phyztuff - Tumblr blog

phyztuff · 2 years

Text

PANACEA

Rumah benar-benar sepi tanpamu.

Aku mencoba memasak hari ini. Tapi gagal total. Aku merindukan masakanmu…

Aku benar-benar minta maaf. Calla pulang lah. Ku mohon.

Calla aku mendengar tunangan Anggi meninggal. Kalian baik-baik saja? Sampaikan salam dukaku pada Anggi.

Aku menerima berkas perceraian dari pengacaramu. Ku mohon pulang lah. Kita masih bisa menyelesaikan ini secara baik-baik ‘kan? Aku tidak ingin kita berdua sama-sama menyesal nantinya.

Calla hanya bisa memandang pesan-pesan dari suaminya tanpa ada perasaan apa pun. Ia sudah seperti mati rasa dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Azka. Pria itu sudah menyakitinya terlalu dalam? Tidak bisakah pria itu melepaskannya dari siksaan ini?

***

Azka memandang handphone-nya lesu. Istrinya hanya membaca pesan-pesan teks darinya tanpa membalasnya sekali pun selama sebulan terakhir.

Azka baru saja mendapatkan berkas gugatan cerai dari istrinya yang disampaikan melalui pengacara keluarga Calla siang tadi. Ia tidak menyangka, sebenci itu istrinya terhadapnya.

Ia kembali manatap handphone-nya dan mengetikkan sesuatu untuk istrinya. Setelah ini, kalau memang semuanya berhasil Azka harus berterima kasih kepada Alana.

***

Bunyi notifikasi pesan di handphone-nya membuat fokus Calla teralihkan. Pasti dari Azka lagi, pikirnya. Wanita itu membuka pesan dari suaminya.

Temanku berkata padaku bahwa layak atau tidaknya seseorang, semua orang berhak meminta kesempatan kedua. Tetapi mereka hanya bisa bergantung kepada si pemberi kesempatan. Hanya dia yang bisa menilai layak atau tidaknya seseorang mendapat kesempatan kedua. Jadi aku mohon padamu, berikan aku sedikit waktumu untuk memohon kesempatan keduaku. Setelahnya, kalau kau masih yakin dengan keputusanmu, aku janji akan melepasmu.

Calla hanya bisa tercengang membaca pesan dari suaminya, setelah itu ia mendengar ketukan pelan dari pintu kamarnya.

“Sayang, boleh Bunda masuk?”

Calla menyimpan hanphone-nya di atas nakas lalu menegakkan duduknya, “Boleh Bun.” balasnya.

Laura masuk ke dalam kamar putrinya yang kembali dihuni sebulan terakhir. Kamar ini tidak pernah berubah, bahkan setelah Calla menikah. Wanita itu menghampiri putrinya di atas kasur dan duduk dihadapan putrinya.

“Ada apa Bun?” tanya Calla.

“Ada yang ingin Bunda bicarakan padamu.”

Pasti soal Azka, pikir Calla.

“Kalau yang ingin Bunda bicarain soal gugatan ceraiku, lebih baik tidak perlu Bun. Tekadku sudah bulat.” ujar Calla.

Laura hanya bisa tersenyum sedih mendengar perkataan Calla, “Azka baru saja mengembalikan berkas percerainnya kemari.”

“APA? KENAPA BUNDA BARU BILANG SEKARANG? PRIA ITU BENAR-BENAR!” jerit Calla.

“Tenang Sayang. Jangan menjerit seperti itu. Dia memiliki alasan sendiri mengapa dia melakukan hal itu.”

“Alasan apa? Bahwa dia menyesal? Dia masih ingin mempertahankan pernikahan ini? Apa dia masokis yang senang menyiksa orang lain?” cetus Calla.

“Apa kau tidak bisa, sedikit saja membuka pintu hatimu padanya? Dia sama menderitanya dan kehilangan sepertimu.” ujar Laura pelan.

“Mengapa semua orang seakan-akan membelanya? Aku yang menjadi korban di sini! Bukan dia! Aku yang telah disakiti olehnya!”

“Tapi dia juga menyakiti dirinya sendiri karena telah menyakiti dirimu.” Laura menggenggam tangan Calla, “Dia bahkan tidak meminta bertemu denganmu karena dia tahu kau masih tidak sudi bertemu dengannya. Dia bilang kalau kau ingin bercerai dengannya, kau yang harus menemuinya langsung.”

Calla hanya terdiam mendengar perkataan Bundanya. Ia merasa sangat marah dengan kelakuan Azka yang lagi-lagi berbuat seenaknya. Memang dipikirnya siapa dia yang bisa terus-menerus menyakiti Calla?

“Calla,” ujar Laura pelan, “Pernikahan… bagaimanapun hubungan itu dimulai, tidak mungkin tanpa adanya masalah dan ujian. Mungkin ini adalah ujian kalian. Kebetulan kalian dihadapkan permasalahan yang sangat besar di awal pernikahan. Bunda juga pernah merasakan hal yang sama.”

Calla tersentak mendengar ucapan Bundanya, “Apa maksud Bunda?”

“Bunda dan Ayahmu tidak pernah menceritakan permasalahan ini karena kami pikir, bahwa itu padalah masa kelam yang tidak perlu diungkit kembali. Kami amat sangat saling mencintai saat ini dan bersyukur memilikimu sebagai putri kami. Tetapi kami pernah menghadapi masalah yang hampir mirip denganmu.

“Kau tahu kami berdua dijodohkan, belum lagi kami menikah di umur yang sangat muda. Kami tidak langsung seperti saat ini Calla. Dua tahun pertama pernikahan kami, kami bahkan sama sekali tidak mempedulikan satu sama lain. Ayahmu sibuk dengan urusan bisnisnya dan Bunda sibuk dengan urusan kuliah Bunda. Kami berdua hanya berbicara seperlunya dan berpura-pura sebagai pasangan yang harmonis di depan publik. Bahkan kamar kami pun terpisah.”

Calla tidak habis pikir dengan perkataan Bundanya. Ayah dan Bundanya adalah pasangan paling harmonis dan sangat mencintai satu sama lain sepanjang hidup Calla. Mereka bahkan jarang bertengkar. “Lalu apa yang terjadi?”

“Kau ingat mendiang Tante Reya? Kakak Ayahmu?” Calla mengangguk. Ayahnya sering menceritakan mengenai mendingan Tantenya yang sudah meninggal sebelum Calla lahir. Calla bisa melihat kasih sayang sekaligus kesedihan yang sangat mendalam di mata Ayahnya setiap Calla mendengar cerita-cerita tentang mereka berdua dari pria itu.

“Reya adalah kakak sekaligus sahabat untuk Ayahmu. Mereka sangat dekat dan bergantung terhadap satu sama lain. Walaupun Reya lebih tua dari Ayahmu, tapi segala beban perusahaan dan keluarga ditanggung oleh Ayahmu. Pemikiran kolot bahwa segala urusan bisnis hanya bisa diurus laki-laki. Karena itu, Reya merasa sudah kewajibannya sebagai Kakak untuk selalu mendukung Ayahmu.

“Tantemu meninggal karena kecelakaan. Ayahmu sangat hancur dan terpuruk saat itu. Dia merasa gagal menjaga kakaknya yang selalu dikasihinya dan dijaganya dengan baik. Bunda tentu saja tidak bisa lagi bersikap tidak peduli pada Ayahmu. Bunda berusaha menjadi penopang untuknya selama masa berkabung Ayahmu.

“Saat itu lah hubungan kami mulai membaik. Kami saling memaafkan kesalahan satu sama lain dan kami mulai mengenal satu sama lain lebih mendalam. Suatu hari, Ayahmu bercerita bahwa sebelum kecelakaan, Tantemu sempat meminta Ayah untuk memperbaiki hubungan dengan Bunda. Ayahmu tidak mendengarkannya dan merasa terkhianati karena kakaknya tidak mendukung dan mengertinya kala itu. Ayahmu bilang dia sangat menyesal tidak mendengarkan nasihat kakaknya.

“Itu adalah momen titik balik hubungan kami. Ayahmu meminta Bunda memberikannya kesempatan untuk menunjukkan usaha terbaiknya sebagai suami dan meminta Bunda untuk bersabar dan tetap bertahan dengannya.”

Calla hanya bisa terdiam mendengar cerita Bundanya. Lama tidak ada yang bersuara di antara mereka dan Laura hanya bisa menggenggam tangan putrinya.

“Apa… seseorang harus kehilangan sesuatu dulu sebelum berubah dan menyesali perbuatannya?” tanya Calla pelan.

“Cara setiap orang diingatkan itu berbeda-beda, Sayang. Mungkin untuk kita, memang perlu adanya kehilangan untuk ingat bahwa kita memiliki seseorang yang tanpanya kita tidak bisa hidup.”

Dan Calla langsung teringat dengan Azka.

***

Aku akan pulang besok siang.

Azka terbangun kaget ketika membaca pesan dari istrinya yang dikirim semalam. Ini hari Sabtu dan ia berniat melanjutkan tidurnya sebelum melihat notifikasi di handphone-nya. Besok? Berarti hari ini Calla pulang? pikirnya senang.

Ia langsung melompat dari tempat tidur menuju kamar mandi. Setelah mandi Azka terburu-buru merapihkan kamar dan seisi rumah untuk mengejutkan istrinya. Saat sedang merapihkan dapur, Azka mendengar suara denting kunci dan langkah kaki memasuki rumahnya.

Ia langsung berlari ke arah ruang tamu dan saat itu juga ia melihat Calla sedang menaruh tasnya dan sebuah map di atas sofa. Hari ini Calla hanya berpakaian kasual dan menggerai rambutnya. Wajahnya dipoles makeup tipis membuatnya terlihat sangat catik, tetapi sederhana.

Calla mengalihkan pandangannya pada suaminya yang berlari dari arah dapur. Pria itu hanya memakai kaus hitam polos dan celana pendek berwarna abu-abu. Keringat mengucur di dahinya seperti baru saja melakukan pekerjaan berat.

“Hai.” sapa Azka. Calla berdeham meredakan kegugupan.

“Hai.” balasnya.

“Kau mau minum? Atau kau lapar? Aku tidak memasak tapi kita bisa memesan makanan kalau kau mau. Bagaimana kalau kau duduk dulu.” racau Azka.

Calla lalu duduk di sofa dan menatap seisi rumah. Bersih dan rapih, pikirnya. Azka memerhatikan pergerakan Calla dan tersenyum senang dalam hati.

“Aku baru saja bersih-bersih. Aku tahu kau tidak suka tempat yang berantakan dan kotor.” Calla hanya bisa mengangguk canggung.

“Kau bisa berganti baju dulu kalau kau mau. Aku akan menunggu di sini.” ujar Calla pelan. Azka mengangguk dengan semangat lalu melesat untuk berganti baju meninggalkan Calla.

Calla sekali lagi menatap sekeliling ruangan dan tatapannya berhenti pada foto pernikahan mereka yang dipajang di salah satu sisi dinding. Satu-satunya foto yang pernah mereka ambil berdua.

Azka dengan cepat kembali ke ruang tamu dan seketika langkahnya terhenti ketika melihat Calla termenung sembari menatap foto pernikahan mereka. Penyesalan itu datang kembali dan rasanya ia ingin bersujud di hadapan istrinya memohon maaf.

Calla mengalihkan perhatiannya setelah mendengar langkah kaki masuk dan melihat Azka terdiam menatapnya dengan ekspresi menyesal. Mereka hanya bisa saling menatap dan tahu bahwa pembicaraan mengenai pernikahan mereka tidak bisa lagi terelakkan.

Azka melangkah pelan menuju sofa di hadapan Calla lalu duduk di sana. “Kau yakin tidak ingin aku ambilkan sesuatu?” tanya Azka.

Calla menggeleng, “Lebih cepat pembicaraan ini selesai lebih baik.” ujar Calla sambil memindahkan amplop besar yang tadi dibawanya ke meja di antara mereka. Azka tidak terkejut istrinya datang dengan membawa berkas laknat itu.

“Bunda bilang kau tidak mau menerima berkas ini kalau bukan aku yang memberikannya langsung. Jadi ini, aku sampaikan gugatan perceraianku padamu.” ucap Calla, berusaha setengah mati untuk tenang dan tidak berteriak memohon maaf dan perjuangan suaminya. Sudah cukup, pikirnya kepada dirinya sendiri. Ini semua perlu disudahi.

Azka menghela napas berat, “Apa benar-benar tidak ada yang bisa kita bicarakan terlebih dahulu? Aku tahu aku salah, aku minta maaf dan aku benar-benar menyesal, tapi aku tidak mau menyerah dan masih ingin memperjuangkanmu.”

“Tidak ada perlu yang diperjuangkan. Semua sudah selesai.” ujar Calla keras kepala.

“Apa perlu aku berlutut dihadapanmu bahkan mencium kakimu agar aku diberikan maaf dan kesempatan kedua?” ucap Azka dengan suara serak. Ia tidak bisa lagi membendung kesedihan dan air matanya. “Kau bisa menyalahkanku seumur hidupmu atas kehilangan anak kita, tapi aku mohon, maafkan aku dan berikan aku kesempatan kedua.”

“Bagaimana bisa aku memberikan maaf kepadamu, sedangkan kau yang menjadi penyebab aku belum bisa menjadi Ibu dan menyalahkan diriku sendiri karena aku merasa aku menjadi istri yang tidak pantas untukmu!” teriak Calla.

“Kau selalu bersikap dingin padaku. Aku berusaha untuk memahaminya. Aku pikir itu karena memang sifatmu yang sulit untuk dekat dengan orang lain. Tapi kau bisa sebegitu pedulinya dan bersikap hangat kepada Alana. Aku berusaha untuk tidak cemburu dan berusaha mengerti. Dia sahabatmu, lebih lama dan lebih dalam mengenalmu. Bukan sepertiku, orang lain yang tiba-tiba masuk ke kehidupanmu. All I needed was respect from you which you never gave it to me!”

Calla tidak sadar bahwa air mata sudah jatuh deras di wajahnya. Azka yang melihat itu hanya bisa terdiam dan ikut menangis. “Aku mengerti alasan orang tuaku setuju agar aku menikahimu karena kau sangat menyayangi keluargamu dan selalu berusaha sebaik mungkin menjadi anak yang berbakti. Itu juga alasan yang membuatku jatuh cinta padamu. Kau rela kebebasanmu direnggut dengan menikahiku, bahkan kau bersedia meniduriku hanya karena Ibumu meminta cucu.

“Calla…” potong Azka.

“Tidak! Jangan potong omonganku! Kau yang memohon waktu padaku ‘kan? Jadi dengarkan aku sampai selesai.” cetus Calla yang hanya dibalas anggukan oleh Azka.

“Aku pikir selama ini kalau aku bersabar, berusaha menjadi istri yang berbakti yang selalu bisa melayanimu dengan baik, hatimu akan terbuka dan menerimaku serta pernikahan kita. Tapi buktinya apa? Bahkan sampai aku hamil dan memohon padamu pada malam aku mengalami keguguran, kau tetap bersikap dingin padaku. Kau baru menunjukkan penyesalan ketika semuanya terlambat. Jadi Azka, bagaimana bisa aku menerimamu kembali?” ujar Calla frustasi. Calla langsung menutup wajahnya dan menangis tidak terkendali.

Semua perasaannya saat ini akhirnya bisa dikeluarkan, tapi ia tetap saja merasakan sakit itu tidak hilang.

Azka langsung bangkit dari duduknya. Ia berlutut dihadapan istrinya sambil memeluknya erat, lalu mereka menangis bersama. Azka terus mengucapkan maaf dari bibirnya. Calla reflek melepaskan tangan di wajahnya dan balas memeluk suaminya.

Lama mereka dalam posisi itu, lalu Calla yang pertama berusaha melepaskan pelukan mereka yang ditahan oleh Azka.

“Jangan, aku mohon biarkan seperti ini terlebih dahulu. Kau hanya baru memberikanku waktu, bukan kesempatan. Aku takut kau akan segera pergi.” ucap Azka serak. Calla membiarkan dirinya dipeluk semakin erat oleh suaminya tanpa membalas kembali pelukan itu. Pikirannya kosong sekarang, ia bahkan tidak sadar berapa lama mereka di posisi itu sampai Azka melepaskan pelukannya.

Azka menangkup wajah istrinya, menghapus sisa-sisa air mata di wajah itu dan menatapnya lekat-lekat, seperti ia bisa kehilangannya kapan saja.

“Kau tahu,” mulai Azka. “Sejak kecil aku memang canggung dan tidak tahu harus seperti apa ketika berinteraksi dengan orang lain dan terbiasa dengan diriku sendiri. Itu yang membuat orang lain menganggap aku orang yang dingin.” jelas Azka pelan.

“Kau mengingatkanku pada Alana dulu. Dia perempuan yang hangat dan selalu bersikap baik ke semua orang. Dia seperti selalu tahu bagaimana menghadapi seseorang. Bedanya aku tidak pernah memandangnya sebagai perempuan, sisi romantisme maksudku. Jadi aku dengan mudahnya bisa dekat dengan Alana.

“Sedangkan kau, kau adalah istriku. Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapimu tanpa jatuh cinta padamu. Aku tidak suka menghadapi hal-hal yang spontan dan tidak biasa ku atasi. Itu lah alasan aku menjaga jarak darimu. Karena aku takut jatuh cinta padamu. Karena aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi perasaan itu.” aku Azka. Calla hanya terdiam, membiarkan suaminya terus berbicara. Menatap wajah yang masih mengalirkan air mata.

“Lalu hari ketika kau memberi tahuku bahwa kau hamil, kau tidak tahu betapa bahagianya aku.” ingat Azka sambil tersenyum. “Aku sangat bahagia. Tetapi ketakutan baru muncul. Kita akan memiliki anak dan hubunganku denganmu masih belum membaik. Aku tidak ingin anak kita menjadi korban hubungan orang tua yang buruk, tetapi aku juga tidak tahu bagaimana cara mengatasi ketakutan-ketakutan tidak beralasan itu. Akhirnya aku semakin menjauhimu dan aku pikir kau akan baik-baik saja mengurus dirimu sendiri. Kau sangat mandiri, tidak akan terjadi hal yang buruk, pikirku saat itu.

“Tapi aku salah. Karena keegoisanku kau mengalami keguguran dan kehilangan bayi yang sangat kau sayang dan tidak sabar kau timang. Karena keegoisanku kau hancur.” Azka lalu menurunkan tangannya dan menggenggam erat tangan istrinya. “Aku benar-benar minta maaf. Aku sangat menyesal. Kalau bisa, aku akan melakukan segala cara dan memutar waktu. Tapi manusia hanya bisa menyesal ‘kan ketika suatu hal buruk terjadi?”

Azka menunduk, menatap tangan istrinya yang ia genggam. Melihat cincin kawin mereka yang masih terpasang di jari manis istrinya. Masih ada kesempatan, pikirnya, perjuangkan dia!

“Aku tahu kau pasti sangat membenciku saat ini. Tidak ada hal yang bisa kujanjikan padamu. Tapi aku mohon berikan aku satu kesempatan” ujar Azka pelan. “Aku benar-benar menyesal karena bukan hanya kehilangan bayi kita, aku kehilangan kau juga.”

***

Azka hanya bisa menatap kosong sofa dihadapannya yang beberapa waktu lalu ditempati istrinya. Kata-kata istrinya masih terngiang di kepalanya.

“Aku tidak bisa menerima maafmu dan memberikanmu kesempatan saat ini juga. Yang bisa kulakukan hanya memikirkan ulang semuanya, seperti yang kau katakan, apakah kau layak mendapatkan kesempatan kedua atau tidak.”

Setelah itu, Calla kembali meninggalkannya.

#Panacea #Love Series #love story #romance #romance fiction #short story #Love Series phyztuff

0 notes

phyztuff · 2 years

Text

Limerence

“Apa yang akan kau lakukan kalau aku tidak bisa memberimu keturunan seperti Ira?”

Alex sontak menatap wanita yang sudah resmi menjadi istrinya beberapa bulan terakhir. Ini hari minggu yang biasanya hanya mereka habiskan dengan membaca buku, menonton film atau hanya mengobrol santai. Alex rasa obsesi wanitanya mengenai buku dan film romantis sudah menularinya.

“Jangan sembarangan berbicara!” tegur Alex.

Resha mengalihkan pandangan dari film yang sudah ditontonnya puluhan kali lalu duduk menghadap suaminya. Hari ini mereka memutuskan menonton film The Longest Ride. Salah satu film adaptasi terbaik novel Nicholas Sparks, penulis favorit Resha.

“Aku serius. Ini sudah bulan ke-3 dan masih belum juga ada tanda-tanda aku hamil.” ujar Resha pelan.

Alex melihat raut khawatir di wajah istrinya. Ternyata ini yang membuatnya murung beberapa hari belakangan, pikirnya.

“Apakah aku pernah secara spesifik mengatakan aku menikahimu karena anak?” tanya Alex yang hanya dibalas gelengan oleh Resha. “Do not worry about tomorrow until you have to.”

Resha mengangkat alisnya, “Apa kau baru saja mengutip salah satu kalimat dalam novel The Longest ride?” ujar Resha yang hanya dibalas cengiran oleh Alex.

“Salahmu yang sudah menodaiku dengan film dan novel romantis!”

Resha menepuk pundak suaminya, “Astaga, pemilihan katamu itu! Seperti aku mendorongmu untuk mengikuti kultus aliran sesat!” lalu mereka tertawa bersama.

Alex melihat tawa sitrinya yang selalu dihiasi dengan kerutan di ujung matanya. Lagi, dia jatuh cinta.

Resha selalu berhasil membuat Alex jatuh cinta berkali-kali hanya dengan hal kecil yang dilakukannya. Senyum yang selalu diberikan wanita itu setiap tatapan mereka bertemu. Wajah seriusnya setiap membaca salah satu koleksi buku favoritnya. Tangis haru yang selalu keluar setiap dia menonton adegan sedih dalam film.

Namun favoritnya selalu sama. Ia akan selalu merasakan kakinya lemas setiap istrinya menyatakan cinta padanya. Alex rasa ia benar-benar sudah tergila-gila dengan istrinya.

Alex menarik tangan Resha dan menatap istrinya lembut, “Kau tidak perlu khawatir soal anak. Aku tidak pernah menuntut apapun kan padamu? Yang aku inginkan hanya kau selalu berada di sisiku hingga maut memisahkan kita.” ujarnya. “Kau sudah berhasil membuatku tergila-gila padamu, kau tahu?”

Resha melihat keseriusan di mata Alex. Pria itu seperti perwujudan pangeran impiannya sejak kecil. Alex selalu dapat membuat Resha merasa seperti wanita paling beruntung dan paling bahagia di dunia. Dia selalu dapat membuatnya berdebar-debar hanya dengan senyum manisnya dan juga perlakuan lembutnya terhadap Resha.

Resha selalu merasa ketika ia tidak perlu meminta apapun lagi kepada Tuhan karena kebahagiaan yang sekarang ia rasakan, Alex selalu dapat memberikan sesuatu yang lebih. Seberapa banyak orang yang seberuntung mereka?

“Aku mencintaimu.” ujar Resha. Alex hanya bisa tersenyum lebar tanpa bisa ditahan.

“Kau tahu apa lagi kalimat favortiku di dalam novel itu?”

“Apa?” tanya Resha.

“You made me happy and you made me laugh, and if I could do it all over again, I would not hesitate.” ujar Alex. “If we’d never met, I think I would have known that my life wasn’t complete. And I would have wandered the world in search of you, even if I didn’t know who I was looking for.

“How about we just see where life takes us for a while? Because Darling, the only thing I do know for sure is that if we both want to, we’ll find a way to make it work.”

Dan Resha jatuh cinta, lagi.

#Love Series #romance #romance fiction #love story #short story #shortchapters #limerence #Love Series phyztuff

0 notes

phyztuff · 2 years

Text

Innate

“Dilan! Dilan!”

Dilan menghembuskan nafas kasar mendengar suara menggelegar itu, tidak peduli usia mereka yang terpaut dua tahun dan juga Dilan yang secara teknis adalah bosnya, gadis itu selalu memanggil Dilan seenaknya. Kau sudah kukenal hampir seumur hidupku, aku tidak perlu bertata krama di hadapanmu. Dilan hanya bisa tersenyum kecil mengingat perkataan gadis itu. Pria itu lalu membalikkan badannya dan melihat gadis itu sudah tepat dihadapannya.

Gadis itu hari ini menggerai rambut sebahunya dengan jepit kecil untuk menghalangi poninya turun dan juga makeup tipis. Summer dress yang dipakainya hari ini benar-benar membuatnya bersinar cerah walaupun cuaca di luar mulai mendung. Dilan menggeleng kecil untuk menjernihkan pikirannya.

“Ada apa?” tanya Dilan datar.

Hana mendengus mendengar respon Dilan, “Kau ini benar-benar! Tidak bisa kah menunjukkan sedikit emosi padaku?”

Justru aku sulit mengendalikan emosiku di depanmu, Bodoh! pikir Dilan. “Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan aku akan ke ruanganku.”

“Tunggu dulu! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”

“Ya sudah bicaralah, jangan membuang waktuku.” balas Dilan.

Hana berdeham kecil, meremas jari-jarinya untuk meredakan kegugupan, “Begini, ada film yang ingin sekali aku tonton dan aku memiliki dua tiket.” ujarnya.

“Lalu apa hubungannya denganku?” potong Dilan.

Hana lalu menatap Dilan dengan muka memelasnya, “Mau ya menemaniku?” pinta gadis itu.

Dilan hanya bisa menatap muka memelas gadis itu yang selalu dianggapnya imut tanpa pernah diakuinya secara langsung. Lebih baik ia bunuh diri dibanding harus mengakuinya terang-terangan.

“Hei bocah aku sibuk! Orang dewasa memiliki tanggung jawab yang harus dilakukan. Tidak sepertimu yang masih bisa bermain sesukamu.” ujar Dilan datar sambil memperhatikan wajah gadis itu yang mulai memerah. Pria itu membalik badannya menuju ruangannya, tahu sebentar lagi akan mendengar teriakan gadis itu, “Jangan bermalas-malasan atau kau kupecat.” ujarnya sambil lalu.

“YAK DILAN KAU BENAR-BENAR!”

***

“Mengapa aku merasa dia selalu mengikutimu seperti anak anjing kecil?”

Dilan menatap Hana dibalik bar kafe miliknya dengan senyum kecil, “Kau baru sadar sekarang?”

Haris menatap sahabatnya lekat, “Jujur saja padaku. Apa sih yang sudah kau lakukan sampai gadis gila itu selalu menempel padamu?”

“Gadis gila yang kau panggil barusan itu karyawanku. Jadi wajar saja kalau dia berada di sini.” ucap Dilan santai.

“Dia selalu mengikutimu kemana saja. Lagipula, dia ‘kan tidak perlu mencari uang lagi. Untuk apa dia jadi pegawai lepas di kafemu? Kau ‘kan tetangganya sejak kecil. Apa kau tidak tahu seberapa kayanya orang tua gadis itu?”

Dilan mendengus mendengarnya, “Kau ini benar-benar cerewet. Lagipula kau pikir aku peduli?”

“Kalau begitu biarkan aku mendekati gadis gila itu.” ujar Haris berani yang membuat Dilan tersentak. Haris langsung tertawa melihat reaksi sahabatnya.

“Kenapa? Kau takut dia terpesona dan jatuh cinta padaku lalu meninggalkanmu?”

“Coba saja kalau berani.” tantang Dilan.

“Wah kau benar-benar sudah ditaklukan olehnya ya? Gadis itu memang benar-benar seperti terlahir untuk mengganggu hidupmu.” goda Haris. Dilan terdiam tanpa bisa menjawabnya.

Tanpa perlu mendengarnya, Haris sudah tahu jawabannya. Sepanjang Haris mengenalnya sejak SMP, kehidupan Dilan selalu berporos pada gadis itu. Mereka sudah bertetangga sejak kecil dan mereka berdua selalu dekat. Hana selalu mengikuti Dilan kemana pun, walaupun Dilan tampak dingin dihadapan gadis itu.

Hal itu membuat kedua keluarga mereka juga sangat dekat. Bahkan keluarga Hana ikut membantu mengurus Ibu Dilan ketika sakit parah saat Dilan SMA dan tidak lama setelahnya meninggalkan mereka semua.

Ayah Dilan bukan Ayah yang tidak mempedulikan emosi dan kepentingan anaknya. Namun pekerjaan yang menuntut mengharuskannya untuk sering meninggalkan Dilan dan membuat Dilan secara teknis dibesarkan oleh keluarga Hana yang menerimanya dengan tangan terbuka.

Dilan tidak pernah berkencan secara serius, karena selalu ada hal yang berhubungan dengan Hana yang membuat gadis-gadis itu lantas menjauhi Dilan. Tidak peduli seberapa tampan pria itu.

“Kau sadar ‘kan kalau gadis itu butuh kepastian?” tanya Haris. Dilan hanya bisa menatap sahabatnya tanpa ekspresi.

“Aku tidak mengerti maksudmu.” elak Dilan. Haris hanya menggeleng melihatnya.

“Berhenti lah menjadi keras kepala. Sekali lihat saja orang-orang sudah tau perasaanmu terhadapnya. Kalian berdua saja yang bodoh bermain tarik ulur.”

Haris mencondongkan tubuhnya lebih dekat kepada Dilan, “Kau tahu, bisa saja saat ini dia masih dengan bersemangatnya selalu mengejar dan mengekorimu kemana pun, tapi pasti ada saatnya nanti dia lelah dan berhenti melakukan semua itu. Kalau itu terjadi apa yang akan kau lakukan?”

Dilan terdiam lalu mengalihkan pandangannya pada gadis itu. Gadis yang dengan tulusnya tersenyum melayani pelanggan di kafe tanpa sadar bahwa senyumnya itu dapat meluluhkan hati banyak pria.

Tidak pernah terpikir hidupnya tanpa gadis itu. Hampir seluruh momen penting di hidupnya terdapat gadis itu di sisinya. Sejak mengenal gadis itu, hampir tiada hari yang ia lewati tanpa gadis itu. Apa jadinya ia tanpa gadis itu?

***

“Katanya kau sibuk sampai tidak mau menemaniku, tetapi ternyata kau hanya bermalas-malasan di ruanganmu.”

Dilan mendongak dan melihat Hana sedang bersedekap dada di pintu ruangannya. Rambut gadis itu sekarang dicepol asal-asalan dengan makeup yang sudah luntur dan jelas-jelas menunjukkan wajah lelahnya. Namun entah mengapa, ia tetap menganggap gadis itu tercantik.

“Aku tidak bermalas-malasan. Ada sesuatu yang kupikirkan.” ujar Dilan pelan.

Hana memandang pria itu yang mendadak membuat suasana menjadi serius. Gadis itu berjalan masuk sambil menutup pintu ruangan, lalu duduk di hadapan Dilan.

“Kau ingin aku mendengar keluh kesahmu atau hanya duduk diam di sini menemanimu?” tanya Hana serius.

Ini yang Dilan paling sukai dari Hana. Segila apapun gadis itu, semenyebalkan apapun dia, tetapi Hana selalu siap berada di sisinya setiap ia membutuhkan teman berbagi. Selalu mengerti keadaannya.

Cukup lama mereka terdiam dan Hana dengan sabarnya menunggu Dilan sampai dia ingin berbagi beban pikiran dengannya.

“Apa kau pernah lelah denganku?” pecah Dilan. “Dengan diriku yang sering bersikap dingin padamu.”

“Mengapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?” balas gadis itu.

Dilan mengendikkan bahunya, “Aku ingin tahu.”

Gadis itu hanya menggeleng pelan, “Kalau aku lelah, aku tidak akan berada di sini ‘kan?”

“Lalu mengapa kau mau bertahan?”

“Karena aku masih mencintaimu.”

Dilan terdiam. Ia masih ingat dengan jelas ketika gadis itu pertama kali menyatakan perasaannya. Mereka masih duduk di bangku SD. Gadis itu dengan tidak tahu malunya menyatakan perasaannya hanya karena Dilan yang dia anggap tampan dan bersumpah akan menjadi calon istri yang baik untuk Dilan.

Itu lah awal mula kegilaan gadis itu yang selalu mengekori Dilan yang anehnya, walau terkadang menyebalkan, Dilan tidak pernah merasa terganggu dengan kehadiran gadis itu.

“Kau menyatakan perasaanmu padaku saat kau masih kecil. Itu berbeda dengan perasaan yang dirasakan orang dewasa.” balas Dilan.

Hana hanya bisa tersenyum menatap Dilan, “Kau benar. Mungkin dulu saat kita masih kecil, aku menyukaimu karena kau sangat tampan. Tapi kita sama-sama menghabiskan banyak waktu bersama.” ujarnya pelan.

“Aku tumbuh bersamamu. Mengenalmu lebih dalam. Tahu bahwa walaupun kau bersikap dingin, kau tidak pernah mendorongku untuk menjauh darimu yang membuatku yakin bahwa aku masih memiliki kesempatan untuk menaklukanmu.”

“Kau terlalu percaya diri untuk yang satu itu.” ucap Dilan.

“Tapi aku benar ‘kan? Aku sudah berhasil menaklukanmu.” potong gadis itu.

Dilan terdiam kaku mendengarnya. Sial.

Hana tidak bisa menahan senyum jahilnya, “Sudah sangat jelas kau memiliki perasaan padaku. Aku sadar aku bisa sangat menyebalkan, tapi kau tidak pernah menyuruhku pergi dari hidupmu. Kau selalu ada kapanpun aku membutuhkanmu walaupun kau terlihat terpaksa. Kau juga tidak pernah serius dengan gadis-gadis yang kau kencani dan tidak pernah mau repot-repot menjelaskan siapa aku dan membiarkan mereka pergi dengan rasa cemburu.” ujarnya. “Ada lagi yang terlewatkan?”

Dilan masih terdiam tidak percaya. Sejelas itu kah dirinya menunjukkan perasaannya terhadap gadis itu? Padahal ia sudah berusaha mati-matian menekan emosinya setiap bersama gadis itu.

“Mengapa kau tidak pernah menanyakannya langsung padaku? Seperti gadis-gadis pada umumnya yang meminta kejelasan dalam hubungan.” tanya Dilan.

“Karena aku tahu kau menunggu sesuatu tetapi aku tidak tahu apa yang kau tunggu.” jawab gadis itu.

Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. Dilan menatap lekat gadis itu dan berusaha memikirkan dengan baik perkataan yang akan dilontarkannya. Ini saatnya mereka berdua mendapatkan kejelasan dari hubungan mereka.

“Aku tidak tahu dengan jelas perasaanku padamu.” ucap Dilan. “Aku tidak tahu perasaan peduli dan sayang ini karena aku sudah mengenal dan berusaha sebaik mungkin menjagamu sejak kecil atau memang perasaanku berubah seiring kita tumbuh dewasa. Karena itu aku sering menekan emosiku sendiri di hadapanmu.”

Hana hanya menatap Dilan, membiarkan pria itu mencurahkan isi hatinya.

“Kau tidak pernah benar-benar dekat dengan pria manapun karena kau selalu mengekoriku. Aku tahu siapa saja teman priamu dan aku tahu mereka tidak ada yang berani mendekatimu karenaku. Jadi aku tidak pernah merasakan perasaan cemburu atau takut kehilanganmu karena aku sudah terbiasa dengan kehadiranmu dan kau selalu ada di sisiku.

“Tetapi hari ini Haris menanyakan hal yang tidak pernah sekalipun terlintas di benakku. Bagaimana kalau suatu saat nanti kau lelah dan meninggalkanku? Apa jadinya hidupku tanpamu?”

“Lalu apa yang kau rasakan?” tanya Hana lembut.

Dilan menatap Hana tanpa menahan emosinya, “Aku takut.” jujurnya.

“Apa yang kau takutkan?”

“Aku takut kau meninggalkanku. Membiarkanku sendirian tanpa kehadiranmu di hidupku. Aku sudah terbiasa denganmu berada di sisiku belasan tahun hampir setiap harinya dan aku tidak tahu apa jadinya hidupku tanpamu.”

Hana tidak bisa menahan senyumnya. Akhirnya, pikirnya. Penantiannya sampai di sini dan prianya mau mengakui perasaannya sendiri. Prianya? Apa sekarang ia sudah bisa menyebut itu prianya?

“Lalu apa yang kau inginkan sekarang?” tanya Hana.

Dilan terdiam sebentar lalu bangkit dari kursinya. Ia berjalan menuju gadis itu lalu berlutut di hadapannya. Dilan meraih tangan gadis itu lalu mendongak menatap Hana.

“Apapun yang kau inginkan.” jawab Dilan.

“Kau seputus asa itu ya takut aku tinggalkan?” goda Hana yang dibalas anggukan tegas dari Dilan.

Hana melepaskan genggaman tangan kanannya dari pria itu, lalu mengusap wajah pria itu lembut, “Tetap di sisiku. Tetap bertahan bersamaku hingga akhir. Deal?”

Dilan tersenyum lebar lalu bangkit memeluk gadisnya. “Deal.”

#Love Series #romance #romance fiction #love story #short story #shortchapters #Love Series phyztuff #innate

1 note · View note

phyztuff · 2 years

Text

Ephemeral

Wanita itu menatap foto pria yang sudah dikenalnya lima tahun terakhir. Foto Reza dengan senyum lebar yang selalu diikuti kerutan di ujung matanya yang wanita itu ingat bahwa ia yang mengambil foto itu tanpa Reza sadari. Foto yang sudah dicetak dengan pigura besar dan dipajang di tengah ruang tamu.

Wanita itu tidak menangis. Sama sekali tidak.

Tidak, saat ia mendapat kabar mengerikan itu. Tidak, saat ia berada di pesawat cuti dari dinasnya, pulang menuju prianya. Tidak, saat ia sudah sampai di rumah duka dan ibu sang pria memeluknya sambil menangis tersedu. Tidak juga, saat ia melihat prianya terakhir kali sebelum dimakamkan.

Tidak ada yang bisa dirasakan wanita itu sekarang. Ia hanya merasa… mati rasa?

Singkat. Terlalu singkat segala hal yang berkaitan dengan pria itu. Mereka baru berumur 27 tahun, kematian terasa terlalu jauh tapi kenyataannya sangat dekat. Ia hanya bisa terdiam tanpa menanggapi para pelawat yang memberikan bela sungkawa kepadanya.

“Hei.” sapa seorang perempuan yang mengelus pundaknya lembut.

Anggi mendongak dan melihat sahabatnya datang. Calla lalu memeluknya erat.

“Sorry I’m late. But I’m here now.” bisik Calla. Anggi membalas pelukan sahabatnya sama eratnya. Agak lama mereka berpelukan lalu Anggi melepas pelukannya. Menatap sahabatnya lekat-lekat.

Wanita itu sama berantakannya dengan dirinya. Anggi masih bisa melihat sisa-sisa kesedihan di raut wajah sahabatnya itu. Ia hanya bisa menggenggam tangan sahabatnya erat.

“Kau tidak perlu kemari. Aku tahu kau masih butuh waktu untuk pulih.” kata Anggi pelan.

Calla hanya bisa tersenyum sedih, “Jangan bicara omong kosong. Kau sahabatku. Sekarat sekalipun, aku akan mati-matian berusaha selalu ada untukmu karena aku tahu kau juga akan melakukan hal yang sama.” balas Calla. Anggi hanya bisa membalas senyum sedih itu. Terlalu banyak beban yang ditanggung sahabatnya saat ini, tetapi benar katanya, mereka akan selalu ada untuk satu sama lain.

Calla menemani Anggi seharian itu. Menggenggam erat tangan sahabatnya, memastikan sahabatnya makan tepat waktu dan menemaninya sampai akhir. Ibu Reza menawarkan Anggi untuk istirahat sebentar sebelum pulang dan Anggi menerimanya.

Mereka menuju kamar yang dulunya milik Reza. Ketika Anggi membuka pintu kamar, bau khas prianya merebak dan membuat matanya tiba-tiba basah. Kamar itu sangat rapih dan bersih. Reza tidak suka tempat yang kotor dan berantakan, ingatnya.

Wanita itu memperhatikan seisi kamar Reza. Tidak banyak perabotan di ruangan itu karena Reza suka hal yang minimalis. Namun banyak sekali foto-foto Reza dengan keluarganya, sahabat-sahabatnya dan juga Reza dengan Anggi yang dipajang di sudut kamar.

Anggi berjalan menuju sudut itu dan mengambil salah satu foto sembari membawanya ke tempat tidur Reza. Calla hanya bisa memandang sahabatnya sambil menghampiri Anggi.

Anggi menatap foto itu dan hanya bisa mengelus wajah prianya yang terlihat sangat bahagia. Anggi terlihat sama bahagianya di foto itu. Rasanya Anggi ingin menangis, matanya sudah basah tetapi entah kenapa ia tidak bisa juga mengeluarkan emosinya. Anggi merasakan pergerakan di kasur lalu menatap Calla.

“Kau ingat tidak kalau foto ini kau yang mengambilnya?” tunjuk Anggi foto itu pada Calla. Calla hanya bisa mengangguk dan mengambil foto itu dari tangan sahabatnya.

“Aku ingat betul ketika Reza memberitahukan rencananya untuk melamarmu. Mengundang kita semua untuk menyaksikannya. Kalian bahagia sekali. Aku masih bisa merasakan kebahagiaan itu kalau mengingatnya.”

“Tapi aku tidak bisa mengingatnya. Tidak tanpa dia di sampingku.” ucap Anggi sambil memandang cincin di jari manisnya. Cincin yang diberikan pria itu tujuh bulan yang lalu. Simbol cinta dan keseriusan pria itu terhadapnya.

“Calla,” bisik Anggi sambil menatap sahabatnya. Calla melepas pandangannya dari foto itu dan balas menatap Anggi. “Aku sekarang paham sehancur apa kau saat kau kehilangan bayimu. Mungkin tidak sama, mungkin juga apa yang kau alami lebih menyakitkan dariku. Tapi aku paham mengapa sulit untukmu pulih dari keterpurukan itu.”

Calla masih terdiam menatap sahabatnya. Mata Anggi sudah memerah tetapi tidak ada setetes air mata pun yang keluar dari bola mata sahabatnya. “Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Apa aku sedih? Ya, tentu saja. Aku sangat mencintainya dan dia juga mencintaiku. Tapi mengapa aku tidak bisa menangis? Mengapa aku merasa diriku mati rasa? Seakan-akan kalau aku dicambuk saat ini, aku tidak akan merasakan apa-apa. Apa perasaanku tidak sedalam itu? Apa aku tidak kehilangan separah itu?” racau Anggi. Calla langsung memeluk sahabatnya.

“Itu karena kau menahannya.” balas Calla. Calla mengusap pelan punggung sahabatnya, “Aku pernah di posisimu saat ini. Kau merasa mati rasa karena kau menahannya. Karena kalau kau menangis, kau merasa itu seperti vonis mati. Momen final bahwa kau sadar kenyataannya kau tidak bisa bersamanya lagi.” Anggi membeku mendengar penuturan sahabatnya. Calla melepas pelukannya sambil menatap Anggi lekat-lekat.

“Anggi, kehilangan memang sakit. Aku bahkan masih belum pulih hingga sekarang. Tapi kau tidak bisa hidup dalam penyangkalan. Pada akhirnya kau harus bisa menerima bahwa dia telah pergi dan kau akan melanjutkan hidupmu tanpanya.” ucap Calla pelan.

Anggi menggeleng frustasi, “Tapi aku memang belum bisa menerima semua ini. Baru saja semalam kami saling telfon dan dia bilang tidak sabar menungguku pulang. Mempersiapkan pernikahan kami. Masih ada waktu seminggu sebelum aku bertemu dengannya.” Anggi tidak sadar bahwa setetes air matanya mulai keluar “Kami seharusnya menikah bulan depan,” ujar Anggi sambil mulai menangis. “Kami seharusnya bisa mendapat waktu lebih. Merasakan kebahagiaan yang baru saja aku rasakan. Ini terlalu cepat. Dia pergi terlalu cepat.”

Calla hanya bisa ikut menangis melihat kesedihan sahabatnya. Sejenak ia melupakan rasa sakitnya sendiri dan hanya bisa memeluk Anggi yang menangis keras.

Mereka berada di posisi itu untuk waktu yang cukup lama. Setelah mulai tenang, Anggi menghapus air matanya dan melepaskan pelukan sahabatnya.

“Maafkan aku sudah merepotkanmu. Kau sedang menanggung beban yang banyak dan aku hanya bisa menambah bebanmu.”

Calla hanya bisa menggeleng dan mencoba tersenyum pada Anggi, “Itu gunanya sahabat ‘kan?” ujar Calla. “Kau ada untukku saat aku kehilangan bayiku, bahkan kau orang yang pertama sampai di rumah sakit. Kau tidak pernah menghakimi segala keputusanku setelahnya yang aku yakini hanya didominasi oleh emosi. Kau selalu ada untukku, jadi tentu saja aku akan selalu melakukan hal yang sama.”

Anggi jadi teringat dengan masalah yang sekarang ditanggung sahabatnya. Dia sedang dalam proses perceraian dengan suaminya. Dulu Anggi sering bertanya mengapa Tuhan tidak adil. Ia bisa bahagia dengan Reza, mengapa Calla tidak bisa merasakan hal yang sama?

“Bagaimana denganmu?” tanya Anggi akhirnya.

“Jangan bahas soal masalahku. Ini bukan waktunya. Cukup fokus dengan dirimu saat ini.” balas Calla.

“Kau dalam situasi seperti ini masih bisa ada untukku. Mengapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama?”

Calla terdiam dan teringat dengan masalahnya sendiri. Ia sedang dalam proses menggugat cerai suaminya. Calla merasa cukup menjalani sepuluh bulan pernikahan tanpa cinta dan juga kehilangan bayi yang seharusnya bisa ditimangnya dalam beberapa bulan. Tetapi tiba-tiba suaminya menunjukkan sikap lain. Sikap yang tidak pernah dilihat Calla sebelumnya. Azka menyesal dan ingin memperbaiki semuanya. Bahkan pria itu sampai berlutut memohon maafnya dan meminta diberi satu kesempatan terakhir untuk menebus segala rasa sakit dan duka yang sudah dialaminya.

“Keputusanku untuk bercerai dengannya sudah bulat kurasa.” ujar Calla. “Aku tidak ingin lagi menjalani pernikahan tanpa cinta, memiliki anak hanya karena orang tua kami yang meminta untuk diambil oleh Tuhan sebelum waktunya.”

Anggi hanya bisa diam. Ia tahu betul bagaimana perjuangan sahabatnya merebut hati suaminya yang sedingin es itu. Bagaimana bahagianya ketika Calla memberi kabar soal kehamilannya dan hancurnya wanita itu ketika kehilangan bayinya.

“Apa dia memperjuangkanmu?” tanya Anggi. Calla hanya bisa mengangguk. “Apa dia benar-benar menunjukkan penyesalan?” tanya Anggi lagi.

“Dia bahkan berani datang ke rumah orang tuaku. Berlutut memohon untuk diberikan maaf dan kesempatan kedua. Bahkan dia diam saja ketika menerima bogem mentah dari Ayahku.” ucap Calla pelan. “Dia bilang sampai kapan pun tidak akan menceraikanku dan akan terus memperjuangkanku. Tapi aku rasa saat ini dia sudah menyerah.”

“Atau malah melepasmu, membiarkanmu untuk mengambil keputusanmu sendiri kali ini.” potong Anggi. Mereka terdiam beberapa saat sebelum Anggi menanyakan pertanyaan yang membuat Calla membeku.

“Kau mencintainya?” tanya Anggi serius. Calla tidak menjawab dan hanya menunduk. Tanpa perlu dijawab Anggi sudah tahu jawaban dari pertanyaannya. “Kalau begitu coba berikan kesempatan padanya.”

Calla langsung mendongak marah pada sahabatnya, “Kau tidak tahu sebanyak apa rasa sakit yang pria itu sudah torehkan kepadaku!”

“Tapi kau mencintainya dan dari apa yang sudah aku dengar darimu dia juga siap untuk mulai belajar mencintaimu dan memperlakukanmu sebaik-baiknya. Jadi alasan apalagi yang bisa kau berikan untuk menolak memberikannya kesempatan?” tanya Anggi. Anggi menatap sahabatnya dan menggenggam erat tangan dinginnya.

“Aku tidak memintamu langsung menerimanya kembali sepenuhnya, itu tindakan bodoh. Tapi coba sedikit longgarkan egomu. Berikan dia kesempatan untuk menunjukkan usahanya mendapatkanmu kembali. Aku tahu dia telah menyakitimu terlalu dalam. Tetapi cobalah berdamai dengan masa lalu sebelum kau menyesal tidak memberikannya kesempatan karena kehabisan waktu.” ujar Anggi pelan. “Kau lihat aku dan Reza. Bagaimana bahagianya kami dulu. Tapi aku masih tetap menyesal tidak menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya kalau seandainya aku tahu waktu yang kita dapatkan hanya sedikit.”

Calla masih terdiam menunduk, menatap genggaman tangan mereka tanpa memberikan reaksi apa pun. “Cobalah untuk berdamai. Berikan dia kesempatan. Setelahnya, kalau kau masih ingin bercerai, kau tahu aku selalu mendukungmu.”

“Aku hanya takut seandainya dia hanya menyesal sesaat dan kembali menyakitiku.” ucap Calla akhirnya.

Anggi menggeleng tidak setuju. “Jangan berlarut dengan segala bayangan ‘seandainya’. Bertindaklah sebelum kau kehabisan waktu.” ujarnya pelan. “Lagipula bukan hanya kau yang kehilangan, kau tahu itu ‘kan?”

Untuk pertanyaan terakhir, Calla yang gantian membeku mendengarnya.

#Love Series #romance #short story #romance fiction #angst #ephemeral #phyztuff #Love Series phyztuff

0 notes

phyztuff · 2 years

Text

OBTUSE

“Bagaimana keadaan istrimu? Keadaan kalian membaik? Mengapa kita tidak ke rumahmu?” tanya Alana sambil menyeruput kopinya yang hanya dibalas gelengan kecil oleh Azka. Kafe itu lumayan sepi walaupun hari ini adalah hari Minggu.

Alana menghela napasnya lelah, “Kenapa lagi kali ini?”

“Aku yang salah.” balas Azka.

“Pastinya. Kau ‘kan bodoh.”

“Dia minta cerai.” Alana terdiam kaget. Ia meletakkan cangkir kopinya dan menatap sahabatnya sepuluh tahun terakhir. Cukup lama keheningan menyelimuti mereka.

“Kau tidak bisa mengusahakan sesuatu agar dia mau bertahan?” lanjut Alana pelan.

Azka mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Hari ini sangat cerah dan ia baru saja kembali dari pernikahan salah satu pasangan paling serasi yang pernah ditemuinya. Dunia seperti menertawakan keadaannya dengan pernikahannya yang di unjung tanduk.

“Dia sudah pulang ke rumah orang tuanya.”

“Dan kau di sini dengan pasrahnya duduk bersamaku?” desak Alana.

“Kau pikir aku suami macam apa yang tidak memperjuangkan pernikahan kami? Aku sudah mencoba, membujuknya untuk tetap bertahan, memperbaiki segalanya. Memulai dari awal bahkan kalau itu yang diinginkannya. Apa pun. Apa pun yang diinginkannya.” jelas Azka. “Tapi keinginannya berbeda denganku dan tekadnya sudah bulat.”

“Sudah berapa lama dia di rumah orang tuanya?” tanya Alana.

“Hampir sebulan terakhir. Dia berencana melayangkan gugatan cerai minggu depan. Dia bahkan tidak sudi berbicara langsung denganku, melainkan melalui pengacaranya.” Azka hanya bisa menggeleng sedih. “Ini semua memang salahku. Aku pantas mendapatkannya.”

Alana hanya bisa memandang sedih sahabatnya. Ia masih ingat telfon tengah malam dari Azka ketika dia bilang bahwa istrinya keguguran dan mereka kehilangan bayi mereka. Suara Azka yang bergetar, yang Alana tahu betul bahwa dia sedang menahan tangisnya.

“Bukan hanya dia saja yang kehilangan, kau juga.” ujar Alana.

Azka yang mendengarnya hanya bisa menunduk, tersenyum miris, “Tapi kalau bukan karena aku, mungkin saat ini hubungan kami membaik karena bayi kami masih hidup. Dia masih bahagia dengan kehamilannya. Atau mungkin seandainya sejak awal aku tidak menerima perjodohan itu, mungkin dia tidak akan semenderita ini.”

“Jangan!”

Azka mendongak mendengar bentakan sahabatnya, “Jangan apa maksudmu?”

“Jangan berpikir seperti itu. There’s no ‘what if’s Azka! It happened and yes, ‘twas a big tragedy. But never, never self-pity yourself for the mistakes that you made.” ucap Alana tegas. “The only thing you must to do is to keep fighting. Perjungankan dia kalau kau memang sadar perlakuanmu sebagai suami selama ini buruk kepadanya. That’s the only thing she deserves.”

“Tapi aku tidak tahu apa aku pantas mendapatkan maafnya.”

“Kalau begitu pantaskan lah dirimu! Perlihatkan padanya bahwa kau masih mau memperjuangkan pernikahan kalian. Bahwa kau benar-benar menyesal. Tapi jangan pernah berjanji untuk tidak lagi menyakitinya, jangan pernah membuat janji yang tidak mampu kau tepati.” ujar Alana kesal. “Kalau aku boleh jujur, aku benar-benar kecewa padamu.”

“You’re not alone then.”

Azka termenung, teringat kembali perlakuannya kepada istrinya sejak awal mereka menikah. Perjodohan, dengan alasan klasik orang tua bersahabat. Azka menyetujui hal itu hanya karena ia betul-betul menyayangi Ibunya dan tidak ingin membuatnya kecewa.

Azka selalu seperti itu. Selalu berusaha menjadi anak berbakti. Menuruti segala keinginan orang tuanya. Seperti saat ia menuruti keinginan orang tuanya untuk menjalankan perusahaan keluarga, sesuatu yang tidak benar-benar diinginkannya, dengan syarat ia tetap menerima job fotografi di sela-sela kesibukannya.

Mereka menikah. Tapi Azka tidak mencintai wanita itu. Tidak pada awalnya.

Calla merupakan istri sekaligus ibu rumah tangga idaman. Dia wanita penurut yang tidak banyak menuntut Azka, sekalipun Azka tidak mempedulikannya. Calla selalu bangun jam lima pagi untuk mempersiapkan baju kantor Azka sekaligus memasak sarapan dan bekal karena dia tahu Azka jarang makan siang bila sudah tenggelam dengan pekerjaannya.

Rumah mereka selalu bersih dan rapih. Segala urusan rumah tangga diurus oleh Calla. Istrinya bahkan menghentikan karirnya agar dapat menjadi istri yang selalu siap di rumah. Azka akan selalu mendapatkan sambutan hangat dan makan malam favoritnya setiap malam. Tidak pernah sekalipun Azka mendengar Calla mengeluh, mengorbankan hidupnya agar bisa menjadi istri yang berbakti.

Bahkan ketika orang tua mereka mendesak cucu, Calla melakukan kewajibannya sebagai istri sebaik mungkin dan melayani Azka dengan baik. Sampai akhirnya Calla hamil. Namun tetap saja hati Azka tidak tergerak dengan segala hal yang sudah dilakukan dan dikorbankan oleh Calla.

Kejadian itu masih sangat jelas diingatan Azka. Dua bulan yang lalu Calla mengeluhkan sakit di bagian perutnya dan meminta izin Azka untuk beristirahat dari aktivitas rumah tangga mereka. Azka tidak mempermasalahkannya, tidak mempedulikannya malahan. Ia tetap pergi bekerja dan lembur hari itu tanpa sekalipun menanyakan keadaan istrinya.

Malam harinya Calla menelpon dan meminta Azka untuk segera pulang dan membawanya ke rumah sakit karena wanita itu sudah tidak tahan dengan rasa sakitnya. Tapi dengan masa bodohnya Azka menyuruh istrinya untuk memesan taxi dan pergi sendiri hanya karena ia lebih mementingkan pekerjaannya sampai akhirnya tidak selang satu jam kemudian, ia mendapat telfon dari Ibu mertuanya yang memberi tahu bahwa Calla mengalami keguguran.

“Kau masih bisa memperbaikinya, kau tahu? Kau masih punya waktu.” bujuk Alana.

Azka menatap sahabatnya, “Kau benar-benar yakin aku layak mendapat kesempatan kedua?”

“Layak atau tidaknya, semua orang berhak meminta kesempatan kedua. Tetapi mereka hanya bisa bergantung kepada si pemberi kesempatan. Hanya dia yang bisa menilai layak atau tidaknya seseorang mendapat kesempatan kedua.” ujar Alana sambil kembali meminum kopinya. Ucapan Alana membuat Azka tersenyum.

“Mengapa kau seperti selalu jawaban atas segala permasalahanku?”

“Karena kau terlalu bodoh. And that’s my friend yang dinamakan dinamika pertemanan. Apabila yang satu pintar, yang lain sudah pasti bodoh.” ucap Alana yakin yang membuat Azka akhirnya tertawa. Sepertinya sudah lama sekali dia tidak merasa terhibur seperti ini.

“Aku senang kau memutuskan pulang saat ini. Terima kasih.” ujar Azka pelan.

“Balas rasa terima kasihku dengan kau perjuangkan istrimu. Aku mau kabar selanjutnya yang kudengar adalah kabar hubungan kalian membaik.” balas Alana final.

Azka tersenyum menatap sahabatnya. Kali ini dengan perasaan lebih baik dan lebih yakin bahwa dia masih memiliki kesempatan memperjuangkan Calla, memperjuangkan wanitanya.

#Love Series #Obtuse #romance #romance fiction #shortstory #phyztuff #Love Series phyztuff

1 note · View note

phyztuff · 2 years

Text

CAMARADERIE

“Sebentar lagi hujan.”

Keenan langsung mendongak mendengar gadis di hadapannya berbicara, membiarkan buku yang sedang dibacanya terbuka begitu saja di pangkuan.

“Bau itu lagi?”

Petrichor, bau yang merebak sesaat sebelum hujan turun.

Gadis itu mengangguk mantap lalu kembali menunduk melanjutkan bacaannya. Mereka sedang duduk berhadapan di window seat apartemen mereka dengan jendela yang dibiarkan terbuka. Saat ini London sering diguyur hujan dan gadis itu selalu membiarkan jendela terbuka, entah ada apa soal obsesinya dengan hujan.

Ruangan itu kembali sunyi, tetapi Sang Pria tidak melanjutkan bacaannya. Ia malah memperhatikan gadis dihadapannya dengan seksama.

Gadis itu memakai sweater miliknya yang tentu saja sangat kebesaran di badan mungil gadis itu, celana piama, dan kaos kaki. Jangan lupakan rambutnya yang dicepol asal-asalan dan juga wajahnya yang polos tanpa riasan.

Lyra bukan tipikal gadis cantik yang akan membuat lututmu goyah pada pandangan pertama. Dia cantik, tetapi gadis itu menawan dengan caranya sendiri. Lyra adalah gadis yang cerdas dan pandai dalam hal yang dilakukannya. Dia selalu sadar akan kemampuan yang dimilikinya, tetapi itu tidak membuatnya besar kepala.

She’s the ultimate ‘It Girl’.

Mereka bertemu saat dipersatukan dalam project team di perusahaan multimedia ternama dari London yang membuka sayapnya di Jakarta empat tahun yang lalu. Sejak saat itu mereka selalu bersama.

Tidak ada label dalam hubungan mereka. Bukan teman, bukan pacar. Tidak sekali dua kali orang-orang di sekitar mereka salah paham dengan hubungan yang mereka miliki. Namun mereka berdua tidak mau repot-repot peduli untuk menjelaskan.

Dua tahun kemudian team mereka dipilih untuk pindah bekerja di kantor pusat yang berada di London. Ini tahun ke-2 mereka tinggal bersama setelah sepakat bahwa menyewa flat sendirian di Kingston akan membuat mereka mati kelaparan.

“Hey.” sahut pria itu. Lyra kembali memandangnya sambil mengangkat alisnya.

“No filter time?” tanya pria itu.

Lyra memandangnya bingung, “Tiba-tiba? Kau ada masalah?”

Keenan menggeleng ringan sambil menutup buku di pangkuannya, “Hanya saja ada sesuatu yang benar-benar ingin kubicarakan.”

Gadis itu hanya mendesah ringan, menutup bukunya lalu duduk bersila menghadap pria itu dengan pandangan serius, “Ada apa?”

Keenan terdiam sejenak. Berusaha keras memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkannya dan gadis itu dengan sabarnya menunggu.

“Pernah terpikir untuk hidup bersamaku?” ujar pria itu pelan.

“Aku hidup bersamamu sekarang.” sahut Lyra.

Keenan menggeleng pelan, “Bukan, bukan seperti teman serumah atau hubungan apa pun yang kita jalani saat ini.” putus Keenan. “Hidup bersamaku. Menikah.”

“Kau tidak ingin repot-repot berkencan ya supaya bisa menikah? Teganya kau mau menumbal hidupku yang berharga!”

Pria itu memutar bola matanya, “Kau ini benar-benar! Aku serius!” yang hanya dibalas cengiran gadis itu.

“Kenapa kau tiba-tiba berpikiran soal menikah? Dilangkahi Resha menggores egomu ya?” ujar Lyra dengan nada jahil.

“Lyra.” seru Keenan dengan nada final

Gadis itu akhirnya terdiam, berusaha menahan senyum jahilnya. Lyra tahu Keenan benar-benar serius dengan ucapannya ketika ia memanggilnya seperti itu.

“Kau bertanya seperti itu padaku, kau pikir menikah itu mudah? Memangnya kau sendiri pernah membayangkan kita menikah?”

“Pernah.” putus pria itu yang membuat Lyra bungkam.

“Apa ini soal Resha yang melangkahiku? Kurasa iya." lanjut Keenan. "Tapi ini bukan masalah egoku yang tergores dilangkahi adikku sendiri. Aku ingin punya keluargaku sendiri. Aku ingin hidup bersama seseorang yang kucintai dan juga mencintaiku. Aku ingin hal yang saat ini Resha miliki. Kau tahu? Longing for someone, that’s what I feel. And I didn’t realize I needed it so much until I saw how happy my sister married her true love.”

Lyra masih terdiam, mencerna perkataan Keenan. Pikiran hidup bersama Keenan lebih dari yang mereka lakukan saat ini, memang benar puluhan kali pernah terlintas di benaknya. Memangnya apa bisa pikirannya mencegah pikiran-pikiran liar itu ketika semua orang disekelilingnya menganggap hubungan ‘pertemanan’ mereka tidak normal?

“I don’t love you like that.” ujar gadis itu akhirnya.

“I don’t love you like that either.” balas Keenan jujur. “Tapi aku senang hidup denganmu. It’s been so easy to live with you. It’s been so easy to be with you. Aku tahu perasaanku terhadapmu bukan lah perasaan romantis dan kita tidak saling tertarik seperti itu. Tapi aku sangat peduli padamu, kau jelas tahu itu.”

Lyra mengangguk, “I feel the same way. It’s always been easy when it comes about you. Aku juga sangat peduli padamu. Tapi soal menikah, jujur aku tidak yakin.”

“Aku tidak bisa memikirkan orang lain selain dirimu yang bisa kuajak hidup bersama.” putus Keenan.

“Aku tidak ingin menikah tanpa cinta.” cetus Lyra.

“Kita bisa pelan-pelan mengenal perasaan satu sama lain dan aku yakin pada akhirnya kita akan dengan mudahnya jatuh cinta.”

“Kita tidak pernah berkencan.”

Keenan tertawa mendengar penuturan gadis itu, “Kalau orang lain bisa menduga kita adalah sepasang kekasih, kau pikir hal yang biasa kita lakukan normal untuk dilakukan oleh sepasang teman?”

“Kau benar-benar sudah memikirkannya ya? Atau jangan-jangan perasaanmu sudah berubah?” ujar Lyra curiga.

“Ya, aku ‘kan sudah bilang bahwa aku tidak bisa memikirkan orang lain selain dirimu yang bisa kuajak hidup bersama.” aku Keenan. “Untuk perasaan, aku tidak tahu. Mungkin saja aku memang belum mencintaimu seperti itu atau alam bawah sadarku berusaha mengubur perasaan cinta itu hanya karena tidak ingin merusak apa yang kita miliki saat ini.”

“Tapi menikah tidak semudah itu. Kau harus benar-benar yakin dan memiliki komitmen penuh untuk hidup bersama dengan orang yang sama seumur hidupmu.” elak Lyra.

“Kita sudah hidup dan menghabiskan hampir seluruh waktu bersama selama dua tahun terakhir tanpa sekalipun berkencan dengan orang lain. Apalagi yang kau ragukan?” desak Keenan.

Lyra membuang tatapannya dari Keenan ke tangannya yang gemetar lalu digenggamnya dengan gugup. Ini pertama kalinya dia merasa sulit bersama Keenan.

Pergerakan itu tidak luput dari pandangan pria itu. Keenan maju mendekati Lyra dan menggenggam tangannya yang gemetar, “Kau tahu ‘kan aku tidak akan menyakitimu? Bahwa kau bisa percaya padaku? Kau sudah melakukan hal itu selama empat tahun terakhir dan apakah aku pernah mengkhianati kepercayaanmu?” bisik Keenan. Lyra menggeleng pelan lalu mendongak menatap mata pria itu yang memancarkan keyakinan.

“Kau benar-benar yakin?” tanya Lyra.

“Ya.”

“Aku tidak bisa memasak.”

Keenan mendengus, “Kalau itu alasan kau menolakku untuk apa tinggal bersamaku dua tahun ini? Aku tidak pernah membiarkanmu mati kelaparan.”

“Aku bukan perempuan rumahan pada umumnya.” kilah Lyra.

“Kau yang ingin aku nikahi, bukan perempuan rumahan.”

“Kau belum meminta izin pada Ayahku.”

“Aku yakin dia akan senang hati menerima lamaran dariku.”

Kali ini Lyra yang mendengus, “Percaya diri sekali kau.”

“I’m always sure if it’s about you.” ujar Keenan yakin.

Lyra terdiam lama, memikirkan semuanya dengan matang. Keenan hanya bisa menatap wanita itu tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat.

“Okay.” putus gadis itu.

“Okay?”

“Ya, ayo menikah.” ucap gadis itu yakin. “Aku juga tidak bisa memikirkan orang lain selain dirimu yang bisa kuajak hidup bersama.”

Keenan tidak dapat menahan senyumnya, “Baiklah.” lalu kembali ke tempat sebelumnya ia duduk. Semudah itu. Selalu mudah untuk mereka.

“Kau tahu ‘kan kalau lamaranmu itu payah?” ejek Lyra. “Aku ingin pernikahan yang super keren pokoknya.”

“Aku sudah mendapatkan kau. Terserah kau saja apa yang ingin kau lakukan.” sahut pria itu santai sambil kembali membaca bukunya.

“Aku akan menghabiskan seluruh hartamu demi pernikahan ini, lihat saja!”

“Just do you, wifey.” balas Keenan dengan senyum jahil.

“Not yet!”

“But I love you, you know.”

“Not that way tho.”

Keenan menggeleng pelan, “Not yet.” bisiknya.

#Love Series #Camaraderie #phyztuff #Love Series phyztuff #romace #romance fiction #shortstory #shortchapters

1 note · View note

phyztuff · 2 years

Text

Love Series

Ini merupakan cerita-cerita pendek romantis. Jangan berharap konflik yang dalam atau pun kisah yang selalu bahagia karena yang kuharapkan, kisah-kisah mereka dapat menyentuh kamu dan siapapun kamu, kuharap bacaan ini akan menjadi your healing time everytime you need something to hold on about love.

With love, H.

#Love Series #shortstory #shortchapters #romance #romance fiction #phyztuff #Love Series phyztuff

0 notes

phyztuff · 2 years

Text

ENNUI

Pria itu menatap wanita yang masih terlelap dipelukannya. Wanita yang hari ini tepat tiga puluh tujuh tahun bersamanya. Menemaninya menjalani kehidupan yang tidak selalu berjalan dengan baik, tapi akan selalu terasa baik apa pun yang terjadi karena wanita ini selalu ada untuknya.

“Hey pemalas, mau sampai kapan kau tidur? Kita ada janji, kau ingat?” ucap Gilang pelan sambil mengusap pipi istrinya dengan lembut.

Wanita itu hanya bergerak sedikit, mengeratkan pelukannya lalu menelusupkan kepalanya ke ceruk leher suaminya, “Tentu aku ingat. Itu ‘kan idemu supaya kau bisa memastikan aku tidak akan kabur dari sisimu.” tutur Selin dengan suara serak.

Gilang terkekeh mendengar penuturan istrinya, “Janji ini ‘kan kita lakukan setahun sekali. Kalau kau memang ingin kabur, ada tiga ratus enam puluh empat hari tersisa yang sayang sekali tidak kau manfaatkan.”

Wanita itu akhirnya membuka mata dan menatap wajah suaminya yang sedang tersenyum. Wajah yang sudah terdapat kerutan di sana sini dan jangan lupakan rambutnya yang sudah banyak terdapat helaian putih, tetapi masih tetap terlihat tampan dan gagah di matanya.

“Sudah hampir empat puluh tahun bersama dan kau masih belum paham juga?”

“Apa maksudmu?” tanya Gilang.

Wanita itu bangun dari tidurnya dan beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. “Kau pikir memangnya aku bisa kemana tanpamu?” katanya sambil lalu.

Tubuh pria itu menegang. Puluhan tahun bersama wanita itu tidak membuatnya imun terhadap mulut blak-blakan wanita itu yang terus saja bisa mengganggu kerja jantungnya.

***

Mereka bergandengan tangan sembari menyusuri aliran air di pinggir danau. Ini sudah ke-37 kalinya mereka melakukan kegiatan yang sama yang setiap tahun wajib mereka lakukan. Bahkan tiga orang anak pun tidak dapat mengganggu janji yang lelaki itu minta sebelum mereka menikah.

Aku hanya meminta satu hal darimu. Ketika kita sudah menikah, setiap tahunnya di hari pernikahan, aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu. Just one fine day with you, from the moment I lay my eyes on you in the morning, till I see your sleeping face in my embrace in the night.

Akhirnya mereka sepakat bahwa mereka akan menghabiskan satu malam berkemah setiap tahunnya di danau tempat Gilang melamar Selin. Cerita mereka seperti kisah romantis pada umumnya. Bertemu, saling mengenal, lalu jatuh cinta. Sesederhana itu.

Sang wanita menatap pria disampingnya. Tiga puluh tujuh tahun, pikirnya.

“Apa kau pernah bosan denganku?”

Lelaki itu sontak menatap wanita di sampingnya dengan ekspresi terkejut, “Kau sakit ya? Atau otak gilamu sudah mulai bangun?”

Wanita itu memutar bola matanya malas. Selin melepas genggaman tangan suaminya dan berjalan menuju kursi di depan tenda yang sudah mereka bangun. Usia yang tak lagi muda tidak menghalangi rutinitas mereka. Lagi pula dunia sudah modern, banyak peralatan yang sangat membantu untuk tetap melaksanakan tradisi tiap tahun mereka.

Gilang lantas mengekori istrinya dan duduk bersebrangan darinya.

“Kau serius ya dengan pertanyaanmu?” tanya Gilang.

Selin menatap suaminya dan terdapat kekhawatiran di pandangan suaminya. Ia tahu betul suaminya akan ketakutan setengah mati setiap ia menunjukkan tanda-tanda keraguan terhadap perasaan dan hubungan mereka.

“Tentu aku serius dengan pertanyaanku. Kita sudah tiga puluh tujuh tahun menikah dan beberapa tahun sudah saling mengenal sebelum itu. Apa kau tidak pernah, sekali saja merasa bosan denganku? Dengan hubungan kita?”

Pria itu menunduk sambil memainkan tangannya yang mulai terasa dingin. Mereka selalu jujur dan terbuka terhadap satu sama lain, walau kadang hal itu bisa menyebabkan pertengkaran. Tapi ayolah! Tidak ada hubungan yang selalu berjalan baik-baik saja ‘kan?

“Pernah.” aku pria itu. Selin hanya menatapnya tanpa ekspresi, lalu menangangguk pertanda mendengarkan. “Tapi bukan denganmu, bukan juga dengan hubungan kita.” tuturnya terburu-buru, tidak ingin adanya kesalah pahaman, terlebih hari ini.

“Aku terkadang bosan, memangnya aku bisa apa? Aku hanya manusia biasa yang hidup bersama orang yang sama hampir empat puluh tahun, tentu ada rasa bosan yang terkadang datang. Tapi hal yang membuatku bosan hanya lah rutinitas.”

Wanita itu masih menatapnya tanpa ekspresi, ia paham bahwa istrinya masih memberinya kesempatan bicara, “Terkadang aku bosan ketika kita makan malam buatanmu. Bukan karena rasanya yang tidak enak, kau tahu masakan buatanmu selalu jadi favoritku. Tapi terkadang aku ingin rasanya pergi berdua denganmu, makan di luar, kencan mungkin?

“Terkadang aku bosan apabila kau lebih memilih menghabiskan waktu sendirian dan meninggalkanku. Me time-mu itu. Atau lebih memilih bermain bersama cucu-cucu kita. Entah lah, beberapa tahun belakangan aku merasa terlalu bergantung padamu. Terlebih ketika kita sudah sama-sama pensiun. Aku pikir karena usia?” tanyanya tak yakin.

“Kau takut soal waktu yang kita habiskan mungkin tidak lama lagi?” timpal Selin. Gilang mengangguk. Wanita itu selalu tahu apa yang dipikirnya. “Aku juga mulai sering memikirkannya akhir-akhir ini. Soal waktu.”

Pria itu menatap istrinya yang mengubah pandangan ke arah danau. Wanita itu masih tetap cantik, walaupun dengan keriput yang selalu dikeluhkannya sepanjang waktu. Rambutnya yang dikepang ke samping selalu menjadi favoritnya. Empat puluh tahun lebih mengenal wanita itu tetap saja Gilang merasa dia tercantik.

“Aku tahu kita tidak seperti pasangan romantis pada umumnya. Aku bahkan dapat menghitung dengan jari berapa kali aku pernah mengatakan aku mencintaimu selama pernikahan kita, tapi aku yakin kau dan aku memang ditakdirkan bersama.” ujar wanita itu pelan.

“Bagaimana denganmu? Apa kau pernah bosan denganku?” timpal Gilang yang langsung dibalas dengan tawa oleh wanita itu.

“Tentu saja! Kau pikir aku istri suci yang selalu bersabar dengan kebiasaan suami tercintanya? Kau gila ya?! Kalau bukan aku yang menjadi istrimu, mungkin kau sudah kawin-cerai beberapa kali karena kebiasaan jorokmu itu!” ujar wanita itu masih sambil tertawa.

Gilang hanya bisa menggeleng tidak percaya, “Astaga kau ini benar-benar! Aku berusaha keras memikirkan jawaban barusan agar kau tidak ragu denganku, tapi kau dengan entengnya menjawab seperti itu? Dasar wanita gila!”

Selin mengusap ujung matanya yang mengeluarkan air mata karena tertawa, lalu menatap suaminya dengan pandangan jenaka, “Ya, wanita gila yang kau cintai.”

“Tentu saja sudah pasti dari pihakku. Pihakmu yang sangat meragukan.” gerutu Gilang.

“Kau bodoh ya? Aku tidak akan berada di sini kalau aku tidak mencintaimu.”

Dan pria itu tanpa bisa ditahan tersenyum lebar.

#Love Story #Ennui #phyztuff #Love Series phyztuff #romance #romance fiction #short story #shortchapters

0 notes

phyztuff · 2 years

Text

Solitude

Davin menatap wajah wanita itu dan hanya satu kata terlintas di benaknya. Cantik. Pipinya yang bersemu merah, mata yang berbinar dan kerutan di ujungnya yang hanya keluar saat bibirnya tersenyum bahagia. Ia mendengar tawa dan tepuk tangan di sekitarnya, mungkin karena lelucon yang disampaikan oleh Best Man? Davin tidak memerhatikan pidato pernikahan yang disampaikan oleh sahabat mempelai pria. Perhatiannya hanya tertuju pada wanita itu, wanitaku. Masih kah Davin dapat memanggilnya wanitaku setelah ini? Ia mendengus mendengar pemikiran konyol itu.

“Selanjutnya mari kita dengar sambutan dari Maid of Honor, Davin Gunandhya Haris.”

Lelaki itu melihatnya berbalik dan menatapnya, senyum itu lagi. Davin membalasnya dengan senyum gugup, berdiri dari duduknya sambil melepaskan kancing tuksedonya dan berjalan menuju podium. Sial, semua atensi tertuju padaku sekarang, hal yang paling dibencinya. Namun memangnya dia bisa menolak segala hal yang diminta wanitanya?

“Halo, selamat malam semua. Saya tahu, sebagian besar dari kalian pasti bingung mengapa Maid of Honor mempelai wanita adalah lelaki.” Davin berdeham kecil, meredakan kegugupan. “Bagi yang belum tahu, saya dan Resha berteman sejak kecil. Itu salah satu alasannya. Alasan lainnya, dari umur 5 tahun dia sudah menunjukkan tanda-tanda bossy dan bodohnya, saya selalu menurutinya. Jadi, ketika dia minta saya untuk jadi Maid of Honor di pernikahannya, yang rasanya seperti titah, seperti biasa saya hanya bisa nurut saja. Lagipula, you can’t say no to the bride, right? Especially this weird one.” ocehan panjang Davin membuat para tamu undangan terkekeh.

“Dari kecil Resha percaya dengan segala hal tentang romantisme. Cerita-cerita tentang prince charming, love at the first sight, first love and true love. Diperparah waktu SMA, ketika dia sudah mulai terobsesi dengan novel dan film romantis, terutama Nicholas Sparks. Jadi saya sama sekali tidak kaget ketika 3 tahun yang lalu dia bilang dia jatuh cinta dan beberapa bulan setelah itu dengan bangganya ngenalin Alex ke saya. Yang ada di benak saya saat itu adalah she finally found her Prince Charming.”

Ia terdiam sesaat. Ingatan itu masih sangat jelas di benaknya. Hari dimana ia akhirnya menerima fakta bahwa wanita itu bukan lagi miliknya seorang.

“Saya berpikir berulang kali apa yang bisa saya sampaikan saat Resha, yang sekali lagi memberi titah, untuk saya memberikan wedding speech. So here it is. Over the years they’ve shown us that we still can believe in true love. How to find a best friend, a partner, and a true lover, all in one person. These two are a rare find in today’s world.”

Matanya tertuju pada wanita itu. Pada wajah bahagia itu.

“So, for Resha, thank you for being my best friend and you have no idea how happy I am seeing you found your happiness. I will always love you and stay with you till the end of the line.”

Lalu tatapannya berpindah pada pria di sebelah wanita itu. Pria yang tersenyum sama bahagianya dengan lengan yang memeluk mesra wanitanya.

“Dan buat Alex, you lucky bastard! I know that you’re gonna take care of her and always give her all the things she deserves. Tidak ada saran yang bisa saya kasih selain mengingatkan dia bahwa apa pun permasalahannya, bagaimana pun keadaannya, Resha selalu benar.” Gelegar tawa pecah di ballroom hotel itu.

“So, let’s raise our glasses. To Alex and Resha.”

“To Alex and Resha.”

***

“Good speech.”

Davin mendongak menatap wanita di hadapannya. Wanita dengan gaun koktail berwarna perak yang memamerkan bahunya dan rambut kepang setengah, yang sedang tersenyum padanya.

“Terima kasih.”

Wanita itu menyodorkan tangannya “Alana.”

Davin menerima uluran tangan itu “Davin.”

“Boleh aku duduk di sini?” sambil menunjuk kursi kosong di sebelah Davin. “Meja lain sudah penuh.” Davin menatapnya dan hanya mengangguk. Lalu wanita itu duduk di kursi kosong sebelahnya dan beberapa saat mereka hanya terdiam.

“Groom or Bride?” tanya Davin.

“Sorry?”

“Kau di sini karena kenal Alex atau Resha?” tanya Davin, lalu memperhatikan wanita itu dengan teliti. “Sepertinya Alex ya? Karena kalau Resha aku pasti tahu kalau kau memang temannya.”

Alana tertawa mendengar penuturan Davin. “Benar-benar sedekat itu ya dengan Resha? Sampai tahu semua temannya. No, aku bukan tamu undangan di sini. Aku hanya menemani temanku yang sedang menjadi fotografer di acara ini.”

Davin lalu menangguk “Bareng Azka?”

“Iya, kenal Azka juga?”

“Tidak juga, hanya tahu dia temannya Resha yang menjadi fotografer di pernikahannya.”

Sunyi itu datang lagi. Alana memerhatikan pria itu. Pria itu mengenakan tuksedo hitam dengan kemeja putih dan dasi yang sudah longgar. Rambutnya yang berantakan seperti habis dijambak dan juga ekspresi datar yang ditunjukkannya.

“You know,” mulai Alana, “For someone who said that he’s so happy for seeing his best friend found her happiness, you don’t look happy enough.”

Davin hanya tersenyum miris mendengar penuturan itu. “Kelihatan banget ya? Tapi sepertinya hanya kau yang sadar.”

“Aku bukan tamu pengantin, hal itu membuatku tidak merasakan euforia pesta ini. Jadi wajar saja kalau mungkin hanya aku yang menyadarinya.”

Alana melihat pria itu terdiam tanpa membalas pernyataannya. “Jadi apa ceritanya?”

Davin menatap Alana bingung, “Maksudmu?”

“Apa yang membuat kau sefrustasi ini? Bukan kah kau harusnya bahagia melihat sahabatmu found her prince charming?”

“Kita tidak saling mengenal. Apa yang membuatmu seyakin itu menanyakan hal yang terlalu intim kepadaku?”

Alana hanya mengendikkan bahunya. “Seperti yang kau bilang, kita tidak saling mengenal. Sehabis acara ini belum tentu aku bertemu lagi denganmu. Jadi, tidak ada salahnya aku mendengar ceritamu. Lebih menarik daripada aku mengikuti Azka berkeliling untuk motret.” tutur Alana sambil tersenyum jahil.

“Asal kau tahu saja, berkelilingin ballroom ini make high heels bener-bener menyiksaku.”

Davin tertawa, “Lalu mengapa kau mau ikut Azka ke sini?”

“Bestfriend’s duty. Aku sudah terlanjur janji dengan Azka untuk meluangkan waktu quality time dengannya saat aku pulang ke Jakarta. Tapi kebetulan saja waktu kepulanganku tepat saat dia sedang ada job, jadi mau tidak mau aku ikut menemaninya.”

Davin terdiam sebentar. Menimbang apakah harus menceritakan hal yang sangat pribadi kepada orang yang baru ia kenal. Namun wanita itu ada benarnya, mereka hanya dua orang asing yang mungkin tidak akan bertemu lagi, jadi tidak ada salahnya ‘kan?

“Aku jatuh cinta dengannya." ujar Davin pelan. "Or I think I’m falling in love with her?”

Alis Alana terangkat bingung mendengarnya, “You think?”

“Ya, karena walaupun aku memiliki perasaan lebih dengannya, aku tidak pernah memperjuangkan perasaan itu.”

“Alasan klise takut merusak persahabatan?”

Davin menggeleng, “Bukan, bukan itu.”

“Lalu?”

“Benar aku takut. Tapi bukan karena takut merusak persahabatan kami. Aku mengenal betul Resha, dia orang yang baik, terlalu baik kadang, and she has a golden heart. Dia tidak akan setega itu meninggalkanku and throw away our almost twenty year of friendship hanya karena aku memiliki perasaan lebih dari sahabat. Aku tidak takut Resha meninggalkanku sebagai sahabatnya. Yang membuatku takut adalah dia meninggalkanku sebagai pasangannya kalau seandainya hubungan kami berubah hanya karena aku memperjuangkan perasaanku.”

Alana mengerut bingung, “Bagaimana bisa kau berpikir dia akan meninggalkanmu kalau kau sendiri tidak memperjuangkan perasaanmu?”

“Itu permasalahannya, alasanku tidak pernah memperjuangkan perasaanku karena aku merasa tidak layak untuknya dan dia pantas mendapatkan yang lebih baik. Dia pantas mendapatkan seseorang seperti Alex.”

“Kau bahkan belum memperjuangkan perasaanmu tapi kau sudah mengambil kesimpulan sendiri yang belum tentu benar. Pernah terbayang tidak kalau seandainya kau memperjuangkan perasaanmu, mungkin saja sekarang yang sedang berdiri di samping Resha itu kau, bukan Alex?"

"Tidak, aku tidak pernah membayangkan diriku dapat bersanding dengan Resha. Aku tidak pernah membiarkan pikiranku membayangkan hal seliar itu.”

Alana hanya bisa menggeleng, “Kalau apa yang kau bilang soal Resha percaya dengan segala hal berbau romantisme, bersahabat dengannya tidak membawa pengaruh apa pun ya kepadamu?”

“Aku bukan penganut paham happily ever after.”

“Kenapa kalau boleh tau?”

“Cerita-cerita tentang cinta sejati dan akhir bahagia bagiku hanya ada di novel dan film. Mungkin itu terjadi di kehidupan nyata, tapi kejadian itu bisa jadi satu banding sejuta?” jawabnya ragu. “Kebanyakan orang saat ini memutuskan untuk menikah atau pun hidup bersama karena keadaan, bukan karena cinta.”

“Termasuk sahabatmu sendiri?”

Davin termenung sebentar, “Mereka pengecualian. Untuk Resha dan Alex, ya mereka membuatku menjadi sedikit lebih percaya tentang cinta. Tetapi selain mereka sejauh ini belum ada yang bisa meyakiniku soal itu. Aku tumbuh besar bukan dari keluarga yang penuh afeksi dan percaya soal hal itu seperti Resha.”

“Kau salah.” Sela Alana. “Masih banyak di luar sana yang bisa membuktikan bahwa cinta yang tulus masih ada dan layak diperjuangkan.” ujar Alana dengan yakinnya.

Davin mencondongkan tubuhnya, “Kalau kau sebegitu yakin, sekarang coba biar aku yang mendengarkan ceritamu.”

Alana menatap lurus ke depan. Melihat para tamu undangan yang memberi ucapan selamat kepada pasangan yang sedang berbahagia itu dan pikirannya membawa dirinya ke masa lalu.

“Orang tuaku. Kisah klasik, Si Kaya dan Si Miskin. Mereka sudah saling mengenal sejak SMA. Ayahku bukan dari keluarga berada yang mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbeda dengan ibuku. Jadi setelah mereka lulus SMA, selagi Ibu berkuliah, Ayah bekerja untuk bisa menghasilkan uang agar bisa menikahi dan menafkahi Ibu kelak. Walaupun dengan perbedaan itu, mereka berdua memperjuangkan perasaan mereka dan menjaga hubungan itu sampai Ayah dapat meyakinkan keluarga Ibu dan mereka akhirnya menikah.”

Alana tersenyum bila mengingat tahun-tahun penuh kebahagiaan yang dilalui orang tuanya.

“Mereka hidup bahagia. Ya memang ada permasalahan di sana sini, tetapi aku selalu bisa melihat cinta yang besar di antara mereka. Sampai Ayah meninggal empat tahun yang lalu. Aku anak tunggal, jadi dampak dari kehilangan Ayah dan perubahan Ibu besar sekali. Setelah itu, Ibu berusaha tegar menjalani hidupnya. Aku tahu dia sudah berusaha sekuat mungkin, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa gairah hidupnya sudah hilang. Hati Ibuku hancur dan tidak lama setelahnya Ibu pergi menyusul Ayah.”

Davin terdiam menatap mata Alana yang sudah berkaca-kaca. “I’m sorry to hear that.”

Alana mengalihkan pandangannya dan menatap Davin lembut, “Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi di hidupmu sampai kau bisa menjadi sosok yang skeptikal soal cinta, tapi ada satu hal yang bisa aku beri tahu padamu.”

“Apa?”

“Kurasa kau tidak jatuh cinta dengan Resha.” ujar Alana tegas. “You think you fall for her but you don’t. You’re just too afraid to fall for someone so you went denial and let yourself thinking that you love her because you know you won’t have her.”

Davin menegang mendengar penuturan wanita itu. Bagaimana bisa wanita yang baru ditemuinya menilai dirinya sedalam itu? Tanpa sadar tubuhnya mulai gemetar dan ia merasa kehilangan fokus sampai deringan dari handphone Alana menyadarkannya.

Alana mengambil handphonenya yang diletakannya di atas meja, “Azka memberitahuku kalau dia baru saja selesai. Dia mengajakku pergi sekarang juga.”

Alana menatap Davin yang masih terdiam, masih mencerna pernyataan yang dilontarkannya barusan. Dia bisa melihat tangan Davin yang gemetar, lalu digenggamnya tangan itu, “Davin, tidak semua hal buruk tentang cinta itu cerminan dari cinta itu sendiri.” ujarnya pelan. “You only need one thing, time to heal. Aku harap kau bisa berdamai dengan segala konflik yang ada di pikiranmu.”

Wanita itu melepaskan genggamannya dan berdiri. Davin hanya bisa menatap wanita itu. Ia bahkan tidak yakin dapat mengeluarkan suaranya.

“Thank you and goodbye, Alana.” seru Davin dengan suara serak.

Alana tersenyum, “Goodbye, Davin.”

#Love Series #Solitude #phyztuff #Love Series phyztuff #romance #romance ficition #shortstory #shortchapters

2 notes · View notes