"Sudahlah, aku masih harus kerja besok, sebaiknya aku cepat tidur."
Aku pun menutup mataku.
…
Aku membuka mataku lebar-lebar, tapi tidak bisa melihat apa-apa.
Aku membuka mulutku, tapi tidak bisa bicara.
Kegelapan menghentikan segalanya.
Aku tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak, tidak bisa berpikir, dan tidak bisa memastikan keberadaanku.
Di sekeliling begitu bunyi hingga seperti membeku, keheningan menyakiti telingaku.
Nafas terasa begitu berat, tenggorokanku terasa tersendat, paru-paruku tertekan dan membuatku hampir mati lemas.
Anehnya, aku tidak merasa sakit sama sekali, atau ada dorongan untuk berjuang.
Aku yakin tanpa adanya keragu-raguan -- bahwa inilah wujud asli dari dunia ini.
Di dunia seperti ini, orang hidup atau mati tidak ada bedanya sama sekali semuanya... Tidak ada bedanya...
Aku terjatuh ke tanah, dan terengah-engah.
"Uhuk, uhuk… Di mana ini?"
Aku mengangkat kepalaku, dan seketika itu juga pikiranku melayang.
Ada bangunan raksasa yang jauh di luar pemahamanku, melebihi akal sehatku.
Koridor yang rusak terpelintir menjadi bentuk yang aneh dan terbentang ke depan pilar batu yang tidak beraturan terukir dengan simbol-simbol aneh.
Jauh di ujung koridor, ada gerbang kuno yang tidak bisa dikenali, benteng yang suram seakan memancarkan kehebatannya.
Ada bayangan menakutkan di jendela puncak benteng, nyanyian yang samar-samar dan tidak koheren terdengar dari jendela.
"Ini adalah… Teater?"
Hampir di saat yang sama aku berkedip, begitu banyak boneka tiba-tiba muncul dan melangkah dengan kaku ke teater.
Tubuh boneka terbungkus benang transparan yang tak terhitung jumlahnya, benangnya tergantung dari atas langit, seolah-olah ada tangan besar tak terlihat yang mengendalikan semua ini.
Dan diantaranya boneka-boneka itu, tiba-tiba aku melihat wajah yang kukenal --
Teman sekelasku, teman sekamarku, dan bahkan profesorku...
Seperti boneka lainnya, mereka bergerak maju perlahan dengan kepala menunduk.
"Eh, tunggu, sebenarnya apa yang terjadi…"
Aku berteriak dan mencoba berlari ke arah mereka, tapi sesuatu menghentikanku untuk bergerak.
Aku melihat ke kakiku, dan menemukan ada benang transparan tipis panjang yang mengikatnya.
"Ah, ternyata ini yang sebenarnya terjadi…"
Akhirnya aku mengerti segalanya.
"Hahahaha, hahahaha, hahahaha!"
Terdengar suara terbahak-bahak dari mulutku, meski itu bukan suaraku. Tapi apa bedanya?
Sudah berakhir.
Semuanya sudah berakhir.
Dunia ini,
Aku yang begitu kecil dan hidupku pun mencapai akhirnya.
Hanya karena tak bisa berenang, jangan memaksaku berhenti menyukai Lautan. Aku bisa melihatnya, aku bisa menyentuh lembut ia di pinggiran dengan liukan jemari, ia pun membalas sentuhan dengan lebih bingar.
Kakiku bisa mencium pasir-pasir yang lembut. Jauh dari lautan dalam, aku sudah tenggelam oleh kerinduan di rengkuh alam. Tanpa harus berenang aku bisa menikmati senja, melumat sinarnya yang jatuh di bibirku yang membeku.
Bagaimana aku tak jatuh dengan pesonanya, sedang ia merayu-rayu dengan aroma angin mendayu syahdu mencumbuku.
Bagi yang hidup lagi berat-beratnya, lagi capek-capeknya, sini duduk dulu. Ngobrol dulu.
Emang biasanya rasa sakit, sesak, itu muncul pada sesuatu yang terus berkembang.
Inget ngga rasanya waktu tumbuh gigi? Sakit, kan?
Inget ngga waktu kaki masih numbuh dan sepatu jadi kekecilan? Sesak, kan?
Atau inget ngga momen-momen saat kita terpaksa harus jadi lebih dewasa? Mungkin saat masuk kuliah, merantau, berpisah dari orang tua, punya keluarga sendiri, dan seterusnya. Berat. Ngga mudah.
Tapi semua ada ujungnya. Rasa berat itu ngga akan selamanya.
Setelah semua itu berlalu, kamu jadi orang yang sedikit berbeda. Lebih kuat, lebih bijak, lebih tahu, lebih cermat, atau lebih-lebih lainnya.
Mungkin sekarang ngga kebayang dalam benak kita gimana caranya melalui ujian ini--apapun itu. Sanggup kah kita? Apa solusi yang akan muncul untuk menyelamatkan kita? Apakah Allah benar-benar akan menolong kita? Kapan? Gimana caranya?
Tenang. Atur nafas. Tenang.
Kita tahu kita harus berpikir rasional dan segera mencari solusi. Tapi tenang dulu. Kasihan diri kita kalau terus diserang dengan berbagai spekulasi dan kekhawatiran yang belum terjadi. Bisa-bisa otak kita malah membeku, marah pada keadaan, atau ingin melarikan diri dari masalah.
Mari fokus pada hari ini saja dulu. Apa yang hari ini bisa saya lakukan? Pilih sesuatu. Tidak harus langsung benar atau besar, yang lebih penting dimulai.
Lalu apa?
Besok lakukan lagi. Besoknya lakukan lagi, dan seterusnya.
Dengan mengambil tindakan pada apa-apa yang bisa kita kendalikan, kita merasa lebih berdaya. Kalau kita merasa berdaya, rasa takut dan cemas akan berkurang.
Kalau rasa takut dan cemas itu semakin berkurang, kita bisa melihat lebih jauh ke depan. Bisa jadi setelah itulah kita menemukan solusi atas apapun yang sedang kita hadapi saat ini.
Yuk, jalan pelan-pelan aja. Lakukan satu per satu.
Apa yang akan kamu lakukan ketika kamu sudah berupaya memberikan yang terbaik untuk seseorang, namun seseorang itu tidak menghargaimu bahkan ia melakukan hal-hal yang membuatmu semakin merasa takut kepadanya.
Marah? Bisa jadi.
Takut? Ini pasti.
Iya, otomatis kamu akan merasa begitu takut dengan hal-hal yang ia lakukan. Kala upaya terbaikmu tidak dihargai, kamu mungkin bersedih. Namun kemungkinan kecewa dan takut itu kecil sekali. Berbeda jika ia sudah tidak menghargai upayamu dan ia melakukan hal-hal yang juga membuatmu takut, membentak misalnya.
Dalam ruang terkecilmu, kamu tanpa sadari akan merasa kecil dan kerdil untuknya. Merasa tidak pantas dengannya, merasa tidak bisa menyeimbangi langkahnya. kamu yang bahkan terlalu perasaan mendengarkan perkataan yang tidak baik, akan semakin merasa takut setiap kali ia berbicara. kamu akan kehilangan jutaan file kosa kata yang ada pada dirimu. kamu akan lebih sering membeku saat bersamanya, dan mungkin akan merasa bebas saat tidak dengannya.
Berkali-kali kamu bertanya kepada dirimu, akankah tetap berdiri bersamanya, berdiri di depannya, atau meninggalkannya dan mencukupkan diri melihatnya dari kejauhan dengan caramu. Namun kamu tidak pernah mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu.
Lalu ketakutanmu kepadaNya semakin lama semakin besar. kamu menyimpannya sendiri dalam ruang yang telah kau sediakan dengan begitu lapang. "Nggak apa-apa semuanya akan membaik." Ucapmu berkali-kali untuk meyakinkan diri.
kamu memendamnya begitu dalam, dan tak membiarkan seorangpun masuk untuk sekadar bertanya, "ada apa?". kamu membiarkan dirimu hidup dalam ketakutan dengan terus menampilkan wajah yang selalu baik-baik saja. kamu memendamnya sendiri, tak pernah menguatkan kepadanya bahkan kepada orang lain terdekatmu.
Padahal, tak ada salahnya untuk mengeluh. Mengatakan dan menyatakan bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja. Bahwa kamu butuh untuk ditolong. Namun kamu tidak membiarkan dirimu untuk mendapatkan pertolongan. Bahkan kepadaNya saja, kamu enggan untuk mengatakan.
Mengatakan bahwa kamu hidup dalam ketakutan bukanlah sebuah dosa. Manusiawi sekali jika harus mengeluh sebab lelah, sebab hal-hal yang tidak pernah berjalan dengan baik. Memendam semuanya dalam ruang tersendiri itu melelahkan, sayang. Maka izinkanlah dirimu untuk ditolong. Biarkan dirimu diselamatkan dari ruang yang kamu bangun itu.
Mengeluh, mengatakan keluhanmu, mengatakan bahwa kamu lelah, capek. Bukan sematah kamu butuh pengakuan saja. Melainkan agar perasaanmu lebih ringan, lebih tenang.
Jangan biarkan dirimu berjalan dengan kekosongan. Izinkan dirimu untuk merasa bahagia, dan tenang. Izinkan dirimu merasakan lebih banyak kasih sayang. Barangkali ini adalah cara Allaah menolongmu dengan mengabulkan pintamu yang selalu kamu pinta dengan menangis sekalipun tanpa kata-kata.
Denganmu aku ingin melakukan sebuah perjalan sepi nan panjang. Perjalanan menembus batas untuk pertama kalinya kita lampui diri kita sendiri.
Dengan jarak yang tak dapat di ukur oleh satuan apapun. Menjadi seutas cerita panjang yang membeku dalam sebuah kenangan yang abadi.
Hidup akan kita menangkan, saat hidup kita pertaruhkan. Bersamamu aku ingin bertaruh membawa dirimu pada tempat yang tak pernah kita kunjungi.
Secepat cahaya bintang kita melaju menyaksikan hal yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Melintasi lorong waktu kudapati wajahmu berseri dibalut sedikit pijar dibalik temaram..
Karena aku ingin melakukannya semua bersamamu bukan hanya menjadi stasiun terakhir untuk sekedar mampir ataupun beristirahat.
kemanapun engkau pergi hati dah fikiranku akan selalu bersamamu. Jiwaku sudah terkunci dalam sebuah rel yang harusnya kita tapaki bersama menuju tujuan akhir dari perjalanan panjang kita selama ini.
Ingat tak ayat ni? It hurts lesser now each time someone hurt you, bukan sebab kau mati rasa, but you’ve learned that pengharapan kita yang sebenarnya allow us to feel the hurt, punca kita kecewa sebab terlalu berharap yang orang lain akan jaga hati kita, padahal that’s our job.
Plus so what if you’re being distant for the sake of your peace? so what if putting yourself first , makes you “pentingkan diri”
Orang cuma nampak bila kau marah, bila kau melawan, tapi sikit pun tak pernah ambil tahu, punca kau membeku.
Someone used to say “persetankan apa orang nak cakap” to me, and now I’m gonna do just that. “Tak kudis pun jaga hati orang” so let me be the one yang jaga hati sendiri.
Aku bukan orang baik, tapi aku juga sedar yang aku tak mampu nak tempuh hasil tabur tuai melukakan orang lain.
I forgive you, bukan semata aku tak nak jumpa kau depan Allah, tapi aku maafkan kau sebab dari awal lagi, lawan kau bukan aku.
Hari ini aku masak pepes ikan asin peda kemangi dan sayur labu putih (sayurnya ngga sempat aku foto).
Karena ikan asin pedanya terlalu asin (padahal sebelum ku masak sudah ku rendam dengan air hangat, tetapi masih terlalu asin), maka tidak disarankan makan satu potong ikan dalam sekali makan hahaha.
Selagi menunggu pepes ikannya ku panggang di teflon, aku juga menyangrai kulit udang yang ku simpan di kulkas. Aku sangrai sampai kandungan air dalam udang tidak ada lagi, lalu aku blender sampai halus seperti di gambar. Nantinya akan aku jadikan campuran bumbu untuk membuat nasi goreng (aku pernah mencobanya dan ternyata enak).
Infused water yang ku diamkan semalaman di kulkas akhirnya membeku, alhasil harus menunggu cair terlebih dahulu agar bisa diminum.
Sorenya aku bantu tetehku jualan es jelly di waduk. Alhamdulillah ada beberapa pembeli setelah harus memutari waduk. Tetehku cerita, pernah dibercandain temannya gini "Yaelah lu udah kerja di rumah sakit, masih aja jualan minuman kaya gini". Aku yang mendengar ceritanya langsung bilang "Ngga papa teh leli, orang kaya aja banyak yang masih jualan hahaha". Ya selama usaha yang dijalani halal dan mengharap keberkahanNya, ngapain harus malu.
Jam 7 malam melipir ke rumah Tante buat makan bareng. Aku bawa sisa pepes ikan dari rumah buat dimakan bareng-bareng.
Makanan sederhana yang nikmat banget. Aku jamin, kalau disajiin ayam, pasti ngga akan selahap ini makannya.
Kalimat ini mendefinisikan privilege yang diberikan Allah untukku.
Mungkin ini salah satu jawaban paling masuk akal kenapa kita selalu ada dalam daftar bangsa paling malas didunia. Selain alam yang sudah memberi semuanya dengan cukup, juga tak ada keadaan yang mengancam untuk membuat kita terbunuh sewaktu-waktu.
Orang-orang dibeberapa wilayah India dengan suhu paling panas terus bergerak mencari air untuk membasahi tubuhnya. Orang-orang Eskimo membuat pakaian super tebal dari kulit rusa dan terus bergerak agar tubuhnya tetap hangat.
Kita hampir gak perlu melakukan keduanya. Tidak terancam mengering ataupun membeku. Makanya mungkin pula banyak diantara dikita punya filosofi "hidup seperti air mengalir". Filosofi yang hanya pas untuk orang-orang yang hidup diwilayah tropis.
Rumi, apakah dahulu kau merasakan menahan rindu seperti ini?
Kuyakin resahmu lebih banyak, sebanyak syair-syair yang kau cipta
Rumi, apakah perasaan seperti ini membuatmu lemah?
Mengapa semua energi seakan terkuras habis
Namun semakin dalam ku membaca syairmu
Hatimu teguh di atas kecintaanmu sebagai Hamba-NYA
Pujian cinta dan kasih tak henti kau ungkapkan
Walau duka juga berjalan beriringan
Rumi, bagaimana IA bisa menciptakan kaum Adam seperti ini
Tak memperlihatkan apa-apa namun menyebarkan rindu
Tak mengutarakan cinta namun mampu membuka pintu yang lama membeku
Begitu lihainya ia merayu walau tanpa usaha yang menggebu
Begitu hina diri ini mengungkapkan perasaan yang tak IA restui
Tak tahu diri kuingat dosa-dosa yang begitu indah
Bibir dan rengkuh yang sulit kulepas dalam ingatan
Rasa nikmat yang menggelora di atas ranjang haram
Lupa tak meminta ampun atas dosa yang begitu nikmat dirasa
Tiap sujud hanya kuutarakan keinginan yang belum juga terjawab
Apakah aku tak pantas atau belum mampu menerimanya
Ataukah IA begitu menyayangiku hingga tak ingin aku bersama manusia lainnya
ataukah mungkin IA begitu marah hingga memintaku menunggu begitu lama
Rumi, semakin dalam ku membaca syairmu
Semakin rindu tak dapat kuhenti
Namun selalu kupercayai
IA mampu membolak-balikkan hati
Aku terlempar jauh, pada dingin yang kuciptakan sendiri, aku membeku. Mereka tertawa; setan-setan dalam dada merayakan luka milikku. Tak ada warna, aku diselimuti gelap yang penggap. Padahal di luar matahari tak pernah pelit membagi cahaya, aku saja yang tak pandai meraba.
Lalu waktu saling mengejar tak mau menunggu, antara kesempatan dan kematian aku tak mampu bedakan.
Tuhan, aku berdo'a pada-Mu meski raga mengkhianatiku, aku meminta belas kasih-Mu meski aku tak pandai berterimakasih. Aku ingin pulang pada rumah yang membuat hatiku nyaman; pada tangis yang melegakan; pada sujud yang dalam; kepada-Mu; Tuhan.
Tiada yang lebih hangat selain fajar saat pagi tiba. Di keluarkanlah garis jingga yang membentuk senyuman indah di cakrawala.
Sama seperti senyummu di pagi itu dikala kita berpapasan untuk pertama kalinya. Senyummu menghangatkan hatiku yang telah lama membeku menghilangkan sendu dari jutaan rindu.
Ingin rasanya aku dekap dirimu untuk selamanya namun sayangnya kita sepasang kisah yang tak bisa bersama. Karena kita di takdirkan untuk bersama namun tidak untuk saling memiliki.
Bagiku senyummu itu lebih hangat dari fajar di ufuk timur dan sedikit lebih indah dari titik garis semburat yang terlukis di cakrawala.