Tumgik
momodiaz · 4 years
Photo
Tumblr media
🔮 Enchanted & Mystical Blog 🔮 Credit: [x]
1K notes · View notes
momodiaz · 4 years
Text
Hi! It’s been a while. A very looooong long while since I wrote my last one. I’m strolling my late twenties now. Pretty much exciting, and boring. Tehe. But grateful. :)
Many things happened since then. Many me have been showed up and then gone too. The latest news are I am now a fulltime doctor, BTS army, and still a fairytale’s dweller. Oh, and also, the world is now in Corona crisis. I hope I can tell my oldself all these things. Tumblr is kinda ancient now, I think.
Well, it’s perfectly fine. We need ancient things to write about magical things too. Sooooo... because of these corona things, I have pretty much time to re-read again my old favourite books since my shift schedule arent as tight as before. Okay, so I read this one book and I never told you about how beautiful is this book. Before I start, I suggest you to read again my last posts hear. I’ve mentioned about a retelling fairytales novel named Wildwood Dancing which is adapted from The Twelve Dancing Princesses’ story. 
Sorry but I’m tired typing in english. Please give my permission to use my other’s language. :p
Tolong jangan kaget dengan perubahan mendadak ini. Aku berusaha mengasah bahasa Inggrisku yang sudah usang dimakan rayap, tapi sungguh suatu usaha besar menulisnya tengah malam dengan hanya setengah otak yang bekerja. Maafkan akuuuu....
Jadi, beberapa hari terakhir ini aku membongkar uang koleksi epub yang sudah kubaca dan menemukan lagi satu novel favoritku, Princess of The Silver Woods. Sebenarnya, ini adalah seri terakhir dari dua novel pendahulunya. Buku pertama, Princess at Midnight Ball merupakan adaptasi lain dari kisah The Twelve Dancing Princesses, salah satu dongeng yang menurutku cukup jarang kutemui di dunia novel adaptasi dongeng. Untuk seri novel ini, ceritanya ditujukan pada anak-anak dan remaja, sehingga plotnya cukup sederhana dan tidak banyak dipuntir dari kisah aslinya, hanya diperdalam. Nah, rupanya cerita kedua belas putri kerajaan Westfalin ini tidak berhenti sampai di akhir buku pertama saja. Kisah berlanjut ke buku kedua yang diambil dari dongeng klise sejuta umat, Cinderella, judulnya cantik - Princess of Glass, menceritakan tentang kisah putri keempat menemukan pangerannya. Kedua novel ini ditutup dengan buku terakhir yang mengadaptasi dari dongeng Little Red Riding Hood karya Charles Perrault. Wow. ini yang pertama yang pernah kubaca! Selain film Red Riding Hood-nya Amanda Siefried tentu saja.
Kenapa buku ketiga ini malah yang menjadi favoritku? Hmm... sebenarnya setelah kupikir-pikir aku juga bingung. Dari segi cerita alurnya sederhana dan ketika membaca kita bisa 100% yakin semuanya akan berakhir baik-baik saja selayaknya kisah dongeng untuk anak-anak. Bacaan ringan yang cocok sebagai pengantar tidur menuju mimpi indah dan pagi penuh harapan.
Penarik hatiku dari novel ini tentu saja dongeng yang diadaptasi tidak biasa. Bagaimana penulis bisa membangun hubungan Red Riding Hood dan serigala yang cukup menakutkan berubah menjadi romans. Tapi dari awal serigalanya tidak menakutkan sih. Hehe. Jalan ceritanya tidak benar-benar mengikuti kisah orisinil Perrault, tapi ketika kalian membaca kalian bisa merasakan beberapa part cerita asli menyublim di dalamnya. Ada tokoh karakter utama memakai jubah merah, manusia bertopeng serigala, dan nenek baik hati yang mencurigakan. Kalian tidak menyadari sedang membaca Little Red Riding Hood, tapi kalian akan menyadari betapa tokoh-tokohnya terasa akrab dan familiar.
Selain itu, dibanding dua buku lainnya, karakter utama sang tuan putri dalam buku ini adalah yang paling kusukai. Dari dua belas orang putri, buku ini menceritakan tentang putri bungsu, Petunia, yang di buku pertama masih berusia 6 tahun. Aku merasa dekat dengan si enam belas tahun Petunia karena kami sama-sama pendek. Hhahahaha .... Dikisahkan Petunia bertubuh paling mungil diantara saudari-saudarinya. Satu sisi, dia gadis pemberani dan galak yang pandai menembak, disisi lain dia juga si bungsu yang memiliki banyak rasa takut. Hal ini membuatnya berbeda dari putri di buku pertama Rose yang kalem dan dewasa, dan si tomboy Poppy di buku kedua. Kelebihan dan kekurangannya membuat Petunia tampak lebih manusiawi sebagai karakter.
Ide cerita buku ini menurutku juga cukup orisinal. Apabila kalian mengikuti kisahnya dari buku pertama, rasanya menyenangkan membaca buku ini dan melihat tokoh-tokoh lama yang muncul kembali. Aku selalu suka buku yang bisa menarikku hidup dalam dunianya. Westfalin dan istana Under Stone seperti bukan dunia yang asing untukku karena aku sudah berulang kali mampir ke dalamnya. Ada perasaan familiar yang hangat ketika membaca buku ini lagi. Karena ceritanya ringan, novel ini bisa dibaca berulang kali tanpa merasa bosan. Tapi memang, selesai membacanya, kamu tidak akan menemukan dirimu menghela nafas panjang dan merenungkan kisahnya sampai berhari-hari. Kisah ini manis. Cocok untuk dongeng pengantar tidur anak-anak, atau mungkin remaja, kalau kalian keberatan menceritakan kisah percintaan pada anak-anak. Hahahaha....
Akhir kata, aku merekomendasikan buku ini untuk kalian yang kebingungan mengisi waktu luang karena pandemi. Semoga bisa membuat salah satu hari membosankanmu menjadi lebih cerah dan ceria seperti keriuhan dua belas orang putri raja ketika merumpi dalam satu kamar. :) Mari kita terus berdoa agar pandemi ini cepat berlalu. Ciaooo...
Maafkan kalau tulisanku ini tidak terlalu nyaman dibaca. Rasanya sudah berabad-abad sejak aku banyak membaca dan menulis. Doakan aku bisa mengasahnya lagi. Semoga di kesempatan berikutnya bisa full bahasa inggris yah. yay!
0 notes
momodiaz · 4 years
Photo
Tumblr media
All rights reserved by  Dave Collins 
1K notes · View notes
momodiaz · 8 years
Photo
Tumblr media
111K notes · View notes
momodiaz · 10 years
Text
Jena & Costi, the Frog Prince
Selamat malam.. :) Di sela-sela kehidupan koas anestesi, saat sedang tidur-tiduran sepanjang hari di kamar kos yang kecil nan sepi, pikiran ini tiba-tiba melayang pada satu kisah yang dulu sempat menyita perhatian saya selama beberapa minggu. Saya lupa kapan, tapi saya merasa, itu adalah kali terakhir saya membaca kisah adaptasi dongeng yang begitu membekas setelah pernah terpukau dengan Goose Girl karya Shannon Hale. Kebanyakan novel adaptasi kisah dongeng, mengangkat cerita-cerita yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat seperti Sleeping Beauty, Cinderella, Beauty and the Beast, dan banyak lagi. Saat membaca kisah-kisah itu, dalam benak kita sudah terpatri alur cerita aslinya, dimanakah konfliknya, bagaimanakah berakhirnya.. nothing new, actually. Suatu ketika, saya menemukan satu judul yang cukup menggoda dan kover buku yang menarik perhatian saya. Wildwood Dancing. Buku ini mengenalkan kita pada tokoh Jena, putri pedagang kaya yang tinggal di sebuah kastil besar. Dia memiliki 4 orang saudari dan bersahabat dengan seekor binatang seperti layaknya tokoh utama cerita dongeng (dalam hal ini seekor katak bernama Gogu). Pada awalnya, kita akan disuguhi setting cerita The Twelve Dancing Princesses yang dihiasi selubung mistis dari mantra-mantra peri dan penyihir. Sepanjang kisah kita akan diajak berputar-putar diantara kalimat-kalimat yang memiliki makna-makna tersembunyi. Rasanya seperti ada di tengah pepohonan hutan peri yang berkabut hijau. Kabut ini akan menipis dengan sendirinya di akhir cerita. Pada satu titik kita akan mengira kisah itu sebentar lagi berakhir, tapi ternyata belum selesai-selesai.. Hahahaha... karenaaaa.... setting cerita beralih menjadi kisah dongeng The Frog Prince, dimana Jena mencium Gogu dan keesokan harinya katak itu berubah sosok menjadi seorang pemuda bisu. Setelah itu cerita terus berlanjut dan semakin seru dengan semakin banyaknya rahasia yang terkuak hingga pada saat cerita berakhir, kita akan menghela napas panjang dan tersenyum. Tidak banyak perasaan yang membuncah keluar saat saya selesai membaca buku tersebut. Tapi muncul satu kesan yang lumayan dalam terhadap karya Juliet Marillier ini. Saya sangat suka novel-novel adaptasi dari cerita dongeng. Tapi Wildwood Dancing bukan sekedar adaptasi. Juliet Marillier menciptakan kompilasi dari beberapa dongeng pada setting yang tidak biasa di Transylvania, sehingga buku ini menjadi satu dunia orisinil dengan karakter-karakter yang hidup menjalani kisahnya masing-masing. I also like how she told us about Transylvania, the culture, the woodland, the mountain, their dress, anything. Felt like I live in there too. Great experience.
0 notes
momodiaz · 10 years
Photo
Mortal Instruments Challenge: Most Favorite Rune
↳ PARABATAI RUNE
“Entreat me not to leave thee, Or return from following after thee — for whither thou goest, I will go. And where thou lodgest, I will lodge. Where thou diest, will I die, and there will I be buried. The Angel do so to me, and more also, if aught but death part thee and me.”
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
7K notes · View notes
momodiaz · 11 years
Quote
"You are too generous to trifle with me. If your feelings are still what they were last April, tell me so at once. My affections and wishes are unchanged, but one word from you will silence me on this subject for ever."
Mr. Darcy to Elizabeth Bennet (ch. 58, Pride and Prejudice, 1813)
0 notes
momodiaz · 11 years
Text
Land of Libreon-Frist Encounter 5-
Jantung Giselle berdebar kencang. Ini bisa jadi kesempatan sekali seumur hidupnya. Berada di luar dinding istana tanpa dikelilingi lusinan pengawal, atau di balik punggung-punggung kakaknya. Dia menoleh ke balik tirai halus di belakangnya, ke arah kamar tidurnya. Tidak akan ada yang tahu jika ia menyelinap pergi sebentar. Giselle teringat Momma, bagaimana beliau akan sangat khawatir jika tahu putrinya menghilang. Sepercik rasa bersalah merayap di dadanya.
“Kau janji akan mengantarku kembali kemari dengan selamat?”
“Tentu saja.”
“Sebelum mereka semua pulang ke istana?”
Anak laki-laki itu tersenyum penuh percaya diri dan tak terlalu peduli. Tentu dia tidak peduli. Bukan rambutnya yang terbuat dari emas!
“Bagaimana dengan perkara rambut ini?” Tanya Giselle.
“Berbalik,” perintah pemuda itu. Giselle, dengan kebingungan membalikkan tubuhnya.
Saat bertanya-tanya dalam hati, tiba-tiba ia merasakan tarikan dan sentuhan lembut pada kepalanya. Ia dapat merasakan ujung jari pemuda itu menarik helaian rambutnya, membentuk jalinan kepang di kepalanya dengan hati-hati. Giselle merasakan bulu di tengkuknya berdiri dan jantungnya berdebar. Bibirnya terasa kering dan ia tidak berani menggerakkan kepalanya barang seinci pun.
“Masalah terselesaikan,” kata pemuda itu, terdengar puas akan dirinya sendiri. Dia menangkupkan topi merah miliknya ke atas kepala Giselle.
Menyembunyikan seluruh rambut pirang gadis itu di dalam kehangatannya.
Ia memutar pundak Giselle hingga sang putri kecil itu menghadap ke arahnya.
“Lihat?” ujarnya dengan cengiran lebar.
Gadis kecil itu merona. Darimana datangnya bulu mata selentik dan seindah itu? Pikirnya
Ia mendesah.
“Kau harus mengantarku kembali sebelum pestanya selesai,” katanya.
Anak laki-laki itu tertawa merdu. Ia turun dari tempatnya bertengger di tepi balkon dan melangkah mendekati Giselle. Gadis kecil itu terperanjat. Saat berdiri berhadapan seperti ini, dia tampak sangat tinggi dan ramping. Seperti pohon cemara, pikirnya. Bahkan baunya pun seperti pohon cemara;  hijau dan lembap. Gadis itu bisa merasakan panas tubuh si pemuda yang menembus tunik birunya. Ia merasa begitu hangat hingga ke dalam dada.
Tiba-tiba dunia serasa berputar. Tubuhnya oleng dan kakinya kehilangan pijakan. Ia menjerit pelan. Kedua tangannya merengkuh mencari pegangan.
Ia mendengar suara tawa. Sangat dekat di atas kepalanya. Bahkan sanggup dirasakannya hembusan napas hangat menggelitik keningnya.
Giselle mendongak.
Ia bertatapan langsung dengan pemuda itu. Cahaya yang menyinari matanya berkurang sehingga sinar kecokelatan itu padam, sebagai gantinya hanya tampak bayangan kehitaman yang menyatu dengan pupil. Pemuda itu menggendongnya di depan dada. Dan Giselle menyadari dalam satu tarikan napas bahwa kedua tangannya memeluk erat leher pemuda itu.
“Apa yang kau lakukan?” desisnya.
“Kita akan terlambat kalau tidak berangkat sekarang juga.” Pemuda itu mengayunkan kakinya naik ke tepian pagar. Tampak tidak kesulitan meski tengah membawa Giselle dengan kedua tangannya. Tentu saja tidak. Aku terlalu kecil untuk menjadi beban, gerutunya dalam hati.
Dia berayun. Giselle melongokkan kepalanya dan melihat taman istana jauh di bawahnya, hitam kelam. Bahkan siluet pepohonan dan air mancur serta bangku besi di tepinya, tak tampak sama sekali. Ia merinding. Tangannya berkeringat.
“Tunggu! Aku belum si—“
Ia menjerit. Tangannya mencengkeram leher pemuda itu begitu erat hingga kepalanya terbenam sangat dalam di dadanya. Giselle bisa mencium wangi kayu cendana, bercampur dengan aroma embun dan tanah, juga sedikit asap yang melekat pada tunik milik pemuda itu.
“Kau mencekikku,” seru pemuda itu. “Bersantailah. Buka matamu. Ini menyenangkan!”
“TIDAK! Kau gila!” Giselle mengencangkan pegangannya lebih erat. Laki-laki itu tergelak.
“Oh, ayolah. Akan lebih menakutkan terbang dengan mata tertutup. Coba saja. Buka matamu.”
Giselle tak bergerak.
“Kau bisa melakukannya sambil memelukku. Hanya membuka mata. Apa susahnya?”
Gadis itu menyentakkan kepalanya. “Aku tidak memelukmu! Kau gila!” Dia menarik ujung rambut pemuda itu dari belakang leher.
“Auw! Itu sakit!”
Giselle tertawa terbahak-bahak. Mereka meluncur dari tepi balkon tempat kamarnya berada, melewati dinding istana, menuju kaki gunung. Giselle bisa merasakan angin sedingin es menghujam wajah, telinga, dan lehernya. Lidahnya mencecap udara kering dan beku seperti pasir salju meleleh di mulut.  Dia juga sadar akan dua tangan besar dan kokoh yang memancarkan kehangatan tengah menopang tubuhnya dengan mantap. Seakan ia sedang duduk di atas ayunan di taman istana bermandikan cahaya matahari. Aman dan nyaman. Tiba-tiba saja segala ketakutannya lenyap dan gadis itu memberanikan dirinya memandang berkeliling.
Dia menarik napas dengan keras.
Apa yang ada di hadapannya adalah pemandangan yang sangat hebat. Tak pernah terbayangkan bahkan dalam mimpi, bahwa langit malam memiliki begitu banyak warna. Hitam kelam di puncak kepalanya, biru gelap hingga ke kaki gunung, dan berubah ungu saat menyentuh daratan, tertimpa cahaya lampu kota. Ia melihat Kaldrea, di kaki gunung, memancarkan cahayanya sendiri, tak hanya dari nyala lentera dan lampion. Setiap rumah seakan bersinar, menonjolkan atap-atap runcing bermenara yang dari kejauhan nampak seperti puluhan panah ditembakkan ke udara, mengoyak langit malam.
Giselle mendongak. Matanya menelusuri jutaan bintang yang bergerak perlahan seperti pasir di dasar sungai memantulkan cahaya matahari. Dia selalu bertanya-tanya, bagaimana matahari bisa membuat segala sesuatu di permukaan bumi berkilauan, dan saat surya itu terbenam, begitu pula segala sinar yang memancar. Dia selalu berpikir, malam sangat jahat, karena malam merenggut cahaya mentari, menenggelamkannya di antara bayangan kelam.
“Malam memiliki cahayanya sendiri,” gumamnya pelan. Tangannya terulur, berusaha menggapai bintang. Ia menangkupkan telapaknya melintasi sejalur rasi bintang. Ketika ia membalikkan telapaknya itu, tangannya penuh serbuk-serbuk halus berpendar keemasan. Giselle mengedipkan mata. Ia menoleh lagi ke langit, bintang-bintang itu masih di sana. Alisnya berkerut dan ketika menoleh ke samping, dilihatnya serbuk yang sama ada di sana, berkelip di antara warna biru tunik. Ia memerhatikan leher putih milik si anak laki-laki. Kulit di tengkuk hingga ke tulang selangkanya bercahaya kuning keemasan.
“Kau bersinar,” kata Giselle. Pemuda itu tidak menjawab. Hanya tersenyum.
0 notes
momodiaz · 11 years
Text
The Land of Libreon -First Encounter 4-
Giselle kecil yang malang tidak pernah membayangkan hal mengerikan seperti ini akan terjadi di depan matanya. Dia belum pernah menyaksikan kematian. Dulu, beberapa kali dia menghadiri pemakaman. Namun yang dilihatnya hanyalah tubuh yang telah terbujur kaku. Gadis itu belum pernah melihat proses bagaimana sinar kehidupan menghilang dari seseorang. Giselle teringat pemuda itu. Bagaimana senyum dan mata cokelatnya tampak begitu hidup dan bercahaya beberapa detik yang lalu.
“Ya Tuhan, kau menangis?”
Pemuda itu ada di sana. Di hadapannya. Memberikan tatapan ‘yang-benar-saja’.
“K.. kau.. bagaima… tapi tadi…” kata Giselle degan terbata-bata. Matanya terbelalak dan Ia tergesa menghapus air mata di pipinya dengan punggung tangan. Berkali-kali kepalanya melongok pada halaman luas di bawah balkon.
“Kau sungguh tidak bisa diajak bercanda, ya?”kata pemuda itu setengah frustasi.
“Hal seperti itu bukan bahan bercandaan!” tukas Giselle.
Tidak ada yang pernah memberitahunya bahwa pura-pura mati akan menjadi lelucon yang hebat. Yang benar saja. Gadis itu memberengut kesal. Lalu tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang sebelumnya tidak ia perhatikan.
Giselle berdiri di balkon, tangannya bersandar pada pagar setinggi dada, sementara, anak laki-laki itu, yang baru saja melompat menuju kematiannya, ada di hadapan Giselle.
Di balik pagar balkon.
Berdiri di sebelah luar. Di antara langit bebas. Tidak.
Dia tidak sedang berdiri.
Tak ada tempat untuk berpijak di luar sana. Bahkan pepohonan pun tak ada yang menjangkau tepi beranda kamar para putri
Mata Giselle terbelalak. Dia mulai menyadari apa yang sedari tadi hendak ditunjukkan anak laki-laki itu.
“Jadi kau bisa terbang?” tanyanya dengan mulut menganga.
Anak laki-laki itu menyeringai lebar. Dengan penuh percaya diri, ia berputar dan bersalto di udara lalu mendarat penuh kemenangan dengan satu kaki di atas pagar.
“Bagaimana menurutmu?” katanya dengan bangga.
Giselle mundur satu langkah
“Kau yakin kau bukan hantu?” tanyanya. Satu alisnya terangkat. Ia belum pernah melihat seorang manusia bisa terbang, sebelumnya. Dia juga belum pernah mendengar cerita mengenai hal itu dari buku manapun yang telah dibacanya, juga dari kakak-kakaknya.
Anak laki-laki itu memutar bola matanya. Ia mencondongkan kepala ke arah Giselle. Sinar matanya yang tajam membuat jantung gadis itu berdetak satu kali lebih cepat.
“Kau belum pernah melihat hantu.” Itu pernyataan. Bukan pertanyaan.
“Hantu tidak punya warna. Mereka abu-abu, suram dan tembus pandang. Seperti asap kayu yang terbakar,” katanya.
“Kau lihat mataku? Bisa melihat warnanya? Oh.. ya.. aku yakin kau bisa. Pipimu berubah merah muda setiap kali pandangan kita bertemu.”
Ia mengedipkan sebelah mata.
Giselle geragapan. “A-aku tidak—“ kata-katanya menghilang. Wajahnya terasa panas. “Kau menyebalkan,” gerutunya pada akhirnya. Ia memalingkan wajah. Dia pikir dirinya tampan? Batin Giselle dalam hati. Yah, meskipun pemikiran itu sangat sulit ditolak. Karena dia memang tampan.
Pemuda itu tergelak.
Mereka berdua duduk dalam diam untuk beberapa saat. Menikmati angin malam yang membekukan kulit. Giselle bisa mencium aroma pemuda di sebelahnya. Bau dedaunan dan biji pinus, berselingan dengan wangi ganjil yang tidak bisa diterkanya. Lalu… Giselle mengerjap. Ada aroma asin garam dan pasir lembap. Gadis itu memejamkan mata, membayangkan darimana pemuda ini berasal. Dia melihat hamparan air luas berwarna biru, dengan buih-buih ombak bergerak tanpa henti menyibakkan pasir keperakan sewarna berlian.
Itu adalah samudera.
Giselle belum pernah melihat samudera. Kerajaannya terletak di dataran tinggi dan pegunungan. Dia sangat akrab dengan wangi embun pada daun dan tanah basah, begitu pula apaknya jamur yang tumbuh di pepohonan. Saat musim bunga tiba, seluruh istana akan dipenuhi harum berbagai jenis bunga-bungaan yang tumbuh di Cerrenzia. Lain halnya dengan aroma laut. Gadis itu sama sekali belum pernah mencium angin asin dan lembab seperti yang dibawa pemuda ini. Ia hanya menerka, karena saat matanya terpejam, bayangan laut luas seperti lukisan di salah satu koridor istana langsung membanjiri benaknya.
“Sudah waktunya aku pergi.”
Suara pemuda itu membuyarkan lamunan Giselle. Ia membuka matanya.
“Kemana?” Tanyanya. Giselle tak bisa menyembunyikan kekecewaan dalam nada suaranya. Saudari-saudarinya belum akan pulang sebentar lagi. Jika pemuda itu pergi sekarang, Giselle akan kembali sendirian saja. Dia takut dengan pemuda itu. Anak laki-laki yang datang ke kamar anak perempuan melalui jendela bukanlah orang baik-baik. Momma selalu memperingatkan putri-putrinya. Tapi, ini pertama kalinya Giselle memiliki teman bicara selain kedelapan saudarinya. Dan ia menikmati, saat-saat ia beradu mulut dengan anak laki-laki di sebelahnya.
“Melanjutkan perjalananku. Aku hanya singgah sebentar di danau dalam hutan untuk mengisi botol minum. Lalu aku melihatmu, dan kupikir kau salah satu dari putri yang lain, jadi kuputuskan untuk menyapa sebentar.”
“Kau kenal dengan saudaraku?”
“Kami bertemu dalam beberapa pesta. Yang sepertinya tidak kau hadiri.” Pemuda itu mengerucutkan bibir dan mengangkat alis penuh simpatik.
Giselle tidak menjawab. Dia berpikir, andaikan tak ada kutukan rambut emas ini, tentu saja akan ada banyak sekali orang yang dikenalnya selain keluarganya sendiri. Dipandangnya anak laki-laki itu. Seperti yang dipikirnya semula, pemuda ini pastilah keturunan bangsawan, bahkan mungkin pangeran dari negeri tetangga.
“Apa saudariku tahu kau bisa terbang?”
Pemuda itu mengangkat bahunya sembari tersenyum. “Kurasa tidak. Kau yang pertama tahu.”
Giselle melihatnya bangkit dari tempatnya bertengger di pinggir balkon. Pemuda itu berputar dengan mulus di hadapannya. Kakinya melayang santai. Ada pendar-pendar keemasan di sekeliling pemuda itu yang tidak diperhatikan Giselle sebelumnya.
Sinar kekecewaan terlintas di mata hijau gadis itu. Dan si pemuda menangkapnya. Ia menghela nafas sebelum akhirnya berkata, “Kau mau jalan-jalan sebentar?”
Giselle hanya melongo. Matanya terbuka lebar-lebar. Ia merasakan darahnya mengalir kencang penuh antisipasi.
“Apa maksudmu?” tanyanya, memastikan.
“Ada festival di tengah kota, bukan begitu?”
Giselle mengangguk.
“Kesanalah semua saudaramu pergi, benar?”
Dia mengangguk lagi.
“Dan mereka memutuskan untuk tidak mengajakmu, karena perkara rambut pirang ini?”
Giselle melihat sinar mata pemuda itu melembut. Dia mengangguk pelan. Ada sengatan di belakang matanya, seperti airmatanya siap tumpah kapan saja.
“Maka sekarang aku mengajakmu, tuan putri, untuk melihat festival ini bersamaku,” pemuda itu berkata pelan. Senyum lebar terukir di antara kedua pipinya yang memiliki semburat merah muda. “Bagaimana?”
0 notes
momodiaz · 11 years
Text
The Land of Libreon - First Encounter 3 -
Gadis itu mendongak mendengar kata yang diucapkan pemuda asing itu. Kini matanya bersirobok dengan mata cokelat terang yang memandangnya tajam.
  ”Maaf, kurasa aku telah menyakitimu, miss,” kata anak laki-laki itu. Giselle merasakan ketulusan dalam ucapan maaf itu dan tanpa sadar dia tersenyum. Dia menggeleng.
”Aku mengerti,” katanya. Lalu ia terdiam. Dipandangnya pemuda itu dengan takut-takut.
”Ya?” tanya sang pemuda. Alisnya terangkat dan kepalanya meneleng.
Giselle berkata dengan suara lirih, ” Apa kau... Hendak mengambil rambutku?”
”Kau tidak ingat padaku, eh?” tanya anak laki-laki itu. Ia melompat di atas berai balkon dan duduk di tepian dengan kaki menggantung. Kepalanya menoleh pada Giselle yang berdiri di sebelahnya.
”Yah, kurasa tidak. Kau dikelilingi banyak prajurit saat itu,” katanya dengan geli.
”Kapan?” tanya Giselle.
”Lima tahun yang lalu, kurasa itu pesta pertama yang kau hadiri, bukan begitu?”
Giselle tak menjawab. Ia hanya mengangguk. Pesta pertama yang dihadirinya adalah Pesta Musim Anggur. Sang raja mengundang banyak sekali tamu dari kerajaan lain untuk menikmati anggur Cerrenzia yang baru saja dipetik. Bau manis dan tajam menguar hingga seluruh ruang pesta. Banyak tamu memegang gelas tinggi dan berbotol-botol anggur siap dituangkan. Giselle belum pernah meminumnya, namun minuman itu tampak sangat nikmat karena tak lama setelah itu, banyak orang tertawa dengan wajah memerah di sekitar pipi. Ia hanya memandang mereka sambil memakan buah anggur yang telah dipotong kecil-kecil. Itu pesta yang ramai dan menyenangkan. Namun seingatnya, pesta itu bukan kenangan yang bagus untuk diingat karena dia...
”Kau nyaris terjungkal saat menuruni tangga,” bocah laki-laki itu menceritakan bagian yang tidak ingin diingat Giselle sambil tertawa keras. ”Aku tidak mungkin lupa pada wajah si putri kecil yang sudah memerah bahkan sebelum semua orang meminum anggurnya!”
Panas menjalar dari leher Giselle hingga ke pipinya. Ia begitu malu hingga ingin berlari masuk ke kamarnya dan bersembunyi di bawah bantal. Tapi ada yang perlu ditegaskannya.
”Siapa kau?”
Orang yang bisa hadir di acara Pesta Musim Anggur tahun lalu pastilah bukan orang sembarangan. Mungkin putra salah satu undangan dari kerajaan lain karena Giselle belum pernah melihat seseorang memiliki rambut hitam malam seperti itu di Cerrenzia. Penduduk negeri ini semua berambut pirang dan terang.
Pemuda itu menoleh padanya dan menyeringai. Dia menatap Giselle dengan mata cokelat yang bersinar hangat di balik tirai bulu matanya.
”Kenapa tidak menjawabku? Siapa kau?” tanya putri kecil itu sekali lagi. Suaranya sedikit bergetar kali ini.
”Menurutmu, siapa aku?”
Giselle menggeleng.
Pemuda itu menghembuskan nafas. Tangannya terulur maju hendak menyentuh kepala sang putri.
Giselle terkesiap. Kepalanya ditarik menjauh ke belakang.
Tangan si anak laki-laki berhenti bergerak. Dia melihat rasa takut di mata gadis kecil itu. Lalu, alih-alih meneruskan gerakannya, dia meraih topi di atas kepalanya sendiri dan menyematkan benda merah itu di puncak rambut Giselle.
”Aku tidak akan mengambil rambutmu, mencuri, merampas, atau apapun,” ujarnya seraya tersenyum, memperlihatkan sederetan gigi putih yang tertata rapi. ”Mereka tampak lebih bagus membingkai mata hijaumu, kau tahu?”
Giselle merona.
Pemuda itu tertawa.
”Sungguh ekspresi yang penuh warna,” katanya lagi.
Giselle menyentuh kedua pipinya sendiri yang terasa panas. Jantungnya berdentam tak keruan sedari tadi dan matanya tak bisa lepas dari senyum hangat pemuda itu. Tawanya lembut dan ringan. Gadis itu mulai menanggalkan kecurigaannya bahwa anak itu adalah penyusup. Tak mungkin orang jahat memiliki mata sejernih dan seindah ini serta senyum yang begitu menawan.
Dia menyentuh topi pemburu di atas kepalanya. Ukurannya terlalu besar untuk Giselle. Bulu berwarna kuning berayun-ayun di depan hidungnya. Matanya kembali menatap pemuda itu, yang sekarang tengah bergelantung di atas pagar balkon. Badannya bergerak ke depan dan ke belakang mengikuti angin. Ia bersenandung kecil. Satu waktu, tubuhnya terlalu condong ke depan, mengarah pada taman luas di bawah kaki. Giselle tersentak. Tanpa berpikir panjang ia mencengkeram jubah merah milik anak laki-laki itu. Anak itu berhenti bergerak dan menoleh, menyeringai.
”Kau!” seru Giselle. Wajahnya pucat pasi. Apa yang akan ia lakukan jika ada orang terjun bebas dari balkon kamarnya?
”Itu sangat berbahaya! Kau harus turun dari sana,” jemari kecil gadis itu menggenggam erat mantel merah yang dikenakan si pemuda.
Anak laki-laki ini berputar menghadap sang putri. Kakinya bergelantungan.
”Rupanya kau tidak melihat bagaimana aku datang kemari ya?”
Kedua alisnya terangkat tinggi, membentuk lengkungan sempurna di atas sinar kecokelatan dari bola matanya.
”Eh?” Giselle menyipitkan mata. Dia berusaha mengingat bagaimana bocah itu bisa sampai di atas balkonnya. Tadi, ia sedang mengamati bayangan hitam yang mondar-mandir di langit. Bayangan itu melaju ke arahnya, lalu...
Sekelebat warna merah berkobar di hadapan sang putri. Si pemuda berambut hitam baru saja melompat turun dari atas pagar balkon, menuju kegelapan puluhan kaki di dasar kastil.
”Tidak!” jerit Giselle.
Jubah merah yang digenggamnya bergerak mulus terlepas dari jari-jari kecilnya. Darah mengalir keluar dari wajah Giselle saat dia melihat pemuda itu meluncur kencang siap menghantam tanah keras halaman istana. 
0 notes
momodiaz · 11 years
Text
The Land of Libreon - First Encounter 2 -
Giselle menoleh memandang kamarnya di balik tirai dan menyadari saudarinya belum kembali juga. Para dayang tengah beristirahat di ruang duduk. Dua adiknya sudah tertidur lelap. Mereka akan mendengar kalau ia berteriak.
Giselle membalikkan kepalanya hendak melihat lagi bayangan hitam tadi. Dan ia terkejut luar biasa ketika tepat di depan hidungnya sosok itu berdiri. Gadis itu melompat mundur, tangannya menutup wajah. Jantungnya berdentam-dentam, jarinya berkeringat. Dia berteriak.
Sebuah benda sedingin es mendekap mulutnya erat-erat hingga tak ada suara yang mampu keluar dari tenggorokannya. Gadis itu mengerang. Ia semakin ketakutan ketika menyadari lengannya dicengkeram oleh sesuatu. Ia meronta-ronta membebaskan diri, namun makhluk yang mendekapnya jauh lebih kuat.
Seseorang selamatkan aku! Jeritnya dalam hati. Apakah ini penculikan? Apa makhluk ini mengincar rambutku? Gadis itu menggeleng-geleng berusaha menghilangkan rasa takutnya. Tubuhnya gemetar hebat sementara ia terus bergerak melepaskan diri. Air matanya mulai mengalir keluar.
”Sssh...” satu bisikan terdengar tepat di telinga kanannya.
Kupingnya terasa panas dan geli oleh udara yang dihembuskan dari bisikan itu.
”Kalau kau berjanji tidak berteriak, aku akan melepaskanmu,” terdengar bisikan lain.
Giselle merasa panas menjalar dari hembusan napas di telinganya. Lalu ia merasakan kehangatan lain di belakang kepala dan punggungnya. Sekarang gadis itu mengerti, seseorang tengah berdiri di belakangnya. Orang yang mencengkeram lengannya sekuat besi.
Giselle ketakutan. Dia tetap ingin berteriak. Namun tangan besar sedingin es tengah menutup hidung dan mulutnya. Nafasnya beku dan gadis itu mulai merasa pusing. Ia membutuhkan udara. Perlahan, gerakan tubuhnya melambat, lalu berhenti. Dia tak lagi meronta. Kedua kakinya lemas tergantung.
Secara perlahan juga, cengkeraman di mulut dan lengan Giselle melonggar. Gadis itu jatuh terduduk. Ia tersengal-sengal. Paru-parunya mengambil udara sebanyak mungkin untuk mengembalikan kesadarannya. Tangannya menyentuh leher sementara dadanya naik-turun dengan cepat. Bayangan bergerak di hadapannya.
Seseorang berlutut dan menelengkan kepala.
”Kau tidak apa-apa?” kata orang itu.
Nada suaranya terdengar cemas.
Giselle membalikkan badan menjauhi orang asing itu. Ia masih membutuhkan lebih banyak lagi udara untuk masuk dalam paru-paru.
Barulah setelah beberapa lama, kesadarannya mulai kembali dan nafasnya kembali tenang. Giselle menyandarkan kepalanya pada berai balkon. Matanya terpejam sejenak, dan saat kelopaknya membuka, ia melihat seorang pemuda duduk di depannya. Usianya kira-kira lima belas—3tahun lebih tua dari Giselle—, posturnya tinggi dan tubuhnya tampak terlatih. Ia mengenakan tunik biru tua dengan celana putih yang kotor, serta mantel berwarna merah dengan kaitan keemasan di dadanya. Rambutnya adalah rambut paling hitam yang pernah dilihat Giselle. Sewarna jelaga di dasar panci. Ditutupi oleh topi berburu merah dengan bulu kuning tersemat. Ia mengamati wajah anak laki-laki itu. Tampan.
Pipi Giselle bersemu merah saat pikiran itu melintasi otaknya. Ia menunduk, berusaha menenangkan diri lagi.
Anak laki-laki itu mengamatinya, Giselle bisa merasakan.
”Maaf.”
Gadis itu mendongak mendengar kata yang diucapkan pemuda asing itu. Kini matanya bersirobok dengan mata cokelat terang yang memandangnya tajam.
0 notes
momodiaz · 11 years
Text
The Land of Libreon - First Encounter 1 -
Malam itu, bulan baru bersinar terang. Kuning pucat, seperti goresan luka yang mengoyak gelapnya langit. Kilasnya menerangi puncak bukit tempat para penggembala duduk melingkar sambil menyenandungkan lagu, sementara domba mereka melahap rerumputan hijau penuh kenikmatan. Bintang-bintang berpendar redup menyelingi gelapnya langit. Cahayanya menyerupai cahaya seratus lilin di ruang doa. Berkelip saat angin berhembus, namun tak pernah padam.
Tak seperti kebanyakan orang, atau mungkin tak ada orang lain lagi yang memiliki rambut sewarna emas murni selain gadis kecil itu. Tak hanya warna, setiap helainya sungguh merupakan sepuhan emas berbentuk benang-benang halus. Gadis itu meraba kepalanya dan menarik sejumput rambutnya yang sepanjang bahu. Ia menjentikkan jarinya dan tampak kilasan-kilasan emas saat cahaya lilin di kamarnya menyinari rambutnya. Dia mendengus. Lagi.
Inilah yang membuatnya sedih. Bukan karena jamuan makan yang tidak bisa dihadirinya, tapi karena rambut emas itu memenjarakan hidupnya. Ibunya, sang ratu, yang ia panggil Momma, khawatir akan banyaknya orang jahat yang mengincar putrinya. Oleh karena itu, gadis kecil ini, Giselle Tieriene, putri ketujuh dari kerajaan Cerrenzia, dilarang keluar dari dinding tinggi yang mengelilingi istana.
Pesta-pesta yang dihadirinya hanyalah pesta ulang tahun saudarinya, atau pesta dansa yang diadakan sang raja saat mengawali pergantian musim. Pertama kali Giselle kecil menghadiri pesta, ratusan pasang mata memandangnya saat ia memasuki ruangan beriringan dengan putri yang lain. Beberapa tamu membelalak, yang lain mendecak kagum dan sisanya berbisik-bisik. Seketika itu Giselle merasa tidak pernah nyaman berdiri di hadapan banyak orang.
Ellene menemaninya berkenalan dengan para putri dari kerajaan lain. Semua ingin menyentuh rambutnya. Bahkan orangtua mereka juga menunjukkan keminatan yang sama. Semenjak saat itu, Giselle tak pernah menolak jika momma melarangnya menghadiri pesta. Ia sendiri tak bersemangat.
Namun selalu timbul perasaan iri saat saudarinya pulang membawa banyak cerita tentang dunia di luar dinding istana. Segala hal yang hanya dibaca dalam buku dan diajarkan saat jam belajar. Gadis itu ingin melihat semuanya.
Angin malam berhembus sekali lagi. Giselle merapatkan syal yang terkulai di antara lengannya. Ia menatap pendar bintang di langit paling jauh yang bisa dijangkau matanya. Bumi tampak hitam dan kelam di bawah cahaya-cahaya secemerlang berlian. Pepohonan hutan berjajar membentuk siluet bayang-bayang hitam yang bergoyang bagai rambut ikal raksasa gunung tengah mengayunkan kepala. Giselle yakin, ia melihat kilasan perak cahaya bulan terpantul dari danau di tengah hutan. Gadis itu bertanya-tanya, apakah para angsa masih berenang-renang di sana. Ia memicingkan mata berusaha melihat lebih jelas.
Detik berikutnya, bayangan danau menghilang. Giselle mengerjap. Ia mencari-cari berkas perak danau namun bayangan hitam menutupi pandangannya. Kepalanya dimiringkan dan seiring waktu berlalu, gadis itu menyadari bayangan hitam itu berkelebat.
Kini kemilau cahaya bulan dalam pantulan danau kembali tampak. Namun mata Giselle terpaku pada bayangan hitam yang bergerak berputar-putar.
“Burungkah?” pikir Giselle.
Matanya terus memicing. Sinar bulan dan bintang sungguh tak membantu melihat apapun. Gadis itu melongokkan kepala untuk bisa menangkap sosok yang terbang bagaikan bumerang milik suku pedalaman yang dibacanya di buku.
Ketika matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, Giselle menyadari, sosok hitam itu sedang melaju ke arahnya.
Melayang mendekat.
Dan makin dekat..
Kengerian merayapi benak gadis itu. Sekarang, setelah cukup dekat, ia menyadari bayangan hitam itu bukan burung, karena sosok itu besar. Lebih besar darinya. Jantung Giselle berdebar kencang. Apa itu? 
0 notes
momodiaz · 11 years
Photo
Tumblr media
Nah, ini dia Giselle, the golden hair princess, sedang bersama dua kakaknya. Which one do you think? Dia duduk di ujung kiri, mengenakan gaun berwarna hijau dengan belahan di samping serta rambut pirang lurus. Tepat di sebelahnya, adalah Dorcasse, putri Willowen yang keempat. Dan paling ujung kanan, dengan sinar wajah yang sangat lembut dihiasi gaun biru adalah Fiorelle, putri keenam.
0 notes
momodiaz · 11 years
Text
The Land of Libreon Prologue
Hey there!
Langsung saja ya!
Jadi, mulai sekarang, di sini, aku akan membagikan kisah-kisah petualangan teman-teman kecilku yang manis.
Kurasa, ini akan menjadi cerita yang sangat sangatlah panjang, maka sebaiknya kalian mempersiapkan diri untuk tidak menguap. :) 
Tenang saja, ini tidak akan semembosankan membaca bahan-bahan osce. haha. :p
Oke, mari langsung kita mulai saja prolognya..
Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Cerrenzia membuatnya menjadi kerajaan paling kaya raya di Verda (terberkatilah kaum elf!). Segalanya didapat dari produksi emas yang melimpah tak kunjung henti dari rambut salah seorang putri raja.
Rambut? ya, rambut. Aku sendiri juga keheranan saat mendengarnya dan tak akan percaya kalau bukan gadis pemilik rambut itu sendiri yang bercerita kepadaku.
Nah, cerita kita kali ini bukanlah tentang Cerrenzia. Sungguh disayangkan karena negeri itu begitu indah dan memiliki banyak hal menarik untuk dibicarakan.
Kisah ini hanya menceritakan salah satu dari sembilan putri raja Willowen, Yang Ketujuh, begitu julukannya. Gadis yang menghabiskan seluruh hidupnya terkurung di balik dinding istana demi keselamatan dan pelayanan terhadap rakyatnya karena rambutnya terbuat dari emas. Murni. 24 karat. berat dong ya? -__-
Yah, kita tak bisa meragukan hasil tangan kaum elf. Jalinan emas itu terpilin sempurna di kulit kepalanya membentuk benang-benang halus seperti rambut asli, dan terus bertambah panjang seperti rambut asli. Yang membedakan hanyalah kemilaunya saat tertimpa cahaya, Seperti terpantul dari cincin pernikahan saat kedua mempelai melambaikan tangan bahagia pada tamu-tamunya.
 Nah, tuan putri yang luar biasa ini akan membawa kita berjalan-jalan menyeberang ke Kontinen Eventyr tempat tinggal para peri untuk menghadapi petualangan serta takdir hidupnya yang tersembunyi di sana.
0 notes
momodiaz · 11 years
Photo
Tumblr media
0 notes
momodiaz · 12 years
Photo
Tumblr media
0 notes
momodiaz · 12 years
Photo
Tumblr media
0 notes