Tumgik
ssoassawhowrites · 10 months
Text
Pills - the one who can heal you is yourself
Part 2
Suara air membangunkanku.
Apa aku lupa mematikan air? Batinku. Aku memang sempat berendam tadi. Tapi, sepertinya aku sudah memastikan semuanya mati sebelum jatuh tertidur. Kupaksakan tubuhku untuk bergerak, menatap kosong langit-langit kamar yang remang-remang.
Sejak Ibu meninggal, aku tidak pernah begitu saja mematikan lampu kamar sekaligus tanpa ada sepercik cahaya atau suara manusia di sekitarku. Atau mungkin aku hanya tengah membohongi diri sendiri dengan ingatan yang belum tentu benar adanya.
Kupejamkan kedua mataku dan menoleh ke sebelah kiriku.
"Minhyuk?" Lirihku saat melihat pergelangan tangan kiriku yang sudah terlilit kain kasa putih.
Kupaksa tubuhku untuk bangun dan berjalan keluar kamar. Aku berhenti berjalan ketika melihat punggung yang dalam lima bulan terakhir sudah mondar-mandir di apartemenku.
Aku melirik ke arah jam dinding di atas TV di ruang tamu, pukul dua dini hari.
Minhyuk hampir menjatuhkan panci ramyun dari tangannya ketika berbalik dan melihatku. “Aku berisik, ya?”
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya, dan berjalan kecil ke arah dapur, menurunkan kedua lengan sweatshirt Minhyuk yang aku pakai.
“Kapan datang?”
“Pukul satu tadi, aku lapar,” jawabnya sambil menyengir lebar.
“Biar aku—“ kataku sambil mencoba meraih panci dari tangannya.
“Ini air keran, kan?” Tanyaku dan Minhyuk mengangguk tak berdosa. Lantas aku menyentil kepalanya. “Pakai air kemasan, Kang Minhyuk. 'Kan aku sudah bilang berkali-kali.”
Kubuang airnya ke wastafel, lalu mengambil botol kemasan dari pojok meja dapur. Aku berhenti sebentar, melihat ke kemasannya. "Ini kamu yang beli?" Tanyaku pada Minyuk.
Ia menggeleng. "Aku pikir kamu beli air kemasan baru dari biasanya." Jawabnya. “lagipula airnya 'kan direbus, mau air keran atau kemasan apa pun sepertinya akan sama.”
“Tapi tetap saja, air keran itu beda," selaku. Berbalik dan menuangkan air kemasan yang aku masih berusaha mengingat kapan aku membelinya ke dalam panci. "air keran 'kan tersalur lewat pipa. Ada jutaan partikel-partikel yang kamu nggak tau itu bisa berbahaya atau nggak.”
“Eum,"
Aku menghidupkan kompor. “Aku bukannya gimana-gimana, nggak tiba-tiba jadi expert juga di bidang perairan-minuman ini," aku berhenti, menyandarkan tubuh di pinggiran meja kompor. "maaf kalau aku terlalu banyak omong."
Minhyuk tersenyum, kedua matanya menghilang. Eye smile yang berhasil membuatku luluh lima bulan yang lalu, berpikir kalau laki-laki ini bisa membantuku.
"Kenna-ya, kamu tau?" Minhyuk bergerak membuat dirinya lebih dekat denganku. Tangannya terangkat, menyentuh poniku dan mengelus bagian samping kepalaku dengan lembut. "aku lebih suka kamu seperti ini, ngomel seharian nggak berhenti, dari pada menyimpan semuanya sendirian." sambungnya. "aku nggak bakal tau kalau kamu masih berduka akan kematian ibumu, kalau aku nggak memaksa Seohyun memberitahuku kenapa kamu menghilang setahun yang lalu tepat di tanggal yang sama dengan hari ini."
Aku menunduk, memainkan ujung bawah sweatshirt. "Aku cuma... aku nggak tau harus melakukan apa, selain ya..."
Minhyuk menarikku, membawaku masuk ke dalam pelukannya. “Maaf aku sibuk di hari kematian ibumu,”
“No, anieyo.” Jawabku, melepaskan diri dari rangkulannya, berbalik untuk menatap air yang sudah mulai mendidih di panci. “Daeun cerita tentang dramamu hari ini.”
“Daeun?” Aku mengangguk. “Teman di kantormu sebelumnya, ya?” Aku mengangguk tanpa melihat ke arah Minhyuk.
"Daeun bilang sebenarnya cerita biasa, tapi..."
“Tapi?”
"Tapi, chemistry-mu dengan pemeran utama perempuannya bagus kali ini. Seperti chemistry-mu dulu di drama orang kaya itu.”
“Ah, drama itu,” Minhyuk setengah tertawa. “padahal aku pikir juga chemistry-ku juga biasa-biasa saja. Tapi itu kan kata Daeun, aku tidak pernah tau dramaku atau chemistry-ku bagus atau tidak dari. Kau masih belum mau menonton dramaku?”
Aku menatapnya, lalu menggeleng. “Tidak. Mungkin nanti.”
“Nanti kapan? Setelah kita berpisah?”
Aku terdiam. Minhyuk menatapku dengan raut wajah yang datar. Hening mengisi ruang di sekitar kami, sampai suara air mendidih perlahan menggantikannya.
Aku masih belum bergerak bahkan ketika suara air mendidih semakin keras. Minhyuk menghela napas panjang. Dari ujung mataku ia berjalan ke belakangku, mungkin mengambi bungkus ramyeon yang tadi sempat aku lihat.
"Kita sudah saling kenal sejak 2009, tapi sejak drama hits itu, kamu sama sekali tidak tergerak untuk menonton dramaku. Aku tidak mau berpikiran kalau kau hanya cemburu atau semacamnya, itu hanya buat aku jadi besar kepala karena berpikir dangkal 'wuah, kekasihku begitu mencintaiku sampai tidak bisa melihatku dengan perempuan lain.'" Minhyuk memasukkan ramyeon ke dalam panci, aku bergeser sedikit.
"Ani, aku hanya--"
"Ini pekerjaanku, Kenna, kadang aku butuh support dari perempuan yang paling aku ingin dengar pendapatnya tentang apa yang aku lakukan," potongnya.
Aku mendongak, memeriksa raut wajahnya. Tidak ada lagi senyum di sana, hanya raut wajah yang datar, sampai ia menoleh ke arahku, dan tersenyum kecil dan cepat.
“Biar aku yang lanjutkan, kau tidurlah.” Katanya setelah mencium dahiku dengan cepat.
***
Aku nggak pernah mengklaim diriku sebagai seorang light-sleeper, tapi saat Minhyuk mencium keningku singkat saat aku tertidur di kamar setelah menemaninya makan tadi.
Tapi, aku tidak membuka mataku.
"Aku pulang, ya. Aku ada jadwal promosi hari ini," katanya. Tanpa membuka matapun aku tau, Minhyuk sambil tersenyum sekarang. "Lukanya jangan lupa dibersihkan sebelum ke kantor nanti. Saranghae."
Tumblr media Tumblr media
***
"Gina-ssi,"
"Oh, ne?"
"Yang kau bilang di text tadi, apa sudah tau siapa? Sepertinya aku butuh research lebih banyak tentang mereka sebelum presentation storyline dan production nanti. Kau tau Pak Lee agak perfeksionis tentang ini." Kataku sambil tertawa kecil.
"Ah, benar!" Gina adalah salah satu dari divisi account management yang fokus mengurus exclusive content untuk perusahaan. Aku sebenarnya tidak terlalu dekat dengannya, tapi entah bagaimana dia selalu memberitahukan hal-hal seperti ini padaku. "Aku sudah bilang konten eksklusifnya adalah dokumenter 'kan? Kita nggak akan ambil konsep dan idenya 100% dari OTT sebelah, tapi idols dan groupnya akan tetap sama, dan kontennya tetap seputar their journey, dan group yang sudah fixed itu adalah NCT127. Mereka akan mewakili K-pop generasi ketiga dengan konsep mereka yang unik."
Aku mengangguk. "Oh, okay"
"Kau tau groupnya yang mana?"
"Sepertinya aku pernah dengar salah satu lagu mereka."
"Iya, dan perwakilan dari mereka juga akan datang minggu depan, ada Johnny-nim, Yuta-nim, dan Mark-nim, mereka semua orang asing sama seperti kita,"
"Foreigners?"
"Johnny-nim dan Mark-nim adalah lahir dan besar di states, tapi Yuta-nim adalah warga negara Jepang--kau memang harus research lebih banyak tentang mereka," Gina menyentuh pundakku setengah tertawa.
0 notes
ssoassawhowrites · 10 months
Text
Pills - the one who can heal you is yourself
Part 1
Aku tidak pernah menonton drama atau film bertema romantis yang Minhyuk bintangi. Tapi, hari ini…
“Kamu nonton drama Netflix yang baru tayang kemarin?” Tanya Seungyeon yang sejak lima menit lalu sudah berkutat dengan ponsel di tangannya.
Seingatku tadi ia bilang kalau ia akan menghubungi Daeun, teman kami seorang lagi, yang akan datang untuk makan malam bersama di hari Minggu yang entah bagaimana terasa lebih hangat dari hari-hari sebelumnya.
Kenapa jadi tiba-tiba bicara soal drama Netflix? Batinku. “Yang mana?” Tanyaku pada akhirnya. Berhubung ada banyak drama Korea yang tayang di OTT platform satu ini. 
“Influencer,” jawabnya dengan aksen Korea yang sangat kental. Seungyeon menatapku dengan mata kecilnya yang entah bagaimana lebar sekali sekarang. “Ada 12 episode, kau bisa langsung menontonnya sekali duduk.”
Influencer.
Drama korea terbaru yang Minhyuk bintangi. Eum, tidak. Aku tidak menontonnya. Tentu saja tidak, sejak aku kenal dengan Minhyuk, secara personal. “Ah, serial itu.” Jawabku singkat, kembali sibuk dengan buku menu di tangan yang sudah aku baca sejak Seungyeon sibuk dengan ponselnya.
“Yeoksi! Aku sudah tahu kau pasti langsung menonton dramanya, sejak kau bekerja di tempat itu ‘kan?”
Aku menghela napas panjang. “Siapa yang bilang semua karyawan Netflix pasti harus menonton setiap drama yang tayang dari sana?”
“Bukannya seperti itu? Kau bekerja di perusahaan webtoon, kau setiap hari juga harus membaca setiap webtoon-nya—“
“Lantas kalau aku bekerja di perusahaan kosmetik, aku juga harus pakai semua kosmetiknya?”
“Eum—begini—Ah! Itu Daeun!, Daeun-ah, yeogiyo!” Seungyeon berdiri sambil mengangkat tangannya, membuat Daeun mengetahui keberadaan kami di kafe malam itu. Atau singkatnya, dia mengalihkan pembicaraan karena pertanyaanku.
Aku tersenyum kecil.
Memang benar kalau kami juga disarankan untuk menonton setiap film dan series yang ditayangkan oleh Netflix, dan beberapa posisi juga dibutuhkan untuk menonton semua konten yang perusahaan miliki, tapi sejauh ini, aku tidak diwajibkan untuk menonton semuanya.
Dan lagi, aku punya alasan khusus kenapa aku tidak menonton drama yang ditanyakan Seungyeon tadi. Ya, itu karena Minhyuk. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku menonton dramanya. Dua tahun yang lalu? Atau lima tahun yang lalu?
***
“Terima kasih sudah menemaniku hari ini.” Kataku, mencoba untuk terdengar tulus, walau aku tidak tau apa usahaku berhasil, sejak suara di kepalaku bilang hal yang berbeda.
“Eyyy, jangan sungkan.” Kata Seungyeon, setengah merangkulku.
“Ingat selalu Kenna, kamu punya kami,” sambung Daeun. “oh iya, kau yakin tidak mau kami antar pulang? Kita bisa lanjut ke ronde kedua, lho!”
Aku menggeleng. “Tak apa, biasanya aku akan langsung tidur dan lupa apa yang terjadi sebelumnya.” Jawabku sambil terkekeh.
“Tapi, ingat kalau ada apa-apa jangan lupa ada kami, oke?”
“Iyaaa!” Jawabku lalu berjalan sambil melambai ke arah Daeun dan Seungyeon yang kemudian berbalik arah berlawanan denganku.
Aku memutar tubuh, berjalan pelan menuju apartemen yang sudah hampir lima tahun ke belakang aku tempati selama di Seoul. Entah bagaimana apartemen dan tempat makan kami tidak terlalu jauh, berjalan kaki memang terasa lebih menyenangkan, ditambah dengan angin semilir sejuk menyapu rambutku yang terurai.
Ah, iya. Dokterku bilang rambutku sudah mulai panjang ketika tempo hari bertemu. Perasaanku malah ingin memotongnya kembali.
Langkahku terhenti, mengeluarkan ponselku dari saku blazer. Mataku terpaku pada tanggal dan angka di jam ponselku malam itu. Sudah pukul delapan lebih tiga puluh menit.
Hatiku mencelos, ada perasaan campur aduk yang tidak bisa aku jelaskan. Tangisku secara perlahan naik ke kerongkongan, kau tau, seperti perasaan yang biasanya akan kau rasakan ketika ingin menangis, tapi tak bisa kau keluarkan. Itu yang tengah aku rasakan sekarang.
Aku mendongak, bukan karena ingin atau mencoba membendung airmataku agar tak jatuh. Lebih karena aku ingin mencari keberadaan bulan malam ini. Apa ia ada? Apa tidak? Dan saat aku mendongak, dia ada di sana.
Bulan yang belum sempurna, tapi dia ada. Bulan malam ini begitu cantik, tapi juga menyedihkan bagiku. Karena hari ini jadi hari... hari di mana aku kehilangan duniaku, hari ini, di jam ini tepat dua tahun yang lalu, duniaku hancur berkeping-keping.
Tiba-tiba aku merasa sempoyongan, aku menunduk dan terjongkok di tempat. Mengenggam ponselku dengan erat.
Awalnya kupikir, setidaknya aku bisa sampai ke apartemen terlebih dulu dan menderita sendirian di sana. Tapi, entah bagaimana aku tidak sanggup untuk berjalan lebih jauh lagi. Kututup kedua mataku, menutupnya sekasar mungkin walau aku tak tau bagaimana caranya. Tapi, tanpa menutup keduanya pun, pandanganku sudah menggelap.
Duniaku gelap sejak ibuku meninggal dua tahun yang lalu. Dan hari ini adalah hari di mana aku kehilangan sosoknya untuk selamanya.
Jantungku mendadak terasa sakit, aku tidak bisa bernapas dengan normal seperti biasanya. Sebagian dari diriku mencoba untuk bangkit, tapi sebagian yang lain memutuskan sepihak untuk membuatku terjatuh dengan sempurna di atas aspal. Pikiranku kosong, dadaku berkecamuk, dan perasaan ingin berteriak yang cukup tinggi.
Tapi, aku tau aku tidak bisa melakukan itu di sini. Di tempat banyak orang berlalu-lalang. Aku juga tau pasti sudah banyak orang yang memperhatikanku dengan bingung dan aneh. Tapi, aku tidak bisa melakukan kompromi dengan tubuhku sendiri. Seolah-olah ia punya otak sendiri dan bukan aku yang bisa mengontrolnya.
Detik demi detik perasaan bersalah, kehilangan, kesedihan, dan kesendirian berkecamuk jadi satu dan menggerogoti tiap atom di dalam tubuhku. Sampai sebulir air mata itu turun bersamaan dari kedua mataku, membuatnya basah ketika aku berkedip. Perasaan ingin mati terasa begitu dalam, seperti ada belati yang menancap dadaku saat ini.
Aku tidak bisa mendengar atau berpikir apa pun selain suara-suara itu yang bilang kalau aku adalah sumber kematian ibuku dua tahun yang lalu. Aku tidak bisa berfungsi dengan baik dan terus memukul-mukul dadaku, sampai satu tangan menyentuh pundakku.
Aku mendongak, mengedik, dan menjauhkan pundakku dari jangkauan tangan yang terulur itu.
“Anda seperti kesakitan,” katanya.
Aku mengalihkan pandangan dari laki-laki itu, mencoba menarik napas lebih panjang, mengaturnya untuk berfungsi sebagai mana mestinya, mengusap air mata dari wajahku dan berusaha untuk bangkit.
“Maaf,” kataku setelah berhasil untuk bangkit. “Saya tidak apa-apa.” Sambungku kemudian.
Aku terpincang sedikit ketika berusaha untuk melewati laki-laki itu, sampai ia kembali memanggilku.
“Setidaknya bawa ini,” katanya, membuatku berbalik.
Sekarang aku bisa memperhatikan wajah dan penampilannya malam itu. Aku seperti mengenalnya entah di mana, wajah yang cukup familiar yang aku tidak bisa ingat siapa, tapi aku yakin laki-laki dengan topi--dan entah apa yang terjadi dengannya, tapi lengan kanannya terbungkus dan digantung dengan arm sling, sementara tangan kirinya menyodorkan air mineral padaku.
“Airnya dingin, aku dengar cocok untuk meredakan rasa cemas. Setidaknya untuk saat ini.”
Aku terdiam beberapa detik sebelum mulai bicara lagi. “Tidak, saya—“
“Johnny-ya!” Suara laki-laki lain memotong apa yang ingin aku katakan. Suara itu muncul dari dalam rumah makan lain di sepanjang jalan ini. “Ada apa?” Tanyanya pada laki-laki bertopi dan dengan arm sling yang belum mengalihkan tatapannya dariku.
Aku sudah akan berbalik lagi ketika ia kembali menyodorkan botol air mineral di tangannya. Ambil saja, toh aku bertemu dengannya sekali ini saja. lagi pula aku juga tidak kenal siapa orang ini. Kataku dalam hati, lalu meraih botol air mineral itu dari tangannya.
Aku membungkuk dan berlalu dari hadapan kedua orang itu dengan melangkah secepat mungkin.
Sesampai di apartemen, aku mendapat pesan dari Minhyuk. Kulepas sepatu dan berjalan beringsut ke sofa di ruang tamu. Kubuka pesan darinya dan membalasnya dengan cepat.
Tumblr media
"I love you..." lirihku dan mendongak ke langit-langit ruang tamu apartemen.
Enam bulan yang lalu kalimat itu memang berhasil membuat kupu-kupu di perutku kembali hidup. Tapi, tidak jarang kebersamaan setelah kalimat itu sering diucap oleh Minhyuk padaku membuatku bertanya-tanya apa aku layak mendapatkan deretan kata itu?
Don't do anything stupid, katanya barusan.
Entah kenapa kalimat itu malah membuatku makin ingin melakukan hal yang bodoh.
Aku arahkan pandangan pada vas berisi bunga Chrysanthemum di meja makan. Ternyata aku sempat membeli bunga untuk Ibuku tadi pagi, bahkan memberinya air yang cukup.
Kupaksa diriku berjalan lagi ke arah meja makan. Kupotret bunga krisan yang masih segar itu, dan membiarkan jari-jariku mengetikkan sesuatu di akun Instagram yang aku punya.
Tumblr media
2 Juli sebentar lagi berakhir, dan aku tidak ingin tanggal ini berakhir. Karena tanggal ini, adalah saat di mana ibuku terakhir kali ada di dunia ini.
0 notes
ssoassawhowrites · 10 months
Text
Pills - 𝓉𝒽𝑒 𝑜𝓃𝑒 𝓌𝒽𝑜 𝒸𝒶𝓃 𝒽𝑒𝒶𝓁 𝓎𝑜𝓊 𝒾𝓈 𝓎𝑜𝓊𝓇𝓈𝑒𝓁𝒻
--- a fan-fiction story between an idol, an actor, and a girl who's hurting herself.
Kenna as an original character
#JOHNNY as Johnny (the idol)
#KANGMINHYUK as Minhyuk (the actor)
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note