Tumgik
#dan mandir
extenler · 1 year
Text
Backstage
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Semua orang kelihatan sibuk di belakang panggung. Masing-masing punya urusan dan alasan tersendiri untuk mondar-mandir atau meneriaki satu sama lain. Atau lebih tepatnya, Mbak Didi lah yang sekarang kelihatan stres karena harus memastikan semua hal sudah sesuai dengan rencana supaya tidak ada yang kurang lagi ketika Bu Rosa melakukan final check.
Setengah jam lagi pagelaran busana untuk New Year Collection Rosalina Amerta akan segera dimulai. Jadi, hiruk-pikuk seperti ini adalah hal yang amat sangat normal. Make-up artist yang berlarian ke sana kemari untuk mengecek dan last touch up make up masing-masing model, fotografer yang sibuk menabrak orang di sana-sini untuk dokumentasi persiapan di backstage, dan masih banyak lagi yang sibuk dengan jobdesk-nya masing-masing.
“Axel, ambil accessories box yang ada di atas meja saya. Cepet ya,” titah Mbak Didi yang langsung dituruti Axel. Dalam sekejap teman seperjuangan magangnya di tempat ini pun langsung melesat menerobos orang-orang yang menghalangi jalannya.
Genaya sendiri sedari tadi sibuk membantu salah satu model bernama Celia. Perempuan berumur dua puluh lima tahun yang sudah menekuni profesi sebagai model sejak usia muda. Oleh karenanya, Genaya tidak begitu kesulitan ketika membantu Celia. Justru dia malah agak tidak enak hati karena Celia lah yang banyak memberitahunya ini-itu berhubung dia masih merasa kagok karena ini adalah kali pertamanya bergabung dalam pekerjaan ini.
“Genaya,” panggil Mbak Didi dengan suara nyaring.
“Go. Before she gets mad and starts yelling,” ucap Celia penuh pengertian pada Genaya yang kemudian buru-buru menghampiri Mbak Didi.
“Iya, Mba—“
“Kamu susulin Axel sana. Lama banget gini,” potong Mbak Didi sebelum Genaya sempat bicara. Dan sama seperti yang Axel lakukan tadi, Genaya pun langsung ngacir secepat kilat tanpa menunggu Mbak Didi memerintahkannya dua kali.
Ketika langkah Genaya hampir mencapai pintu menuju kantor Mbak Didi, pintu tersebut lebih dulu terbuka dan sosok Axel pun muncul. “Minggir, Ge, gue udah mau mati nih lari-lari. Awas sebelum ibu tiri ngamuk!” teriak Axel sambil berlari melewatinya.
Mau tak mau Genaya jadi tertawa karena ucapan sembarang Axel. Sudah genap satu bulan mereka magang di kantor Rosalina Amerta, dan selama itu pula sudah banyak omelan aplagi teriakan yang mereka terima dari Mbak Didi. Sampai-sampai, Genaya dan Axel diam-diam memanggil Mbak Didi dengan sebutan ibu tiri. Meski begitu, semua omelan Mbak Didi tidak pernah mereka ambil hati, lantaran mereka sadar kalau memang begitu lah cara Mbak Didi menegur. Dan lagi, setiap Mbak Didi mengomel pun, beliau pasti memberitahu apa yang salah dan bagaimana cara memperbaikinya.
Karena apa yang diminta oleh Mbak Didi sudah dalam perjalanan, Genaya pun memutar balik arah tujuannya untuk kembali membantu Celia. Meski sudah tak berlari seperti tadi, dia tetap berjalan cepat. Mana bisa dia bersantai kalau acara belum selesai. Apalagi hanya tersisa waktu lima belas menit lagi sebelum kesibukan yang sebenarnya dimulai.
Namun saat dia mempercepat langkahnya, tiba-tiba saja ada yang menarik tangannya untuk masuk ke dalam salah satu ruangan yang digunakan untuk menyimpan manekin dan barang-barang lain. Dia nyaris berteriak kalau saja mulutnya kini tak ditutup rapat-rapat oleh si pemilik tangan yang juga menariknya tadi.
Sewaktu melihat sosok Jules di hadapannya, Genaya langsung melotot. Dengan cepat dan ganas dia memukul-mukul tangan Jules yang masih menutup mulutnya.
“Kamu ngapain di sini?!” seru Genaya.
Tapi Jules malah membalasnya dengan meletakkan telunjuk di depan bibir. Isyarat bagi Genaya untuk tidak berisik.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Genaya lagi, kali ini sambil berbisik.
Lagi-lagi Jules tak menjawab. Lelaki itu cuma tersenyum dan menyerahkan sesuatu padanya.
Kening Genaya berkerut. Kepalanya tertunduk untuk melihat bungkusan yang kini ada di tangannya. “Snack bar?”
“Aku tau kamu belum makan.”
“Memangnya aku bakal kenyang cuma makan snack bar?” balas Genaya bercanda. Namun segera berterima kasih pada Jules.
Dia memang belum makan sejak siang tadi. Selain karena tidak sempat, entah bagaimana ceritanya, perutnya pun tidak merasa lapar sama sekali. Mungkin karena terlalu bersemangat akan acara tersebut, sekaligus terlalu nervous lantaran takut membuat salah.
“I have bubblegums too if you want,” ucap Jules lagi.
“Kamu mau aku diomelin sama Mbak Didi ya?”
Jules langsung terkekeh. “Hari ini udah dimarahin berapa kali sama Mbak Didi?”
“Dua!” Genaya berseru, namun kemudian menutup rapat mulutnya karena teringat kalau dia tidak boleh berisik karena mereka sedang bersembunyi. Dipikir lagi, sejak kapan dia setuju dengan acara ngumpet bersama pacarnya ini yang seharusnya ada di luar dan bersiap untuk pagelaran busana tersebut.
“Capek nggak?”
Genaya meringis sambil mengangkat jari telunjuk dan jempol, membuat sedikit ruang di antaranya sebagai tadi ‘sedikit’. “Eh, mau ngapain?” tanyanya buru-buru saat melihat Jules mengambil satu langkah maju dengan kedua tangannya yang terbuka.
“Giving you a hug,” jawab Jules santai. Siap untuk kembali maju mendekatinya.
“Nggak usah macem-macem! Kalau baju kamu jadi kusut, yang diomelin nanti semua orang termasuk aku!” Jules pun diam di tempat, dan tak lama menurunkan kedua tangannya. Genaya jadi tertawa melihat hal itu. “Kamu harus balik sekarang sebelum semua orang nyariin.”
“Can I take you to a dinner after this?”
“Kalau beres acara dan nunggu aku kelar sih bukan dinner lagi namanya, tapi makan tengah malem.”
Jules tersenyum lebar. “Ya, nggak apa-apa. I have to make sure kalau kamu tetep makan sebelum pulang ke rumah. Daripada sakit. Aku tunggu ya nanti?”
Setelah diam dan berpikir selama beberapa detik, Genaya pun mengangguk. “Tapi nanti tunggu—“
“Mas Jules! Ada yang liat Mas Jules nggak?” teriak seseorang dari luar sana. Refleks membuat Genaya dan Jules sama-sama melirik ke arah pintu. Genaya tahu betul kalau itu suara Mbak Oliv, asisten model yang membantu Jules bersiap sedari tadi.
“Di toilet kali, Mbak!” timpal seseorang lagi, yang kemudian kembali disahuti oleh Mbak Didi dengan, “Tolong lihatin ke toilet dong saya kan nggak mungkin masuk toilet cowok. Aduh, ini orang ke mana sih, bisa mati gue digorok Bu Rosa.”
Dari suaranya yang terdengar begitu dekat dan jelas, Genaya yakin kalau Mbak Didi ada tepat di balik pintu tersebut. Jantungnya jadi berdegup kencang, takut kalau tiba-tiba saja Mbak Didi membuka pintu dan mendapati dirinya sedang ngumpet di dalam dengan Jules. Bisa-bisa Genaya diomeli habis-habisan. Jules sih jelas tidak akan dimarahi. Paling mentok-mentok hanya dipelototi oleh Mbak Oliv.
“Mbak Oliv, Mas Jules di depan kayaknya!” seru seseorang lagi, dan derap langkah pun terdengar mengisi lorong, menandakan kalau Mbak Oliv sudah pergi menuju sosok yang berseru tadi.
Setelah diam beberapa saat, memastikan kalau tidak ada lagi orang di balik pintu tersebut, Genaya pun kembali menoleh pada Jules yang ternyata malah tengah memperhatikannya. “Gih sana. Kasian Mbak Oliv sedikit lagi stres.
Jules pun mengangguk. Tapi masih diam di tempatnya berdiri. Baru saja Genaya hendak mengusirnya lagi, tahu-tahu saja kedua tangan Jules menangkup pipinya dan sebuah ciuman singkat mendarat di bibirnya.
“I love you,” ucap Jules sembari tersenyum. Lalu kembali menciumnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya tersenyum dan bicara, “Bye, Genaya. Gonna miss you, and kiss you again when I can.”
153 notes · View notes
Text
Oh, Teman Baru.
Satu jam sebelum pukul tujuh belas tiga puluh sore, hari Jumat.
Aku sengaja datang sejam lebih awal dari jadwal ketibaannya di bandara. Tidak apa kok, aku tidak keberatan harus menunggu sedikit lebih lama dari balik pagar pembatas itu sembari memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Mereka semua terlihat begitu biasa.
Ada segerombolan bule yang menggendong tas backpack segera menuju konter selular. Ada sepasang orang Korea yang bergandengan tangan buru-buru mengarah ke pemberhentian taksi. Ada ibu-ibu sosialita yang sedikit heboh berfoto-foto untuk mengabadikan momen tiba mereka. Dan orang-orang lainnya yang melenggang keluar dari terminal kedatangan internasional menuju tujuannya masing-masing.
Dan aku juga pasti terlihat biasa bagi mereka semua.
Tumblr media
Tapi, hari ini aku akan bertemu seseorang—yang tidak biasa bagiku.
Aku mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan mondar-mandir. Jujur, jantungku berdegup tak menentu. Setiap ada orang yang muncul, aku selalu menerka-nerka, apa itu dia? Lalu pikiranku maju jauh, membayangkan dia datang melalui pintu itu, keren dan atraktif.
“Sebentar ya, masih nungguin koper,” katanya di DM Instagram. “Okay. Take your time,” balasku.
Semakin deg-degan, hingga aku memutuskan untuk mencari tempat duduk yang kosong demi menurunkan rasa gelisahku. Lalu tiba-tiba, “Haaai Cindy!” terdengar. Aku mendongakkan kepala dan menemukan dia berjalan dengan riang ke arahku.
And, he planted roses on my cheeks. Suddenly, shyly, nervously.
Aku segera menyodorkan Matcha Latte yang kubelikan untuknya. Dia pasti cukup haus setelah penerbangan yang memakan waktu lebih dari 7 jam itu. Tapi, dia tidak mengeluh. Kami mencari taksi untuk segera menuju pemberhetian selanjutnya. Dan di dalam mobil itu, aku, baru tahu, bahwa satu obrolan santai dari dua orang asing yang baru bertemu itu bisa membuat senyum tak berhenti mekar seharian.
Sebelumnya, kami sudah janjian untuk sebuah meet up yang proper. Dia selalu tahu, aku ingin makan di salah satu restoran bintang 5. Jadi, kami random saja memilih di daerah terdekat. Restorannya cukup romantis dengan konsep taman eksotis yang menawarkan menu Asian-fusion yang nikmat. Perhatianku tertuju pada menu dessert-nya yang berbentuk seperti jamur. Dia yang menyadari aku menyukai segala hal yang berbau coklat segera memesannya.
Tumblr media Tumblr media
Sambil menunggu makanannya disajikan, kami memulai pembicaraan dengan basa-basi singkat. Dan, kalian tahu, cara paling mudah untuk tahu apakah kita cocok dengan seseorang atau tidak adalah ketika kita lupa waktu. Di sanalah, aku tidak sadar telah mendamparkan diri pada caranya bercerita. Untuk kesekian detik, aku berusaha untuk menggenggam erat kewarasanku agar tidak gila bayang pada orang asing di hadapanku.
Ayolah, Cindy, dia hanya orang asing, kok.
Tapi, seberapa keras pun aku berusaha untuk mengenyahkan perasaan itu, aku tahu aku akan tetap memilih satu momen bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu. Betapa aku rela menukarkan apa pun untuk kembali dipertemukan dengan dia dengan cara yang sama.
Tidak terasa 2,5 jam berlalu begitu saja, dan hanya dalam sejauh spasi pendek itu, aku tidak tahu apa yang membuatku ingin terus berbicara. Aku sudah terbiasa dengan stereotype introvert yang kagok ketika berkomunikasi. Tapi, waktu dengannya, aku menemukan diriku bebas berdiskusi, berargumen, berkisah, tentang apa saja. Dan ternyata untuk dia yang bisa menerima celotehanku dan tidak berekspektasi aku untuk menjadi seseorang yang agung, itu sudah cukup…bagiku.
Sebelum bertemu dengannya, aku telah bertemu banyak orang. Beberapa melewatkanku, beberapa kulewatkan. Beberapa menarik perhatianku, beberapa kutarik perhatiannya. Beberapa tiada, beberapa masih ada dalam hidupku. Beberapa nama masih tersimpan dalam kontak, beberapa terhapus tanpa pikir panjang. Dan, dia, seseorang yang siluetnya langsung membentuk mimpi di saat jumpa pertama, membangkitkan kembali perasaan yang sudah lama terkubur dalam hatiku, membuatku sadar bahwa selama ini aku hanya sedang menunggu.
Malam itu, aku ingin kembali mengalami…perasaan jatuh hati di antara begitu banyak omong kosong tentang cinta pada pertemuan pertama.
Setelah menyadari gerak-gerik pelayan yang mulai beberes piring-piring yang sudah tidak menyisakan makanan, dia bertanya, “Jadi, kita mau ke mana lagi?”
“Kita jalan ke mall seberang, mau?” pintaku.
Dia mengangguk, dan bilang, “Let’s go!”
Tadinya, kukira pertemuan ini hanya akan sesingkat makan malam lalu pulang ke tempat masing-masing lalu melupakan nama satu sama lain, tapi tampaknya, semesta telah mengabulkan desakan doaku kalau: I want more time with him.
Ternyata menyebrang di jalanan yang padat kendaraan tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ada mobil yang mau mengalah untuk kedua pejalan kaki yang terlihat takut ini. Tapi, cara dia berdiri di arah kendaraan melaju kembali membuat hatiku berdetak dua kali lebih cepat. “Kamu di sebelah sini aja, kita pelan-pelan saja." Sesaat ada kesempatan untuk menyebrang, dia memegang canggung pergelangan tanganku lalu mengarahkanku untuk berjalan dengan cepat. Tanpa kata-kata, aku sejujurnya ingin mengisyaratkan bahwa detik itu juga, aku sudah jatuh kepada dia.
“Wanna have some ice cream again?” tanya dia, sejujurnya, malam itu aku sudah kenyang dari makan di restoran sebelumnya. But, we all broke our rules for someone, right?—hanya demi agar aku punya alasan untuk memiliki kegiatan lain dengannya. So, yes was an answer.
Jam menunjukkan hampir pukul 10.30 malam. Toko-toko di mall itu sudah banyak yang tutup. Sinar lampu perlahan-lahan meredup, tapi matanya memercikkan kilatan kesima di sana. Lucu ya, bagaimana kita bisa bertemu dengan seseorang. Satu hari, kita hanya saling mengagumi dari balik gaduhnya dunia maya, kemudian di hari lainnya lagi, kita bisa berdiri di sampingnya, merasakan kehadirannya nyata.
Aku percaya, itu bukan kebetulan. Masing-masing dari kita, jika diizinkan semesta, pasti akan saling bersinggungan, entah dengan cara apa pun, di mana pun, dan kapan pun.
And that’s how I met him.
Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya. Aku menimbang-nimbang, apakah setelah malam ini dia akan menghubungiku lagi? Karena, jujur, aku ingin dia datang lagi.
Aku punya berbagai jenis ketakutan, seperti film horor, reptil, barongsai…; dan kehilangan seseorang yang baru kutemui semalam.
Pagi setelah pertemuan malam itu, kembali seperti pagi-pagi biasanya. Tidak ada satu pun pesan darinya. Sesingkat apa pun itu. Aku hanya bisa memandangi layar ponsel yang tidak memunculkan notifikasi apa-apa.
9 jam. Aku tidak bisa berhenti menghitung waktu yang bergulir tanpa kabar apa-apa darinya. Entah kenapa, aku merasakan hatiku pelan-pelan tergerus. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melekat padanya. Alasan utamanya; siapa lah aku untuk boleh mendapat kabar darinya? Tapi, ketika melihat dia aktif di media sosialnya tanpa meninggalkan sepotong pesan untukku, membuatku sedikit merasa jauh darinya dan…terabaikan. Sungguh, aku ingin mengonfirmasi bahwa tidak ada yang istimewa dari dia.
Tapi, untuk kali pertama, dalam waktu sesingkat itu, aku mau tak mau harus mengakui perasaan itu. Cemburu.
Beberapa waktu berlalu, mungkin dia tidak menyadarinya bahwa aku tidak suka terlihat rapuh. Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku tidak ingin mengambilnya dari keluarganya, dunianya, hobinya, pekerjaannya, sirkel-sirkelnya… Tapi, bolehkah dia sisihkan saja sedikit ruang untukku yang tidak terjamah siapa-siapa untuk letakkan aku di situ? Aku tahu, aku mulai egois ingin memilikinya.
Apakah dia mengerti perasaan semacam itu?
Namun, sebelum malam jatuh seluruhnya, aku mempertaruhkan diri untuk menyapanya di kesepian itu. Dan beruntunglah aku ketika… “Aku boleh ke rumahmu, sekarang? Kita makan nasi goreng kalau kamu belum makan,” muncul pada kotak notifikasi. Dia menjelaskan kalau dia kesusahan mencari jaringan wifi hingga tidak bisa mengabariku.
Secepat kilat, tanpa pertimbangan, hanya 3 kata yang tertulis sebagai balasan: “Oke, aku tunggu.”
“Menurutmu, aneh nggak, ngobrol apa aja dengan orang yang baru kamu temui 2 hari lalu?” tanyaku setelah diam menggigit sejenak. “Enggak, malahan kita jadi lebih banyak tahu tentang satu sama lain dibanding orang lain. Hubungan kita jadi eksklusif karena itu,” jawabnya ringan sambil menatap mataku.
Tidak pernah terbesit dalam pikiranku untuk merasakan lebih daripada itu. Ketika berhadapan dengan dia, aku tidak yakin apa yang harus kulakukan. Mungkin, dia hanya butuh seseorang untuk menghangatkan bayang kosong di sampingnya. Mungkin, aku juga hanya sedang butuh ditemani saja. Tapi, why not? Mungkin, yang kami butuhkan hanyalah; suasana, teman bicara, selera makan yang sama.
And, maybe, we should try.
Biasanya, aku tidak pernah membiarkan orang lain membaca buku bucket list-ku secara langsung. Namun, dia yang begitu penasaran terus meminta untuk membacanya. “Aku ingin tahu semua keinginanmu,” mintanya. Tidak pernah ada orang yang se-excited itu untuk bertanya tentang keinginanku. Aku melihatnya menggenggam buku kecil itu lalu membacanya kalimat demi kalimat, dan dia… benar-benar ingin tahu dan terlibat. Sungguh, aku sangat menyukai binar di matanya malam itu.
Begitu saja—ya, begitu saja, se-simple itu bahagia tercipta. And I miss the comfort of being loved…
Saat sedang sama-sama membaca, tak sadar poni rambutku terjatuh menyapu dahi dan menghalangi mataku. Reflek, dia mengulurkan jari-jarinya untuk menyelipkan rambut yang terjatuh itu di balik telingaku. Dan pada saat kulit kami bersentuhan, aku merasakan hatiku berdesir. Ini kontak fisik pertama kami. Tapi, sentuhan ringan itu terasa jauh lebih privat dari semua yang telah kami bagi selama ini. Aku telah merasakan berbagai jenis sentuhan. tapi kenapa ya, kali ini, aku tidak mampu menguraikan makna dari sentuhannya?
Dia tidak segera menarik tangannya, tetapi membiarkan jari-jarinya sedikit lebih lama mengelus lembut rambutku. Dia tidak gugup, tidak juga melakukan lebih dari itu. Dia terlihat sedikit menginterpretasi. Sampai pada dia kembali ke posisi semula, aku baru sadar, selama itu aku menahan nafas dan dentuman jantung yang tak karuan. Entah tersipu atau gelisah.
"Why don't you kiss me?" Aku sedikit gemetaran mengirimkan pertanyaan ini. Sejujurnya, aku tidak ingin menanyakannya, karena aku tidak berhak merasakan memiliki dia; aku hanya boleh merasa ragu.
Setelah drama mengelus rambut itu, kukira akan terjadi skenario seperti di film-film roman yang kutonton. Mungkin akan ada sebuah kecupan kecil mendarat di pipiku, tapi dia tidak. Hingga dia berlalu pulang, hatiku tetap mengganjal sesuatu.
Dan, di batas malam itu, sungguh aku menunggu jawabannya.
Lama dia mengetik—menghapus; mengetik lagi—menghapus lagi. Entah narasi apa yang sedang dia siapkan untuk menjawab pertanyaan tidak berdasarku itu. Atau, ucapan itu terlalu blak-blakan untuk dipertanyakan?
"Actually, I want to kiss you so badly—it's killing me, but I'm just afraid to make the first move (?). Aku mau sayang kamu dan kiss you at the right time."
Semburat merah jambu muncul pada pipiku setelah membaca jawabannya. Baiklah, aku mengakui aku kalah, pada dia. Aku merindukan aroma woody blend pada tubuhnya. Aku mencari-cari pertanda demam pada tubuhku sendiri, sebab mendadak tubuhku menghangat di hari berhujan ini. Tapi, justru di saat itulah, aku merasa lebih sadar dan sehat dari sebelumnya.
"I have a bad news," tulisnya via DM Instagram pagi berikutnya. "Ada apa?" tanyaku panik.
Kepulangannya ke negaranya ternyata harus dipercepat dari yang sebelumnya bisa sebulan menjadi 2 minggu saja di sini. Aku terdiam, tidak dapat mendefinisikan gemuruh di dadaku yang kini bercampur dengan emosi dan kesedihan yang tidak mampu aku utarakan. Ada jeda yang menggigit hingga aku sadar aku harus memberikan respons.
"Wah, terpaksa mesti balik ya?" Hanya itu respons paling biasa yang bisa aku berikan—meski sejujurnya, dalam hatiku betapa aku tidak ingin dia kembali lagi ke sana; ke tempat di mana seharusnya dia berada. Betapa jika aku punya tombol tunda, lorong waktu, atau apa pun itu lah alatnya untuk menahannya pergi, maka akan aku bayar mahal deminya.
Mendadak, ini menjadi perpisahan paling sepi yang pernah kualami seumur hidupku. Dan waktu tiba-tiba terasa lebih cepat larut dari sebelumnya.
Kenapa, waktu kami, tidak pernah tepat, ya?
Oh ya, aku belum menceritakan dengan jelas sosok dia yang sedari tadi aku sebut-sebut, ya. Kenalkan, seorang laki-laki kelahiran bulan Maret, berzodiak Pisces, pecinta warna oranye, penyuka makanan Korea, smart, terpelajar, mampu membawa diri, komunikatif, percaya diri, tipe kesukaan mertua, loyal, senang mengobservasi, sweet, loveable, caranya bercerita, caranya meraih respek sungguh tidak ada tandingannya.
Dia menyapaku dari balik Instagram pada suatu malam yang sudah telat. Hey Cindy, nice to know you—begitu isi pesannya. Waktu itu, aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah perlu aku membalasnya atau tidak. Pikiranku terbelah antara mengabaikan saja atau murni memulai pertemanan. Dan aku memilih yang kedua.
Atau, sesungguhnya, sempat aku merasa, kalau hari itu aku melepaskannya, mungkin aku akan menyesal…
Dia bilang dia akan pulang ke Indonesia bulan depan. Perkenalan kami memang baru sebulan lewat media sosial, tapi mengapa kehadirannya memberikan isyarat optimisme, aku juga tidak paham. Aku menganggapnya sebagai tawaran untuk menginterupsi waktu. Dan, tanpa sadar, aku mulai menghitung hari.
"Kamu itu unik, gimana jelasinnya, ya? Aku hanya perlu lihat sekilas dari profilmu, lalu ya muncul aja koneksi emosional itu. Aku mau ketemu kamu. Aku mau tau apa makanan favoritmu. Aku mau kenal kamu lebih dekat, lebih jauh, lebih akrab. Aku suka caramu menulis jurnal, caramu merencanakan segala hal, caramu meromantisasi hidupmu. Aku…belum pernah ketemu orang seperti itu dalam hidupku."
Berikut jawabannya ketika aku bertanya kenapa aku yang dia pilih, di saat ada banyak perempuan lainnya yang lebih baik untuk dikenalinya—pertanyaan semacam itu membuatku sedikit resah. Tapi, sering kali aku merasa skeptis, mungkinkah perasaan semacam ini hanya ilusi yang akan luntur suatu saat nanti, hanya seperti dopping yang memabukkan sesaat. Seperti memesan kue cantik dari balik etalase, lalu menemukan rasanya tidak seenak yang dipikirkan. Dan, dia akan kecewa. Bukankah, pada satu titik, rasa penasaran itu akan berhenti dan menghilang, menyatu kembali dengan oksigen, dan membuatnya merasa utang moral, investasi tenaga, waktu, dan perasaannya selama ini jadi sia-sia?
Aku takut.
Tidak ada yang istimewa dari dia, pada awalnya, sekali lagi aku ingin mengonfirmasi. Tapi, setelah sedikit mengenalnya, ada sebagian hati kecilku yang ingin menyusulnya ke alam abstrak tempat di mana hanya nafas kami yang bisa bertemu. Mari kita piknik, melihat bintang, pergi ke aquarium, main ski, melipat origami, naik kuda… Namun, jika boleh aku memilih satu: aku ingin menyentuh spasi di antara kedua alis tebalnya, atau mencuri waktunya, atau menyita perhatiannya, atau memilinnya masuk ke sel-sel tubuhku agar terjamin keberadaannya selalu.
Dan, satu balasan "Hey, nice to know you as well!" dariku itu kemudian menjadi gerbang untuk sebuah perjalanan baru yang panjang.
"Menurutmu, kita bisa berteman saja, nggak?" tanyanya sedikit ragu. "Kurasa, kita nggak bisa cuma berteman. Kita sudah berpandangan penuh makna. Kita telah meyakini adanya potensi untuk bersama. Lalu, kalau kita cuma temenan, kita pasti akan berhenti ketemu sering-sering dan aku nggak akan bisa tau kabarmu lagi, aku nggak bisa melihatmu seperti dulu lagi," selagi menjawab ini, aku tiba-tiba merasa sedih. "Aku pasti sedih kalau kita pada akhirnya nggak jadi," gumamnya pelan. Mataku bersaput air. "Ya, aku juga."
Kami menghabiskan sisa malam berpelukan. Saling mendekatkan kepala masing-masing seolah ingin mentransfer segala yang tengah dipikirkan. Deru napasnya bergerak lembut dan terasa hangat. Aku tidak ingin menyia-nyiakan hari ini, biarkan aku memeluknya lebih erat, karena setelah ini, sebentar lagi, semua tidak akan lagi bersisa.
Berapa jam lagi, hari akan berganti? Aku tidak ingin menghitungnya.
Aku tidak pernah merasa memilikinya.
Aku sudah memiliki kenangan mengenai pertemuan pertama di bandara, sebuah malam di tepi sungai sambil menyantap jajanan hangat, dua tiket film horor yang membuatku bergidik namun di dekapannya aku merasa lebih aman dari kepompong mana pun, atau percakapan dan hening yang terbagi pada setiap kedai kopi yang kami kunjungi. Itu saja telah cukup—
aku belajar untuk tidak mengharapkan lebih.
I will miss you. See you there. Let's meet again for the first time. I'll be waiting for you—kalimat pendek itu terdengar samar namun tertangkap jelas di pendengaranku, bagaimana satu laki-laki akan meninggalkanku lagi, seperti yang sudah-sudah.
Hanya saja, kali ini, tolong Tuhan, dia berbeda.
Jangan pergi—dua kata itu tertahan di lidahku. Dan, aku hanya sanggup menangis, hingga dia kebingungan, namun dia tetap memberiku ruang untuk mengumbar semua kesedihan.
Besok, dia akan kembali, menjalani perannya seperti sedia kala, karena itu adalah hal yang paling tepat. "Andai saja, aku ketemu kamu dari lama," gumamnya sambil menenangkanku. Maka semakin menjadi-jadilah tangisanku, sebab bentuk cinta yang boleh kumiliki saat ini hanyalah melepaskan dia.
"Kalau…kamu pergi…itu tandanya…aku kehilangan…kamu…iya kan? Terus…kenapa kamu harus…datang…kalau pada akhirnya…kamu pergi…juga?" Dengan sekuat tenaga, aku mengatakan kalimat ini meski harus sesunggukan. Pelukannya yang sedari tadi melingkupi sekujur tubuhku mengendur seketika. Maka bangkitlah ia, meraih wajahku yang kusut dengan air mata dan keringat, menatapku lama, menghapus sedikit demi sedikit air terjun dari mataku.
Pikiranku kembali ke perkataannya waktu itu—aku mau sayang kamu dan aku akan melakukannya di waktu yang tepat. Then, the "right time" was right now.
Dan, di bawah hujan malam itu, di balik tirai yang menyemburatkan lampu jalanan itu, dengan lagu Hati-hati di Jalan yang diputar di belakang itu,
…we kissed.
Semua berlalu seperti biasa.
Dia sudah kembali ke negaranya. Sementara, aku, kembali melanjutkan hidup seperti sebelum ada dia. Ah, aku pasti hanya butuh sedikit lebih banyak waktu untuk terbiasa saja.
Namun, seandainya, dia tahu—dia berutang padaku satu hal; satu kepastian bahwa dia akan tetap baik-baik saja di sana. Dan, aku—meskipun dia ragu untuk memintaku menunggunya—berani menjamin akan tetap ada di sini, menunggunya kembali dengan perasaan yang sama dan sebuah senyuman.
Begitu saja.
Malam itu, malam dimana aku menangis untuk pertama kalinya di hadapan dia, sesungguhnya aku ingin bertanya—yang mana yang lebih baik baginya; pernah bertemu lalu berpisah atau tidak pernah bertemu sama sekali? Karena, aku, tak pernah tahu apa jawabannya.
7 notes · View notes
amelianurhabibah · 8 months
Text
Mengandalkan Allah
Hampir satu bulan setelah masuk asrama aku dan teman" sekamar menjalani hari yang penuh suka dukanya ini.
Pasalnya semester ini aku menjadi salah satu mahasantri yang mendapatkan kamar dilantai 3, plus dikamar terakhir. Musholah lantai 3 emang aku akui menjadi tempat yang paling nyamannnn, karena aku bisa melihat langit secara dekat dan bisa menikmati segala keindahannya. Tapi, aku juga gak pernah ngebayangin, kalau aku bakal dapat kamar dilantai 3.
Tau kenapa?
Karenaaa...
Pertama, harus mengangkat galon. Gk mungkin kuat, 😭 makanya setiap isi galon selalu minta tolong teman yang lain.
Kedua, naik tangganya capek. Apalagi ketika pulang kuliah. Oh lupaaa, jika ada rapat harus mondar mandir naik turun tangga. :(
Ketiga, ini yang paling menyedihkan, air nya mati.
Selama 2 minggu lebih kami menumpang ke kamar tetangga, karena air di kamar mati. Segan bangetttt, ya Allah...
Dalam masalah ini, aku dan teman-teman yg lain memutuskan untuk mengadukan ke kakak musyrifah nya tentang masalah air yang mati ini.
Tapi kakak musyrifah nya juga sudah melaporkan kepihak atasan untuk mengatasi masalah ini, namun kata pihak atasannya, masih menunggu keputusan dari pihak yang lebih atas.
Huaaaa sedih sekaliiii yaaa😭
Akhirnya aku cuman bisa mengandalkan satu satunya dzat yang paling atas. Yaitu Allah.
Gak ada yang bisa aku lakukan selain berdo'a kepada Allah, dan mengandalkan kebesaran-Nya.
"Ya Allah, amel minta tolongggg nyalakan air nya yaa.. Soalnya segan jika setiap hari harus pergi ke kamar tetangga "
Ngaduuuin terusss ke Allah..
Benar benar mengandalkan Allah, karena gak ada yang bisa menghalangi apapun jika Allah sudah berkehendak.
Tepat hari ini, Allah hibur hatiikuuuu 🥹
MasyaAllah Tabarakallah, airnya nyalaaa...
Allah datangkan para teknisi untuk memperbaiki masalah yg ada. Alhamdulillah Alhamdulillah Alhamdulillah...
Kami sekamar benar" bersyukur.
Akhirnya kamar sendiri ada airnya...
Allah baik bangettt 😭 makasiii banyak ya Allah..
Aku percaya, apapun itu. Jika Allah yang kita handalkan, insyaAllah pasti ada kemudahan nya.
🩶🥹
25 notes · View notes
bersuara · 3 months
Text
Permasalahan yang sering dihadapi orang yang berkacamata adalah sering lupa menyimpan kacamata di mana. Aku yang suka lupa ini sering banget dibikin muter-muter disatu tempat sambil mengingat "Perasaan tadi aku taro kacamatanya di sini, tapi ngga ada" begitu terus sampai akhirnya bisa ketemu.
Begitu pun kejadian barusan, aku lagi-lagi lupa taro kacamata di mana. Perasaan tadi sore aku main ke rumah Tante pakai kacamata, terus pas selesai magrib nganter pesenan Tante juga pakai kacamata. Pas pulang ke rumah, aku baru ingat kalau sedari tadi ngga pakai kacamata. Alhasil mundar-mandir cari kacamata di mana sampai akhirnya balik lagi ke rumah Tante dan hasilnya nihil.
Sudah pasrah kalau kacamata beneran hilang, mungkin untuk beberapa saat penglihatanku sedikit terbatas. Akan butuh setidaknya paling cepat satu Minggu bisa ganti kacamata. Sudah tahap pasrah, pas masuk ke kamar, akhirnya aku menemukan kacamataku tergeletak tak berdaya di lantai kamar. Rasanya, ingin mengumpat sambil menertawakan diri sendiri.
Berakhirlah drama mencari kacamata di malam ini, namun aku tidak bisa berjanji drama semacam ini tidak akan terulang kembali. Karena aku benar-benar se pelupa itu.
- 11 Februari 2024
9 notes · View notes
Di akhir pekan kita menyempatkan waktu untuk bertemu atas dasar rindu dengan cinta yang sudah semu.
Hari itu, kau yang memesankan teh sesuai janjimu pada masa yang lalu hingga terlalu lama tidak disajikan jua.
Sementara potongan kue krim itu sudah aku habiskan sebelum mendengarkan bait kata memuakkan.
Peladen mondar-mandir tak terhitung, kau tak kunjung menanyakannya. Dingin sudah, kini kita hanya bisa sama-sama saling meratap.
jangan kau hitung persoalan pengorbanan, kehangatan hilang, harapan musnah, mimpi raib, dicuri waktu dan kesempatan sia-sia
bagian hidupku berkenalan denganmu, ini sebenarnya elegi atau komedi?
8 notes · View notes
rumelihisari · 1 year
Text
Hal kecil yang berkesan
Minimarket di tempat ini adalah mini market yang pertama kali aku kunjungi. saat itu usia ku masih 12 tahun, duduk di kelas 1 SMP semester 2, tahun 2012 silam.
saat itu aku mengikuti pelantikan OSIS baru yang kegiatannya diadakan di tempat wisata suku Baduy, Banten. jarak dari rumah kurang lebih hanya 40 menit saja. tapi bagiku yang amat sangat jarang bepergian, dulu jarak itu sangat terasa jauh. berbeda dengan sekarang yang mungkin aku sudah menghirup udara kota—sering merasakan jalan yang mulus, tidak banyak lubang atau bebatuan, sehingga perjalanan lancar. jarak perjalanan yang ditempuh 1—2 jam bagiku sekarang terasa sangat dekat.
pergi ke tempat wisata Baduy dan jajan di minimarket pada saat itu adalah dua hal yang pertama kali dirasakan dalam satu waktu setelah biasanya aku hanya mendengarkan cerita dari teman-teman.
kesannya memang agak norak, tapi, ya, mungkin memang begitu faktanya. desaku memang jauh dari pusat kota. tidak ada minimarket atau semacamnya. apalagi aku amat sangat jarang pergi kemana-mana, bisa sekolah di Smp dekat kecamatan saja rasanya aku seperti melihat sebuah kehidupan kota. padahal hanya ada beberapa agen warungan dan warung kopi biasa. yah, saking kentalnya suasana desa dan jarang bepergian ke mana-mana.
saat kegiatan pelantikan osis kala itu, bapak membekali ku uang jajan sebanyak 15 rb. saat hendak memasuki ruang minimarket itu, aku sempat takut nggak bisa ngebuka pintu. saat masuk, pun, aku benar kelihatan noraknya—mondar mandir mengelilingi seluruh rak yang tersedia—sesekali melirik harga jajanan yang tertera karena menyesuaikan dengan uang yang kubawa.
bagi orang lain, memasuki minimarket mungkin hal biasa. tapi bagi ku saat itu, bukan sesuatu yang biasa. pun sekarang aku merasa biasa, bagi beberapa anak-anak dan tetangga ku di kampung halaman tercinta, barangkali rasanya sama dengan perasaan yang kualami saat itu.
momen ini kuambil siang kemarin saat berteduh dari terik matahari sehabis mengunjungi wisata baduy bersama suami. tentu kuceritakan pengalaman-pengalaman udik itu pada suami yang memang sedari kecil tinggal di kota. yang pada akhirnya diskusi kami selalu selalu menemukan ujung, "pada akhirnya, kemajuan berfikir sebagai muslim itu bukan ditentukan dari mana asalnya, tapi mau atau tidak mengkaji Islam dari akarnya"
—Rum yang bersyukur telah Allah beri pasangan seperti mas Rey (nama suamiku)
Tumblr media
7 notes · View notes
salmonmentai · 7 months
Text
Bosan dan Perenang Handal
Tumblr media
Foto city center yang kuambil saat pertama kali kulihat di siang bolong. Saat itu, aku mengagumi bagaimana pembongkaran bangunan tidak dilakukan demi melancarkan kegiatan komersial. Saat itu, aku belum tahu bahwa aku bisa bosan dan muak melihatnya. "Yaampun, perempatan ini lagi. Huek!"
Hai! Selamat malam dari meja belajarku. Selasa lalu, hujan deras mengguyur Aarhus. Amin memperlihatkan rentetan video banjir di mana-mana, bagaimana air hujan menggenangi basement, dan bahkan menyebabkan sebuah pintu toko terhalang banjir hingga tidak bisa dibuka. Aku sendiri, karena hari itu harus ke city center dengan bus kota, menyaksikan bagaimana air membanjiri jalan dan hampir masuk ke dalam bus. Sambungan di antara bus berguncang kencang, lantai bus basah kuyup, aku kehilangan wadah jas hujanku di tengah hujan itu. Kata Anastasia, mungkin hujan seperti ini hanya terjadi setidaknya dua kali dalam setahun. Tapi di mata orang tropis, hujan yang katanya deras ini tentu adalah hujan pada umumnya yang bahkan bulir airnya berbunyi “pletok!” kalau kena kap mobil. Bulir yang besar dan turun dengan kencang.
Dari bus kulihat bulir-bulir air hujan yang hampir tidak kelihatan itu diam-diam bisa bikin banjir. Sungguh telaten, pikirku. Mungkin bulir pertama yang turun tidak pernah tahu bahwa setelah setengah hari ia akan jadi bagian dari banjir, tapi dia tetap turun betapa pun ini sudah kali ke-350juta dia sudah terdaur ke laut, menguap dan turun lagi tanpa alasan yang jelas, menguap dan turun lagi tanpa alasan yang jelas. Tidakkah dia bosan? Sementara aku yang keluar rumah, jalan, mondar-mandir naik bus, kemudian masuk rumah lagi saja, merasa bosan. Aku belanja, menyimpan makanan, lapar, masak, makan, cuci piring, lapar lagi, makan lagi, lalu merasa bosan. Buka laptop, buka catatan, ditutup lagi, dibuka lagi, ditutup lagi, lalu merasa bosan. Bosan terdengar sebagai keluhan yang manja, ya?
Tapi kukira, kemewahan juga untuk bisa merasakan bosan, karena di saat lainnya aku tidak sempat mengakui kebosanan itu dan terus bergerak di pusaran rutinitas yang tidak ada hentinya. Sehingga berhentinya rutinitas itu jadi kunanti-nantikan. Lalu ternyata hidup terus berjalan dan aku bosan lagi. Kalau semua rutinitas kuhentikan demi agar merasa tidak bosan, lama-lama aku tidak makan dengan alasan bosan. Kemudian aku akan merasa lapar terus dan jadi bosan. Yaampun, bosan ada di mana-mana!
“Is routine really boring, or is it on you that you get bored?” tanya bulir air hujan yang mampir ke jendela bisku. Oke, ternyata bukan salah bis kota, dapur, laptop, dan kamarku bahwa aku merasa bosan. Maaf, ya, sudah mengkambinghitamkan kalian.
-
Kenapa, ya, aku jadi bosan? Semuanya terasa bosan mungkin karena semuanya monoton. Pergi ke city center diselesaikan dengan naik bis dan semua selesai. Tidak ada kebaruan dalam rutinitas ke commuting itu sehingga aku menurunkan kewaspadaan kepada semua yang terjadi di jalan, dan tiba-tiba semuanya terjadi begitu saja. Aku berangkat dan sampai. Kupelototi jalanan, menuntut jawab apa yang bisa dia berikan untuk memberi rasa dalam hariku yang mendung. Hal-hal yang practical, survival, memang sepertinya tidak punya rasa. Tapi sehari-hari kutelan saja karena butuh, jalanan ini kutelan karena aku butuh sampai di tujuan.  Hambar. 
Tentu juga tidak ada purpose yang bisa di-install ke dalam perjalanan yang monoton ini. Tentu terus menerus naik bis kota tidak akan membuatku jadi perenang handal, misalnya. Tidak ada skill yang bisa diraih dari tiap hari naik bus ke city center. Tidak juga ada kebaruan yang bisa di-install ke dalam perjalanan yang berulang ini. Tentu tiap city center ini wujudnya sama. Ada retail burger yang sama di situ, stasiun di sebrangnya, swalayan asia di sisi lainnya… begitu terus setiap hari. Tidak bisa kuminta besok ada sapi di pinggir jalannya sehingga perjalanan city center jadi spektakuler. Toh kalau di city center tiap hari ada sapi, aku juga akan bosan. Begitu juga kalau city center dimuseumkan, toh kalau tiap hari itu aku ke museum, aku juga akan bosan dan tidak merasa spektakuler lagi. Lalu bagaimana aku bisa tidak bosan berangkat ke city center, ya?
“This might be similar to practicing drumming. You’re made to practice bass drum patterns only, day after day. Then you spend days on just the cymbals. Then just the tom tom…Monotonous and boring for sure, but once it all falls together you get a solid rhythm. In order to get there you have to stubbornly, rigorously, and very patiently tighten all the screws of each individual part. This takes time, of course, but sometimes taking time is actually a shortcut. This is the path I followed in swimming, and after a year and a half I was able to swim long distances far more gracefully and efficiently than ever before.” - Haruki Murakami ketika bicara tentang latihannya menjadi perenang yang handal.
Kalau memang aku tidak bisa berbuat apa pun pada jalanan yang sama itu, mungkin aku cuma bisa menjalaninya dengan telaten saja. Mungkin ada yang bisa diraih dari tiap hari naik bus ke city center, tapi aku tidak akan menyadarinya sekarang. Kalau aku sabar sedikit lagi, mungkin akan menemukan jalanan yang membosankan ini dalam ritme hari-hariku, minggu-mingguku, bulan-bulanku, dan tahun-tahunku. Naik bus kota tiap hari tidak akan menjadikanku perenang handal, tapi mungkin bisa menjadikanku perenung yang lebih baik.
2 notes · View notes
funinspring · 1 year
Text
Segelas Air Putih
Siang itu akan ada pertemuan penting. Aku menghentikan mobilku di sebuah restoran yang katanya semua menu enak. Aku matikan kemudi, kuparkirkan mobilku. Aku turun dari mobil dan berjalan ke arah restoran itu. Aku membuka pintu dan ku lihat antrian pelanggan cukup panjang. Seluruh kursi hampir penuh dengan orang yang berbincang ditemani makanann dan minuman pesanannya. Aku hanya menelan ludahku melihat semuanya. Aku haus, dan walaupun aku bisa membeli hampir semua menu dengan uangku, aku hanya ingin menghilangkan rasa haus ini. Akhirnya aku tertuju pada meja dengan dua kursi nomor 8 yang masih kosong. Aku setengah berlari menuju meja itu supaya tidak ada pelanggan lain yang lebih dahulu mendudukinya.
Beberapa detik kemudian aku sudah duduk di kursi, ku tatap menu di depan ku. Pantas restoran ini ramai, semua menu ada dari yang tradisional, western, modern, semua ada. Sekali lagi aku menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum memesan. Ramai, antrian belum berkurang. Tidak ada pelayan yang tidak sibuk saat itu. Baiklah karena aku haus, aku memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat memberikan pesanan di meja sebelah. "Maaf, bisa saya pesan air putih saja? Saya haus sekali, dan sepertinya kalau saya pesan yang lain saya akan menunggu lama dan kerongkongan saya akan kering." Pelayan itu mengangguk. Tidak lama segelas air putih di hidangkan di depan mataku. Aku haus. Setelah berdo'a langsung ku teguk air itu. "Aaaahh... Akhirnya" kataku lega. Aku puas dengan air putih yang ku pesan. Aku duduk dan menunggu seseorang yang akan datang di pertemuan siang itu.
Aku lihat pria muda berbaju kotak-kotak meneguk es pesanannya yang berwarna merah, ah pasti rasanya manis dan dingin. Aku lihat lagi wanita setengah baya mengangkat gelasnya yang berisi cairan hijau dengan agar-agar di dalamnya, rasa melon dan kenyal fikirku. Kemudian Aku menatap segelas air putih di depan ku. Air itu hambar. Air itu bening dan tidak ada rasa.
Semenit lalu aku sangat bersyukur meneguk air itu, aku haus dan dia yang menyelamatkan kerongkonganku dari kekeringan. Aku berfikir akan memesan es yang bertuliskan favorit di menu, namun kuurungkan. Semua pelayan masih sibuk mondar-mandir mengantarkan pesanan.
Tiba-tiba aku berfikir, kenapa tidak ku pesan saja sirup tambahan, gula cair, dan ku tambahkan es batu kedalam gelas air putih ini?. Kenapa aku merasa kurang bersyukur dengan air putih yang hambar ini? Bukankah semua minuman asalnya dari air yang hambar ini?. Aku tersenyum karena fikiranku.
Aku lihat sekeliling, aku mulai membandingkan. Air putih didepanku baru kuteguk tidak sampai setengah. Belum terlambat jika aku menambahkan gula agar dia manis. Belum terlambat juga untuk ku tambahkan sirup agar dia berwarna. Dan sentuhan terakhir kutambah es batu agar minumanku terlihat segar. Kenapa aku berfikir untuk memesan minuman yang baru walaupun aku mampu?. Ternyata aku hanya ingin tetap pada pilihanku, yang pertama datang dan menghilangkan kehausanku di siang hari yang terik itu. Segelas air putih itulah takdirku, diantara menu-menu yang bisa ku pesan, segelas air itu yang saat itu bisa dengan cepat disajikan restoran di hadapanku. Aku tersenyum.
Pintu restoran terbuka, orang yang kutunggu untuk pertemuan siang itu telah tiba. Dia tersenyum begitu membuka pintu dan melihatku sudah mendapat tempat duduk. Aku balas senyuman. Dia menghampiriku, dan duduk di kursi kosong di depanku. "Kenapa hanya memesan air putih? Di sini banyak menu yang lain yang bisa dipesan, rasanya semua enak." Katanya kepadaku. Aku menjawab, "Air putih ini takdirku, dia yang tersaji saat aku sedang haus-hausnya".
"Menunggu lama dan hanya pesan air putih? Kamu lucu." Katanya lagi. "Yaa hidup terkadang lucu, selucu pertemuan ini. Selucu kau yang hadir dan menjadi istriku. Terkadang aku merasa hambar, namun sama dengan segelas air putih itu. Kamu yang hadir dan menjadi takdir. Ternyata aku akan selalu dan akan tetap memilihmu. Dan kamu yang akan selalu menjadikan semuanya lengkap, minum air putih" kataku sambil menatap matanya. "Jadi cuma akan pesan air putih nih? Kita pulang ke rumah saja kalau begitu" katanya kesal. "Tidak, kita akan pesan yang lain tentu saja, kamu mau apa? Pesan saja semua yang kamu mau" Kataku lagi. Inilah hidup, akhirnya aku memesan menu lain, namun menu itu ku nikmati bersama. Yaa... tentu saja bersama dengan dia dan tentu saja segelas air putih yang menghilangkan dahaga.
8 notes · View notes
asrisgratitudejournal · 10 months
Text
Mean
*Ini titlenya mean as in “jahat” ya, bukan mean average…. Tadinya mau bikin judulnya “thrive” tapi kayanya lebih tepat untuk mendeskripsikan otakku yang cara kerjanya aneh dan jahat ke diriku sendiri…
Kemarin tepat jam segini (18:21) lagi pusing-pusingnya bikin slide untuk Goldschmidt terus udah stuck banget akhirnya setengah jam kemudian langsung ngirim email aja ke Tamsin dan Joost sambil mikir: “AH tau ah, masa bodo amat jelek juga bye.” Arum juga udah ngeliat komputerku sih sebelum dia pulang kemarin pas ku lagi ngerjain slide dan bilang “udah ok kok Non”. Tapi ya namanya otak jahat kena impostor syndrome selalu aja mikir “ini tu jelek Non, this is NOT GOOD enough.” Salah w juga sih, untuk reference ngambil slidenya Emily Mason anak PhD di Cambridge pas dia EGU2020. Ni w tampilin visualnya yang amat sangat bagus:
Tumblr media
Pusing gak u…. while slide w betul-betul kosongan, gatau mau bahas apa..
Anyway, yaudah kan, pokoknya tu ngirim email jam 19 lewat dikit, ku-screenshot promptnya ku-pos di instastory (gatau buat apa, tapi kayanya mah ya emang pengen caper aja, gatau ke siapa juga). Eh terus lagi asik-asik nonton apa ya kemarin, youtube aja kayanya, buka hp ada email jam 22. Tamsin bales dan first comment: “This looks very nice.” HUHU JUJUR MAU CRY RASANYA. Slide yang sampah itu dibilang bagus sama Tamsin. Tamsin ngasih komen in each slide gimana supaya lebih bagus. Terus tadi pagi jam 9/10 juga Joost nimpalin: “As Tamsin said, this is great.”
Kayanya ini ku yang kurang words of affirmation pas jaman kecil apa gimana sih. Tapi beneran pas dikasih compliment tuh langsung yang “OHMYGOD Non, well done. Ternyata u ga bodoh-bodoh amat. You did well.” Emang otak w aja dasarnya yang jahat dan mean to myself!!! Compassionnya gaada samsek. Ini gatau datangnya dari mana tapi ya balik lagi berkali-kali ku menemukan fakta bahwa kultur Asia dan Indonesia aja yang aneh mikir kalau Tough love is the best way to make people thrive, which, in fact, is wrong.
Terus yaudah sih inti dari pos ini adalah: lagi-lagi: be kind to people. You never know what they’ve gone through, hari mereka gimana hari itu, lagi capek atau nggak, dsb. Being kind and giving good words sudah terbukti efektif (untuk diriku sendiri) bisa membuat ku berkembang dan jadi lebih baik. Kalau dikasih compliment tu otak mikirnya “OK, I can do better than this so I get more compliments” Nagih.
Hari ini ku capek banget tapi. Pagi kelas pelatnas dari 9.45-11.45 dan ku ber-ide ngesplit kelas: sejam buat mereka ngerjain exercise, while aku mandi dan otw ofis, terus sejam lagi bahas diskusi di ofis. Lalu tebak apa yang terjadi? Pas ku lagi di ofis, BANYAK banget interupsi: Joost dateng jam 11.20 bawa coffee, dia mau run through the slides, Hugh juga dateng bawa print-an abstract manuscript karena dia menemukan keanehan, Arum nyamperin tepat 11.45 karena kami udah janjian buat jalan ke Exeter buat lunch, untungnya si Bram lagi mondar-mandir aja dia cuma ngerjain experiments kayanya. Minta maaf sekali untuk teman-teman yang pelatnas tadi karena sangat tidak kondusif suasana diskusinya for the latter half.
Terus lunch di Exeter. Cuaca Oxford these past 2 days SUCKS. Untungnya tapi ga hujan sih, dingin aja tapi ga basah. Menunya Shepherd’s Pie with lentil sama tadi ambil coleslaw salad. Not bad. Tapi mayan upset karena betulan ditanyain berkali-kali kalau students atau bukan dan udah booking atau belum. Ini gara-gara Oxford pas summer time emang udah running different business aja sih. Colleges terutama, betul-betul bukan lagi berperilaku seperti part of the university, melainkan udah jadi BnB dan host untuk summer school. Semua ini juga kelihatan sekali di hampir semua corner di Oxford hari-hari ini isinya groups of students (little students as in secondary school age atau high school age) jalan dengan SANGAT PELAN, dan blocking the trottoire. Students ini si peserta summer schoolnya. Tadi Arum cerita, dulu Kalina juga pernah cerita sih tapi lupa, dia ngecek harga yang dibayar oleh students ini untuk bisa ke Oxford ikut summer school ini katanya mayan mahal. Bentar googling dulu.
Tumblr media
£5995 for two weeks… dan itu masih “starts from”… ku-convert ke IDR kira-kira 115 juta rupiah… pasti belum termasuk tiket pesawat, visa, etc. Dah stres… Tapi ya yaudah namanya juga ada marketnya ye, kalau ada yang beli mah kenapa tidak. OH ini makanya kenapa ye si college getol banget nge-service mereka, karena dapet duit banyak juga kayanya si Dining Hall…
Iya intinya tapi mayan kesel mau makan di kantin sendiri aja diinterogasi berkali-kali udah kaya abis mencuri hiks. Ini pun ku masih bisa makan di college juga setelah kemarin ngemail kitchen booking untuk 2 orang. Kalau dadakan langsung dateng ke college gaakan dikasih masuk kali.
Iya terus balik dari lunch ku duduk-duduk, ngabarin ke Joost dan Hugh kalau ku sudah di ofis, dan mereka pun datang. Joost dateng jam 14 kayanya, bahas ngobrol setengah jam terus di saat bersamaan Hugh datang juga, mayan RAMAI ya ofis w. Tapi akhirnya Hugh bilang nanti balik lagi aja kalau gitu. Terus setengah jam setelah Joost cabs Hugh balik lagi. Duduk bahas-bahas Goldschmidt dsb, dia nanya dong “lo butuh visa dong” “iya huhu makanya ku sudah buat dari February…” jujur sucks, bahas betapa mahalnya harga tiket kereta vs pesawat, terus pergi, eh terus tapi dia dateng lagi yang kedua dengan laptopnya nanya “ini teh maksudnya apa ya”, ku mau bilang “di relative depth 50m” tapi ku tulisnya “in 50m” jadi dia bingung. Tapi tetep baik banget sih orang-orang huhu.
Abis itu setengah jam kayanya mikirin gimana caranya ke London Stadium Sabtu buat nonton The Weeknd Sabtu nanti. IN which I just REALIZED: ku bakal pulang malem banget itu Sabtu, mungkin bakal baru sampe rumah jam 2 lagi kaya waktu nonton Beyonce (semoga nggak sih, jam 1 kaya pas nonton Chris Hadfield lebih preferable), dan besoknya Minggu ku harus ngejar pesawat jam 10 pagi di Luton. Yang adalah ku harus berangkat dari rumah ke Gloucester Green jam 6 pagi. AAAAAAAAAAAAAAAAA. Planning yang sangat bagus, Non. To be fair, ku tapi emang udah beli tiket The Weeknd dari 1 Desember 2022…. Dan baru tahu ada Goldschmidt (atau akan berangkat Goldschmidt) 19 Januari 2023…. A month later…. Jadi, siapa yang salah coba LOL. Not me trying to mis-prioritizing important stuff in my life. Cukup lega sih tapi waktu itu beli The Weekndnya yang 8 July bukan 9 July karena pusing juga kalau overlap…
Terus yaudah jadi tadi sorting out apa-apa aja yang harus di-print, beli tiket kereta dari airport di Lyon ke hotel return, bikin akun di provider busnya Lyon supaya receiptnya bisa di-print etc.
Nyempetin setengah jam-sejam buat get back to the slides tapi asli udah JIJIK banget gapengen kerja lagi. OH! Sempet ngerjain manuscript juga dikit, like 15 mins, karena kemarin jam 10 tiba-tiba Erdem ngemail ngajak ketemuan over coffee terus dia bawa coret-coretan manuscript dengan komen “Ini introductionnya panjang juga ya dan kemana-mana, coba dipendekkin” terus yaudah… plus tadi pagi juga Tamsin ngemail nanya ada latest version ga setelah diskusi sama Erdem, soalnya dia mau baca ni draft “while in train in a few days”. Jadi, yaudah barusan ngerapiin itu dulu dikit. Deleteing a few sentences, moved some paragraphs around, terus baru jam 17 tadi ngirim latest version ke Tamsin and Joost.
BROOOOOH BARU SELASA TAPI KENAPA udah ngerasa capek banget banyak banget yang dikerjain HUHU. Gapapa tapi Non, it’s okay, pelan-pelan aja. Mending pusing karena ngerjain banyak daripada pusing karena ga ngerjain apa-apa saking overwhelmednya terus feel guilty beating yourself up!
Ini sekarang mau shutdown komputer dan makan dinner di Tse Noodle sama Iris, dia running late katanya masih di Zara, dan begitu juga saya (akan running late). Dah gitu dulu aja deh curhatan rekapannya. Kemarin weekend nggak melakukan hal yang berarti selain ketemu Mas Rezky dan main ke rumah Marcell. Minggu ku ngapain ya… ga ngapa-ngapain kayanya… di rumah doang dan ke Sainsbury beli tissue toilet. Wow. OH!!! NONTON FANMEETING STRAYKIDS DENGGGG. Sangat bagus dan seru dan worth it.
Yaudah tapi itu dulu aja for now. Duh sebetulnya ada cerita lagi terkait beef-ku dengan Pak Joko aneh banget dia minta ku ngisi kelas pelatihan guru selama 2 jam di jam 8-12 WIB yang adalah jam 2-6 AM di waktu-ku, ya jelas-jelas kubilang gabisa lah!! Eh dia insist: “kan cuma sekali saja, tidak setiap hari, bisa lah ya….” BUSET. DAH STRES JUGA EMANG. So far, ku berhasil negotiate dan meyakinkan beliau bahwa ku gabisa, tapi beliau minta pengganti, jadi ku lagi mikirin dan kontak siapa yang kira-kira bisa ganti. Huft. Ada-ada aja hidup.
Dah itu dulu deh ya. Byea. Have a good week everyone!
30.18 18.57 04/07/2023
3 notes · View notes
msstrsr · 1 year
Text
Tumblr media
Bab 6: Labirin
Chia terbangun dengan peluh membasahi dahi, leher serta tengkuknya. Mimpi yang membuatnya tidur tidak lelap. Ia mengerjapkan mata, memulihkan kesadaran diri. Pikirannya justru melayang kepada Satya.
Diraihnya ponsel di bawah guling, dicarinya kotak pesan Satya. Chia menuju pesan satu minggu sebelum hari akad. Ia mencermati setiap balasan pesan dari Satya. Calon suaminya itu benar-benar rapi menyembunyikan fakta. Tak ada balasan pesan yang janggal atau membuat curiga. Chia kembali merebahkan tubuhnya. Rasa kantuk segera menyergap kembali.
***
Pagi hari setelah membuka bengkel Pram datang ke rumah eyang—tempat tinggal Chia. Ia tidak sendiri ada Iko bersamanya.
"Silakan masuk," kata Chia begitu melihat tamunya telah datang. "Eh, Iko juga?" 
"Kebetulan datangnya barengan. Ini antar makanan dari ibu," jelas Iko seraya menyerahkan rantang makanan. 
"Kok repot-repot, sih?" Chia menerima rantang dengan sedikit keberatan.
"Kamu juga nggak mungkin masak," celetuk Pram. 
"Terima kasih, Iko. Nanti kalau longgar, saya mampir ke rumah." Chia menutup percakapan di teras. Iko pun segera berlalu menuju bengkel.
***
Selesai menyantap sarapan. Chia membuka diskusi memecahkan kasus hilangnya Satya. 
"Aku sudah baca surat ini berulang kali. Tapi nggak nemu petunjuk," gerutu Chia.
Pram meraih surat dari tangan Chia. "Dari pilihan kalimat dan tulisan tangannya kamu nggak merasa aneh?"
Chia menggeleng. "Dia selalu serapi ini kalau nulis?" 
"Dia memang punya tulisan tangan serapi itu. Soal kalimat atau bahasanya, ya, memang begitu," ujar Chia. 
"Keluarganya gimana? Sudah dapat informasi keberadaan Satya atau mereka mau lapor polisi?" tanya Pram penuh selidik.
"Belum ada informasi apapun. Aku rasa mereka nggak akan gegabah untuk lapor polisi. Kalau benar Satya pergi dengan sendirinya, fakta itu bakal mencoreng nama keluarga Wicaksana. Sekarang sih sudah," ungkap Chia. Tadi sebelum Pram datang, Chia mengirimkan pesan lebih dulu ke Mama Satya. Jawabannya seperti tempo hari: tidak ada kabar dan tidak lapor polisi.
"Kenapa keluarga Wicaksana?"
"Maksudnya?"
"Maksudnya, keluarga Wicaksana terpandang?"
"Oh. Cukup terpandang. Ayahnya Satya punya bisnis furnitur yang sudah ekspor ke luar negeri. Rekan bisnisnya banyak. Di lingkungan rumah juga disegani tetangga," jelas Chia.
Pram yang sedari tadi mengamati surat Satya dan bertanya ini itu sambil mondar mandir akhirnya duduk di lantai. Ia menyalakan laptop Chia yang menganggur di atas meja.
"Mau apa?"
"Kamu sudah lacak perangkatnya atau nomor handphonenya?" pandangan Pram fokus ke layar laptop yang masih proses booting.
"Nggak ada hasil. Perangkatnya nggak tertaut di ponselku. Nomornya mati sejak dia hilang. Mana bisa dilacak kan?" ada nada putus asa dari jawabannya.
"Email?"
Chia tampak berpikir sesaat. "Ah, iya, email. Kok aku nggak kepikiran," decaknya gemas. Namun sekian detik berikutnya saat membuka email di ponsel ia tersadar sesuatu. "Aku nggak pernah kirim email ke Satya."
Pram menghentikan kesibukan jemarinya di antara tuts keyboard. Ia memberikan ekspresi keheranan yang disambut senyum datar Chia. 
***
Ruangan ini luas namun minim cahaya. Lembab dan bau apak. Langit-langitnya penuh dengan sarang laba-laba. Ada meja dan kursi yang sudah lapuk di makan usia. Botol-botol bir berwarna hijau berserakan di lantai dan di meja. Bungkus makanan kosong ataupun yang masih ada sisa tergeletak di kursi menjadi sasaran kawanan semut.
Tepat di bawah lampu, ada dua buah kursi berhadapan. Ada seseorang duduk di salah satu kursi dengan kaki dan tangan terikat. Semakin mendekat, terlihat wajahnya yang lebam akibat pukulan. Kepalanya tertunduk lunglai. Pakaiannya lusuh.
"Sudah empat hari nggak mau ngaku. Dipukul berkali-kali nggak mampus juga," sebuah suara nyaring memecah keheningan.
"Lima hari, bodoh! Jangan sampai dia mampus. Kasih makan," suara berat menyahut. 
"Ada kabar Arga?" tanya suara berat. Tak ada jawaban mengartikan tak ada kabar.
"Heh! Mau sampai kapan kau mengelak?! Kawan tololmu itu nggak akan balik. Semakin kau melawan, semakin remuk badanmu." suara berat mengancam orang yang duduk terikat di kursi. Ditariknya rambut orang tersebut dan ditepuk kepalanya dengan kasar.
"Apa perlu kirim pesan ke keluarganya, Bos?" tanya suara nyaring. Dijawab gelengan oleh suara berat.
Orang itu adalah Satya. Ia masih bertahan meski telah lebam wajah dan tubuhnya. Nama yang disebut suara berat tadi adalah penyebab kekacauan yang dialaminya. Ia terpaksa pergi meninggalkan surat perpisahan tepat di hari akad karena gerombolan preman ini. Mereka adalah debt collector yang dua minggu terakhir mengejarnya karena namanya tercantum sebagai penjamin hutang milik Arga. Sial benar nasib Satya.
Surat dalam amplop biru itu ditulisnya dengan ancaman dan desakan para debt collector. Saat itu Satya berniat menemui mereka untuk mengulur waktu, tapi justru diculik. Di dalam mobil ia menuliskan surat itu dengan berat hati. Entah bagaimana surat itu sampai ke Chia, ia tidak tahu. Selesai dengan suratnya, ia mendadak pening dan jatuh pingsan.
Selama lima hari Satya bertahan dan berharap cemas tetap selamat. Jika teringat liciknya Arga ia menggeram kesal. Arga adalah kawan terdekatnya sejak kuliah. Sudah dianggap seperti saudara sendiri. Nasib baik mempertemukan mereka kembali di kantor yang sama, sebuah bank swasta. Tiga tahun bersama sebagai rekan kerja berjalan dengan baik. Prestasi Satya dan Arga cukup bersinar sebagai pegawai junior. Sayangnya, memasuki tahun keempat perilaku Arga mulai mencurigakan. Sampai enam bulan lalu, Satya mengetahui yang sebenarnya. Arga terlibat kecurangan terhadap tabungan milik nasabah. Awalnya ia menasehati kawannya agar berhenti melakukan tindakan tersebut. Tetapi tidak digubris. Tindakan yang sama terus berulang. Timbul niatan Satya untuk melaporkan ke atasan. Setelah melalui perdebatan dalam dirinya, Satya memilih menyelamatkan nasib nasabah.
Tak lama setelah melaporkan kecurangan Arga secara anonim, Satya mengajukan pengunduran diri. Proses laporannya terbilang cepat direspon. Bahkan lebih cepat dari keputusan resign dari HRD. Tindak lanjut atas laporannya berbuntut pada pemecatan Arga. Selang dua hari dari pemecatan Arga, Satya mulai diteror nomor tidak dikenal. Itulah awal mula mimpi buruk Satya.
Arga manusia licik dan pengecut kabur dari tanggung jawab ganti rugi serta pelunasan hutang pinjaman online. Ia sekarang menjadi buron polisi atas kasus penipuan nasabah. Debt collector juga mengincarnya. Tetapi terselamatkan karena kini Satya sebagai penjamin yang ditawan.
"Saya sudah bilang berkali-kali, saya dijebak Arga. Cari dia bukan saya. Sumpah saya nggak tahu apa-apa," kata-kata yang sama keluar dari mulut Satya yang luka. Sudut bibir kanannya robek. Ada bekas darah kering di sana. Pukulan kembali mendarat di perutnya.
***
"Teman Satya nggak ada yang bisa kasih petunjuk?" Pram kembali menyelidik.
Chia kembali mengamati setiap pesan dari teman Satya. Ada satu nama yang hampir terlupakan olehnya. Saat ia mengecek pesan ke orang itu, pesannya centang satu sejak Satya hilang.
"Pram, jangan-jangan ada hubungannya sama orang ini?" Chia menunjukkan pesannya. Mereka pun saling pandang.
6 notes · View notes
putrhanna · 2 years
Text
Kadangkala pertanyaan pertanyaan seperti mengapa kamu sebegitunya kpd dakwah? Lebih mementingkan orang lain ketimbang dirimu sendiri, waktumu habis cuma karna ngajakin orang buat ikut kajian lalu mondar mandir sana sini bagiin buletin yg isinya belum tentu dibaca orang?
Hmm, kadangkala pikiran² kek gitu memang pernah terlintas di benakku, capek, lelah, buang waktu, tenaga, harta, bahkan pas nyampe rumah kaki tuh udah bengkak dan ngk bisa diajak kompromi lagi buat jalan.
Entahlah, letihku terbayar sudah tatkala Allah bilang " wahay jiwa² yg tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yg ridha dan diridhai Nya, masuklah kedalam golongan hamba²ku, dan masuklah kedalam syurgaKu".
Bagiku, seruan ini seperti oase di Padang pasir. Menyejukkan.
Keinget lagi bahwa dunia ini mmng tempatnya berlelah², tempat kita hidup kemudian mati, tempat kita menanam amal lalu dipanen dikemudian hari, dan tempat kita akan dibangkitkan kembali.
Intinya, ngk ada kata capek sih klw semuanya lillah. ♡♡
11 notes · View notes
gladiollsusi · 11 months
Text
Pagi pagi udah mondar mandir kesana kemarin ngurusin berkas.
Ada banyak cemas nya juga sih. Karena banyak bener yang mau diurus.
Mikirin tanda tangan persetujuan yang belum kelar dari mitra. Lembar pengesahan yang juga belum ditandatangani sama pihak yang berkepentingan. Padahal harus dijilid dan dikumpul hari ini.
Juga masalah lain yang belum kelar.
Ini pun lagi di tempat mitra. Nungguin pihak mitra untuk tandatangan persetujuan.
🥹🥺
Emang benar ya, gak ada rezeki yang datangnya tanpa perjuangan.
Tetap harus jungkir balik.
Dahlah, mari kita selesaikan satu persatu.
Semoga ditolong banyak banyak sama semesta.
2 notes · View notes
ikakuinita · 1 year
Text
Persepsi
Beberapa minggu belakangan, saya dan suami sering sekali ke Gramedia. Biasanya cuma bawa pulang satu buku. Setelah habis kubaca baru ke sana lagi. Pada akhirnya dalam seminggu mungkin ada 2-3 kali kunjungan. Saya sendiri cuma mondar mandir di rak buku-buku sejarah karena memang tujuh tahun terakhir tidak begitu tertarik sama fiksi.
Alasannya sederhana, kisah fiksi itu setahun kemudian saya bisa lupa gimana kisahnya dan sejak selesai S1 secara alamiah hadir sendiri dalam diri akan kebutuhan bacaan yang fakta. Nah biasanya saya beli buku online tapi kali ini beda, ingin merasakan lagi suasana Gramedia, aroma buku baru yang menumpuk.
Waktu masih belanja online, tampilan bukunya kan sedikit beda kalau ke toko buku. Di sana buku-buku fiksinya juga masih banyak. Pada suatu moment, kutemukan suamiku berdiri lama di rak buku yang menempel langsung sama dinding.
"Terlalu banyak kah orang yang depresi di dunia ini?" Ujarnya dengan intonasi polos. Karena kebanyakan buku yang saat ini mengisi rak adalah seumpana judulnya (seumpama aja ini) -bacalah buku ini saat engkau gelisah- berdamai dengan a b c d- dll. To be honest setelah kuperhatikan lekat-lekat buku sejenis ini memang saaaangat mendominasi. Satu rak panjang dari ujung ke ujung temanya sama belum di rak lain yang tema nya sama juga.
Sebagai orang yang backround nya psikologi kujawablah pertanyaan itu sesuai dengan yang kupahami bahwa stres-depresi itu nyata loh. Amat sangat nyata disegala usia dan sangat subjektif. Satu masalah bagi si A itu biasa aja tapi bagi si B itu bisa bikin dia stres, malah bagi si C itu bisa sampai depresi. Dan gak perlu jauh-jauh kita berdua masing-masing pasti pernah diuji sama hal-hal yang berisiko bikin kita sangat stres. Bukan pernah lagi, tapi sering, dan semua manusia mengalaminya.
Tapi suamiku bilang begini, iya sih benar tapi kenapa orang-orang kok rasanya pengen menunjukkan bahwa masalah dia lah yang terberat. Analisaku sendiri sesederhana bahwa sekarang media nya ada, untuk menumpahkan segala hal tanpa dihalangi apapun dan orang memang butuh didengar. Atas fakta itulah maka buku-buku itu hadir dan mendominasi.
Disatu sisi, the surprising sentence dari suamiku ini benar, kalau pakai kacamata dia yang backroundnya fisika. Lelaki itu fitrahnya memang sangat berlogika plus suamiku sehari-harinya berurusan sama hitung-hitungan yang secara tidak langsung akan menjadi salah satu variabel dalam membentuk persepsi. Jadi dia benar dalam pengamatan dia yang kalau lihat buku dengan judul seperti itu, dia nya geli sendiri 😁. Dan ekspresi kegeliannya itu bikin saya ketawa-ketawa juga. But it doesn't mean bahwa dia tidak mengalami hal-hal yang bikin dia stres. Of course it happen.
Lain hal misalnya yang kutemani ke Gramedia adekku yang cewe atau spupuku yang bentar lagi masuk SMA. Mungkin di usia mereka saat ini, akan berbinar-binar ketemu buku-buku itu sambil bilang "I need those books". Karena memang stressor jaman sekarang makin beragam. Luka masa lalu belum sembuh tapi hidup harus maju terus.
Apa yang disajikan "pasar" biasanya apa yang lagi dibutuh mayoritas orang. And you can see... Come to the bookstore and look at the books. Seakan-akan buku itu bilang "sekarang realitanya memang begini". But for long... Saya sendiri menyimpulkannya bahwa makin kesini tuh mental health makin disadari apalagi waktu pandemi, setiap orang menghadapi dirinya sendiri di dalam rumah.
Jadi, hal-hal yang dulunya abstrak, dianggap sesuatu yang bisa lewat aja nah sekarang makin disadari. Sehingga muncullah ke permukaan. Cemas, stres, kebutuhan akan self love, inner child, dst. Dan itu baik, sadar bahwa itu tuh terjadi sama diri sendiri, karena dengan begitu tahap "denial" bisa lebih mudah dilewati. Dan buku adalah salah satu sarana untuk sekedar tau "kenapa bisa begitu". Sarana lain tentu saja masih banyak.
.
.
.
2 notes · View notes
kopipedas · 1 year
Text
Tumblr media
Kastengel
Petang yang cukup sejuk untuk ku membawa sekotak cheese cake. Penuh rasa terima kasih ku hadiahkan cheese cake ini untukmu. Aku tidak begitu yakin apakah kamu betul-betul menyukai ini. Tapi dengan setumpuk rasa terima kasih, ku beranikan diri bertamu ke rumah mu. Dengan petunjuk jalan yang kau arahkan, ku melaju di sejuknya udara desa tempat tinggal mu. Ku coba membaca beberapa papan yang kau sampaikan di ruang obralan daring kita. Sampai akhirnya aku menemukan bangunan putih di dalam gang kecil tak bernama. Rumah mu.
Ku hentikan langkah dan menghubungi dalam pesan singkat. Menyampaikan dengan jelas posisiku tepat berada di depan. Tak lama kau membuka pintu dan mengajak ku masuk. Ku melepaskan sepasang sandal ini dan menaiki tiga anak tangga menuju ruang tamu. Ku ucap salam dengan pelan. Setelahnya kau mempersilahkan ku duduk.
Aku tersenyum sambil bercerita cara ku yang begitu mudah menemukan rumah putih ini. Sembari bercerita ku serahkan sekotak cheese cake padamu. Kau mengajakku menikmati cheese cake ini bersama. Aku tak begitu mempedulikan karena kue ini sengaja ku hadiahkan padamu yang telah membantuku.
Beberapa menit setelah bersenda gurau, ibu mu datang menghampiri. Membuka beberapa toples kue di meja dan mempersilahkan ku mencicipi. Aku mencoba menyamakan nada suara dan topik berbahasa. Paras ibu mu begitu cantik. Auranya begitu bening terpancar dari tutur kata lembut dan bersahaja. Tidak lama menyapa, ibu mu pamit menuju ke ruang dalam rumah. Aku kembali menikmati kue buatannya. Satu jenis kue di toples ku cicipi. Enak. Kue kacang ibu mu memang enak. Kemudian, ku terpana dengan kastengel di pojok kanan meja. Dengan nada sopan, aku berkata bahwa ku ingin mencobanya. Sungguh mengejutkan ku. Rasanya begitu enak. Jauh dari rasa kastengel buatan teman yang ku hidangkan di rumah. Satu gigitan. Dua gigitan, hingga sampai di gigitan ke berapa aku lupa. Gurih dan begitu renyah.
Sambil melahap potongan kue kastengel, kau masih bercerita. Sesekali bercanda. Aku atau pun kau beberapa kali tertawa juga terheran-heran dengan obrolan tak berarah.
Petang itu bagi mu mungkin terasa biasa. Tapi buatku sangat tidak biasa. Dalam hidup ku, ini adalah kali pertama. Sendiri dengan berani bertamu ke rumah sosok yang ku puja. Memandang wajah mu begitu dekat, bertemu ibu mu yang begitu hangat, aku menyukai ini.
Tepat lima menit sebelum pukul delapan, aku memutuskan untuk pamit. Aku mulai berdiri dan beranjak ke arah teras. Ku katakan bahwa ku harus pula berpamitan dengan ibu mu. Kau mencoba melirik ke dalam, dan setelahnya kau mengarahkan ku kembali menuju teras sebab ibu ada di halaman luar rumah. Aku mulai ke luar dan menghadap ke arah kanan. Aku menghampiri ibu mu dan meraih tangannya untuk bersalaman. Aku berpamitan, dan sekedar basa basi ku ucapkan "kapan-kapan main lagi." Dengan nada bercanda kau meladeni dengan berkata "Ah.. tidak perlu ke rumah lagi, itu hanya bikin repot saja." Aku tau itu bercanda, maka ku timpali saja dengan senyum.
Sepanjang jalan aku tak berhenti tersenyum. Merekah senyum ini sebab kastengel lezat juga kesempatan langka untuk ku yang sedang jatuh cinta. Aku yang sedang dimabuk asmara. Sesampainya di rumah aku kembali melanjutkan rutinitas. Menyalakan laptop dan mendengarkan beberapa lagu. Sesekali aku membaca tulisan di gawai. Aku berharap esok hari bisa berjumpa dengan mu setelah sedikit rasa bahagia di petang ini.
***
Esok hari yang cerah. Ternyata di tempat kerja tak ada yang spesial. Aku menemukan mu yang mondar mandir mengurusi persiapan lomba. Aku harusnya bisa menyisakan rasa bahagia semalam, tapi mengapa saat memandang mu dari kejauhan tak ku temukan senyuman keikhlasan. Aku mencoba biasa seolah tak ada rasa yang ku simpan untuk mu. Tapi ternyata memang sesusah itu. Kau yang telah selesai mengurusi ini dan itu berpamitan kepada ku dan beberapa rekan kerja lainnya. Aku hanya memandangmu sekilas, bergegas menghampiri di depan pintu. Ku serahkan benda kecil yang ku pinjam semalam di rumah mu. Ku ucap terima kasih lalu kau belalu dan pergi.
Sepulang kerja, aku masih saja merasa berbunga-bunga. Aku tidak hentinya memikirkan mu. Masih terbayang oleh ku sikap manis mu, jenaka tawa mu. Ku coba menghubungi mu. Ku kirimkan pesan, caraku berbasa-basi. Kau membalas seperlunya. Sampai pada akhirnya ada satu pesan yang membuatku tersadar. Aku yang berbunga-bunga, senyuman ku yang sumringah dan merekah, semuanya adalah omong kosong. Aku lupa bahwa aku adalah pemain tunggal di wahana ini. Perasaan ku tak berbalas. Harap ku tak bertuan. Aku hanya menyukai mu yang sama sekali tidak menyukai ku. Kau hanya berempati pada ku. Kau hanya menyisikan rasa simpati mu atas segala kelelahan ku. Kau sama sekali tak menaruh rasa pada ku. Sontak hati ku terhentak. Air mata ku mengalir membasahi pipi. Menerima kenyataan ini begitu sulit untuk ku. Menghadapi mu di setiap hari, tanpa jarak dan harus berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Ini menyakitkan. Aku ingin menyerah, tapi aku sendiri tak tahu cara bagaimana jalan untuk menyerah? Aku masih berjibaku dengan diri ku. Kau mungkin tak tahu ini.
Kastengel kemarin begitu lezat. Siapa sangka rasa manis gurihnya adalah salam sapa selamat datang sekaligus selamat tinggal untuk ku. Tak ada lagi kunjungan kedua, ketiga dan seterusnya. Karena betul kata mu, "hanya bikin repot saja"
Dalam tangis, harapku runtuh. Aku yang tidak kau cintai ini adalah manusia lemah yang masih berjuang menghentikan rasa ini.
6 notes · View notes
yasmijn · 2 years
Text
Mindful purchase
Pengalaman packing untuk pulang for good ke Indo di akhir-akhir 2020 itu bikin anxious. Pertama, begitu sadar bahwa kamarku yang kayanya luasnya ga lebih dari 3x3m itu ternyata bisa memuat banyak banget barang - barang yang nggak bisa semuanya aku bawa pulang ke Indonesia karena terkendala maksimum luggage. Kedua, ternyata banyak barang yang kubawa dari Indo tapi bahkan sampe aku pulang pun nggak sempet dipake🙂. Ketiga, bahwa kayaknya sebagai manusia kayaknya nggak perlu belanja sebanyak itu deh untuk hidup merantau cuma dua tahun aja.
Pada akhirnya, kayaknya pas aku pulang itu barang bawaan pas naik pesawat udah hampir 50kg (thanks bapak-bapak Qatar Airways yang kayanya kasian liat w kebingungan jadi bantuin aku untuk ke booth dimana mbak-mbaknya lagi sibuk ngobrol jadi gak meratiin barang bawaanku), dan ngirim 3 boks @30kg via kargo. Dan itu masih ada yang nggak kebawa jadi aku buang aja.
Ya gimana ya pas nyampe ke Belanda dan dipertemukan dengan Primark yang begitu murah, juga diskonan Zara yang beneran jadi super murah banget (w cuma belanja Zara kalau diskonan jadi 10-20 euro doang itu untuk hal-hal yang di Indo pasti 500rb ke atas). Emang anaknya mudah tergoda diskon. Sungguh pengingat banget untuk jadi lebih mindful dalam belanja. Sekarang kalau lagi belanja (terutama pas ke offline store sih), dan memegang suatu benda, mikirnya: kayaknya aku ga butuh deh. 
Langsung terulang momen-momen panik karena koper overweight.
Beda sih feel-nya sama kalau udah punya permanent residence (atau setidaknya tumpangan permanen di rumah orang tua). Dulu gak pernah tuh kepikiran lemari udah penuh, kamar udah penuh - karena ruangnya masih banyak banget dan masih bisa aja ditaruh di area publik. Kalau kami semua harus pindah dari rumah dengan membawa semua perintilan - gak kebayang sih harus pake kontainer segede apa dan harus mondar-mandir berapa puluh balikan.
Pas pulang ke kamar sendiri yang udah 2 tahun ditempatin, rasanya sesek juga 🥲🥲🥲🥲 Kenapa w punya barang sebanyak ini. Mau decluttering juga rasanya males haha, naro di Carousell males ngecek dan harus negosiasi. Tapi waktu itu sempet ngilo buku bekas kuliah di rongsok sih, mayan juga untuk meringankan beban.
Sekarang jadi lebih pengen ngubah persepsi bahwa kepemilikan itu lebih condong ke ‘beban’. Bikin sempit. Bikin sesak.
Semoga ku bisa semakin mindful dalam belanja. 
16 notes · View notes
reveriescope · 2 years
Text
Floating Magnolia
Tumblr media
Trigger Warnings: mention of sexual abuse
Seungcheol as Clinton Zhāo. Kiku as Yara Zhāo. Jeonghan as Arial. Seokmin as Kala. Wonwoo as Silas.
Special mention: Lee Chan as Micah, Xiaoting as Naradia Zhāo.
---
Begitu membuka mata, Clinton adalah orang pertama yang dilihat Natyara. Adik laki-laki yang hanya berjarak satu tahun di bawahnya itu merebahkan diri di sofa bed tak nyaman sibuk dengan ponsel di tangan.
Clinton, pasti sengaja membawanya ke rumah sakit di mana keluarga Zhāo bukan menjadi naratama. Syukur dirasa kala menyadari adiknya itu mengindahkan ucapan Yara sebelum ia hilang sadar. 
"Didi," panggil Yara sambil mengangkat tubuhnya untuk duduk.
"Ce, should I call the doctor?" Clinton bangkit untuk menghampiri ranjangnya. 
Yara menggeleng. Bibirnya yang masih pucat melafalkan kalimat dengan lirih, "Air aja, please?" 
Dengan cekatan Clinton membuka botol air mineral dan meletakkan sedotan agar kakaknya itu bisa minum dengan lebih mudah. Begitu botol air sudah berpindah tangan, Clinton mengamati orang yang sudah dikenalnya seumur hidup itu. 
Yara melirik ke lengan kiri Clinton yang terbuka. Ada plester bekas donor menempel di sana. Golongan darah mereka sama, sehingga Yara masih terselamatkan.
"Thanks, Didi. I owe you world." Yara merebahkan dirinya lagi usai menelan beberapa teguk air.
Clinton terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Whose baby? That Wang guy?" 
"Padahal kamu bisa nebak itu Xavier." Yara terkekeh pelan. 
Yang lebih muda mendengus seraya menempelkan punggung pada sandaran kursi. "Dilihat dari karakternya, nope. Tell me it's the older Wang?"
Perempuan itu tidak menjawab, hanya memamerkan ekspresi tidak terbaca. Yara seolah sibuk dengan pemikirannya sendiri sekaligus diselimuti emosi tak terkatakan. 
Diamnya Yara mengundang frustrasi bersarang di benak Clinton. Lelaki itu melipat tangan di depan dada, mencoba menerka apa yang ada di pikiran kakak perempuannya.
"Ce," kata Clinton pada akhirnya. "That's your body, your choice and your temple. Tapi kalau sampai buat kamu hampir mati seperti ini rasanya gue berhak tahu." 
Yara menoleh ke arah Clinton lalu tersenyum penuh arti. "I can't afford bad publicity for our family's sake," tuturnya. 
Citra sebagai pemain violin dan anak konglomerat otomatis membuatnya bak selebriti. Semua orang seolah ingin tahu kegiatan apa hari ini, produk perawatan mana lagi yang dipakai. Kabar Natyara Zhāo alias Natyara Oetomo sekarat akibat aborsi akan menghebohkan banyak pihak.
"Do you have to play that perfect first born all the time while it costs your life, Sister?" 
"Clinton, katamu Cece hampir mati. And now you're in a heated debate with a dying person."
Ketika Yara memanggil nama depannya alih-alih Didi, saatnya Clinton menutup mulut. Percuma saja membuatnya jujur jika kakaknya itu memilih untuk bersikap kepala batu. 
"Naik darah aku lama-lama, Ce." Clinton beranjak dari kursinya, "I'll send someone here. Jangan dikerjain."
Yara mengangkat tangannya yang dipasangi infus, sebuah bahasa tubuh yang menandakan ia tidak berencana bermain-main dengan suruhan Clinton.
Belum juga Clinton mencapai pintu, suara Yara kembali terdengar.
"If you're really curious why can't I tell you who's the father it's just because I'm not sure..." ucapan Yara terpotong sejenak sebelum ia melanjutkan, "...which one."
"What kind of life you live, actually?" Clinton, kali ini benar-benar naik darah dan hampir meledak saat mendengar pengakuan kakaknya berikutnya. 
"It wasn't consensual, Didi. History repeats. You'll end up killed if you touch them."
"You know, Ce. All I do is to protect you and Meimei. So I can't let this pass." 
---
Bagaimana kakak perempuannya itu bisa tetap tenang ketika memberitahu hak mengerikan telah terjadi? Clinton tidak habis pikir. 
"Kupikir Cece tidak waras." Clinton mengusap wajahnya sebelum 
Arial yang semula bermaksud membiarkan Clinton mondar-mandir kini meminta pemuda itu duduk usai menuang Crown Royal untuknya. Mereka ada di di Arctic Lounge, tempat pertemuan yang letaknya lantai rahasia Tranquiloft Hotel Jakarta milik Zen Point Group yang dipimpin keluarga Clinton.
"Mereka pikir mengakui pelecehan itu memalukan. Apalagi Cece kena dua kali. Dan lebih dari sekadar pelecehan." Arial berusaha lebih hati-hati dalam pemilihan kalimatnya untuk didengar Clinton.
"Dia bukan orang yang nggak bisa melawan,” sergah Clinton. Meski masih gusar, kini Clinton terlihat lebih relaks usai meneguk wiski.
"Biar begitu, dia korban. Kita nggak pernah tau apa yang ada di pikiran dia dan perasaan dia. Aksi dia atau perasaan dia nggak ada urusan sama penilaian lo."
Rupanya ucapan Arial terlalu tajam untuk dicerna Clinton, sehingga ia hanya menanggapinya dengan tawa sarkastik. "Jadi ini yang lo dapet dari peliharaan sebanyak itu," komentarnya.
Arial hanya mengangkat bahu sebelum mengusulkan, "Lebih baik lo kirim Silas."
"Udah sinting ya kalian? Buat apa bikin dia ke-trigger cuma gara-gara Cece-nya Clinton. Nggak!" Kala yang sepanjang waktu terdiam di kursi dekat jendela mendadak terdengar suaranya.
"Tapi yang paling bisa berempati ke masalah ini cuma dia, dan cuma dia yang bisa jaga sikap."
Terkadang Clinton lupa, Arial selalu punya jalan keluar dari segala situasi. Terlepas dari seberapa peliknya yang mereka lalui. 
---
Natyara memandang Silas sebelum mulai menyendok bubur. Sedari tadi suasana tenang, Silas tidak banyak berbicara jika tidak ditanya. Sosoknya memancarkan energi tenang, lain halnya dengan anak-anak buah Clinton lain.
"Kamu pasti tahu aku di sini karena keguguran." Gumam Yara usai menelan makanannya. 
Silas tidak merespons apapun, melainkan hanya memandangi Yara penuh tanya. Melihat pemuda itu, Yara tersenyum tipis menyadari apa yang mungkin diketahui Silas. 
"Iya, I killed my baby." Sambil mengaduk-aduk bubur tak beraturan. 
"I'm sorry to hear that."
"Menurut lo, dia akan berterima kasih that I don’t have to send them here or that they will despise my act?" 
Hening setelahnya. Beberapa menit berikutnya, Yara meletakkan sendok tanda ia sudah selesai makan. Setelah perempuan itu menggunakan sapu tangan, Silas menyingkirkan alat makan dari hadapan Yara. 
"Nona-"
"Yara atau Cece, samain aja sama Micah," potongnya. 
Micah yang dimaksud Yara adalah pengawal pribadi adik bungsunya, Naradia. Atas kedekatan mereka, Micah juga memanggil Yara dengan sebutan "Cece" sama seperti siapapun yang lebih muda daripada dirinya di keluarga.
"Apapun yang bawa Cece ke keputusan ini, itu semua bukan salah Cece," ujar Silas. "Or else, Cece akan bawa trauma dan sulit menyayangi anak itu."
Yara diam seribu bahasa, tatapannya lurus ke depan. Sejurus kemudian perempuan itu menghembuskan napas panjang lalu menyandarkan punggung di bantal yang sudah disusun. 
"Silas... kamu bisa main catur? Tolong besok temani aku main itu."
( to be continued? )
10 notes · View notes