Tumgik
ifeginia · 2 months
Text
Sebuah Surat
Ketika nyaris terlambat melakukan apa pun, barangkali baru menyadari sesuatu itu berharga.
Ini sengaja tertulis, untuk yang diakui sebagai yang di cintai. Alangkah baiknya tenggelamkan diri lebih dulu pada satu-per-satu kata yang tertuang.
1.
Seharusnya sebuah surat sudah sampai di tanganmu, malam ini. Setelah dentang piano mengakhiri telinga, seorang pria tak dikenal memberikan amplop putih —lengkap dengan cap pengenal. Secarik kertas masih tersimpan rapih didalamnya. “Kali ini, apa tertulis?,” katamu.
Sudah tengah malam. Kamu sendiri sedikit menepi dari keramaian para pengunjung pesta. Dentang piano kembali terdengar, dalam sorotan cahaya ungu, seperti menyimpan kematian dalam lipatan kertas.
[Ungu : Menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, aspirasi yang tinggi, misteri, arogan, intuisi, ambisi, magic atau harga diri.]
2.
Kamu masih bercerita, padaku, dengan tema-tema menggigil setiap kalimat. Seperti ada luka yang terdapat dalam setiap kata. Suratmu masih aku baca. Seperti kekhawatiran yang akan membawamu, kesebuah kota hujan dan malam yang kini jadi benda-benda, yang pada tanganmu penuh cerita.
3.
Ketika tiba dalam perjumpaan. Aku bersalaman! Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri.
“Aku pandai merangkai kalimat, seharunya aku mampu mengabadikan kamu” kataku.
Sekarang berhenti, angkatlah matamu. Lihatlah malam yang mengelilingi kita bergerak tanpa suara.
Rasanya seperti berlarian berputar-putar dalam benakku.
–IFEGINIÆ
3 notes · View notes
ifeginia · 2 months
Text
Tuan & Nona.
Sebuah cerita menjaring risau,
dibiarkan membisu.
Serupa kalimat yang menggigil,
habis dibasahi derai asa.
Dengan kata-kata yang rancu ditelan bicara.
Kau masih terbaca,
olehku yang banyak meraih tanda tanya,
pada segala persimpangan arah.
Di tanganku, kubawa kau, cinta.
Menjelma pualam,
memaksa tumbuh pada kata ; biar ia menjelma rahasia.
Tapi kau tak pernah paham perihal kata.
Jadi, Tuan.
Aku suguhkan cinta,
seperti langit yang menyembah bumi ketika ia sedang berbahagia.
Dan, Tuan.
Kubawa kau, cinta.
Biar hidup lebih lama didekap mu.
–IFEGINIÆ
0 notes
ifeginia · 2 months
Text
Tumblr media
Malaikat Berisik.
Kemarin, seorang lelaki dan seorang perempuan menemui ku.
Padaku mereka bertanya,
“Kalau kau terlahir dan berjalan di dunia, maka di kehidupan mana kau mau menjadi manusia?”.
Aku kikuk.
Yang aku punya hanya sekantong tanah, tidak memiliki akal untuk menjawab.
Perempuan itu mendekat, bilang kalau akan ada malam dimana harapan-harapan tumbuh dengan subur setelah ditanam dengan rasa sayang.
Aku tidak paham.
Kemudian lelaki itu menghampiriku juga. Ditangannya gumpalan cahaya bersinar terang. Dari sana sebuah pertunjukkan diperlihatkan.
Ah, tapi sungguh disayangkan, aku tidak dapat menangkap jelas bagaimana gambaran benda asing membungkus kulit pada kelahiran dan kematian, sebab mataku yang berkaca-kaca.
Dan lagi, perempuan itu bertanya,
“Kalau kau terlahir dan berjalan di dunia, maka di kehidupan mana kau mau menjadi manusia?”.
Ada seribu, sejuta dan segala yang tak terhitung angka, pertanyaan yang nyaris membuatku tersedak. Ada banyak kata di kerongkonganku, tapi tersangkut tiap kali aku hendak menjawab. Barangkali karena aku pengecut.
Untuk apa aku punya sekantong tanah, dan lelaki itu punya segumpal cahaya, sementara si perempuan sibuk menanyai?
Berisik sekali.
–IFEGINIÆ
0 notes
ifeginia · 2 months
Text
Selamat membaca apa saja yang bisa terbaca.
Tak Lagi Utuh (Kepada Yori Hoshikawa)
12.00
Malaikat Berisik
Tuan & Nona
Sebuah Surat
1 note · View note
ifeginia · 2 months
Text
12.00
Kembang tidur terpeleset
Ia mengerang kesakitan
Riuh didalam kepala
Memaksa sepasang mata terjaga lebih lama
Ia berkelana
Mengarungi seisi kepala dan bernyanyi
Gemanya menggaung pada sudut-sudut malam
Pergi menyusuri kebebasan dan kesunyian
Seraya mendengar bisikan dari kekosongan
Pada ruang hampa ia berkata;
Aku bersemayam di atas matamu
Jangan terpejam!
Aku enggan terbunuh waktu
–IFEGINIÆ
4 notes · View notes
ifeginia · 2 months
Text
Tumblr media Tumblr media
Tak Lagi Utuh
Kepada Yori Hoshikawa dan segala riuh dunianya.
Yang mati,
tak pernah mati,
tumbuh lagi.
Sorot matamu menangkap teduh yang ditawarkan kehidupan atas segala naas didalamnya.
Sedang matamu yang berkerlap mengkilap setiap kali menatap.
Dibuat bisu oleh kata-kata yang kembali rebah didasar kepala.
Begitupun celah jemarimu, cacat mengenali hangatnya genggaman.
Kau tak lagi utuh.
Tak juga terlahir kembali.
Tapi tak apa.
Dalam segala riuh duniamu.
Bukan sebuah kehinaan untuk menjadi biru diantara hitam yang kelam.
Karena buatku, kau tetap sewajar-wajarnya manusia.
Monster (2023) -Hirokazu Koreeda.
@91neaa
0 notes