Tumgik
#sambal tumis
2057 · 3 months
Text
Tumblr media
8 notes · View notes
justsuri · 4 months
Text
Vegetarian Sambal Tumis
Ingredients: Prawns Chopped cabbage – handful Julienne cut carrot – 1 Sweet onion – 1 2 tomatoes – sliced Shiitake mushrooms – quarter cut Garlic powder to taste 2 tbsp sambal tumis 1 tbsp miso paste Methods: Fry the cabbage till softened. Then fry carrots and the rest of the vegetables till softened Add the sambal tumis and gently mix well Finally add prawns and some water. Cook…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
asianmeals · 8 months
Text
 The Spicy Assam Pedas
Assam Pedas is a tantalizingly spicy and sour Malaysian dish that packs a punch of flavor with every bite. This classic Southeast Asian recipe combines fresh fish, shrimp, or chicken with a bold blend of tamarind, chili, and aromatic spices. Discover the perfect balance of tangy zest and fiery heat in this mouthwatering culinary adventure. 
Tumblr media
0 notes
abandrewart · 6 months
Text
Sambal Tumis Udang
Tumblr media
0 notes
vihamuki · 7 months
Text
Sambal Tumis Udang
Tumblr media
0 notes
droiddraws · 7 months
Text
Sambal Tumis Udang + Petai
Tumblr media
0 notes
ccdcbruins · 7 months
Text
Sambal Tumis Udang
Tumblr media
0 notes
kindrajoe023 · 8 months
Text
SAMBAL TUMIS UDANG DENGAN PETAI
Tumblr media
0 notes
fake-protagonist · 4 months
Text
Tumblr media
Just one of the days, I felt like having Mama favourite lauk, Sambal tumis telur puyuh dengan petai, with additional tempe goreng garing-garing.
Gotta video call kakak during lunch time, just not to cry while savouring them. I miss Mama, I really do, and though hati dah ikhlas, tapi demi Allah, aku masih rindu. And if yuni shara ,sepi said "mungkin sampai mati, aku sepi". would be "mungkin sampai mati, aku rindu" for me.
I wonder, kalau rasa rindu ini akan berkurang seiring dengan waktu, ataupun ia akan menambah dengan berjalannya waktu. Sampai nanti, nadi aku terhenti. Sampai nanti, aku kembali kepada illahi.
Dah, apa pun yang kau perjuangkan, moga semuanya dalam redha Tuhan, semoga istiqomah sehingga Syurga yang kau minta, Allah berikan bukan kerana baiknya engkau, tapi asbab kasih dan sayangNya.
Dan sejauh mana kau berlari, tetaplah ingat kemana seharusnya kau kembali pulang. We'll be fine, Dah, We'll be fine, selagi kau bergantung padaNya. Genggam erat, jangan lepaskan, meskipun genggaman kau itu hampir terlerai.
9 notes · View notes
tifynayusof · 2 months
Text
Today nak kena masak.
Menu: Sambal tumis petai bawang & ayam goreng.
2 notes · View notes
jemala · 3 months
Text
Tumblr media
Tadi pagi, aku sama temanku masak-masak di dapur kosan. Kalo ini yang dimasak adalah ikan lele goreng, tumis kangkung dan sambal. Ikan lele goreng dan sambal dimasak oleh temanku dan aku kebagian memasak tumis kangkung. Kalau boleh percaya diri, rasanya ngga jauh beda dengan pecel lele yang sering ku beli, bedanya sambalnya bukan sambal kacang, tapi sambal terasi hahaha.
- 29 Januari 2024
2 notes · View notes
asianmeals · 8 months
Text
The best instant noodles in Malaysia
Indulge in the rich flavors of Malaysia with our instant noodles in Malaysia. A fusion of aromatic spices and savory broths will transport your taste buds to the heart of Malaysian street food. Quick, convenient, and oh-so-delicious, these noodles are a true culinary adventure in every bite.
Tumblr media
0 notes
nrnailaa · 2 years
Photo
Tumblr media
Soto ayam banyak ditemukan di daerah-daerah di Indonesia dan Singapura. Selain ayam bahan yang digunakan juga meliputi telur rebus, irisan kentang, daun seledri, serta bawang goreng dan lainnya. Terkadang soto juga disajikan dengan lontong atau nasi putih.
Bahan : 1/2 ekor ayam kampung, potong dua 1.5 liter air 3 sdm minyak sayur 1 batang serai, memarkan 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk Bumbu Halus: 5 butir bawang putih 3 siung bawang merah 4 butir kemiri 3 cm kunyit 1 cm jahe 1/2 sdt merica butiran 2 sdt garam Pelengkap: 100 g tauge 100 g suun, seduh air panas 2 butir telur rebus 2 sdm daun bawang 4 sdm bawang merah goreng 4 sdm sambal rawit 2 butir jeruk nipis, potong-potong
Cara Membuat : 1.Didihkan air, rebus ayam dengan api kecil hingga daging ayam hampir lunak. 2. Tumis bumbu halus bersama daun jeruk, daun salam, serai dan aduk hingga matang dan harum. Angkat. 3. Masukkan ke dalam rebusan ayam. 4. Rebus dengan api kecil hingga daging ayam lunak. 5. Angkat ayam, tiriskan hingga agak kering. 6. Goreng ayam sebentar hingga bagian luarnya kering. Tiriskan. 7. Suwir daging ayam kasar-kasar. 8. Susun ayam, suun, tauge dalam mangkuk saji. 9. Tuangi kaldu panas. 10. Sajikan dengan daun bawang, bawang goreng, sambal rawit dan jeruk nipis.
7 notes · View notes
kambingwangi · 1 year
Text
Buku Mewarnai Aurora (Bagian 3)
BAB 3: Permulaan
Perjalanan panjang baru akan dimulai. Rasanya? Menakutkan sekaligus menyenangkan, bukan? Dadamu akan berdegup lebih kencang, keringat dingin dengan bulir sebesar biji jagung membasahi diri, tak apa. Nikmati saja!
Aurora menyiapkan lembaran kertas itu dengan rapi dalam amplop coklat biasa orang-orang pakai untuk mengirimkan lamaran kerja. Awalnya ia ingin membuat kejutan. Menaruhnya di meja tamu, pura-pura tak tahu, lantas terkejut dan bersorak setelah membaca isinya. Namun niatnya diurungkan. Orang-orang rumahnya bukan tipikal penyuka kejutan.
Aurora baru saja memasak tumis kangkung ketika Abang tiba dan bersingkut untuk mandi. Lantas jahil merecokinya yang sedang memasak.
“Kurang garam, Ra.” ucap Abang setelah menyendokkan kuah sayur untuk dicicipi. Lantas menuangkan kaldu jamur di panci yang berisi sayur.
“Ikan asin kemarin goreng lagi ya, Ra. Sama masakin sambal bawang ya.” Abang mengusap kepalaku. Membuat rambut ikalku berantakan.
“Banyak maunyaaaa,” selorohku sembari tertawa. Ruang dapur yang sempit terasa lega.
***
Aku baru saja memberikan lembaran itu ke bapak. Bapak sudah membacanya tuntas–aku yakin itu, dari gerak gerik matanya dan helaan nafas yang berat. Tak ada tapi, izin merantau kali ini akan segera aku kantongi. 
Aku bertukar pandang dengan Abang sedari tadi. Tapi abang lebih banyak diam sesekali memainkan jemarinya di ujung cangkir.
“Ini sudah ditanggung semuanya, Ra?” Akhirnya. Suara bapak yang kutunggu-tunggu terdengar juga.
“Iya, Pak.” Aku mengangguk mantap.
Seleksi gelombang dua kampus swasta itu rumornya lumayan sulit. Aku hampir menyerah. Tapi di saat bersamaan, Lia mengenalkanku pada Luter, sepupunya yang berkuliah di sana untuk memberikan soal ujian tahun lalu. Tak banyak yang sama, namun sedikit-banyak membantuku belajar untuk ujian masuknya.
“Tapi, nilai adek harus stabil. IPK minimal 3,50 setiap semesternya agar beasiswa tidak dicabut.” Aku menghela nafas berat. Aku sudah tahu konsekuensinya ketika mendaftar. 
“Terus kalau gak nyampe gimana? bayar sendiri?” tanya bapak lagi.
Aku mengangguk. “Nanti di Jakarta adek sambil kerja, Pak.”
“Kerja apa?” Bapak menatapku sinis. 
“Kamu berkendara aja gak bisa. Hidup di ibu kota itu keras.” kata bapak lagi.
“Nanti Abang bantu-bantu buat kirim adek juga, Pak.” kali ini abang buka suara.
“Bang, kamu perlu menabung untuk hidupmu juga,” suara bapak melunak.
“Ra, usaha Wak Dolah lagi sepi bakda pandemi ini. Kau lihatlah abangmu itu ampe kerja jadi kurir paket. Siang-malam nganter barang, kerja ini-itu. Bapak juga sudah tua. Kau gak berbakti kali gak mau ngurus bapak dan abangmu ini,” 
Aku dan abang terdiam.
“Apa yang kau cari di ibu kota hah?” tanya bapak lagi.
“Kau mau kerja apa? Kau mau jadi kayak ibumu?” tanya bapak lagi.
Abang sudah menundukkan kepalanya, membuang muka. Kami sudah hafal tabiat bapak kalau sudah meracau panjang lebar.
“Pak, izinkan adek ngomong,” ucapku akhirnya memberanikan diri.
“Bukan soal jakartanya, Pak. Dimanapun sekolahnya, adek mau. Asal di jurusan yang adek pengen. Adek mau mengubah nasib, Pak. Bantu abang dan bapak juga.”
“Bantu apa?” 
“Bantu apa dengan pergi meninggalkan bapakmu yang lumpuh ini? Bantu buat melihat bapakmu cepat mati?” Bapak memegang dadanya. Mukanya mulai meringis. Aku sudah hafal betul tabiat ini. Abang segera menghampiri bapak yang berada di kursi rodanya.
“Istirahat yuk, Pak. Besok kita ngobrol lagi.” Abang menuntun bapak ke kamarnya sambil matanya mengisyaratkan untuk tenang.
***
Aku segera membereskan meja makan dengan perasaan kalut. Tiga hari lagi batas akhir pendaftaran ulang. Bapak tak ingin menemuiku setelah malam itu. Ia lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Abang juga menenangkanku bahwa bapak akan baik-baik saja. Siang tadi, Lia datang ke rumahku menanyakan apakah aku jadi berangkat dengannya. Bibinya sudah menyiapkan travel untuk keberangkatannya besok sore.
Aku duduk di beranda rumah. Memperhatikan putik buah jambu air yang mulai merekah. Sebentar lagi akan panen. Biasanya anak-anak akan berteriak meminta jambu air dari depan pagar atau undangan makan rujak bersama di warung bu Ipeh. Biasanya aku akan membawa sekantong besar jambu air yang matang serta buah-buah lainnya.
Abang tiba tiga puluh kemudian. Memarkirkan motornya di ruang tamu. Sudah lama aku tidak memperhatikan abang sedekat ini. Waktu kecil, ia seringkali menjagaku saat bermain di lapangan. Meskipun ia juga teramat jahil padaku. Pernah suatu hari, abang menggendongku dan menyangkutkanku begitu saya di atas pohon asam ketika sedang bermain petak umpet. Barulah menjelang magrib aku ditemukan warga karena mendengar suara parau ku menangis. Abang dengan santai bilang lupa menaruhku di sana. Warga sudah heboh mengira aku diculik hantu.
“Nih,” Abang memberiku sebuah amplop putih tebal. Aku membukanya pelan. Isinya sebuah tiket bus ke Jakarta dan uang dua juta rupiah.
“Abang belum bisa kasih banyak. Kau harus janji belajar yang rajin. Jangan aneh-aneh di ibu kota.”
Abang merogoh kantong kemejanya. Memberikanku sebuah kotak telepon genggam.
“HP-mu sudah rusak layarnya kan ya? Ini hadiah kelulusanmu. Abang bangga padamu, Dek. Selamat ya,”
Aku memeluk abang dengan tangis yang tidak bisa kutahan lagi. Air mataku sudah tumpah ruah sempurna. Abang menenangkanku. 
“Besok abang coba bilang ke bapak. Semoga bapak bisa memahami ya,” Abang mengusap air mataku. Aku mengangguk.
“Jelek kali mukamu, Dek. Sudah kusam, sembab pula sekarang.” goda abang. Aku menabok bahu abang dengan amplop berisi gepokan uang yang ia berikan. Lumayan keras juga ternyata bunyinya. Kami tertawa bersama.
***
Perjalanan dimulai!
Apa yang kau takutkan dari sebuah perjalanan? Bukankah ini awal petualangan yang menyenangkan?
Entah apa yang disampaikan abang kepada bapak, pagi-pagi benar bapak sudah duduk di meja makan. Masih dengan diam yang membuat suasana lebih mencekam. Aku menyiapkan sarapan tanpa gesa. Bakda subuh, abang bilang akan mengantarku berangkat siang nanti ke terminal. Abang memintaku untuk berkemas dan mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan selama di Jakarta. Juga berkas-berkas persyaratan kuliahku. Ajaibnya, surat pernyataan orang tua juga sudah ditanda tangani oleh bapak. Aku memastikan tidak ada yang tertinggal di tas bawaanku.
Meja makan lebih senyap daripada biasanya. Abang tidak bekerja hari ini. Mungkin ia bertukar shift kerja atau entahlah. Biasanya abang akan memakai kaus ekspedisi tempat ia bekerja. Pagi ini abang hanya memakai kaos partai lusuh bekas pemilu bupati beberapa bulan lalu. Aku bersiap merapikan meja makan ketika semuanya sudah selesai makan bersamaan dengan bapak menegurku untuk mendekat duduk di sampingnya.
Bapak menatapku lekat. Aku bisa memperhatikan seksama raut wajah bapak yang kian menua. Guratan tangannya yang mulai mengendur. Matanya yang kian sayu meski tanpa kaca mata. Memori masa lalu berdesakan datang. Memutar bak radio usang ingatan ketika kali pertama bapak menggendongku, kali pertama bapak mengajariku mengendarai sepeda hingga aku tersungkur setelah menabrak pagar rumah, dan kenangan heroik lainnya. Air mataku hampir tumpah. Aku segera bersimpuh di kaki bapak.
“Maafin adek, Pak.” ujarku penuh penyesalan. Entah kapan terakhir kali aku berbincang dengan bapak sedekat ini. Kami selalu makan malam bertiga, namun meja makan lebih banyak senyap beberapa tahun belakangan.
“Bapak tau adek sangat spesial. Bapak yang minta maaf selalu memaksakan kehendak bapak,” Bapak mengusap punggungku. Menenangkanku yang terisak.
“Dek, berjanjilah jaga diri dengan baik di sana ya.” ucap bapak lagi.
Bapak membantuku duduk kembali. Mataku sudah sembab. Bapak memberikan sebuah tas kecil berwarna putih kusam kepadaku.
“Eman-eman ya. Kalau kurang, nanti bilang ya. Bapak akan bantu kirimi lagi.” Bapak mengusap kepalaku lembut. Seperti yang biasa ia lakukan ketika mengantarku pergi sekolah waktu kecil.
“Belajar yang bener di sana,” kata bapak lagi. Aku mengangguk takzim.
Abang sudah berdiri di sampingku. Bersiap memakai jaketnya. Memberi isyarat untuk segera bergegas. Jam sudah pukul dua. Sementara busku berangkat pukul empat.
“Berkabaran selalu ya, Dek.” ucap bapak lagi. Aku menangguk mantap.
Aku segera bangkit lalu memeluk bapak erat. Seakan tidak ingin waktu memisahkan kami cepat.
***
Kami tiba di terminal tepat waktu. Abang memesankan bus eksekutif. Sangat nyaman untuk perjalanan darat hampir 30 jam lebih mendatang. Abang juga membekaliku beberapa cemilan dan makanan ringan untuk teman perjalanan. Ini perjalanan darat terjauh pertamaku. Seumur hidup, dari SD hingga SMA, aku tidak pernah bepergian keluar kota. Jangankan untuk ikut acara study tour dari sekolah. Uang makan saja kami harus mengaturnya dengan baik. Lia sudah mengirimkan pesan alamat bibinya padaku. Ia sudah berangkat lebih dahulu. Aku menatap langit senja yang berwarna jingga terang. Lambaian tangan abang, pelukan hangat bapak, dan semua kenangan disini akan menjadi penguatku untuk berjuang di ibu kota. 
Namanya, Jun.
Aku memulai bulan-bulan pertama perkuliahan dengan cukup kewalahan. Proses daftar ulang dan segala beluk kampus terbantu oleh Luter sepupu Lia. Meskipun kami berbeda fakultas, teman-teman Luter ternyata lebih banyak yang satu jurusan denganku. Awalnya aku tinggal bersama Lia di rumah bibinya. Ruko tepatnya. Terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar digunakan untuk salon, lantai dua untuk keluarga bibinya, dan lantai tiga sebenarnya gudang–yang sekarang menjadi tempatku dan Lia tinggal. Bibi Lia menerima kami dengan baik. Mengajari kami seluk beluk persalonan, mulai dari cuci rambut, potong rambut, blow, dan segala macamnya. Lia dengan mudah belajar. Aku tidak. Puncaknya, pekan ketiga aku tumbang. Setelah dihantam kegiatan kampus yang lumayan padat untuk mahasiswa baru juga sore hari membantu bibi Lia di salonnya.
Aku izin untuk pindah kos dekat kampus pada pekan setelah UTS setelah mencoba berdamai dengan suasana bising di ruko salon Bibi Lia. Terlebih, aku tidak banyak membantu di salonnya karena energi sudah habis mengurus perkuliahan.
“Adek ga berantem sama Lia kok, bang. Suer tekewer-kewer deh!” Aku mengacungkan dua jari berbentuk peace.
“Sudah babak belur dihajar asistensi.” lanjutku lagi
“Adek ketinggalan jauh banget, Bang. Ini untung teman-temannya baik, gak sombong. UTS kemarin kami sekelas ngerjain bareng dan nginep di studio kampus!” ceritaku antusias.
Abang bercerita banyak hal soal rencana menikahnya dalam waktu dekat. Bapak juga sibuk menggoda abang. Mencari kesana-kesini, akhirnya abang terpincut dengan Fani, anak bi Ipeh tetangga tempat kami biasa belanja di warungnya. Aku menutup panggilan video itu setelah Ica, teman sekelasku mengajak untuk bersiap masuk ke kelas berikutnya.
“Ra, kamu liat cowok berambut ikal sweater ijo kelabu itu?” tanya Ica berbisik.
“Arah jam 10,” katanya lagi.
Aku mengedarkan pandang. Mataku tertuju pada lelaki berbadan atletis, cukup tinggi, dengan rambut ikal dan memakai sweater ijo dengan buku-buku dan tabung gambar di bahunya. Penampilannya khas anak teknik pada umumnya.
“Kenapa dengan dia, Ca? kamu naksir?” tanyaku sambil melirik Ica.
Ica ber-hus padaku. “Namanya Jun. Kata ana-anak, dia bisa pergi ke masa lalu.”
Aku mendelik. Menatap tak percaya. Hellow? udah abad 21, berita macam apa ini? Ica mengajakku bergegas setelah melihat Pak Sar, dosen mata kuliah rupa dasar dua dimensi menuju ruang kelas. Bisa berabe kalau telat barang satu detikpun. Alamat tidak bisa ikut belajar di kelasnya.
***
3 notes · View notes
deehwang · 2 years
Text
Panen pagi ini untuk makan siang dari kebun belakang (tumis kacang panjang, beningan katuk, rebusan terong bulat dan cempokak mentah untuk pelengkap sambal, pindang ayam, dan jus jeruk kunci). Telang masih jadi primadona, diambil harian untuk dikeringkan dan jadi teh atau pewarna makanan. Sudah kubagi-bagi ke teman, tetangga, dan keluarga juga. Senang bisa bagi-bagi manfaat.
Ambil secukupnya dan sehabis hari ini saja untuk dimasak. Begitu seterusnya. Sisa buah yang tidak diambil bisa dijadikan bibit untuk ditanam lagi atau untuk burung / hewan yang singgah. Daun yang busuk di batang bisa ditebar di atas tanah untuk jadi pupuk kompos.
Tumblr media Tumblr media
6 notes · View notes
tiaindriani · 2 years
Text
Tumblr media
Dimsum Ayam Udang
Bahan: - 200 gr paha ayam fillet - 50 gr kulit ayam - 50 gr udang kupas - 2 siung bawang putih - 1 butir putih telur - 9 sdm tepung sagu - 1/2 sdm garam - 1 sdm gula - 1/2 sdt merica - 1/4 sdt kaldu jamur - 3 sdm es batu - 2 sdt saus tiram - 2 sdt minyak wijen - 2 sdt kecap asin - 50 gr wortel parut - 15-20 kulit pangsit
Bahan saus cocol: - 2 siung bawang putih - 1 siung bawang merah - 3 cabai rawit - 1 cabai merah ukuran sedang - 6 sdm saus sambal - 1 sdm cuka - 150 ml air - 2 sdm minyak goreng - 2 sdt gula - 1/2 sdt kaldu jamur
Cara membuat: 1. Masukkan 1/2 ayam, bawang putih, tepung sagu, putih telur, saus tiram, kecap asin, minyak wijen, merica, garam, gula, kaldu jamur, dan es batu ke dalam food processor cincang hingga halus. 2. Masukkan 1/2 ayam dan udang, cincang sebentar. 3. Pindahkan ke wadah, masukkan 1/2 parutan wortel, aduk rata. 4. Ambil kulit dimsum, beri 1 sdm adonan lalu bungkus dan beri parutan wortel di atasnya. 5. Kukus siomay 15-20 menit. 6. Untuk saus cocolan, cincang bawang putih, cabai rawit, dan bawang merah. Tumis hingga wangi lalu tambahkan air 7. Masukkan saus sambal, cuka, gula, dan kaldu jamur. Masak hingga mendidih. 8. Siomay siap disajikan.
3 notes · View notes