Tumgik
#ceritamahasiswa
sukasenja · 4 years
Text
Kayak Apa yang Pernah Temen Lama Gue Bilang, Tiap Orang Punya Timeline-nya Masing-masing
Pake "gue" biar makin kerasa gimana bar-bar nya gue di tengah para akhi dan ukhti 😗
Lu tau? Waktu gue nangis di bawah pohon cuma ada rasa marah bertubi-tubi. Kayaknya setan pohon depan fakultas gue juga ngedukung apa yang gue lakuin. Gue terima-terima aja kalau orang nilai diri gue karena emang sifat murni dari diri gue. Yang gak bisa diterima itu, kenapa harus bawa-bawa pondok gue sih WOY!
Gak tau kenapa di sana gue ngerasa ancur banget. Terlalu alay emang, tapi ya gimana? Ngehina pondok gue berarti juga ngehina guru-guru gue yang selama ini udah ngasih banyak ilmu. Nambah nyeseknya lagi adalah ketika gue tau alasan mereka ngehina pondok gue adalah karena, gue. Langsung detik itu juga mikir, apa gue perlu beneran berubah. Seenggaknya demi khidmat gue ke asatidz dan pondok tercinta? Aelah tercinta amat. Tapi emang bener.
Setelah kejadian itu, gue pantang pake style itu lagi setiap ketemu anak jurusan. Masuk kuliah? Jangan ditanya. Tapi ya, masih gue colong-colong tuh kalau gue ada acara di luar gue pake style apa adanya aja. Gak jarang juga sih gue kepergok, tapi ya easy going aja. Biar mereka terima gue sebagai, gue.
Kecemasan itu mulai menghilang seiring gulirnya waktu. Gue mulai sibuk sama berbagai aktifitas yang gak jarang mengharuskan gue malah makin tenggelam di tengah-tengah para akhi ukhti ini. Jadi ketuplak penyambutan mahasiswa baru buat adik tingkat (cielah gak kerasa udah tingkat dua ekekekek), ngonsep acara ospek jurusan sampe lima bulanan, dan sebagainya lah. Intinya gue lagi seneng banget kalau beres kuliah dikelas ada yang teriak "Hen rapat". I really enjoy it. Gak ada alasan jelas karena emang gue suka aja. Bekel di pondok yang lumayan sering gue ikut ribet-ribet ngurusin kepanitiaan marhalah ngurusin MMS tiap taun, jadi p3 (panitia pergantian pengurus) yang di ospek nya hampir kayak orang gila, ngurusin kholasoh tiap taun juga, disuruh manage paskibra cewe angkatan gue yang jadwal ngibar dua minggu sekali (lumayan mejeng wkwk) pengurus angkatan, panitia tambahan lainnya, sampe malem sebelum marhalah gue haflah aja, masih gue ngurusin surat-surat cinta buat orang tua santri. Ah luar biasa. Tapi tanpa disadari emang itu cara pondok ngajarin gue buat tetep bisa up walau di bawah tekanan yang gak manusiawi, termasuk di dunia kuliah.
Sepanjang kesibukan itu gue mulai ngerasa orang-orang udah gak masalah sama penampilan gue itu. Apalagi ngeliat gue yang seneng banget wara-wiri ngurusin kegiatan. Ya walaupun masih ada aja satu dua orang yang kayak gitu, tapi gue gak peduli.
Tahun-tahun setelahnya makin banyak yang gue rasain, khususnya tentang perubahan pola pikir dan cara pandang gue. Emang mungkin ini do'a pimpinan prodi di awal mukaku jurusan waktu gue maba yang becanda sambil bilang
"Buat kalian yang merasa salah jurusan, bersyukurlah karena kalian dijerumuskan oleh Tuhan ke jalan yang lurus"
Tapi semesta emang punya jalannya sendiri buat ngarahin penghuninya. Satu persatu rasa gak nyaman gue sama penampilan gue saat itu muncul. Ntah dari kerudung yang mulai gue pake lebih rapih dan gak di linting-linting lagi, lebih sering pake rok atau kulot, atau coba nyari baju-baju sepanjang lutut buat bisa dipadu sama jeans. Sampe gue akhirnya beraniin beli gamis (heboh satu angkatan coy gue pake gamis hahaha kampret emang) bahkan udah gk ada lagi celana jeans yang diem di lemari, gue milih ganti jadi celana bahan. Gue gak tau perubahan itu muncul sejak kapan, tapi emang kuliah yang tiap harinya ngebahas norma agama ini ya kayak di pondok, hampir tiap harinya "diceramahin" sedikit banyak mulai pengaruhin cara pikir gue. Makin ke sini nya makin mikir gue gimana kalau gue gak bisa amanah sama apa yang udah Tuhan kasih. Gimana kalau gue gak bisa jadi amal jariyah buat orang tua sama guru-guru gue dari zaman SD dulu, gimana kalau gue gak mampu ngelahirin kebaikan kedepannya. Ya tahun-tahun akhir kuliah itu emang mulai agak krisis sih hidup gue. Banyak pertanyaan sejenis yang muncul, emang mungkin karena diri juga yang masuk zona dewasa. Ntah gimana yang gue pelajarin waktu itu cuma satu, gue gak bisa ubah mereka ataupun dunia, karena satu-satunya yang bisa gue kontrol adalah diri gue sendiri. Kalaupun bukan lewat tampilan fisik gue, seenggaknya ada hal lain yg bisa mereka liat bahwa pondok gue gak pernah salah ngajarin gue.
Pada akhirnya gue cuma bisa bilang terimakasih sama Tuhan. Mungkin kalau waktu itu gue maksa minta buat jadi mahasiswa di Pendidikan Biologi diri gue makin ombang ambing. Tuhan tau gue masih butuh dibimbing makanya di masukin lagi ke jurusan yang 11,12 sama pondok gue. Mungkin juga kalau itu kejadian, gue sampe detik ini belum di wisuda dan malah jadi mahasiswa tua di kampus karena otak gue gak bisa ngejar materi mipa lainnya. Mungkin gue juga gak bisa sebebas gue bisa aktif di organisasi sana sini karena kepikiran tugas dan praktek lab yang sangat gak manusiawi itu. Mungkin juga gue gak akan pernah sadar buat apa gue hidup (gilee filsafatnya muncul wkwkwk). Ya bener lagi kata orang bijak. Kalau berdo'a itu yang detail mintanya sama Allah. Biar Allah tau kalau kamu itu sungguh-sungguh mintanya. Bukannya mau ngedikte Allah, karena emang Allah gak perlu didikte. Tuhan semesta alam emang punya jalannya sendiri buat ngajarin hambanya. Tugas kita ya mau diajar dan belajar. Emang udah jalannya kalau yang lain diuji mentalnya untuk hadapi materi kuliah dengan orang-orang baru, kalau gue diuji buat hadapi diri sendiri 😌
Haiii gak kerasa tema pertama udah beres hahha. Waktunya flashback udahan deh. Tulisan setelahnya mungkin lebih beda genre, biar gak stuck di zona aman :)
Terimakasih sudah mau membaca apa-apa yang jarang gue buka ke publik. Semoga kalian suka. The last for this theme,
"Beberapa perubahan sering kali buat manusia kaget. Tanda dia belum siap, tanda dia belum bisa terima. Tapi itu gak masalah karena tiap insan punya jatah jadi manusianya masing-masing, dan Tuhan gak pernah lupa itu. Cukup ikuti dulu mau Tuhan apa, bilang aja "Iya" dulu. Karena tanpa kita sadari Tuhan emang paling tau apa yang ngebuat hati yakin atau ragu. Dan di sana semesta mulai bekerja buat bantu kita sampai di ruang kita bisa menjelma menjadi kebermanfaatan bagi sesama. Semua hanya soal waktu"
Jadi, kalau ditanya gue pernah salah jurusan? Iya. Tapi kalau ditanya gue salah jalan/tujuan? I don't think so. Biar cita-cita gue dulu jadi dokter atau ahli biologi bisa diterusin sama orang lain, anak gue nanti? Atau murid gue? Gue bimbing mereka lewat agamanya aja :)
@fadhila-trifani @gugunm @sekotenggg @adhit21 @mathmythic
8 notes · View notes
thoriqalayubi-blog · 5 years
Photo
Tumblr media
Peristiwa-peristiwa. Untuk semua hal tak kasat dalam instagram, sampai titik ini Ia tak benar-benar mengerti siapakah dirinya. Dunia tercipta dengan pelbagai peran didalamnya, pelbagai karakter, pelbagai rasa, itu yang ia mengerti, namun ia tak benar-benar mengerti siapakah dirinya. Banyak hal yang ia lewati, meski dengan hanya diam, merenung, tidur, tak melakukan apa-apa, dan hal-hal itu tetap melewatinya : waktu. Hidup itu kompromi, alih peran kadangkali ialah tingkah yang diinginkan sebagian orang ; terlahir untuk intelektual, terlahir untuk sosial, terlahir untuk keduanya, atau terlahir untuk hal-hal biasa yang orang lain sebut sebagai sesuatu yang malang. Terima kasih. Rentetan peristiwa. Suka-duka-marah-ramai-sendiri. Foto selamanya hanyalah foto, apa itu, secuil memori yang kadangkala orang ingin mengambil (foto) hanya untuk dilupakan. Memiliki foto kadangkala menghilangkan esensi kenangan: adegan-adegan kecil dan detail, dari setiap peristiwa. Akan selalu ada yang mengisi ; kalian. Terima kasih, mengantarku sampai disini. Dan akhirnya setiap kalimat memiliki jaraknya masing-masing. #sunday #november #2019 #sidang #SKM #skripsi #over #kesmas #uin #greatfull #uinjkt #ceritamahasiswa #feed #instagram #kalian #sepi #tiada #post #aku #anakdesa #lamongan #bukanKontenbiasa (di Jl.tarumanegara ,pisangan cirendeu , ciputat) https://www.instagram.com/p/B5P3-DmFczU/?igshid=1h2ex0k1y39tc
0 notes
ayuastutiyunus · 7 years
Photo
Tumblr media
Thank's to Allah🙏 Tidak sia - sia perjuangan💕 . . . #pemburutandatangandosen #mahasiswa #tingkatdua #midwife #ceritamahasiswa #midwifelife (di Jl. Sungai Saddang Baru)
0 notes
412chcool-blog · 7 years
Photo
Tumblr media
Pejantan tangguh !! Pejuang semester tua . . In frame : @andikatirta @ilham_hutama Take by : @_chpywjy . #ceritamahasiswa #architecture #semestertua #hampirlulus #gantenguty #utyganteng (di Ngepring)
0 notes
naediia · 7 years
Photo
Tumblr media
First story : pertemuan yang tidak terduga dengan seorang teman kampus, dia tampak melihatku dan seakan akan memanggilku tapi ku tak mengerti bahwa dia akan menyapaku😂 NB : Ekspresikan fotomu dalam bentuk cerita atau kata demi kata atau sebuah pantun atau sebuah puisi atau sebuah lagu atau yang lainnyaa #ceritamahasiswa #celotehkalbu #drama #film
0 notes
penanggalluka · 7 years
Quote
Karna sekarang kebungkaman yang menuntut untuk dilantangkan.Bukannya kejujuran yang meminta di teriakan.
0 notes
lennynvs · 8 years
Photo
Tumblr media
Happy graduation Wisuda? Pening la weee #ceritamahasiswa #semestertua #kapanwisuda #pesandarihati_ #fbs #unimed
0 notes
Text
MAHASISWA
Sebutan bagi para pelajar yang yang mendalami ilmunya di perguruan tinggi, menjadi seorang mahasiswa bukanlah hal yang mudah, tidak semua siswa dapat menjadi mahasiswa, perlu perjuangan panjang hingga akhirnya bisa berada di titik ini, dua tahun duduk belajar mengenal bagaimana bersosial, enam tahun lamanya mendengar dan dituntut untuk faham apa yang didengar, dimana fondasi- fondasi hidup mulai ditanamkan, mengetahui sedikit demi sedikit tentang beretika, kemudian perlu tiga tahun untuk belajar mengenali diri, mengenali potensi, dengan banyak mencoba hal-hal baru, ditambah 3 tahun lagi dimana harus belajar memilih yang terbaik dari yang baik dalam hidup, mulai menapaki langkah-langkah bagaimana menentukan masa depan, barulah diberi kesempatan untuk meneruskan tahapan itu untuk kedepannya menjadi lebih mengerti apa itu hidup, bagaimana bersosial yang baik, dengan siapa kita bergaul dan mulai merintis akan dibawa kemana masa depan kami, sekali lagi yang terakhir ini bukan lagi sebuah kewajiban, ini adalah kesempatan yang hanya mendatangi mereka-mereka yang mau berkembang, mereka-mereka yang peduli masa depannya, tidak seperti apa yang menjadi pemahaman publik pada umumnya bahwasanya hanyalah mereka-mereka yang berotak cerdas dan berduit tebal yang mampu menyandang gelar mahasiswa ini, sekalipun tidak, kalaupun disekitar banyak yang seperti itu sadarilah, kecerdasan tak didapat sekenanya, kecerdasan datang karena ada usaha usaha sendiri muncul karena adanya kemauan, maka orang cerdas sekalipun berangkat dari sebuah kemauan. Lantas bagaimana dengan orang-orang kaya?, yah merekapun demikian kaya tidak semerta-merta turun, selalu ada usaha untuk mendapatkannya, sekalipun anda berkelak banyak diantara mereka yang hartanya itu turunan, percayalah apabila si keturunan tersebut tidak memiliki keinginan untuk meneruskan apa yang diwariskan, maka apa yang dimilikinya pastilah akan musnah dengan mudahnya, bagaimana mempertahankannya jelas harus ada ilmu, tidak lah seorang saudagar kaya, mewariskan harta bendanya kecuali si pewaris harus mampu mengelolanya, dimana disitu juga harus ada kemauan. Jadi siapapun, si kaya maupun si miskin, si lemah maupun si kuat ketika ada kemauan maka munculah usaha, setelah usaha percayalah Tuhan tidak pernah tidur, Ia tidak akan  sekalipun lalai membalas sesuatu perbuatan melainkan sesuai dengan apa yang diusahakannya.
Sesulit apapun manusia menilai kehidupannya, semenderita apapun manusia merasakannya, ketika sang hamba ingin merubah hidupnya, tidak ada yang tidak mungkin, ketika kita terpuruk dan tidak ada usaha untuk bangkit, sekalipun kita menangis siang malam merutuki kemalangan diri, percayalah itu tidak akan pernah merubah suatu apapun karena Dia telah berjanji bahwa Dia tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu memiliki kemauan dan usaha untuk merubahnya. Begitupun dengan apa yang terjadi saat ini, ketika kami menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan, tentang kami yang hakikatnya dianggap para pembaharu, para pembawa perubahan. Bahwa kami lah ujung tombak negeri ini, kami lah jiwa-jiwa yang memiliki kemauan keras untuk merubah yang buruk menjadi baik, memiliki komitmen untuk menjadi tameng kesejahteraan rakyat karena keberaniannya, kami lah jiwa-jiwa yang dapat menciptakan hal baik selalu tegak dimuka bumi pertiwi. Hakikatnya memanglah seperti itu, lantas apa yang kita lihat sekarang, egoisme dituhankan, menjamur luas bukan hanya di kalangan atas, sekiranya kami pun adalah anak negeri ini, pewaris para pendahulunya sehingga mungkin sebagian besar dari pun merasa tak perlu membahas tentang apa yang terjadi di sekelilingnya, yang bahkan telah mencekik ribuan bahkan jutaan saudaranya. Katanya kami sedang tidur, jika memang benar, mengapa tidak mencoba membangunkan?, apabila sudah, mungkit hati kami sudah tertutup ke fana an dunia, tentang hidup yang lebih menjanjikan tanpa mempedulikan kalian yang mengaku saudara.
Hai, jangan marah. Kami sedang ada dalam tekanan, kami mempersiapkan cara terbaik untuk membawa perubahan, zaman kami lebih menantang, tidak mudah menabuh genderang perang, bahkan tangan kami terlalu kaku hanya untuk memegang senapan, bersabarlah, kami tak mau menjanjikan berapa lama kami mempersiapkan, dan kapan perubahan itu akan datang. Tapi ketahuilah kami tak sedang tidur, kami hanya  sedang belajar untuk menjadi pemuda pencari dan pengeksekusi solusi, bukan hanya berteriak tanpa langkah pasti. Jangan gantungkan harapan tentang perut kosong kalian pada kami, lihat sekeliling, bumi kita terlalu kaya hanya untuk mengeluh tentang perut. Kami tak tidur, ada banyak yang harus kami persiapkan, tak mudah memang, tapi kami yakin waktu itu akan segera datang, jangan takut anak-cucu mu kelaparan, nyatanya kami hari ini berjuang sendirian melawan perang pemikiran yang perlahan mengikis prajurit-prajurit kami, tak mudah memang, karena jangan kan membawa perubahan mempertahankan idealisme pun sulit untuk diperjuangkan, tapi kami selalu menyemogakan, menjadi insan pembaharu zaman, dengan semangat dan keyakinan juga kami membutuhkan do’a dan dukungan.
0 notes
herlambang92 · 8 years
Photo
Tumblr media
Modal utama untuk melihat informasi yang jauh didepan sana. Sudah 2tahun kita bersama, sampai kamupun fatique, dan rusak. Aku sudah perbaiki, rusak lagi, perbaiki lagi, dan kembali rusak. Okelah mungkin kamu lelah, tenang akan ku replace bulan depan, dan beristirahat dalam box mu. Tapi sebulan ini jangan rusak dulu ya. Hehehehe #eyelashextensions #eyeglasses #catatan_negeri #ceritamahasiswa #matalelaki #lenscrafters #lakibanget (at Smks Wisata Indonesia)
0 notes
sukasenja · 4 years
Text
Juara Apa?
Tulisan hari ini mungkin lebih ke ungkapan dari sudut pandang pribadi akan suatu hal. Jadi, kalau kurang setuju ya silahkan saja, toh ini cuma *sudut pandang pribadi*.
Setiap orang pasti punya sesuatu yang ingin banget dia capai dalam hidupnya, dan ketika dia berhasil akan ada rasa puas juga haru karena udah bisa ngewujudin itu semua. Sederhananya mari kita sebut saja dengan "prestasi".
Sejak zaman jadi anak SD yang pulang sekolah masih harus di antar jemput sampe kelas 4, saya termasuk orang yang "ambisius" banget sama yang namanya prestasi. Gak ada ceritanya nama Hennika Arumsari gak pernah ada di lima besar rangking kelas teratas. Beberapa penuh di angka 1 dan 2. Hampir setiap guru jadi hafal nama saya, alasannya ya pasti karena wali kelas saat itu yang banyak bincang sana-sini. Lomba menggambar dan MIPA pun sengaja saya ikuti, dan memang permintaan sekolah. Satu cita-cita saya waktu itu dan belum kesampean sampe sekarang adalah, jadi penganten pas samenan/perpisahan. Padahal waktu itu nilai saya tertinggi kedua setelah "doi" hahahaha kecil-kecil udah ada yang naksir, dasar saya. Karena biasanya dia orang nilai tertinggi laki-laki dan perempuan akan di arak dalam upacara adat, yang kedua orangtuanya juga ikut di belakang. Otomatis seantero sekolah bakal tau, oh mereka orang tua yang sukses didik anak-anaknya. Alasan saya sederhana waktu itu, cuma pengen orangtua seneng. That's it. Semuanya gagal karena waktu itu ada pergantian kepala sekolah. Gagal lah saya dalam membanggakan orang tua di masa itu, dipenghujung jenjang dasar pendidikan saya.
Lanjut ke pondok pesantren, ternyata menjadi juara kelas bahkan angkatan tak semudah juara di SD dulu. Walau sudah berusaha pontang-panting, menghafal sana sini, akhirnya saya harus menerima, mungkin piala juara itu memang hanya bagi mereka yang punya "otak dewa". Berkali-kali juga curi-curi perhatian ustad biar bisa direkrut jadi tim Olimpiade Matematika sama Biologi waktu itu, tetep aja gagal. Kalau kata-kata julidnya "Ya emang kesempatan buat dia-dia lagi aja terus". Saya frustasi karena sebal melihat teman-teman saya yang itu-itu lagi yang di rekrut jadi tim Olimpiade, tiap tahunnya. Saya tak tau alasannya dan pada akhirnya saya tidak mau tau. Cita-cita saya saat itu adalah lulus dengan predikat Syarof di haflah angkatan tahun 2015 saat itu. Pasti bangga nih orang tua anaknya dapet kalung bunga dari mudir. Tapi memang benar kata orang bijak dulu, bermimpilah setinggi langit, maka ketika kau jatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang. Syarofnya gagal, saya terselamatkan di predikat Mumtaz, ya cuma beda satu kelas lah, posisi duduk saya juga jadi di barisan kedua waktu itu hahahah. Banggalah pada diri sendiri dulu.
Saking depresinya saya yang cuma bisa ikut pengiriman lomba paskibra tim waktu di pondok itu, akhirnya saya putuskan untuk berpindah fokus dari mengejar prestasi dalam paham kejuaraan, menjadi prestasi dalam keaktifan diri saja. Bertemu dengan dunia kampus membuat saya semakin membuka pandangan bahwa prestasi ternyata bukan saja perihal kamu menang lomba A, B, C, kamu dapet piala A, B, C, dan sejenisnya.
Rahasia umum kalau dunia mahasiswa itu jadi dunia paling seru, bebas, dan menantang. Fase-fase menjadi dewasa awal dan pencarian jati diri jadi waktu yang tepat bagi kamu yang emang punya keinginan buat sejarah, seenggaknya yang akan nanti tertulis di berlembar-lembar portofolio diri. Bagi mahasiswa yang sejenis dengan saya ini, yang semangat banget kalau udah ada berita seminar gratis, workshop beasiswa, training-training skill gratis, open recruitment berbagai organisasi (dalam dan luar kampus), maka berlomba-lomba lah sejak awal kamu masuk ke kampus itu. Gunakan sedikit trik pilih-pilih tapi jangan jadi terlalu selektif juga. Biar selamat dari iming-iming "organisasi hitam" dan aman dari jeratan "Do less, Talk more". Dan oh ya, dunia mahasiswa juga sangat luas panggungnya, kamu bisa jadi juara apa saja di kejuaraan manapun, yang penting kemauan, usaha, dan do'a.
Karena menurut saya menjadi yang terbaik itu perlu tapi tidak begitu penting pada akhirnya. Memasuki fase dewasa dengan segala tantangannya membuat diri sadar bahwa kompotitor terbaik adalah dirimu sendiri, bukan orang lain. Terlalu banyak mimpinya jika berdarah-darah kamu menjadi seorang pemenang yang ingin disanjung masyarakat seantero negeri. Karena kini adalah zamannya kolaborasi. Jadi daripada emosi terkuras habis untuk berteriak "Hai, Hai, ini gue yang terbaik di bidang .... ", lebih baik teriakan "Eh, gue punya ini, lu punya itu, kolab yuk, buat karya", mungkin setelah itu akan banyak kebaikan-kebaikan terlahir dan kebermanfaatan yang beranak-pinak.
Endingnya apa? Bukan lagi penghargaan manusia yang jadi tujuan, tanpa sadar tiap orang mulai berpikir gimana caranya berlomba-lomba buat dapet perhatian dari Sang Pemilik Semesta. Apalagi coba yang lebih membahagiakan dibanding RidhoNya yang membuat kita bisa makin nyaman jalanin hidup. Karena emang pada akhirnya juga kan semuanya akan berubah jadi bentuk tabungan, bekal di akhirat nanti.
Aih,, jangan lah buruk sangka dulu dengan berpikiran "Mentang-mentang nih si HenHen sarjana pendidikan yang jadi guru PAI, hari ini ngasih kultum" hahhaha. Justru itu, jarang-jarang kan bisa liat saya se-ukhti ini wkwwk. Gak dong, semua itu pasti ada prosesnya, ada alasannya kenapa sampe akhir di detik ini gue bisa kasih sudut pandang tentang "prestasi" dengan definisi yang kayak gitu. Ini semua gara-gara kata-kata Arab cantik ini yang gue pelajari waktu di pondok dulu:
1. Firman Allah yang diulang-ulang dalam QS. Ar-Rahman
هَلْ جَزَآءُ ٱلْإِحْسَٰنِ إِلَّا ٱلْإِحْسَٰنُ
"Tidak ada balasan kebaikan, kecuali kebaikan (pula)"
2. Hadits Rasulullah SAW (yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah)
عن ابى هريرة ان رسول الله ص. م قال :إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ . (رواه مسلم)
"Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rosulullah Saw. bersabda: 'Apabila ‘anak Adam itu mati, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah yang berlaku terus menerus, pengetahuan yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan dia.'"
3. Kata-kata bijak (mahfudzat)
خير الناس احسنهم خلقا و انففعهم للناس
"Sebaik-baiknya manusia ialah yang berakhlak mulia dan bermanfaat bagi manusia (sesama)"
Mungkin tiga kata-kata ajaib penuh makna itu bisa sangat membantu ketika kita temui "jalan buntu". Keren banget sih emang kalau udah level prestasinya itu: Berlomba-lomba cari ridho Illahi. Kayak judul ftv Hen? Engga koq ini bener. Gue sadar loh nulis itu. Jadi ya, yuk bareng-bareng kita lakuin apa yang bisa kita lakuin kedepannya. As ini told before, bukan gue, bukan lu, tapi kita:) Masih tetep harus terus belajar dan latihan buat sampe ditahap itu, termasuk gue pastinya. Jadi yuk sama-sama aja! Maaf sekali lagi, karena ini hanya sudut pandang pribadi.
"Tuhan emang udah nulis takdir manusia jauh sebelum manusia itu lahir ke muka bumi. Tapi bijaksananya Sang Maha Kuasa itu, ya Dia kasih manusia kemampuan untuk berusaha. Berusaha mencari kesempatan, berusaha terus mencoba, berusaha buat terus belajar memahami. Dan jangan lupa selalu iringi sama do'a, kekuatan ajaib yang dibisikin ke bumi tapi bisa menembus langit"
Faidza azamta, fa........
*lanjutin guys, gue kasih hadiah permen nanti :)
@sekotenggg @fadhila-trifani @mathmythic @adhit21 @gugunm
6 notes · View notes
yulianalivi-blog · 8 years
Text
Serasa Ingin  Menghianati Proses. Diam di Tempat Bukan Berarti Tidak Bergerak
Pernahkah kamu serasa ingin menghianati proses? Seolah rasa kesetian yang sejatinya dimiliki perempuan mulai memudar, bak seorang lelaki yang diinginkannya tidak kunjung datang. Bosan menunggu, hanya sebatas jalan ditempat, tidak bergerak sedikit pun. 
Ya itu yang dirasakan seorang remaja tua mendekati dewasa. Jenuh dengan permasalahan yang tak kunjung ditemukan. Mestikah mencari permasalahan sementara permasalahan hidupnya saja tak terselesaikan? Apakah itu penting? Ya, kamu yang pernah atau sedang berada diposisi gadis ini tentu tau apa maksudnya. 
Hampir empat tahun yang lalu dia memilih jalan ini. Tentu dengan resiko yang telah ia ketahui. Tidak semua, mungkin hanya 1 dari 500 resiko. “Sing penting aku kuliah di Jawa, gratis, lulus langsung kerja, and the end orang tua akan tersenyum as soon as possible. 
Jalan tidak pernah lurus. Ke Roma saja jalannya tidak satu, apalagi jalan Ke Toga. Tak kunjung bertemu bukan tak saling mencari. Buntu jalan bukanlah buntu pikiran. Senantiasa berusaha karena sejatinya otakmu tetap bekerja walaupun kakimu jalan di tempat.
Selamat skripsi, setia sama proses karena sejatinya perempuan itu setia. 
-bukan penulis
0 notes
tehdalampiringkecil · 8 years
Text
Dan Pada Akhirnya
Alhamdulillah! Praise to Allah SWT who always loves me more than anyone could in a lifetime.
Pada akhirnya sampai juga pada titik menulis “Ungkapan Terimakasih” yang dari kemarin-kemarin cuma bisa dibayangin betapa bahagianya rasanya. Perjuangan selama satu tahun untuk memperoleh gelar sarjana terbayar sudah. Memang terbukti benar bahwa kerja keras tak akan pernah mengkhianati.
Banyak sekali pelajaran yang didapatkan selama satu tahun ini. Tidak serta merta tentang ilmu dan tugas akhir itu saja. Namun lebih dari itu. Setiap proses yang dilewati selalu mengajarkan untuk terus kuat dan bertahan hingga akhir serta memberikan dampak positif di setiap harinya. Memang tidak semua proses selalu membawa bahagia bagi kita, pasti ada ‘si lemon’ yang selalu muncul dalam proses tersebut. Tapi justru darinya lah sesungguhnya pelajaran-pelajaran berharga itu didapatkan. 
Namun banyak dari kita yang sering kali merasa kecewa, sedih, bahkan takut dan marah karena hadirnya ‘si lemon ini. Hal itulah yang harus dapat kita hindari karena segala bentuk pikiran negatif itu dapat dengan mudah merusak seluruh sistem tubuh kita yang mengakibatkan keadaan semakin memburuk.
Oleh karena itu kita harus memenuhi pikiran kita dengan pikiran yang positif. Apapun yang terjadi harus tetap berpikiran positif. Melawan hal-hal buruk pada diri sendiri adalah kunci utamanya. Bukanlah hal yang mudah memang untuk melakukannya, untuk itu harus bena-benar memaksa diri sendiri demi kebaikan diri sendiri. And it worked! I’ve tried it more times even though I felt down again and up again and finally up again till done.
Terus mendekatkan diri pada Allah SWT pun membuat hati menjadi tenang dan bisa lebih mudah dalam ‘mengatasi’ diri sendiri. Mintalah bantuan dan pertolongan pada Allah SWT karena semua ini milik-Nya, apapun yang terjadi semua atas kehendak dan ridho-Nya. Jadi tetaplah berjuang dan teruslah berdoa adalah pilihannya. Selalu sertakan Allah SWT di setiap langkah proses yang dijalani, insya Allah segalanya akan dipermudah oleh-Nya. 
Percayalah bahwa, Allah SWT tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya (Al-Baqarah:286).
Usaha keras tidak akan terwujud tanpa ada adanya rasa ikhlas dan sungguh-sungguh. Ikhlas dalam kasus ini berarti ikhlas dalam menuntut ilmu. Niatkan semuanya untuk belajar. Sadari bahwa dalam belajar memang butuh proses yang tidak mudah. Jika kita ikhlas pasti kita akan sungguh-sungguh dalam menyelesaikannya. Tidak akan mudah menyerah jika bertemu masalah-masalah yang seringkali menghasut kita untuk melarikan diri dan akan terus berjuang mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut.
Setiap satu problem berhasil dilalui tidak menjadikan proses selanjutnya berjalan mulus begitu saja. Nah di sinilah kita harus berhati-hati, jangan terlalu senang dahulu. Biasanya ada saja problem yang muncul sebelum semuanya benar-benar selesai. Kuncinya yaitu sabar, sabar dan sabar serta tenang, tenang dan tenang. Kedua kata tersebut saya tulis berulang tiga kali bahkan entah sudah berapa kali saya mengulang-ulangnya dalam pikiran dan hati saya. Mengapa?  Karena dengan sabar dan tenang membantu kita untuk tetap berpikiran positif. Kita juga tidak tahu apa yang Allah SWT rencanakan untuk kita, untuk itu bersabarlah menunggu hadiah yang akan diberikan Allah SWT. Semua akan indah pada waktu yang tepat, trust it. 
Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu, selepas banyak kesabaran yang kamu jalani, yang akan membuatmu terpana, hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit (Ali bin Abi Thalib).
Jangan lupa luangkan waktu sejenak untuk merenunngkan apa yang sudah dilakukan selama ini dalam hidup. Instropeksi diri, menilai apa yang salah dalam berucap dan berperilaku selama ini. Apa yang kurang dalam usaha yang telah dilakukan selama ini. Perbanyak istighfar, meminta ampun pada Allah SWT atas semua segala kesalahan karena dengan banyak melakukan hal tersebut merupakan sebab terkabulnya doa-doa kita.  Dan yang menjadi penutup segala usaha yaitu pasrahkan semua pada yang Maha Berkehendak setelah semua usaha dan kerja keras yang telah diperjuangakan. Bagaimanapun juga semua adalah rencana Allah. KIta sebagai manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin sampai batas limit kita. Percayalah bahwa apa yang diberikan Allah pada akhirnya memanglah yang terbaik untuk kita.
I’ve ever told to my self, “I know the rain is so heavy but I can see the rainbow will come” And yeah, finally the rainbow really come. It’s so beautiful. Amazing!! I’ve never imagined before. Alhamdulillahirabbil’alamin. Thank God!
Selamat yudisium!! Mari berjuang di kehidupan baru yang sudah menanti.
Tetap semangat dan janganlah berhenti berusaha untuk kalian yang masih berjuang meraih gelar. Jangan takut karena kalian bisa menghadapinya dan selalu ada Allah SWT yang pasti membantu. 
Good people can overcome the difficulties.
0 notes
khusnulfadhilahkf · 9 years
Text
Awul-awul
Pagi tadi,dalam rangka buat nyari dana KKN, kami ke sunmor jualan baju seken (sebut aja awul-awul) sama bakso bakar. Udah tiga kali kita jualan awul. Daripada baju yang nggak dipake numpuk di rumah kan. Tapi baju yang dijual bagus-bagus kok, nggak pernah dipake lagi soalnya udah kekecilan ato emang udah bosen yang punya.
Hmmm...dari awul-awul itu,jadi tau ternyata pasarannya harganya emang sekitar 5-15 ribu aja.Ya namanya juga baju bekas neng. Awalnya nggak tega ngelepasnya, tapi yaudah lah. Terus kita nggumun, eh iya ya ternyata banyak yang butuh, ada ibu-ibu yang beli buat anaknya, buat jalan-jalan, sama buat pengajian.
“daripada beli baru mbak...” gitu katanya.
Sedikit-sedikit kita jadi belajar buat jadi pedagang yang baik. Pertama,kudu ramah dan heboh.Kalo heboh (asal nggak maksa) orang minimal mau liat dagangan. Sukur-sukur kemakan rayuan gombal kami.
“Bundaaa...dilihat dulu bajunya bundaaa....”
Palingan juga si bunda bilang,emang saya punya anak kaya kalian? hahaha.
Kalau yang dateng mbak-mbak masih muda, kita rayu-rayu dikit, puji-puji makin cantik gitu...
Kedua, ya kalo ngasih harga yang wajar. Ketiga, kalo harga kita udah wajar dipertahankan,meskipun udah ditawar dengan kejam. Sebenernya orang kalo udah pengen sama barangnya,tapi belum cocok sama harganya nanti sok ninggalin kita gitu. Cara lama sih sebenernya. Eh beberapa saat kemudian dia ntar balik lagi nyariin barang yang tadi.
Apa lagi ya? kayanya masih segitu. Ntar kalo inget ada posting tambahan deh. Yang jelas, tadi jualannya seru kok, soalnya rame-rame,buat ngilangin stress juga kan sama kuliah?
1 note · View note
sukasenja · 4 years
Text
Label Mulia
Agustus-Desember 2015
Hari pertama masuk kuliah setelah satu minggu ditempa hingar bingar ospek universitas, kami menyebutnya MOKAKU UPI. Beruntungnya aku, ada dua teman lama di pondok yang ternyata memang ditakdirkan melanjutkan kuliah satu jurusan denganku. Senang sekali karena masa-masa sulit pengenalan pertama dengan dunia kuliah itu akan bergantian dengan keseruan wara-wiri kami selanjutnya.
Hari pertama kuliah ini, tidak ada kuliah. Kami dikumpulkan dalam satu ruangan yang aku lupa kalau itu sudah ber-AC atau belum. Yang pasti hari itu adalah hari pertama kami, satu angkatan bisa saling kenal. Angkatan yang selanjutnya senang sekali dengan jalan-jalan/touring.
Singkatnya, aku yang jiwa ekstrovert nya lebih dominan ini tidak terlalu sulit untuk beradaptasi dengan orang-orang baru. Bahkan di hari pertama itu, aku sengaja berkeliling ruangan untuk mencatat satu-satu nama teman baruku. Terlalu rajin memang. Ku jalani hari-hari berikutnya dengan tanpa beban. Oh jelas,, Hampir tiap minggu sengaja kami (aku dan teman 'geng'ku) sengaja wara-wiri ke setiap tempat yang ada di list akun "destinasi wisata Bandung". Materi kuliah? Ayolah, enam tahun di pondok benar-benar tiket emas bagiku kala itu (ingin rasanya menyombongkan diri hehe). Yang justru tanpa disadari semakin hari semakin ia menjelma menjadi bumerang, bahkan bola api, bagi diriku sendiri.
Banyak yang bilang bahwa itu adalah sebuah anugerah. Tak perlu berpikir terlalu sulit di bangku kuliah, karena semuanya sudah di lahap habis sejak di pondok dulu. Minggu-minggu pertama tidak ada masalah, dan justru karena itu aku mulai banyak dekat dengan orang-orang. Terlebih bila ada yang merasa kesulitan memahami ilmu-ilmu dasar nahwu, sharaf dan Bahasa Arab, tak jarang aku di panggil hingga ke sebrang kelas. Masalahnya adalah kian lama rasa risih itu kian hadir. Kala ada satu hal yang terlihat "tak seharusnya" muncul dari diri yang beratnya tak jua lebih dari 45 kg kala itu. Orang-orang baru itu mulai memasang "label" yang terlalu mulia bagi kami, orang-orang lulusan pesantren. Menurut mereka, segala ucapan, prilaku, bahkan pola pikir, harusnya jadi yang utama, hingga layak ditempatkan sebagai "contoh" bagi yang lain. Khususnya di jurusan yang memang kerap kali berurusan dengan serba-serbi per-akhirat-an ini.
Cobaan pertama datang saat beberapa teman baru yang ku kenal lewat grup online daftar ulang kala itu, mulai menjauh satu persatu. Aneh rasanya, namun belakangan aku tau alasan mereka, kami lulusan pondok tak bisa masuk ke zona mereka. Ntah orang-orang itu yang merasa insecure dengan kami yang lulusan pesantren, atau sebaliknya. Benar adanya, karena itu benar terjadi sesaat setelah mereka tau identitas kami yang sebenarnya. Masih ku anggap hal itu menjadi hal yang tidak cukup penting untuk dipikirkan. Karena mungkin baik mereka, ataupun kami hanya butuh waktu untuk sama-sama mengenal hingga memahami.
Cobaan kedua hadir justru dari kalangan mereka yang sesama lulusan pesantren. Bisa dibilang jurusanku itu jadi ajang saling unjuk diri dari mana masing-masing berasal. Untuk mata kuliah dan debat intelektual di kelas memang tak ada masalah, karena sesama kami bisa saling mengimbangi. Tapi justru di luar kelas. Kembali, ku ingatkan tentang pandangan mereka yang terlalu cepat menyematkan lebel "mulia" di tiap-tiap jidat kami lah yang justru kami rasa saat itu sebagai cobaan terberat.
Baiklah, mari berbicara tentang diri ini sendiri dengan segala kekurangannya. Sejak di pondok dulu, memang aku bukan termasuk orang-orang yang punya pendirian kuat dalam berpakaian. Dengan lingkungan keluarga yang juga pemahaman agamanya tidak setinggi para ajengan/kiai, aku terbiasa dan tumbuh dengan pemahaman agama seadanya, umum sekali. Terlebih, keinginan masa remaja yang selalu ingin merasa bagaimana rasanya jadi mahasiswa seperti yang ada di acara-acara televisi. Memakai baju sopan, kerudung model simple, tentunya masih menggunakan celana panjang bahan jeans (agar terlihat modis). Jujur saja, itu hal yang sangat menyemangati diri ini untuk bisa segera hadir di bangku universitas. Tapi ternyata, dengan jurusan yang ku ambil saat itu semua sulit sekali direalisasikan. Tak jarang jika ada dari kami yang menggunakan style itu ke kelas, beberapa dosen yang "fanatik" meminta dengan hormat untuk kami meninggalkan kelas. Maka mulai saat itu, aku berusaha untuk bisa beradaptasi dan menerima keputusan dan kebijakan jurusan atas norma yang memang harus bisa dipahami ini.
"Ya gapapa lah, masuk kelas doang kan. Main masih bisa pake style gitu", pikirku ringan.
Ternyata tak seringan itu kawan. Sudah ku bilang angkatan ku saat itu menjadi angkatan yang senang sekali berkumpul bersama membuat acara dan sebagainya. Maka tak jarang aku pribadi menggunakan style yang aku nyaman dengan itu. Beberapa kali memang ada dari mereka yang sedikit risih dan tunjukkan ketidaksukaan mereka. Bisa ku tebak mungkin dalam kepalanya banyak bisikan kemarahan
"KAMU TUH ANAK PONDOK PESANTREN, SEKARANG KULIAH DI JURUSAN AGAMA. HARUSNYA BERPAKAIAN SOPAN DONG. MENUTUP AURAT BERDASARKAN SYARIAH. KERUDUNG PANJANG DAN ROK/GAMIS. KAMU TUH KOQ GAK BISA JADI TELADAN SIH".
Ketidaknyamanan itu sempat ku bagi dengan beberapa teman dekat. Tapi kami sering kali menyimpulkan, toh memang ini kita apa adanya. Segini juga sopan dan menutup aurat, tapi memang jauh sekali dari ekspektasi mereka yang terlampau tinggi pada kita. Kami simpulkan, tak terlalu ambil pusing. Karena bagi kami lebih baik perubahan itu ada memang karena hati yang menginginkan, bukan perkataan atau bahkan penilaian orang lain.
Upaya menenangkan diri sendiri itu terus mengalir hingga satu waktu Tuhan berhenti menghitung. Hari itu kami bersiap untuk acara ngaliweut di salah satu rumah rekan angkatan kami. Seperti biasa kami saling tunggu di fakultas. Hari itu mungkin memang salahku mengenakan celana jeans dengan warna lebih terang dari biasanya dan atasan rajut serta kerudung yang dipakai layaknya anak SMA di luar (kebayang ya). Memang hari itu aku setengah hati ikut acara, selain karena tak ada baju yang 'cocok', badan ku pun sedikit meriang. Tapi rasa tak enak ku pada rekan yang lain, maka aku paksa diriku. Agak telat hadir hingga saat tiba di Fakultas, beberapa orang terlihat sinis. Sekali lagi mungkin memang salah ku hari itu. Hingga ada seorang dari mereka yang menyindir ku secara terang-terangan dan sempat menyindir pondokku. Aku maklum karena dia juga memang berasal dari suatu pesantren salafi modern, dia seorang laki-laki. Dengan hati yang terbiasa sensitif, aku memilih menyingkirkan diri sejenak dari tempat itu. Ada rasa perih yang gak bisa digambarkan. 'Nyesek' banget denger pondok mendapat nilai buruk dari orang lain karena bersanding dengan agennya yang lemah iman ini. Aku melangkah keluar gedung fakultas lalu memilih terjongkok di bawah pohon, menangis.
Lanjut besok ya :)
@sekotenggg @fadhila-trifani @gugunm @adhit21 @mathmythic
6 notes · View notes
sukasenja · 4 years
Text
Emang Mau jadi Guru PAI?
Juni-Juli, 2015
Hidup jadi santri di salah satu pondok pesantren modern itu cukup menantang kawan. Tidak ada hp, penggunaan laptop dibatas waktu, beberapa source internet juga di block, jadi ya gak bisa akses sebebas itu. Imbasnya, agak sedikit ngap-ngap an berusaha cari info jurusan dan univ yang dipengen nantinya. Untuk bedakan apa itu jalur undangan, tes, dan mandiri saja harus bolak-balik ke bagian konseling. Apalagi pada zamannya, pondok saat itu masih dalam tahap pertumbuhan memperbaiki informasi studi karir, seperti beasiswa, layanan konseling, rekam jejak alumni, dan sebagainya. Maka untuk bisa dapat informasi yang optimal, harus dari dua arah. Itu berarti diri sendiri juga yang harus pro aktif bertanya sebanyak-banyaknya. Konselor, guru, bahkan teman.
Aku yang sejak kelas 4 (satu SMA) sudah mengazamkan diri untuk melanjutkan studi ke Kota Bandung mulai mewanti-wanti pilihan universitas juga jurusan. Ketakutan tak bisa lolos di UPI nanti, ku lirik Universitas Padjadjaran jurusan Biologi murni. UPI-Pendidikan Biologi ku simpan di urutan pertama, lalu UNPAD-Biologi murni di urutan kedua. Pintar sekali bukan? Ayolah jawab iya. Maklum waktu itu belum begitu fasih tentang reting universitas. Hingga di penghujung masa pendaftaran jalur undangan (saat itu kami menyebutnya SNMPTN), seorang teman dekat memberitahu kalau reting universitas pilihan bisa mempengaruhi kelulusan SNMPTN. Ditambah lagi informasi dari konselor yang bilang kalau hanya ada kesempatan memilih maksimal 2 univ dengan total 3 jurusan, satu univ WAJIB universitas negeri yang ada di provinsi asal. Itu berarti aku harus membuang satu kesempatan pemilihan univ di Bandung untuk diganti dengan Universitas yang sungguh tak pernah ada listnya dalam hidupku, Universitas Sultan Agung Tirtayasa (UNTIRTA). The one and only kampus negeri di provinsi ku, Banten.
Putar otak aku bagaimana caranya kesempatan sempit itu tetap bisa digunakan semaksimal mungkin. Maka mulailah surat2 beterbangan. Surat yang berisi kebingunganku tentang pemilihan jurusan dan univ pada beberapa teman yang ku percaya, intinya ku minta pendapat mereka (kalau di antara kalian ada yang merasa pernah ku repotkan dulu, berbahagialah wwkwk, aku masih ingat kalian :). Seorang teman bilang:
"Harus milih Hen, mau pertahanin jurusannya, atau mau univnya?"
Seorang teman lain bilang:
"Kita tuh dari pondok, jadi lebih aman ambil PAI aja daripada PGSD, PGSD juga passing grade nya tinggi di UPI, PAI masih newbie. Kita dari pondok, insya Allah aman"
FYI guys, posisi pertama masih dipegang UPI Pendidikan Biologi, posisi ketiga sudah jelas UNTIRTA Pendidikan Biologi, posisi kedua, masih gelap otakku, tapi yang pasti harus di UPI.
Tiba hari pendaftaran SNMPTN, di depan komputer saat itu mulutku komat-kamit. Tak mau lewatkan kesempatan berharga seleksi gratis masuk univ ini, karena tau finansial keluarga ku tak cukup banyak untuk bisa biayai mobilitas nantinya kalau aku harus bolak-balik tes SBM hingga seleksi mandiri di univ-univ lainnya. Di luar itu, mentalku juga tidak cukup kuat jika ada di posisi itu nampaknya, FYI again aku punya semangat juang yang gampang naik tapi juga gampang turun, masuk ke jurang. Dan terlebih, aku tau kapasitas diri ku yang semakin dekat kelulusan SMA ini nilai IPA nya semakin meroket, ke bawah. Kecuali, Biologi tentunya :)
Kekhawatiran itu masih terus muncul hingga akhirnya aku tetap meminta kepada umi dan bapak untuk tetap mencarikan tempat les bimbel guna membantuku dalam menyelaraskan ilmu-ilmu IPA juga siapkan diri menghadapi tes seleksi masuk universitas yang luar biasa heboh itu.
Singkat cerita, hari ketiga setelah hari kelulusan ku di pondok, jadwal hari perdana masuk les bimbel itu sudah ada. Hari-hari yang harusnya masih jadi hari bersantai-santai ria (FYI again, lulus pondok itu harus ngelewatin berlapis-lapis ujian guys! I would like to tell it soon). Belum lagi perjuangan itu harus dilewati seorang diri, tak ada teman pondok di sekitar rumahku. Parahnya lagi, aku terlalu rajin masuk les bimbel karena ternyata hari itu hanya ada aku sendiri dengan satu guru privatnya. Ya maklum, hari itu sekolah-sekolah di luar belum ada di tahap wisuda para siswanya, dengan kata lain, pondok ku terlalu rajin.
Seminggu awal jadi anak bimbel ternyata tak semenyenangkan jadi santri. Lebih tepatnya, suasana asing ini sangat-sangat menghabiskan energiku. Tak terbiasa memang di tempat baru dengan orang-orang yang baru. Dan hey lihat, pelajaran IPA ku ngap-ngap an. Makin aku tak semangat menghadapi tes SBM nanti. Maka do'aku saat itu pada pemilik semesta adalah:
"Ya Allah, Henni pengen lolos di UPI aja. Pengen kuliah di Bandung. Pengen lolos SNMPTN, biar gak repotin orang tua sama tes-tes an"
Benar kata orang bijak untuk kesekian kalinya, jangan pernah main-main dalam berdo'a. Seminggu kemudian, sore hari, sedetik sebelum takbiratul ihram asar ku laksanakan,
"Teh, lulus, UPI", teriak aa dari ruang tengah
"Alhamdulillah"
"Tapi bukan Biologi, lulusnya IPAI"
Wow Tuhan menjawab, tapi koq,
To be continue...
15 April 2020
@fadhila-trifani @gugunm @mathmythic @sekotenggg @adhit21
6 notes · View notes
sukasenja · 5 years
Text
Belajar Menunggu
~Seperti yang ku bilang dahulu, bahwa Tuhan akan tetap terus menghitung. Disetiap hitungannya akan ada kejadian-kejadian hebat yang kadang tak dimengerti manusia~
Selamat kembali rumah menulis. Tak sabar ingin segera ku bersihkan sarang laba2, bukakan jendela, sapukan debu di lantai. Hampir saja tadi aku lupa dimana aku menyimpan kunci, nyatanya tidak. Kunci itu tak pernah ku buang, ada di dalam tas kecil kesayangan.
Tulisan perdana ini untuk kembali menormalkan pikiran yang beberapa minggu ini membeku. Jarangnya berkegiatan bersama orang lain, seringnya mendekam diri di kamar berhadapan lacar 11,6 inci, sendirian. Jenuh iya, terlebih setelah salahdua teman telah berhasil meluluskan dirinya terlebih dahulu. Tapi tak apa, toh kita tidak di bolehkan untuk beiri hati oleh Tuhan, bukan?
Sebulan yang lalu hari-hari sulit sedang diadaptasikan. Hingga akhirnya seketika dimengerti bahwa semuanya adalah tentang mengikhlaskan juga menerima. Sedang di masa-masa akhir studi dengan segala pergolakan batinnya, ini kenyataannya. Tapi dasar manusia lemah ini, sesekali tetap saja mengeluh dan bermuram diri.
Oh ya, belum lagi pikiran-pikiran abstrak yang hadir tatkala melihat teman sebaya yang sudah di pakad. Baiklah, memang sudah umurnya kita ini. Berdebat antara karir atau pernikahan. Ah, terlalu jauh itu! Aku, masih di sini untuk setia~ ya setia, setia pada apa janjiku pada kedua orang tersayang, bahwa setelah ini, setelah Tuhan berkata "saatnya kamu lulus", tugas utamaku ialah membahagiakan keduanya. Entah itu dengan karir ku sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan, perintis sebuah bisnis, maupun inisiator kegiatan sosial di lingkungan sekitar. Itu mimpiku, ya. Semoga Tuhan berbaik hati untuk mengurus sisanya, termasuk tentang kamu.
Saat ini sudah memasuki penghujung 10 hari pertama bulan yang cantik. Namun tugas akhir masih saja berada disana, ya intinya belum jua terselesaikan. Malu mulai menjadi, tapi disisi lain aku belum siap untuk lulus. Memang hanya Dia yang tau alasan kenapa aku masih berada disini, detik ini, menunggu.
Menunggu bukan berarti tidak berbuat apapun. Sejak dulu aku penganut garis keras "proses lebih penting daripada hasil, dan proses tak akan pernah berkhianat pada hasil". Mungkin itu maksudnya Tuhan berkata ikhtiar dan tawakal-lah. Layaknya seorang yang menunggu bis di halte di tengah hujan deras yang turun, ada orang-orang yang memilih untuk menikmati turunnya rintik hujan sembari berdebat dalam hati tentang rindu dan kesunyian, ada orang-orang yang memiliki tak pedulikan hujan lalu tenggelam dalam akrobat gambar-gambar cantik nan menarik di sosial media, ada orang-orang yang memilih berbincang dengan orang yang duduk disampingnya membicarakan apapun bahkan yang belum tentu keduanya mengerti (karena mereka baru saling kenal), dan ada orang-orang yang memilih untuk menikmati hujan sembari menarikan jemari cantik diatas keyboard hp-nya dalam pengunjungan di sosial media bersamaan dengan mendengarkan dan memberitakan hal-hal hebat dalam hidupnya bersama dengan orang yang baru dikenalnya, dan itulah aku saat ini.
Terlalu rendah dan receh nampaknya jika waktu-waktu yang katanya harta paling berharga ini dilewatkan dengan renungan menangisi sendiri. Kenapa tidak kita memilih hal-hal seru yang bisa dilakukan juga dinikmati sebagai proses pembelajaran. Toh tidak usah diragukan, tanggal dan hari kamu sidang juga wisuda nanti semuanya telah Tuhan tulis di lauhul mahfuzh, jauh sebelum kamu mengenal dunia. Tapi jangan juga terlena, ingat bukan? Tentang ikhtiar dan tawakal. Nikmati saja, mungkin Tuhan rindu kamu bangun dan sujud disepertiga malam. Ditengah sunyi kamu menangis, ceritakan segalanya. Tuhan rindu, kamu?
"Menunggu ialah sebuah seni. Seni mencari sudut pandang terbaik agar semuanya menjadi baik. Bukankah dulu kamu yang meyakinkanku untuk berani menggantungkan tujuan di tempat tertinggi langit? Sehingga ketika sekalipun terjatuh, jatuhnya berada diantara bintang-bintang. Ah, Tuhan tak pernah tega membiarkan hambanya berjalan sendiri. Jika kesepian menyapa, mungkin itu pertanda bahwa Dia, rindu, kamu"
3:40 PM | Bandung, 09 Februari 2019
5 notes · View notes