Oh, Teman Baru.
Satu jam sebelum pukul tujuh belas tiga puluh sore, hari Jumat.
Aku sengaja datang sejam lebih awal dari jadwal ketibaannya di bandara. Tidak apa kok, aku tidak keberatan harus menunggu sedikit lebih lama dari balik pagar pembatas itu sembari memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Mereka semua terlihat begitu biasa.
Ada segerombolan bule yang menggendong tas backpack segera menuju konter selular. Ada sepasang orang Korea yang bergandengan tangan buru-buru mengarah ke pemberhentian taksi. Ada ibu-ibu sosialita yang sedikit heboh berfoto-foto untuk mengabadikan momen tiba mereka. Dan orang-orang lainnya yang melenggang keluar dari terminal kedatangan internasional menuju tujuannya masing-masing.
Dan aku juga pasti terlihat biasa bagi mereka semua.
Tapi, hari ini aku akan bertemu seseorang—yang tidak biasa bagiku.
Aku mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan mondar-mandir. Jujur, jantungku berdegup tak menentu. Setiap ada orang yang muncul, aku selalu menerka-nerka, apa itu dia? Lalu pikiranku maju jauh, membayangkan dia datang melalui pintu itu, keren dan atraktif.
“Sebentar ya, masih nungguin koper,” katanya di DM Instagram.
“Okay. Take your time,” balasku.
Semakin deg-degan, hingga aku memutuskan untuk mencari tempat duduk yang kosong demi menurunkan rasa gelisahku. Lalu tiba-tiba, “Haaai Cindy!” terdengar. Aku mendongakkan kepala dan menemukan dia berjalan dengan riang ke arahku.
And, he planted roses on my cheeks. Suddenly, shyly, nervously.
Aku segera menyodorkan Matcha Latte yang kubelikan untuknya. Dia pasti cukup haus setelah penerbangan yang memakan waktu lebih dari 7 jam itu. Tapi, dia tidak mengeluh. Kami mencari taksi untuk segera menuju pemberhetian selanjutnya. Dan di dalam mobil itu, aku, baru tahu, bahwa satu obrolan santai dari dua orang asing yang baru bertemu itu bisa membuat senyum tak berhenti mekar seharian.
Sebelumnya, kami sudah janjian untuk sebuah meet up yang proper. Dia selalu tahu, aku ingin makan di salah satu restoran bintang 5. Jadi, kami random saja memilih di daerah terdekat. Restorannya cukup romantis dengan konsep taman eksotis yang menawarkan menu Asian-fusion yang nikmat. Perhatianku tertuju pada menu dessert-nya yang berbentuk seperti jamur. Dia yang menyadari aku menyukai segala hal yang berbau coklat segera memesannya.
Sambil menunggu makanannya disajikan, kami memulai pembicaraan dengan basa-basi singkat. Dan, kalian tahu, cara paling mudah untuk tahu apakah kita cocok dengan seseorang atau tidak adalah ketika kita lupa waktu. Di sanalah, aku tidak sadar telah mendamparkan diri pada caranya bercerita. Untuk kesekian detik, aku berusaha untuk menggenggam erat kewarasanku agar tidak gila bayang pada orang asing di hadapanku.
Ayolah, Cindy, dia hanya orang asing, kok.
Tapi, seberapa keras pun aku berusaha untuk mengenyahkan perasaan itu, aku tahu aku akan tetap memilih satu momen bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu. Betapa aku rela menukarkan apa pun untuk kembali dipertemukan dengan dia dengan cara yang sama.
Tidak terasa 2,5 jam berlalu begitu saja, dan hanya dalam sejauh spasi pendek itu, aku tidak tahu apa yang membuatku ingin terus berbicara. Aku sudah terbiasa dengan stereotype introvert yang kagok ketika berkomunikasi. Tapi, waktu dengannya, aku menemukan diriku bebas berdiskusi, berargumen, berkisah, tentang apa saja. Dan ternyata untuk dia yang bisa menerima celotehanku dan tidak berekspektasi aku untuk menjadi seseorang yang agung, itu sudah cukup…bagiku.
Sebelum bertemu dengannya, aku telah bertemu banyak orang. Beberapa melewatkanku, beberapa kulewatkan. Beberapa menarik perhatianku, beberapa kutarik perhatiannya. Beberapa tiada, beberapa masih ada dalam hidupku. Beberapa nama masih tersimpan dalam kontak, beberapa terhapus tanpa pikir panjang. Dan, dia, seseorang yang siluetnya langsung membentuk mimpi di saat jumpa pertama, membangkitkan kembali perasaan yang sudah lama terkubur dalam hatiku, membuatku sadar bahwa selama ini aku hanya sedang menunggu.
Malam itu, aku ingin kembali mengalami…perasaan jatuh hati di antara begitu banyak omong kosong tentang cinta pada pertemuan pertama.
Setelah menyadari gerak-gerik pelayan yang mulai beberes piring-piring yang sudah tidak menyisakan makanan, dia bertanya, “Jadi, kita mau ke mana lagi?”
“Kita jalan ke mall seberang, mau?” pintaku.
Dia mengangguk, dan bilang, “Let’s go!”
Tadinya, kukira pertemuan ini hanya akan sesingkat makan malam lalu pulang ke tempat masing-masing lalu melupakan nama satu sama lain, tapi tampaknya, semesta telah mengabulkan desakan doaku kalau: I want more time with him.
Ternyata menyebrang di jalanan yang padat kendaraan tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ada mobil yang mau mengalah untuk kedua pejalan kaki yang terlihat takut ini. Tapi, cara dia berdiri di arah kendaraan melaju kembali membuat hatiku berdetak dua kali lebih cepat. “Kamu di sebelah sini aja, kita pelan-pelan saja." Sesaat ada kesempatan untuk menyebrang, dia memegang canggung pergelangan tanganku lalu mengarahkanku untuk berjalan dengan cepat. Tanpa kata-kata, aku sejujurnya ingin mengisyaratkan bahwa detik itu juga, aku sudah jatuh kepada dia.
“Wanna have some ice cream again?” tanya dia, sejujurnya, malam itu aku sudah kenyang dari makan di restoran sebelumnya. But, we all broke our rules for someone, right?—hanya demi agar aku punya alasan untuk memiliki kegiatan lain dengannya. So, yes was an answer.
Jam menunjukkan hampir pukul 10.30 malam. Toko-toko di mall itu sudah banyak yang tutup. Sinar lampu perlahan-lahan meredup, tapi matanya memercikkan kilatan kesima di sana. Lucu ya, bagaimana kita bisa bertemu dengan seseorang. Satu hari, kita hanya saling mengagumi dari balik gaduhnya dunia maya, kemudian di hari lainnya lagi, kita bisa berdiri di sampingnya, merasakan kehadirannya nyata.
Aku percaya, itu bukan kebetulan. Masing-masing dari kita, jika diizinkan semesta, pasti akan saling bersinggungan, entah dengan cara apa pun, di mana pun, dan kapan pun.
And that’s how I met him.
Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya.
Aku menimbang-nimbang, apakah setelah malam ini dia akan menghubungiku lagi?
Karena, jujur, aku ingin dia datang lagi.
Aku punya berbagai jenis ketakutan, seperti film horor, reptil, barongsai…; dan kehilangan seseorang yang baru kutemui semalam.
Pagi setelah pertemuan malam itu, kembali seperti pagi-pagi biasanya. Tidak ada satu pun pesan darinya. Sesingkat apa pun itu. Aku hanya bisa memandangi layar ponsel yang tidak memunculkan notifikasi apa-apa.
9 jam.
Aku tidak bisa berhenti menghitung waktu yang bergulir tanpa kabar apa-apa darinya. Entah kenapa, aku merasakan hatiku pelan-pelan tergerus. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melekat padanya. Alasan utamanya; siapa lah aku untuk boleh mendapat kabar darinya? Tapi, ketika melihat dia aktif di media sosialnya tanpa meninggalkan sepotong pesan untukku, membuatku sedikit merasa jauh darinya dan…terabaikan. Sungguh, aku ingin mengonfirmasi bahwa tidak ada yang istimewa dari dia.
Tapi, untuk kali pertama, dalam waktu sesingkat itu, aku mau tak mau harus mengakui perasaan itu.
Cemburu.
Beberapa waktu berlalu, mungkin dia tidak menyadarinya bahwa aku tidak suka terlihat rapuh. Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku tidak ingin mengambilnya dari keluarganya, dunianya, hobinya, pekerjaannya, sirkel-sirkelnya… Tapi, bolehkah dia sisihkan saja sedikit ruang untukku yang tidak terjamah siapa-siapa untuk letakkan aku di situ? Aku tahu, aku mulai egois ingin memilikinya.
Apakah dia mengerti perasaan semacam itu?
Namun, sebelum malam jatuh seluruhnya, aku mempertaruhkan diri untuk menyapanya di kesepian itu. Dan beruntunglah aku ketika… “Aku boleh ke rumahmu, sekarang? Kita makan nasi goreng kalau kamu belum makan,” muncul pada kotak notifikasi. Dia menjelaskan kalau dia kesusahan mencari jaringan wifi hingga tidak bisa mengabariku.
Secepat kilat, tanpa pertimbangan, hanya 3 kata yang tertulis sebagai balasan: “Oke, aku tunggu.”
“Menurutmu, aneh nggak, ngobrol apa aja dengan orang yang baru kamu temui 2 hari lalu?” tanyaku setelah diam menggigit sejenak.
“Enggak, malahan kita jadi lebih banyak tahu tentang satu sama lain dibanding orang lain. Hubungan kita jadi eksklusif karena itu,” jawabnya ringan sambil menatap mataku.
Tidak pernah terbesit dalam pikiranku untuk merasakan lebih daripada itu. Ketika berhadapan dengan dia, aku tidak yakin apa yang harus kulakukan. Mungkin, dia hanya butuh seseorang untuk menghangatkan bayang kosong di sampingnya. Mungkin, aku juga hanya sedang butuh ditemani saja. Tapi, why not? Mungkin, yang kami butuhkan hanyalah; suasana, teman bicara, selera makan yang sama.
And, maybe, we should try.
Biasanya, aku tidak pernah membiarkan orang lain membaca buku bucket list-ku secara langsung. Namun, dia yang begitu penasaran terus meminta untuk membacanya. “Aku ingin tahu semua keinginanmu,” mintanya. Tidak pernah ada orang yang se-excited itu untuk bertanya tentang keinginanku. Aku melihatnya menggenggam buku kecil itu lalu membacanya kalimat demi kalimat, dan dia… benar-benar ingin tahu dan terlibat. Sungguh, aku sangat menyukai binar di matanya malam itu.
Begitu saja—ya, begitu saja, se-simple itu bahagia tercipta.
And I miss the comfort of being loved…
Saat sedang sama-sama membaca, tak sadar poni rambutku terjatuh menyapu dahi dan menghalangi mataku. Reflek, dia mengulurkan jari-jarinya untuk menyelipkan rambut yang terjatuh itu di balik telingaku. Dan pada saat kulit kami bersentuhan, aku merasakan hatiku berdesir. Ini kontak fisik pertama kami. Tapi, sentuhan ringan itu terasa jauh lebih privat dari semua yang telah kami bagi selama ini. Aku telah merasakan berbagai jenis sentuhan. tapi kenapa ya, kali ini, aku tidak mampu menguraikan makna dari sentuhannya?
Dia tidak segera menarik tangannya, tetapi membiarkan jari-jarinya sedikit lebih lama mengelus lembut rambutku. Dia tidak gugup, tidak juga melakukan lebih dari itu. Dia terlihat sedikit menginterpretasi. Sampai pada dia kembali ke posisi semula, aku baru sadar, selama itu aku menahan nafas dan dentuman jantung yang tak karuan. Entah tersipu atau gelisah.
"Why don't you kiss me?" Aku sedikit gemetaran mengirimkan pertanyaan ini. Sejujurnya, aku tidak ingin menanyakannya, karena aku tidak berhak merasakan memiliki dia; aku hanya boleh merasa ragu.
Setelah drama mengelus rambut itu, kukira akan terjadi skenario seperti di film-film roman yang kutonton. Mungkin akan ada sebuah kecupan kecil mendarat di pipiku, tapi dia tidak. Hingga dia berlalu pulang, hatiku tetap mengganjal sesuatu.
Dan, di batas malam itu, sungguh aku menunggu jawabannya.
Lama dia mengetik—menghapus; mengetik lagi—menghapus lagi. Entah narasi apa yang sedang dia siapkan untuk menjawab pertanyaan tidak berdasarku itu. Atau, ucapan itu terlalu blak-blakan untuk dipertanyakan?
"Actually, I want to kiss you so badly—it's killing me, but I'm just afraid to make the first move (?). Aku mau sayang kamu dan kiss you at the right time."
Semburat merah jambu muncul pada pipiku setelah membaca jawabannya. Baiklah, aku mengakui aku kalah, pada dia. Aku merindukan aroma woody blend pada tubuhnya. Aku mencari-cari pertanda demam pada tubuhku sendiri, sebab mendadak tubuhku menghangat di hari berhujan ini. Tapi, justru di saat itulah, aku merasa lebih sadar dan sehat dari sebelumnya.
"I have a bad news," tulisnya via DM Instagram pagi berikutnya.
"Ada apa?" tanyaku panik.
Kepulangannya ke negaranya ternyata harus dipercepat dari yang sebelumnya bisa sebulan menjadi 2 minggu saja di sini. Aku terdiam, tidak dapat mendefinisikan gemuruh di dadaku yang kini bercampur dengan emosi dan kesedihan yang tidak mampu aku utarakan. Ada jeda yang menggigit hingga aku sadar aku harus memberikan respons.
"Wah, terpaksa mesti balik ya?" Hanya itu respons paling biasa yang bisa aku berikan—meski sejujurnya, dalam hatiku betapa aku tidak ingin dia kembali lagi ke sana; ke tempat di mana seharusnya dia berada. Betapa jika aku punya tombol tunda, lorong waktu, atau apa pun itu lah alatnya untuk menahannya pergi, maka akan aku bayar mahal deminya.
Mendadak, ini menjadi perpisahan paling sepi yang pernah kualami seumur hidupku. Dan waktu tiba-tiba terasa lebih cepat larut dari sebelumnya.
Kenapa, waktu kami, tidak pernah tepat, ya?
Oh ya, aku belum menceritakan dengan jelas sosok dia yang sedari tadi aku sebut-sebut, ya. Kenalkan, seorang laki-laki kelahiran bulan Maret, berzodiak Pisces, pecinta warna oranye, penyuka makanan Korea, smart, terpelajar, mampu membawa diri, komunikatif, percaya diri, tipe kesukaan mertua, loyal, senang mengobservasi, sweet, loveable, caranya bercerita, caranya meraih respek sungguh tidak ada tandingannya.
Dia menyapaku dari balik Instagram pada suatu malam yang sudah telat. Hey Cindy, nice to know you—begitu isi pesannya. Waktu itu, aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah perlu aku membalasnya atau tidak. Pikiranku terbelah antara mengabaikan saja atau murni memulai pertemanan. Dan aku memilih yang kedua.
Atau, sesungguhnya, sempat aku merasa, kalau hari itu aku melepaskannya, mungkin aku akan menyesal…
Dia bilang dia akan pulang ke Indonesia bulan depan. Perkenalan kami memang baru sebulan lewat media sosial, tapi mengapa kehadirannya memberikan isyarat optimisme, aku juga tidak paham. Aku menganggapnya sebagai tawaran untuk menginterupsi waktu. Dan, tanpa sadar, aku mulai menghitung hari.
"Kamu itu unik, gimana jelasinnya, ya? Aku hanya perlu lihat sekilas dari profilmu, lalu ya muncul aja koneksi emosional itu. Aku mau ketemu kamu. Aku mau tau apa makanan favoritmu. Aku mau kenal kamu lebih dekat, lebih jauh, lebih akrab. Aku suka caramu menulis jurnal, caramu merencanakan segala hal, caramu meromantisasi hidupmu. Aku…belum pernah ketemu orang seperti itu dalam hidupku."
Berikut jawabannya ketika aku bertanya kenapa aku yang dia pilih, di saat ada banyak perempuan lainnya yang lebih baik untuk dikenalinya—pertanyaan semacam itu membuatku sedikit resah. Tapi, sering kali aku merasa skeptis, mungkinkah perasaan semacam ini hanya ilusi yang akan luntur suatu saat nanti, hanya seperti dopping yang memabukkan sesaat. Seperti memesan kue cantik dari balik etalase, lalu menemukan rasanya tidak seenak yang dipikirkan. Dan, dia akan kecewa. Bukankah, pada satu titik, rasa penasaran itu akan berhenti dan menghilang, menyatu kembali dengan oksigen, dan membuatnya merasa utang moral, investasi tenaga, waktu, dan perasaannya selama ini jadi sia-sia?
Aku takut.
Tidak ada yang istimewa dari dia, pada awalnya, sekali lagi aku ingin mengonfirmasi. Tapi, setelah sedikit mengenalnya, ada sebagian hati kecilku yang ingin menyusulnya ke alam abstrak tempat di mana hanya nafas kami yang bisa bertemu. Mari kita piknik, melihat bintang, pergi ke aquarium, main ski, melipat origami, naik kuda… Namun, jika boleh aku memilih satu: aku ingin menyentuh spasi di antara kedua alis tebalnya, atau mencuri waktunya, atau menyita perhatiannya, atau memilinnya masuk ke sel-sel tubuhku agar terjamin keberadaannya selalu.
Dan, satu balasan "Hey, nice to know you as well!" dariku itu kemudian menjadi gerbang untuk sebuah perjalanan baru yang panjang.
"Menurutmu, kita bisa berteman saja, nggak?" tanyanya sedikit ragu.
"Kurasa, kita nggak bisa cuma berteman. Kita sudah berpandangan penuh makna. Kita telah meyakini adanya potensi untuk bersama. Lalu, kalau kita cuma temenan, kita pasti akan berhenti ketemu sering-sering dan aku nggak akan bisa tau kabarmu lagi, aku nggak bisa melihatmu seperti dulu lagi," selagi menjawab ini, aku tiba-tiba merasa sedih.
"Aku pasti sedih kalau kita pada akhirnya nggak jadi," gumamnya pelan.
Mataku bersaput air. "Ya, aku juga."
Kami menghabiskan sisa malam berpelukan. Saling mendekatkan kepala masing-masing seolah ingin mentransfer segala yang tengah dipikirkan. Deru napasnya bergerak lembut dan terasa hangat. Aku tidak ingin menyia-nyiakan hari ini, biarkan aku memeluknya lebih erat, karena setelah ini, sebentar lagi, semua tidak akan lagi bersisa.
Berapa jam lagi, hari akan berganti? Aku tidak ingin menghitungnya.
Aku tidak pernah merasa memilikinya.
Aku sudah memiliki kenangan mengenai pertemuan pertama di bandara, sebuah malam di tepi sungai sambil menyantap jajanan hangat, dua tiket film horor yang membuatku bergidik namun di dekapannya aku merasa lebih aman dari kepompong mana pun, atau percakapan dan hening yang terbagi pada setiap kedai kopi yang kami kunjungi. Itu saja telah cukup—
aku belajar untuk tidak mengharapkan lebih.
I will miss you. See you there. Let's meet again for the first time. I'll be waiting for you—kalimat pendek itu terdengar samar namun tertangkap jelas di pendengaranku, bagaimana satu laki-laki akan meninggalkanku lagi, seperti yang sudah-sudah.
Hanya saja, kali ini, tolong Tuhan, dia berbeda.
Jangan pergi—dua kata itu tertahan di lidahku. Dan, aku hanya sanggup menangis, hingga dia kebingungan, namun dia tetap memberiku ruang untuk mengumbar semua kesedihan.
Besok, dia akan kembali, menjalani perannya seperti sedia kala, karena itu adalah hal yang paling tepat. "Andai saja, aku ketemu kamu dari lama," gumamnya sambil menenangkanku. Maka semakin menjadi-jadilah tangisanku, sebab bentuk cinta yang boleh kumiliki saat ini hanyalah melepaskan dia.
"Kalau…kamu pergi…itu tandanya…aku kehilangan…kamu…iya kan? Terus…kenapa kamu harus…datang…kalau pada akhirnya…kamu pergi…juga?" Dengan sekuat tenaga, aku mengatakan kalimat ini meski harus sesunggukan. Pelukannya yang sedari tadi melingkupi sekujur tubuhku mengendur seketika. Maka bangkitlah ia, meraih wajahku yang kusut dengan air mata dan keringat, menatapku lama, menghapus sedikit demi sedikit air terjun dari mataku.
Pikiranku kembali ke perkataannya waktu itu—aku mau sayang kamu dan aku akan melakukannya di waktu yang tepat. Then, the "right time" was right now.
Dan, di bawah hujan malam itu, di balik tirai yang menyemburatkan lampu jalanan itu, dengan lagu Hati-hati di Jalan yang diputar di belakang itu,
…we kissed.
Semua berlalu seperti biasa.
Dia sudah kembali ke negaranya. Sementara, aku, kembali melanjutkan hidup seperti sebelum ada dia. Ah, aku pasti hanya butuh sedikit lebih banyak waktu untuk terbiasa saja.
Namun, seandainya, dia tahu—dia berutang padaku satu hal; satu kepastian bahwa dia akan tetap baik-baik saja di sana. Dan, aku—meskipun dia ragu untuk memintaku menunggunya—berani menjamin akan tetap ada di sini, menunggunya kembali dengan perasaan yang sama dan sebuah senyuman.
Begitu saja.
Malam itu, malam dimana aku menangis untuk pertama kalinya di hadapan dia, sesungguhnya aku ingin bertanya—yang mana yang lebih baik baginya; pernah bertemu lalu berpisah atau tidak pernah bertemu sama sekali?
Karena, aku, tak pernah tahu apa jawabannya.
20 notes
·
View notes
Tag 8. Die Lehren des Meisters (Jing Yuan x Yanqing x Jingliu) HSR
Das klirren zwei aufeinander schlagender Klingen ertönte immer wieder. "Halt die Position!" rief Jing Yuan und griff weiter seinen Schüler an. Dieser hielt stand, ging aber ohne Befehl zum Gegenangriff über. "Hey! So nicht!" knurrte er und blockte das Schwert seines Schülers.
"Entschuldige Meister!" sprach Yanqing und seufzte. "Ich dachte das wäre eine gute Gelegenheit!" murmelte er nun leise und sah seinem Meister in die Augen. "Nicht weiter schlimm, darum machen wir ja dieses Training! Klar hast du noch einiges vor dir aber das wird schon noch werden!" sprach der Weißhaarige nun.
So ging das Training noch eine Weile weiter, ehe der Jüngere um eine Pause bat. "Im richtigen Kampf erlaubt man dir auch keine Pausen!" kam es streng zurück. "A...Aber..." wollte er widersprechen aber Jing Yuan unterbrach ihn mit einem Angriff, welchem er nur noch ausweichen konnte.
Yanqing sah wie sein Meister auf ihn zu kam. Erst hielt er sich für einen Konter bereit aber erleichtert stellte er fest, das der Ältere keinen Angriff zu planen schien. "Weißt du wo dein Fehler war?" fragte er ihn und legte seine Waffe nieder. "Ähm also...ich konnte nicht mehr!" versuchte er sich rauszureden.
Doch dies war für den Lehrmeister die Falsche Antwort. So trat dieser an seinen lieblings Schüler heran. "Deine Antwort gefällt mir nicht so ganz! Aber deine fehlende Ausdauer kann man gut auf andere Weise trainieren! Damit werden wir auch sofort anfangen!" sprach er ruhig und fing an seine Hände auf die Seiten des Kleineren zu legen.
"M...Meister, w...was wird das? H...Hey, das kitzelt!" kicherte der Junge, als sich die Finger an seinen Seiten ganz leicht bewegten. Doch bekam er keine Antwort, lediglich stieg das Kitzeln an, weshalb er nun versuchte sich zu wehren. "Hahahahaha nihihihihihihicht hahahahahaha..." lachte er.
"Was das wird? Dein neues Ausdauertraining!" kommentierte er beiläufig und fand es unterhaltsam, wie kitzlig der Ritter war. Es erinnerte ihn an sich selbst, als er von Jingliu trainiert und für Fehlschläge mit kitzeln bestraft wurde. Dies war Schmerzfrei und zugleich sehr effektiv.
"Wahahahahas neihihihihihin bihihihihihihitte nihihihihihihicht hahahahahaha..." rief er lachend und ließ sich nun einfach ins Gras fallen. Doch als Jing Yuan ihm folgte wurde ihm klar, dass er keine Chance haben würde.
"Du flehst jetzt schon um Gnade? Dabei haben wir noch nicht einmal richtig angefangen!" gab der Löwe von sich und schaffte es einen Weg durch die Kleidung des Jungen zu finden. Die Berührungen auf der nackten Haut brachten ihn zum schreien. "Und solange du noch betteln kannst, hast du genug Ausdauer um weiter zu machen!" grinste er nun.
Laut lachend rollte er sich hin und her. "Wie kitzlig du doch bist!" kicherte sein Meister und schaffte es Yanqing unter Kontrolle zu bringen. Sein Schüler wusste schon bald nicht mehr was er tuen sollte und so konnte er nur noch lachen und auf Gnade hoffen. "Hahahahahahahaha nihihihihihihihicht ahahahahahaufhöhöhöhöhören hahahahahahahaha..." "Nicht aufhören? Das freut mich zu hören!" konterte der General und lachte selbst.
Die Beiden waren so sehr in ihrem Element, dass sie nicht einmal mitbekamen, wie sich Jemand von hinten nährte. "Habe ich dir nicht beigebracht immer wachsam zu sein?" fragte die anmutige Frau mit recht kühlem Ton. Sofort hörte Jing Yuan auf und sprang auf die Beine. Der ungebetene Gast zog ihre Klinge und griff an.
Gekonnt währte er die Schläge ab und erkannte die Person sofort. Nachdem der Schlagabtausch endete lächelte sie. "Du bist genauso stark wie damals!" "Danke für das Kompliment, Meisterin!" "Oh bitte, nenn mich doch einfach Jingliu! Schließlich bin ich nicht mehr deine Lehrerin!" sprach die Weißhaarige nun sanft.
Yanqing lag immer noch schwer atmend im Gras und sah zu den Beiden auf. "Dein Schüler?" fragte Jingliu und nickte zu dem Jungen. "Genau! Aber wir sind auch Freunde! Jingliu, das ist Yanqing! Yanqing, das ist Jingliu, meine nun ehemalige Meisterin!" stellte er die Beiden vor.
"Freut mich, Lady Jingliu!" lächelte der Jüngste und stand wankend auf. "Geht es? Entschuldige bitte, wenn ich übertrieben habe!" murmelte Jing Yuan und sah ihn an. "Alles gut Meister! Es war zwar anstrengend aber dennoch spaßig!" kicherte er und verbeugte sich vor der Großmeisterin.
"Die Freude ist ganz meinerseits, Ritter Yanqing!" sprach sie und verbeugte sich ebenfalls. "Ach ja Jing Yuan, schön das du bei ihm die selbe Strafe anwendest wie ich bei dir!" grinste sie und sah zwischen den Beiden hin und her. "Hm? Das war keine Strafe sondern sein Ausdauertraining!" gab er nun zurück und wurde leicht verlegen, da er nicht wollte, dass sein Schüler erfuhr wie extrem kitzlig der oberste General war.
"Soll das heißen, dass mein Meister kitzlig ist?" fragte der Lehrling nun neugierig. Jingliu kicherte und ließ ihre Hände zu Jing Yuans Seiten wandern. Dieser atmete tief ein und versuchte sich nichts anmerken zu lassen. Doch als sich die Finger seiner Meisterin bewegten, konnte er nicht anders und lachte. "Oh ja, damit konnte ich ihn immer super bestrafen, wenn er etwas falsch gemacht hatte! Da es nicht wehtut und der Erfolg genauso garantiert ist!" kicherte sie, während sie ihren ehemaligen Schüler folterte.
"Hahahahahahahahahahaha nihihihihihihihihihicht hahahahahahahahaha bihihihihihihihitte..." rief er lachend und kam sich lächerlich vor. Sein Schüler würde ihn doch nun nicht mehr ernst nehmen können. "Das wusste ich gar nicht! Aber gut zu wissen!" sprach Yanqing und grinste frech. "Aber höre trotzdem immer auf ihn! Selbst wenn du dies nun weißt, so weiß er jedoch mehr über den Kampf! Also werde bitte nicht leichtsinnig!" meinte sie nun. "Das werde ich, Lady Jingliu!" lächelte er nun unschuldig.
"Sehr gut!" lobte die Meisterin und genoss es. "Hahahahahahaha stohohohohohopp..." lachte Jing Yuan sich kaputt und rollte nun wie zuvor Yanqing über die Wiese. "Darf ich mitmachen?" fragte der Junge nun grinsend. Die Weißhaarige musste lachen, nickte aber. "Cool!" gab der blonde Ritter von sich und setze sich auf die Beine seines Meisters.
"Hahahahahaha nihihihihihihicht hahahahahahaha bihihihihitte hahahahaha..." schrie er nun lachend und versuchte sich zu wehren. "Oh doch Meister!" sprach der Junge und zog dem General die Schuhe aus.
Ganz leicht spürte er wie neugierige Finger nun über seine Fußsohle schlichen. Vor Lachen schrie er fast und wollte es nicht länger ertragen. "Nihihihihihihihicht dahahahahahaha bihihihihihitte hahahahahahaha..." lachte er.
"Nicht hier? Aber wo denn sonst? Deine Füße brauchen schließlich auch etwas Aufmerksamkeit!" konterte Yanqing und fand es zu unterhaltsam. Seine Fingernägel fanden jede noch so kleine Stelle.
Auch Jingliu hatte eindeutig ihren Spaß. "Ich habe es vermisst meinen Schüler so zu quälen!" sprach sie und schmunzelte. "Irgendwie klingt das beängstigend!" gab der Kleinere kichernd von sich. "Glaube mir, wärst du mein Schüler, würdest du genau die gleiche Behandlung bekommen! Aber keine Sorge, ich würde dich überleben lassen!" sprach Jingliu grinsend und kitzelte weiter die empfindlichen Seiten von Jing Yuan.
"Hahahahahahahaha höhöhöhöhöhört ahahahahahahahauf hahahahahahahaha..." flehte er lachend und wand sich unter dem Gewicht seines Schülers und seiner ehemaligen Meisterin. "Du hast es mal verdient!" kicherte der Lehrling freudig und machte sich nun an den Socken zu schaffen.
Seine nackten Füße waren noch viel kitzliger als man es gedacht hätte. "Tja Meister, eine kleine Rache für vorhin!" meinte Yanqing und lachte, als er von Jingliu einen leichten Stoß in die Seite bekam. "Sei nicht so frech zu ihm! Klar ist er grade unterlegen aber wenn er wieder frei ist wirst du wahrscheinlich ein Problem haben!" grinste die Schwertmeisterin und konzentrierte sich nun wieder auf das wesentliche.
Laut lachend lag der oberste General der Xianzhou im Gras und rief die kreativsten Bitten die man sich nur vorstellen konnte. Ihm war in diesem Moment egal was sie wohl denken würden. Alles was er wollte, war das sie aufhörten und ihn zu Atem kommen ließen.
So folterten die Meisterin und der Schüler von Jing Yuan ihn noch eine ganze Weile, ehe sie nun endlich die Gnade hatten aufzuhören.
11 notes
·
View notes