Tumgik
diary-sunflower · 10 months
Text
Yang ingin membaca cerita genre healing fiction, buku ini saya rekomendasikan. Dulu, saya mengira drama Korea, novel Korea identik dengan romansa cinta-cintaan yang bagi sebagian orang (termasuk saya kadang-kadang), membosankan. Tapi membaca ini, membuat pandangan saya berubah. Novel ini menawarkan cerita yang sederhana. Para tokoh yang sepaket dengan karakter dan masalah mereka, dapat kita temukan di lingkungan sekitar. Mungkin ini tentang saya, dia, mereka atau kamu.
Salah satu pesan dalam novel ini ialah bahwa setiap orang memiliki masalah, masa lalu dan penyelesaian masalah yang berbeda. Namun, di antara semua keruwetan hidup, ada kehangatan yang dapat muncul hanya dengan kebaikan yang mungkin bagi kita tak seberapa, tapi ternyata memiliki dampak yang luar biasa bagi orang lain. Kadangkala, kita cukup dengan hanya menjadi pendengar yang baik, bahu untuk bersandar bagi mereka yang sedang lelah, memberikan sesuatu dari hati --meski mungkin niat awalnya tidak begitu, tapi seiring bergulirnya waktu, kita menemukan makna ketulusan.
Minimarket Always memang merepotkan. Tapi jika ada yang seperti itu di dekat tempat tinggal saya, rasanya menyenangkan juga untuk dapat singgah sebentar.
Tumblr media
7 notes · View notes
diary-sunflower · 1 year
Text
“Jangan Bersedih”
@edgarhamas
Tsur, goa itu sempit seakan tak punya ruang tuk kau bisa merenggangkan otot-ototmu. Gelap, jika kau melihatnya, kau takkan percaya bahwa dulu ia pernah jadi persinggahan dua tokoh teragung sepanjang sejarah manusia, 3 hari lamanya.
Tumblr media
Rasulullah ﷺ dan sahabatnya, Abu Bakr Ash Shiddiq. Keduanya bertolak dari Makkah menuju negeri Madinah. Namun kafir Quraisy tak membiarkannya. Diumumkanlah oleh pembesar Quraisy, “siapa yang bisa membawa Muhammad kembali ke Makkah, hidup atau mati, maka baginya 100 ekor unta!”
“Kala itu, ketika Aku dan Rasulullah ﷺ di Goa Tsur”, tutur Abu Bakr sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “kaki-kaki orang musyrikin sungguh berada di atas kepala kami. Maka aku bilang pada Rasulullah; kalau mereka mengangkat kaki, kita pasti akan terlihat.”
Saat-saat mencekam antara hidup dan mati. Bayangkan, dua manusia hebat itu dikejar oleh puluhan pemburu berpengalaman dan ‘pembunuh bayaran’, belum lagi penunggang kuda tangguh dan ahli pencari jejak terbaik di Makkah.
Namun, jika kamu disana, kamu seketika akan menjadi manusia paling tenang.
Ya, paling tenang, ketika jiwamu berdesir mendengar suara indah baginda Rasulullah ﷺ berbisik padamu,
“wahai Abu Bakr, apa pendapatmu tentang dua orang (Rasul dan Abu Bakr), kemudian Allah hadir menjadi yang ketiga?”
Lagi-lagi suara agung itu berbisik tepat di hadapanmu, sembari yakin dan sama sekali tak ada guratan ketakutan,
“…jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.”
(QS At Taubah 40)
Allah menutup kisah Rasul dan Abu Bakr di Goa Tsur dengan firman-Nya, “Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Kita, diajak berpikir tentang; betapa Mahabesar Allah yang skenario-Nya selalu istimewa. Allah ingin kamu tahu, bahwa jika dunia berkumpul untuk menghabisimu, sungguh itu takkan mengkhawatirkanmu selagi akidahmu yakin. “Jangan bersedih, sungguh Allah bersama kita.”
Jangan bersedih. Hidupmu sedang tak mulus, hubunganmu dengan orang-orang yang kau cinta sedang pupus, cita-citamu tak kunjung lulus. Ketika masalah demi masalah menghantammu, “jangan bersedih, Allah bersama kita.”
Namun, sedihlah kamu! Sedihlah terus! Kalau bersama Allah kamu tak mau. Galaulah terus! Bimbanglah terus! Jangan tanya kenapa, Tuhan saja kau tak pernah meminta, pada nikmat saja engkau kufur, pada hidup saja kau banyak mengeluh.
“Jangan bersedih”, adalah janji-Nya untukmu yang senantiasa yakin dan sabar dalam ketaatan. Namun jika kau berpaling, mau kau kumpulkan emas setinggi gunung, mau kau keliling dunia tetap saja begini, “Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia sedang mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS Al An'am 125)
724 notes · View notes
diary-sunflower · 1 year
Text
Saat buka puasa tadi, Mursyid bertanya pada saya, “Mi, boleh gak sih, kalau sholat yang buat pilih sesuatu tuh, buat pilih makanan yang Mursyid mau?”
Hihi. Saya auto nyengir dengar pertanyaan polos bocah berusia delapan tahun itu.
“Eh, Ummi belom pernah bahas tentang sholat istikhrah, lho. Kamu tau dari mana?”
“Dari ustadz... kira-kira sebulan lalu. Kata ustadz, sholatnya untuk pilih sesuatu,”
“Well, sepemahaman ummi, sholat istikharah itu untuk perkara yang mubah atau dalam perkara sunnah, jika ada dua perkara sunnah yang bertabrakan, lalu memilih manakah yang mesti didahulukan. Biasanya, sholat itu untuk memilih perkara atau masalah yang efeknya bisa jauuuh ke depan atau untuk masa depan kamu. Contohnya, dulu sebelum ummi ta’aruf sama abah, ummi sholat istikharah dulu. Karena setelah ta’aruf ada nikah dan seterusnya...”
“Oh gitu,” Kata Mursyid sambil mengunyah tempe goreng. “Terus, boleh gak, Murysid istikharah mau pindah dari sekolah atau enggak? Mursyid pingin pindah ke Jawa biar deket sama Mbah, tapi juga suka sekolah sama temen-temen...”
Dan ummi pun terdiam. Sebab bisa pindah dari Pontianak adalah yang saya dan suami inginkan... bukan karena gak betah di sini. Tapi, rasanya sudah cukup merantau ke daerah yang jauh dari keluarga besar. 
Pontianak, 6 Februari 2023.
4 notes · View notes
diary-sunflower · 1 year
Text
Saat menuliskan ini, saya tengah membaca buku karya Bang Benny Arnas yang berjudul Cinta Paling Setia. Dari kata pengantar yang diawali alif sampai da, tak pernah saya skip seperti saat saya membaca kata pengantar di buku-buku lainnya-- malah seringnya saya lewati begitu saja. Sangat bertolak belakang dengan Bang Benny Arnas yang katanya, selalu membaca kata pengantar dari sebuah buku yang ia baca.
Sampailah saya pada kumpulan cerita --kalau boleh saya tuliskan, semacam biografi tapi dituliskan seperti cerita pendek-- bagian satu, berjudul Kedip Cahaya dari Jauh. Entah karena pagi ini begitu mendung, hingga menimbulkan rasa yang begitu mellow, di akhir cerita saya menitikkan air mata. Ya... terbersit sebuah nama. Saya pernah mengalami hal serupa seperti Bang Benny. Menemukan seseorang, yang dapat saya katakan sahabat, meski ia singgah sebentar. Padahal definisi sahabat yang selama ini dalam pikiran saya adalah, seseorang atau beberapa orang yang selalu ada dalam hidup saya, baik dalam keadaan senang atau sedih, yang tidak selalu menjadi hakim atas semua keputusan dalam hidup saya, tapi tetap berbaik hati mengingatkan kala kaki saya mulai salah melangkah.
Saya pernah menemukan sahabat seperti itu, di Tumblr ini... meski hanya sebentar. Sekarang, meski ingin sekali menghubunginya, saya sudah tidak bisa berbincang lagi dengannya.
Yang paling saya ingat, awal mula kami saling bertegur sapa adalah karena kami sama-sama penyuka bunga matahari. Kami saling menceritakan alasan kami menyukai bunga itu. Dan entah bagaimana, saya menjadi suka saat membaca aktivitas harian yang ia tulis di Tumblr. Padahal, kegiatannya tak jauh berbeda dengan saya yang sama-sama ibu rumah tangga baru menikah kala itu. Sama-sama sedang berdoa pada Allah agar berkenan memberikan momongan pada kami. Hingga sampailah kabar bahwa Allah tengah titipkan janin dalam rahimnya, begitupun dengan saya.
Lalu sepertinya, beberapa bulan kemudian, masa itu saya tengah sibuk dengan kepindahan saya ke Jakarta, kembali ke rumah orang tua setelah hampir dua tahun menemani suami kuliah di Jogja. Saya sedang bersiap menata perasaan yang tengah hamil dan akan kembali ditinggal suami ke tempat dinasnya di Kalimantan. Saya pun menjadi jarang membuka Tumblr yang otomatis tidak lagi membaca tulisan-tulisannya.
Suatu ketika, saya iseng membuka inbox di Tumblr dan menemukan pesan darinya. Lalu kami bertukar nomor Whatsapp, dan beberapa kali kami mengobrol dalam aplikasi berwarna hijau itu, meski tidak terlalu intens.
Tiba-tiba suatu malam, saya menerima pesan darinya. Namun... pesan yang tak biasa, saya sampai membaca berulang kali untuk memastikan. Hingga akhirnya tangan saya bergetar, dan mulut saya lirih mengucap, "Innalillahi wainnailaihi raaji'uun..."
Suami sahabat Tumblr saya itu mengirim pesan ke semua kontak yang ada di telepon genggam istrinya. Mengabarkan kepergian istrinya sambil memohon maaf jika ada kesalahan yang semasa hidup mungkin pernah dilakukan...
Saya belum pernah sekalipun bertemu dengan sahabat Tumblr saya itu di dunia nyata, kopdar atau apapun istilahnya. Namun kedekatan yang kami bangun dari dunia maya ini terasa nyata. Tulisan-tulisannya yang ringan, mampu menghangatkan hati saya. Berdiskusi dengannya menambah ilmu untuk saya...
Selang beberapa waktu, saya iseng googling dengan mengetik namanya, di sanalah saya menemukan beberapa tulisan tentang dia, dari teman-temannya semasa kuliah. Dan benar... dia memang perempuan yang baik dan sholehah. Banyak yang kehilangan dirinya, bukan hanya saya.
Lagi-lagi, saya sepakat pada kalimat yang ditulis Bang Benny Arnas, bahwa kadang kala, sahabat yang baik Tuhan hadiahkan hanya sekilas. Namun layaknya sebuah perasaan, ia membekas dalam hati, meninggalkan kenangan manis untuk diingat.
Al-Fatihah untukmu, Aul.
Walau belum pernah berjumpa di dunia nyata, semoga Allah berkenan mempertemukan kita di Surga-Nya kelak. Aamiin.
0 notes
diary-sunflower · 1 year
Text
Dear, Tumblr.
Salah satu tantangan terbesar saat menuntut ilmu adalah melawan rasa malas. Entah malas hadir karena mood yang hari itu jelek, atau rasanya sedih karena sesuatu hal, atau jengkel pada siapa atau pada peristiwa.
Namun ketika mengingat lagi kisah para tabi'in yang begitu gigih saat menuntut ilmu, duh, malu rasanya.
Imam Syafi'i yang sampai mengumpulkan tulang untuk menulis, Al-Qadhi Abu Yusuf Al-Anshari yang terbatas karena ekonomi, tapi tetap gigih menuntut ilmu hingga cita-citanya menjadi hakim terwujud. Atau Qatadah bin Di'amah, lahir dalam keadaan buta. Namun sangat cerdas, hafalannya kuat juga sangat gigih dalam menuntut ilmu. Masya Allah...
Lalu dengan rasa malas yang saya lawan, kemarin sore untuk kesekian kalinya, Alhamdulillah bisa hadir untuk tahsin, hihi. Kata ustadz saya, yang namanya belajar ngaji itu bukan cuma terletak pada hasil. Namun proses. Allah tidak hanya melihat bagaimana akhir, tapi di awal dan pertengahan juga. Bagaimana mungkin kesulitannya kita melafalkan satu huruf saja yang sesuai dengan sifat-sifatnya. Semua Allah nilai, tidak ada yang sia-sia.
Dear, Tumblr.
Semoga tulisan ini kelak saya baca kembali, saat malas menuntut ilmu --apapun- melanda.
3 notes · View notes
diary-sunflower · 1 year
Text
Dear, Tumblr...
Kemarin, hari Senin rasa Ahad, saya dan suami membersihkan pekarangan rumah yang sangat tidak terawat. Ada penyesalan karena daun mint kesayangan saya ikut mati, hiks...
Saat membersihkan suket alias rumput-rumput, saya berfikir, oh, mungkin beginilah rupa hati jika tak selalu dibersihkan. Akan banyak hama penyakit yang menyerang. Tanaman yang seharusnya tumbuh, menjadi layu lalu mati. Hati yang seharusnya selalu menyala terang tersebab iman, mungkin lambat laun dapat meredup. Yang tumbuh kemudian adalah segala prasangka, keputusasaan dari rahmat serta kasih sayang-Nya. Bahkan pertanyaan, Allah sayang gak, sih, sama saya? Yang dulunya hanya gema kecil dalam dada, kini suaranya kian membesar. Memenuhi kepala dan seolah mencekik kalbu.
Maka menangis dengan suara keras di atas sajadah sambil melantunkan doa penawar hati yang duka dapat menjadi sebuah penawar.
Dear, Tumblr.
Begitulah manusia. Dia rapuh, sebab hanya Allah yang Maha Kuat. Maka ketika hati saya sedang retak, semoga Allah berkenan merekatkan kepingan-kepingannya.
1 note · View note
diary-sunflower · 1 year
Text
Terkadang, memaafkan diri sendiri jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain.
Bayang-bayang kesalahan kerap datang.
Penyesalan seolah menjadi akrab dan beberapa kali hadir dalam kisi-kisi mimpi.
Apakah hidup memang seberat itu?
Namun, bukankah Allah Maha Memaafkan?
0 notes
diary-sunflower · 1 year
Text
Aku menarik diri dari keramaian. Dari hiruk pikuk yang membuatku merasa sesak.
0 notes
diary-sunflower · 2 years
Text
Yang Terlewatkan
Aku memunguti sampah bekas makanan ringan, mi instan, plastik-plastik yang beraneka warna sambil sesekali mengawasi langkah sepasang kaki kecil yang tengah berkecipak riang dengan air laut. Sesekali telingaku menangkap panggilan darinya. “Ummiiii…”
Aku pun membalas dengan lambaian tangan.
Aku mengeluh panjang pendek karena merasa sampah tidak ada habisnya sambil memandang jauh hamparan pasir putih.
“Miii…” Sayup terdengar lagi teriakan anak lelakiku yang seolah bersahutan dengan debur ombak.
“Miii… ” Kini suaranya makin terdengar jelas dan dekat.
“Eh, kenapa?” tanyaku. “Jangan dekat-dekat Ummi. Nanti baju Ummi basah.”
“Ummi aneh deh. Ke pantai tapi gak mau nyebur. Masa Ahmad cuma main sama abi doang…” Protesnya.
Aku hanya nyengir sambil mengelus rambutnya yang lepek.
“Ummi ngumpulin sampah?”
Aku mengangguk sambil terus jalan menunduk, mataku berkeliling mencari benda-benda berserakan yang seharusnya tidak berada di sini.
“Kenapa orang-orang buang sampah sembarangan? ‘Kan disediakan tempat sampah.”
Aku mengedikkan bahu. Bukan tak paham. Hanya saja, pikiranku sedang tak ingin banyak merangkai kata untuk menjelaskan kepada bocah lelaki yang sejak tadi mengiringi langkahku.
“Ya udah, Ahmad main sama Abi dulu ya, Mi. Dadah, Ummiiii.” Ucapnya seraya berlari menjauh.
Aku kembali menekuni pekerjaanku sejak lima belas menit lalu. Bukan tak ingin bergabung dengan Ahmad dan Abinya. Hanya saja, tempat untuk bilas dan ganti baju di pantai ini sungguh tidak membuatku nyaman dan aman.
Kuseka peluh yang mulai menetes di dahi. Ujung gamis dan kaus kaki mulai membasah. Aku berbalik badan. Memandangi jejak langkah yang telah kutempuh –meski sebagian besar telah tersapu ombak. Aku pun menjinjing 'harta karun’ hasil bertualang menyusuri bibir pantai dan meletakkannya di tempat yang memang seharusnya.
Selesai menepuk-nepuk gamis cokelatku yang terkena pasir di bagian kaki, aku duduk di pondokan tempat kami meletakkan tas, lalu mengambil sebotol minuman. Sesekali aku melihat Ahmad melambaikan tangannya ke arah pondokan.
Aku mengambil ponsel dari ransel hitam yang sejak tadi kucangklong di punggung. Ada beberapa notifikasi masuk dari aplikasi chat berwarna hijau. Lagi-lagi pesan singkat yang membuat hatiku terasa berat sejak kemarin, kembali masuk. Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat.
Tawaran pekerjaan yang membuatku ingin sekali menerimanya, tapi di satu sisi ada Ahmad yang masih butuh banyak bimbingan dariku. Apakah jika tidak menerima tawaran itu, gelar sarjanaku menjadi sia-sia dan tak bermanfaat bagi banyak orang?
“Miii,” Suara Ahmad memecah lamunanku. “Kok bengong? Ahmad baca di buku, kebanyakan ngelamun 'tu gak bagus.”
Abi mengambil tempat duduk tepat di sebelah kananku.
“Masih ragu?” tanya Abi.
Aku menjawab pertanyaan abi dengan embusan napas sambil mengerucutkan bibir.
“Ahmad, main pasir di dekat sini aja, ya. Abi mau ngobrol dulu sama ummi. Jangan ke arah laut.” Pesan Abi. Kulihat Ahmad sudah mulai asyik merancang bangunan apa yang ingin ia buat. Gayanya seperti seorang arsitek profesional. Aku mengikik pelan.
“Kalau Ummi terima, Abi gak keberatan?” tanyaku kemudian.
“Enggak,” jawab Abi. “Tapi pesan Abi, Ummi harus paham apa yang harus diprioritaskan. Konsekuensi-konsekuensi. Masalah-masalah yang sekiranya akan muncul di depan sana dengan solusinya.”
Aku tahu Abi bukan bermaksud buruk dengan mengucapkan kata “masalah”. Abi sungguh paham bagaimana aku, yang jika sudah sangat lelah fisik dan pikiran, semua menjadi berantakan. Abi lah yang paham bagaimana kondisi terburukku saat aku benar-benar kepayahan. Abi hanya tak ingin, Ahmad menjadi objek kemarahanku yang meledak, saat letih tak terperikan.
“Tapi kadang, Ummi merasa sia-sia. Tidak berguna.” Suaraku parau.
“Kata siapa? Lihat Ahmad. Dengan ketelatenan Ummi dan bantuan Allah tentunya, Ahmad tak perlu guru les untuk ngaji, hafalan, membaca dan berhitung seperti anak sebayanya. Lihat Ahmad, karena kerap melihat ummi membaca, dia pun ikut suka membaca.”
Aku membisu.
“Tak akan ada yang sia-sia, Mi. Seperti halnya Ummi memungut sampah di pantai. Meski terlihat sepele, apa yang Ummi lakukan tetap akan bermanfaat 'kan? Tulisan-tulisan Ummi yang berisi nasihat, tips… ada berapa banyak yang berterima kasih saat membaca tulisan Ummi?”
Mendadak hatiku menjadi biru, layaknya warna langit dan laut yang tengah kupandang lekat-lekat. Sepertinya ada yang kulewatkan begitu saja, tentang hal-hal yang menurutku bukan apa-apa, tapi ternyata memiliki dampak besar bagi sekelilingku. Tentang cara pandangku. Mungkin juga tentang waktu. Tentang tujuan hidup dan mungkin tentang bagaimana cara menerima dengan tulus yang kerap aku lupakan.
***
Pontianak, 14 Juli 2022
10 notes · View notes
diary-sunflower · 5 years
Text
Udah lama gak baca dan menulis cerpen~
(cerpen) Mencintai Kehilangan
“Arti most valuable player buat kamu seperti apa?”
Di antara celoteh riang anak-anak SMA Mulia, seorang gadis berkerudung putih dan anak laki-laki berdiri dengan jarak yang agak jauh di tepian lapangan basket.
“Hei, aku tanya…” Anak lelaki itu berjalan mendekat.
Anggrek, nama gadis berkerudung putih itu mengalihkan pandangannya. “Buat apa tanya gitu?”
“Karena kamu suka basket…”
Keriuhan di sekitar mereka seolah senyap seketika. Ada yang berkelindan, merayapi hati Anggrek tanpa diminta. Gadis itu memilih tak menjawab dan berjalan menjauh. Ada yang ditahannya kuat-kuat. Ada yang disembunyikannya rapat-rapat.
***
“Seandainya aku bilang jujur ke Bayu, menurutmu gimana?“
Deg. Jantung Anggrek berdebar kencang. Siapa pun yang sekolah di SMA Muliah tahun itu pasti tahu. Sudah menjadi rahasia umum tentang Ria yang menyukai Bayu sejak masih masa orientasi siswa, pun hubungan antara Anggrek dan Ria yang bertemakan sahabat. Yang tidak diketahui khalayak adalah Bayu mendekati Anggrek. Nahasnya perhatian Bayu tak diacuhkan Anggrek. Semua perasaan Bayu ditampik walau Anggrek harus mengorbankan hatinya menjadi kepingan.
Siswi mana yang tak tertarik pada Bayu? Salah satu pemain basket di tim sekolah, juga punya otak yang cukup encer dalam bidang akademik. Dua itu saja sudah cukup untuk membuat populer di kalangan anak perempuan. Sayangnya, Bayu termasuk anak lelaki yang cuek. Tak dipedulikannya cokelat atau bunga yang acapkali ia dapati di laci meja.
Namun bukan paras Bayu yang membuat Anggrek sulit mengenyahkan perasaannya. Lapangan basketlah yang mempertemukan mereka. Bukankah cinta hadir dari sebuah perjalanan?
"Ya udah bilang aja. Bentar lagi kita lulus lho…”
Ria menopang dagunya. “Tapi aku punya feeling kalo Bayu suka sama cewek lain, ya?”
Wajah Anggrek pias. Disembunyikan mukanya yang mendadak pucat. Setelah selesai memasukkan buku-bukunya ke laci meja, Anggrek berlalu dari hadapan sahabatnya itu sambil berkata. “Jangan percaya banget sama prasangka. Kamu udah deketin dia selama tiga tahun. Barangkali dia juga suka sama kamu.”
“Kalau gitu, lepas sekolah ini aku mau bilang sama dia deh. Kamu bersedia bantu kan?”
Tanpa perlu menoleh, Anggrek menganggukkan kepalanya tanda setuju.
                                                           ***
Bel sekolah berdentang-dentang. Ria mendatangi bangku Anggrek lalu membisikkan sesuatu. Anggrek menerbitkan senyum meski dipaksakan. Dengan perasaan tak menentu, Anggrek menyeret langkahnya menuju tempat duduk Bayu. Tanpa banyak cakap, ditariknya lengan kanan Bayu ke depan kelas. Beberapa anak masih hilir mudik keluar masuk kelas. Untuk beberapa jenak, pusat perhatian tertuju pada Bayu dan Anggrek.
“Bay, aku mau … ngomong sesuatu.”
“Apa?”
Lagi-lagi Anggrek harus menghindari tatapan elang itu. Tatapan yang sejak lama mengincar hatinya. Tentu saja Anggrek bukan gadis bodoh yang tak paham dengan semacam perasaan yang sering orang bilang: cinta. Meski untuk remaja seusianya istilah yang lebih tepat adalah cinta monyet. Anggrek bukan tak mengerti tawaran botol minuman dari Bayu untuknya, atau senyum Bayu saat mereka tidak sengaja bersitatap.
“Aku suka kamu.”
Bayu menatap tajam kepala Anggrek yang menunduk dalam. Bukan. Tentu saja itu bukan suara Anggrek. Bibir gadis yang berdiri di hadapan Bayu terkatup rapat. Tak lama, kepala Ria menyembul dari balik pintu kelas.
“Aku pulang duluan, ya.” Anggrek meninggalkan mereka dengan hati terserak.
Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar sorak sorai anak kelas XII. Anggrek mengembuskan napasnya yang berat. Ada yang menusuk-nusuk hatinya. Nyeri hebat yang baru pertama ia rasakan.
Kaki Anggrek membawanya ke Taman Alun Kapuas yang ramai pengunjung. Ada katarsis yang ingin Anggrek hempaskan, namun urung ia lakukan. Pandangan matanya kosong menatap riak air kapuas. Lenguhan kapal feri yang sedang merapat ke dermaga membawa ingatannya kepada Miftah. Satu-satunya anak lelaki di sekolah yang tahu bagaimana perasaan Bayu padanya. “Perempuan aneh. Kenapa sih kamu gak terima perasaan dia? Kenapa malah mendekatkan jarak Ria dan Bayu?”
“Kamu perempuan jahat yang pernah aku temui.”
Jantung Anggrek seperti melompat dan mencelus ke dalam sungai kapuas. Suara tak asing itu kini berada di dekatnya. Bayu telah berdiri di belakang Anggrek dengan wajah kaku dan dingin. Anggrek membalikkan badannya dengan ragu. Kali ini dia tak bisa menghindar. Dilihatnya sepasang mata elang milik Bayu menyiratkan luka yang cukup dalam.
“Aku menolaknya,” Bayu mengembuskan napasnya kuat-kuat. “Aku bilang sejujurnya kalau ada perempuan lain yang kusuka.”
"Kamu …bilang sama dia siapa namanya?” tanya Anggrek khawatir. Seandainya Ria tahu, maka persahabatan mereka berada di ujung tanduk.
“Belum saatnya aku bilang ke banyak orang.” Bayu berjalan memunggungi Anggrek.
Langit sore kota Pontianak tak berwarna jingga. Ada gumpalan awan hitam yang siap melahirkan rintik-rintik air. Sudut mata Anggrek membasah sebelum gerimis sempat menyamarkan air matanya.
***
Wajah-wajah ceria memenuhi lapangan SMA Mulia. Semua anak kelas XII angkatan Anggrek melewati ujian nasional satu bulan lalu. Dan hari ini, mereka mengecap rasa manis setelah bersusah payah. Kelulusan menjadi pintu untuk memandang mimpi serta cita yang terbentang di depan mereka. Di tengah kebahagiaan itu, ada kisah klasik tentang sepasang kekasih yang harus berakhir karena terpisah tempat kuliah: hubungan jarak jauh terlalu sulit, kata mereka. Atau ada juga yang bertahan, perasaan semacam itu memang butuh diperjuangkan ‘kan? Imbuh mereka.
Namun untuk beberapa anak, termasuk Anggrek dan Ria, ada kehilangan yang menyergap. Bukan tentang suka pada lawan jenis atau semacamnya, tapi tentang persahabatan mereka. Anggrek dan Ria melanjutkan ke kampus yang berbeda. Tapi Anggrek tahu, waktu senantiasa membawa manusia kepada hal-hal baru. Sudah sewajarnya seperti itu. Maka bersedih pun tak perlu berlarut-larut.
“Aku cuma mau bilang sesuatu. Bayu dirawat.” Miftah mendatangi Anggrek yang tengah duduk di bangku taman sekolah.
Hampir saja Anggrek terpekik jika tak segera membekap mulutnya. "Aku kira, dia gak dateng ke acara pengumuman kelulusan karena ada acara keluarga.”
“Usus buntu. Eh tapi jangan bilang siapapun. Termasuk Ria.” Miftah mengeluarkan secarik kertas dari saku baju seragam sekolahnya. “Sebagai sahabat Bayu, aku mohon telepon dia. Itu nomor HP-nya yang baru. Dua minggu lagi dia berangkat ke Jogja.”
“UGM? Dia lulus seleksi masuk sana kah?”
Miftah mengedikkan bahunya.
***
“Halo, Bay,” Anggrek membetulkan posisi duduknya. Dipandangi gambar bola basket pemberian Bayu beberapa bulan lalu. “Ini aku, Anggrek. Miftah bilang, kamu dirawat? Dan UGM?”
“Iya. Sebentar lagi aku berangkat ke Jogja. Anggrek, aku…”
"Ya?”
“Aku suka kamu.”
Hening menjadi kawan baik mereka untuk beberapa saat. Mulut Anggrek masih membisu.
“Aku mau ke ruang operasi sekarang. Sudah dulu, ya,”
“Tung-gu. Aku … juga.”
***
Matahari beranjak pergi, hendak berpamitan pada bumi. Di belakang panggung langit, putri bulan masih bersiap-siap mengenakan jubah putihnya yang menawan. Para dayang bintang sibuk kasak-kusuk mempersiapkan cahayanya. Ah, peristiwan senja memang kerap Anggrek temui sejak statusnya menjadi mahasiswa.
"Angrek!” Puspa, teman satu jurusan Anggrek berteriak dari atas motor. “Jangan lupa, ya. Besok jam dua siang kita ketemu di masjid mujahidin.”
Anggrek tersenyum sekadarnya. Setahun berlalu dengan cepat. Tiap detik yang terlewat memberi banyak pelajaran. Perubahan pada manusia adalah niscaya. Entah menjadi baik atau buruk, semua sudah memiliki garis takdir. Hanya saja, ada usaha serta doa yang menjadi  jembatan antara manusia dengan Tuhannya.
“Apa kabar?”
Sebuah sapaan membuyarkan lamunan Anggrek. Laki-laki pertama yang membuat pengakuan suka padanya satu tahun lalu: Bayu. Tatapan elang juga senyum yang Anggrek simpan di kantung hatinya masih sama.
Anggrek memalingkan wajah. Jantungnya berdetak lebih cepat. Kedua pipinya merah, memanas. “Kok di sini?”
“Kampusku sudah ujian akhir. Libur sebulan,”
“Oh,”
Anggrek teringat ucapan Pupsa seminggu lalu di selasar masjid mujahidin. Tentang hubungan perempuan dan laki-laki. Tentang perasaan. Tentang pernikahan. Sudah diputuskan segalanya sejak itu. Sore ini Anggrek harus bicara tegas. Petang ini, semua harus diakhiri. Meski terluka. Walau berdarah-darah, tapi Anggrek paham bahwa yang terbaik bagi manusia, adakalanya menimbulkan sesak teramat sangat. Perkara rasa sudah diatur-Nya. Sedang janji Tuhan takkan pernah ingkar. Rindu yang menyala-nyala itu akan dipadamkan. Anggrek mengerti, api cinta bukan membakar, namun menghangatkan lewat jalan yang ditetapkan-Nya.
“Aku…"  Anggrek berkata lirih, menguatkan hati. "Hubungan kita … lebih baik kita fokus pada cita-cita.”
Bayu mengerutkan kening.
Untuk sebentar, beberapa menit saja, Anggrek memberanikan diri menatap mata elang yang selama ini memasung hatinya. “Kita … harus belajar apa itu penerimaan yang tulus, dan … bagaimana mencintai kehilangan.”
Semburat kemerahan di ufuk barat langit Pontianak menjadi saksi bagi dua insan itu, bahwa senja telah mengajarkan makna sebuah perpisahan yang mengantarkan mereka pada satu cinta sejati: Tuhan Semesta Alam.
***
Epilog Bayu
Anggrek, terima kasih karena pernah hadir dalam hidupku. Semenjak itu, tak pernah ada perempuan yang dekat denganku. Menjaga jarak. Maaf seandainya aku tak sopan, tapi izinkan aku jujur … kamu cinta pertama yang akan sulit kulupakan.
Oh, aku udah terima undangan nikah kamu. Sejujurya aku merasa sial meski gak pernah ada janji apa pun di antara kita: aku terlambat untuk melamarmu.
Semoga laki-laki yang menjadi pilihanmu, membimbing kamu masuk surga.
 Bayu menekan tombol enter. Pesannya telah diterima dan dibaca oleh perempuan yang esok akan mengikat janji suci di hadapan Tuhan. Perempuan yang singgah lama di hatinya. Perempuan yang memberikan warna pelangi dalam hidupnya. Perempuan yang mengenalkan Bayu pada sebuah kata: melepaskan.
Bayu tersenyum lega melihat icon smile sebagai balasan pesannya.
 END.
SF
Pnk, 28052019
5 notes · View notes
diary-sunflower · 5 years
Text
Dear, wahai aku...
Dear, Aku
Dear, aku yang sering tidak konsisten dalam hal apapun. Kecuali perkara keimanan, ini harus konsisten sampai akhir hayat, aamiin. Entah sudah berapa kali kamu akan sesumbar pada sesiapa yang kamu pikir akan memberikan semacam solusi : kegalauan kamu apakah akan lanjut menulis di blog atau tidak. Pada akhirnya, kamu yang akan menentukan apakah akan lanjut menulis atau tetap diam dalam senyap.
Dear, aku yang kerap mengkhawatirkan masa depan. Padahal, kamu ini adalah orang beriman. Namun mengapa cemas itu mengendap dalam hatimu. Bukankah kamu punya Allah Sang Maha Segala?
Dear, aku yang kerap malas-malasan mengerjakan pekerjaan. Kamu tahu sekali dengan jelas, bahwa orang yang malas akan menuai hasil yang tidak pernah siapapun mengharapkannya. Namun godaan untuk melakukan hal-hal menyenangkan, seringkali membuatmu lalai. Ah, kamu tahu, bahwa nikmat yang sering dilalaikan itu adalah kesehetan, juga waktu luang.
Dear, aku yang sering minder terhadap siapapun. Kadangkala, rasanya tanganmu ingin menggapai semua yang ada di langit. Namun kakimu, masih saja terus menjejak di bumi. Masih saja tersandung batu kecil atau besar. Pandanganmu masih saja lurus menatap atas, sampai kamu kerap tak sadar bahwa air matamu menetes deras.
Dear, aku yang tengah menulis ini…
Kamu tidak tahu akan memulai sesuatu yang baru tiap harinya atau tidak. Kamu hanya perlu terus merangsek maju meski terasa sulit dan menyesakkan. Meski kamu tidak tahu bagaimana hidupmu esok, bahkan malam nanti. Kamu hanya perlu yakin, bahwa Allah takkan pernah menyiakan hamba-Nya yang selalu berusaha untuk bertaqwa. Kamu hanya perlu yakin, bahwa ikhtiar serta doa meski lirih, akan Allah selalu dengar.
SF
Pnk,
28052019
8 notes · View notes
diary-sunflower · 5 years
Video
youtube
Saya ini masih lemah dalam hal mendengarkan musik. Terkadang, sih. Meski termasuk yang susah untuk ‘suka’ sama musik, tapi kalau ada satu lagu yang klik di telinga saya, akan saya cari sampai ke youtube, haha.
2 notes · View notes
diary-sunflower · 5 years
Text
Tulisan Galau pada Masanya
Kata Tere Liye, dunia menulis itu adalah tempat gombalnya para penulis.
Subuh ini.
Sebuah rasa yang terkunci rapat, tiba-tiba muncul keluar. Ia bernama rindu. Walau bentuknya tak lagi utuh dan sempurna. Aku teringat kalimatmu dulu saat emosi dan pendapat kita bersebrangan. “Semoga kau masih suka melihat purnama”.
Sehingga tanpa sadar, sebuah sisi melankolis yang belakangan ini kutikam jauh, tak terjamah oleh waktu karena kesibukan lain, akhirnya berhasil mengalahkan semuanya. Membuat jemariku menekan tuts keyboard untuk menulis tentangmu.
Saat itu, dua tahun lalu. Aku menangis keras sambil duduk di pinggir jendela kamar. Menengadah keatas, melihat bulan utuh yang kau sebutkan. Kita sama-sama sedang memandang dan menikmati ciptaan Tuhan yang indah. Seakan, pikiran kita yang sedang berkecamuk menjadi tenang dan teduh. Sebab kita melihat sesuatu yang sama, tak lagi bersebrangan. Pandangan kita satu.
Hatiku dan dirimu luluh dalam proses pengalahan ego.
Sepertiga malam tadi pukul 02.00 WIB.
Aku terbangun dari nyenyaknya tidur. Aku bermimpi tentangmu. Kata orang, mimpi itu terbagi menjadi dua, mimpi baik dan buruk. Mimpi baik diartikan karena membuat hati kita senang, boleh diceritakan pada beberapa orang, dan dianjurkan untuk berdo’a karena bisa saja akan menjadi kenyataan. Sedangkan mimpi buruk adalah mimpi yang membuat kita takut dan sedih. Tak boleh diceritakan pada orang lain, lalu kita disuruh berdo’a, minta perlindungan agar semua itu tak benar-benar terjadi dalam hidup.
Namun, aku tak tahu, bermimpi yang temanya dirimu masuk dalam kategori baik atau buruk? Di satu sisi, aku merasa sesak... tapi di sudut hati yang lain, ada sepucuk rindu dan bahagia melihat wajahmu dalam mimpi.
Apa kabar? Masihkah kau mengingatku yang pernah hadir dalam hidupmu? Apa kau masih suka melihat purnama?
Sebab cinta tak melulu berwarna ceria seperti pelangi pada siang hari yang tampak oleh kasatmata. Namun ia dapat menjelma menjadi pelangi di malam hari. Beragam warna, namun tak semua orang bisa melihat dan merasakan hadirnya. Karena mencintaimu dengan diam dan tak memilikimu adalah definisi cintaku untuk kebahagiaanmu.
 Saya,
Purwokerto 29 April 2012.
***
Eaa. Emak-emak baper? Eits. Lihat dulu, dong. Itu ditulis kapan emang? Haha. Secara khusus, saya berterima kasih kepada facebook. Sebab ia masih saja konsisten menampilkan status-status saya yang diberi nama “kenangan”. Kalau boleh saya bilang, membaca kenangan FB itu ibarat mengumpulkan serpihan; kepingan puzzle. Masa lalu yang membuat saya seperti melintasi petala ingatan, berujung pada sebuah kontemplasi. Tulisan di atas mengingatkan saya pada kondisi hati saat galaunya dengan skripsi dan kisah merah darah yang telah saya larungkan jauh-jauh ke lautan tak bertepi, haha!
Lalu sepagian tadi, saya cukup heboh dengan akun tumblr seseorang yang saya kagumi kisah dan tulisannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya hanyalah salah satu netizen negara berflower +62 yang kepo dengan akun baru orang itu, maka saya masuk lagi ke tumblr. Yha~ mana tahu, kan? Kali aja saya jadi rajin menulis lagi seperti dahulu. Entahlah... yang jelas tahun ini, saya punya target pribadi, yang sudah saya hitung-hitung, sangat sulit untuk menyeimbangkan konsisten menulis dengan target satu itu. Hah sudahlah. Kita lihat saja nanti...
Jadi, kalau kamu punya facebook, apa kenanganmu hari ini?
1 note · View note
diary-sunflower · 5 years
Text
Tumblr media
Dia (bukan) Mangataku
Aku selalu memohon ampun pada Tuhan, jika rasa yang tumbuh subur ini menjadikanku seorang pendosa. Cerita-cerita pendek milik wanita itu berhasil menjebakku dalam labirin yang entah apa namanya. Dalam sebuah kalimat yang pernah kubaca, tatapan tajam seseorang dapat membunuh orang lain hanya dengan lirikannya. Maka tak berlaku untuk sepasang mata teduh yang tiap detik mampu menikam jantungku.
Aku dan dia bertemu enam bulan lalu pada sebuah komunitas baca-tulis di kota kami. Tak ada yang istimewa pada awalnya. Namun kepiawaiannya dalam meramu kata menjadi sebentuk cerita atau sajak, selalu dapat membuat hatiku berdegup. Perbincangan kami diawali oleh sebuah lema yang saat itu masih asing di telingaku.
"Penulis cerita pendek Mangata?" tanyaku.
Dia tersenyum lalu mengajakku duduk di sampingnya. Sejak itulah, lebam-lebam di wajahnya menyeretku dalam lembah keputusasaan. Diam-diam aku merapal doa agar dapat membawanya jauh entah ke mana.
Kini wanita itu dengan tenang menyesap secangkir teh hangat di kafe yang didominasi oleh aroma kopi. Namun kenikmatannya dalam menyeruput minuman itu seperti tidak terganggu.
"Kau mengingatkanku pada "Bersetia" milik Bang Benny Arnas." Kataku sambil membuang pandang ke arah luar jendela.
"Maka biarlah frasa itu menari-nari dalam kepalaku meski ada luka yang menyayat," timpalnya.
Kupandang wajahnya lekat-lekat. Aku mencari kalimat permohonan untuk membawanya pergi, tapi nihil. Tak pernah kutemukan rasa penyesalan yang hinggap walau sejenak.
"Kau masih ingat sebuah kata yang membuat kita dekat?" Dia menghela napas sebentar. "Aku ingin berjalan di atasnya sambil menggunakan gaun putih yang cantik."
Dia terkekeh pelan. Namun tidak denganku. Rasanya ingin kutarik kedua tangan wanita itu, lalu menjauh dari hiruk-pikuk hidupnya yang terlalu gaduh.
Malam ini, aku melihat dia menatap dalam-dalam cincin yang melingkar di jari manis kanannya. "Kau tahu, dulu dia mengatakan padaku kalau kami masih melihat purnama yang sama, maka hati ini masih saling terpaut."
Sekali lagi kisahnya seperti sembiluan yang menusuk jantungku.
"Aku sudah membunuh lelaki itu berulang kali dalam tiap ceritaku, Pram," Wanita itu membalas tatapan mataku. "Kata-kata adalah katarsis terbaik setelah doa."
***
Aku sudah berusaha bersijingkat pelan untuk keluar dari rasa yang kerap membuat hatiku patah. Namun selalu tak berhasil. Entah pondasinya yang terlalu kokoh atau aku yang bodoh. Yang jelas aku tahu bahwa Tuhan tak pernah salah. Bukankah hidup seperti itu? Jika waktunya meranggas, maka aku harus menerima dengan baik seperti daun yang jatuh.
Aku selalu ingin memindai purnama dengan wanita perindu mangata. Namun hatinya yang terlalu tegar tak pernah mengizinkan kami memiliki pandangan yang satu. Aku dan dia berbeda, katanya. Entah sampai kapan masih harus berjibaku dengan rindu yang selalu penuh dengan senyumnya.
"Apa kabar, Nar? Malam ini cerah. Sayang kita tak bisa menyaksikan mangata bersama-sama." Bisikku sambil melarungkan gaun putih ke sungai kapuas. "Makammu masih basah. Tapi aku harus menyampaikan berita yang pasti membuatmu bahagia. Kuharap, ini adalah purnama terakhir untuk menuntaskan sekerat rindu yang masih bercokol. Besok pagi... aku mengikat janji suci di hadapan Tuhan, meski bukan denganmu."
Pontianak, Mei 2018.
(Sumber gambar: https://wristsponsible.com/shop/light-blue-white)
3 notes · View notes
diary-sunflower · 5 years
Text
Udah lama gak nulis fiksi. Terus baca tulisan fiksi saya yang lama... lalu merasa tulisan saya yang sekarang kayak kanebo kering. Kaku. Ha-ha-ha.
Gak apalah, daripada lu-manyun, yekan... eh, maksudnya daripada gak nulis2 terus alias mandeg, heu~
2 notes · View notes
diary-sunflower · 5 years
Text
Tumblr media
Aku kerap berjalan-jalan saat langit mulai berwarna kemerahan. Aku suka memindai matahari yang tengah bersiap untuk mengucapkan sampai jumpa lagi pada penduduk bumi. Aku juga suka melihat banyak sekali rumah di waktu seperti ini. Memandangi pintu-pintu yang terbuka. Menilik kosen jendela--baik yang terbuka atau tertutup-- dari kejauhan. Mengamati mereka, baik yang kukenal atau tak kukenal sekalipun.
Aku suka menghabiskan waktu untuk menerka apakah gerangan yang membuat keluarga dalam rumah-rumah itu bahagia. Mengapa mereka bisa tertawa lepas, meski dari yang kutangkap, sebagian dari mereka bukan kalangan yang berada; papan kayulah yang membentuk rumah mungil mereka. Dan sebagiannya lagi, memiliki rumah-rumah yang amat elok; dinding bercat juga berpagar tinggi.
Aku berhenti sejenak di depan halaman rumah bercatkan biru. Kuhitung ada enam anak kecil sedang bermain. Satu anak berkaus hijau mengejar seorang anak lain untuk menepuk tubuhnya. Empat lainnya berjongkok sambil mengejek. Tak lama, hap! Kena. Si kaus hijau berteriak lantang dengan napas tersengal. "Giliran kau yang jaga!"
Tak jauh, sekelompok anak lain tengah mengejar layang-layang yang talinya putus. Padahal layang-layangnya hanya satu, tapi yang mengincarnya sangat banyak. Aku ingin tahu siapa yang akan dapat? Atau jangan-jangan tidak ada yang dapat karena tersangkut di pohon yang tinggi. Semangat mereka pantas kuacungkan jempol. Walau beberapa kali pengendara motor dibuat kesal dengan membunyikan klakson kuat-kuat hingga telinga pekak, tetapi anak-anak itu seolah tak gentar.
Aku terkesima saat mataku menangkap sepasang kakek-nenek yang duduk di kursi kayu beranda rumah. Keriput pada wajah juga tangan mereka, serta merta membuat rasa iri bercokol begitu saja di hatiku. Di tengah sepasang kekasih yang tak lagi muda itu, ada meja kecil dengan segelas kopi hitam yang asapnya mengepul untuk kakek, juga secangkir teh melati hangat untuk nenek. Tak lama dari arah dalam rumah, seorang gadis berkerudung merah muda membawa sepiring bakwan yang baru matang. Apakah mereka sebahagia itu? Aku ingin tahu, bagaimana cinta bagi mereka?
Aku lupa sejak kapan jatuh cinta pada kebiasaan ini. Mungkin karena aku rindu. Mungkin karena aku ingin bertemu mereka yang tak pernah kutahu seperti apa wajah yang seharusnya aku panggil ibu dan ayah. Mungkin karena aku ingin seperti kakek tadi yang dicintai oleh sang nenek, pun sebaliknya. Mungkin karena aku merasa kosong... seperti rinduku yang entah ingin kutujukan pada siapa.
Hingga aku melihatnya. Seorang gadis yang sore itu sibuk menyirami bunga-bunga matahari di tamannya. Namun tatapannya amat kosong. Kamipun bersitatap. Seolah kami saling menyelami lautan cerita tanpa kata-kata. Seolah kami sudah saling memahami tanpa harus berucap. Seolah kami memang ditakdirkan untuk bertemu di dunia yang fana ini.
"Aina, ayo, masuk. Waktunya minum obat." Terdengar suara dari dalam. "Heh orang gila! Pergi sana! Jangan keliaran di sini!" Seorang ibu paruh baya dengan rambut disanggul rapi menghardikku. Tangan besarnya menuntun gadis tadi masuk ke dalam rumah.
Pontianak, 5 Januari 2019.
(Sumber gambar: https://pxhere.com/id/photo/756451)
2 notes · View notes
diary-sunflower · 5 years
Text
Kalau setelah makan kita malah malas gerak, terutama ibadah. Jangan-jangan ada yang salah dengan makanan kita. Jangan-jangan ada yang salah dengan cara makan kita. Jangan-jangan kita terlalu memenuhi perut kita. Jangan-jangan tidak ada berkah di sana, Mi.
kata suami saya, suatu pagi.
7 notes · View notes