Tumgik
rasa-maul · 10 months
Text
3 notes · View notes
rasa-maul · 1 year
Text
6 notes · View notes
rasa-maul · 2 years
Text
2 notes · View notes
rasa-maul · 2 years
Text
Noda kehormatan telah dihujani oleh ludah. Menuai kedamaian dalam pusaran hitam sebagai pertanda lemah, kaca tak lagi retak sebab liang gelap penuh gema yang membuncah. Kejam!
1 note · View note
rasa-maul · 3 years
Text
Merasa sedang diingatkan kembali....
Tumblr media
Tumblr media
Tumblr media
Tumblr media
186 notes · View notes
rasa-maul · 3 years
Text
Terima kasih ya, kau benar-benar berhasil membuatku tenggelam dalam genangan penyesalan.
Maul_MK
0 notes
rasa-maul · 3 years
Text
Tumblr media
Sebuah Ulasan Singkat dari Buku The Will to Meaning
Buku kedua Viktor E. Frankl yang saya baca setelah Man's Search for Meaning (buku yang berhasil mengubah pandangan saya tentang penderitaan).
Kalau di buku pertamanya Frankl lebih banyak membahas pengalamannya bertahan menghadapi kepahitan menjadi tawanan Nazi. Di buku kedua ini lebih banyak membahas tentang bagaimana ia menghadapi pasien-pasiennya yang terjebak dalam kodisi depresi, gangguan mental, maupun skizofrenia. Melalui Logoterapi yang ia terapkan.
Inti pembahasannya masih sama, tentang bagaimana seseorang bisa menemukan makna, bahkan di dalam kodisi paling sulit dan mengerikan sekalipun. Termasuk mereka-mereka yang sudah hampir menyerah untuk mengakhiri hidup, atau menghadapi kematian.
"Hati manusia selalu gelisah sampai pada saat ia menemukan, dan memenuhi, makna dan tujuan hidup" (Terminologi Agustian).
Menurut Frankl, Logoterapi mengajarkan bahwa rasa sakit perlu dihindari sebisa mungkin sepanjang rasa sakit tersebut memungkinkan untuk dihindari. Tetapi ketika takdir menyakitkan tersebut tak bisa dihindari, kenyataan tersebut tak hanya harus diterima. Tetapi perlu diubah menjadi sesuatu yang bermakna, menjadi suatu pencapaian.
"Tidak ada manusia yang tak pernah tidak berhasil, tidak menderita, maupun tidak akan mati". Kutipan ini begitu menguatkan saya bahwa tidak ada yang perlu ditakuti, disesali, dan ditangisi terlalu lama. Setiap kita punya kekuatan untuk menghadapi, hingga kematian itu benar-benar tiba.
"Manusia memiliki kapasitas untuk menemukan makna yang tersembunyi dalam situasi yang uniik, yang disebut suara hati. Hati punya alasan yang tak diketahui oleh pikiran. Terkadang hal yang paling masuk akal adalah justru untuk mencoba menjadi tidak selalu masuk akal".
Terakhir ada kutipan dalam buku ini yang paling saya sukai "Tampaknya saya menjadi menderita karena saya berpikir saya memiliki begitu banyak kompleks tersebut. Sebenarnya pengalaman saya baik-baik saja dan saya yakin ada banyak kebaikan bisa dihasilkan dari pengalaman tersebut."
—ibnufir
110 notes · View notes
rasa-maul · 3 years
Text
Endapkan Dulu
Saya masih belajar untuk memahami bahwa tidak semua pengetahuan yang kita miliki harus kita bagikan kepada orang lain secara tergesa-gesa. Baru dengar sekali, langsung pengin klik tombol 'forward'. Baru baca artikel separagraf, merasa sudah paham lantas buru-buru mem-broadcast. Sulit, memang. Apalagi jika ada rasa cemas akan tertinggal tren. Ampuni aku, Tuhan!
Bahkan terkadang ada dalil yang kita jadikan pembenaran atas sikap tersebut, "Sampaikanlah walau satu ayat." Hadis tersebut sering dilihat dalam konteks dakwah. Lambat laun itu menjadi semacam mindset, lantas tak sedikit orang gemar mem-broadcast informasi hanya dengan modal spontanitas. Padahal menurut penjelasan ulama yg saya baca/dengar, hadis itu membahas penerusan informasi dari Rasul.
Rasul meminta para sahabat yang hadir untuk meneruskan wahyu yang disampaikan Rasul kepada sahabat yang tidak hadir. Hadis itu bukan perintah agar kita berdakwah/menyampaikan sesuatu hanya dengan modal satu ayat atau pemahaman yang minimum. Karena itu dalam kitab Bukhari, hadis itu tidak masuk dalam Bab Dakwah, tetapi dalam Bab Bani Israil. Kenapa Bani Israil? Karena ternyata ada lanjutannya. Hadisnya terpotong di kata 'ayat'. Selanjutnya, hadis itu membahas tentang Bani Israil.
Tumblr media
Saya mengagumi bagaimana cara alam semesta ini bekerja. Dan, saya belajar banyak dari proses pemupukan. Bahwa untuk menjadi pupuk kompos yang baik, kotoran hewan atau sampah dapur pun mesti melalui proses fermentasi, diendapkan beberapa waktu bersama bakteri pengurai. Setelah itu, barulah ia bisa menjadi jadi zat yang berguna bagi tanah dan tanaman. Tanpa fermentasi, ia hanyalah "sampah", bukan?
Barangkali demikian pula pengetahuan yang kita miliki. Kita perlu mengendapkannya terlebih dahulu sebelum membagikannya. Beri waktu agar kebijaksanaan dalam diri kita memproses pengetahuan tersebut lebih lama dan lebih mendalam.
Dengan begitu, semoga perasaan "Akulah yang pertama tahu" serta misinformasi yang begitu marak terjadi hari ini bisa kita hindari. Dan, kita benar-benar menikmati pengetahuan yang berkualitas, bukan sekadar cepat dan banyak, pengetahuan yang menggugah lebih dalam, jauh dari pamer sensasi dan emosi belaka.
Pemikiran dan tulisan ini juga salah satu hasil pengendapan itu. Semoga ada manfaat yang bisa diambil.
349 notes · View notes
rasa-maul · 3 years
Text
Bisakah penerimaan hati kita seluas langit? Agar nantinya bila kita bertemu dengan suatu hal yang tidak kita sukai, kita dapat menempatkannya dengan lebih lapang. Bila nanti kita bertemu dengan suatu hal yang kita sukai, kita dapat lebih mensyukurinya dengan lebih tenang.
Bisakah pikiran kita sejernih embun pagi? Agar nantinya pilihan yang kita ambil adalah murni dari hati, bukan dari kontaminasi. Agar nantinya jalan hidup yang akan kita jalani lebih manusiawi, tidak terlalu menyiksa diri dengan target capaian duniawi, melainkan juga untuk bekal setelah wafat nanti.
Bisakah kata yang kita ucap selembut tetes air? Agar nantinya setiap kata dapat lebih bermakna, agar nantinya setiap orang yang mendengar tak ada yang tersakiti hatinya.
Bisakah diri kita berkata apa adanya, bukan ada apanya. Setidaknya jujur pada diri sendiri untuk menjadi versi terbaik dari apa yang kita yakini.
Bisakah?
El Isbat | Bogor, 9 Februari 2020
767 notes · View notes
rasa-maul · 3 years
Text
Puasa Hari 5
Kemarin lupa belum menulis, jadi menulis sekarang. Saya menemukan sebuah pelajaran berharga dalam riset-riset kepenulisan saya :
Salah satu kendala terbesar pertumbuhan kita adalah lingkungan. Dan ini, kutemukan di banyak sekali orang pada saat melakukan riset untuk penulisan cerita-cerita. Tapi, bukannya kemudian tersadar dan bergegas meninggalkan lingkungan tersebut tapi justru merasa sangat nyaman di sana. Kalau dalam istilah psikologi ada namanya Trauma Bonding, lebih ekstrem lagi Stockholm Syndrom atau Cycle of Abuse. Silakan teman-teman pelajari teori dari masing-masing istilah tersebut.
Istilah dalam psikologi tersebut saya buat menjadi sebuah penjabaran yang lebih general, karena ketika belajar teori dari istilah-istilah itu, saya melihat sebuah gambaran yang lebih luas mengapa seseorang, ketika sudah tahu bahwa mereka berada di tempat yang tidak membuat mereka berkembang, menahan mereka, membuat pikiran mereka tidak terbuka, tapi mereka tidak bisa, tidak berani, dan bahkan tidak mau meninggalkannya padahal jelas-jelas itu adalah alasan terbesar dari seluruh masalah hidup yang selama ini dikeluhkannya. Seringkali, saya dapati bahwa solusi dari masalah seseorang itu “sesederhana” perluas pertemanan, bertemanlah dengan orang-orang yang punya pemikiran lebih baik, cari lingkungan yang benar-benar bisa memberikan kita dampak terhadap cara berpikir, cara berperilaku, dan dorongan yang kuat untuk tumbuh. Karena, sempit dan kecilnya cara berpikir tersebut membuat semua permasalahan hidup terasa menjadi sangat berat karena minimnya referensi dan pengetahuan. Bahkan, ditekan oleh lingkungan yang seolah-olah membuat penilaian benar dan salah atas tindakannya. Sehingga membuat orang takut untuk berpikir karena takut salah. 
Ketidak mampuan membuat keputusan, menganalisa risiko, memahami sebuah masalah dengan memahami konteksnya, berkomunikasi, memahami struktur masalah dan mencari akar masalah, menyusun strategi,  bernegosiasi, dan semua kemampuan yang semakin dibutuhkan saat kita dewasa itu tidak bisa berkembang karena berada di lingkungan tumbuh yang salah.  Tapi, pada akhirnya selama saya riset pun. Saya menyadari bahwa, ada saat dimana ada orang minta tolong, kemudian saya berikan semua jawaban terbaik, tapi dia sendiri tidak mau melakukan jawaban itu. Apakah saya akan tetap membantunya? Tidak. Apakah saya bersikap jahat?
Analogi ini semoga tepat: Ada seseorang mau tenggelam di laut kemudian saya lewat dengan kapal, kemudian saya lempar tali beserta pelampungnya agar dia bisa saya tarik, Tapi justru dia sendiri yang memotong tali dan membuat pelampung tersebut bocor.  Dalam hidup ini, kita tidak bisa menolong semua orang. Tapi, kita bisa menolong orang yang memang mau ditolong. Akan kamu dapati nanti, orang yang mungkin justru menjadi ketergantungan denganmu saat kamu ingin menolongnya tapi dia sendiri tidak berniat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Dia justru merepotkan hidupmu, membuat hidupmu terus dihantui perasaan bersalah kalau tidak membantunya.  Dari pelajaran berharga selama riset ini, saya jadi memahami kapan saya harus menolong orang dan orang seperti apa yang memang bisa ditolong hidupnya. Jadi ini juga menjadi pertanyaan refleksi untuk diri kita sendiri, apakah kita mau menolong diri kita, menyelamatkan diri kita dari semua masalah yang sedang kita hadapi, dari kemalasan, dari sempitnya cara berpikir, dari sedikitkan teman-teman yang baik, dari keterkungkungan hidup yang selama ini kita keluhkan? Barangkali, selama ini begitu banyak orang yang sebenarnya ingin membantu kita tapi urung karena kita sendiri terlihat tidak berminat dan enggan bergerak untuk menyelamatkan hidup kita sendiri.  ©kurniawangunadi
331 notes · View notes
rasa-maul · 3 years
Text
Puasa Hari 3
Kegelisahan kita bisa menjelma menjadi tindakan-tindakan yang tak kita sadari. Kita seolah bergerak tanpa kendali, karena tindakan kita dikendalikan oleh asumsi dan ketakutan kita.  Ketakutan itu membuat kita bisa bertindak irasional. Dalam banyak hal, pernikahan, pertemanan, pekerjaan, dan lain-lain. Pernah tidak, kalian mengaudit apa saja hal-hal yang kalian takutkan. Dan sebenarnya, dari semua daftar ketakutan itu, mana yang bisa kalian kontrol dan tidak. Mana yang bisa diatasi dengan memiliki ilmunya, atau memiliki relasi. Seperti orang yang takut tidak bisa mengatur pendapatannya. Bukankah sesederhana belajar ilmunya. Tapi, proses untuk membuat orang bisa belajar ini juga tidak mudah. Bahkan, untuk seseorang memahami apa yang harus dia pelajari untuk hidupnya saja ada yang tidak tahu. Tidak tahu harus belajar apa.
Dan ketakutan itu kan berakar dari ketidaktahuan. Tidak tahu berakar pada tidak memiliki ilmu. Tidak memiliki ilmu disebabkan karena tidak belajar. Jadi, semakin dewasa sebenarnya ketika kita sudah lulus sarjana, “mata pelajaran” kehidupan yang harus kita pelajari justru semakin banyak. Ditambah, tidak ada sertifikat kelulusan.
Buat yang merasa setelah lulus dari sekolah, kemudian merasa hidupnya begini-begini saja. Bisa jadi, itu disebabkan karena berhenti belajar. Tidak tahu bahwa di dunia ini ada banyak hal. Tidak tahu, kalau di kehidupan ini banyak sesuatu yang begitu menarik. Tidak tahu karena tidak mencari tahu. Dan enggan belajar. Tapi, kemudian menggerutu kenapa hidupnya tidak seperti teman-temannya yang lain. Pekerjaannya tidak sebaik teman-temannya yang lain. Bisa jadi akar masalahnya adalah karena kita berhenti belajar. Sekali lagi, coba audit tentang hal-hal apa yang kamu takutkan. Takut menikah, takut dengan kehidupan pasca kuliah, dan sebagainya. Kemudian, isi ketakutan itu dengan ilmu yang cukup. Sehingga kita jadi tahu banyak hal, jadi semakin bersiap akan banyak hal.
Harus mengeluarkan biaya? Biaya yang kita keluarkan untuk belajar itu akan jauh lebih efisien daripada biaya yang akan kita keluarkan saat hidup kita penuh dengan ketidaktahuan dan ketakutan lho. ©kurniawangunadi | 15 April 2021
330 notes · View notes
rasa-maul · 3 years
Text
0 notes
rasa-maul · 3 years
Text
0 notes
rasa-maul · 3 years
Text
0 notes
rasa-maul · 3 years
Text
🌼 Aku sematkan sinar cahaya melalui lorong-lorong buntu. Membawa kidung rindu bersama pusaran bayu. Membisik pilu, menyelipkan sendu. Kita sudah berbeda. Afeksi kau dan aku tak lagi sama.
🔎 Selengkapnya 👇👇
0 notes
rasa-maul · 3 years
Text
🍁 Kembang-kembang kembali bersemedi setelah embun membasahi permukaan. Isyarat rasa telah tersayat oleh belati bersama haru biru sang langit yang tampak kelabu. Bukankah itu pertanda bahwa rasaku dan rasamu hanya sebatas singgah?
🔎 Selengkapnya ada disini 👇👇👇
https://rasamaul.blogspot.com/2020/07/ketidakpastian-dalam-diam.html?m=1
1 note · View note
rasa-maul · 4 years
Text
🌼 Ada kata benci terbesit dalam cinta. Mengalun melodi seraya kau sangat mengagumi. Dalam balutan kata, kau telah menghiasi hari dan hati.
🔎 Selengkapnya👇👇👇
https://rasamaul.blogspot.com/2020/10/semilir-oktober.html?m=1
0 notes