Tumgik
#madilog
hotrecords-blog · 1 year
Text
Nyi Blorong
Tumblr media
1 note · View note
al-ayubisyam · 3 months
Text
22) Berdialektika dalam Debat (dalam Tiga Puluh Hari Bercerita)
Gambar di atas adalah salah satu potret favorit yang saya ambil lima tahun lalu di sebuah kafe pinggir jalan. Setiap melihat foto buku Madilog tersebut, saya teringat keresahan saya tentang konstruksi berpikir dalam berdialog terutama pada debat-debat sosial, keilmuan, hingga kebijakan.
Kualitas suatu debat baik debat bebas atau formal pertama kali ditentukan oleh kemampuan mengelola dan menyampaikan substansi konteks dengan jelas yang kemudian menjadi premis awal, sehingga lawan bicara dapat melakukan balasan premis. 
Pada Bab 4 dan 5 dalam Madilog karya Tan Malaka dijelaskan lebih jauh bagaimana seharusnya pencarian keilmuan dituntaskan melalui dialektika yang tepat, yang mana harus memuat premis awal sebagai tesis, dan lawan premis sebagai anti tesis, kemudian diselesaikan dengan sintesis.
Sintesis informasi dan pengetahuan berperan mencari hasil akhir dari tesis dan anti tesis yang dikemukakan. 
Sayangnya, kebanyakan debat dan dialog, sejak di bangku sekolah, meja rapat, forum mahasiswa, hingga di ruang para pejabat menentukan kebijakan, lebih sering diisi oleh perdebatan dan pertengkaran yang hanya berputar pada soal istilah, definisi ini itu, tanpa ada sintesis yang bisa diperoleh sebagai hasil akhir sehingga yang terjadi hanyalah debat kusir yang tidak jelas arahnya.
Seyogianya, dalam menganalisis dan menjawab permasalahan yang jadi fokus adalah konteks konten dan substansinya bukan soal siapa paling banyak menghafal definisi.
- al ayubi
2 notes · View notes
shintyaif · 1 year
Text
Sambutan September
Tumblr media
Awal November pagi begitu sendu. Bukan tentang perasaanku di awal November, tapi memang cuacanya saja yang mendung sehingga terkesan sendu.
Hari Selasa terbilang cukup menyebalkan. Butuh kurang lebih 120 menit perjalanan untuk pulang pergi dari kampus, sedangkan hanya menyita waktu 100 menitku untuk menyelesaikan satu mata kuliah di kampus. Sungguh amat menyebalkan, tapi yang namanya hidup harus tetap berjalan bukan?
Selasa di pagi ini bukan hanya menyebalkan, tapi juga meresahkan. Belum juga di setengah perjalanan menuju kampus, hujan rintik sudah ganas menjadi lebat. Terpaksa aku harus meneduhkan diriku karena alasan tidak membawa jas hujan. Resah, gelisah, panik, bingung bercampur aduk tak karuan. 30 menit lagi kelas akan dimulai, sedangkan aku masih bergeming dengan pakaian yang sudah cukup basah dan perasaan yang semakin gelisah.
Kau yang sedari kemarin kujadikan asing seketika menjadi arah tuju pikiranku. Gelisahku butuh bantuanmu, bukan berharap agar kau datang dan membawakan jas hujan, tapi untuk menjadi penangkal gelisahku yang kian bergerumuh.  Seketika aku merindukan berkeluh kesah kepadamu, dan menyaksikan responmu yang seolah-olah begitu peduli kepadaku. Tapi untuk saat ini, aku menyadari bahwa ilusi itu pasti akan berujung nihil.
...
Tuhan maha baik, beberpa menit selanjutnya hujan lebat kembali menjadi hujan rintik. Aku langsung bergegas melanjutkan perjalananku. Walaupun telat pembelajaran di kelas, setidaknya aku masih bisa mengapresiasi diri sendiri karena sudah ber-effort sampai sejauh ini.
Sepulang dari kampus, aku tak mau menyia-nyiakan Surabaya hanya untuk hitungan menit yang singkat itu. Aku beriniasiatif untuk memampirkan diri di tempat yang belum pernah aku singgahi. Di salah satu sudut Surabaya aku menemukan perpustakaan dengan nuansa nature berpadu dengan vintage vibes. Aku tertarik terhadapnya, lalu aku pun berkeputusan untuk menyinggahinya.
Sesampainya di ambang pintu perpustakaan tersebut, seorang pustakawan menyapa ramah kehadiranku, dan mempersilahkan diriku untuk menjamah fasilitas yang ditawarkan oleh perpustakaan tersebut. Aku pun dengan penuh keantusiasan menyegerakan diri untuk memilih koleksi berbagai genre buku yang tertata rapi di rak perpustakaan. Mataku semakin berbinar ketika menemukan buku Madilog karya Tan Malaka, buku yang begitu di agung-agungkan oleh banyak pecinta sastra.
...
Aku memilih meja dengan vas kaca yang terdapat tanaman air didalamnya. Suasana perpustakaan ini begitu tenang dan mendamaikan. Kepelikan perasaan dan pikiranku mulai terkikis. Aku merasa damai disini.
Madilog karya Tan Malaka mengalihkan semua kegelisahanku. Aku diajak berpikir keras melalui anyaman kata demi katanya. Membukakan sedikit pemahamanku akan Materialisme, Dialektika dan Logika.
Di halaman 34, kepalaku terasa sakit dan sedikit pusing. Sebenarnya aku sudah merasakan ini sejak berakhirnya mata kuliahku tadi, tapi aku mengabaikannya, dan malah memberinya beban dengan bacaan berat ini. Sejenak aku memutuskan untuk tidak melanjutkan membaca. Aku mengambil headsetku dan mulai memainkan lagu rekomendasimu yang berinisial satu huruf itu.
...
Beberapa menit berlalu, lagu demi lagu sudah terputar. Saatnya aku melanjutkan halaman ke 35, tapi aku merasa sudah tak bergairah untuk membacanya. Aku masih tak ingin pulang, aku masih butuh waktu untuk bermeditasi dari kepelikan pikiranku sendiri. Aku memutuskan untuk mengambil binder pink di tas marunku. Lalu aku pun menuliskan bait-bait tak beraturan yang menggambarkan situasi perasaanku saat itu.
Setelah dirasa cukup, barulah aku meniatkan diri untuk kembali pulang ke rumah. Rumah kali ini bukan lagi dirimu, tapi rumah berwujud bangunan seperti pada umumnya lah yang ku maksud.
bersambung..
11 notes · View notes
keylaanee · 1 year
Text
Peron
Sore hari menjelang adzan maghrib. Kereta berhenti di stasiun Tugu, aku melangkahkan kaki keluar dengan perasaan membuncah, keinginan untuk segera melepaskan perasaan rindu. Namun rasanya semuanya begitu asing, banyak berubah, stasiun kini nampak lebih modern, mengikuti arus perkembangan zaman dan aku lihat cat tembok yang baru saja ditimpa, serta terdapat bangunan baru di sisi utara. Ah, apa mungkin ingatanku yang mulai kabur akan bangunan dan sisi stasiun yang dulu sering aku singgahi. Tentu saja, 15 tahun adalah waktu yang panjang untuk merubah banyak hal.
Waktu itu, aku ingat betul. Suatu Kamis siang menjelang sore, kita membeli tiket peron dan duduk di kursi paling ujung untuk menunggu kereta-kereta tiba. Entah apa yang aku pikirkan waktu itu, mau saja diajak olehmu dan membolos untuk kali pertama.
Seseorang siswa yang sering berlangganan masuk keluar ruang BK karena kepergok membolos pelajaran dan sering kali berakhir di meja kantin, tapi aku merasa kamu bukan seseorang yang patut dijauhi. Selain itu, sebenarnya aku bersyukur, jika saat itu kamu tak berada di ruang BK untuk menulis kalimat pernyataan selembar penuh portofolio, mungkin saja aku tidak akan pernah mengenalmu, sebagai teman pertamaku di sekolah baru.
"Pernah membolos?", celetukmu kala itu.
"Nggak pernah, kenapa?"
Kamu tersenyum, "Mau mencoba?" tanyamu kepadaku.
Aku hanya diam menggeleng, tentu saja siapa orang yang mau diajak membolos orang yang baru saja dikenalnya.
"Tunggu saja waktunya, suatu saat kamu pasti mau," ucapmu penuh percaya diri.
Aku mengernyit, cenderung meremehkan dalam hati, aku berkata itu tidak akan mungkin. Namun, kenyataannya waktu itu ucapanmu benar-benar terwujud.
Obrolan singkat di ruang BK itu aku kira akan berakhir di sana. Namun, seolah sudah direncana dengan kemungkinan dan kebetulan yang ada, aku tidak menyangka akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya, entah tak sengaja bertemu di ruang perpustakaan atau sengaja berjanjian untuk makan bareng di kantin.
Sesungguhnya adalah suatu anomali menemukan dirimu duduk membaca buku di perpustakaan, tak banyak ditemui siswa yang membolos ternyata suka membaca buku. Apalagi buku yang sedang kamu baca saat itu, Madilog. Buku tebal, yang orang melihatnya saja sudah enggan membacanya.
"Kenapa kamu suka membolos?" tanyaku saat itu.
"Ruang kelas itu seperti penjara, sesak. Aku tak betah duduk lama-lama dan hanya berdiam diri mendengarkan."
"Kenapa?", tanyaku saat itu.
"Karena mendengarkan adalah pekerjaan yang paling berat," jawabmu begitu diplomatis.
"Berat?"
"Iya berat. Ketika kamu mendengarkan paling tidak, kamu membutuhkan tiga indra yang bekerja secara bersamaan."
Ucapanmu kala itu selayaknya guru yang mejelaskan sesuatu kepada muridnya, aku mengangguk takzim.
"Pertama, kamu membutuhkan telingan untuk mendengar suara dan otak untuk memproses semua yang kamu dengar menjadi informasi. Kedua, kamu membutuhkan kedua mata kamu untuk memperhatikan dengan seksama, tak mungkin kedua matamu terpejam ketika guru menjelaskan berapa kecepatan buah jambu yang jatuh dari pohon, tergelincir ke genteng dan jatuh ke tanah, bukan?"
Aku tersenyum tipis mendengarnya, mana ada penjelasan soal semacam itu, "Ketiga apa?" ucapku ketika kamu tak kunjung melanjutkan.
"Kamu nggak tahu?" tanyanya.
Aku menggeleng dengan tatapan penasaran. Sedangkan, kamu kembali menatapku begitu lama tapi tak sampai membuatku risi, "Tersenyum."
"Tersenyum?" Aku merasa salah mendengar dan menatap sangsi wajahmu yang kala itu nampak serius.
"Mbak, jangan terlalu serius mendengar ucapan seorang anak SMA yang pengalaman hidupnya baru secuil kapur tulis yang mau habis. Bisa tersesat dan aku nggak mau tanggung jawab nantinya," ucapmu kemudian.
Aku menggeleng, menurutku perkataanmu memang benar, kecuali tindakanmu yang membolos saat itu.
"Ketiga, hidung untuk bernafas, nggak mungkin orang mendengarkan tanpa bernafas. Sekali lagi, tolong jangan serius banget, dari tadi lho Mbak melotot seolah lihat hantu."
Aku refleks melebarkan mata.
"Tuh kan, aku sudah bilang jangan melotot Mbak," ucapmu dengan tertawa renyah. Suara tawa yang nyaman didengar.
Aku saat itu hanya tersenyum kecil, meskipun sebenernya itu tidak lucu, dan guru yang berada di pojok ruangan kembali melirik kami mengisyaratkan untuk tenang.
Setiap hari kecuali tentu saja hari Minggu, hampir tak jemu kita mengobrol banyak hal. Saling bercerita dan membuka sisi dari diri kita masing-masing, yang mungkin tak pernah diceritakan kepada orang lain.
Satu minggu berganti bulan, dan bulan demi bulan terlewati, tak terasa satu tahun kita menjalin hubungan pertemanan. Kamu masih sama, suka membolos meskipun sudah berulang kali menulis berlembar-lembar kalimat pernyataan bersalah. Sedangkan aku, masih saja tidak bisa menebak apa yang kamu pikirkan.
Seperti saat kita duduk memakan somai langgananmu, di depan sekolahan. Aku memikirkan ucapan teman sekelasku tetang kamu yang dianggap sebagai anak berandalan, tukang bolos dan tidak punya masa depan.
Pernah seorang teman sekelas bilang kepadaku, "Kinan, kamu nggak tahu? Arkan itu pernah mau dikeluarkan. Dia itu madesu, apa sih gunanya berteman dengan dia. "
"Madesu?"
"Masa depan suram."
Aku menarik nafas lelah, menatap somai di depanku.
"Hei, aku tahu kamu memang pendiam. Tapi hari ini kamu seperti orang sakit gigi. Apakah tidak enak?"
"Kamu nggak denger ghosip?"
"Ghosip apa? Pandangan negatif orang lain tentangku?"
Aku menipiskan bibir, mengaduk somai tapi enggan untuk memakannya, "Iya", jawabku.
"Kinan, kamu itu terlalu pemikir. Aku tak pernah memusingkan hal itu," ucapmu begitu mudah.
"Arkan, tapi menurutku itu tidak benar."
"Berhenti memikirkan apa yang orang lain pikirkan. Lagi pula hidup kita seutuhnya milik kita, bukan milik mereka dan begitu sebaliknya. Selagi kita tidak merugikan orang lain, kenapa kita harus memusingkan penilaian orang lain, itu tidak perlu."
Percapakan itu berakhir, dengan maklumat aku harus ikut membolos denganmu, katamu hidupku begitu kaku dan aku harus melakukan suatu dobrakan dengan ikut membolos.
Peron adalah tempat favoritmu. Aku masih ingat, saat aku tanyakan alasanya kenapa kamu memilih peron sebagai tempat membolos, sedangkan sejak awal kamu bilang tak sanggup duduk terdiam begitu lama. "Di sini, aku lebih bebas dan aku bisa mengobrol dengan banyak orang. Kamu juga bisa melihat berbagai perasaan tulus, orang-orang. Perpisahan terkadang membuat mereka jujur dengan apa yang mereka rasakan. Liatlah seseorang wanita muda yang berdiri sendirian itu, dia memakai baju biru tua."
Aku mengikuti arah pandangmu.
"Wanita itu baru saja terpisah dengan orang yang dia sayangi, wajahnya terlihat sendu, berusaha tegar meskipun air matanya akan keluar."
Aku masih diam dan mengamati orang yang kamu maksud.
"Kamu bisa melihatnya kan?"
Aku tertegun, menggeleng beberapa kali, tersenyum miris. Apakah aku mulai kehilangan kewarasaan?. Aku melihat bayangaan diriku sendiri.
Suaramu itu sungguh amat nyata, tapi aku tahu sampai kapanpun keberadaanmu tidak akan bisa jadi milikku lagi. Semua sudah terlewatkan dan hanya akan menjadi kenangan. Saat aku melihat, seseorang wanita seusiaku berjalan ke arahku menggendong seorang anak kecil yang terlihat mirip denganmu.
"Memang benar perpisahan mengajarkan seseorang banyak hal, tapi selebihnya akan ada rasa sesal ketika kamu tak bisa mengikuti kata hatimu."
[Cerpen — 01/04/23]
3 notes · View notes
bubaranpabrik · 4 months
Text
Banyuwangi dan madilog membuat aku ingin menamai anakku ahimsa kalau dia laki-laki dan memayu hayuning buwono kalau perempuan
0 notes
stellarwave12 · 8 months
Text
Tinjauan Terpercaya Mengulas Karya Terpilih Denny JA 65 dengan Rinci
Tinjauan Terpercaya: Mengulas Karya Terpilih Denny JA 65 dengan Rinci Dalam dunia sastra Indonesia, Denny JA dikenal sebagai salah satu penulis terkemuka. Karya-karyanya telah memperoleh banyak penghargaan dan pengakuan dari para kritikus dan pembaca. Dalam artikel ini, kami akan melakukan tinjauan terpercaya terhadap karya-karya terpilih Denny JA 65 dengan memberikan ulasan rinci tentang beberapa judul yang paling menonjol. 1. “Kisah Para Lelaki Tua” “Kisah Para Lelaki Tua” adalah salah satu karya terpilih Denny ja 65 yang cukup menarik perhatian. Novel ini mengisahkan tentang kehidupan sekelompok lelaki tua yang saling bergantung satu sama lain di tengah kesepian dan tantangan hidup. Denny JA berhasil menggambarkan dengan detail kehidupan para tokoh utama, serta menyajikan cerita yang mengharukan dan mencerahkan. 2. “Menyibak Langit” “Menyibak Langit” adalah buku poesi karya Denny ja yang patut mendapat perhatian. Dalam kumpulan puisi ini, Denny JA mengeksplorasi tema-tema kehidupan, cinta, dan kematian dengan gaya penulisan yang khas. Puisi-puisinya mengandung makna yang dalam dan menggugah emosi pembaca. 3. “Madilog” “Madilog” adalah salah satu karya Denny JA yang paling terkenal. Buku ini merupakan kombinasi antara fiksi ilmiah dan filsafat yang mempertanyakan makna kehidupan dan eksistensi manusia. Denny JA menghadirkan konsep-konsep yang kompleks namun disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami. “Madilog” menjadi salah satu karya terbaik Denny JA yang menjadi bahan diskusi di dunia akademik. 4. “Kisah Cinta Rama dan Sinta” “Kisah Cinta Rama dan Sinta” adalah novel romantis karya Denny JA yang menarik perhatian pembaca dari berbagai kalangan. Dalam novel ini, Denny JA menggambarkan kisah cinta yang mengharukan antara Rama dan Sinta, dengan latar belakang budaya Indonesia yang kental. Cerita ini berhasil menyentuh hati pembaca dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang penting. 5. “Cinta di Dalam Gelas” “Cinta di Dalam Gelas” adalah kumpulan cerpen Denny JA yang menarik perhatian dengan berbagai tema yang diangkat. Dalam cerita-ceritanya, Denny JA berhasil menghadirkan karakter-karakter yang kompleks dan situasi yang menarik. Tiap cerpen memiliki pesan moral yang dapat diambil oleh pembaca. Dalam tinjauan ini, kami telah menyajikan beberapa karya terpilih Denny JA 65 dengan memberikan ulasan rinci tentang setiap judul. Karya-karya ini menunjukkan kepiawaian Denny JA dalam menggambarkan kehidupan, menghadirkan emosi, dan menyampaikan pesan moral kepada pembaca. Denny JA telah membuktikan dirinya sebagai salah satu penulis terbaik Indonesia yang patut diapresiasi. Dengan demikian, kami merekomendasikan para pembaca untuk menjelajahi karya-karya terpilih Denny JA 65 yang telah kami ulas dalam artikel ini. Semoga tinjauan terpercaya ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kehebatan Denny JA sebagai seorang penulis.
Cek Selengkapnya: Tinjauan Terpercaya: Mengulas Karya Terpilih Denny JA 65 dengan Rinci
0 notes
suduttakterlihat · 10 months
Text
Gak Butuh Surprise!
Tan Malaka dalam Madilog pernah menganalogikan perjuangan bangsa dengan sepak bola sebagaimana tercantum dalam karyanya yang berjudul Madilog, “Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak begitu, bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak” (hlm. 45). Dalam hal ini bisa diartikan bahwa sepak bola bukan hanya hiburan semata melainkan bisa dijadikan analogi khusus untuk memilah suatu kondisi yang dimana dapat menentukan arah gerak. Tetapi apakah demikian yang terjadi di Indonesia?
Sepak bola sudah tidak lagi hanya menjadi hiburan masyarakat melainkan juga menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, seperti pedagang asongan, pedagang jersey dan lain hal. Torehan karir sepak bola Indonesia pun juga tidak sedikit yang membanggakan di kancah asia yang per hari ini tulisan diterbitkan Indonesia berada di peringkat 150 pasca kekalahan dari sang Juara Dunia yaitu Argentina. Indonesia pun menyabet medali Emas Sea Games 2023 dengan mengalahkan Thailand di Final Kamboja. Tetapi dibalik keindahan prestasi tersebut tidak menutup kemungkinan adanya bumbu politik kotor yang menghantui persepakbolaan negeri ini. Terlalu banyak campur tangan “pemain” yang dapat dengan mudahnya mengatur alur dari klub atau bahkan sudah ada di tahap dapat mengatur hasil akhir dari kompetisi tersebut.
Hal ini yang kemudian selalu dimanfaatkan bagi oknum – oknum yang kurang bertanggung jawab dan tidak lagi menjadikan sepak bola hiburan masyarakat tetapi membuat sepak bola menjadi ladang basah untuk menjalankan praktik politik bagi golongan tertentu. Seperti yang kita ketahui Liga tertinggi di Indonesia sudah mulai bergulir dan tidak lama lagi Liga kasta kedua di Indonesia pun juga akan bergulir, tepatnya ada di bulan September. Beberapa klub di kasta kedua sudah sibuk dengan segala persiapannya tetapi ada juga beberapa klub yang memang terlihat belum ada kesiapan untuk mengarungi derasnya liga 2, mengingat kondisi regulasi dan persyaratan mendapati perubahan sehingga membuat persaingan di kasta kedua Liga Indonesia ini semakin sengit, sebut saja Deltras Sidoarjo.
Klub asal kota udang ini terhitung mulai dari tulisan ini terbit sama sekali belum melakukan persiapan untuk mengarungi liga yang sudah ada di depan mata. Hal ini membuat kami (Deltras Fans) geram akan langkah telat yang diambil oleh pihak Manajemen terakit kebijakan kematangan Tim. Peristiwa ini kemudian menjadi hal yang sangat lucu ketika “Mereka” yang menyebut dirinya Deltras Fans malah membentengi rekan seperjuangan untuk melayangkan protes demi kebaikan tim agar segera berbenah dan menyiapkan taktik dan strategi untuk dapat mengarungi jalannya Liga 2. Entah bagaimana dan apa yang ada di benak “Mereka” mengenai hal ini, yang kemudian menjadi sebuah bom waktu yang hanya tinggal menunggu untuk meledak. Jika kita tidak bergerak maka yang terjadi hanyalah sebuah angan dan formalitas belaka. Kenaikan kasta kemarin hanya akan menjadi kenangan dan harapan yang pupus karena ulah “Mereka” ini. 
Kembali lah ke ranah mu menjadi seorang supporter yang tidak akan tinggal diam ketika Deltras Sidoarjo tidak baik  baik saja. Manajemen terlihat anteng dan supporter adem ayem, dua variabel ini akan selalu menjadi sebuah pertanyaan yang sangat tidak wajar. Bagaimana tidak? Posisi klub yang saat ini sedang berkembang tetapi fokus manajemen hanya ada di pembinaan usia dini, untuk jenjang yang panjang itu akan sangat menjadi langka yang kongkrit dalam melahirkan putra – putra terbaik Sidoarjo untuk menciptakan pemain sepak bola yang  berkualitas. Tetapi bukan tidak menutup kemungkinan hal itu membuat Manajemen lalai akan marwah tugasnya menjadikan Deltras Sidoarjo kembali pada tempatnya. Kami akan menunggu seperti apa “Sureprise-mu” ?
1 note · View note
tutbek · 2 years
Photo
Tumblr media
Mantra kami selama pandemi. Hasil remix quote fenomenalnya pakde Tan Malaka menjadi versi kami. Sempat dipakai @pehagengsi sebagai tagline untuk acara Orderdisorder waktu itu (2020). Pandemi atau endemi sebaiknya prokes selalu, beriringan melonjak santay. Dari hal itu, membuat kami merasa butuh merilis ulang mantra ini. Jika kalian minat untuk membaca Madilog bisa ke store Jika kalian minat memiliki tees ini bisa ke link on bio (it's lastday) Selamat datang di masa the fun! #tutbek #spacestore (link on bio) https://www.instagram.com/p/CfabFG4Pv4Z/?igshid=NGJjMDIxMWI=
0 notes
ode-marjinal · 4 years
Text
Tumblr media
MENGIMAMI PERLAWANAN
Ada buruh yang mesti dibela dari perbudakan yang membuat pemodal kaya. Membela mereka yang bekerja dengan aneka dera yang diupah dengan sengsara.
.
Ada petani yang harus dibela dari korporat perampas lahan agraria. Penghidupan di ujung sertifikat, tiada dapat menolak agar badan tak dimakan sekarat. Digusur dari tanah leluhur demi kapitalisasi panjang umur.
.
Ada manusia Indonesia yang mesti dibela kemerdekaannya yang ingin dijarah oleh parlemen yang menjelma pabrik hukum. Membela kebebasan yang ingin diusaikan.
.
Ada alam raya yang disulap rimba nyala. Ada kemanusiaan yang diamnesiakan. Negara dijadikan neraka. Ada lara mesti diusaikan di mana-mana.
.
Demi paripurnanya keadilan ada yang mesti dibela dalam sebuah perlawanan.
.
.
.
.
XX/II/MMXX
3 notes · View notes
Photo
Tumblr media
Kabarnya buku ini ditulis sekitar 3 jam perhari selama 8 bulan dalam masa persembunyiannya dari kejaran tentara Jepang. Di dalamnya Tan Malaka memaparkan 3 soal utama terkait Materialisme, Dialektika dan Logika. Buku ini dimaksudkan sebagai kerangka berpikir bangsa Indonesia yang dia bayangkan. Semacam upaya mengajak kita untuk berpikir logis dan kritis. Sebuah buku penting dari seorang Tan Malaka . Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika, Yogyakarta: Narasi, 2021, 560 hlm,110,000 #TanMalaka #Madilog #MaterilismeDialektikadanLogika #PenerbitNarasi #KatalogJBS (di Kedai JBS) https://www.instagram.com/p/CWAdc5Mh8FA/?utm_medium=tumblr
0 notes
atomoganeson · 6 years
Text
Sebuah Kutipan dari pendahuluan “ MADILOG “
Bilanglah saja terus terang, bahwa benda itu tak berarti apa-apa, kalau dibanding akhirat. Propagandakanlah bahwa benda dan nikmat di akhirat lebih banyak, lebih lezat dan lebih kekal. 
katakanlah bahwa benda itu adalah satu rantai, satu karma yang merantai hidup kita, hidup sengsara ini. Dengan demikian cocokilah dan ikutilah sikap dan tindakannya beberapa sekte atau mashap mistika, yang mencari cara yang baik buat membatalkan dunia ini, cara yang baik buat………mati, yang buat mereka berarti mati-hidup. Bilanglah terus-terang mati lebih baik dari pada hidup. Berlakulah begitu, supaya teori cocok dengan praktek, kata dengan laku.
1 note · View note
putudani · 5 years
Text
Tumblr media
My kind of Saturday night
0 notes
arhtant · 5 years
Text
Beberapa salinan MADILOG _awal2
Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu!
Membuat definisi
Definisi sebisa-bisanya singkat, tetapi jangan terlalu luas atau terlalu sempit.
Definisi tak boleh circular atau berputar-putar.
Definisi itu mesti general atau umum.
Definisi tak boleh memakai metafor, ibarat, kata figuratif, penggambaran, kata
yan…
View On WordPress
0 notes
hanafitinarsohusen · 7 years
Photo
Tumblr media
FAWAZ-YANG MENYUBLIM DI SELA HUJAN
malam ini, saya agak gatal tangan saya (bener-bener gatal, agak bintul merah-merah) yang saya kira karena kondisi kamar yang lagi carut marut ditengah musimnya laporan magang. ketika saya coba buka instagram (@hanafitinarso), nah saya nemu quote dari bukunya fawaz. fyi, beliau adalah sukarelawan guru di wilayah terpencil Papua. beliau nulis pengalaman beliau di buku itu, dan quote beliau dijadikan instastory oleh salah satu rekan saya di kampus (satu fakultas beda jurusan). tangan saya semakin tergelitik dan ingin sekedar membahas quote itu. tulisan ini hanya opini, sebuah kolom. mungkin saja benar, bisa jadi salah. oke? pertama, inti dari quote tersebut adalah pendidikan formal (sekolah resmi yang diadakan negara) tidak mengajarkan kebudayaan lokal dikarenakan siatemnya terpusat. yap. “…mengadopsi kurikulim dari pusat yang diterapkan…”, memang benar. model pengembangan kurikulum di Indonesia dilakukan secara top down, atau administratif. why? karena Indonesia luas men, kalo mau dibikin grassroot, secara bottom up, maka yang wilayahnya maju akan maju dan yang berkembang akan mati perlahan. memang model ini kaku dan jadul, tapiiiii untuk Indonesia yang keadaannya kayak gini. ini udah oke, ini solusi terbaik pemerintah. kedua, seakan-akan dalam kalimat berikutnya dijelaskan bahwa pemerintah menghalangi berkembangnya dan tersampaikannya kebudayaan lokal ke penerus bangsa. “….mereka terasing di tanah sendiri….”, nggak gitu-gitu juga sebenarnya. untuk mengatasi model pengembangan top down, pemerintah melalui uu tentang otonomi daerah dimana terjadi desentralisasi pemerintahan untuk mengembangkan potensi wilayahnya masing-masing, telah memberikan mata pelajaran berupa muatan lokal. what? yap, muatan lokal atau disingkat mulok adalah mata pelajaran mengenai kebudayaan daerah, termasuk alat musik, bahasa, dan hal lain sesuai kebudayaan daerah. ketiga, ada kalimat yang berbunyi,“…kesempatan anak belajar berburu,…” yang dapat diartikan bahwa budaya lokal, really locally, yang menjadi budaya di Papua berusaha dimusnahkan oleh pemerintah melalui kurikulum kaku nya. Apakah benar? jawabannya ada di nomor dua. kalau pun, kalau pun, kalau pun (saya ulang tiga kali) disana masih tertinggal, ya wajar. Papua men, transportasi masih susah, pembangunan lambat, apalagi perkembangan informasi serta pelayanan pendidikan. kalo ada yang bilang, Papua kan Indonesia, ya harus sama dong. thats right, feels good, but doesnt work. buka mata kita, gimana keadaan Indonesia saat ini. negeri yang katanya demokrasi tapi terus dijajah secara ekonomi dan dimutilasi supaya hanya menjadi konsumen negara maju. susah bro bangun pendidikan di luar jawa, semuanya dilakukan pelan-pelan. itu pun kalo engga terlilit utang pas lagi rencana pembangunan. sekarang ngga ada rapelita, pembangunan lambat mas bro mbak sis. keempat, apakah pandangan beliau salah? tidak sama sekali, bahkan Tan Malaka juga memikirkan itu. dalam Madilog halaman 433 *cmiiw (saya agak lupa), beliau menulis “Kalau pendidikan di sekolah disandarkan secara langsung pada masyarakat dan alam, maka pengetahuan yang kita butuhkan adalah pengetahuan sesuai fakta yang sah dan mulia. Bila pengetahuan dihias sastra dan olahraga dihias semangat maka akan membentuk iman yang kuat dan tidak ada lagi penindasan.” pendidikan berbasis seperti itu hanya bisa kita lakukan kalau berdikari, bener bener want to feel alive sebagai Indonesia. dan tidak terpengaruh mata pelajaran dan informasi asing secara berlebihan. tapiiiii, dengan Indonesia yang seperti sekarang. Imposible, butuh revolusi. kelima, jadi itu pendapat saya mengenai quote diatas. mungkin saja jauh berada di belakang dari beliau penulis Yang Menyublim di Sela Hujan. saya mah apa, pengalaman mengajar cuman di sekolah-sekolah kota. itu pun keluar masuk karena kadang crash dengan sistem sekolah, beda dengan beliau yang sampai pelosok apalagi sebagai sukarelawan. terimakasih, sampai jumpa.
2 notes · View notes
prajuritketiga · 7 years
Quote
Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.
Tan Malaka, Madilog.
6 notes · View notes
dirambe · 6 years
Photo
Tumblr media
Madilog sekarang memperkenalkan dirinya kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minuman latuhan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahinya
0 notes