pengepungan, Rasulullah mendatangi yahudi Bani Quradzah, lantas mereka meminta kepada Nabi ﷺ agar Sa’ad bin Mu’adz (ketua kabilah Aus yang dahulu pernah beraliansi dengan bani Quraidzah di masa Jahiliah) yang menentukan hukuman bagi mereka, lalu Saad bin Mu’adz menetapkan atas mereka sebuah ketetapan yang diridhai oleh Allah ﷻ dan rasul-Nya ﷺ, yaitu membunuh para lelaki dari bani Quraidzah, menawan wanita dan anak-anak mereka, juga membagi harta serta tanah mereka. Sebuah hukuman yang dikarenakan oleh pengkhianatan mereka sendiri.
Jadi seperti inilah sifat atau watak dari kaum Yahudi, kaum yang senantiasa menyebar kerusakan di muka bumi, kerap berkhianat, dan selalu menyimpan dendam permusuhan kepada kaum muslimin.
Lantas apa lagi alasan kita untuk tidak membela saudara kita di hadapan kaum pengkhianat tersebut? Apalagi sampai setuju, memaklumkan, atau bahkan membela tindakan para Zionis tersebut, naudzubillah min dzalik.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُمْ رَٰكِعُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Qs. Al-Maidah: 55).
وَمَن يَتَوَلَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَإِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْغَٰلِبُونَ
“Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Qs. Al-Maidah: 56).
Mari renungkan apa yang akan kita jawab ketika Allah ﷻ kelak menanyakan tentang sikap acuh kita terhadap saudara kita yang tengah dibantai, disiksa, sakit, kelaparan, ataupun kehausan di sana?, bukankah dalam hadits Qudsi Allah ﷻ berfirman:
إنَّ اللَّهَ عزَّ وجلَّ يقولُ يَومَ القِيامَةِ: يا ابْنَ آدَمَ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي، قالَ: يا رَبِّ، كيفَ أعُودُكَ وأَنْتَ رَبُّ العالَمِينَ؟! قالَ: أَمَا عَلِمْتَ أنَّ عَبْدِي فُلانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ؟ أمَا عَلِمْتَ أنَّكَ لو عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ؟ يا ابْنَ آدَمَ، اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي، قالَ: يا رَبِّ، وكيفَ أُطْعِمُكَ وأَنْتَ رَبُّ العالَمِينَ؟! قالَ: أَمَا عَلِمْتَ أنَّه اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلانٌ، فَلَمْ تُطْعِمْهُ؟ أَمَا عَلِمْتَ أنَّكَ لوْ أطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذلكَ عِندِي، يا ابْنَ آدَمَ، اسْتَسْقَيْتُكَ، فَلَمْ تَسْقِنِي، قالَ: يا رَبِّ، كيفَ أسْقِيكَ وأَنْتَ رَبُّ العالَمِينَ؟! قالَ: اسْتَسْقاكَ عَبْدِي فُلانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ، أمَا إنَّكَ لو سَقَيْتَهُ وجَدْتَ ذلكَ عِندِي.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman (kepada seorang hamba) pada Hari Kiamat, “Wahai anak Adam, Aku sakit tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.” Hamba tersebut berkata, “Wahai Rabb-(ku), bagaimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Rabb seluruh alam?” Allah Azza wa Jalla pun berfirman, “Bukankah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku fulan sedang sakit, namun engkau tidak menjenguknya. Bukankah engkau telah mengetahui seandainya engkau menjenguknya, niscaya engkau akan mendapati (pahala)-Ku di sisinya. Wahai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu tetapi engkau tidak memberi-Ku makan.” Hamba tersebut berkata, “Wahai Rabb-(ku), bagaimana aku memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Rabb seluruh alam?” Allah Azza wa Jalla pun berfirman, “Bukankah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku fulan meminta makan kepadamu, namun engkau tidak memberinya makan. Bukankah engkau telah mengetahui seandainya engkau memberinya makan, niscaya engkau akan mendapatkan (pahala)nya di sisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu tetapi engkau tidak memberiKu minum.” Hamba tersebut berkata, “Wahai Rabb-(ku), bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Rabb seluruh alam?” Allah Azza wa Jalla pun berfirman, “Hamba-Ku fulan meminta minum kepadamu, namun engkau tidak memberinya minum. Bukankah seandainya engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapatkan (pahala)nya di sisi-Ku. (HR. Imam Muslim No. 2569)
Jika kita tidak bisa meringankan penderitaan mereka dengan bantuan materil, setidaknya jangan lupakan mereka di sudut doa kita, serta ingatkan orang lain untuk peduli dan mendoakan mereka, semoga dengannya Allah ﷻ segera memberikan kemenangan kepada saudara kita di sana, dan kita mendapatkan ganjaran yang dijanjikan-Nya, Nabi ﷺ bersabda:
دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لأَخِيهِ بظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّما دَعَا لأَخِيهِ بخَيْرٍ، قالَ المَلَكُ المُوَكَّلُ بهِ: آمِينَ وَلَكَ بمِثْلٍ.
“Doa seorang muslim untuk saudaranya dengan tanpa sepengetahuan saudaranya itu mustajab. Di kepala seorang muslim itu ada malaikat yang diberi tugas; bila ia mendoakan kebaikan bagi saudaranya, maka malaikat yang diberi tugas itu mengucapkan, 'Amin, dan untukmu juga seperti itu'". (HR. Imam Muslim No. 2733).
Allah Ta’ala A’lam.
0 notes
arfatardi · 7 months
Text
Tumblr media
هَكَذَا كَانُوْا
(Seperti Ini Mereka Dahulu)
Oleh: Arfat Ardi Setiawan
Pengantar
Merupakan sebuah sunnatullah bahwa Allah senantiasa menjaga agama-Nya di dunia ini untuk menjadi agama yang akan senantiasa menang di atas semua agama melalui para Nabi dan Rasul yang diutus-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ ࣖ
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya”. (As Saff:9)
Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amanah tongkat estapet dakwah tersebut diemban oleh para sahabat beliau, kemudian dilanjutkan oleh para tabi’in, atba’ tabi’in dan ulama rabaniyin yang mana mereka semua telah mengorbankan banyak tenaga, pikiran, serta waktu mereka untuk terus mempelajari warisan para nabi kemudian mengajarkannya kepada umat, sehingga nama mereka senantiasa harum sepanjang masa digaungkan sebagai pahlawan agama yang mulia ini.
Tentu bagi siapa saja yang ingin mencapai apa yang telah mereka capai hendaknya meniti jalan yang telah mereka ukir dengan sangat jelas untuk dapat ditempuh bagi siapa saja yang menginginkan meniti jalan mereka dikemudian hari. Namun satu hal yang pasti bahwa jalan mereka penuh dengan duri pengorbanan, cucuran peluh dan air mata, serta keterasingan.
Namun, tidak jarang mereka yang dahulu telah memutuskan untuk ikut serta dalam mendulang ilmu agama yang mulia ini, jalan mereka kembali terlihat samar, langkah dihinggapi keraguan, atau bahkan berpikir untuk merubah haluan. Entah karena cobaan yang tak kunjung hilang, atau godaan yang semakin memabukan.
Semoga tulisan sederhana ini dapat kembali membisikan semangat kepada diri sendiri sebelum orang lain, dapat menggandeng tangan yang mulai meraba ke segala arah kemudian mengarahkannya kembali ke atas jalan kemuliaan. Amin.
Keutamaan Ilmu
Jika ingin membuka lembaran-lembaran suci Al-Quran dan kitab-kitab hadits nabawi maka tidak sulit untuk menemukan ayat maupun hadits yang menceritakan kemuliaan sebuah ilmu, berikut beberapa di antaranya:
1. Firman Allah ﷻ:
{ ‏‏يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ}(المجادلة‏:‏ 11‏)
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS. Al-Mujadalah:11).
2. Firman Allah ﷻ:
{ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ }(الزمر:9)
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakalah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az Zumar: 9).
3. Sabda Nabi Muhammad ﷺ:
"مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ تَعَالَى بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّهُ يَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِمِ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي الْمَاءِ، وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِه�� أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ".
“Barangsiapa yang meniti suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, niscaya Allah akan mempermudah jalannya menuju Surga, dan sesungguhnya malaikat akan membentangkan sayapnya karena ridho terhadap penuntut ilmu, sesungguhnya apa yang ada di langit dan bumi akan senantiasa memohonkan ampun untuk seorang yang berilmu, hingga ikan di dalam lautan, dan keutamaan seorang alim di atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaan rembulan di atas semua bintang gemintang, sesungguhnya ulama merupakan pewaris para nabi, dan para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu, barangsiapa yang mengambil bagian dari warisan tersebut maka ia telah mengambil bagian yang banyak (beruntung)” (HR. Imam Tirmidzi no.2628).
Mungkin untaian ayat dan hadits di atas sudah sangat sering kita dengar bahkan sampaikan kepada orang lain, namun sudahkah diri kita meresapinya sampai menggurat bekas berupa tekad untuk mendapatkan semua keutamaan yang telah dijanjikan tersebut? Ataukah ayat dan hadits tersebut hanya sebatas koleksi hafalan kita saja?
Nilai Sebuah Ilmu dalam Pandangan Para Ulama
Bagi seorang yang bijak yang mampu melihat segala sesuatu dengan jernih, maka sudah pasti akan terlihat hakikat kemuliaan sebuah ilmu padanya. Kejernihan hati dan ketajaman pikiran membuat orang-orang hebat itu mampu melihat kemuliaan dan keagungan ilmu agama sehingga membuat mereka tidak menunda untuk menenggelamkan diri di lautan ilmu tersebut, sehingga jadilah mereka orang-orang yang nama mereka menghiasi lembaran sejarah yang mengisahkan tentang sebuah kemuliaan, tekad, dan perjuangan. Dari kisah mereka orang-orang menimba semangat, dari karya mereka orang-orang menggali hakikat diri, dan dari petuah meraka orang-orang mendapatkan siraman rohani.
Mari kita dengarkan sebagian dari mereka saat berkisah tentang pandangan mereka terhadap ilmu:
1. Imam Abu Bakr ibnu Sunni menuliskan dalam kitab beliau “Al-Qona’ah”:
رَضِيْتُ مِنَ الدُّنْيَا بِقُوْتٍ يُقِيْمُنِيْ
فَلَا أَبْتَغِيْ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا فَضْلَا
وَلَسْتُ أَرُوْمُ الْقُوْتَ إِلَّا لِأَنَّهُ
يُعِيْنُ عَلَى عِلْمٍ أَرُدُّ بِهِ جَهْلًا
فَمَا هَذِهِ الدُّنْيَا بِطِيْبِ نَعِيْمِهَا
لِأَيْسَرِ مَا فِي الْعِلْمِ مِنْ نُكْتَةٍ عِدْلَا
“Aku ridho dari duniaku sebatas makanan yang menguatkan tubuhku
Maka aku tidak ingin lebih dari itu
Dan tidaklah aku menginginkan sebuah makanan
Melainkan karena ia dapat menguatkanku menuntut ilmu
Dan bagiku dunia ini serta semua kelezatan di atasnya
Tidak dapat menandingi nilai dari secercah ilmu
2. Ibnu Al-Jauzi bercerita: “Dahulu di masa aku menuntut ilmu hadits, aku hanya berbekal dengan roti kering yang hanya dapat dimakan setelah dibasahkan. Setiap potong yang aku makan harus diikuti dengan setenggak air agar dapat ditelan. Namun tidaklah yang kurasakan waktu itu melainkan kenikmatan dari menuntut ilmu. Beliau kemudian berkata:
وَمَنْ تَكُنِ الْعَلْيَاءُ هِمَّةَ نَفْسِهِ
فَكُلُّ الَّذِيْ يَلْقَاهُ فِيْهَا مُحَبَّبُ
“Barangsiapa yang kemuliaan menjadi tujuannya
Maka ia akan mencintai setiap yang ia jumpai dalam perjalanan mencapainya”
3. Al-Qodi Al-Jurjani (Abu Al-Hasan Ali bin Abdul Aziz) berkata:
مَا تَطَعَّمْتُ لَذَّةَ الْعَيْشِ حَتَّى
صِرْتُ لِلْبَيْتِ وَالْكِتَابِ جَلِيْسَا
لَيْسَ شَيْءٌ عِنْدِيْ أَعَزُّ مِنَ
الْعِلْمِ فَمَا أَبْتَغِيْ سِوَاهُ أَنِيْسًا
“Tidaklah Aku merasakan kenikmatan hidup
Melainkan saat aku menyendiri bersama buku
Bagiku tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari sebuah ilmu
Maka aku tidak ingin seorang sahabat selainnya di sampingku”
Cerminan Ulama dalam Menuntut Ilmu
Sesungguhnya dalam kisah seorang yang telah sampai pada suatu tujuan, terdapat banyak pelajaran bagi mereka yang mendambakan tujuan yang sama, layaknya sebuah peta yang dapat mununtun, atau buku panduan yang dapat mengarahkan. Berikut beberapa kisah pahlawan kita:
1. Ibnu Solah menyebutkan bahwa Alqomah bin Qois Al-Nakho’I dan Al-Aswad bin Yazid Al-Nakho’i keluar dari Iraq menuju kota Madinah dalam perjalanan selama sebulan hanya untuk mendengar satu hadits dari Umar bin Khotob.
2. Abul ‘Aliyah mengatakan: Dahulu saat di Basroh kami sering mendengar hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah, namun kami tidak merasa puas sampai kami berangkat ke Madinah untuk mendengar langsung dari para sahabat Rasulullah”
3. Sa’id bin Musayab berkata: “Aku pernah menempuh perjalanan beberapa malam dalam rangka mendengar sebuah hadits”
4. Seorang tabi’in yang bernama Abu Qilabah bercerita: “Aku pernah datang dari Basroh menuju Madinah dan tinggal di dalamnya selama tiga bulan, dan aku tidak memiliki keperluan di Madinah melainkan aku mendapat kabar bahwa ada seseorang yang meriwayatkan sebuah hadits yang belum pernah kudengar akan datang ke Madinah, maka aku menunggunya selama tiga bulan sampai ia datang”.
5. Diriwayatkan bahwa imam Baqiy bin Makhlad al-andalusi, berjalan kaki dari Andalusia menuju Bagdad dalam rangka berjumpa dan berguru kepada Imam Ahmad.
6. Ibnu Abi Hatim bercerita: Pernah suatu masa di Mesir kami tidak pernah makan nikmat selama tujuh bulan, waktu siang kami habiskan untuk menghadiri majelis ilmu, dan malam hari kami habiskan dengan menyalin catatan dan mudzakaroh bersama. Sampai pada suatu hari kami melihat ikan yang tampak sangat lezat di pasar dan kami membelinya. Belum sempat kami menyantap ikan tersebut, waktu sebuah majelis ilmu terlebih dahulu dimulai, kami pun bergegas pergi meninggalkan ikan tersebut, sampai berlalu tiga hari kami belum sempat makan ikan tersebut, sampai ia hampir busuk, namun kami tetap memakannya dengan keadaan seperti itu. Ibnu Abi Hatim kemudian berkata: “Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan”.
7. Imam Abu Hatim Ar Razi berkata: “Aku pernah tinggal di Basroh selama delapan bulan, dan waktu itu aku berniat untuk menggenapkannya satu tahun, bekalku pun habis. Kemudian aku mulai menjual pakaianku satu per satu. Dan suatu hari aku pergi ke majelis para ulama bersama temanku hingga sore hari, saat ia pulang aku pun singgah untuk istirahat di sebuah rumah kosong dan hanya dapat meminum sedikit air untuk mengganjal rasa laparku”
8. Imam Bukhori berkata: Aku pergi untuk menjumpai Adam bin Abi Iyas di Asqolan (sebuah kota di Palestina saat ini), bekalku pun habis, sehingga aku terpaksa memakan rerumputan. Tidak ada satu orangpun yang tahu akan hal itu. Hingga pada hari ketiga datanglah kepadaku seseorang yang tak kukenal memberikanku sekantong uang seraya berkata: infakan uang ini kepada dirimu.
Cerminan Ulama dalam Menjaga Waktu
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَٱلۡعَصۡرِ (1) إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ (2) إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ (3)
Imam Fakhruddin Ar Razi ketika menafsirkan surat Al-Asr dalam kitab beliau “Mafatihul Goib” berkata:
“Allah bersumpah dengan waktu, disebabkan keajaiban-keajaiban yang dikandung oleh waktu, di dalam waktulah kesenangan dan kesedihan terjadi, kesehatan dan rasa sakit, begitu juga keberlimpahan harta dan kefakiran, dan disebabkan nilai dari usia tidak akan dapat ditandingi oleh apapun.
Seandainya engkau menyia-nyiakan seribu tahun dari usiamu dalam hal yang tak berguna, kemudian engkau bertaubat dan memperbaiki hidupmu di detik-detik akhir, maka engkau akan masuk surga yang kekal, dan di saat itulah engkau akan sadar bahwa sesuatu yang paling berharga adalah hidupmu di detik-detik akhir tersebut.
Waktu juga merupakan salah satu nikmat yang paling utama, karena itulah Allah bersumpah dengannya, dan Allah memperingati bahwa siang dan malam merupakan kesempatan yang banyak disia-siakan oleh manusia”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat yang mana kebanyakan manusia tertipu di dalamnya: nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang”. (HR. Bukhori, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Barzah Al-Aslami, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمِ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَاهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ
“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat kelak sampai dia ditanya tentang usianya dalam hal apa ia habiskan, tentang ilmunya apa yang ia perbuat dengannya, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan dalam hal apa ia habiskan, dan tubuhnya dalam hal apa ia gunakan”.
Lalu bagaimana jadinya apabila kesadaran akan nilai sebuah waktu telah terpatri dalam jiwa seseorang? Mari kita simak beberapa penuturan berikut:
1. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tidak ada penyesalan yang aku rasakan melebihi rasa sesalku terhadap suatu hari yang berlalu, usiaku berkurang, akan tetapi amalku tidak bertambah di dalamnya”.
2. Hasan Al-Basri berkata: “Wahai anak Adam, sesungguhnya dirimu hanyalah kumpulan dari hari-hari, apabila berlalu suatu hari maka berkuranglah sebagian dari dirimu”.
3. Rabi’ bin Sulaiman Al-Murodi, salah satu murid dari Imam Syafi’i berkata: “Imam Syafi’i membagi malamnya menjadi tiga, sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat malam, dan sepertiga terakhir untuk tidur”.
4. Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya “ Dzail Thabaqot Al-Hanabilah” menukilkan perkataan Imam Abul Wafa Ibnu Aqil Al-hanbali:
“Dan aku sebisa mungkin mempersingkat waktu makanku, sampai aku lebih memilih kue yang aku rendam dengan air dari pada roti, karena perbedaan waktu dalam menghabiskannya, sehingga memberikanku waktu untuk membaca, atau menulis sebuah faedah baru. Sesungguhnya hal paling berharga untuk didapatkan bagi orang yang berakal, dan disepakati oleh ulama, adalah waktu. Hakikatnya dia adalah sebuah harta yang di dalamnya kesempatan-kesempatan didapatkan. Sesungguhnya pekerjaan dan tanggungan begitu banyak, dan waktu sangat cepat berlalu”.
5. Diceritakan bahwa Daud Al-Thoi memilih untuk memakan remahan roti dari pada roti utuh, beliau berkata: “Selisih waktu antara makan roti utuh dan remahannya cukup untuk membaca lima puluh ayat”.
6. Imam Ibnul Jauzi menuliskan nasihat untuk anaknya dalam sebuah risalah yang berjudul “Laftatul Kabid Fi Nasihatil walad”. : “Ketahuilah wahai anakku, sesungguhnya hari terdiri dari beberapa jam, dan jam terdiri dari beberapa nafas, setiap hembusan nafas adalah wadah untuk menyimpan amal. Berhati-hatilah jangan sampai nafasmu pergi begitu saja, kemudian pada hari kiamat engkau menjumpai wadahmu kosong sehingga engkau pasti akan menyesalinya”.
7. Al-Maqori dalam kitabnya “Nafhu At Thib” menyebutkan tentang Imam Ibnu Malik (pengarang Al fiyah) : “Tidaklah ia dijumpai melainkan dalam keadaan sedang shalat, membaca al-quran, menulis, atau membaca kitab”.
8. Imam Dzahabi menceritakan dalam kitab beliau “Tadzkiratul Hufaz”: Imam Nawawi pernah berkata : “Selama dua tahun punggungku tidak pernah menyentuh kasur”. Ia menghafal kitab “At Tanbih”[kitab fiqih mazhab Syafi’i karya Imam Syayrozi] dalam waktu empat setengah bulan, kemudian menghafal seperempat kitab “Al Muhadzhab” dalam waktu tujuh setengah bulan di bawah bimbingan syaikh beliau Ishaq bin Ahmad.
9. Disebutkan dalam kitab “Ad Durar Al Kaminah” karya imam Ibnu Hajar, bahwa Imam Abu Tsana Al-Asbahani berusaha untuk makan sesedikit mungkin, sehingga ia tidak butuh kepada banyak air minum, karena dengan seringnya minum dapat membuatnya sering ke kamar mandi yang dapat menghabiskan banyak waktunya”.
10. Imam Muhammad bin Ali Al Syawkani dalam kitab “Al Badr At Tholi’” menceritakan tentang dirinya, bahwa dalam sehari ia memiliki tiga belas majelis antara berguru kepada para syaikh beliau dan duduk mengajar untuk para muridnya.
Renungan dan Penutup
Setelah melihat beberapa kisah hebat dari para ulama, maka sepatutnya diri kita untuk kembali mengambil moment hening sejenak untuk merenungkan bagaimana waktu dan hari-hari kita selama ini berlalu. Apakah kita sudah berkata jujur kepada diri kita bahwa memang jalan ini yang ingin kita tempuh, jika benar maka sudahkah kita berjalan di atasnya. Atau selama ini hanya pengakuan tanpa berani mengambil semua pengorbanan itu, lantas ke arah mana kita akan sampai esok hari. Imam Syafi’i berkata:
أَبِيْتُ سَهْرَانَ الدُّجَا وَتَبِيْتُهُ
نَوْمًا وَتَبْغِيْ بَعْدَ ذَلِكَ لِحَاقِيْ
“Malam Aku habiskan dengan bergadang bersama ilmu
Dan kau habiskan dengan tidur pulasmu, lantas kau ingin menjadi sepertiku?!”
Ataukah kita hanya mencukupkan diri dengan lembaran-lembaran sertifikat dan ijazah yang dengannya kita dapat merasa telah mengantongi ilmu-ilmu yang dahulu diraih oleh para ulama dengan segenap pengorbanan mereka.
Syaikh Hafidz Al-Hakami pernah berkata:
مَالْعِلْمُ حَمْلُ شَهَادَاتٍ مُزَخْرَفَةٍ
بِزُخْرُفِ الْقَوْلِ مِنْ نَثْرٍ وَمُنْتَظِمِ
بَلْ خَشْيَةُ اللهِ فِيْ سِرٍّ وَف��يْ عَلَنِ
فَاعْلَمْ هِيَ الْعِلْمُ كٌلَّ الْعِلْمِ فَلْتَزِمِ
“Ilmu itu bukanlah mengoleksi syahadah yang terhiasi
Oleh tulisan-tulisan indah yang tertata rapi
Namun ketakutan kepada Allah dalam sepi dan ramai
Ketahuilah itu ilmu yang hakiki”
Begitu juga Syaikh Amir Bahjat mengisahkan ada seorang yang berkata:
دَخَلْتُ فِيْهَا {الجامعة} جَاهِلًا مُتَوَاضِعًا
وَخَرَجْتُ مِنْهَا جَاهِلًا مَغْرُوْرًا
“Aku masuk ke universitas dalam keadaan bodoh lagi rendah hati
Kemudian aku lulus dalam keadaan bodoh lagi percaya diri”
Yang berubah dari dirinya hanyalah keberaniannya untuk berbicara lebih tentang agama karena dibekali dengan gelar lulusan universitas tertentu, terlepas dari bagaimana seluruh waktunya berlalu selama ia berstatus sebagai “penuntut ilmu”. Lucu memang, namun inilah realita.
Maka sebelum limpahan nikmat dan kesempatan ini sepenuhnya berlalu, hendaknya kita bersama mengambil langkah nyata untuk sisa perjalanan yang masih panjang di depan, keberadaan kita ditengah para ulama dan majelis ilmu mungkin sulit untuk terulang kembali saat kita tak lagi di kota suci, jangan sampai saat itu diri kita baru sadar dan mulai meratapi.
Seorang penyair pernah berkata:
وَلَسْتُ بِمُدْرِكِ مَا فَاتَ مِنِّيْ
بِلَهْفَ وَلَا بِلَيْتَ وَلَا لَوْ أَنِّيْ
“Dan aku tak dapat mengganti yang telah luput dariku
Tidak dengan penyesalan, dengan ‘seandainya’, atapun ‘andaikan aku dulu’”.
Benar, Kita tidak harus ikut merendam roti dan hal lainnya di saat Allah ﷻ memberikan limpahan nikmat-Nya kepada kita, namun pertanyaanya adalah sudahkah kita mencapai derajat itu dalam kesungguhan?
Referensi:
1. Kitab “Qiymatuz Zaman ‘Indal ‘ulama” , Syaikh Abdul Fatah Abu Gudah, Cetakan Dar As-Salam 2011.
2. Kitab “Sofahat Min Sobril Ulama”, Syaikh Abdul Fatah Abu Gudah, Cetakan Dar As-Salam 2013.
3. Catatan dan Ringkasan Pribadi
0 notes
arfatardi · 7 months
Text
Tumblr media
“Sandiwara Digital”.
Ada sebuah kebiasaan yang sudah menjadi fenomena serta berhasil mendapat stempel ‘wajar/biasa’ di benak banyak orang, sejalan dengan kecanggihan hidup yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi serta perkembangan dunia digital atau media sosial dengan beragam jenis dan keistimewaan yang ditawarkan.
Kebiasaan yang saya maksud adalah menumpahkan segala drama kehidupan dalam media sosial, menceritakan tentang kuntum bunga, dan duri tajamnya. Ada seorang suami yang dimasakan oleh istrinya lalu menulis sebuah status whatsapp “Aroma surga yang mengepul dari masakan seorang bidadari”, Ada seorang istri yang digombali oleh sang suami lalu menulis “Hidup bersamamu adalah takdir indah yang telah kudiktekan kepada Tuhan”, Ada seorang gadis yang dilamar lalu menulis “Wanita baik-baik untuk laki-laki yang baik, Alhamdulillah sold out bestie”, ada seorang bujang yang mendapatkan kekasih idaman, lalu ia menulis “Tidak mengapa hidupku berliku, selama gadis jelita sepertimu bersamaku”. Menjadikan rumah tangganya bagaikan sebuah panggung sandiwara yang dapat ditonton oleh siapa pun yang ingin menyaksikan.
Padahal di waktu yang sama, mata-mata hasad bisa saja mengintai dari ujung sudut yang tak diketahui, dan dapat menyambar kebahagiaan itu lalu menggantinya dengan penyesalan yang berkepanjangan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
الْعَيْنُ حَقٌّ، ولو كانَ شيءٌ سابَقَ القَدَرَ سَبَقَتْهُ العَيْنُ
“Ain itu benar-benar ada! Andaikan ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, sungguh 'ain itu yang bisa.” (HR. Muslim No. 2188).
Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa malaikat Jibril alaihisalam datang meruqyah Nabi ﷺ dengan sebuah doa yang kelak Nabi ﷺ bacakan kepada kedua cucu kesayangan beliau yaitu Hasan dan Husain:
باسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ، مِن كُلِّ شَيءٍ يُؤْذِيكَ، مِن شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ، أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ، اللَّهُ يَشْفِيكَ، باسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ.
"Dengan nama Allah, saya meruqyahmu dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejahatan setiap jiwa atau setiap mata yang dengki, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah saya meruqyahmu". (HR. Muslim no. 2186).
Maka mendatangkan sebab sesuatu yang kita sendiri diperintahkan untuk berlindung darinya merupakan indikasi kurangnya pemahaman atau perenungan terhadap hal tersebut.
Maka hal ini merupakan sebuah kewajaran yang dapat mengeringkan dermaga kasih sayang dalam rumah tangga seseorang, sebuah kewajaran yang dapat meruntuhkan istana cinta yang telah dengan letih disusun setiap potong batu batanya. Seperti menyulut api di sisi genangan minyak yang sewaktu-waktu dapat berkobar dan menghanguskan. Seperti menempatkan diri di atas terumbu karang dengan ombak gila yang dapat menghempas dan menghanyutkan.
Jangan sampai status di atas suatu hari berubah disebabkan dampak dari statusnya yang lalu, semua itu menjelma menjadi “Setiap insan memilki ujian, dan ujianku adalah bersanding denganmu”, atau “Semua yang berkumis sama saja” tidak lupa dengan emoji menangis satu baris. Ain telah mengetuk pintu rumah tangganya. Pandailah mengambil pelajaran atas semua yang kita saksikan, sebuah pepatah arab mengatakan السَّعِيْدُ مَنِ اعْتَبَرَ بِغَيْرِهِ “Orang beruntung adalah yang pandai mengambil pelajaran dari orang lain”.
Miris di atas kemirisan adalah jika seorang suami mengumbar tentang istrinya atau meridhoi hal tersebut dari istrinya. Seseorang yang memikul tanggung jawab besar atas setiap tingkah laku gadis yang ia pinang, dan berkewajiban untuk menjaga serta mendidik justru mencontohkan hal yang menyalahi syariat dan nalar sehat. Bukankah Nabi ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بيتِهِ وَهُوَ مَسْؤولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلدِهِ وَهِيَ مَسْؤُوْلَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى بَيْتِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang Imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, laki-laki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimipinannya, seorang pembantu adalah penjaga harta tuannya dan bertanggung jawab atas apa yang dijaganya. Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya". (Muttafaq Alaihi).
Memang dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini membuat jarak pandang kita terhadap kehidupan orang lain dapat seribu kali lebih luas dan jauh, seseorang di ujung timur dapat mengetahui nasib dan kualitas hidup seseorang yang berada di ujung barat. Orang yang bijak bisa menyikapi dan memfilter, sedangkan yang kurang pandai memosisikan diri di hadapan fasilitas yang teknologi tawarkan berlahan akan ikut merasakan kegersangan akan penilaian serta pengakuan orang lain. Sehingga kurang ‘afdhol’ apabila keberhasilannya tidak diketahui oleh orang lain, keharmonisannya tidak diidolakan oleh orang lain, atau kebahagiaanya tidak didambakan oleh orang lain.
Tidakkah privasi itu begitu spesial?! Engkau bermandikan kasih sayang pasangan dan tidak ada seorang pun yang mendengkinya, engkau mencapai suatu prestasi dan engkau tetap tenang elegan, merayakannya bersama orang-orang terkasih, tanpa seorang pun menginginkannya, engkau selesai beribadah dan hanya dirimu dan Allah ﷻ yang menyaksikannya, berharap balasan yang sempurna hanya dari-Nya.
Allah Ta’ala A’lam.
(Arfat Ardi.
Tulisan ini tidak ditujukan kepada siapapun secara personal, dan permisalan dari status di atas tidak diambil dari siapapun. Bagi yang memiliki pandangan berbeda, silahkan jalani hari dengan pilihan masing-masing).
0 notes
arfatardi · 7 months
Text
Tumblr media
Satu Kali Saja (Idealisme yang ditawar)
Satu sifat baik yang melekat dalam diri seseorang, yaitu pendirian yang teguh di atas pondasi keyakinan dan nilai yang ia yakini benar. Nilai-nilai yang menjadi patokan sekaligus timbangan terhadap sebuah tindakan atau ‘pemikiran’ untuk menyimpulkan apakah hal tersebut termasuk sebuah tindakan atau ‘pemikiran’ yang benar atau sebaliknya. Nilai-nilai yang selaras dengan kemantapan hati dan jiwa, sehingga di kala menjalani sebuah tindakan yang telah lolos dalam timbangan kebenaran tadi, maka jiwa, hati, dan pikiran menjalaninya dengan penuh kemantapan dan keyakinan. Adapun sebaliknya, di saat apa yang harus dilakukan bertabrakan dengan nilai-nilai tersebut, maka hati, pikiran, dan jiwa senantiasa akan memberontak, memprotes raga yang sedang tersesat dari jalur yang telah ditentukan.
Namun tidak sedikit pejuang idealisme yang hancur berantakan karena sifat idealismenya terhadap sebuah nilai yang dianut di saat jiwa yang menopang masih ringkih di hadapan putaran roda kehidupan. Padahal nilai yang diperjuangkan mungkin berupa khayal belaka tentang kesempurnaan di saat kenyataan melawannya.
Dengan hakikat kehidupan yang memiliki sifat dinamis maka akan senantiasa membawa keadaan baru bagi setiap insan, terkadang datang menghadirkan sebuah waktu atau keadaan yang mengikis nilai-nilai tersebut dengan brutal. Butuh jiwa sekeras baja untuk menahan nilai-nilai tersebut agar tidak goyah di setiap kondisi. Seorang penyair berkata:
ثَمَانِيَةٌ تَجْرِيْ عَلَى النَّاسِ كُلِّهِمِ
وَلَا بُدَّ لِلإِنْسَانِ يَلْقَى الثَّمَانِيَهْ
سُرُوْرٌ وَحُزْنٌ وَاجْتِمَاعٌ وَفُرْقَةٌ
وَيُسْرٌ وَعُسْرٌ ثُمَّ سُقْمٌ وَعَافِيَةْ
“Delapan hal yang akan senantiasa datang kepada semua manusia,
Dan sebuah kepastian bahwa semua mereka akan menjumpai kedelapannya,
Bahagia, kesedihan, pertemuan, perpisahan,
Kemudahan, kesulitan, masa sakit, dan kesehatan”.
Sehingga di saat penopang dari sebuah nilai hanya berupa keyakinan subjektif, maka kebimbangan akan sering kali muncul. Koridor idealismenya masih menjadi wadah yang tersentuh tawar menawar.
Banyak orang menaruh sebuah nilai tentang jabatan duniawi di saat dirinya sedang tidak berjaya, banyak orang menaruh sebuah nilai tentang materi di saat dia sedang kekurangan. Sebuah nilai yang dibangun di atas kepasrahan akan keadaan. Terkadang hanya untuk meninabobokan ambisi yang tak tersambut. Ia lupa bahwa suatu hari pendirian tersebut akan diuji ketika keadaan berputar balik. Maka di saat itulah ia mulai menghadapi pergejolakan batin. Untuk bertahan di atas nilai yang selama ini telah diyakini, atau berputar haluan, membenarkan sebuah alasan untuk mengalah satu kali saja. Sebuah nilai yang kembali ditawar.
Memang semua keadaan yang telah kita lalui atau latar belakang yang di mana kita tumbuh besar padanya, banyak berperan besar terhadap nilai yang kita anut. Sebuah kaca mata kecil untuk menyimpulkan gambar besar secara keseluruhan. Sehingga sebuah kebenaran yang sebelumnya dikira absolut dalam benak sering kembali diragukan di saat kita telah melalui lebih banyak keadaan baru dan memiliki sebuah sudut pandang yang lebih luas.
Namun ada satu hal yang membawa kebenaran mutlak yang hendaknya dijadikan sebuah prinsip hidup atau nilai sakral dalam jiwa seseorang, yang tidak goyah di hadapan terjangan keadaan seberapa pun besar badai hidup yang berhembus, atau seganas apa pun ombak nasib yang menghantam bahtera kehidupannya.
Allah ﷻ berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْمِيزَانَ لِيَقُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلْقِسْطِ ۖ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…”. (Qs. Al-Hadid: 25).
Dalam ayat lain Allah ﷻ juga berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)….”. (Qs. Al-Baqarah: 185).
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ
“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, di mana kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya (Yaitu): Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah nabi-Nya ﷺ”. (HR. Imam Malik dalam Al-Muatha’ 2/899)
Oleh karena itu sebaik-baik timbangan adalah wahyu maksum yang sengaja Allah ﷻ turunkan kepada manusia melalui perantara para rasul-Nya untuk menjadi sebaik-baik neraca dalam menentukan kebaikan dan keburukan serta hakikat nilai sesuatu.
Sehingga nilai-nilai absolut yang menjadi pegangan dan landasan idealisme seseorang hendaknya berupa sari pati dari apa yang Allah ﷻ atau pun Nabi-Nya ﷺ sampaikan. Sebuah idealisme yang dibangun di atas pondasi yang paling kokoh, relevan dengan perkembangan zaman hingga hari akhir kelak. Dengannya, selama sebuah nilai sejalan dengan aturan Allah ﷻ dan rasul-Nya ﷺ maka nilai tersebut berada di luar ranah tawar menawar.
Latar belakang dan runutan kejadian hanya akan membentuk sebuah nilai yang mengandung sudut pandang yang bersifat relatif, baik menurut si A, namun tidak baik menurut si B. Ada pun yang bersumber dari wahyu, dengan menutup mata dari mana seseorang tumbuh dan besar, seseorang akan mendapati banyak pandangan yang selaras dikarenakan satu mata air murni yang darinya mereka menimba makrifat yang kemudian menjadi sumber inti sari sebuah nilai yang dianut, yaitu wahyu yang maksum.
Sehingga dengannya seseorang dapat dengan sadar dan yakin akan kemutlakan dan kebenaran setiap nilai yang dianut, menyelamatkan jiwanya dari kebimbangan dan tarik ulur landasan idealismenya. Serta menjadi pribadi yang kokoh dan konsisten terhadap pendiriannya. Di mana pun dan kapan pun.
Dan konsekuensi yang lebih luas dapat berupa keselarasan dalam bermasyarakat yang merangkul berbagai individu dengan level intelektual yang berbeda, selama setiap komponen masyarakat membangun nilai dari sumber yang sama, yaitu Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad ﷺ, sehingga akan ada keselarasan pemikiran layaknya keselarasan antara hati, pikiran, dan jiwa pada satu insan di hadapan nilai absolut yang maksum tersebut. Allah ta’ala a’lam.
(Arfat Ardi S.)
1 note · View note
arfatardi · 7 months
Text
Tumblr media
Putaran yang berulang
.
Bagi sebagian orang kehidupan merupakan tempat berkreasi, banyak bertabur peluang dan kemungkinan, berkerlip menawarkan keindahan. Namun bagi sebagian yang lain kehidupan merupakan ruang rutinitas yang berulang dan membosankan.
Fenomena sekarang bahwa life freedom yang bermakna terbebas dari rutinitas harian dan memiliki warna baru setiap hari untuk dinikmati merupakan hal yang banyak diimpikan orang, terutama di kawala muda. Namun sayang, seringkali seseorang yang merasa terkekang dengan rutinitas harian ataupun pekanan yang sebenarnya ia ingin lari darinya dan meninggalkan semua itu di belakang sehingga tak pernah tertoleh lagi tak kunjung terealisasi. Entah karena takut dengan ketidakpastian, atau karena belum sanggup mendengarkan kritikan orang. Sehingga hari-harinya terselimuti awan mendung kegelisahan yang menurunkan hujan kesedihan.
Namun dalam kehidupan ini benarkah seseorang bisa terlepas sepenuhnya dari rutinitas, dan benarkah memiliki keterikatan dengan sebuah rutinitas harian yang harus dijalankan dan senantiasa terulang merupakan cara hidup yang patut untuk dihindari?
Senikmat dan seindah apapun kehidupan jika dijalankan dengan ritme yang sama maka suatu waktu pasti mendatangkan kejenuhan. Pemandangan terindah jika terus dipandang akan menaruh kesan 'biasa' di benak suatu waktu nanti. Hal tersebut merupakan sebuah watak yang telah ditanamkan dalam diri manusia, tidak pernah puas, selayaknya ketamakan akan harta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh baginda Nabi ﷺ:
لَوْ كانَ لاِبْنِ آدَمَ وادِيانِ مِن مالٍ لابْتَغَى وادِيًا ثالِثًا، ولا يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إلَّا التُّرابُ، ويَتُوبُ اللَّهُ علَى مَن تابَ.
“Seandainya seseorang memiliki dua lembah harta maka ia pasti menginginkan lembah ketiga, dan tidak ada yang dapat memenuhi perut anak Adam melainkan tanah (kematian)”. (HR. Imam Muslim No. 1048).
Kemudian kita dapati bahwa konsekuensi sebagai umat muslim dalam rangka meraih keridhaan Allah ﷻ sebuah jiwa harus mau tunduk terhadap kewajiban-kewajiban yang telah Ia gariskan, di antaranya berupa amalan harian yang senantiasa harus dilaksanakan, pada waktu dan dengan cara yang telah ditentukan; seperti halnya shalat lima waktu. Sebagaimana yang difirmankan:
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا
"Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (Qs. An-Nisa: 103).
Sehingga kita dapati agama yang mulia ini melatih jiwa seseorang untuk bertahan di atas sebuah rutinitas baik yang ia yakini dapat membawa kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Secara implisit bahwa jiwa yang telah tahan dalam alur dan rutinitas baik merupakan jiwa yang telah sampai pada level yang lebih tinggi. Senada dengan hal tersebut Nabi ﷺ bersabda:
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten meskipun sedikit”. (HR. Imam Bukhori no 6464 dan Imam Muslim no 783 ).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Maksudnya mampu untuk konsisten dalam melakasanakan tanpa terbebani. Di dalamnya ada dalil anjuran untuk menjaga dalam beribadah, menjauhi berlebih-lebihan. Hadits tidak khusus dalam shalat, bahkan ia umum mencakup semua amalan kebaikan”. (Syarah Nawawi ‘ala Muslim, [6/ 70-71]).
Kalau kita menilik kepada dunia barat, jauh-jauh hari mereka telah mengakui bahwa pengulangan terhadap prioritas yang tepat merupakan tangga utama menuju kesuksesan dunia, sebagaimana yang di jelaskan oleh Charles Duhigg dalam bukunya The Power of Habit dan Gary Keller beserta Jay Papasan dalam buku mereka The One Thing.
Sehingga pada akhirnya sebuah rutinitas baik merupakan bekal seseorang untuk mendapat kemuliaan dunia dan akhirat. Hanya kesadaran yang perlu senantiasa untuk diarahkan kepada sisi positif sehingga dapat kembali melihat nilai baik dari rutinitas tersebut. Tanpa harus merubah haluan yang telah diarungi selama ini hanya disebabkan oleh rasa jenuh atau termakan kata-kata kebebasan.
(Arfat Ardi S)
3 notes · View notes