Tumgik
manifestashi · 2 months
Text
menangis di jalan pulang
Sekip selalu jadi kawasan favorit Rona untuk berjalan kaki maupun berkendara. Kanan-kiri berdiri perumahan dosen dengan bangunan khas Belanda. Rindang, dinaungi pepohonan besar, jalanannya lebar, tidak pernah macet.
Ia akan betah berlama-lama di sana, memacu motornya di bawah kecepatan rata-rata. Sejuknya kali ini sekaligus jadi angin segar bagi Rona yang baru merampungkan perjalanan jauh lintas kabupaten.
Usai menepikan kendaraan di pinggiran Jalan Yacaranda, Rona tergopoh-gopoh masuk ke dalam sekretariat. Yang harus digarisbawahi, ia perlu mengebut agar bisa tiba di sini sesuai jadwal—super dadakan, buatan Jiwa.
“Rona?” Satria, sekjennya—penghuni semi-permanen; dibuktikan dengan kaos jersey dan celana training yang dikenakan pada siang bolong—tampak terkejut.
Apakah kehadirannya tidak diharapkan?
Rona berturut-turut melirik jam tangan di pergelangan kiri, menatap jam dinding yang sudah miring, sampai akhirnya menanyakan langsung kepada Satria, satu-satunya orang di sana.
“Jiwa … ?”
Satria menepuk kening. “Udah berangkat sama Nadja … sekitar 15 menit yang lalu?”
“Oh? Jadinya dua orang aja yang diambil?”
Sambil menunggu jawaban, Rona terus menyusuri lokus ingatannya: kalau tidak salah, Jiwa bilang Biro PSDM butuh tiga anak Kesekjenan untuk membantu dokumentasi upgrading di daerah Jakal atas.
“Jiwa nggak ngasih tahu kah?”
Ah. Mode pesawat di ponsel Rona telah diaktifkan sejak dia tancap gas dari Jogja selatan. Perjalanan lebih dari satu jam barusan artinya tidak berarti apa-apa. Mungkin inilah yang sesungguhnya disebut kesia-siaan.
Semua tanya terkait keraguannya terhadap Jiwa menguap begitu saja. Tak ada lagi tenaga yang tersisa untuk Rona sekadar menitikkan air mata. Rencana-rencananya buyar. Pandangannya memburam—pada apa yang ada di hadapannya, juga pada masa depan hubungannya dengan sang mahasiswa Teknik Fisika.
[]
Tumblr media
0 notes
manifestashi · 2 months
Text
almost is never enough
Itu dia.
Arah jam 12 dari tempat Rona, seseorang telah meninggalkan bangkunya.
Bukannya Rona pura-pura tidak tahu orang itu ada di sana. Rona lebih dari sekadar hafal. Pakaian yang mencolok, aroma parfum yang familier, jejak langkah kaki dari sepatu yang itu-itu saja; Rona sudah akan bisa mendeteksi kehadirannya bahkan dari radius lebih dari satu meter.
Ia nyaris beradu pandang lantaran posisi meja mereka terlalu berseberangan, tapi ia buru-buru buang muka sebelum ketahuan. Dari tadi, ia juga masih bertanya-tanya dalam hati.
Bisa-bisanya sudah mau wisuda, sudah mati-matian berlari sejauh mungkin dari peredaran, bisa-bisanya ... masih tetap saja, berbenturan.
Filsafat-Teknik.
Polarisasi dua bidang keilmuan tersebut sudah dilanggengkan sejak di bangku sekolah. Orang-orang mengotak-kotakkan ilmu eksak dan humaniora seolah salah satunya lebih remeh daripada yang lain. Yang diasumsikan lebih mudah dinilai lebih rendah—bukannya hakikat ilmu pengetahuan itu sama? Ah, bahasan hakikat keilmuan justru berpangkal ke buku-buku filsafat pula.
Rona sudah khatam mencicipi seluruh asam garam sebagai mahasiswi dari jurusan kurang populer itu, jurusan yang acapkali menempati daftar terendah "prodi idaman" maupun berdasarkan keketatan pendaftarannya. Rona dituntut menjadi tangguh, kritis, berdaya juang, sekaligus berhati besar.
Seperti saat ini, saat ia akhirnya menerima kesimpulan:
Baiklah, mungkin memang ada yang belum selesai. Ada yang harus segera dibereskan.
Ini waktunya. Untuk terakhir kali, semoga saja.
“So, how’s life, Na? It must be pretty packed lately, huh?”
Oh, andai orang itu tahu betapa Rona benci disinggung-singgung tentang jadwalnya—jadwal kerja, jadwal kuliah, jadwal bersosialisasi—tanpa kalimat pembuka yang jelas.
“It’s fine,” balasnya singkat. Ia cuma mau meladeni sekenanya sesuai rencana.
Lawan bicaranya kebalikannya; terus melancarkan jurus-jurus tembakan pertanyaan agar percakapan dapat terus berjalan. Dari topik cuaca hingga progres skripsi, rencana masa depan, sampai juga ke ajakan makan malam, keluar bersama …
“I can’t. Sorry,” jawaban Rona masih ringkas, hemat kata.
“Why?”
Oh. Rona juga benci ini. Tatapan mata anak anjing dengan binar-binarnya.
“We're better off before it goes too far.”
“I don’t understand.”
Bohong.
Rona tahu kemampuan IQ orang itu jauh di atas rata-rata. Orang itu mestinya mampu mencerna ucapan yang dia lontarkan dalam sekali dengar. Namun sejatinya, Rona merupakan wanita penyabar.
“Kita nggak bisa kayak dulu lagi. Gue nggak bisa. Let’s continue our life, respectively.”
Sekali lagi, seseorang yang ada di hadapannya ini menghabiskan masa SMA di Singapura. Terakhir kali Rona merapikan bank data anggota BEM, skor IELTS-nya pun mencapai Level C1. Orang itu sama sekali tak butuh penjelasan tambahan.
“Pamit ya, Ji. Gue duluan.”
[]
Tumblr media
0 notes
manifestashi · 2 months
Text
on your graduation day
“Gimana, gimana? Udah bales?”
Jiwa, dalam lebih banyak kesempatan, merupakan orang yang tidak sabaran. Ekor mata mahasiswa Teknik Fisika itu tak lepas dari ponsel di genggaman Yuna—satu-satunya jalan komunikasi mereka berdua saat ini. Mereka berdua, siapa lagi kalau bukan Jiwa dan salah satu kawan baiknya, Rona Renjana.
Sudah tiba hari wisuda, dua orang itu masih begitu-begitu saja. Orang bilang hari wisuda adalah hari bahagia. Hari yang patut dirayakan atas seluruh pencapaian. Hari jadi raja-ratu sehari versi akademisi. Hari-hari lebih dekat sebagai pengangguran—namun tak masalah, hari ini semua yang diwisuda berhak menggelar pesta gegap gempita.
Sayangnya, hari ini Jiwa tidak terlihat seperti bagian dari tamu undangan. Setelan kemeja dan celananya serba hitam. Gaya berpakaiannya memang seperti itu sehari-hari, tapi kali ini tampak terlampau kontras dengan buket bunga yang dia genggam. Juga paperbag putih di tangan kirinya. Semua darinya yang beratasnamakan 'Yuna' agar sang penerima mau menerima.
Bilangan Jalan Sosio Humaniora makin siang makin ramai. Jiwa dan Yuna cuma salah dua dari rombongan “tim hore” yang menunggu kawan-kawannya menyelesaikan formalitas seremonial di GSP. Para anggota BEM, UKM, hingga perwakilan komunitas berkumpul di Kantin Bonbin, titik kumpul blok timur. Masing-masing dari mereka telah mempersiapkan bendera, banner, dan berbagai atribut tersendiri untuk penyambutan.
“Ji! Itu, tuh!”
Yuna memekik—hafal dengan warna dan plat mobil Rona; sesama kawan seperantauan, kawan sedari SMA. Mobilnya baru saja melintas, dengan kaca jendela yang diturunkan setengah.
Jiwa ikut terkejut, buru-buru merapatkan topi dan masker yang dikenakan sejak turun dari Parkiran Pujale. Jiwa tak mau kehadirannya akan merusak hari bahagia sang bintang utama. Melihat dari jauh saja ia telah lega.
“Beneran Ji, lo nggak mau ikut ke Filsafat?”
Jiwa mengangguk mantap. Memamerkan jempolnya. Dia menghargai Rona, dia percaya Yuna.
Kini waktunya dia menepi. Di jalan yang sunyi. Jiwa sedang menimbang-nimbang: apakah lebih baik dirinya langsung pulang atau mampir sebentar menemui wisudawan Mapala FIB? Kalau langsung pulang, ia mesti melewati gedung fakultas Rona.
Maka sebelum melangkahkan kaki menjauhi Bonbin, Jiwa memanggil Yuna yang baru berjalan setengah meter. Kawan satu BEM dan satu fakultas yang tengah kerepotan dengan segerombol bingkisan di kanan-kiri itu lantas membalikkan tubuh, menemukan Jiwa melambaikan tangan tinggi-tinggi.
“Salam buat Rona, ya!”
[]
Tumblr media
0 notes
manifestashi · 2 months
Text
Hi, Rona?
How are you doing? How does it feel to become a “sarjana” finally, particularly a Sarjana Filsafat? Does it weigh your crown with the S.Fil title assigned behind your name? Nonetheless, your hard work paid off, ya, at the end. Proud is an understatement indeed.
Anyway, congratulations, My Blush of Lust! Cool dudes must have finished college in 3.5 years and you are certainly one of them.
Gue sama sekali nggak tahu gimana cara mengawali sebuah surat—oh, more like, I don’t even know how to write it at all. But I’ll try my best, so please bear with me ya, Na.
After all, I want to assure you (once again) that nothing is going on between me and Nadja, me and Yuna, or would you mention more and more other random girls? Yet deep inside my heart, I’m fully aware that it was all my fault. Blame it on me, Na. The way we could not work out … the issues were on me—however, I do wish for us to work out, though.
Oh, where should I begin to address the “girls” matter? Maybe I’ll start with Nadja since I assumed she’s the major reason why you’re pissed off these days—right?
Waktu itu gue lagi BM mi ayam banget, khususnya Mi Ayam Ungaran—tapi sayang udah abis. Terus gue kepikiran jalan agak jauh buat cari mi ayam lain, tapi waktu itu lo nggak bisa nemenin karena ada persiapan sempro sama event Tiktok apa gitu. Dan kebetulan, di sekre BEM saat itu ada Nadja yang mau pulang ke rumah orang tuanya di Semarang. Ada acara mendadak katanya.
Wait, calm down. Biasanya Nadja naik travel dari pool deket kampus, tapi pas itu kehabisan. Jadi ya, sekalian deh, pulang dari Candi Borobudur, Nadja akhirnya berangkat dari pool di Magelang. I can see it might hurt you in many possible ways. I’m really sorry. Gue sadar, niat untuk membantu ternyata nggak semua harus direalisasikan.
Terus terkait Yuna. Again, I guess it’s our different perspectives toward the boundaries. Gue pikir interaksi gue sama Yuna ya, sewajarnya temen biasa, temen BEM dan temen satu fakultas. Gue ngerti banget, di mata lo nugas bareng dan makan bareng, sampai pulang bareng itu terlalu kelewatan. Gue harap kita bisa berdiskusi lebih lanjut tentang ini secara baik-baik.
Terakhir, masalah temen KKN. Pure my dumbness. Misal gue bawa-bawa masalah love language gue yang dominan physical touch-quality time apalah, udah seharusnya gue nggak menjalin hubungan seintim itu sama dia. I’m not going to defend myself this time. Tapi itu semua udah selesai, Na. Sekarang ini, gue udah nggak ada siapa-siapa, just in case.
Na, you have no idea how our 3 AM conversations are still stuck in my mind. Thank you for accompanying me throughout most of my lonely time. I wouldn’t be able to survive college without you. I hope the world treats you and us nicely, ya.
Speaking of us, you gave me talks that I didn’t get enough of, Na. Let’s have more, okay? Artemy for the second time, maybe? Promise I'll bring my own Dunia Sophie next time. I'll also be delighted if we could savor another Malatax lunch or Jalan Persatuan dinner :)
Well, I wish you the best of luck in your next endeavors. I am sure you'll achieve everything that you deserve like you always used to.
The bottom line is, that you must live a happier life than me.
That’s all, I’m going to end here. Please remember that I cherish you a lot—more than as a friend. I really do.
— JH
Tumblr media
0 notes
manifestashi · 2 months
Text
Yogyakarta, 23 Februari 2023
Halo, Jiwa.
Pertama-tama, aku mau ngucapin terima kasih. Terima kasih sudah lahir ke dunia ini, ya. Sampaikan salam hormatku untuk mama papa kamu, berkat mereka anak lelakinya kini telah tumbuh jadi pria yang hebat.
Ji, kamu adalah lelaki yang sudah terbukti mengemban tumpukan tanggung jawab. Wakil Ketua Kesekjenan BEM, Kepala Bidang Eksternal Mapala Teknik, sampai Kormasit Tim KKN di Sumatra ... dengan seluruh beban itu, memang akhirnya banyak yang harus direlakan, ya? Dari waktumu bersosialisasi di luar organisasi, kesempatan magang di luar kota, prestasi serta nilai akademik, tertundanya periode kelulusan bahkan. Dan juga, aku.
Sesungguhnya, aku adalah bagian paling gak relevan dalam garis perjalananmu sebagai mahasiswa yang super-aktif dan serba-uhm-superior. Gak ada aku gak akan bikin kamu lengser atau tiba-tiba kehilangan jabatan.
Namun, melalui sudut pandangku, kamu adalah bagian signifikan yang menemani masa-masa paling krusial. Aku coba urutkan ya, dari masa kepengurusanku di Medinfo, hiruk-pikuk per-KKN-an, hingga gejolak penulisan skripsi yang nyata adanya.
Bagiku, cukup kamu satu-satunya—sayangnya, sepertinya, satu buat kamu itu gak cukup, ya?
Kalau dipikir-dipikir, seharusnya kita gak perlu berjalan sejauh ini kalau memang sebetulnya kamu gak mau. Seharusnya kita cukup melangkah sendiri-sendiri di jalur masing-masing. Kamu gak perlu pasang badan sebagai “teman” yang selalu ada, selalu bantu ini-itu, selalu berbagi cerita sampai tentang luka terdalam keluarga, selalu jadi teman baik yang terlalu baik—aku enggan mengatakan ini, tapi kali ini perlu kukatakan juga: kamu melakukan kebaikan yang sama dan setara porsinya untuk semua orang, Ji.
Seharusnya, kan, gak begitu.
Pertemuan di Artemy kalau bisa kita batalkan saja lah, ya.
Buat apa juga kamu tiba-tiba nge-DM mengomentari Instagram Story? Kamu dulu gak jelas, tapi entahlah kenapa waktu itu aku juga mau-mau saja menanggapi. Aku mestinya memberikan early warning kepada Yuna supaya gak usah upload status WA “reuni” atau lebih baik disembunyikan saja dari kontakmu ...
... gitu, Ji, kalau sebagian besar diriku terisi oleh emosi negatif. Tiba-tiba kesal, kecewa, ingin marah, dan parahnya sampai cemburu dengan perempuan-perempuanmu—padahal buat apa? Hahaha.
Jadi kali ini, lebih baik aku menuliskan kata-kata baik yang siapa tahu bisa menjadi doa pula. Sebab, poin-poin di atas sebenarnya mengerucutkan dirimu pada satu hal:
Kamu manusia biasa.
Banyak kurangnya, tapi juga masih ada sejuta alasan mengapa kamu patut hadir di dunia. Mungkin aku gak akan mampu menjabarkan semuanya, atau bahkan secuilnya, karena aku cuma bisa bilang:
Aku sangat senang dan bersyukur bisa kenal sama kamu, hidup dalam lintasan waktu yang sama dengan kamu.
Bersamamu, aku bisa jadi diriku sendiri. Aku bisa melepaskan segala identitas yang menempel selain diri sejati Rona Renjana yang, setidaknya, aku pahami dalam skala yang paling kecil.
Gak ada blush of lust yang tiap unggahannya dituntut FYP, bukan juga Roro di Kelas Filsafat Yunani yang gak pernah absen jadi tameng dosen, pun seluruh akun media sosial berjudul RR yang kurasa kerap dimata-matai seantero dunia maya, atau 'Rona biasa' kacung desain dan perkontenan di BEM.
Di sampingmu, Ji, aku merasa terlindungi. Kamu ruang amanku. Afeksimu, entah tujuan aslinya platonis atau murni romantis, selalu terdengar begitu lantang untukku. Kamu selalu percaya diri dalam mengungkapkan dan menyampaikannya, dan aku kelewat jatuh—tentu saja, siapa bisa tahan menerima luapan rasa sayang yang amat terang-terangan?
Ji, jujur saja, kalau dilahirkan lagi di masa depan, aku akan tetep pengin kenal sama kamu. Kita mulai dari awal, kita pertegas batas pertemanan. Gak perlu cemas, kita tetep bisa diskusi buku dan nyobain kuliner baru, kok. Malah dengan hati yang lebih lapang dan gembira.
Semoga dunia selalu jadi rumah yang paling ramah buat kamu ya, Ji. Dunia butuh lebih banyak orang seperti kamu—yang ringan tangan, penuh perhatian, mau mendengarkan, selalu menepati janji. Sesuai namamu pula, semoga kamu selalu memiliki jiwa yang besar.
Jangan pernah menyerah pada mimpimu—aku menghindari pembahasan ini, tapi izinkan aku meminjam kalimat Hegel, “Nothing great in the world was accomplished without passion.” karena sejatinya, “Education is the art of making man ethical.”
Jangan sampai sakit juga ya, Ji, nanti akan banyak yang khawatir. Kamu harus makan banyak dan tidur nyenyak. Aku tahu badanmu ekstra kuat, sudah menyerupai binaragawan. Namun percayalah, mengerjakan skripsi butuh energi penuh lebih dari sekadar ketahanan tubuh.
Dan satu lagi: bersetialah pada satu hal, dalam hal apa pun itu.
Akhir kata, selamat ulang tahun, Jiwa Hadinata. Selamat bertambah usia, selamat mendewasa.
Salam hangat, Rona Renjana
NB: Gue pake “aku” supaya kesannya lebih sopan, gue harap surat ini akan menemui lo dalam keadaan yang baik. Kalo udah dapet gebetan baru, kabarin gue ASAP!!
NBB: surat ini ditulis setelah gladi bersih wisuda, gue literally cari spot ternyaman di Perpusat. Penginnya sih, booking bilik belajar di TGCL yang mesti war jam 12 malem itu, sayangnya tampilan Simaster calon alumni udah berubah—lo cepetan nyusul ya~
Tumblr media
1 note · View note
manifestashi · 11 months
Text
1403
Alegori, personifikasi, metafora, perumpaan—di sekolah sampai di kampus, aku belajar banyak cara untuk membandingkan.
Aku bukan ingin membandingkan atau secara khusus hendak menerapkan ilmu-ilmu itu—aku hanya perlu ini sampai padamu.
Begini.
Sejauh aku mengenal belasan lelaki melalui tawa dan ceritanya, aku merasa paling kenyang, penuh, dan utuh karenamu. Aku jarang merasa lapar. Kamu membuatku nyaman dengan perut yang penuh dan dahaga yang jarang ada.
Apalagi kata ibu, aku harus lebih banyak makan. Nanti akan aku teruskan padamu ditambah satu pesan,
“Kamu harus kurangi begadang,” dan mulai merawat, mengurus diri, lebih dari sehari-hari.
Kalau diberi pilihan, banyak yang ingin mencoba jadi caregiver-mu karena kamu sudah terlampau sering mewujud ayah sekaligus ibu teladan; orang tua hebat untuk adik-adikmu—sehingga aku merasa begitu dilimpahi banyak cinta lewat setiap kabar dan apa pun yang kamu ceritakan.
Terima kasih ya sudah tumbuh dengan baik, salam hormatku untuk ayah ibumu di rumah. Anak lelakinya berhasil menawan hati ribuan insan—aku salah satunya.
Kak—oh, akhirnya aku punya kakak lelaki yang betulan bisa dipanggil “kak” ... sejak kali pertama mengenalmu, aku tidak pernah tahu ternyata kamu punya jabatan, anak vokal, dan punya sederet daftar hal-hal yang mudah sekali bikin aku jatuh. Terjerembab.
Dulu pada awal tahun yang berat, aku sebatas tahu kamu masih sempat keliling area pentas selesai manggung. Malam-malam kamu menyapu pinggiran area hingga menemukan telur … bunga kuning putih malang yang tergeletak sembarangan.
Kamu menjelma pusat barang hilang, “Bunga ini harus segera menemukan pemiliknya, rumah yang sesungguhnya.”
Batinku kala itu, oh masih ada ya lelaki seperti itu di tengah duniamisoginisantifeminisfullSJW.
Kamu tunjukkan padaku bahwa dunia masih baik-baik saja; bisa jadi ruang aman yang bawa hal-hal gembira lewat cara-cara paling biasa sampai luar biasa.
Kamu pastikan aku selalu tahu bahwa aku dirayakan. Kasih sayangmu begitu lantang.
Kamu bendera hijau terang berjalan yang penuh perhatian, bijaksana, dan senantiasa peduli sesama.
Kak, sekali lagi terima kasih ya.
Terima kasih tidak pernah membiarkan aku bertanya-tanya.
0 notes
manifestashi · 11 months
Text
0504
2023 baru berjalan sepertiga—banyak tiganya tapi ini tentang satu; pertama. Satu kamu dan hal-hal pertama kali yang menyertainya. 
Bulan lalu pertama kali aku menonton film Jepang di bioskop.
Lalu apa pun yang berbau Nippon, untuk pertama kalinya pula, merelasikan ingatanku terhadap dirimu.
Waktu aku kembali ke rumah bukan cuma keselamatan berkendara yang kupikirkan, tapi juga: kira-kira pemandangan seperti apa yang kamu lihat dari balik jendela di sepanjang perjalanan pulang? Jalannya kini makin jauh dan panjang ya? 
Orang-orang zaman sekarang kesulitan ingin membangun (satu) rumah (saja), kamu yang masih selalu … anak lelaki remaja di mataku, rumahnya malah sudah dua. 
Ngomong-ngomong, dalam film Jepang yang direkomendasikan salah satu kakakmu itu ada percakapan tentang Shinkansen, apakah kereta cepat itu juga melewati rumah masa kecilmu; rumah dekat tempatmu bersekolah; rumahmu pulang? 
Mampukah kecepatannya mengalahkan rindu seorang ibu ketika anaknya pergi jauh—melesat ke satu titik melintasi selat dan perbatasan negara?
Pada menit pertengahan ketika sang tokoh utama pergi ke luar kota naik mobil—kota asal kakakmu yang satunya—ditemani debur ombak dan embusan angin pesisir yang mengantarkan daging sapi terbaik di dunia, otakku justru sibuk menebak: apakah kamu duduk di sebelah adikmu di kursi belakang atau menemani ibu atau ayah di balik kemudi? Kamu sering kangen jalan-jalan bareng mereka nggak?
Kelihatannya sekarang kamu sudah sepenuhnya paham, definisi kata “keluarga” bukan cuma merujuk ayah-ibu-saudara kandung. Ternyata subjek-subjek itu bisa juga disubstitusi oleh kawan atau kakak-adik yang bahkan nggak ada hubungan darah sekalipun.  
Oh iya, ini pun pertama kalinya aku tertarik untuk tahu lebih dalam tentang sakura.
Bukan cuma tentang kapan musim mekar atau serba-serbi hanami sebagai bekal liburan. Setahuku, di balik romantisme suatu bunga umumnya ada filosofi yang menguatkan keindahannya. Supaya ia tak semata bunga.
Kuberi tahu satu rahasia: kamu juga, tak semata bintang. Kamu bersinar terang tanpa bikin yang lain merintih kesilauan. 
Hari ini, pertama kali pula kamu dapat kabar kalau sakura di negaramu telah mekar semua, ya?
Apakah kamu nggak sabar untuk pulang? Tapi seperti yang sudah kubilang di awal, kini jalan pulangmu kian jauh dan panjang, kan? 
Lihat, sepercaya diri ini aku yakin kamu akan dapat menahannya. Dunia perlu tahu anak lelaki remaja ini senantiasa tumbuh dewasa dengan cinta yang baik, kasih sayang yang penuh dan tidak terburu-buru.
Ayo terbang lebih tinggi lagi—terbang; kupu-kupu, tinggi; kamu (lihat, kini semua kata adalah kamu, kamu di mana-mana, dan aku turut bergembira menyambutnya).
ʚɞ
1 note · View note