Tumgik
#Video Gerak Lambat
miring · 2 months
Text
Saat dunia dijajah hiruk-pikuk alur video linimasa cepat seperti tiktok, reels, hingga youtube shorts yang membuat manusia seolah dipaksa berfikir pendek dan singkat. Ada dunia lain bernama tumblr, yang membuat seolah waktu berjalan lambat dan tenang, membuat penghuninya berjalan perlahan, berhenti untuk membaca, merenung, lalu kembali bergerak. Tak ada beat musik yang bising atau gerak layar yang menusuk mata, hanya ada tulisan yang dibaca.
Tumblr seperti kamar tempat kita berbaring setelah penuh dengan kepenatan dunia, tumblr seperti pantai kala senja tempat melepas lelah dari kebisingan kota.
774 notes · View notes
belajarit · 6 months
Text
Apakah iOS 17 Lambat di iPhone Anda? Inilah Perbaikannya
Jika Anda merasa iPhone atau iPad Anda berjalan lebih lambat setelah memperbarui ke iOS 17 atau iPadOS 17, Anda tidak sendirian. Fenomena ini sering terjadi pada banyak pengguna setelah melakukan pembaruan perangkat lunak sistem yang besar. Meskipun biasanya pembaruan seharusnya membuat perangkat Anda berjalan lebih cepat, namun hal ini tidak selalu terjadi segera, terutama jika Anda memiliki perangkat yang lebih tua, atau Anda memiliki banyak data yang tersimpan di iPhone atau iPad Anda.
Namun, jika perangkat Anda merasa lambat setelah memperbarui ke iOS 17 atau iPadOS 17, jangan khawatir. Berikut adalah beberapa alasan mengapa hal ini bisa terjadi dan beberapa tips untuk mempercepat kembali iPhone atau iPad Anda:
Bersabarlah Setelah Memperbarui ke iOS 17 / iPadOS 17: Setelah melakukan pembaruan besar, perangkat Anda akan melakukan sejumlah tugas latar belakang untuk mengindeks konten. Ini termasuk foto, kontak, file, video, dan media lainnya. Perangkat juga akan memindai foto-foto Anda untuk mengidentifikasi objek, orang, hewan peliharaan, dan banyak lagi. Semua tugas latar belakang ini dapat membuat iPhone atau iPad Anda terasa lebih lambat dari yang diharapkan. Hal ini bersifat sementara dan normal. Tugas-tugas latar belakang ini juga dapat menguras baterai lebih cepat, namun akan kembali normal setelah selesai. Bersabarlah dan biarkan perangkat Anda menyelesaikan tugas pengindeksan ini. Membiarkannya tetap tersambung dan terhubung ke Wi-Fi semalaman adalah solusi yang baik, terkadang perlu waktu semalam atau beberapa malam untuk menyelesaikannya.
Perbarui Aplikasi Anda: Beberapa aplikasi mungkin tidak bekerja semulus yang diharapkan pada iOS 17 hingga aplikasi tersebut diperbarui oleh pengembangnya. Buka App Store, ketuk ikon profil Anda, dan pilih “Perbarui Semua” untuk memperbarui aplikasi Anda.
Menonaktifkan Aktivitas Aplikasi Latar Belakang: Aplikasi yang berjalan di latar belakang dapat memperlambat iPhone atau iPad Anda. Menonaktifkan Penyegaran Aplikasi Latar Belakang dapat membantu. Buka Pengaturan -> Umum -> Penyegaran Aplikasi Latar Belakang dan atur ke MATI.
Mengosongkan Penyimpanan: iOS 17 dan iPadOS 17 membutuhkan ruang kosong untuk bekerja dengan baik. Usahakan untuk memiliki setidaknya 5GB penyimpanan kosong, tetapi lebih banyak lebih baik. Buka Pengaturan -> Umum -> Penyimpanan iPhone/iPad untuk menghapus aplikasi yang tidak diperlukan atau file besar.
Periksa Kesehatan Baterai: Kesehatan baterai yang buruk dapat memengaruhi kinerja iPhone Anda. Buka Pengaturan -> Baterai -> Kesehatan Baterai untuk mengetahui pesan tentang penurunan kualitas baterai. Mengganti baterai dapat membantu meningkatkan kinerja secara signifikan.
Nonaktifkan Animasi: Perangkat yang lebih tua dapat terasa lebih cepat dengan animasi yang dinonaktifkan. Aktifkan Kurangi Gerakan untuk menghapus animasi yang tidak perlu dan mengurangi gangguan pada perangkat. Buka Pengaturan -> Aksesibilitas -> Gerak -> Kurangi Gerak dan nyalakan.
Reboot Paksa iPhone Anda: Banyak masalah kinerja dan gangguan yang dapat diperbaiki dengan menghidupkan ulang perangkat Anda secara paksa. Untuk iPhone dan iPad dengan ID Wajah, tekan volume atas, lalu volume bawah, dan tahan tombol samping/daya hingga Anda melihat logo Apple. Untuk perangkat dengan tombol home, tahan tombol daya dan home secara bersamaan hingga Anda melihat logo Apple.
Instal Pembaruan iOS/iPadOS di Masa Mendatang Saat Tersedia: Sebagian besar masalah kinerja tidak terkait dengan bug atau cacat pada perangkat lunak, tetapi jika memang demikian, Apple akan mengatasinya dengan cepat dengan pembaruan perangkat lunak untuk iOS dan iPadOS. Oleh karena itu, ikuti terus pembaruan yang tersedia untuk iOS dan iPadOS. Instal pembaruan perangkat lunak sistem apa pun jika Anda melihatnya tersedia. Anda selalu dapat memeriksanya di Pengaturan > Umum > Pembaruan Perangkat Lunak.
Kesimpulan: Jika iPhone atau iPad Anda merasa lambat setelah memperbarui ke iOS 17 atau iPadOS 17, ada beberapa langkah yang dapat Anda coba untuk mempercepat kembali perangkat Anda. Ini termasuk bersabar dan membiarkan perangkat menyelesaikan tugas pengindeksan, memperbarui aplikasi Anda, menonaktifkan aktivitas aplikasi latar belakang, mengosongkan penyimpanan, memeriksa kesehatan baterai, menonaktifkan animasi, melakukan reboot paksa pada iPhone Anda, dan menginstal pembaruan iOS/iPadOS di masa mendatang saat tersedia. Dengan mengikuti langkah-langkah ini, Anda harus dapat meningkatkan kinerja iPhone atau iPad Anda dan menikmati semua fitur baru yang ditawarkan oleh iOS 17 dan iPadOS 17. sumber here
0 notes
salmonmentai · 1 year
Text
Artjog 2022 (Part 2)
Hari minggu itu adalah hari terakhir pameran Artjog 2022 dan itulah tujuan kami ke Jogja. Tidak banyak ruang pameran yang pernah kukunjungi, tapi Artjog punya karakter ruang pamer yang memenangkan hatiku: meriah.
Tumblr media
Pameran di Pakuncen
Hanya dua kali aku datang ke Artjog yang berlokasi di Museum Nasional Jogja (JMN), tapi di dua kali itu pula aku mendapati Artjog dalam keadaan ramai sekali hingga para pengunjung senggol menyenggol. Meriah, seperti pasar seni. Seingatku, Museum Macan (Jakarta Barat) juga ramai, instalasi Yayoi Kusama selalu mengantri, tapi kenapa tidak ada kesan meriah di dalam sana?
Kemudian aku sadar, tinggi langit-langit JMN itu cuma 3 meter. Secara proporsional, museum itu juga memiliki sekat-sekat ruangan yang juga kecil (mungkin modulnya 4x4 meter). Peter Zumthor bilang, untuk memahami atmosfer suatu ruangan, manusia butuh skala perantara, yaitu ukuran yang paling dekat dengan ukuran manusia. Di Artjog, ruang kecil dan pendek itulah skala perantara yang memudahkan kita (pengunjung) untuk memahami atmosfer karyanya. Selain itu, ruang-ruang kecil memberi masing-masing instalasi ruang yang cukup untuk membangun atmosfernya. Berbeda dengan Museum Macan yang tinggi ruangannya sampai 6 meter, sehingga secara proporsional membutuhkan ruang gerak yang lebih besar daripada JMN. Ruang-ruang besar itu memberikan spotlight yang utuh pada karya, karena kita bisa mengakses karya dari jauh sekaligus dari dekat juga. Kesan yang didapat dari pameran di sana memang indah dan megah, kalau disandingkan dengan Artjog di JMN yang kesannya meriah dan intim.
Artjog 2022 dibuka dengan narasi dari karya seniman Bandung yang diposisikan di lantai dan membuat pengunjung menunduk untuk membacanya. Masih dalam posisi menunduk, aku menemui sumber suara dengung di ruangan ini, di bawah kaki monster mikroskopis raksasa. Setelah berkeliling di lantai satu, di lantai dua ponselku mati kehabisan baterai dan aku terpisah dengan Jovani. Tapi sudah kepalang terpisah, sekalian saja melompat dari satu rombongan ke rombongan lain di dalam pameran. Ponsel yang mati juga meniadakan keperluan untuk mengabadikan pamerannya, membuat aku berjalan lebih lambat dari satu karya ke karya lain. Aku tersesat sambil menguping penjelasan tour guide tentang tradisi pemakaman manusia buaya, melihat karya bertema gender fluidity, dan duduk di depan video slow motion dari tentara-tentara yang berjoget Terpesona secara serempak. Sebelum menemui Jovani, aku duduk di depan pohon beringin di belakang museum. Pohon beringin yang berdiri sendiri dalam diam di tengah riuh rendah pengunjung. Atmosfer yang kurasa tepat untuk menutup rangkaian pameran di dalam museum.
Kombucha di Sleman
Tumblr media
Sambil makan pecel dan tengkleng gajah, aku dan Jovani melanjutkan perjalanan 20 km ke Sleman. Melaju di Jalan Kaliurang yang panjang ke utara Jogja, kami menuju ke sebuah kafe bernama Swara Dewandaru. Setelah melewati plang “Wisata Merapi”, rasa skeptisku terhadap tempat itu timbul. Siapa lagi ya, selain kami yang masuk jauh ke dalam perkampungan untuk duduk-duduk?
Tanda tanya itu membesar hingga kami tiba di terowongan yang terbuat dari bambu dan disorot lampu-lampu. Hingga aku menyesap kombucha enak yang diminum sambil mendengarkan musik yang dikurasi oleh operator. Operator kafe menyapa pengunjung satu persatu dan memastikan kami menikmati waktu kami di sana. Di perjalanan pulang, aku merenungi perkenalan ulangku dengan Jogja di hari itu. Hari itu, tidak hanya titik-titik destinasinya yang menyenangkan buatku. Perpindahan dari satu titik ke titik lainnya juga menjadi bintang acara hari itu, aku bernostalgia atas obsesi lamaku akan mobilisasi jarak jauh. 
Akhirnya ada yang beda di Minggu malam itu. Aku rebahan tanpa scroll instagram karena sibuk dengan pinggul yang kesemutan. Jovani pun diam tanpa kata-kata karena terlalu lelah.
Tumblr media
1 note · View note
animblo-blog · 3 years
Text
Cara Membuat Video Slomo di Capcut Apk Dengan Mudah
Cara Membuat Video Slomo di Capcut Apk Dengan Mudah
Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba membantu kalian yang sedang mencari tutorial panduan mengenai bagaimana Cara Membuat Video Slowmo atau Slow Motion di aplikasi Capcut . Simak penjelasan dibawah ini, sampai selesai. Ini Rumus Filter Capcut Untuk Edit Video Jadi Aesthetic Membuat Video Slowmo di Capcut Belakangan ini, membuat Video Slowmo atau Slow Motion ( Gerak Lambat ) memang sudah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
officialhanayuri · 3 years
Text
Fuyu [part five]
"Nabe?" Yulia tiba di ruang makan lewat sedikit. Hotpot sederhana besar telah diletakkan ditengah-tengah meja jepun bersama pelbagai sayuran dan seafood disekelilingnya. 
"Oh.. Yuri.. tolong Kak Ana angkat buah," Adam muncul daripada dapur dengan jug kettle yang akan dipanaskan diatas api yang diletakkan bersebelahan meja jepun. Bara api dibawah tungku klasik itu kelihatan masih membara. 
"Okay," Yulia segera ke dapur. Dilihatnya Anastasia sedang memotong buah pelam. 
"Kenapa tiba-tiba kita masak nabe ni?" Tanya Yulia kepada Anastasia. 
"Sebab mama dan ayah tak ada," sampuk Hani daripada arah peti sejuk. "Mama abah pergi Johor sampai rabu depan. So..," 
"Party?" Tanya Yulia lagi.
Hanya di Fuyu sahaja, mereka berparty dengan nabe. Nabe atau hotpot yang lebih dikenali sebagai steambot menyajikan hidangan yang rebus-rebus sahaja. Di Fuyu, mama kurang gemar menggunakan makanan sejuk beku, maka segala fishball, fish cake, sosej dan apa-apa yang dikenali sebagai frozen processed food tak akan masuk ke dalam peti sejuk. Kecuali, jika mama tiada. 
Semua ini idea Noah. Noah mengatakan siang tadi, hasratnya untuk makan-makan bersama memandangkan Yulia bakal menghabiskan latihan amalinya bulan hadapan. 
Yulia meletakkan buah yang dipotong Anastasia di hujung meja. Hani dan Adam sudah terlebih dahulu mereneh cendawan dan beberapa makanan laut di dalam periuk. 
“Mana Noah?” Anastasia pula muncul daripada ruang masak dengan apron yang belum di tanggal. Terus sahaja dia duduk dihujung meja jepun, tempat rasminya. 
“Hmm..tadi dia kata nak beli barang dekat kedai runcit,” kata Adam sambil mencedukkan isi nabe ke dalam mangkuk.
“Kak Ana nak apa?”
“Tak apa.. Saya senduk sendiri,” Anastasia menolak dengan baik. Selang beberapa ketika, Noah masuk daripada pintu utama dengan menjinjing beg plastik berisi kekacang dan minuman isotonik.  
“Oh...tak tunggu eh makan. Sampai hati,” ujar Noah. Dia mengeluarkan isi barang yang dibelinya tadi ke atas meja. 
“Siapa suruh lambat,” balas Yulia bersahaja. 
“Tolak markah karang,” Noah mengugut dengan nada main-main. Namun, seisi Fuyu serentak memandang ke arahnya, termasuklah Anastasia yang kaku dengan penyenduk di tangan. 
“Ada markah apa? Ada buat event?” tanya Adam pula. Anastasia dan Hani berpandangan sebelum menyembunyikan tawa mereka.
“Makan..makan. Merepek je kau orang ni,” Anastasia menambah isi mangkuk Adam dengan isi ketam dan cendawan. 
“Yuri.. last attachment bila?” Noah berpura-pura bertanya, meskipun dia sudah dimaklumkan sejak hari pertama lagi. 
“Pertengahan ogos. Selepas seminggu, baru Yuri balik kampus,” Yulia akan menghabiskan saki baki cuti semester yang sejemput itu di Fuyu sebelum kembali ke kampus dan memulakan semester baharu. Tugasannya hanya tinggal pembentangan dan laporan bertulis. Selebihnya terpulang kepada preceptor untuk menilai hasil kerjanya. Dalam lebih kurang 3 minggu lagi Yulia akan mengucapkan selamat tinggal kepada Fuyu setelah 4 bulan mendiaminya. 
“Ana?” Tiba-tiba sahaja Anastasia diseru. Hampir tersedak wanita itu dengan kuah nabe yang tersalah masuk ke trachea. Cepat-cepat dia mencari air. 
“Huh? Kak Ana pun nak keluar dah?” Yulia menyampuk. Kini semua mata beralih pula kepada Anastasia. 
“Err..,” Anastasia bertentang mata dengan Noah. Perbualan dengan Noah kelmarin berkisarkan keputusannya sama ada hendak menyambung sewa atau kembali ke sarangnya di ibu kota.
“Noah.. ada masa? Can we talk?” Anastasia menegur Noah yang sedang berkebun di laman belakang. Beberapa pasu bunga dan selonggok tanah diletakkan di bawah pohon tabebuai.
“Ohh..sekejap. Kau tunggu dekat ruang tamu?” Noah mengelap peluhnya dengan tuala good morning. 
“Okay,” sementara menanti Noah, Anastasia menyiapkan dua cawan minuman. Kopi ais kosong untuk Noah, dan teh susu untuknya. Kemudian, Anastasia duduk di balkoni, menghadap laman jepun mini. Tempat yang sama dia, Yulia dan Adam meluangkan masa jika ada. Fuyu petang itu seperti rumah hantu, tiada satu kelibat pun kelihatan. Petang-petang begini, selalunya Adam atau Hani akan menonton televisyen di hadapan meja jepun. Namun susuk tubuh budak berdua itu juga tidak kelihatan. Terperap di bilik barangkali. Anastasia menghirup tehnya sesekali. 
“Nak cakap apa?” Noah memasuki Fuyu daripada laman. Terus sahaja dia mendudukkan diri dengan jarak 3 kaki daripada Anastasia, kakinya dijuntaikan ke bawah. 
"For me?" Noah mengangkat cawannya yang bercorak splat hitam putih lembu tenusu. Anastasia menganggukkan kepala. 
"Sebelum aku beritahu apa yang aku nak bagi tahu. Boleh aku tanya soalan?" 
Bagi mengelakkan komunikasi tidak efektif, Noah membenarkan sahaja.
"Kenapa kau berhenti jadi animator? You see… Aku ada dekat sini sebab aku kena ban. Kau? Did something go wrong?" Anastasia berhati-hati dalam memilih perkataannya. 
"Pembetulan. Aku berhenti jadi animator kepada syarikat animasi, tapi aku tak berhenti daripada membuatkan animasi," Noah memiliki akaun youtube peribadi yang digunakan untuk pelbagai animasi pendek yang juga pernah dicalonkan dalam beberapa awards. 
"Still, you pull yourself out from a team," Anastasia mahukan jawapan. 
"Things just happened that way? Tak semua yang kita rancang akan jadi. Aku letak jawatan sebab masa itu berlaku kepincangan dalam syarikat ayah aku. Semuanya kerana inheritance. Hani told you who I am, does she?" 
"Hmm," Anastasia bersetuju. "If your family is that loaded, why bother boarding in Fuyu anyway?" 
Anastasia membayangkan rumah agam milik keluarga Noah dan kereta mewah bersusun di laman. 
"Ingat tak aku pernah kata.. I feel at home bila aku berada dekat Fuyu? Strange enough that feeling aku tak pernah rasa dirumah sendiri. Ibu bapa aku tak duduk sini. Pejabat rasmi syarikat di KL. Kilang yang aku jaga ini hanyalah fraction daripada rangkaian kilang- kilang lain. Aku hanya melihat kepada management sahaja, hanya jadi boss pada nama. Aku bukan Yuri, aku tiada basic perihal ubat-ubatan,akta, regulations, anything yang berkaitan dengan farmasi. I'm just a puppet to fill the void supaya penama untuk peninggalan tidak jatuh ke tangan orang lain," panjang lebar Noah menceritakan kedudukannya. 
"Ayah? Mama?" tanya Anastasia. 
"Kau pernah tengok Ayah dan Mama kisah? Mereka adalah pakcik dan makcik aku yang tak pernah ambil tahu fasal harta. They have Fuyu, that is all they have. Ayah Mama pun sudah cukup kaya dengan duit pencen dan hartanah 3 ekar ini. Ayah sudah hibah siap-siap Fuyu kepada Hani apabila dia meninggal nanti, selebihnya akan diwakafkan. Duit tidak boleh dibawa masuk ke kubur," 
Anastasia membuang pandangan ke laman. Dia menggosok mug dengan jari telunjuknya. Noah turut sama memandang laman. Cawannya dibawa dekat dengan bibir.
"Noah, aku nak balik KL," akhirnya Anastasia berterus terang kepada Noah.
"Tiba-tiba?" Noah merendahkan cawan. Seingatnya Anastasia pernah mengatakan dia akan duduk di Fuyu sehingga kes siasatan ke atas penulisannya selesai. 
"Tiga hari lepas, boss aku mencadangkan aku untuk terus menulis sebagai ghost writer. Aku boleh berkarya, tetapi atas nama penulis lain," 
"Dan kau terima?" 
"I need to pay bills too," duit simpanannya masih cukup untuk beberapa bulan, namun dia perlu memikirkan bulan-bulan selepas itu. 
"Dan kau okay dengan cadangan tu?" Noah bertanya dengan jujur. 
"Kau masih bekerjaya sebagai animator kerana ada yang menonton animasi. Dan aku digelar penulis kerana ada yang membaca penulisan aku. Without viewer, without reader… what do you think we will become? Nothing. As long as I can spread my words.. I don't mind living as a ghost," 
Sudah bertahun-tahun juga dia hidup sebagai Anton sebelum masyarakat mengetahui identiti Anastasia. Noah diam sejenak, memberi ruang kesenyapan kepada otak untuk mereka ayat seterusnya. Tidak pernah terlintas difikiran, penulis fantasi popular itu akan 'merendahkan' diri, menyorok dibelakang penulis lain untuk kekal menulis. 
"Kau tak akan menyesal?" Sekali lagi Noah bertanya. 
"Entah, selagi mana aku tak cuba, macam mana aku harus tahu," ada benarnya juga kata-kata Anastasia itu. 
"Itu je ke kau nak cakap dengan aku?" 
"Ada lagi. Kau pernah tanya kenapa aku memilih untuk tinggal di Fuyu. Aku rasa aku dah ada jawapan untuk itu," 
"Apa?" 
“Kak Ana?” Hani bersuara daripada sisinya. 
Anastasia meletakkan chopstick ke atas piring. Dia merenung satu-satu wajah penghuni Fuyu sebelum membuka bicara. 
“Saya akan balik ke KL hujung minggu ni.,” Belum sempat Anastasia menghabiskan ayatnya, Yulia sudah menyampuk.
“Kenapa? Kak Ana ada projek baharu? Kak Ana nak menulis semula?” 
“Yuri…,” Noah menegur Yulia agar tidak memotong percakapan Anastasia. Akhirnya gadis itu mencebikkan muka sambil kembali mengunyah kepah. 
“Saya balik untuk selesaikan beberapa perkara. Dan kalau semuanya berjalan dengan lancar, saya mungkin akan kembali ke Fuyu lagi,” sambung Anastasia.
“Maksudnya..Kak Ana?” Adam masih tidak memahami apa yang cuba disampaikan oleh Anastasia. 
“I’m considering to move to Fuyu for good,” 
Anastasia membuat pertimbangan untuk menyewakan studio apartment yang dibelinya dahulu dan berpindah masuk ke Fuyu dalam satu tempoh yang panjang. Bekerja sebagai ghost writer tidak memerlukan identitinya diketahui umum. Malah semua gerak kerjanya selepas ini akan masuk ke stealth mode, wujud, namun tidak nampak di mata. Tujuan Anastasia kembali ke ibu kota adalah untuk mendengar perancangan Hanis dan jika perancangan itu menguntungkan, Anastasia akan bersetuju untuk sign agreement baharu. Dia juga memerlukan masa untuk mengemaskan studio dan menaikkan iklan ‘rumah untuk disewa’. Seberapa cepat segalanya akan selesai, Anastasia tidak berani menjamin dengan masa.
“Wahh.. muat ke nak simpan buku-buku Kak Ana dekat Fuyu?” Yulia masih ingat video tour studio Anastasia beberapa tahun lepas, setiap inchi rumahnya penuh dengan buku, daripada pintu masuk ke balkoni, semuanya dijajah oleh buku, termasuklah meja dan kerusi yang telah lenyap daripada fungsi asal dan menjadi rak buku. Satu-satunya kawasan yang selamat adalah dapur kecil molek. Itu pun kurang 3 kaki daripada stove, ada beberapa buku diletakkan secara bertingkat berhampiran dengan bekas teh dan biji kopi. 
“Itu, saya nak bincang dengan ayah dan mama. What if, kita tambah fungsi Fuyu selain daripada rumah penginapan, kita extend sebagai book cafe?” Kali ini Anastasia mengalihkan pandangan kepada Hani. Hani pula menghantar isyarat mata kepada Noah. Noah mengangguk dengan segaris senyuman yang menyakinkan. 
“Book Cafe? Idea yang bagus,” sokong Adam. 
“Tapi nanti, kalau Kak Ana nak pindah keluar, macam mana pula?” Hani bertanya setelah sekian lama mendiamkan diri.
“Apa yang macam mana? Buku? Fuyu can keep it. Saya tak baca buku yang sama dua kali,” Anastasia mengangkat jari telunjuk dan diletakkan ke kepala. “I remember everything I read once,” 
“Linguistic intelligence?” Noah bertanya. 
Anastasia mengangkat bahu. Teori 9 jenis ‘intelligence’ yang ditulis oleh Howard Gardner yang penuh dengan kritikan namun masih diguna pakai dalam memahami peribadi seseorang. 
“Anyway… I’ll be back before you guys even realise. So please, no goodbye,” Anastasia mengakhiri kalimahnya. 
“Tapi, masa Kak Ana balik sini nanti, Yuri dah tak ada,” Yulia merenung mangkuknya yang kosong, suaranya direndahkan. 
“Datanglah bila hujung minggu atau cuti semester, walaupun mungkin ada penyewa lain, Yuri boleh share bilik dengan saya,” kata Anastasia sambil menambah isi ke dalam mangkuk Yulia.
“Makan,” 
Noah menepuk tangan beberapa kali. “Alright, enough with sad news. Saya ada berita baik yang saya nak kongsi,” 
Semua mata memandang ke arah Noah. Namun, hanya Noah sahaja yang mengunci anak matanya tepat kepada Anastasia. 
End of part 5.
8 notes · View notes
fahdpahdepie · 4 years
Text
Tumblr media
ABDAN KINI BEBAS
Oleh Fahd Pahdepie
Abdan Shidqi. Ia selalu menyesal nama depannya dimulai dengan gabungan huruf A dan B, membuatnya selalu menjadi nomor satu di daftar kehadiran. Sialnya, huruf ketiga dari namanya juga alfabet yang dangkal. Kecil kemungkinan yang lain bisa menumbangkannya dari peringkat pertama di buku absensi. Ia harus menerimanya.
"Abdan Shidqi!" Pagi itu namanya dipanggil. Ia tampak sudah ikhlas untuk hampir selalu mendapatkan giliran pertama. Sambil nyengir ia berdiri, berjalan perlahan ke depan kelas. Kedua tangannya memeluk al-Quran di dada. Meski giliran kesatu, ia sama sekali tak ragu, pelajaran tahfidz adalah wilayah kekuasannya.
Sejak kelas satu, Abdan selalu jadi penghafal Quran nomor satu. Saat masuk pondok, konon ia sudah hafal tiga juz. Bikin kami semua keder. Ia otomatis menjadi murid kesayangan guru tahfidz. Seolah segalanya mudah bagi Abdan untuk menghafal ayat-ayat baru. Ada semacam pola atau cetak biru yang sudah tertanam di otaknya.
Dan seperti biasa, murid yang sudah lolos tugas hafalan boleh istirahat duluan. Kadang saya jadi murid kesepuluh atau kelima belas yang berhasil melewati ujian itu. Saat tiba di asrama, Abdan sudah bersinglet dan bersarung saja. Tiduran sambil membaca buku, sebelah kakinya diangkat. Sombong sekali memang dia.
Saya banyak belajar dari Abdan. Ia murid yang rajin. Bacaannya banyak, dari mulai komik hingga majalah remaja. Seolah segalanya dilahap olehnya. Kadang ia mengkhatamkan Majalah HAI dari halaman pertama hingga akhir. Yang lebih aneh lagi, ia juga membaca majalah komputer CHIP dan menghafal daftar komponen komputer keluaran terbaru. Untuk apa? "Euweh gawe weh," Jawabnya lugu. Nggak ada kerjaan aja.
Saya tahu film-film terbaru dari Abdan. Tahu gosip tentang Keanu Reeves dari Abdan (kadang ia sering mengaku-ngaku sebagai Keanu, sambil menuliskan nama samarannya sebagai Keanu Shidqi atau Abdan Reeves di bindernya). Ia ngefans berat sama trilogi The Matrix. Seolah semua itu sudah ada di kepalanya, cerita-cerita yang sering membuat saya terpukau. Selalu keren. Di pondok, semua informasi itu seolah datang dari negeri yang jauh. Hanya orang-orang seperti Abdan yang mengetahuinya.
Sejak kelas satu, saya sudah dekat dengan Abdan. Untuk mencuri pengetahuan-pengetahuan seru dari kepalanya, tentu saja. Kadang kami berdebat, soal hal-hal penting atau tidak penting. Dari prinsip-prinsip usul fiqh, tafsir-hadits, hingga perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih cantik: Drew Barrymore atau Natalie Portman?
Dengan Abdan, saya bisa berdiskusi tentang apa saja. Kami bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Bahkan jika pulang libur bulanan, kami menginap bergantian di rumah saya atau di rumahnya. Kami menonton film bersama, membongkar komputer bersama, ke warnet bersama, bersepeda berkilo-kilo meter bersama. Mencoba nakal bersama.
Pernah suatu ketika kami main jauh sekali dari rumah. Kalau lapar, biasanya Abdan mengajak saya makan mie ayam. Makanan kesukaannya. Seperti siang itu, "Lapar, euy, Pie. Dahar mie ayam weh, yuk!" Ia memanggil saya Depie. Saya mengiyakan. Lalu kami lahap makan mie ayam yang baru saja disajikan.
Di kios mie ayam dekat terminal Cicaheum, Bandung, itu ada sebuah kaleng krupuk. Di depannya ada tulisan BEBAS. Abdan menatap saya sambil memberi kode tentang kaleng kerupuk itu, "Bebas, Pie? Gratis!" Katanya. Kamipun makan banyak sekali. Mungkin masing-masing tiga atau empat. Ketika hendak membayar, penjual mie ayam menanyakan berapa kerupuk yang kami makan?
Kami saling pandang. Baru menyadari kalau tulisan BEBAS di kaleng itu bukan berarti gratis, tetapi itu nama perusahaannya. Atau merek kerupuk itu. Saya panik karena uang kami tidak cukup. Tapi, Abdan dengan santai mengatakan, "Dua. Kerupuknya dua. Masing-masing satu." Katanya. Setelah membayar, kami lari, takut ketahuan. Di ujung jalan kami tertawa sampai sakit perut!
Kedekatan saya dan Abdan agak renggang di kelas tiga tsanawiyah. Waktu itu saya melaporkannya kepada pembina dan kepala sekolah. Saya tidak bisa membiarkan kebiasaan buruk Abdan terus berlangsung. Pasalnya ia menilap uang SPP dan menunggak hingga tiga bulan. Setelah kejadian itu Abdan diskors selama seminggu. Sejak itu kami tak saling berbicara lagi.
Tahun demi tahun berlalu, saya hanya bisa mengamati Abdan dari jauh. Kami berpisah asrama. Kadang hanya bertemu jika berpapasan di jalan atau di kantin. Saya tahu ia mulai suka pada seorang santri puteri, mencoba menulis surat cinta, bertekad untuk menjadi ranking satu di mata pelajaran agama.
Hingga suatu hari di kelas lima, kelas dua tsanawiyah, kabar buruk itu datang. Ayah Abdan meninggal dunia. Ia terpukul. Tetapi dari sana saya punya kesempatan untuk berbicara kepadanya. Kami mulai dekat lagi setelah Abdan pulih dari kesedihannya. Saya kembali bisa mengakses pengetahuan-pengetahuan unik dari kepalanya. Hal-hal yang ia kumpulkan secara telaten dari proses membaca yang intens.
Saya sempat berbisnis komputer rakitan ketika menjadi pengurus IRM, semacam OSIS untuk sekolah Muhammadiyah. Waktu itu di tahun 2003, omzet saya sudah 15 jutaan setiap bulan. Bisa merakit 3-5 komputer per bulannya. Di tengah-tengah bisnis itu, Abdan adalah karyawan pertama saya, yang sebenarnya banyak memberi tahu tentang perkembangan aneka hardware dan software terkini. Ia katalog berjalan. Otak kiri saya untuk menjalankan bisnis ini. Berasama Denden, teman yang lain, waktu itu kami jadi santri elit yang kaya raya.
Setelah lulus dari pondok, kami pun berpisah. Saya melanjutkan kuliah ke Jogja sementara Abdan diterima di Politeknik Manufaktur di Bandung. Kami hanya bertukar kabar lewat Facebook. Sesekali bertemu kalau ada reuni atau buka bersama. Setelah lulus, Abdan kemudian bekerja di sebuah perusahaan farmasi dan menikah dengan santri puteri teman seangkatan kami.
Tahun 2016, saya mendapat kabar ia menderita sakit yang cukup serius. Ada tumor yang tumbuh di otaknya. Tumor sialan yang ingin mencuri pengetahuan dari kepala Abdan. Selepas operasi pertama, saya menjenguknya. Ia menceritakan kepada saya sambil tertawa bagaimana kepalanya dibelah dan harus dipasang selang di belakang telinga.
"Maneh loba teuing maca!" Canda saya. Ia terlalu banyak membaca. Membuat tumor ganas itu jadi tumbuh di otaknya.
"Urang jadi siga robot." Ujarnya. Sambil menirukan gerak robot yang lambat. Memang sejak operasi itu, kemampuan motoriknya jadi menurun. Konon kalau sedang kambuh, ia merasakan sakit kepala yang luar biasa, sampai tak bisa bergerak. Daya penglihatannya juga banyak berkurang. Ia tidak bebas lagi bergerak atau bepergian.
Empat bulan lalu, kami masih bertemu di sebuah reuni. Bicaranya sudah lambat sekali. Diam-diam ia minta nasi padang, mumpung tak ketahuan isterinya. Saya melihatnya makan lahap sekali. Ada bekas luka jahitan yang melingkar membelah kepalanya. Entah apa yang diambil dokter dari sana? Mungkin bacaan-bacaan dari Majalah HAI atau hafalan qurannya selama di pondok dulu. Ia tertawa ketika saya mengingatkannya tentang cerita kerupuk BEBAS. "Insya Allah halal. Malaikat oge karunyaeun." Malaikat juga kasihan, katanya.
Beberapa waktu kemudian, Abdan harus menjalani operasi lanjutan yang penuh resiko. Kemungkinannya 50-50 antara ia bisa sembuh atau kehilangan kesempatan sama sekali. Hampir tak ada dokter yang mau mengambil risiko itu. Setelah berunding dengan keluarga, akhirnya diputuskan untuk Abdan menunggu saja. Meski kondisinya terus memburuk. Ia dirawat dengan cara dibersamai keluarga, dibacakan buku-buku kesukaannya, diperdengarkan lantunan murottal al-Quran.
Sebelum Ramadhan, saya menanyakan kabarnya pada istrinya. Anisa mengirimkan video Abdan yang sudah kehilangan kemampuan komunikasinya. Tatapan matanya kosong. Tangannya gemetar, sulit dikendalikan. Ia sudah tak bisa apa-apa selain berbaring di tempat tidur. Saya menangis menyaksikan video itu. Apalagi kalau ingat puteri semata wayangnya, Adeefa.
Malam ini, kabar duka itu datang seperti mimpi buruk. Abdan dinyatakan meninggal dunia pukul 22.30 tadi. Kini ia telah BEBAS. Sebebas-bebasnya. Saya percaya semua hal baik yang ia lakukan, semua pengetahuan yang ia bagi, hafalan Quran dan hal-hal hebat lain di kepalanya, serta sakit yang dideritanya sebelum meninggal, menjadi penyucian bagi dosa-dosa manusiawi yang ada pada dirinya. Saya yakin ia meninggal dengan husnul khotimah.
"Abdan Shidqi!" Panggilan itu terasa nyaring di telinga saya. Kali ini mendapat giliran pertama di angkatan kami untuk 'pulang' duluan.
Lalu Abdan melenggang tenang, meninggalkan kami yang bersedih dan kehilangan. Tapi saya percaya, ia akan baik-baik saja. Jika di surga ada asrama, mungkin kini ia sedang bersantai. Memakai sarung dan singlet. Rebahan di atas kasur, membaca komik kesukaannya, sambil satu kakinya menumpang ke kaki yang lain.
Selamat jalan, Hiw. Tenang di sana. BEBAS.
Bintaro, 10 Mei 2020
FAHD PAHDEPIE
42 notes · View notes
iftirar · 3 years
Text
Jurnal Hexagonia-10
Semakin lama, setiap zona akan membentuk kata HEXAGON. Kali ini, aku berada di zona A, Agility. Seperti namanya, zona ini membutuhkan ketangkasan dan kelincahan dalam bergerak. Berbeda dengan zona-zona sebelumnya, gelombang pergerakan yang dilakukan saat ini lebih luas, meliputi area cluster. Jika sebelumnya kami, para warga Hexagon City, menjalankan project passion yang berkaitan dengan co-housing, kini kami diminta untuk memberikan kontribusi yang lebih berarti bagi lingkungan di tahap berikutnya.
Agility sendiri berarti kemampuan atau kapabilitas dalam mengambil keputusan; bergerak dan mengeksekusi tindakan dengan cepat. Kita sering mendengar kata agilitas (agility) ini dalam birokrasi dan program-program kerja pemerintah. Sepertinya kata ini memang marak dalam organisasi. Sebagaimana maksud namanya, setiap anggota yang masuk dalam zona A ini harus punya gerak cepat. Untuk itu, diperlukan suatu indikator kesuksesan yang nantinya akan mengukur setiap co-housing. Apakah co-housing A lambat? Apakah co-housing B terlalu cepat bergerak? Bagaimana dengan co-housing C, D, dan seterusnya?
Sebagai contoh, cluster saya yang bernama Meraki memiliki anggota sebanyak 70 orang. Tentu saja, dengan jumlah anggota sebanyak itu akan sulit mendefinisikan tujuan. Namun, dengan adanya identifikasi personal dan co-housing, akan memudahkan cluster leader untuk memetakan dan menentukan goals bersama. Bagi Meraki, kriteria kesuksesan ada dua, yakni: setiap co-housing menyelesaikan project passion dan seluruh anggotanya bertahan hingga akhir zona.
Selain itu, cluster leader meminta kita untuk mengisi tiap pos yang disediakan, antara lain tim video dan desain; tim moderator; tim promosi; dan tim suporter atau tim hore. Saya mendaftarkan diri sebagai tim moderator/host. Semoga saya mampu membagi waktu dengan baik sehingga lancar dan mudah dalam menjalankan tugas di area cluster.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
legosekars · 4 years
Text
bukan apa-apa, tapi siapa-siapa
tulisan ini adalah refleksi pertemanan kami, yang kutulis beberapa bulan lalu. hari ini aku membaca ulang tulisan ini, dan masih bersyukur atas pertemanan kami ini. dibagikan dalam rangka merayakan rindu yang sedang mendera(s), sedang tiada yang tahu kapan jumpa akan datang.
________________________
dua tahun satu bulan, aku dan lima temanku seiya sekata untuk bergerak bersama. setelah berkali-kali Allah pertemukan kami di berbagai kesempatan sebelumnya, pasca lulus kami memustuskan untuk melingkar bersama. menyatukan visi dan misi untuk bisa sejalan. mencoba peruntungan untuk tetap bisa bertahan di tengah hiruk pikuk lingkungan kerja yang asing, kami membuat satu ruang gerak.
“a fun yet hopefully useful escape”, begitu yang tertulis di ruang percakapan kami. di ruang gerak ini karya kami bebas, leluasa, tidak berbatas. bulan demi bulan kami belajar, kami berkarya. aku selalu tidak sabaran menanti awal bulan. oh, selain hari gajian tentu saja, siapa yang menyangkal? hehe.
di awal bulan kami melakukan pertemuan virtual. agendanya akan sama dan terus berulang. evaluasi dan membuat rencana. terdengar membosankan, ya. bagiku tidak. sama sekali tidak. akan selalu menyenangkan karena melakukannya bersama mereka. meskipun terkadang sedikit repot untuk meluruskan pembicaraan ke topik yang dibahas, terlebih karena aku selalu menjadi notulis. aku tidak bisa mengeluh karena hal ini. aku tetap menikmatinya.
sedikitnya ada dua puluh lima pertemuan virtual. dari yang harus memakai paket telepon agar sambungan suara tetap jernih sampai video call sejak koneksi internet membaik sejak WFH, kami lakukan. mudah? tentu tidak. miskomunikasi berkali-kali, mundur dari deadline, jangan ditanya. mandeg dan tidak menghasilkan output sama sekali juga sering. ah, kalau dipikir-pikir kami seperti sedang dilatih untuk WFH ya. haha.
sayangnya, percik-percik kebahagiaan itu tidak selalu ada. dua puluh empat jam serasa kurang ketika sudah tenggelam dalam rutinitas. raga terlalu letih untuk menepi ke ruang gerak kami. membuatnya si nomor sekian dari urutan prioritas. dari satu orang beruntun ke yang lain. dari aku, ke aku-aku yang lain. apa, kenapa, bagaimana, terus-terusan kami pertanyakan ke diri sendiri.
evaluasi ke sekian, beberapa menyuarakan untuk berhenti. “banyak orang tahu kapan harus memulai tanpa tahu kapan harus berhenti. mungkin ini waktunya,” katanya. aku setuju. laju pertumbuhan kami terhenti. aku merasa selain butuh rehat, jika berhenti kami bisa beranjak. bahkan, sudah ada beberapa opsi yang ditawarkan setelah kami berhenti. entah diestafetkan, entah benar-benar berhenti. ya, walaupun itu juga berarti kami harus merelakan pertemanan kami menjadi renggang.
perbedaan di antara kami memang sangat memungkinkan untuk saling menjauh jika kami tidak membuat ruang gerak ini. jangan-jangan setelah kami tidak sejalan justru jalan kami tidak akan berpapasan lagi. membuatnya jadi asing. kecewa? iya. sedih? sangat. kata satu penulis, “setiap teman ada fasenya. setiap fase ada temannya.” aku semakin bertanya-tanya. pertemanan seperti apa kami? ada di fase mana pertemanan kami?
tidak seperti biasanya, pertemuan virtual kali ini lebih banyak senyapnya, lebih banyak helaan napas. sampai satu suara merendah, menyampaikan apa-apa yang berhasil mengubah pemikiranku, pemikiran kami.
sejak awal dibentuk, kami memang menentukan visi misi perjalanan kami. semua mengarah ke luar. pun, setiap bulan, yang dievaluasi selalu dari arah luar. hingga kami lupa. sejatinya kamilah yang membutuhkan ruang gerak ini. bahwa kami lah alasan ruang gerak ini ada.
“tidak masalah output-nya minimalis, selama kita bertumbuh bersama. tidak mengapa langkah kita menjadi lebih lambat, selama kita berjalan bersama.” suaranya masih kuingat dengan jelas, penanda tali silaturahim kami masih bisa dieratkan simpulnya.
pertemuan virtual malam itu diakhiri lebih larut dari biasanya.
sejak malam itu ada pemahaman baru yang hinggap di benakku. seperti halnya tulisan ini, sejatinya penikmat karya kami adalah kami sendiri. kami membuat karena kami membutuhkannya. di sini aku menyadari tenyata selain membutuhkan output-nya, kami butuh keseluruhannya. baik proses maupun siapa-siapa yang bekerja sama dalam prosesnya.
mungkin karena sudah di ujung tanduk, kami juga berhasil mendefinisikan pertemanan kami. memang benar, untuk berteman tidak butuh apa-apa. akan tetapi, terkadang dengan adanya apa-apa pertemanan itu bisa bertahan dan bertumbuh.
__________________________
aku bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang baik ini. bersyukur karena dulu (hingga sekarang) bekerja sama orang-orang baik ini untuk belajar menjadi manfaat, juga bersyukur karena telah diberikan pelajaran baik melalui orang-orang baik ini. kalau, di kemudian hari, kalau saja aku sudah tidak punya energi untuk berbuat baik lagi (semoga jangan sampai), aku akan terus menceritakan tentang kebaikan orang-orang baik ini sehingga kebaikan akan terus menular di bumi.
3 notes · View notes
arasyaziz · 4 years
Text
Kisah Dua Ramadan
#1
Cemeti
Saya masih ingat rasanya: tangan saya memerah, panas, mencengkeram erat lambung perahu kecil. Sudah hampir satu jam, perahu itu enggan berhenti melompat liar di atas air. Kesurupan.
Lambung luar perahu itu terus dihantam gelombang dari kanan dan kiri. Tinggi ombak tak kurang dari 1,5 meter. Mungkin jauh lebih dari itu. Kadang-kadang limpasan air menciprat hingga ke wajah, baju saya.
Rasa-rasanya, perahu itu bisa terbalik sewaktu-waktu. Di tengah usaha menyeimbangkan diri, saya berusaha menangkap suara mesin perahu yang meraung, namun timbul tenggelam. Jika mesinnya mati di tengah gelombang, nahas tak dapat ditolak. Dapat dipastikan kami tak akan selamat. 
Saya yang tak bisa berenang, sangat mungkin ditemukan di sela akar bakau dua, tiga hari kemudian. Tubuh yang telah jauh dingin, dan nyawa yang tak di tempatnya lagi.
*
Menumpang perahu kecil itu, saya sedang di tengah penugasan dari sebuah NGO untuk melakukan penelitian lapangan, menyusun profil sebuah desa bernama Satiruk.
Tentang Satiruk sendiri, sekalipun letaknya strategis, amat jauh dari gelimpangan kemajuan. Pun letaknya di muara salah satu gerbang Kalimantan Tengah, berbatasan dengan laut Jawa, Satiruk merupakan salah satu desa paling terisolasi. Listrik baru masuk kurang dari sebulan sebelum ketibaan kami, dengan tegangan yang hanya cukup untuk menyalakan lampu-lampu rumah. Tidak ada sumber air bersih di desa itu.
Pilihan pengangkutan menuju ke Satiruk pun sangat terbatas. Pada dasarnya, tak ada satupun transportasi umum yang menghubungkan desa itu dengan pusat keramaian terdekat. Hanya ada klotok carteran yang cukup mahal. Selain itu, ada jalur darat setengah lempung yang hanya dapat dilalui motor tangguh dari ibukota kecamatan terdekat.
Cemeti sendiri, tujuan kami, adalah titik terluar dari desa Satiruk. Jika Satiruk masih dapat dijangkau dengan jalur darat, satu-satunya cara menuju Cemeti adalah menyeberangi sungai Mentaya kembali. Namun pada segmennya yang paling berbahaya.
Alasan di balik amuk gelombang yang kami hadapi adalah fakta bahwa perairan menuju Cemeti adalah peraduan dua kolom air yang sama-sama kukuh; sungai Mentaya dan laut Jawa. Dua arusnya saling bertemu, menciptakan riak yang kuat.
Alasan di balik laju liar perahu kami.
*
Untuk pertama kalinya, saya tak henti memohon ampun kepada Yang Maha Esa. Merapal semua doa baik yang pernah diajarkan kepada saya sejak masa Taman Pendidikan Alquran.
Yang membuat perjalanan hari itu makin berat, karena ia dilakukan di tengah pagi menyala, di bulan Ramadan. Sepanjang periode penelitian tersebut, saya memutuskan untuk tetap berpuasa.
Konon, doa orang berpuasa mengantri paling depan di pintu langit. Kali ini, saya mendoakan keselamatan saya, berkali-kali.
Selain saya, penumpang perahu lain tampak tenang saja. Perahu kami dinakhodai Kepala Desa Satiruk sendiri. Sebelum memasuki birokrasi desa, ia adalah seorang nelayan yang dihormati. Di tengah amuk ombak, beberapa kali ia bersiul, seolah berusaha mengendalikan angin dan air agar lebih bersahabat.
Lebih dari 1,5 jam kemudian, laju perahu kami akhirnya menjadi lebih mulus. Sejurus kemudian, hamparan pasir putih memenuhi horizon. Semakin dekat, semakin cemerlang tampaknya. Setelah perjalanan yang menegangkan, kami akhirnya tiba di pesisir desa Cemeti.
Perahu kami berpapasan dengan seorang pengumpul kerang muara yang menekur di air surut.
Turun dari perahu, kami masih harus berjalan lebih dari satu kilometer untuk mencapai perkampungan warga, di bawah matahari jam 10 pagi kurang. Hampir menyala. Sampai sejauh itu, secara fisik saya masih cukup kuat, sekalipun gembur pasir pantai membuat langkah kami melambat. Sesekali, kami memutuskan meluruskan tungkai kaki.
Pesisir Cemeti adalah hamparan pasir yang mulus, bersih. Sayangnya, bukan pantai yang sepenuhnya indah. Lepas garis pasirnya, adalah air payau yang berwarna cokelat susu. 
Menurut pendamping desa kami, inilah tipikal pantai-pantai di pesisir selatan Kalimantan, tepat di muara-muara sungai. Bukan laut biru yang menjadi pemandangan utama, melainkan sedimen pekat yang turut membersamai perjalanan sungai-sungai sejak kelahirannya di hulu.
Demi apa yang harus kami lalui untuk mencapainya, pantai Cemeti jelas tak sebanding. Bukan pantai yang terlintas di kepalamu untuk dikunjungi kembali, suatu saat nanti.
Namun, warga Satiruk punya pendapat lain. Bagi mereka, kesunyian Cemeti, adalah tempat piknik keluarga yang asyik, sekalipun harus berdarah-darah untuk mencapainya.
Dan berbeda dengan saya, Kepala Desa datang ke Cemeti memang dengan niat untuk berlibur sejenak, termasuk dari ibadah Ramadannya. Tak seperti saya, sebagian besar anggota rombongan itu memang tidak berpuasa.
Dan saat itulah, ujian kedua disajikan.
Di satu titik yang teduh, di bawah cemara pantai, Kepala Desa mulai melepas simpul kain serbet yang membungkus perbekalannya. Sepintas, ada bulir-bulir air yang meluruh di dinding salah satu termos. Isinya, adalah bongkah-bongkah es batu segar yang tembus pandang. Jernih membias cahaya matahari. Ketika bertemu udara, bongkah es batu itu segera menguap, menampilkan tarian asap dingin yang memuai.
Kepala Desa kemudian membagi bongkah es itu ke beberapa gelas yang telah disiapkannya. Satu demi satu, dengan telaten.
Tangan sebelahnya yang masih leluasa kemudian mengeluarkan benda lain dari bungkusan bekalnya. Sebotol cairan merah merona, dengan butir-butir kelapa hijau dicetak besar-besar di labelnya. Sirup kokopandan.
Dalam waktu sepersekian detik, saya bisa melihat segala kesan kasar seorang mantan pelaut meluruh dari Kepala Desa. Dunia hening, dan dari kedua punggungnya bertumbuh sayap-sayap dari bulu angsa. 
Dunia hening, dan dalam gerak lambat, ia menuangkan botol sirup itu ke masing-masing gelas. Hati-hati sekali, demikian terukur.
Saya, di sisi yang lain, bisa merasakan refleks di tenggorokan saya, menelan ludah sedalam-dalamnya.
Kepala Desa sendiri, sesudah mempertontonkan adegan seronok itu, mengejek keputusan saya mempertahankan puasa. Tanpa menawari saya, isi gelas itu segera tandas dalam satu, dua tegukan.
Sebelum Kepala Desa mulai meracik gelas sirup kedua, saya memutuskan untuk segera menuju ke perkampungan warga Cemeti. Di rumah ketua RT setempat, saya merebahkan badan yang letih, membayangkan sirup kokopandan memeluk tubuh saya.
#2 
Ciledug
Secara keseluruhan, saya menghabiskan dua minggu di Satiruk dan Serambut, desa tetangganya. Sekalipun dipaksa naik turun sawah dan handil untuk mengambil sampel tanah gambut, atau mengetuk satu per satu rumah warga, saya masih diizinkan untuk menjaga keutuhan puasa saya.
Hal itu mustahil saya lakukan tanpa kebaikan pemuka-pemuka desa yang kami tumpangi. Di bawah temaram listrik bertegangan rendah, semangat beribadah mereka menjadi jauh lebih menular.
Tantangan seperti perjalanan ke Cemeti sendiri adalah ingatan yang saya syukuri. Membuat saya banyak belajar, walaupun sangat menyiksa secara fisik. Namun saya salah jika terlalu dini menganggapnya sebagai hari(-hari) Ramadan terberat yang pernah saya alami.
Setahun kemudian, ujian baru hadir. Musuh yang menggunting di dalam lipatan. Ancaman yang terasa sama nyatanya dengan gulungan gelombang perairan Cemeti, walapun tak terlihat.
Gelombang ini lebih besar, jauh lebih besar. Melahap dunia dan seisinya dengan rasa khawatir yang tak berkesudahan. Jika tahun lalu saya ditantang secara fisik, ujian terbesar Ramadan tahun ini adalah mempertahankan diri agar tetap waras, tidak jatuh dalam kegilaan.
Tahun ini, bersama jutaan umat Muslim lain, saya diharuskan menjalankan ibadah puasa di tengah wabah COVID-19. Penyakit multiorgan yang secara harfiah, sangat menular.
Kita sudah sama-sama tahu betapa buruknya cara wabah ini ditangani di Indonesia. Terkait hal itu, saya sudah bergerak dari titik ‘mengutuki Jokowi dan Terawan tiap hari’ ke titik peduli setan dan sesekali menertawakan kegaguan mereka.
Sembari menjalani kontinuum penerimaan itu, saya dipaksa untuk mengubah cara hidup selama Ramadan berlangsung. 
Tak ada lagi santap malam di pinggir jalan lepas buka, dengan tangan yang dibasahi sekenanya dengan air kobokan berhias irisan jeruk nipis. Hari ini, hampir setiap makanan yang masuk ke perut saya dapat dipastikan saya masak sendiri.
Saya hanya menggunakan sendok dan garpu, dan meninggalkan sementara cara menyuap dengan tangan. Walaupun sejak makanan disiapkan hingga sebelum disantap, saya bisa mencuci tangan hingga tiga, empat kali.
Sisi baiknya, selain lebih higienis, kemampuan memasak saya pun meningkat berkali-kali lipat. Kini, saya bisa memasak takjil yang dulu akan muncul begitu saja di bawah tudung saji, ketika terlintas di pikiran saya. Apang colo, balapis, roti garo gula merah, sebut namanya!
Sejak Maret, saya pun praktis tak pernah ke luar rumah. Menurut catatan kantor, sudah 71 hari saya mengerjakan pekerjaan harian secara remote. Perjalanan terjauh yang saya tempuh adalah ketika memutuskan untuk pindah dari Salemba ke Ciledug, tempat saya menuliskan catatan ini, semata demi kesehatan mental saya. Terjadi pada hari ketiga Ramadan.
Pada tarawih hari terakhir bulan Ramadan tahun ini, saya akhirnya dilanda gelombang haru dan terisak sendirian. ‘Damn, kamu bertahan sejauh ini.’ Berdoa sekencang-kencangnya, tenggelam di dalam ekstase. Merasa lemah selemah-lemahnya. Menyadari betapa wabah ini tak bisa dilawan.
Pagi lebaran, saya terbangun tanpa keharusan untuk terburu-buru salat eid. Hari itu dimulai (dan berlalu) selayaknya hari-hari karantina yang lain.
Untuk pertama kalinya, saya pun berlebaran jauh dari rumah. Tidak ada coto makassar, tidak ada burasa yang dibungkus daun jati, tidak ada omelan rutin Mama setiap subuh karena rumah yang masih berantakan jelang salat eid. Bahkan rangkaian video call tak dapat mengisi kekosongan itu.
Wabah ini menciptakan Ramadan yang nyaris tanpa corak, kecuali noktah besar kesunyiannya. Tidak ada berbagai rutinitas yang hanya bermakna jika dilakukan dengan keluarga, kekasih, dan sahabat-sahabat saya.
*
Ramadan, sayangnya, memang tak mengubah satu hal dari diri saya yang telah dimulai sejak wabah ini bermula: paranoia terhadap manusia lain (Walaupun bukan tugasnya untuk mengubah itu).
Mengetahui terlalu banyak hal memang kutukan, termasuk kemungkinan cara-cara penularan COVID-19 yang luar biasa banyak. Ibarat russian roulette raksasa, kita tak tahu laras mana yang mengandung peluru.
Terhadap orang-orang terdekat, saya masih menolak membukakan pintu. Ada tembok nyata dan tak terlihat antara saya dan peradaban Ciledug, Tangerang, Greater Jakarta, di luar sana. Di balik tembok itu, di ruangan tempat saya bermukim, ada rasa aman, sekaligus kesepian. 
Manusia lain praktis adalah ancaman. Persis seperti kata Sartre, “hell is other people”. Memilih bersisian dengan manusia lain adalah neraka jahanam yang sangat mungkin membakar paru-paru.
Dan sepertinya akan tetap begitu, entah sampai kapan. 
Bahkan setelah Ramadan berakhir, kita tahu wabah itu masih bersemayam di luar sana. Semakin banyak yang terjangkit dalam satu waktu. Tenaga kesehatan berjatuhan, rumah sakit kolaps, dan negara semakin kehilangan arah.
Wabah ini semakin tak terkendali.
Kali ini, doa-doa orang berpuasa, bahkan yang paling saleh sekalipun, tersendat di pintu langit. Tidak ada tanda-tanda gumanan ‘Tuhan kami, segera angkat wabah ini’ dikabulkan, setidaknya dalam waktu dekat. Sama seperti kita, doa-doa mungkin masih harus menunggu vaksin untuk dijawab.
Lalu saya teringat orang-orang Cemeti dan Satiruk. Sudahkah wabah ini menyeberangi lautnya yang ganas itu?
*
‘Eli, Eli, lama sabakhtani?’
[CLD, 27/05/20]
4 notes · View notes
restorasilaguna · 4 years
Text
Dari Aku; Pencuri Yang Kehilangan Hatinya Sendiri..
Kami sedang menonton sebuah tontonan youtube chenel. berkisah tentang pengakuan anak indigo, sebuah konten yang menjelajah bagian Kalimantan Timur dengan cerita mistiknya, kali ini tentang sebuah jalan bundaran sintuk yang terkenal dengan gerbang gaib. Dibagian akhir ada bagian yang sangat mengelitik sekaligus agak menyeramkan, dari cerita mistis pengakuan anak indigo sebagai titisan burung hantu—
“Ru, hal pertama yang kamu pikirkan kalo denger burung hantu apa?” tanyaku, sesaat mem-pause video
“Hmmm. kepalannya bisa muter”
“Berapa derajat?”
“360 derajat kan?” Jawabnya dengan begitu yakin
“Hahaha kalo 360 derajat kepala burung ngga betulang lah, jawabannya udah salah pake -kan- lagi”
“Hahaha kan yang penting yaqinn, Tii”
“Ru. liat nih” Jawabku, kemudian kembali mem-play video
Dan, orang yang mengaku anak indigo sebagai titisan burung hantu itupun menirukan burung hantu dengan memutar badannya 180 derajat ke arah kiri kemudian 180 derajat ke arah kanan. Seketika mimik muka serius itu kini berubah jadi tertawa lepas.
“Haha, koplak! stres kali dia tii? tau video gini dari mana sih?”
“Iseng buka pas muncul di linimasa”
“Jangan kebanyakan nonton ginian ikutan stres ntar haha” katanya, setengah mengejek
Di selang pembicaraan kami, ada hening yang menjeda waktu, aku menimbang-nimbang beberapa kalimat pembuka untuk memulai menjelaskan sesuatu, agar suatu ketika saat aku berada pada suatu tepian yang jauh dari hari ini, aku tidak perlu bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada aku dan dia di masa lampau!
Di sepersekian detik ada ragu yang menyusup di dadaku, membuat kata ya, tidak, ya, tidak, kini memenuhi kepala. Hingga akhirnya aku meletakkan handphone milikku tepat dihadapannya, menampilkan sebuah potret pria berlatar warna biru, dengan andeng-andeng hitam di bawah bibir sebelah kanan menambah manis pemilik senyum simpul itu. Ia masih larut bersama setengah senyum gelinya, lalu seketika terdiam memandangi layar handphone milikku.
“Siapa, tii?” tanyanya,
“Namanya Sultan”
“Temen?“, “sahabat?”, “mantan?” tanyanya, menebak-nebak “ca? lon?” agak terbata, ia berhenti menebak, raut wajahnya berubah kian serius, aku tak menjawab, hanya membiarkan ia mencari jawaban dari gesture wajahku
“sejak kapan?” tanyanya lagi
“Setelah lebih dulu kenal kamu”
“Hmmm (mengangguk berusaha memahami)”
Suasana mendadak menjadi canggung. aku bingung dengan apa yang harus ku lakukan, dan ia bingung dengan bagaimana harus menanggapi.
“Sudah seserius apa?” tanyanya dan kemudian matanya seperti mencari-cari sesuatu di jari-jariku, ia menemukan selingkar cincin tapi kali ini bukan cincin yang biasa ku kenakan,
“Udah lamaran?” tanyanya memastikan, aku mengangguk meng-iyakan. melihat anggukan kepalaku ia hanya berkedip-
“Kenal dimana?”
“Temen badminton-nya abang”
“Hmmm… udah lama kenal?”
“Aku baru beberapa kali ketemu sewaktu dia menemani beberapa fase tersulit kami”
“Fase tersulit yang kamu ngga bagi ke aku?”
“Aku ngga pernah bagi ke siapapun ru, tapi karena dia datang sendiri”
“Di jodohin?” tanyanya menyimpulkan
“Ngga, dia ngajukin pernyataan taaruf lewat abang, orangtua ku mengizinkan dan aku meng-iyakan”
Mendengar jawabanku, ia tertegun. Lama kami tersesat di antara kata, kali ini waktu seperti berjalan lebih lambat dari sebelumnya. Aku sibuk membuang pandangan ke sisi lalu lalang kendaraan, bias sorot lampu jalanan seakan berjalan seperti rol film yang menyetel kembali sebuah cerita tentang awal perkenalan kami.
“Ru, sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan”
Ia mengangguk lalu sekali berkedip. Kemudian menjatuhkan muka, menyembunyikan pandangan, melarikan perasaan-
“Ru, aku suka kamu” mendengar kalimat ini ia agak terkejut, kemudian mengangkat sedikit wajahnya, aku meneruskan kalimatku “sejak pertama kali kita menghabiskan kurang lebih 2 setengah jam di tempat ini” kali ini Ia mengangkat sempurna kepalanya, pandangannya kini tepat ke arahku “Aku sayang sama kamu, sejak ketika aku mendengar kamu bercerita tentang umik, harapan umik tentangmu, keinginan-mu untuk membahagiakan umik, juga penyesalanmu karena belum sempat mewujudkan amanah dari umik” sesaat aku terhenti, mencoba mengendalikan kaca yang tertumpuk di mataku, “Semenjak itu kamu larut dalam doa-doaku, aku shalawatin kamu, tapi ternyata semakin kesini aku semakin insecure sama diriku sendiri. Takut ngga bisa jadi cukup buatmu. sesuai amanah dari umik. kamu selalu ingin mencari rumah disana, itu berarti aku ngga akan jadi tempat pulang pun rumahmu kan?”
Sesak yang kutahan selama ini akirnya ku tumpahkan, Ia tertegun dengan pandangan getir. Di udara yang mengitari kepalanya kalimat ku membekas seperti bekas dingin ice latte, aku sibuk mengusap basah di pelipis mata, sesekali berusaha melarikan isak dengan setengah lingkar senyuman memaksa—
“Boleh nanya?” suaranya lirih
“(aku mengangguk)”
“Kalau sayang sama aku, kenapa menerima taaruf-nya?”
“Karena dia yang datang, dan di iya-kan ibuk bapa ru”
“Tii, mau tau apa yang ku rasakan?”
“(aku menggeleng)”
“Kenapa?”
“Aku sudah tau”
“Ngga, kamu belum tau”
“Tentang apa?”
“Tentang aku juga punya rasa sepertimu”
Deg. Aku terdiam, tidak ada kata yang bisa ku ajukan sebagai jawaban. Keriuhan di sekitar kami seolah senyap seketika. Rasanya, di dada-ku seperti ada ruang hampa,-
“Tii, waktu kamu kirimkan lagu it’s you dari ali gatie, sebenarnya aku tau kamu suka. Terus waktu aku tanya tentang kebenaran maksud dari lagu itu, ku pikir kamu tau kalau aku cari tau, ingin tau, dan mau kamu tau kalau aku tau” Sesaat suasana kembali hening, hatiku terasa dingin. sampai kemudian ia kembali melanjutkan “Tii, kenapa kita habiskan waktu dengan sibuk menebak-nebak?” Di akhir kalimat aku mendengar suaranya terasa berat, aku menjatuhkan muka, melarikan banyak hal yang ingin tumpah dari mataku.
“Ru. aku ngga sepercaya diri itu mengakui kita sedang memulai cerita. Tapi aku juga ngga bisa apatis untuk ngga rasain apa-apa. Dari semua pertanyaanmu juga pernyataanmu yang ambigu, Aku ngga seberani itu buat menanggapi –kamu juga suka- tapi aku juga ngga bisa punya perasaan yang biasa aja ke kamu, Ru”
Mataku mulai basah, kemudian tertetes satu bulir jatuh di kedua telapak tanganku, sesaat aku mengingat tentang bagaimana usahaku untuk membentuk represi diri yang rumit saat ketika perasaan dan keinginanku untuk terpaut padanya kian membesar. Untuk beberapa waktu suasana kembali menyeret kami dalam pikiran masing-masing.
“Ru. masih ada yang ingin aku sampaikan. tapi jangan marah” kataku, dengan suara agak berat
“(Ia mengangguk dengan wajah pasinya)”
“Ru, menurutku pulang tak melulu prihal kembali ketempat semula. menikmati perjalanan kemudian menemukan rumah disini, bukan berarti kamu ninggalin umik, karena selamanya umik ada di sisimu, ada di bagian tersendiri bersanding dengan sesuatu yang bisa kamu sebut rumah itu” Sesaat aku terjeda, Ia mentapku dalam, dalam sekali, sampai kemudian aku melanjutkan “tapi ru, andainya definisi rumah bagimu adalah seseorang, nanti orang itu harus jadi lawan bicara yang menentramkan ya ru, karena katanya komitmen prihal sekali atau ngga sama sekali, sedangkan cinta bisa di tumbuhkan kapan aja dan berkali-kali. Kalau kamu punya lawan bicara yang baik, saat cinta itu habis, masih ada bicara untuk menyelamatkan komitmen itu, Semoga bertemu rumah yang selama ini di inginkan. Rumah menyehatkan, rumah menenangkan. Jangan lupa harus ada fentilasi-nya”
Di akhir kalimat aku tersenyum getir, menahan banyak sesak. Ia terdiam, menatapku bingung, binar matanya padam menunjukan patahan hatinya, sekebat sinar lampu yang menabrak matanya membiaskan kaca-kaca yang terlihat retak nyaris pecah. Berapa banyak hal yang ia tahan selama ini oleh sebab berdiri di antara –aku dan umik-
“Kamu udah nemuin rumah itu ya, Tii?”
Tanyanya lirih, aku diam tak menjawab, hanya mengajukan senyum pasi sebagai jawaban. Di kepalaku pertanyaan itu terus berputar-putar mencari-cari jawaban dalam diriku sendiri. Bagaimana bisa aku mengatakan sudah menemukan rumah bila ternyata pulang yang paling ku ingini masih kepada seseorang di hadapanku ini? Aku menarik nafas, mencoba mengendalikan segala perasaan sentimental di dadaku,-
“Tii, aku ngasih kamu masa yang sulitkan?” tanyanya lagi,
“Hmmm se-dikit” agak terbata, aku tersenyum sesaat memperlihatkan jari jempol dan telunjuk dengan jarak yang berdekatan, menyembunyikan serangkaian hal rumit yang menganjal hatiku.
Kini kami menikmati kilat-kilat bias cahaya lampu yang terpantul dengan gelas kaca. Art latte miliknya sudah tak berbentuk. Hancur, persis seperti hatiku, mungkin juga hatinya saat ini.
“Tii, masih ada waktu. Bisa anterin aku ke rumah koffie?”
“Sekarang?”
“Iya”
“Bisa, ayolah!”
Ia berdiri, aku mengikuti langkahnya, kami berjalan kearah kasir. Sesaat aku menahan gerak tangannya saat ia membuka dompet, kemudian aku menyodorkan pecahan seratus ribu rupiah untuk membayar dua latte yang kita pesan-
“Pakai ini aja mba” kataku kepada mba-mba penjaga kasir
“Ngga usah mba, pakai ini aja” Ia menolak, berusaha memaksa
“Kali ini aku aja ya” Kataku. Ia mengangguk meng-iya-kan, seperti ingat kesepakatan tempo hari, pertemuan selanjutnya aku yang akan membayar.
-Rumah koffie-
Kami berjalan bersisian, setiap langkah menyandung-nyandung bebatuan seperti ada rasa sesal juga kesal. Sesaat setelah sampai di beranda kedai rumah koffie ia memelankan langkahnya, membuat dirinya kini tertinggal beberapa langkah di belakangku,
“Tii?” Ia memanggilku lirih, aku terkesiap, mengangkat wajahku, lalu berpaling ke arah belakang
“Iya, ru?” jawabku singkat
“Waktu pertama kali kita ketemu, kamu ingin ke rumah koffie kan? tapi ternyata tutup, terus kamu pilih coffie time sebagai gantinya, semenjak itu buatku dua tempat ini agak complicated” Ia tersenyum, mencoba mengingat-ingat. Tapi aku merasa banyak sesak di setiap kalimatnya
“Tii, mau coffie lagi?” tanyanya seiring dengan menarik jemariku lalu melangkah pelan ke dalam rumah koffie.
Kedatangan-nya di sambut hangat oleh pemilik rumah koffie, lebih hangat dari semestinya menyambut orang yang baru pertama kali berkunjung. Aku menempati meja favorit-ku yang sudah tertanda reservasi. Beberapa saat kemudian ibu pemilik datang dengan segelas air mineral, seperti menandakan tak ada lagi kopi untukku malam ini.
Pada jarak tak seberapa aku melihat lampu coffee bar table membias wajahnya, sesekali ia tersenyum, sesekali ia tenggelam dalam bias cahaya. Menimbang-nimbang satu karton kopi mana yang kiranya lebih enak di sedu. Lama aku larut, sesekali aku terasa hanyut, hingga kemudian suaranya memecahku,-
“Coba senyum tii, kayak di foto waktu kamu ”
“(aku tersentak kaget, lalu tersenyum kecut)”
“ah, ngga manis. Ngga semanis senyum yang ku ingat tempo hari” balasnya sambil tertawa mengejek, aku tersenyum semakin kecut. Kemudian kembali hening.
“Tii. waktu kamu cerita dengan eksaited tentang rumah koffie aku langsung tau dimana tempat ngopi favorit-mu. Hebatkan? Hehe, Terus karena penasaran, aku mutusin buat kesini sendiri pas overshift, Cuma mau buktiin sekeren apa tempat ngopi-mu ini” Ia tersenyum di akhir kalimat, sesaat aku tertegun
“Jadi udah pernah kesini?” tanyaku menyimpulkan
“Udah”
“Pantes!”
“Pantes apa?”
“Pantes udah seakrab itu sama yang punya”
“Hehe. tii, makasih ya”
“Makasih kenapa?”
“Karena dari kamu aku tau rumah koffie, dari rumah koffie aku jadi tau rumah seperti apa yang aku ingini”
“Jadi sekarang udah tau, mau pulang kemana?”
“Belum. Karena ternyata rumahnya udah ada yang nempati”
Ia berusaha menjawab setenang mungkin, di akhir kalimat ia tersenyum menatapku, Aku terhenyak. ngga ada kata yang bisa ku ajukan sebagai balasan. Di kepalaku kalimat itu terus berputar meminta diterjemahkan. Apakah rumah baginya adalah seseorang? Apakah seseorang itu adalah aku? Hatiku begetar, tak sanggup melanjutkan.
“Tii, aku mau kamu bahagia. Lebih mau kalau aku yang membuat kamu bahagia. Tapi sekarang terserah apapun alasannya yang penting kamu bahagia” agak tersengal, ia berhenti sesaat, kemudian melanjutkan kalimatnya “Jangan pernah merasa bersalah apalagi merasa menyakiti, apapun yang terjadi nanti, ngga ada kaitannya sama jalan bahagia yang kamu pilih hari ini”
Aku menatap wajahnya dalam-dalam, kali ini setiap kalimat terucap seperti anak panah yang terlepaskan dari busurnya dan kemudian mengenai hatiku dalam.
“Maafin aku Tii, aku ngga bermaksud masuk dalam hidupmu saat ternyata aku belum selesai dengan diriku sendiri. aku sibuk dengan keragu-raguan sampai akhirnya ngelewatin orang baik seperti kamu”
Kata-nya setengah begetar, bibir tebalnya dipaksa mencipta senyum, mata sayu-nya dipaksa melebar menahan segalanya. Ia menatapku, dalam sekali. Seperti ada lebih banyak yang ingin diucapkan oleh kedua matanya. Rasanya Hatiku, Semakin Sakit-
“Ru. Aku ngga bermaksud apapun. aku cuma yakin kamu berhak atas kejujuranku. Terimakasih udah mau mendengarkan juga mau mengerti”
“Aku yang berterimakasih tii, ngga tau gimana kalo kita selesai tanpa membicarakan apa-apa. Setidaknya dengan ini aku yakin pernah ada kita, atau paling ngga..”
“Paling ngga?”
“Paling ngga, aku tau aku menyanyangi orang baik, aku bersyukur masih bisa merasan kebaikan itu, kebaikanmu"
Beberapa waktu yang agak panjang kami habiskan dengan keheningan, Aku membuang nafas panjang hingga dadaku hanyut bersentuh dengan Palung dalam. semua rangkaian kalimat pembicaraan tadi, kini berkelibatan di kepala menjadi sesak yang terasa memenuhi rongga dada kemudian tertahan di pangkal tenggorokan. Lama kami terdiam, sampai kemudian ia bersuara.
“Tii, pamitan yuk”
“Udah mau pulang?”
“Iya. aku kesini mau ambil pesanan kopi, Sekalian mau merealisasikan rencana kita tempo hari, cuma sebentar tapi seenggaknya kita pernah kesini bareng”
Deg. Mendengar kalimat itu hatiku terasa seperti dilempari kenang. Segara ku tumpang raut wajah bingung dengan senyum tipis. Aku mengalihkan pembicaraan-
“Bentar ya ru, aku minta jemput dulu”
“Aku yang anter pulang ya tii? Kali ini, sekali ini lagi” mendengar pintanya, tak ada yang bisa ku lakukan selain mengangguk tanda mengiyakan.
Ia berdiri, aku mengikuti. Kami berjalan bersisihan mengambil sekarton kopi pesanannya. sekaligus berpamitan.
Ia melangkahkan kakinya, aku mengikuti dari belakang. kini kami berdiri di beranda rumah koffie, kabut malam tebal becampur Kilat cahaya yang membalap gemuruh suara. Angin kencang membawa hilang rintik hujan dalam bias cahaya.
Disepanjang perjalanan pulang kami sama-sama hening, membunuh waktu dengan pikiran masing-masing. Ritme Wiper mobil menghapus hujan yang jatuh dipermukaan kaca, terasa hingga melesap di sudut mata. Menghapus basah lalu memamerkan bias warna-warni atap yang disoroti lampu-lampu jalanan nan megah. Lama kami melakukan hal itu, sampai akhirnya suaranya memecahku
“Tumben tadi di antar?”
“Hmm Iya, kemaren habis nabrak dinding rumah jadi agak woory nyetir lagi”
“Hah kok bisa?”
“Biasa pake metic terus kemaren pake manual jadi lupa kalo ada kopling”
“Haha, kita kebalik tii. aku malah canggung kalo bawa metik”
Obrolan berlangsung di sisa-sisa perjalanan. Banyak usahanya mencairkan suasana, Di latar kota yang basah ini, mendadak aku sudah terasa rindu pada sepasang mata cokelat miliknya, integritas dari tawa dan caranya berbicara, aku rindu rasionalitas-nya yang menyebalkan, caranya menyampaikan logika tatkala juga berempati terhadap apa yang ku rasakan. Kami masih duduk bersampingan, tapi rasanya ini menjadi jarak terpanjang kami :’)
Sampai di depan rumah, hujan jatuh kian banyak. Aku membuka safety belt lalu melepaskan webbing dari genggaman perlahan, sembari memikirkan kalimat apa sekiranya yang bisa kuajukan sebagai salam terakhir untuk ku sampaikan.
Kini aku mengubah posisi duduk lebih condong kearahnya, mengumpulkan keberanian dengan menggenggam tangan kanan dan kiri. tangan sendiri—
“Ru, mau bilang terimakasih”
“Karena sudah di anter?” Tanyanya memastikan
“Sebenarnya bukan karena udah di anter aja”
“Iya, aku tau Tii. Untuk semuanya kan?” Ia menyimpulkan
Kali ini aku tak menjawab, hanya bisa menjatuhkan muka, menunduk bingung.
“Tii. Aku punya sesuatu” ia mengeluarkan bingkisan dari laci dashboard mobil
“Ini apa?” Tanyaku semakin bingung
“Sehari sebelum umik masuk ruang ICU, aku sempat beli Kain batik truntum ini untuk umik. Tapi ternyata aku ngga berkesempatan untuk ngasih ini ke umik, sampai akhirnya umik pergi”
Sesaat ia menjeda kalimatnya, menahan banyak air yang membasah di pelipis matanya, meraih dan membuka kedua tanganku yang ku genggam sendiri, kemudian ia melanjutkan kalimatnya
“Ini untuk kamu. Diterima yaa Tii, jangan di tolak. Ini hadiah dariku atas pernikahan kamu, sekalian mau ngucapin selamat menempuh hidup baru, takut kalau-kalau nantinya aku ngga bisa hadir di hari bahagia mu karena Schedule cuti”
Ia tersenyum di ujung kalimat, sesaat kuliat basah mengalir di garis senyumnya, ia tertunduk menyembunyikan selaksa perasaan sentimental. Ia memindahkan totebag kedalam genggaman tanganku, melipatkan jemriku pada bungkusan kain batik yang juga ia genggamkan erat.
“Makasih banyak buat semuanya, Ru. Buat semua yang udah kamu kasih ke aku selama ini.”
“Sama-sama Tii” Ia membalas singkat, tapi genggaman jemarinya ku rasa kian erat. Sesaat kami membiarkan waktu berkejaran bersama jatuh bulir air hujan. Sejauh-jatuhnya-
Hingga bening suara mengakhiri segala, “Tii, senang bisa berkenalan denganmu” Sebuah kalimat yang ia ucapkan bersama dengan senyumnya yang terasa menyakitkan juga masih dengan genggaman tangan untuk akhir cerita sepatah ini.
Lalu di sudut malam itu, aku mengeluarkan sebuah kain batik berpola halus dan sederhana, bermotif taburan bunga-bunga abstrak kecil menyerupai bunga melati. Aku memandangi bias kilat cahaya lampu mobil yang semakin menjauh. Ia hilang ditelan keheningan malam yang semakin menyesakkan. Mendistorsi perasaan complicated yang selalu berhasil membuat kita pulang dengan hati yang tak lengkap.
Mungkin. sebenarnya kami adalah dua orang yang terjebak di antara dua rasa yang sama, yang juga sama-sama memilih diam sebagai respons sebuah rasa, dan kemudian, sama-sama berakhir dengan menikahi orang lain dan tak bisa bersama.
Malam dan hujan. Hatiku hening. dingin. dan rapuh...
Ru, aku tulis ini sebagai salah satu caraku menyudahi -kita- yang tak berani ku tanyakan langsung kepadamu, juga –kita- yang tak bisa kamu jelaskan kepadaku. Sehat-sehat ya ru, baik-baik. Doaku selalu :’)
17 notes · View notes
kemungkinan-blog · 5 years
Text
'Kau cakap dengan siapa?' - Bahana pulang lewat, remaja diekori 2 kelibat misteri dari tren
Tumblr media
Sekadar perkongsian untuk bacaan suka-suka. Bagi mereka yang lemah semangat dan mudah terbayangkan perkara yang tidak sepatutnya, anda dinasihatkan untuk tidak meneruskan bacaan. Risiko tanggung sendiri. Gambar-gambar yang digunakan juga hanyalah sekadar hiasan sahaja. Selamat membaca.
THREAD ngeri yang saya nak kongsikan ini berjudul 'The Last Train To Home'. Kisah benar ini berlaku sewaktu saya dalam perjalanan pulang dari Dang Wangi ke Taman Melati. 
Tumblr media
Sewaktu aku berumur 19 tahun, aku gemar pergi konsert indie fest, rockastyle, A.C.A.B dan macam-macam lagilah dengan gig. Masa pergi itu beramai-ramai. Alhamdulillah aku tak berpakaian emo, cuma seluar besar bawah dan baju kotak-kotak rambut panjang ala-ala raggae gitu. 
Niat di hati nak overnight di KL Tower sebab macam dah lewat je, takut tren tak ada. Kami tak sehaluan, ada yang naik motosikal, kereta, bas dan pengangkutan awam lai. Aku seorang sahaja yang menghala ke Gombak dan yang lain menghala ke Kelana JAya apa semualah. 
Bila dah habis pergi fest apa semua, berkumpul di LRT Station Dang Wangi untuk meneruskan perjalanan ke haluan masing-masing. Kami beria-ria berlari tak berhenti-henti nak kejar tren sebab takut dah tutup. Tapi staff LRT dah siap menunggu di tangga eskalator itu. Dia panggil kami. 
"Cepat dik! Cepat! Last tren dah ni. Satu menghala ke Kelana Jaya dengan Gombak!" 
Aku pun pelik, tak pernah-pernah staff rajin dok pekik begini. Mungkin masa itu kami pertama kali tengok. Budak lagi la katakan, semua macam baru akhil baligh. Okey, lajukan langkah. 
"Terima kasih bang! Huh, ada lagi eh. Nasib baik! Kalau tak, kami dah merempat kat LRT ni dah." 
"Lewat-lewat ni korang bua apa dengan muda-muda macam ni? Sekolah lagi ke ni?" soalnya. 
"Cantik sikit bang! Kami dah 19 tahun, habis dah sekolah," berlagaklah sikit sebab dah habis sekolah. 
Okey, kami pun turun tangga tunggu lift. Hanya kami saja berada di bawah tanah itu. Kawan beria-ria dok sakat-sakat aku. 
"Habislah kau balik lidd! Kau tu dahlah mata rinnegan. Apa-apa call kami weh! Jangan diam je kalau dah sampai." 
Aku pun gelak macam biasalah, aku mudah terhibur. 
Waktu tren menghala ke Kelana Jaya, kawan-kawan aku semua dah gerak sebab diorang sekali tren ke sana dan aku keseorangan menghala ke Gombak. Ini adalah gambar contoh suasana sunyi dan seram sejuk keseorangan. Tiada seorang pun yang berada di bawah ini. 
Tumblr media
Sementara menunggu, dari jauh bunyi tren sudah kedengaran. Masa kau duduk tunggu tren nak sampai, biasalah bawah tanah, terowong kan. Bunyi gesel-gesel dia tu mengerikan. Macam bunyi menangislah, apalah. Sebab kau seorang masa tu, macam-macam boleh fikir. 
Tren pun sampai, aku pun naik dan duduk di bahagian belakang sekali sambil dengar lagu guna fon telinga. Tutup je pintu, aku pun layanlah sambil tengok tren itu bergerak dekat cermin belakang tren itu. Gelap dan sunyi malam itu. Usha belakang, ada dua orang dalam tren. Satu di sebelah hujung depan satu, satu lagi dekat dengan satu gerabak aku. Dua orang itu pandang ke depan saja. Yang sebelah depan main handphone dia. Buat tak tahu sebab ada orang teman dalam gerabak.
Masa tengah fokus layan lagu, tengok di cermin belakang itu, berdekatan lorong tu bbelah atas dia aku nampak ada sesuatu yang melekat seperti Spiderman. Kepalanya botak, matanya bercahaya putih sebab kena lampu tren. 
Aku dok tengok-tengok, eh apa benda tu? Mental masa itu fikir penat, tambah pula dengan fikir macam-macam sebab dah lewat malam. Aku pun rasa macam tak perlu nak duduk kat cermin ini lama-lama. 
Berjalan pergi duduk dengan orang yang duduk dekat satu gerabak dengan aku itu, belah belakang. Boraklah dengan dia sebab nak hilangkan nervous aku tu. Aku ni peramah orangnya, kenal tak kenal aku tegur sajalah. Menyirap juga hati aku sebab dia jawab sepatah-sepatah. 
Aku jelinglah kat depan sana tu, bro itu dok record aku. Selepas itu dia panggil aku pergi dekat dia.
"Haa kenapa bang? Kenapa panggil saya?" 
"Kau cakap dengan siapa? Baik kau duduk dengan aku, temankan aku," katanya. 
"Saya cakap dengan pakcik itulah bang." 
"Selepas keluar dari bawah tanah ni, aku nak tunjuk something tapi kau tinggal mana? Setiawangsa ke sama dengan aku?" soalnya. 
"Eh tak bang, saya tinggal di Melati. Kenapa tu? Apa yang nak ditunjukkan tu?" 
Dia pun tunjuk video dekat aku yang aku bercakap seorang diri. Tapi kenapa aku seorang saja yang nampak?
"Biasalah dah lewat macam ni ada saja yang akan menumpang sekali." katanya. 
Aku mula goyang, otak dia pergi tunjuk dekat aku! 
Selepas tren itu sampai ke Setiawangsa, dia pun keluar sambil pesan suruh istighfar dan berzikir, jaga diri apa semua. Aku memang rasa nak berhenti di Setiawangsa pada masa itu. 
Aku terkial-kial nak call orang ajak teman, dengan bunyi tren yang mengerikan. Sesekali aku jeling juga ke belakang, pakcik itu masih ada di sana duduk memandang ke hadapan. Aku ingat lagi dia pakai baju t-shirt pagoda dengan seluar slack hitam dan rambut dia beruban. 
"Cepatlah sampai! Aku dah tak tahan dah ni," aku cakap dalam hati. 
Sampai ke Wangsa Maju, pakcik itu bangun dan keluar. Masa itu Tuhan saja yang tahu macam mana rasanya nak tertanggal jantung ini. Aku takut dia pergi dekat aku. Menggigil-gigil sejuk tangan pada masa itu. Tolonglah, aku seorang diri ni. 
Aku tengok dia keluar sambil aku angkat kepala, jenguk dia keluar menghala ke tangga. Intai-intailah dari sipi-sipi pintu, dia siap senyum dekat aku. Kepala otak apa! Goyang gila masa tu. 
Tren pun meneruskan perjalanan dan bila dah sampai ke Melati, aku turun dari tren, cepat-cepat sambil berlari membuatkan staff di situ pelik tengok aku kelam kabut touch kad nak keluar dari stesen. 
Tunggu teksi, tapi tiada satu teksi pun yang lalu. Call family suruh datang jemput, seorang pun tak jawab. Jam dah pukul 12.50 pagi, dah dekat pukul 1 pagi. 
Jalan pintas dari Stesen LRT ke rumah aku itu ada lorong-lorong rumah, gelap gelita tidak berlampu. Nak tak nak, kena lalu. Dari stesen aku berlari tanpa henti. Bila tiba di lorong kedua jalan pintas itu, ternampak orang tua berbongkok duduk di tengah lorong. Ah sudah!
Tak jadi nak lalu, Pusing jauh sikit sambil berlari. Badan dah tak larat, mengah gila berlari saja dari tadi. Sampailah ke rumah, ketuk pintu tiada seorang yang bangun buka pintu. Tidur mati ke apa diorang semua ni? Tak apalah, dah tidur kot. 
Dulu arwah ayah aku ada van di depan rumah dan dia sengaja tak kunci van itu. Siapa yang balik lewat, pandai-pandailah tidur dalam van itu sampai esok pagi baru diorang kejutkan. 
Aku pun nekad tidur dalam van. Call jiran, kawan aku, tak jawab. Malang betul nasib malam tu. Tengah baring-baring sambil bilik handphone, main game bounce, tiba-tiba van bergoyang. Tingkap di belakang diketuk-ketuk. Aku pejamkan mata sambil istighfar. Kalau aku keluar dari van ini lagi naya, silap-silap kena kejar. Nekad duduk dalam van, kunci pintu, tutup tingkap. Dalam van sejuk sebab tengah pagi kan. 
Terasa macam ada orang berjalan ke arah tepi tingkap sebelah kanan aku. Aku terasa macam pakcik dalam tren itu duduk tengok aku dekat tingkap. Tapi aku tak nak langsung pandang, dia mula mengeluarkan bunyi yang membuatkan aku rasa nak pengsan. Bunyi macam humming dengan bunyi anjing tengah marah. 
Takut punya pasal, aku tertidur dalam van. Sehingga keesokan paginya ayah kejutkan aku. 
"Seronok duduk dalam van?" 
Aku diam je, bangun terus masuk rumah. Tiba-tiba tengah berjalan masuk ke rumah, ayah kata, 
"Sebenarnya ayah nampak kau dekat tingkap, tengok kau dalam van tu. Ayah nak hukum kau sebab balik lambat. Malam tadi kau nampak orang tu dengan nenek dekat atas bumbung van tak?" 
Aku cakap ya. 
"Semalam aku nampak satu persatu benda tu pusing-pusing van tengok kau. Tapi aku tak nak tolong kau. Bahana untuk kau dengan pelajaran dalam hidup kau!" 
Arwah ayah aku ni tukang ubat orang. Jadi, dia boleh nampak satu persatu sebab dia satu guru dengan Tuan Guru Harun Din. 
"Haa eloklah tu, biarkan anak kena macam tu. Tahu tak teruk orang kena! Kalau jadi apa-apa, nanti siapa susah?" aku jawab. 
Steady je jawapan arwah ayah aku (hahaha!)
"Mati lebih baik dari menyusahkan kedua ibu bapa kau. Suruh jadi orang pun susah. Belajar dari kesilapan. Arwah datuk kau didik ayah memang seram gila dengan tegas." 
Walaupun ayah cakap macam tu, dia datang ke bilik ubatkan aku, buang satu persatu. 
"Ni benda apa yang mengikut kau ni? Kau kena tegur ni!" kata ayah. 
"Erm, bukan orang yang kena tegur, orang yang pergi tegur benda tu". aku jawab. 
Macam biasa kena leter dan ceramah A-Z. Selepas berubat, aku terus menggigil macam nak demam. Ayah bagi air ubat yang dia bacakan, bersembur aku minum. MAcam minum air berkaca. Perit tekak minum air tu. Padahal air ubat dia bacakan itu tak ada apa-apa. 
"Air apa ni yah? Dah macam racun dah." 
"Minum, habiskan. Nak buang bisa dalam badan dengan muntah benda tu yang masuk dalam badan kau waktu kau tidur." katanya. 
Aku pun minumlah sampai habis. Selepas minum, badan jadi panas nak demam. Aku pun rehat sambil memikirkan kejadian malam tadi. Agaknya pakcik yang senyum kat aku tu mengikut aku agaknya. 
Ini gambar-gambar penumpang di LRT yang ditangkap oleh staff Rapid baru-baru ini. 
Tumblr media Tumblr media
Jangan ingat tak ada penumpang lain yang naik sekali di lewat malam. Ada je yang menumpang. Bagi yang tak nampak mesti akan cakap, "Okey je aku balik kerja lewat malam naik tren" tu bagi kau yang tak nampak Bagi yang nampak, koyak mental tau. 
Ini lorong jalan pintas yang aku nampak pakcik bongkok tu. 
Tumblr media
Sumber: @TheHulkey
from The Reporter https://ift.tt/30MnVqy via IFTTT from Cerita Terkini Sensasi Dan Tepat https://ift.tt/2y67hWu via IFTTT
7 notes · View notes
ullyiz · 2 years
Text
Kertas Basah
Seperti tayangan video gerak lambat. Sobekan-sobekan kertas itu melayang-layang dihadapanku. Aku hanya memandangnya. Seperti orang bodoh. Hanya memandangnya. Seperti sobekan-sobekan kertas itu, pikiranku juga melayang-layang. Berusaha menghapus bayangannya. Sosok yang melemparkannya tepat didepan mata. Mimpi buruk. Rekaman yang takkan pernah bisa terhapus. Padahal tanganku sampai kapalan menekan…
View On WordPress
0 notes