Tumgik
hoelpath · 10 months
Text
Menangislah yang deras sembari kau tumpahkan kesesalan dan kekhilafanmu, lalu pekikkan keluh dan pintamu ke rongga bumi, rendahkan dirimu serendah apa kamu tercipta. Bukankah Allah senang ketika hambanya merengek mengiba pada-Nya?
1 note · View note
hoelpath · 2 years
Text
Mitos Feminisme dalam Penulisan Blangko Ijazah
oleh: Miftahul Umam
Tumblr media
Baru-baru ini kita mengetahui dari pelbagai media online dan offline mengenai pembolehan pencantuman nama ibu dalam pengisian blangko ijazah pendidikan dasar dan menengah bagi siswa. Hal ini tentu berbeda dengan yang kita ketahui selama ini, di mana hanya nama ayah sebagai wali dari seorang murid yang dapat dicantumkan dalam ijazah mereka.
Kasus ini munguak dari pembacaan kritis seorang ibu tunggal bernama Poppy R. Diharjo setelah membuat petisi yang ditujukan kepada Mendikbudristek Nadiem Makarim di platform media Change.org. Dalam petisi tersebut berisikan permintaan dan dukungan supaya Kemendikbud dapat mengubah aturan pengisian blangko siswa dengan fleksibilitas penulisan nama wali, baik ayah, ibu atau nama wali yang ditunjuk keluarga bersangkutan.
Poppy menjelaskan bahwa keresahannya ini dilatarbelakangi dari keterangan pihak sekolah anaknya yang tidak mengizinkan namanya ditulis dalam ijazah sebab Poppy memiliki status sebagai ibu tunggal. Sekolah memaksakan pendapatnya perihal penulisan nama ayah yang harus dicantumkan. Padahal Poppy sudah bercerai dan ayah biologis anaknya tidak pernah memberikan sumbangih dan peran dalam perkembangan anaknya, baik pengasuhan dan support secara finansial.
Sebanyak 16.000 lebih dari warganet telah menandatangani petisi tersebut. Hal itu menunjukkan sikap dan kritik dari para kontributor petisi atas kegelisahan mereka mengenai diskriminasi gender. Keberadaan petisi ini tentunya dinilai sangat berperan aktif untuk mempersuasi publik dan menjadikan mereka dalam satu opini, yakni keinginan tegaknya keadilan sosial, tepatnya keadilan gender.
Dari kasus di atas, kita dapat membacanya dengan perspektif semiotika Roland Barthes. Pembacaan Roland Barthes dianggap mampu menjelaskan beragam tanda yang tersembunyi dalam teks, baik secara tertulis atau sebaliknya (kejadian/budaya). Pada dasarnya kita hidup dalam dunia yang penuh dengan tanda yang selalu kita baca dan tafsirkan untuk menjadi tanda-tanda yang baru, pembentukan tanda-tanda tersebut lahir dari kebudayaan alamiah yang dibawa manusia. Dengan arti lain, tanda-tanda tersebut pada akhirnya akan dipahami baik secara denotative maupun konotatif.
Lalu apa yang dimaksud dengan denotasi dan konotasi? Denotasi merupakan tahapan yang dapat menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda untuk menjelaskan pemaknaan secara langsung dan pasti. Adapun konotasi adalah tahapan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang dalam proses pemaknaannya secara implisit dan tidak pasti, sehingga makna yang dihasilkan akan melebar dari penanda aslinya.
Kembali pada kasus yang akan penulis bahas mengenai keadilan gender. Menurut Utomo, emansipasi merupakan sebuah gerakan perjuangan wanita untuk memperjuangkan hak-hak wanita lainnya. Tujuannya adalah agar perempuan mendapatkan derajat dan peranan yang setara dengan para pria. Dalam hal ini, seorang ibu juga memiliki hak yang setara dengan para ayah untuk dicantumkan namanya dalam ijazah anak-anak mereka. Lebih-lebih seorang ibu tunggal yang ditinggalkan oleh pasangannya, baik karena takdir (meninggal) atau karena pilihan (perceraian).
Semiotika Ronald Barthes terkenal dengan kalimat “death of the Author”-kematian seorang penulis-, bahwa dalam memahami sebuah teks atau kejadian itu sifatnya independent. Seorang penulis yang sudah menelurkan karyanya tidak akan dapat mengontrol pemahaman pembaca karyanya, karena pemaknaan akan bergantung kepada pembaca. Melebarnya pemaknaan sebagai petanda merupakan cara kerja bahasa itu sendiri, yakni teks-teks yang dihasilkan oleh author yang sudah mati.
Selama ini dalam kebudayaan kita pada hasil akhir pembelajaran siswa di sekolah akan dicantumkan nama anak yang diikuti oleh nama ayah. Adat atau kebiasaan ini menjadi tanda utama sebelum berubah menjadi makna langsung dan tidak langsung. Pertama, budaya tersebut secara explisit menunjukkan bahwa nama ayah harus dicantumkan dalam ijazah anak, karena hal itu menerangkan bahwa fulan adalah anaknya si fulan dan kerap dijumpai dalam banyak kasus pendaftaran di berbagai institusi mensyaratkan kesaamaan konten antar dokumen, termasuk penulisan nama. Kedua, secara implisit dan konotatif memunculkan pemaknaan yang lebih lebar, semenjak pihak sekolah yang memaksakan kehendak mereka akan pencantuman nama orangtua pria saja, sehingga muncul interpretasi mengenai pihak wanita sebagai orangtua yang termarjinalkan, padahal sejatinya wanita pun memiliki campur tangan atas Pendidikan anak-anak mereka.
Dengan terlaluinya tahapan denotative dan konotatif dalam pemaknaan kebudayaan penulisan nama wali di atas, mitos keadilan gender dan opini keseteraan wanita dan pria menjadi tahapan selanjutnya. Membesarkan anak bagi wanita dengan titel janda atau ibu tunggal bukan perkara mudah. Tantangan yang akan dihadapi akan berlapis, alih-alih hanya kebutuhan finansial untuk pribadi dan anaknya yang harus dihadapi, ia juga harus berjuang malawan stigma negatif statusnya yang kerap berujung diskriminasi.
4 notes · View notes
hoelpath · 2 years
Text
Revisi UU No. 30 Tahun 2000 KPK, Memperkuat atau Melemahkan Ruang Gerak KPK?
oleh: Miftahul Umam
Tumblr media
Jaques Derrida merupakan seorang pemikir post strukturalis modernis yang menggugat konsep logosentrisme dan oposisi biner. Dengan cara pembacaan Derrida pada teks yang berupa tulisan dan kejadian, ia menawarkan hermeneutika radikal, yakni Dekonstruksi. Sebuah cara pembacaan yang melawan segala konsep final dengan menyajikan ragam paradoks dan kontradiksi kata dalam sebuah teks. Melalui bukunya dengan judul “Force of Law: The Mystical Foundation of Authority” ia memperlihatkan adanya aporia dari tiga hal, yakni keadilan, hukum dan kekerasan.
Keadilan adalah media untuk menegakkan hukum “to enforce the law”, atau dalam Bahasa Prancis “appliquer la loi” yang berarti penerapan atau penegakan kekerasan yang diotorisasi. Artinya, untuk menerapkan hukum demi terciptanya keadilan, dibutuhkan kekerasan dan elemen pemaksaan untuk tegaknya hukum itu sendiri. Sedangkan hukum bertujuan untuk menghapus tindak kekerasan untuk terciptanya keadilan.
Namun keadilan sendiri berujung pada aporia dan menjadi hal yang mustahil untuk dijalankan, sebab keadilan yang dirasakan dalam proses menjalankan hukum akan bergantung pada otoritas satu pihak saja. Sehingga keadilan yang seharusnya bersikap netral menjadi sub-ordinasi dari pemilik otoritas. Menurut Derrida, hukum adalah hal yang eksak, adapun keadilan adalah moralitas yang tidak pasti dan dua hal berlainan ini mustahil di konsepkan. Bagi Derrida, keadilan adalah suatu pengalaman yang tidak mungkin terjadi. Kita tidak bisa mengalami keadilan secara penuh. Yang bisa kita alami hanyalah tahap perbatasan, yakni antara apa yang dapat dialami dan apa yang tidak dapat dialami. Lalu “Bagaimana kita seharusnya melihat hukum yang adil dan hukum yang tidak adil? Dan bagaimana kita memandang institusi yang memiliki otoritas untuk menciptakan dan melaksanakan hukum?”
Semisal dalam kasus revisi UU No. 30 Tahun 2000 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap melemahkan otoritas KPK dalam menjalankan dan mengungkap tindak korupsi. Dapat kita lihat bahwa beberapa isi revisi yang ditawarkan memperlihatkan keterbatasan eksistensi KPK yang ditatapkan hanya untuk 12 tahun saja. Usulan pembatasan usia KPK ini tertuang dalam pasal 5 Rancangan UU Perubahan atas UU No. 30 tahun 2002. Pun dalam draf revisi juga disebutkan bahwa KPK hanya dapat melaksanakan penyadapan setelah terkumpul bukti awal yang cukup memadai dan dengan mendapatkan izin ketua Pengadilan Negeri. Adapun salah satu usulan prioritas dalam revisi ini, yakni KPK hanya dapat menindak kasus korupsi yang merugikan negara di atas 50 miliar rupiah saja.
Dalam pandangan kita, adanya revisi usia dan ketentuan-ketentuan tersebut secara implisit mengebiri dan melemahkan ruang gerak KPK dalam menjalan operasi mereka. Hal ini tentunya bertentangan dengan janji Jokowi yang ingin memperkuat KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mengungkapkan kekecewaannya dalam hal ini “Patut untuk diingat bahwa Joko Widodo terpilih menjadi presiden karena janji-janji yang telah diutarakan saat kampanye yang lalu sehingga masyarakat memilihnya. Lalu, jika saat ini Presiden tidak menepati janji untuk memperkuat KPK dan pemberantasan korupsi maka sudah barang tentu barisan pendukung presiden akan semakin berkurang drastis.”
Ada empat catatan yang berikan ICW kepada Jokowi mengenai sikapnya dalam kasus ini: Pertama, Jokowi terburu-buru dalam mengambil tindakan persetujuan revisi UU KPK, pun dalam mengirimkan surat ke DPR. Padahal masih tersedia waktu 60 hari bagi Presiden untuk menyepakati usulan revisi ini. Kedua, Presiden dianggap mengabaikan masukan dan aspirasi dari masyarakat. Berbagai elemen masyarakat, organisasi dan para ahli dalam bidangnya yang menyayangkan pelemahan KPK dengan jalur legislasi ini. Ketiga, Sikap Jokowi dianggap berseberangan dengan program Nawa Cita yang ditawarkannya, yakni menolak menjadi negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas KKN. Dalam arti lain, Jokowi telah mengingkari janji yang diberikan di hadapan masyarakat. Keempat, Presiden dianggap telah mengabaikan prosedur formil dalam proses penyusunan perundang-undangan. Pasal 45 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan revisi UU harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan tata tertib Pasal 112 (1) Pasal 113 Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 menyebutkan, rancangan undang-undang disusun berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan. Sementara, menurut catatan ICW, revisi UU KPK tidak masuk dalam prolegnas prioritas.
Terlepas dari yang disebutkan dalam paragraf ketiga mengenai hukum adalah barang pasti dan keadilan adalah kebalikannya. Menurut logika kita, hukum tetap harus ditegakkan meski dalam pandangan Derrida tidak mungkin untuk diaktualisasi. Dalam momen menegakkan hukum, terdapat suatu tindakan penetapan untuk meligitimasi atau mengesahkan pernyataan ini. Lalu dalam konteks negara Indonesia, “siapa atau institusi apakah yang berhak untuk mengesahkan produk hukum?”
Adalah Parlemen yang diberikan mandat dan kepercayaan untuk menetapkan hukum. Namun parlemen sebagai sebuah wadah untuk memutuskan hukum pun terlibat aktif dengan politik. Sehingga parlemen yang seharusnya bersikap netral menjadi condong kepada kubu tertentu. Persinggungan antar keduanya tidak sedikit akan melahirkan produk-produk hukum ditujukan untuk memuaskan keinginan suatu pihak yang berkaitan dengan keputusan yang dibuat. Semisal revisi UU KPK yang kita bahas kali ini adalah bentuk usulan yang terlihat melumpuhkan kinerja KPK di ruang publik, datang dari enam fraksi, yakni Golkar, PDI-P, Hanura, Nasdem, PKB dan PPP.
Hukum pada dasarnya adalah produk dari kelompok yang memiliki otoritas dalam suatu wilayah. Dalam kasus ini di negara demokrasi seperti Indonesia, yakni Presiden, DPR, Kejaksaan dan Masyarakat memiliki andil yang signifikan dalam membuat produk hukum. Namun dalam revisi UU No. 30 Tahun 2000 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, keterlibatan suara masyarakat yang seharusnya dapat ditinjau dan menjadi perbandingan untuk dikaji lebih lanjut, seolah dibungkam dan tidak perhatikan.
Kembali kepada pembahasan produk kekuasaan, sudah tentu secara implisit atau eksplisit akan bermuatan kepentingan terselubung dan praduga atau asumsi politik. Agar produk hukum dapat dijalankan, maka dibutuhkan pemaksaan yang ditegakkan. Oleh sebab itu setiap orang pada akhirnya akan dipaksa menjalankan hukum yang adil menurut otoritas yang berkuasa dengan dalih menaati hukum. Kembali pada pernyataan ICW pada paragraf ke enam, dalam hal ini, aspek pengesahan dari ruang publik seharusnya mendapatkan perhatian.
Bila hukum terlegistimasi dengan unsur pemaksaan, maka segala cara akan memungkinkan untuk diterapkan demi tegaknya produk hukum yang disahkan. Sama halnya dengan keadilan yang kerap disematkan sebagai alat untuk berdirinya suatu hukum. Tentu Keadilan tersebut bukan konsep moralitas yang stabil, akan tetapi berupa keadilan yang dipaksakan dan dikonsepkan atas nama hukum. Sehingga hukum yang diterapkan seolah-olah terlihat adil, padahal sejatinya hal itu adalah salah satu bentuk kekerasan dan pemaksaan performative.
Satu kasus lagi yang dapat kita lihat dalam beberapa bulan terakhir, datang dari instutusi yang sama, yakni penonaktifan 75 pegawai KPK dengan dalih tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Kasus ini juga memunculkan polemik, dialog dan diskusi panjang. Bila kita membacanya dengan metode dekonstruksi Derrida, penulis mengira akan menemukan poin yang serupa dengan pembahasan di atas. Adalah niat dan keinginan terselubung suatu kubu yang memiliki otoritas untuk menerapkan hukum atau peraturan atas nama keadilan, yang sejatinya hanya memberikan keuntungan pada yang berkuasa.
0 notes
hoelpath · 3 years
Text
Aku, Kamu dan Dia
"Dia"
Kita pernah bersama menyibak genangan air dalam pekat, membisik dalam sunyinya gemericik, berpaut tangan menutup telinga dari gemuruhnya jerkahan. Namun diktum-diktum ortodoksi harus memisahkan genggaman kita, menggoyahkan pijar lentera dalam cengkraman. Beriring dengan sinar yang semakin redup, kita menghilang dalam gelap, berharap saling meraba namun berujung hampa. Aku dan dia melebur dalam relung tersekat. Tak saling terikat.
"Kamu"
Kirana bersambut dalam sekatku, kamu, bependar warna. Meraihku di sudut sangkar cokelat, mencekokiku dengan sudut dunia yang tak melulu kelabu. Kita menyantap remah yang sama dalam selaksa jamuan yang ada. Melangkah dan berlari dalam pijakan utara yang sama. Melilit tirta yang tak terhingga dan meluapkan beragam sukma. Namun, kita terbang terlalu jauh melebihi utara, kamu kembali. Aku sendiri.
"Aku"
Aku kembali menerka, meraba setapak. Menebak angin, menghanyutkan jiwaku dalam derai ke arah berbelok, Barat. Berharap tak menemukan kata kamu dan dia yang menjelma kesemuan kita. Aku sudah penuh. Pintaku, terlebur dalam sehahihan dogma, mencari kemurnian bersama dan melepas kita. Semoga.
0 notes
hoelpath · 4 years
Text
Untukmu yang tak pandai mengungkapkan rasa
Aku tau dalam lubukmu dia bersembunyi, meringkuk namun ingin bangkit, kau bukan bisu tapi entah mengapa tak kau ungkapkan saja. Toh pada saatnya dia harus keluar juga, tapi jangan kau bayangkan dia akan keluar dalam keadaan baik-baik saja. Dia akan menjadi bom waktu yang kau sendiri tak tahu daya ledaknya. 
Untukmu wahai penyimpan rasa....
Aku hanya mengingatkanmu tentang Dia
0 notes
hoelpath · 4 years
Text
Kau yang membuat keputusan, lalu mengapa aku yang harus bertanggung jawab. Kau yang berjanji dengan penuh buih busa air ludahmu. Kemana muara dari buihmu itu? Hilang! Hilang tak bersisa. Tak perlulah kau tawarkan manisnya nasihat padaku, Bahkan kau sendiri enggan dengan nasihatmu. Tak pernahkah kau kenyang dengan penyesalan? Sepahit itu saja kau masih mau mengulanginya. Kau yang membawa kebingungan, namun mengapa harus aku juga yang harus memikulnya denganmu? Aku yang yang tak paham dengan jalan pikirmu atau kau sedang membuat terobosan baru?
0 notes
hoelpath · 4 years
Text
Benar adanya bahwa aku terlalu menyombongkan diri. Kala membaca sastra kontemplasi karya seorang penulis, hampir selalu aku mengatakan pada diriku sendiri. "Huh cuma begini ya.. sepertinya aku juga bisa". Namun, pada kenyataannya aku jauh dari yang aku sombongkan. Menuliskan kata dan memikirkannya saja, aku membutuhkan waktu yang teramat lama. Seringkali berakhir hanya dalam angan.
0 notes
hoelpath · 4 years
Photo
Tumblr media
Terkadang yang membuat sulit untuk melupakan adalah mengulang-ulang kata "pernah", dan pada akhirnya; kita memang benar-benar pernah berbagi keluh kesah, sebelum akhirnya di antara kita terjeda oleh kata "pisah". ~fahaddailamy_ . . . . . #river #shadow #skyblue #philaetemple #journey #travel #sonya6000 #lightroom #myview #instagram #myegypt #exploreegypt #amazingegypt #myphotography (at Philae Temple, Aswan) https://www.instagram.com/p/B7erCYxlpDr/?igshid=131yubirh19t7
0 notes
hoelpath · 4 years
Photo
Tumblr media
Walk with grief like a good friend. Listen to what he says. Sometimes the cold and dark of cave give the opening we most want. ~Rumi . . . . . . . .#darkness #cave #rock #history #skyblue #travel #latepost #dessert #egypt🇪🇬 #myegypt #likeforlikes #instagood #lightroom #vsco #instamood (at Waadi Elrayan-Fayoum) https://www.instagram.com/p/B6btbN9lUi2/?igshid=jkw56wam3oqj
0 notes
hoelpath · 5 years
Photo
Tumblr media
Pasti datangkah semua yang ditunggu, detuk-detik berjajar pada mistar yang panjang, barangkali tanpa salam terlebih dahulu. Januari mengeras di tembok itu juga, lalu Desember... Musim pun masak sebelum menyala cakrawala, tiba-tiba kita bergegas pada jemputan itu. ~Supardi Djoko Damono~ . . . . #mypics #myegypt #pillars #adobelightroom #lightroom #skyhunter #blue #journey #shadow #instalike #samsung #luxortemple #yellowstone (at Luxor Temple) https://www.instagram.com/p/B3sYHtwlhrQ/?igshid=1gub59mscqc7k
0 notes
hoelpath · 5 years
Photo
Tumblr media
Jika doa bukan sebuah permintaan, setidaknya itu adalah sebuah pengakuan atas kelemahan diri manusia di hadapan Tuhannya. . ~Pidi Baiq~ 1972-2098 . . . . . #lightroompresets #lightroom #mypics #myegypt #mosque #history #bluesky #dome #prayers #friends #instagram #instalike #likeforlikes #latepost (at Sultan Hassan Mosque مسجد السلطان حسن) https://www.instagram.com/p/B3nVma8FM47/?igshid=1ftlj39xgje8r
0 notes
hoelpath · 5 years
Photo
Tumblr media
Tuhan menciptakan pegal di punggungmu di hari Sabtu, menjadikannya linu di hari Minggu, dan menyembuhkannya di hari Rindu. ~Joko Pinurbo~ . . . . . #temple #phillae #stone #pillars #blue #sky #lightroom #lightroompresets #storyofegypt #myegypt #mypics #journey (at Philae Temple) https://www.instagram.com/p/B26GL4TFlMt/?igshid=16753tkbygqo2
0 notes
hoelpath · 5 years
Photo
Tumblr media
Kita boleh kalah pada jarak, rindu boleh mengalah pada waktu, tapi kita selalu punya kesempatan untuk bertemu, dalam satu doa yang paling rindu. ~Senjaamu . . . . . . #shadow #sky #skyhunter #blue #journey #mosque #mypics #sonya6000 #lightroom #myegypt #instalike #likeforlikes (at Al-Rifa'i Mosque) https://www.instagram.com/p/B2ycgNYlEsk/?igshid=q5f94vx8sbep
0 notes
hoelpath · 5 years
Text
Pergi
Aku tidak menahanmu pergi—ataupun menginginkannya. Setiap jalan yang kamu pilih, itu sepenuhnya pikiran kita bersama. Tetiap sendu dan bahagia yang kita bicarakan, telah tumbuh luka di antara. Hanya hujan yang kemudian terus menderas di mata, sedangkan tanganku telah membeku untuk menyapunya. Kita terlahir kembali sebagai sepasang yang bisu—melupakan percakapan demi percakapan itu. Kamu yang menciptakan pilihan pergi itu—semesta menjadikannya kian nyata. Sedangkan aku hanya menetap di sini, dengan segala semoga kamu bertahan. Namun, pada akhirnya, kebisuan dan luka di antara yang membuatmu  pergi; kita dengan ego masing-masing. Mungkin, kamu memang lebih baik tanpaku.
114 notes · View notes
hoelpath · 5 years
Text
Terkadang aku menemukan diriku tengah sibuk bersama pikirannya. Senyum membias, bahagia lantas tergilas. Detik jam dinding menjadi pengisi ruangan yang lengang, atap kamar menjadi saksi atas air mata yang telah menggenang.
Ah, betapa hati begitu rentan terhadap hal yang bernama kehilangan; betapa satu sosok itu begitu piawai dalam mendatangkan sesaknya kerinduan.
— Arief Aumar Purwanto
272 notes · View notes
hoelpath · 6 years
Text
“Bukan melupakan kenangannya melainkan menerima kepergiannya. Itu yang sebaiknya kamu lakukan agar bisa melanjutkan hidupmu tanpa terus bersedih lagi.”
Terus menyalahkan dirimu, dirinya, ataupun keadaan tidak akan membuatnya kembali. // A.W.
Bandung, 28 Maret 2018.
(via surat-pendek)
808 notes · View notes
hoelpath · 6 years
Text
Tumblr media
Ada kalanya kita berpikir, kapan hati ini akan tenang tanpa ada secuil pun rasa kerinduan yang melekat erat di setiap penjuru relung hati.
Ada kalanya kita merasa, rindu ini semakin hari semakin bertumpuk, bergejolak tak terkendali, mengikis dinding sanubari, hingga tak sanggup untuk menahan diri.
Ada kalanya kita bartanya, Duhai rindu, bisakah kau tenang sejenak tanpa harus menyeruak?
Mungkin benar, rindu itu berat jika di rasakan sendiri. Namun, jika di rasakan berdua dengan sosok yang di rindu, apakah itu akan mengurangi kadar berat dari sang rindu? Aku rasa tidak. Rindu tetaplah rindu, bisa saja rindu itu akan terasa semakin menggebu.
Lalu, bagaimana cara mengatasi kerinduan itu? Mungkin setiap orang mempunyai cara yang berbeda. Namun bagiku, cara yang bisa sedikit membenamkan gejolak rindu adalah dengan berdoa kepada Sang Penguasa, berharap bisa bersua kelak di jalan yang diridhoi-Nya.
◾◾◾
Yegi Rizki Pratama
193 notes · View notes