@byurs ; will. ⋯ cont.
hands slightly fidget, the nail of one of her pointer fingers picking at the knuckle of the other. she listens to will, brown eyes downcast as she absorbs his words. the meaning is understood, he’s trying just as much as she is but he’s right. it is weird, they aren’t really siblings -- but when has that ever mattered to her ? kali wasn’t her real sister either and hopper wasn’t her real father either. but to her they feel like it, will and jonathan do too, even if it was born out of tragedy, a loss too deep to come to terms with. “ i didn’t mean to. it was nice out there. quiet. ” school was more than overwhelming to her, especially considering there were some classes that will wasn’t in now. had she initially sought refuge in the school’s outer grounds because of some mean comments ? maybe. “ i am okay. ”
she told them she could HANDLE IT, that she’d be okay. she looks up then, seeing and feeling the sincerity behind his voice. that care ? it took some getting used to, she had to admit. a part of her still holds back, as she fears once she gets comfortable, something BAD would happen. maybe she’d do something wrong, and that FAMILY falls apart. she appreciates his gesture, a soft smile coming on her face, “ my thing ? no, not really. you can crash it. ”
0 notes
Yang Lekat dari Yang Lalu: Bagian Ketiga
Benar saja.
Satu dua kali aku bisa anggap sebagai mimpi. Tapi ketiga kali? Tidak mungkin lagi-lagi aku bereinkarnasi dalam waktu singkat. Jika memang reinkarnasi ada, aku seharusnya menjalani hidup yang penuh, tidak sepotong-sepotong macam ini.
Baiklah, kali ini aku sudah bersiap.
Byur!
Tiba-tiba ada air mengguyur ujung kepalaku. Aku langsung berteriak saking kagetnya. Loncatan jiwa macam apa yang disambut dengan guyuran air? Kulihat sekelilingku setelah cukup sadar. Ternyata aku berada di kamar mandi. Sendirian. Berarti air yang mengguyurku berasal dari tanganku sendiri. Sialan. Bodoh sekali kaget dengan ulah diri sendiri.
Sedikit sabun masih menutupi beberapa bagian tubuhku. Ada rasa perih di kakiku. Awalnya tidak begitu perih, tapi lama kelamaan perih itu semakin menjadi. Sontak kulihat kakiku. Ternyata, ada luka menganga di sana. Sayatan dan lecet yang entah berasal dari mana. Aku meringis kesakitan. Pelan-pelan kubasuh seluruh busa sabun yang masih tersisa. Kubalut tubuhku dengan handuk yang tergantung di kenop pintu.
Kamar mandi ini tidak asing. Aku ingat betul keramik kekuningan yang menghiasi setengah permukaan dinding dan lantai. Bak berwarna merah muda dangdut, hingga cermin yang ketinggian (aku harus berjinjit untuk melihat rupa tubuh di mana jiwaku bersemayam kali ini). Ternyata aku adalah diriku sendiri di usia remaja. Dengan paras ini, mungkin umurku sekitar empat belas atau lima belas tahun.
Darah ternyata masih mengalir dari luka menganga di kakiku. Rasa perihnya berganti dengan denyutan nyeri yang konstan. Mungkin aku sudah mulai terbiasa dengan rasa sakit ini. Tapi, bagaimana bisa aku mendapatkan luka ini? Kucoba untuk bercermin lagi. Di sana, ada mukaku yang begitu sembab.
Aku ingat. Kini aku ingat. Bapak pernah marah dan melempari kakiku dengan keramik.
Dari sekian banyak fragmen kehidupan, mengapa aku harus mampir di fase yang tidak aku sukai? Mengapa reinkarnasi ini hanya mengingatkanku pada tragedi demi tragedi? Apa memang hidupku begitu berdosa hingga reinkarnasiku selalu berisi duka?
“Udah mandinya? Ibu bawa perban.” Dari luar kamar mandi kudengar suara Ibu.
Dengan darah yang masih mengucur, kubuka pintu dan keluar dari kamar mandi. Tak kupedulikan aliran darah dari kakiku yang tetes demi tetesnya mengikuti langkahku keluar kamar mandi.
“Duduk aja dulu di situ, biar Ibu bisa balut lukanya. Darahnya netes-netes ke lantai. Nanti Ibu harus beres-beres lagi.”
Ya. Ibu memang tukang beres-beres. Ia tak suka yang kotor, berantakan, dan tidak resik. Semua harus tertata. Semua harus teratur. Bahkan dalam kondisi anaknya terluka saja yang ia pikirkan hanyalah darah yang harus ia bersihkan di lantai. Tapi, karena aku anaknya penurut, dan aku juga agak takut kehabisan darah, kuturuti maunya. Toh, aku butuh menghentikan pendarahan dari kakiku.
“Makanya jangan bikin Bapak marah.” Ujarnya sambil mencoba membalut kakiku. Awalnya ia tekan lukanya, lalu ia tetesi dengan obat merah. Perihnya bukan kepalang. Aku ingin sekali menangis, meraung, dan marah-marah.
“Bapak kenapa marah?” Pertanyaanku akan sangat aneh jika begini. Segera kuralat, “Kenapa Bapak bisa marah ngamuk sampe nyiksa gini?”
“Bapak lagi mabok. Bapak hampir dipecat dari kerjaan. Terus kamu malah nyari masalah. Harusnya kalau lihat Bapak kayak gitu, diem aja.”
“Ibu kenapa gak belain aku?”
“Karena nanti ibu yang berdarah kayak gini.”
Ibu macam apa yang mendahulukan dirinya sendiri? Tapi setelah kuingat, dia bukan ibuku yang sebenarnya. Ya. Wajar dia mementingkan dirinya sendiri.
Bapak macam apa yang melempari keramik pada anaknya sampai berdarah begini? Meski, terlepas dari aku bukan anak kandungnya, apakah manusia sepertiku wajar saja menjadi samsak di hidupnya yang sedang kacau? Apakah berarti manusia lain bisa menjadi pelampiasan amarah yang tak terkendali atas dunia yang penuh tragedi ini?
Banyak sekali pertanyaanku. Saking banyaknya, ada pertanyaan lain yang nampaknya aku abaikan. Apakah ini benar serupa reinkarnasi? Kembalinya aku ke dalam diriku di masa muda, jelas bukanlah reinkarnasi. Apa mungkin sebenarnya aku sedang masuk ke dalam mesin waktu? Jika iya, bagaimana caraku kembali?
Lukaku sudah terbalut rapi. Tidak lagi ada tetesan darah di lantai. Aku langsung menuju kamar dan memakai baju. Aku tak mau keluar kamar karena kudengar Bapak masih ada di rumah, berteriak, meracau tentang anak-anaknya yang katanya begitu tak tahu diri. Adik-adik, saudara-saudara tiriku, sudah diungsikan semua oleh Ibu di rumah tetangga. Kukunci diri di dalam kamar sambil kucari barang-barang yang mungkin bisa membuatku kembali.
Disket, kaset-kaset di laci, buku paket, semua tersusun rapi di meja belajar. Tak ada petunjuk apapun di sana. Tidak ada buku panduan untuk kembali ke masa depan meski telah kuubrak-abrik seluruh buku yang ada di kamar. Aku terduduk putus asa. Aku ingin segera pergi dari sesi hidup yang (mungkin) kusinggahi kali ini.
Setelah kuingat-ingat, sebelum dan sesudah jiwaku meloncat, pastilah ada dengingan atau sesuatu yang membuat kepalaku sakit bukan main. Aku ada ide gila. Tidak begitu gila sebenarnya, karena di tempat aku berasal, di masaku yang sebenarnya, aku sering melakukan ini jika sedang sangat stres. Tidak ada salahnya mencoba.
Kuhampiri dinding terdekat. Aku bersiap membenturkan kepalaku ke dinding. Satu. Dua. Bug! Sekali tak membuat kepalaku pening—mungkin karena aku tadi agak ragu ini akan berhasil. Kucoba satu kali lagi. Satu kali lagi. Satu kali lagi, hingga hantaman ke lima, seketika pandanganku gelap.
Aku berhasil. Tolong jangan ditiru. Kau lebih pintar dariku jadi kuharap kau tidak membuat dirimu susah seperti apa yang kuakukan barusan.
***
Jika bukan reinkarnasi yang kualami, lalu apa yang terjadi kepadaku?
Aku pernah baca tentang regresi kehidupan masa lalu. Katanya, dengan hipnosis, kita bisa melihat hal-hal yang terjadi di masa lalu untuk mengatasi masalah di masa kini. Itu berarti, aku sedang dihipnosis oleh seseorang. Jika benar dugaanku, aku harus terbangun. Aku tak lagi mau melihat apapun di masa laluku. Masa lalu adalah masa lalu. Meski ia membentukku menjadi seseorang di masa sekarang, aku tak sudi kembali ke masa itu. Aku hanya ingin fokus pada apa yang ada di depan mata. Aku ingin berhenti dari putaran memori ini.
Aku terbangun di kasur rumah sakit. Kepalaku sakit, tentu saja. Aku ingat sudah menjadi tempat pembuangan sampah. Aku ingat sudah menjadi anak TK yang dipanggil Raga. Aku ingat membenturkan kepalaku ke dinding agar aku bisa segera pulang ke masaku yang seharusnya.
Tapi hidup selalu memberikan kejutan yang menarik.
Rupanya, aku masuk ke rumah sakit karena lima benturan bodoh yang kulakukan. Konsekuensinya cukup merepotkan. Beberapa kabel menempel di dadaku. Ada benda yang menjepit jari telunjukku. Ada selang di hidungku. Ada kateter yang membuatku tak usah buang air kecil ke kamar mandi. Pantatku lembab karena popok yang mungkin sudah berisi tahi yang entah kapan. Aku tidak bisa banyak bicara. Hal pertama yang kulakukan adalah mencabut selang di hidungku karena rasanya sangat tidak nyaman. Tapi, selang itu ternyata sangat panjang. Rupanya, selang itu dipasang di hidung untuk memberiku makanan. Aku tersedak saat menariknya dari hidung. Suster lalu menghampiriku dan menyuntikkan sesuatu ke dalam belitan selang kecil lainnya yang menancap di lenganku. Sepersekian detik kemudian, aku terlelap dalam tidur yang panjang.
***
Apakah aku masih di masa remajaku?
“Ha…us…” ujarku dengan terbata-bata kepada entah siapa di samping ranjang tempat aku terbaring. Ia lalu menyodorkan ujung sedotan dari gelas yang ia pegang. Kuhisap semua, teguk demi teguk, dan tandas dalam hitungan detik. Tidak lagi ada selang di hidung yang terpasang hingga ke tenggorokan. Aku bisa bernapas dengan lebih nyaman.
“Hai, Gena.” Sapa orang asing yang barusan menyodorkan air minum kepadaku. Aku tak kenal dengan dia. Ia sama sekali tidak ada dalam ingatanku. Usianya kutaksir awal empat puluhan. Pakaiannya sangat rapi seperti akan berangkat kerja. Awalnya dia hanya membantuku untuk bangun, memanggil dokter yang berjaga agar kondisiku dipantau, bertanya apa yang kubutuhkan dan apa yang kurasakan, hingga kemudian ia (akhirnya) memperkenalkan diri.
“Kenalin, saya Daria dari Dinas Sosial.”
Baiklah, ternyata aku salah. Aku tidak pernah siap dengan kejutan apapun di hidupku.
Bersambung...
12 notes
·
View notes