Tumgik
#yusron fuadi
movienized-com · 1 month
Text
Setan Alas!
Setan Alas! (2023) #YusronFuadi #AdhinAbdulHakim #AnastasiaHerzigova #PutriAnggie #HaydarSalishz #WinnerWijaya Mehr auf:
Jahr: 2023 (November) Genre: Horror / SciFi Regie: Yusron Fuadi Hauptrollen: Adhin Abdul Hakim, Anastasia Herzigova, Putri Anggie, Haydar Salishz, Winner Wijaya, Ibrahim Allami, Ernanta Kusuma, Hanung Bramantyo, Banhasir Lumban Raja, Saka Gilap Asa … Filmbeschreibung: Fünf typische Studenten verbringen ein Wochenende in einer typischen alten Villa, nur um herauszufinden, dass sie im Kampf…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
nikkolassaputra · 6 years
Photo
Tumblr media
Yusron Fuadi, Director of Tengkorak Film - From Zero To Hero Kalau kamu ingin bikin film panjang yang bisa menghentikan kamu cuma kamu sendiri Beberapa pekan lalu saya berkesempatan mendatangi JAFF ke-12 di Jogja. Sebuah perhelatan festival film paling berpengaruh bagi perfilman Indonesia. Hadir saat itu seorang sineas muda yang filmnya juga tayang dalam perhelatan tersebut. Teman saya itu bernama Yusron Fuadi, sutradara dari film berjudul Tengkorak. Filmnya lolos seleksi perhelatan JAFF, bahkan masuk dalam Special Gala Screening. Sebuah program khusus yang dibuat oleh pihak JAFF untuk mengapresiasi film Indonesia yang menjadi sorotan utama tahun ini. Hanya ada 2 film yang masuk dalam Special Gala Screening, Tengkorak dan Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran (Carousel Never Stop Turning) karya Ismael Basbeth. Malam itu saya berkesempatan berbincang dengan Pria yang juga dosen UGM yang kerap dipanggil Mas Yos ini, berikut penggalan obrolan penuh kelakar kami; Saya (S): Mas... Yusron Fuadi (YF): heh koe entuk tiketku ora? (eh kamu dapat tiketku tidak?) S: wah gak dapat e.... Mas, film mas masuk JAFF kali ini bahkan masuk dalam special screening juga, tanggapan mas? YF: apa ya.... bahwa film saya itu bukan tipe film (untuk ditayangkan di) JAFF gitu. Pada saat pendaftaran itu berdoa aja, semoga masuk. Jadi sak studio (seluruh studio) termasuk kru-kru ku yang masih muda-muda itu langsung "yeaaaah" waktu film ku dinyatakan lolos seleksi. "Iki tenan ora iki (ini bener apa gak)" "wah iki hoak iki (ah jangan-jangan Hoax aja)" bahkan aku sampai ngecek, kan dapat surat gitu, iki tenanan ora (ini beneran ga sih), soalnya filmku bukan film tematik atau film dengan tema-tema penting gitu. Lalu aku telpon panitianya "ow ya masuk mas". Ya lumayan lah buat batu loncatan gitu. S: tapi dengar-dengar, koreksi kalau saya salah, filmnya mas ini cukup ditunggu-tunggu sama penikmat film YF: ya kalau ditunggu-tunggunya ya ga tahu. Serius aku ga tahu. Aku ngeceknya dimana aku ga tahu (tertawa). Cuma saat online ticketing itu beberapa jam langsung habis. Terutama yang hari pertama. Beberapa hari kemudian pemutaran hari kedua juga habis. S: lalu tanggapan mas? YF: Surealis. Absurd. Ga percaya (tertawa) S: lho koq (tertawa) YF: karena producerku kan masih kecil-kecil ya masih 22 tahun mereka pada panik, ayo gimana caranya nanti kita cari penonton, yang online itu ada yang beli, eh ujung-ujungnya mereka sendiri ga kebagian. Sedih sekaligus aku senengnya bukan main. I'm happy for them. Karena ini bukan film ku saja, ini filmnya 'umat', filmnya orang banyak. S: filmnya rame-rame... YF: Ya filmnya rame-rame. Collective Happiness nya itu lho yang arrrrghhh (menjerit tertawa) S: apa harapannya kedepannya mas? YF: semoga dengan ini aku jadi punya 'bahan bakar' untuk tayang di XXI. Dah itu aja (tersenyum) S: apakah sejauh ini ada kesulitan untuk tayang disana? YF: belum ada sih. Cuman sejauh ini aku belum cukup pede. Tapi melihat respon kemarin (penjualan tiket online) aku jadi agak pede untuk nawarin ke XXI. Entah endingnya kayak gimana. S: berarti masih ada harapan untuk tayang kesana? YF: ada. Aku pingin nawarin film ini ke XXI dan jaringan bioskop regular (tertawa terbahak-bahak). Karena dirimu kan tahu produksinya... S: ya... ya... YF: bahkan tak ada orang perfilman, godfather sekalipun di belakangku (support finansial). Pure our Blood and sweat. S: dan dengan tekad yang kuat begitu YF: ya dengan tekad yang kuat. S: bisa tolong diceritakan sedikit saja filmnya tentang apa, produksinya bagaimana? YF: ini film genre fiksi ilmiah masih agak sedikit di garap di tanah air, premise nya sendiri apa yang terjadi pada umat manusia dan masyarakat, jika kita menemukan fosil kerangka manusia setinggi 2km. Ini bukan film horor. Ini bukan film monster. Tapi aku mengangkat kekacauan seperti apa saat para akademisi tak punya jawabannya. Saat Kyai-kyai juga tak punya jawabannya begitu. S: Premis nya cukup dalam ternyata ya... YF: sebetulnya... iya. Semoga sih filmnya juga cukup dalam (tertawa). S: Produksinya sendiri bagaimana mas apakah ada kendala? YF: aku mulai komit (berkomitmen) menggarap film ini, shooting film ini, tahun pertama itu biayanya cuma dari gaji dosenku 1,8 juta. Perbulan. S: serius mas? Wow... YF: aku Shooting kalau aku punya uang. That's it. Setahun pertama itu. "70% adegan dalam film ini nanti jadinya seperti apa ya mas Yusron?". (Aku jawab) "Ora reti (Ya ga tau)" (sambil tertawa). Cuma memasuki tahun ke 2 menarik beberapa orang yang teracuni dengan semangat kami. Orang-orang penting. Dekan yang "koe ki gawe opo to Yus? Kurang gawean banget (kamu ini sedang buat apa sih Yus? Koq seperti kurang kerjaan sekali)" jadi ya melihat sepak terjang sekaligus kami yang terlunta-lunta dalam membuat film tapi terbukti bahwa tim kami itu tidak terhentikan. Meskipun kru-kru nya hanya dibayar nasi pecel lele (tertawa). S: serius mas hanya pecel lele? (Tertawa) YF: serius (tertawa). Kami tetap jalan. Shooting, edit, shooting, edit. Kalau kamu ga shooting itu berarti kami ga punya uang. S: kalau kita ngomongin soal Budget, kalau mas BW (BW Purbanegara film Ziarah) Budget ditangani dengan membuat dan menjual Merchandise. Kalau Mas yusron sendiri bagaimana? YF: kalau budget tahun pertama benar-benar dari gajiku sebagai dosen, kadang dapat penelitian tak arahkan seputar visual efek atau animasi untuk film itu. Ya lumayan lah dapat 1 scene agak mahalan dikit gitu (tertawa), sementara 70% adegan lain piye ngono (gimana gitu). Tapi setelah kita dibantu oleh pak Dekan Vokasi UGM, kita dikenalkan sama orang-orang yang bersedia ngasih sumbangan untuk membantu kami menyelesaikan film ini. Endingnya budget itu buat bikin set, bikin properti. Karena hanya karena film ini indipenden dan tak ada orang besar di belakang bukan berarti saya nge-cut (memotong) Production Value. Saya ingin film tetap jalan. Kalau pun kita mau shooting di puncak gunung merapi kita akan shooting di puncak gunung merapi. Kalau kita ingin shooting yang menggambarkan Jogja sepi sementara kita ga bisa nyetop jalan kita akan Shooting pada Idul Fitri jam 6 pagi. S: mas ini JAFF ke-12. Bagaimana Mas memandang festival film ini? YF: sebetulnya film pertama ku, film pendek yang judulnya Pendekar Kesepian juga diputer disini. Filmku itu somehow bukan film festival atau film kompetisi. "Yusron film mu terlalu aneh untuk ikut kompetisi sron" (tertawa sambil menirukan), ya terima saja. S: melihat animo malam ini dan JAFF kali ini mas? YF: sebetulnya aku ini orang jogja dan aku harus bekerja di kapal selama 3 tahun sejak 2012 aku kayak orang ga tahu apa-apa gitu lho. Kalau kamu liat disini, aku tuh kayak orang hilang. Aku cuma kenal dia (menunjuk seorang teman). Jadi ya. Seingatku JAFF itu selalu rame sih sudah seperti Jogja punya Artjog itu kan sudah dapat audience nya. Ga usah bingung screening itu nanti ada yg nonton apa ndak. Kalau animonya wes oye (udah bagus). S: ini kalau kita bicara soal film dan JAFF... YF: wah aku ki pingin koe nonton film ku e... S: pasti sebisa mungkin saya nonton. Nonton paling depan ga apa deh (tertawa). Tapi kalau melihat Film, dan sineas muda, apa pesan buat mereka? YF: ini versiku ya, langsung ke film panjang aja ya karena aku sudah mengalami itu, sineas muda itu takut membuat film panjang sebelum nyantrik (dibantu) nama besar, sebelum ada dana besar di belakangnya, Itu gak benar. Kalau kamu ingin bikin film panjang yang bisa menghentikan kamu cuma kamu sendiri. That's it. Bikin film panjang itu cuma butuh dengkul, sama hati, sama kepala. Wes (sudah). Sama teman-teman. Dan jalan. Nanti kalau kamu liat filmku ini bukan film murah lho tapi kayak mahal. Asal otaknya jalan sih... S: dan semua elemen dimaksimalkan... YF: ya dan bersabar. Persistance gitu lho. 3 tahun e. Shooting pertama itu oktober 2014. Shooting terakhir 3 minggu yang lalu (tertawa) S: tapi mas masih berkeyakinan bahwa film ini tetap jalan dan jadi begitu ya YF: ya karena aku dikelilingi anak-anak muda yang mereka ga tahu apa-apa tentang film. "Berarti nanti kita pakai dslr atau handycam gitu ya mas ya?" (Dijawab) "sing penting koe ngewangi aku sik wae (yang penting kamu bantuin aku dulu saja)". Mereka itu kayak anak-anak yang masih polos tapi energinya ga habis-habis dan itu nyalur banget ke aku yang sudah tua. Film ini shooting 127 hari, dan mayoritas mereka ikut selama itu, that's mean... mereka ikut selama lebih dari 100 hari dan tak dibayar. Mencurahkan cinta dan air mata wes (tersenyum). Begitulah Yusron Fuadi sineas muda yang angkat nama lewat film terbarunya berjudul Tengkorak. Filmnya kemudian diganjar 2 kali full theater saat di tayangkan dalam program Special Gala Screening, bahkan meski tiketnya habis terjual para penonton setia mengantri mengular hingga keluar bioskop demi rela duduk lesehan dalam theater. Pada hari screening pertama Yusron secara pribadi ke pada saya mengungkapkan bahwa filmnya lolos seleksi festival film Cinequest di Sillicon Valley San Francisco Amerika Serikat awal tahun depan. Sebuah perhelatan festival film besar di negara tersebut. Ini lah bukti kegigihan Yusron Fuadi yang memulai filmnya dari cita-cita, tekad, dan situasi budget filming yang minim, dan kecintaan akan Star Wars saga film favoritnya. Semoga Tengkorak berjaya di Cinequest dan dapat mengharumkan nama Indonesia dan perfilman tanah air. View on Path
0 notes
geekiary · 5 years
Photo
Tumblr media
Tengkorak has the right and amazing idea, but unfortunately, the execution suck bad time. Yusron Fuadi clearly has the great plot in his mind, but he... lack of finesse if I may say. It's not neat at all. At first I thought it's gonna be like Cloverfield, but halfway, it changed again. 
The most important thing about scifi is make-believe. This movie failed at that part too. What the movie told makes sense, but I still can't believe it. That's the thing. It feels rushed, and probably Yusron hasn't done enough research to back up all the scientific things. 
But that's also probably because of the low budget or limited time frame. But anyway, I like it and hopefully there will be more like this.
0 notes
kafikhaibar · 6 years
Text
Tengkorak: Oase Alat Peraga dan Semangat Anak Muda
Menonton “Tengkorak” bagi saya adalah sebuah pengalaman warna-warni dan agak manis-pahit. “Tengkorak” mengingatkan saya pada pengalaman membuat beberapa film pendek sewaktu berkuliah, yang meski belum berkesempatan menjadi penulis naskah utama (karena kurang berbakat dan ide saya seperti Leonardo da Vinci pada masanya) namun dapat memberikan gambaran “DIY” (do it yourself, bukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana latar film terjadi) pada proses pembuatan film dan bagaimana saya menulis esai.  Seseorang pernah bilang, ketika saya menulis esai resmi, seringkali saya melontarkan ide atau satu kalimat yang terkesan penting tapi kemudian tidak dibahas lagi. Lalu buat apa ditulis dari awal? Namun untungnya saya merasa sering mengakhiri esai dengan cukup spektakuler hingga pembaca lupa keporak-porandaan tulisan yang baru saja mereka baca.
“Tengkorak” adalah satu dari sedikit sekali film Indonesia yang berhasil membuat saya penasaran dan benar-benar gelisah karena takut kelewatan. Bahkan satu-satunya dalam kurang lebih satu tahun ke belakang. Terakhir adalah “Marlina” pada November 2017 yang mana saya sudah mengantisipasi film tersebut sejak lama sekali. Dan kebetulan, lagi-lagi seseorang yang sama, juga merasakan semangat yang sama. Film itu sekaligus jadi film pertama yang kami tonton sama-sama di bioskop. Disertakan dengan diskusi yang mengesankan dan mengenyangkan setelah nonton. 
Kali ini, “Tengkorak” berhasil membawa saya ke Jatinangor malam-malam sendirian, karena hanya di kota mahasiswa itu lah “Tengkorak” ditayangkan. Saya berpikir kalau mahasiswa memang target utama dari film ini. Menaruh film Indonesia yang tidak terlalu populer di bioskop kota besar tidak akan menarik jumlah penonton sebesar film Bruce Willis dan Crossbones. Meski karena sendiri, saya hanya bisa memperhatikan segerombolan mahasiswa yang kebetulan nonton tengah malam bersama saya keluar dari bioskop.
Saya takjub dengan atmosfer dan visual yang dimunculkan sejak opening shot menggunakan drone. Dihias dengan tata huruf yang menarik, film ini menggunakan teknik malas bercerita menggunakan gambar, dan menjelaskan kepada penonton latar cerita yang akan kita nikmati menggunakan teks dan teks dan teks yang mungkin dinilai dramatis dan documenter-like sementara ada pihak yang menganggap itu haram. Film dilanjutkan dengan fake footage dan synthesized interview (istilah mengada-ngada). Agak terlalu lama. Saya sampai sempat berpikir kenapa tidak sekalian saja dibuat dokumenter pura-pura. Sekalian terobosan.
Beberapa adegan tampak mengganggu dan tidak masuk akal. Dan tentu ditemui juga ragam dialog Bahasa tulisan menjadi lisan yang lagi-lagi menjadi masalah film Indonesia. Saya tentu keji karena mengkritik film lokal dengan pengetahuan sekedarnya, boro-boro bisa bikin film seperti ini. Tapi orang aneh mana yang mau ikut dengan lelaki yang membunuh seseorang depan kamarnya lalu senang-senang saja sepertinya motor-motoran keliling Jogja. Masih untung dikasih waktu untuk cuci muka. Ditambah lagi komponen cerita yang berlubang. Pada umumnya disebut “plot holes”, namun bagi saya hanya sebuah produk akibat menihilkan nongkrong. Andai kata skenario tersebut dioper ke teman-teman (yang kritis) sambil nongkrong lalu diobrolkan niscaya hal-hal ini tidak terjadi. Seperti ketika saya membaca tentang writer’s room “Breaking Bad”, “Better Call Saul”, atau “Game of Thrones” dan seantero MCU, niscaya sebanyak mungkin permutasi cerita akan dibahas dan tingkah karakter yang tidak masuk akal akan ketahuan oleh tim penulis yang ramai. Writer’s roomnya “The Walking Dead” mungkin kebakaran. Tapi orang-orangnya masih di dalam.
Di luar dialog canggung para kaukasian berlogat agak Jawa, aktor baru, dan sutradara keren yang saya pahami hasratnya untuk ingin jadi aktor juga, aktingnya tidak lah sebermasalah dialog dan skenario yang kurang nongkrong itu. Meski belum setingkat Fachri Albar di akhir “Pengabdi Setan” yang membuat saya paham bahwa akting seharusnya seperti apa.
Saya sangat suka dengan detail-detail produksi “Tengkorak”. Juga warna, tata kamera, dan gimmick. Maka dari itu mungkin banyak yang bilang kalau sebaiknya sekalian jadi film dokumenter saja, karena jika memang dikemas seperti “Blair Witch Project”, niscaya ada saja oknum penyebar hoaks yang bilang kalau film ini dokumentasi kejadian nyata di era SBY-Pakde Jokowi-Kang Emil. Jika saya harus memberi nilai 1 dari 10 untuk semangat film-making Yusron Fuadi dan teman-temannya, maka saya akan memberikan nilai A+. Daripada si Sableng bulan lalu yang cuma jualan gambar dan aktor ganteng.
Terima kasih sudah membuat film ini dan memberikan saya banyak perspektif dan renungan baru. Sungguh testimoni “Make believenya dapet” dan “Mindblowing ending” dari orang-orang tentang film ini adalah benar adanya. Meski memang segitu saja. Nanti bikin lagi yang lebih kokoh dan rapi. Saya pasti dukung dan memberi kritik yang membangun. Semoga saya juga lebih kaya jadi saya borong tiketnya. Kalau lebih kaya lagi saya produseri semuanya. Saya senang nonton ini.
1 note · View note
Text
Proyek Tol Pasuruan Probolinggo Ambruk, 1 Pekerja Tewas-koranmemo.com
New Post has been published on http://koranmemo.com/proyek-tol-pasuruan-probolinggo-ambruk-1-pekerja-tewas/
Proyek Tol Pasuruan Probolinggo Ambruk, 1 Pekerja Tewas
Pasuruan, koranmeno.com – Proyek jalan tol Pasuruan-Probolinggo (Paspro) menelan korban jiwa dan materi. Pasalnya balok jembatan yang sedianya akan dipasang ambruk, pada hari Minggu 29 Oktober 2017, sekitar pukul 09.30 WIB.
Informasi yang berhasil dihimpunkoranmemo.com menyebutkan,  bangunan yang terletak di Desa Cukur Gondang Kecamatan  Grati Kabupaten Pasuruan, tepatnya di proyek tol Pasuruan -Probolinggo (Paspro) KM 405 mengalami kecelakaan  pada saat pemasangan blok jembatan yang mengakibatkan satu orang meninggal.
Salah seorang karyawan PT.Waskita yang namanya tidak mau disebutkan menuturkan kronologisnya, pada hari Sabtu pukul 07.00 sampai dengan pukul 05.00 WIB, dari PT.Waskita  selaku pengelola proyek telah selesai melakukan pemasangan Balok Jembatan dengan ukuran lebar 2 meter dan panjang 50 meter  sebanyak 3 pasang, namun belum dilakukan pengeleman.
“Selanjutnya pada hari Minggu pukul 09.00 WIB, dari PT Waskita dilakukan pemasangan balok ke 4 dengan menggunakan kerai dan pada pukul 09.30 WIB pada saat berlangsung pemasangan balok ke 4 terjadi kecelakaan dengan runtuhnya balok jembatan yang diduga penyangga dan balok ukuran lebar 2 meter dan panjang 50 meter belum dilakukan pengeleman,sehingga terjadi sleding  dan menimpa 1 orang karyawan  PT.Waskita. “Selanjutnya dillakukan evakuasi korban matrial dan personil,” ungkapnya.
Lebih lanjut dikatakan, pukul 11.00 WIB kegiatan evakuasi selesai detemukan 1 orang dari karyawan PT.Waskita meninggal dunia selanjutnya korban dirujuk ke rumah sakit  Dr. Soedarsono (Purut) kota Pasuruan.
Dari kejadian tersebut diperkirakan kerugian material 4 unit balok ukuran lebar 2 meter dan panjang 50 meter jatuh dan retak pada Tol KM 405 Kec Grati kabupaten Pasuruan. Sedangkan korban jiwa 1orang karyawan Waskita meninggal dunia. “Masih dilakukan identifikasi oleh pihak Polres Pasuruan di Rumah Sakit Purut Kota Pasuruan,” pungkasnya.
Hingga berita ini ditayangkan Polres Pasuruan masih belum bisa dikonfirmasi lebih lanjut. Menurut anggota Satreskrim Polres Pasuruan saat  masih melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait insiden ambruknya blok jalan tol tersebut.
Reporter: Yusron Fuadi
Editor: Achmad Saichu
0 notes
seputarbisnis · 7 years
Text
Yogyakarta Bikin Film Tengkorak yang Dikaitkan dengan Gempa 5,7 Skala Richter
Yogyakarta (SIB) -Mungkin ini peristiwa mengejutkan. Sekelompok anak muda yang dikoordinasi dosen muda Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta membuat film panjang bergenre fiksi sains. Fiksi sains adalah film berlatar ilmu pengetahuan, yang di Indonesia jarang menjadi lirikan produser. Bukan hanya pembuatan naskah yang membutuhkan kedalaman intelektual, melainkan orientasi pasar masih menjadi titik yang berat dalam pembuatan film nasional. Yusron Faudi, dosen muda itu, menyatakan, film yang dia kerjakan itu berjudul Tengkorak, film berlatar belakang arkeologis.  Cerita fiktif berlatar belakang ilmu pengetahuan ini mengambil Pulau Jawa sebagai tempat kejadian peristiwa. Cerita film itu bermula dari ditemukannya fosil tengkorak lengkap dengan tubuhnya dengan ukuran fantastis. Berukuran panjang 1.850 meter dan diperkirakan tingkat ketuaan tengkorak itu sekitar 170.000 tahun. Tengkorak spektakuler ini ditemukan di daratan Jawa ketika terjadi gempa berkekuatan 5,7 Skala Richter. Dua dekade berikutnya pemuka agama dan ahli ilmu pengetahuan masih bingung dan berdebat setelah melakukan penelitian atas temuan tengkorak itu. Terjadi dilema besar, membeberkan atau menyembunyikan temuan itu kepada masyarakat. Sementara pemerintah membangun Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT) yang kontroversial karena ada tekanan dari dunia luar, yang berharap merahasiakan temuan besar itu. Di tengah problematika yang berkembang, hadir seorang gadis bernama Ani (Eka Nusa Pertiwi) yang magang kerja di BPBT terjebak situasi yang mengharuskannya mengungkap misteri itu dan memberitahukan kepada dunia bahwa tengkorak dengan segala misterinya itu benar-benar ada. Pengungkapan itu makin menimbulkan problem besar. Itu pula yang membuat Ani harus berurusan dengan dua tokoh misterius dengan kepentingan mereka masing-masing bernama Yos (Yusron Fuadi) dan Lt Jaka (Guh S Mana). Akhirnya, BPBT dibubarkan dan bukit tengkorak diledakkan. Peninggalan purba pun musnahlah sudah. Yusron Fuadi selaku pembuat skenario sekaligus sutradara mengatakan, film layar lebar ini modal nekat dan ketekunan. "Dua setengah tahun kami membuat film ini. Di samping menginginkan kematangan dalam penggarapan sinematografi dan konten film ini digarap secara swadaya yang selalu menunggu perolehan dana," ujarnya. Untuk pembuatan film itu, Yusron harus merelakan gajinya selama satu setengah tahun.  Dukungan dari sponsor yang sekali-kali diperoleh bisa menjadi penyambung penggarapan film ini, termasuk sewa peralatan biaya film ini. Kemungkinan telah menelan biaya lebih dari Rp 1 miliar. "Untung saja peralatan kami banyak dibantu Sekolah Vokasi UGM. Bantuan mahasiswa juga banyak menolong proses pembuatan film ini. Karena itu, boleh dibilang film ini digarap dosen dan mahasiswa Sekolah Vokasi UGM," kata Yusron. Film itu ditargetkan menjadi film yang menyuguhkan tawaran alternatif tontonan kepada masyarakat, khususnya penikmat film Indonesia. Selain itu, Yusron juga berharap film ini dapat menunjukkan kepada dunia bahwa negara Kita Indonesia telah mampu menciptakan film fiksi sains dengan isu relevan. Dalam pengertian itu, Yusron sengaja ingin memberi tawaran sekaligus menantang, "Beranikah dunia perfilman Indonesia menciptakan film yang berpijak pada fiksi sains," katanya. Mencipta karya film semacam ini memang bukanlah persoalan gampang. Sumber daya orang film dengan kedalaman intelektualnya merupakan tantangan sendiri. Ketergantungan orang-orang film pada dana juga merupakan pergulatan tersendiri dalam penciptaan film-film alternatif. Pada akhirnya adalah bagaimana membangun idealisme orang-orang film. Realitasnya, sebagian penduduk Indonesia menikmati film dengan genre fiksi sains meskipun negara kita tidak banyak memproduksi film ini. Ketika masyarakat beranggapan fiksi sains hanya seputar alien, laser, atau robot, ada beberapa karya terbaik bergenre fiksi sains yang mengangkat tema mengenai kemanusiaan atau tabiat manusia ketika menghadapi teknologi. Film Star Wars, misalnya, tidak melulu membuat cerita tentang robot, alien, dan angkasa, tetapi juga mengenai kehidupan seorang samurai.  Begitu juga dengan film Districs 9 yang membahas sistem pemisah atau diskriminasi atas dasar ras. Akhirnya, hanya persoalan keberanian, bagaimana edukasi sains itu mampu tertransformasikan dalam jagat film nasional.  Ini terpulang pada kemampuan kalangan film Indonesia bagaimana membangun intelektualitasnya menyerap segala ilmu pengetahuan, di balik pengetahuannya tentang sinematografi. Persoalan lain bagaimana penyandang dana yang selama ini mendanai produksi film-film nasional kita sadar untuk memperhatikan produksi bergenre fiksi sains. Film berbasis fiksi sains bukanlah karya di awang, yang dianggap tidak punya pasar, dalam kancah perfilman kita. Persoalannya hanya terletak pada idealisme, sejauh mana kita akan membawa wajah film nasional.  Atau dalam ungkapan lain, haruskah film-film alternatif, seperti fiksi sains, digarap oleh orang-orang "pinggiran" yang tertatih-tatih membangun kerinduannya. Eddie Cahyadi, pengajar film dan sutradara film Siti yang memenangi Festival Film Indonesia, menyatakan, kekuatan fiksi sains dalam film perlu mendasarkan imajinasi sains. Bisa tentang luar angkasa, perjalanan menembus waktu, robotik, dan lain-lain. Untuk membangun imajinasi seperti itu dibutuhkan daya nalar dan daya pikir yang kuat. Apakah karena itu, kata Eddie, jumlah film fiksi sains di Indonesia tidak banyak. "Ya kita dulu pernah menyaksikan film Warkop DKI judulnya Manusia 1 Juta Dolar. Itu fiksi sains yang dibalut komedi," katanya, seperti ditulis Tjomas Pudjo Widijanto di Kompas.Com, Senin (6/2). Tanpa meragukan kemampuan ilmu pengetahuan kalangan perfilman nasional, Eddie menyatakan beratnya pembuatan film itu bagaimana membangun sebuah imajinasi atau fiksi yang tetap mengacu dari teori sains. Film Tengkorak barangkali sebuah keberanian eksperimen yang berangkat dari pemikiran akademisi yang mencoba ingin keluar dari film mainstream, yang sampai sekarang belum banyak dilakukan orang film sendiri. (T/R9/h) http://dlvr.it/NJps5f
0 notes
mekitron · 8 years
Text
Pendekar Kesepian
Yusron Fuadi
Ini baru talking picture! It’s all talk--in a good way. Apa kesimpulan dari diskusi yang melibatkan empat mata angin pendapat (satu bisu) tentang kenthu, patriarki, dan alien? Film ini penuh dengan lelucon-lelucon plesetan yang lucu, tapi juga sering terpeleset ke dalam sudut pandang heteronormatif yang klise. Karakter-karakternya kadang menjadi sekedar talking heads daripada karakter yang utuh. Namun film ini digarap dengan sangat rapi, dan masih menyisakan kemungkinan bahwa keheteronormatifan dan kekliseannya adalah potret (menyedihkan) Gen (WH)Y(ME?) sekarang.
1 note · View note
nikkolassaputra · 6 years
Photo
Tumblr media
Tengkorak Yos: Nak kalian arep ngomongi aku mending pindah ke atas wae, aku arep ngising iki wes sangu kopi (Kalau kalian tetap mau bicarakan aku, mending pindah ke atas saja. Aku mau buang air besar, ini udah bawa bekal kopi) Fyi, film ini dikerjakan sejak tahun 2014 dan pengambilan gambarnya baru berakhir beberapa minggu sebelum film ini tayang perdana di 12th JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) 2017 lalu, dan Yusron Fuadi selaku Sutradara dan penulis naskah sudah memastikan film ini akan bersaing dalam perhelatan Cinequest Film Festival februari 2018 mendatang di San Francisco. Salah festival film besar di Amerika. Imho, Mind Blowing! Sebuah suguhan fiksi ilmiah yang memadukan Mockmentuary, dengan sentuhan dan sudut pandang yang kreatif. Cerdas! Sesaat setelah gempa besar meluluhlantahkan Jogjakarta sebuah fosil kerangka manusia ditemukan di sebuah desa dekat episentrum gempa. Namun fosil itu bukanlah fosil biasa. Itu adalah fosil manusia raksasa sepanjang 1,8km yang menjadikan fosil manusia paling besar yang pernah ditemukan sepanjang sejarah manusia. Waktu berjalan dan situs prasejarah itu dinobatkan menjadi Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT). Seorang gadis muda bernama Ani kemudian di buru oleh kelompok misterius saat ilmuwan-ilmuwan BPBT dinyatakan meninggal dunia karena terbunuh. Sesaat Ani akan dibunuh munculah seorang pemuda misterius yang mencoba menolongnya dan mengungkap apa misteri pembunuhan-pembunuhan, dan makna munculnya Tengkorak raksasa ini. Berhasilkah mereka mengungkap takbir misteri ini? Film besutan sutradara muda bernama Yusron Fuadi ini pertama kali tayang dalam Gala Special Screening perhelatan JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival) tahun 2017 lalu dan menyedot animo sangat besar. Antriannya mengular hingga ke luar bioskop. Selain duduk di bangku sutradara, Yusron Fuadi juga meramu naskah film ini, dasarnya adalah kecintaan ia pada dunia fiksi ilmiah, dan Star Wars saga. Film bergenre Sci-fi/Fiksi Ilmiah ini boleh dibilang menjadi film cukup dinanti sejak kurun waktu 2 tahun belakangan ini. Pasalnya cerita dibalik pembuatannya yang terbilang unik kadung terdengar di telinga para penikmat film tanah air dan menjadi incaran tersendiri. Sayang film ini baru selesai di tahun 2017 akhir jelang perhelatan JAFF ke-12. Mari kita bahas ceritanya lebih detail tanpa harus membeberkan sejumlah poin utama cerita atau spoiler. Yusron Fuadi secara eksplisit mengatakan bahwa Star Wars dan cerita-cerita islami menjadi inspirasi pembentukan cerita film ini. Namun menariknya tak hanya itu. Yusron juga melengkapi dengan sejumlah Mockmentuary yang berusaha mencekoki alam bawah sadar penonton sejak 15 menit pertama. Bayangkan, 15 menit pertama anda disuguhkan sebuah sajian khas dokumenter yang membuat anda takjub sekaligus harus mengernyitkan dahi kala anda kemudian mulai mempertanyakan eksistensi tema cerita yang dibawakan film. Mulai dari skema ukuran, hingga wawancara-wawancara para ahli lengkap dengan penggalan-penggalan berita yang sebagian terlihat asli dan sebagian terlihat untuk kebutuhan film. Namun itu jelas sudah akan mengubah alam bawah sadar anda. Luar biasa. Yusron meramu cerita memang dengan tempo sedikit lambat, berbeda dengan film kebanyakan yang 'pace' nya pasti dan terarah, Yusron malah menyuguhkan kebutaan saat penonton mulai menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi dengan masalah ini, atau kenapa mereka harus dibunuh/diburu, atau bagaimana para karakternya bisa saling terhubung dengan tiba-tiba. Namun Yusron tak mau memanjakan penonton. Ia mengembalikan kembali pertanyaan-pertanyaan itu dijawab penonton sendiri, liar imajinasi penonton malah membuat film ini terasa nikmat. Memang hal itu malah bagi sebagian memberikan lubang-lubang kecil di sepanjang film. Tapi tak masalah karena babak konklusi akhir yang Yusron suguhkan akan membuat penonton mengerti kenapa Yusron tak mengumbar jawaban-jawaban tadi secara gamblang. Film ini terasa urban sekali. Ini dapat dilihat dari gaya tutur dialog yang di ketengahkan para karakternya. Bahasa yang digunakan jelas Indonesia dengan sentuhan bahasa jawa. Bahkan joke-joke nya pun terasa sekali Jogja. Apakah akan terasa garing di telinga penonton luar? Saya rasa tidak juga. Hal ini malah membuat film ini terasa berbeda sekali dari film kebanyakan. Ia lebih menonjolkan sendiri ke-Jogjakarta-annya, seakan melihat film sci-fi semisal Cloverfield namun dengan khasanah lokal. Menarik dan tak terbayangkan. Dari segi akting saya rasanya harus berdiri dan memberikan applause riuh untuk ketiga pelakon nya. Eka Nusa Pertiwi, Guh S. Mana dan Yusron Fuadi sendiri berperan sangat apik. Eka Nusa yang berperan sebagai Ani menjadi perwakilan akan ketidaktahuan, kebutaan, keingintahuan, dan kebingungan yang dirasakan oleh penonton. Ia melebur memberikan penampilan apik dan menawan sepanjang film. Wajahnya yang segar dan terkesan bersahabat nan familiar seakan membuat film ini terasa hidup dan terkesan seperti "ini bisa saja terjadi di dunia nyata". Ia yang memang seniman tari dan teater dengan mudah menghidupi karakternya. Guh S. Mana adalah seorang seniman kerajin seni seperti lukis, ukir, dan pematung, disini ia malah memerankan (Purn) Kolonel Joko dengan sangat natural. Tak ada kesan terlalu berlebihan, atau dibuat-buat, semuanya terasa natural dan alami ditangan Guh. Sementara Yusron yang selain menyutradarai film ini juga berperan sebagai laki-laki misterius bernama Yos, mengawali debut aktingnya dengan sangat baik. Tak ada persona layaknya James Bond yang parlente, atau Ethan Hunt yang diperankan Tom Cruise yang berpikiran cepat, analitis, dan mempesona, sedang Yos terbalik dari itu. Yusron meramu karakter Yos ini dengan sangat menarik. Ia slengean, urakan, smoke addict, terkesan compang camping dengan hanya mengenakan celana pendek saja. Belum lagi sikapnya yang tukang bercanda hampir disegala situasi membuat film tak terasa garing bahkan di momen-momen tertentu terasa menggelitik. Sebuah persona yang menarik yang jarang ada di film Indonesia, atau bahkan Hollywood kebanyakan sekalipun. Belum lagi ditambah dialog yang natural. Pas sekali. Overall, film ini jelas sekali film yang tak rugi untuk dinanti. Suguhan tema dan ceritanya yang jarang di Indonesia menjadi bukti bahwa film ini adalah oasis ditengah kemajuan perfilman Indonesia yang masih dipenuhi beberapa genre saja. Secara pribadi saya memberikan nilai 8,5 untuk apa yang Yusron suguhkan. Saya menikmati sekali sajian cerita hingga karakter-karakternya. Belum lagi ending yang terkesan 'Mind Blowing' membuat saya dalam hati harus mengatakan "asem arahnya kesana" kepadanya, sedang lubang-lubang cerita dan hubungan antar karakter yang masih kurang yang terkesan saya catat-catat terus dalam benak sepanjang film bergulir mampu terkikis. Sebuah sajian yang tak biasa, menggelitik, dan tak terduga. Sukses di Cinequest Film Festival di Sillicon Valley tahun depan kawan. Saya yakin kamu berhasil :). Nikkolassaputra.tumblr.com View on Path.
0 notes