Tumgik
langitbirustuff · 1 year
Text
Sulap Berwujud Kamu
Tumblr media
….“gak semua yang kamu benci itu salah, begitupun sebaliknya. Tuhan menciptakan semua hal didunia ini untuk diterima, termasuk perpisahan.” kata-katanya selalu saja bijak, manusia macam apa laki-laki didepanku ini, yang tak pernah membicarakan perihal benci membenci, maki-memaki, ataupun sumpah serapah. Tak pernah aku dengar sekalipun dari mulutnya selama kenal 20 tahun ini, selain memaki dirinya sendiri dan menyebutnya bajingan gila. Yang ada hanya kata-kata untuk memaafkan, membahagiakan diri sendiri, bicara soal musik jazz klasik kesukaannya, atau hal-hal lucu lainnya.
***
Waktu sore setempat, tempatku hujan beriringan gerimis manis, sosoknya hilang ntah kemana, biasanya selalu muncul saat sore menjelang. Aku sibuk merapikan buku-buku usang diruang tengah, buku-buku lawas peninggalan eyang uti, lukisan ayah yang mulai berdebu dan piano tua mengisi ruangan yang cukup besar itu, diterangi cahaya temaram dari lampu sudut ruang yang mengusang sudah tua, tempatku memang peninggalan jaman dulu, yang tak pernah dipugar atau diubah, hanya diperbarui sisi yang rusak.
Suara gesekan sepatu terdengar, aku mendorong badan kebelakang, menengok kearah pintu ruang tamu yang kubiarkan terbuka lebar, sosok laki-laki mengenakan jaket jeans denim lusuh, bercelana serupa, mententeng tas hitam berisi violin kesayangannya, rambut panjang terkuncir asal-asalan kebelakang, langkahnya sampai diteras rumah, dia lepas sepatu converse 70s hitam yang lusuh bercampur debu jalanan maupun lumpur dengan kasar, lebih terlihat dibuang daripada dilepas.
“hai,” sapanya seadanya, tubuhnya merebah disofa jengki panjang berlapis kulit diruang tamu.
Aku mendekat, ditanganku menggenggam buku and still I rise milik Maya Angelou, bersampul biru, covernya hampir copot dan usang. “dari mana?” tanyaku akhirnya, “bawa makanan gak,” lanjutku,
“tuh,” dia melirik sesuatu yang terbungkus tas hitam, lalu memejamkan mata lagi, dia terlihat lelah, meski tubuhnya bersandar pada tubuh kursi, tapi terlihat tak bertulang, melorot tak karuan, risih melihatnya.
“aku kudu makan violin maksudnya?” ucapku, selain dia suka menyebut dirinya sendiri bajingan gila, terkadang dia memang agak gila, saking capeknya ngadepin laki-laki aneh ini sampai aku pernah bilang kediri sendiri, kapan sih dia pergi jauh biar jarang ketemu, lebih banyak makan ati.
Posisinya masih sama, “coba lihat dulu deh,” singkatnya. Seperti enggan menjelaskan lebih panjang.
Aku turutin ide gilanya, kuangkat tas hitam dari sampingnya, kubuka resleting dengan kasar, definisi laki-laki gila adalah dia, jelas isinya hanya violin lengkap dengan bow usang, gak ada yang lain. “oke zonk, nipu.” jawabku sewot.
Matanya masih tertutup, bibirnya tersenyum, sekian detik terkekeh, dia merogoh saku jaket jeans, mengeluarkan dua buah mie instan kuah, “bim salabim,” tubuhnya menegak, dia tergelak, tertawa, aku miris melihat diriku sendiri, terlihat seperti anak kecil yang berhasil ditipu dengan mudah, kubanting tas hitam berisi violin diatas kursi, dia panik sekian detik melotot, raut mukanya berubah memelas.
“sorry,” ucapnya, hanya sepatah, ingin rasanya memukul kepalanya biar dia sedikit waras, “violin itu hartaku satu-satunya, jangan kasar,” wajahnya berubah sedih, aku tau itu akting, soal hidup berat atau tidak, baginya hidup selalu mudah.
“ngeselin, dasar laki-laki gila,” umpatku kesal,
“sorry, makan yuk,”
“oke,” aku bangun dari tempatku, menyahut dua buah mie instan ditangannya, dia menyusul dari belakang, bak itik yang membuntuti induknya.
Langkahnya berhenti diruang tengah, disebelah meja bacaku, sebuah piano besar yang usianya sudah tua, sama seperti rumah ini, salah satu barang kesukaannya dirumahku. Dia tarik kursi kayu didepannya, seperti manusia jatuh cinta, matanya selalu berbinar ketika melihat piano peninggalan eyangku, sama seperti violin tua miliknya, katanya dua benda itu sakral, dia seperti manusia bijak yang banyak ilmu, menciptakan nada indah disetiap sentuhannya, bagiku kata-katanya berlebihan.
“sini dulu,” ajaknya, dia menyeret kursi disamping badan piano.
Aku menurut, duduk menyilang kaki, jemarinya mulai menyentuh tuts piano dengan lembut, seperti menyentuh bayi, takut menyakitinya, aku geli melihat tingkahnya. Tangannya mulai memainkan tuts dengan nyaman, berpindah-pindah dari tuts satu ke tuts lainnya, beriringan. Dia mainkan sudah dua hari ini mendung Gardika gigih dengan apik, mengisi ruangan yang sunyi dan lembab, menghangatkan tembok-tembok yang saling memeluk sebab udara dingin sore ini. Berhasil menyihir telingaku, menyihir diriku, seketika hatiku hangat, dia menatapku, tersenyum sungging. Aku menatapnya, baru kali ini dia terlihat sepenuhnya laki-laki didepanku, aku terpaku, menikmati keindahan senyum maupun permainan pianonya. Setelah beberapa detik aku diam, dia mengakhiri dengan nada yang panjang.
“hei,” dia melambaikan tangan didepan mataku, seperti hampir menyoloknya, aku kaget, salah tingkah, “malah ngelamun,” dia geser kursinya disampingku, tepat dibawah jendela, dibukanya jendela kayu dengan kedua tangannya, udara dingin hujan seketika menusuk tulang, “nah gini kan seger udaranya,” dia rogoh kretek disaku celananya, “aku ngerokok ya?” aku mengangguk sebagai tanda iya.
“kamu jago main piano ya,”
“sebatas bisa,” dihisapnya kretek yang sudah menyala ditangan kirinya, “kenapa berhenti main piano, waktu SMA dulu kamu jago main piano.” pertanyaannya membuat jantungku gak karuan,
“aku emang lagi fokus yang lain,” jawabku sekenanya, “tapi tadi beneran keren sih,” aku lebih ingin membahas hal lain selain menjawab pertanyaannya.
Dia tatap pekarangan yang basah, dengan air yang masih menyatu diatas rumput, dia hisap kretek ditangannya, membuang asapnya keluar kuat-kuat seperti membuang sebuah masalah, “tanpa aku jelasin, kamu udah tau, benci terlalu dalam itu sama seperti menancapkan pisau ke diri sendiri,” tatapannya masih keluar, tak beralih kepadaku, yang ku tatap adalah pundaknya,
“sakit, terbunuh pelan-pelan,” sahutku, “tapi kenapa aku gak mati,”
“hati dan kesadaranmu yang mati,” timpalnya cepat, “kapan aku bisa ketemu kamu?” tanyanya, seketika dia balik tubuhnya, menatapku, tersenyum tipis.
Aku mengangkat alis, “maksudmu,” kita sama-sama terdiam beberapa detik.
“yang aku temui amarah dan benci, bukan kamu.” telaknya, dimatikannya kretek yang hampir habis, dibuang keluar jendela, sisa apinya seketika padam terkena tetesan air dari genting.
Aku tersenyum miris, “mau gimana lagi,”
“kamu maunya gimana.” dia malah balik bertanya, nyebelin. “mau hidup memelihara benci atau mendamaikan diri sendiri,” kedua tangannya terlipat depan dada, seperti orangtua yang sedang menasehati anaknya, tapi aku bukan anak kecil yang butuh dinasehati, sejak kejadian menyedihkan dan menyakitkan, aku benci nasehat dari orang-orang, tapi tidak darinya.
“hidupku masih sama, gak berubah, kamu berlebihan, aku jutek tiap hari bukan berarti aku benci ke diri sendiri.” sekenanya aku membela, aku benci disudutkan, sepertinya memang benar bahwa hatiku sudah mati, susah mendengar saran dan penilaian dari siapapun.
“gak semua yang kamu benci itu salah, begitupun sebaliknya. Tuhan menciptakan semua hal didunia ini untuk diterima, termasuk perpisahan.” kata-katanya selalu saja bijak. Dia berdiri, melangkah kearah rak buku yang tertata rapi, menyentuh debu-debu halus yang mencumbui sisi-sisinya, “kamu tidak bisa memaafkan tanpa mencintai,” celetuknya tiba-tiba.
“saat aku memaafkan, maka aku selesai dengan masalah itu,” sambungku, kutipan dari salah satu penulis terkenal, Maya Angelou.
Pandangannya beralih padaku, matanya bulat teduh, aku menatapnya penuh, mata bertemu mata, saling berbicara perihal maaf dan cinta, perihal hidup dan mati sama saja, akan sama-sama membawa tanggung jawab atas diri sendiri.
Dia mendekat, menyentuh tanganku, duduk setengah berjongkok didepanku, tubuhnya mendekat, tangannya melebar, memelukku hangat meski tak erat, dia elus punggungku lembut, air mataku meledak dipundaknya, “perempuan seperti kamu bisa bahagia, akupun begitu, bahagia sudah mengenalmu,” bisiknya.
7 notes · View notes
langitbirustuff · 2 years
Text
Pada kehidupan yang diputar oleh waktu
Ada perjumpaan yang harus tiba tepat waktu
Dan, ada perpisahan yang juga tiba tepat waktu
Namun ucapan selamat tinggal tak pernah tepat waktu
Pada kehidupan yang diputar oleh hari
Adakah dunia mengerti ada sebab apa
Bisakah dunia berhenti tanpa pernah bertanya
Dia satu-satunya yang terjaga merapal nama
Ribuan detik dihabiskannya sendiri
Ditengah malam tetap tenang menanti, kehadiranku
Yang tak pernah tiba tepat waktu.
1 note · View note
langitbirustuff · 2 years
Text
Gadis Sukarara
Tumblr media
‘setiap yang hidup itu beruntung, sebab mereka ada’
Sore dengan cahaya lembayung, menggiring awan, terlihat seperti cahaya yang keluar dari langit. Gadis itu menyebutnya, cahaya Tuhan. Gadis Sukarara, sebutmu. Sewaktu diam menikmati panorama pantai yang bergulung-gulung oleh ombak, memburu nafas yang tersengal-sengal, sebab sibuk lari dari kenyataan. Wajahnya ayu khas suku Sasak, rambut panjangnya tergulung kebelakang, terselip jepit rambut bunga matahari.
Seseorang memintanya tinggal lebih lama, duduk diatas pasir putih pantai, ditemani cuitan burung camar yang berlenggok-lenggok diudara, berisik gemuruh ombak bak alunan musik rock n roll, memecah kesunyian dalam bayangan dua orang yang melamun dengan aman didepan suasana alam. Gadis Sukarara itu membelakangi cahaya lembayung, menatap seseorang disampingnya, wajah ayunya kini terlihat jelas, matanya teduh seperti rembulan, senyumnya lembut bak lautan, sesederhana penampakan alam didepannya.
Seseorang yang duduk disampingnya, terbalut tenun Pringgasela khas lombok, tangan kanannya menggenggam tuak Bali yang sudah habis ditenggaknya setengah, matanya mengerjap beberapa kali, sebab tersapu angin pantai yang urakan. “kamu jadi pergi?” tanyanya pada gadis Sukarara itu, matanya menyipit, menatap arah matahari tenggelam, silau.
Gadis Sukarara mengangguk iya, bibirnya tersenyum lembut seperti ombak yang datang menyapu pasir didepan mereka.
“mau?” tawar seseorang itu, diulurkannya tuak Bali bekasnya yang sudah habis setengah, “mungkin bisa menenangkan, setidaknya mengurangi rasa sakit.” lanjutnya lagi, gadis Sukarara itu menimbang beberapa detik, menyahutnya lalu ditenggaknya keras, berakhir aghhh. Rasa manis berakhir pahit bercampur asam, lalu tersenyum puas. Seperti sudah lama tidak merasakan sensasi minum tuak Bali.
Seseorang disampingnya terkekeh, gadis Sukarara menyusul dengan tawa, keduanya terkekeh ditemani kicauan burung camar yang satu persatu mulai menghilang, kembali pada peraduannya, matahari tenggelam mulai menyisakan sinarnya yang redup, ombak makin beradu-adu. Cahaya gelap petang menyusul, siluet mereka terekam jelas oleh langit. Dua sosok yang bertahan pada harapan dan doa-doa baik, mereka panjang umur oleh cinta yang dipeliharanya sendiri.
“besok kalau balik kesini, jangan lupa bawa tuak Bali yang banyak.” ucap seseorang disampingnya, mengangkat botol tuak ke wajahnya.
“jauh-jauh ke Jakarta hanya pesan tuak Bali, lagian tuak Bali disini paling enak ketimbang di ibu kota,” ucapnya menggoda dengan lembut, seperti suara penyanyi ibu kota kesukaan inaqnya.
“mau sampai kapan disana?” tanya seseorang disampingnya, hari semakin gelap, namun kedua manusia itu enggan mengakhiri obrolannya dipinggir pantai, obrolan terakhir sebelum mereka berpisah, sebelum gadis Sukarara meninggalkan tanah kelahirannya,
“sampai urusanku selesai,”
“gimana kalau urusanmu gak selesai,”
Gadis itu melotot, seperti menolak perkataan temannya, “hei,”
“apa,”
“omongan adalah doa, jangan gitu,” gadis Sukarara menasehati, masih dengan sikapnya yang lembut, matanya teduh seperti hujan gerimis saat sore,
Teman disampingnya malah terkekeh, menutup mulutnya cepat, mengambil botol tuak kedua, gadis Sukarara merebutnya, “jangan kebanyakan minum, nanti kepalamu pening, lalu siapa yang bakal nganter aku pulang kalau kamu gak kuat jalan,” disimpannya botol tuak kebelakang tubuhnya,
Temannya hanya meringis, sambil beberapa kali mengerjapkan mata, “kamu yakin akan pergi?” pertanyaannya masih sama,
Gadis itu mengangguk iya, disusul senyum gingsul dari wajah ayunya, “aku ke Jakarta kan untuk menikah, bukan jadi pembantu, hehe,” jelasnya, “setelah menikah, aku bakal balik kesini, kita bakal ketemu lagi, tapi bedanya aku udah gak bisa nemenin kamu minum tuak lagi,”
“gimana kalau kamu gak usah pergi dan menikah, disini saja, menikah denganku,” kata seseorang itu dengan wajah serius, ntah apa yang membuatnya berani mengatakan itu.
Gadis Sukarara terkekeh dengan keras, hingga meremas perutnya sebab kram dan lucu, lalu beberapa detik diam, pandangannya beralih ke depan ombak, seperti memikirkan sesuatu diluar dirinya, seseorang disampingnya, yang melarangnya pergi, mengajaknya menikah, memintanya tetap tinggal dengan ide-ide ngawurnya, sedetik kemudian dia menemukan kembali kesadarannya, “kenapa baru bilang sekarang?”
Seseorang disampingnya kaget, gelagapan dengan pertanyaan yang menyudutkannya tiba-tiba, “hmm, maksudku jangan pergi ke jakarta, menikah disini saja.”
“denganmu,” sambung gadis itu cepat,
“kamu mau?”
“bukan soal itu,”
“lalu,”
Gadis Sukarara mengambil nafas panjang, “kenapa gak dari dulu,”
“aku takut,” seseorang itu menyembunyikan wajahnya, ciut, takut memang menyebalkan.
“dan pada akhirnya kamu kehilanganku, sebab ketakutan yang kamu ciptakan sendiri,” gadis itu berkaca, matanya berair, dadanya sesak, dia juga ada rasa, namun terlambat, pekan depan dia harus menikah dengan laki-laki lain,
“maaf,” kata itu keluar dari mulunya yang bau tuak
“untuk apa,”
“sebab aku pengecut,”
“benar,” mata gadis itu semakin berkaca, ingin menangis namun ditahannya sekuat dia mampu, hatinya bergemuruh, ingin meledak detik itu juga, namun kesadarannya mengambil alih, dia memilih menangis. “dan kamu membiarkan aku menikah dengan oranglain,”
“aku bisa apa, hanya perjaka kampung yang kerjanya minum dan bermain musik ke kota-kota kecil,” seseorang itu merendahkan dirinya, dalam balutan pedih yang ia ciptakan sebab nasib yang ia pertahankan untuk tetap menjadi musisi kampung.
“semua orang sama saja,”
“soal apa,”
“sama-sama jahat soal cinta, satunya pengecut dan satunya lagi menyerah sebab perjodohan yang gila,” kata-kata kasar yang semuanya benar keluar dengan mulus dan apik dari mulut gadis Sukarara itu.
“manusia memang jahat, jangan percaya siapapun, termasuk aku, meski mencintaimu,” seseorang itu menyambung dengan perkataan yang tetap merendahkan dirinya, “anggap aku tidak pernah mengatakan ini, tetaplah menikah dengan lelaki pilihan inaqmu, menikah punya anak dan bahagia disana, buat hidupmu semegah ibu kota, disana kamu bisa mewujudkan mimpimu sebagai desainer terkenal, ketimbang disini, kamu hanya berteman dengan pantai dan laki-laki pengecut sepertiku,” seseorang itu menampar dirinya sendiri, menjadikannya tak punya harga diri, persetan dengan harga diri, jika detik ini ia kehilangan segalanya, dirinya, dunianya, nyawa bahkan sebab ia bermain musik dan menulis lagu, gadis Sukarara.
Gadis Sukarara itu diam, tidak bergerak atau menjawab, dirinya lebih terlihat menikmati gempuran angin petang yang semakin awut-awutan memberantakkan rambutnya, menampar-nampar wajahnya, sedang diujung barat mendung semakin mendekat kearah pantai, sepertinya hujan akan menyambutnya, namun kedua manusia itu masih bertahan, tidak bergeming.
Seseorang itu mengajaknya kembali, “ayo aku antar pulang, sebelum hujan,” ajaknya, siap bergegas,
Gadis Sukarara tetap diam ditempatnya, seperti patung dalam rumah, dirinya terlihat menikmati pantai, seperti enggan beranjak meski harus diguyur hujan. “bagaimana jika aku tidak pergi ke Jakarta dan tidak usah menikah,” suaranya parau,
Seseorang disampingnya kaku, jantungnya seperti dipaksa berhenti, “jangan ngawur,”
“aku tetap disini dan menikah denganmu,”
“orangtuamu akan kecewa, kamu akan dikutuk oleh Dewa sebab durhaka.” seseorang itu berkata benar, “maaf,” lanjutnya lagi,
Gadis itu menatap matanya, kali ini ia berani, membaca rasa sakit yang diderita seseorang disampingnya selama ini. Takdir memang begitu, terkadang seseorang yang kau cintai dengan setulus hati bukan menjadi takdir terbesarmu, dia hanya bagian dari perjalanan takdirmu. Tuhan memang tidak mengijinkan kau memilikinya, tapi Tuhan mengijinkan kau mencintainya. Bahwa apa yang sudah diciptakan, memiliki garis hidupnya masing-masing, tidak bersama bukan berarti tidak beruntung, semuanya beruntung sebab mereka ada dan dihidupkan.
3 notes · View notes
langitbirustuff · 3 years
Text
hari ini hujan dari pagi,
dua manusia terjebak dalam ruangan sendu, mengumpat pagi-pagi sekali sebab hujan yang datang mendahului, membuyarkan rencana, menambah sendu yang beradu. satunya memainkan gitar, sedangkan satunya memeluk violin tua. duduk menekuk kaki diatas kursi jengki jati tua,
seseorang yang memeluk violin memecah keheningan, tidak ingin kalah oleh suara gemuruh hujan meski masih pagi, "aku mau ngomong," matanya melirik ke samping, ke seseorang yang terlihat asik memetik senar gitar martin n co.
"ngomong aja," jawabnya singkat,
"katamu, aku gak boleh mati,"
"iya, bener." sambungnya cepat,
"tapi," dia menyela, dengan segala kekhawatiran yang dibawanya,
"mati itu siksa, kamu akan berhenti tumbuh, berhenti bergerak, berhenti tersenyum, berhenti menangis, berhenti jatuh cinta, menjadi rusak. dan seniman seperti kita gak boleh mati." jelasnya, senyumnya mulai tampak, gingsulnya menyembul keluar, manis.
seseorang itu menggigit bibir, berfikir. menimbang dengan segala bisikan yang memuakkan. "jadi, seniman gak boleh mati,"
"iya." singkatnya lagi, wajahnya masih tersenyum,
"kalau aku memutuskan untuk berhenti, bagaimana?" dia melemparkan tawaran,
"katamu bermain musik dan menulis itu menyenangkan, seperti doa yang menjagamu dari rasa rusak," dia membenarkan duduknya, diluruskan diatas meja jati berserat, "lalu, kenapa harus berhenti kalau kamu bahagia," tatapannya menjadi lembut, ada cinta disana, yang tak mampu dibagi.
seseorang itu mengiyakan, memeluk violin dalam dekapan lebih erat, semakin menimbang haruskah dia berhenti bermain musik dan menulis? semua pertanyaan yang tak pernah ada jawaban datang menyerang, seperti bom waktu. meledak saat itu juga, menyebalkan.
seseorang yang memegang gitar menggeser duduknya, lebih dekat, wajahnya maju, "jangan mati dan berhenti, kamu harus tetap bermain violin dan menulis lagu, aku tetap bermain gitar dan menulis buku, setuju kan." setelahnya dia tersenyum penuh, bibirnya yang merah meski sering merokok,
"nyanyi yuk" tawarnya, dibukanya pintu, udara dingin masuk, hujan sudah sedikit reda, gerimis kecil, dengan penampakan bunga kenikir warna-warni yang basah.
"lagu apa,"
Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah
Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari
hujan di mimpi, banda neira menjadi penutup obrolan pertama pagi ini, dengan rencana yang mesti dijalani, berdua. dua seniman muda yang hidup sebab dipersatukan Tuhan, dipelihara oleh cinta, musik dan tulisan-tulisan.
6 notes · View notes
langitbirustuff · 3 years
Text
Sudah dua hari ini mendung
waktu itu kebetulan dengerin musik gardika gigih di spotify. sudah dua hari ini mendung, musik yang sederhana, irama yang beraroma, jentikan piano yang melow, deretan nada yang menuntunku pada bayangan semu, satu persatu terurai dalam ingatan. bayangan seseorang, obrolan ditengah hujan, potret kucing gembul peliharaan. semuanya menjadi bingkai yang tersusun rapi dalam memori, terkubur dalam-dalam.
sudah dua hari ini mendung, sudah dua belas bulan tanpa kabar dan sapaan "hai," dalam kolom chat whatsapp. sudah lima puluh empat pekan tanpa saling tatap dan janjian naik kereta bareng. sudah banyak hari yang hanya berlalu begitu saja, tanpa adanya seseorang setelah perpisahan yang tak direncanakan dan tanpa berjabat tangan itu.
sudah dua hari mendung, seperti telegram tanpa kabar, kosong. sudah dua tiga empat lima enam bahkan ratusan hari mendung. seperti isi pikiran dan hati kita masing-masing, berjarak tanpa tau kapan akan bertemu kembali, pada garis takdir yang mana dan kapan, pada kondisi masih berharap atau bahkan hilang harap. sudah dua hari mendung, potret dua sosok berbincang ditengah hujan, menyeduh kopi ditengah kota yang selalu dingin.
3 notes · View notes
langitbirustuff · 3 years
Text
bagaikan jiwa yang terpisah,
mati enggan hidup pun susah,
jiwanya tlah lama direnggut waktu.
perempuan berambut coklat berkilau, sunkissed sore sedang menyorot dirinya, dalam bingkai cahaya menjelang senja yang indah. mendekap gitar akustik, memetik dengan jemari kecil, menyanyikan lagu nadin amizah, mendarah. mewakili perasaan yang seluruh liriknya benar.
setidaknya, ada cerita...
dimana ada kamu dalamnya...
suara halus mengisi ruangan dengan gema khidmat, aroma pengharum wood menyebar keseluruh ruang. bak mantra-mantra yang diucapnya dalam naungan nada dan irama. dipejamkan matanya, bayangan pada seseorang yang sudah hilang kabarnya, lenyap wujudnya, berakhir takdir untuk mengenalnya.
nama mu jadi rahasia...
dalam diam kan ku bawa, mendarah...
jauh, melebihi jarak. bukan sebab kesalahan atau dosa, namun memang begini jalannya. takdir kita sudah selesai, cukup pernah mengenal satu sama lain, bercerita tentang kesukaan yang sama, menyukai musik yang sama, bernyanyi ditengah malam bersama, menertawakan banyak hal, banyak-banyak tersenyum, banyak-banyak berdoa, banyak-banyak bersyukur, bersama-sama. kabarmu kini, berubah seperti awal, sewaktu kita belum saling mengenal, sampai jumpa dikehidupan selanjutnya. nama mu jadi rahasia.
9 notes · View notes
langitbirustuff · 3 years
Text
lagu Hypnotised Coldplay, ia nyanyikan dalam remang, dengan petikan gitar dipelukan. gitar tua peninggalan pamannya, mantan musisi jazz kampung.
...now i'm hyp, hypnotised
...yeah i trip, when i look in your eyes
...now i'm hyp, hypnotised
...yeah I slip and I'm mesmerized
dinyanyikannya dengan lirih sedikit sumbang, bukan sebab flu atau menangis, memang dibuatnya begitu. ia tatap face paint monokrom dirinya dalam bingkai figura black steel, gambar itu terlihat tersenyum padanya. ia balas senyum kecut, bahwa kenyataannya dia hanya seorang pengecut.
ia seduh teh oolong yang sengaja dibuat dari sore, dalam secangkir blirik sedang. disentuhnya, masih hangat.
handphone di depannya nyala, seseorang mengirim pesan, "kalau suka ungkapin, jangan jadi pengecut terus-terusan."
ia menggigit bibir, bingung. lebih tepatnya takut. takut kalah, takut patah, takut jatuh tanpa sempat cinta. banyak, ia hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri yang terlanjur rusak oleh macam-macam perasaan sebelumnya.
ia ambil nafas, mengetik beberapa kata, diam beberapa detik, menit hingga cukup lama, bimbang. ia jatuhkan handphone disampingnya, ia biarkan pesan itu hanya terbaca, lanjut bernyanyi.
...people want to chose
...they just see it from different views
...and threading the needle
...fixing my flame
...oh now i'm moved to exclaim
...oh again, and again
ia nikmati petikan gitar yang semakin merdu dan meneduhkan, seperti sebuah pelukan dan jalan keluar.
2 notes · View notes
langitbirustuff · 3 years
Text
Mantra Dini Hari
Tumblr media
Gorden putih gading menggantung dengan aman, menghalau penampakan isi rumah dari luar. Sebuah rumah peninggalan Belanda, bercat kuning bakung. Berdiri tegar, di tengah pemukiman yang sudah modern. Malam sedang dibungkus oleh hujan sedari siang, rintiknya seperti enggan berhenti walau hanya sedetik. Manusia lain enggan keluar, memilih bersembunyi pada bilik masing-masing, suara serangga musim hujan menjadi nyanyian pengantar lelap, sekaligus pengusik telinga.
Seorang perempuan, berwajah ayu dan tegas, memiliki mata coklat muda bak perempuan Alpina, berambut hitam gelombang sebahu, duduk dengan khitmad di depan teras rumah luas nan lenggang. Menatap halaman dengan aman. Wajahnya menengadah keatas, menatap langit yang gelap disertai mendung menggantung meski sudah malam.
Matanya dipaksa terpejam, tidak ingin menangis. Makhluk-makhluk tak kasat mata mengintip dari cela-cela lorong tak terlihat, bersembunyi dibalik gelap yang menggerayang remang. Sedangkan dirinya tidak peduli, tak takut maupun bergeming oleh keadaan meski mencekam, cemas dan seram.
Sampai kapan mau bertahan? Batinnya. Angin malam yang menusuk relung dibiarkannya memeluk. Pada tubuh yang tak berbaju hangat, pada mata yang panas sebab menahan air mata, pada hati yang dibiarkannya terluka dari awal, mencintai tidak pada takdirnya. Perempuan ini kehilangan dirinya!
Bayangan seseorang mendekat, berjalan kearahnya. Dari pagar rumah yang dibiarkan terbuka dari sore. Padahal dia tidak suka pagar rumah terbuka jika dia ada.
Seseorang itu berdiri dihadapannya, melepas kets Converse butut yang bercampur lumpur halaman, “ngelamun?�� dia tidak membalas, pandangannya tak berubah, hanya helaan nafas panjang sedikit berat.
“hei, are u okay?” tanya seseorang itu lagi, "habis nangis?" Dia mengangguk lemah, menelan ludah. Seseorang itu duduk di kursi sebelah yang kosong. Melepas sweater rajut putih gading miliknya, mendekapkannya pada tubuh perempuan menyedihkan itu, “sedih boleh, tapi jangan sakit.” tatapnya sedih, "gak mati, malah masuk angin," usahanya menghibur bercampur prihatin.
Dia tak kuat, air matanya meledak detik itu juga. Seperti bom waktu, memecah kekuatan dari dalam. Dia menutup mukanya penuh, dengan kedua tangan kecilnya, seseorang itu merengkuhnya, memeluk dengan hangat.
“mencintai dan sakit sendirian memang menyakitkan,” ujar seseorang itu dalam pelukan, yang melebur dalam sakit dan meluntur dikit demi sedikit. Suara tangis perempuan, ditengah malam yang sunyi, dekat dengan hutan dan jauh dari keramaian. Membuat yang mendengarnya meremang tak karuan.
“sampai kapan mau bertahan?” tanya seseorang itu, lagi.
“sampai gak kuat lagi,” ucapnya lemah, akhirnya perempuan itu berbicara.
“masih kuat?” seseorang itu memastikan keadaanya.
Dia mengangkat kepalanya dari dekap pelukan. “gak tau,” tatapannya kedepan, kosong.
“yang tau masih kuat atau enggak, itu dirimu sendiri.” sambung seseorang itu bijak.
“setelah ini aku kudu gimana?” tanyanya.
“aku gak tau, yang tau cuman kamu. Berhenti mengandalkan oranglain, kekuatan sekaligus jalan keluar ada dalam dirimu sendiri.” seseorang itu berkata jujur, tidak mengada-ada, “kamu tau?” sambungnya lagi.
“apa?” perempuan itu menoleh kearah suara.
“sekarang adalah waktu yang tepat untuk meminta segala hal,” seseorang itu menatap langit, matanya seperti menangkap sesuatu. “mengucap mantra dini hari, yang tak diketahui oleh siapapun, komunikasi satu arah.”
"Satu arah?” tekannya,
“benar, kamu dan Tuhan.”
“tapi aku harus bilang apa?” perempuan itu terus saja bingung.
“hei,” seseorang itu mengarahkan tubuh perempuan menghadapnya, “lihat sini. Yang tau hanya kamu, obrolin semuanya, minta apapun bahkan hal yang tak mungkin sekaligus, rapal mantra seingatmu, sebanyak-banyaknya. Sampai tuhan benar-benar tau, kalo kamu butuh jalan keluar.” nadanya berat, mengajari.
Perempuan itu menutup mulutnya rapat, seperti paham, seperti punya gambaran, apa yang akan dilakukannya malam ini, ditengah hujan yang telah reda menyisakan aroma basah. Ia memejamkan matanya, rapat. Seperti orang berdoa, lama, cukup lama, dan berakhir dengan ucap “aamiin”.
“sudah,” ucapnya setelah membuka mata, mengusap kedua telapak tangan ke seluruh wajah.
"lebih baik?" seseorang itu memastikan keadaannya, perempuan itu mengangguk kecil, binar dari matanya mulai terlihat. itu artinya hatinya sudah lebih baik, malam ditutupnya dengan segala keyakinan yang dikumpulkannya dalam pelukan orang-orang tersayang.
4 notes · View notes
langitbirustuff · 3 years
Text
choco and cigarettes
obrolan menjelang petang, di sudut kota penuh cerita. ditambah asap kretek mengepul mesra, menambah keadaan tenang yang tak seperti biasa. menyeduh tawa yang sebelumnya terbungkus cerita kecewa, hati yang patah, harapan sia-sia, seseorang yang hilang, cinta berakhir duka, banyak.
..."ikhlas itu ternyata karena kita terbiasa ya, dan tau gak, sekarang aku udah gak ngerasa sakit lagi, udah ga kepikiran dia lagi, udah gak khawatir soal keadaannya lagi. dan udah gak kangen dia lagi, aku udah biasa banget." senyum sungging, jari kirinya mengapit kretek yang hampir habis. hisapan terakhir, lalu dibuangnya ditengah jalan. seperti membuang perasaan sakit terhadap masa lalunya. iya, ikhlas karena terbiasa, ikhlas karena rela, ikhlas karena sudah tak butuh, ikhlas karena sudah semestinya.
aku manggut kecil, menyahut sekenanya, menyalakan lelucon, "kunci ikhlas adalah pikun," kita tertawa, meremas perut masing-masing, mengusap air mata kecil yang keluar disudut mata akibat tertawa banyak.
..."kalo kamu, gimana?" tanyanya, kedua tangannya terselip dalam saku hoodie gelap, menghindar dari udara dingin kota. bisa-bisanya dia tanya aku gimana,
aku tersenyum setengah bibir, membuang pandangan ke jalanan lenggang. petang berhasil mencumbu malam, tanpa jeda dan spasi waktu yang dapat dihentikan. seperti pasir waktu pada permainan budaya Persia, pertanyaannya memburu, sedangkan aku ingin menghentikan waktu. "aku masih gini-gini aja," jawabku akhirnya, menyentuh coklat hangat sebagai penenang rasa canggung.
..."masih aja bohong ya, mau sampe kapan?" skaknya, resek banget pertanyaannya. padahal dia tau, aku perempuan yang gak gampang ngelupain seseorang.
..."ya gak tau, kalo kamu tanya aku, aku harus tanya ke siapa," kedua bahuku terangkat, sebagai tanda kalo aku ga punya jawabannya. "seandainya, Martin Cooper tidak menemukan telepon genggam waktu itu, seandainya Robert Goddard menemukan alat pendeteksi kebohongan, bukan malah menciptakan roket untuk keluar dari bumi. mungkin aku juga bisa menunda patah hati ini, iya kan?" pertanyaanku berbalik padanya, seperti menanti persetujuannya, bahwa manusia memang tukang bohong, manusia memang makhluk penghianat paling sempurna di dunia.
dia diam, mengambil kretek satu, siap dibakar, seperti mencari inspirasi dalam kepulan asap pekatnya. "manusia seperti kita, memang suka berlindung dengan kata "seandainya". padahal semua itu pilihan." dia menasehati, pandangannya beralih pada lampu jalanan yang terang, membuang nafas banyak-banyak, berharap masalah yang menyumbat hatinya ikut pergi terbawa angin malam.
..."hidup memang soal pilihan, semua orang juga tau." aku menyambung sedikit jengkel, bukan padanya, tapi pada keadaan. sebenarnya hidup yang baik dan benar itu yang bagaimana?
dia tersenyum tipis, dimatikannya kretek ditangan kanannya dengan lembut, padahal baru dibakar. "gak gitu konsepnya cantik, balik ke awal bahwa ikhlas itu karena terbiasa. terbiasa kangen sendirian, terbiasa nangis tiap malem, terbiasa sakit karena ingat seseorang yang kita suka, banyak lagi. karena udah terbiasa, lalu kita lupa kalo kita lagi sakit, lupa kalo lagi kangen, lupa kalo dia sejahat itu ninggalin kita, dan akhirnya kita terbiasa lalu ikhlas, udah gitu aja." dia menutup kepalanya dengan hood jaket miliknya,
aku membuang nafas, menerima penjelasannya. banyak setujunya, sebenarnya kita hanya perlu menerima banyak-banyak, memaafkan banyak-banyak, lalu ikhlas dan lupa.
..."semua udah ada jalan hidupnya masing-masing, setiap orang punya sakitnya masing-masing juga. jangan lupa, yang sakit bukan kamu aja, aku juga, mulai saat ini berhenti merasa paling sedih, banyak diluar sana, bukan kamu aja." nasehatnya selalu sama, tapi kali ini berbeda, mungkin karena suasana ditambah kedai tempat ngopi kali ini cukup memberi tenang.
choco and cigarettes
..."hmm soal Robert Goddard kenapa ga nyiptain alat pendeteksi kebohongan, untung sih," katanya
..."lah kenapa?" aku penasaran,
..."soalnya kita berdua tukang boong, gaada gunanya dong kalo misal ada alat itu," kita terkekeh, sebelum akhirnya gerimis membuat kita berpindah masuk, semoga ada kabar baik setelah ini, untuk hati yang sedang patah.
3 notes · View notes
langitbirustuff · 3 years
Text
Tumblr media
pada kehidupan yang hanya seperti pagi ke sore, banyak alasan bagi manusia untuk menangis. hal yang paling sederhana, memotong kuku terlalu dalam, jari kaki kejeduk kursi, jidat tumbuh jerawat, tertinggal kereta saat pekerjaan overload, dan yang paling menyedihkan adalah berpisah dengan orang-orang tercinta.
dini hari, menjadi perpisahan tanpa suara. hanya tulisan yang mengandung emosi dan tangisan. perempuan seperempat abad, menangis lirih sesenggukan, sebab ditempa kecewa. yang dari awal tak pernah terlintas dalam doa-doa khusuknya.
dini hari, ruangan remang penuh doa baik dan air mata. bak menjadi cahaya dewi-dewi. perempuan seperempat abad, menguatkan dirinya sendiri ditengah cahaya remang yang memeluk dengan resah.
dini hari, dalam hati menyebut nama tuhan. yang katanya, tak pernah meninggalkan, tetapi mengijinkan dia menangis lagi malam ini. perempuan seperempat abad, sedang berusaha berdiri sendiri, sendirian dan menyedihkan.
dialog dini hari, seseorang mendekat dalam remang, "gapapa, setelah ini semoga ada kabar baik. bertahan sedikit lagi ya," kata penguatan selalu hadir ditengah rasa sakit.
perempuan seperempat abad, menatap kosong, lelah bercampur sisa-sisa asa. "mau sampai kapan?" tanyanya pada seseorang disampingnya, andai dia bisa bertanya langsung pada tuhan yang dia percayai saat ini.
"sampai kamu terbiasa, lalu ikhlas dan gak sedih lagi," seseorang mengambil camera, memotret dirinya. mengabadikan dalam bingkai air mata. "tuhan gak nyiptain sedih doang, ada bahagia juga. jangan pesimis gitu, nanti tuhan tersinggung." sambungnya lagi.
perempuan seperempat abad, mulutnya mengucap mantra dini hari, beserta doa untuk dirinya yang telah patah. berharap tenang datang.
1 note · View note
langitbirustuff · 3 years
Text
minggu kedua bulan februari,
cemas, seperti sore pada umumnya. hujan, seperti sore-sore sebelumnya. kering, seperti biasa. sepi, seperti rumah tak terjamah. kesal, seperti berjalan tanpa tujuan. pilu, seperti rindu yang tak kunjung temu.
minggu kedua bulan februari,
classic earl grey, belum berubah atau ingin berganti. masih jadi penghangat di bulan ini. meski bukan hujan di bulan juni seperti Sapardi, tapi februari cukup membuat genting-genting basah tanpa sempat mengucap. sweater jadi teman melamun paling hangat, benang-benang kepang menjadi pendengar, seperti benda mati yang hidup, pada hati pemiliknya.
minggu kedua bulan februari,
masihkah dia hidup dengan doa-doa? jika pada dirinya saja sudah tak percaya. masihkah dia menjadi manusia? bahwa alam sadar mengambil alih penuh kesadarannya. masihkah dia menjadi orang baik? yang seharusnya membawa kebahagiaan, terbungkus cinta yang tak adil? masihkah dia percaya, bahwa tulisan ini nyata? padahal main-main saja.
1 note · View note
langitbirustuff · 3 years
Text
kamis, malam jumat pahing.
seperti biasa, gak ada yang berubah. masih suka makan tumis ati sapi, minum susu low fat minimarket, sepulang kerja mampir beli donat, main twitter, cek kuota internet, ketagihan beli skincare korea, benci jerawat, baca thread horror sampai tengah malem, nonton video lucu sampai sakit perut.
masih sama, gak ada yang berubah. masih suka bau bantal sendiri, tidur siang sampe sore, badan kurus sedikit sexy, rambut coklat, akibat warna rambut yang gagal. masih sama, gak ada yang berubah.
kamis, malam jumat pahing, kamar yang remang, minim cahaya tapi penuh doa-doa yang tersimpan rapi, "pengen nulis lagi," ucapnya, mulutnya disumpal donat mini yang dia beli siang tadi. oranglain bilangnya sih dia bodoh, gara-gara patah hati harus pensiun dini menulis di blog pribadi, padahal dia bak pendongeng handal.
kamis, malam jumat pahing. seperti lembar kertas kerja di atas meja. malamnya berlalu begitu saja, masih sama, gak ada yang berubah, termasuk dirinya. masih sama, harapannya tak berubah, masih sama, nasibnya tetap begitu saja, masih sama, dia bodoh. seperti lembar kertas kerja di atas meja lagi, mampir memberi rencana, tapi tetap saja tak ada yang berubah, masih sama. kamis, malam jumat pahing.
1 note · View note
langitbirustuff · 4 years
Text
aroma selepas hujan, secangkir kopi hitam dan gitar.
tampak dari luar, sebuah rumah peninggalan belanda, bercat putih gading, beratap kerucut. Gentingnya sudah usang termakan usia, terpapar panas dan guyuran air hujan. Halamannya rimbun, oleh rumput liar yang dibiarkan bahagia, sedangkan dirinya tidak.
aku rindu kau yang dulu
dan obrolan kecil kita
kini bagai dua orang asing
tidak saling tanya.
jemari yang kurus panjang, memetik sinar gitar dengan lincah. Bibirnya terbuka, mengucap lirik sesuai lagu Nadir milik Fiersa. Matanya menerawang kedepan, pada jalanan lenggang, terang. Sedangkan tempatnya remang temaram, sengaja lampu halaman tak dinyalakan semua. Sampoerna kretek disahutnya satu, dibakarnya, hisap, legaaa.
tak ada lagi obrolan, adanya kehilangan. Tak ada lagi saling tatap, adanya hilang harap. Kini bagai dua orang asing, tidak saling tanya.
ditutupnya malam dengan sisa gelisah, meski dirinya sadar bahwa perempuan itu bukan lagi miliknya.
3 notes · View notes
langitbirustuff · 4 years
Text
Hidup
..."sayang, pelajaran hidup itu banyak macamnya. jangan kau kira manusia yang ngamen dijalan, berbekal kaleng plastik diisi kerikil, mereka tidak belajar, mereka belajar. belajar bertahan hidup, belajar mencari-cari syukur dan Tuhan ditengah-tengah terik matahari, belajar menelan ludah bagai menelan es teh manis, belajar pura-pura tersenyum dengan bibir merona, meski perut tersayat sudah berapa hari belum terisi nasi."
..."sayang, jangan kau kira, kau tidak belajar, semua manusia sedang belajar. belajar hidup, meski dari jurusan komunikasi, tapi berakhir menjadi script writer, dari jurusan kesehatan, tapi berakhir menjadi marketing umroh, dari jurusan ilmu jiwa, berakhir menjadi sakit jiwa, contohnya kamu, heuheuheu," tawanya pecah, tangan kanannya meremas perutnya gemas, kaku, akibat menertawakan kalimatnya yang lucu.
..."sayang," lanjutnya. "jangan kira kita tidak hidup, jangan kira kita tidak bermanfaat. tukang parkir bermanfaat, tukang kayu bermanfaat, tukang ghibah? hmmm," matanya melirik keatas kanan, berfikir. "tukang pahat? jelas bermanfaat, kalau tukang gitar sepertiku? jelas bermanfaat sekali, tugasnya kan menghibur. kalau tukang curi uang rakyat? hmmm," dia tidak melanjutkan, berakhir dehem, dasar laki-laki bodoh.
"sayang," ucapnya seperti memanggil, atau malah ingin melanjutkan ocehannya. aku diam, tidak menjawab. "budek? atau pura-pura budek?" sambungnya,
"jangan kira kita tidak hidup," sambungku cuek, mengejek. dia terkekeuh, menggeser duduknya lebih dekat denganku.
"iya. udah deh, jangan mengeluh soal hal yang sama. aku bosen tau gak sih, heuheu." dia melempar kulit kacang yang selesai dikupas, kearahku, "lihat sini,"
aku menatapnya, jengkel.
"mereka, belum tentu bisa seperti kamu. my world is yours," kalimatnya sok inggris, padahal toefl sudah gagal 4 kali, dasar bodoh.
aku manggut-manggut, macak bodoh, "terus?"
"cukup syukuri yang kamu punya saat ini, apa lagi sih yang harus dikejar?" ucapnya menenangkan, mengunyah kacang, sungging terlihat diwajahnya.
aku menatap, ragu, "banyak, sesuatu yang pantas untuk aku kejar." jawabku
"apa? apa coba? keluarga? mereka masih bisa kamu peluk satu persatu setiap hari, pekerjaan? kamu lebih beruntung dari aku yang hanya pemain gitar, pendidikan? kamu sudah lulus tepat waktu, daripada aku yang terancam DO, heuheu" dia menggaruk kepalanya, yang tidak gatal. "apa lagi? pacar? lah aku ini, ganteng sih, tapi gak kaya, heuheu," pujinya sendiri.
aku membuang nafas berat, "bukan itu masalahnya,"
"terus?" tanyanya bingung, tangannya masih sibuk mengupas kacang.
"aku sendiri gak tau masalahnya apa, padahal semuanya terlihat sempurna kan. tapi kenapa sih, masih banyak yang kurang, masih belum tepat, masih banyak yang harus dikejar." jelasku panjang, semoga dia mengerti, dia sedikit oon soalnya.
dia mengunyah kacang dengan santai, "ohh aku tau, masalahnya kamu kurang bersyukur, gak pernah lihat sekeliling, terlalu menuntut banyak hal, ini dan itu, gak penting." dia bangkit dari duduknya, tangannya menyahut sampah kulit kacang yang berserakan, memindahkannya kedalam kantong plastik sampah.
udara semakin dingin, matahari diatas kepala sudah hilang ntah kemana. seperti rasa sesal yang tiba-tiba lenyap, ntah karena apa, mungkin karena laki-laki baik tapi bodoh disampingku, salah satu sebab syukurku.
"mau cari ayam gunung?" tawarnya berdiri, memasangkan hood ke-kepalaku.
"emang ada?" sontakku,
"hmm, gak ada sih. heuheu," dia resek, tapi baik. aku tertawa, memukul lengannya, dia menjulurkan tangan, aku menggenggamnya, berjalan beriringan, menepi jauh dari tenda. menikmati udara yang lebih tenang menenangkan.
sambil berjalan, dia memotret view kota diatas ketinggian, berucap, "semakin tua, semakin banyak yang akan kamu lihat dalam hidup." senyumnya padaku, aku mengangguk.
"terima kasih," ucapku lirih, aku takut dia geer.
"apa? ngomong apa? ga denger, yang keras dong." godanya, aku menginjak kakinya gemas, dia tertawa kesakitan.
"menua bersamaku ya." ucapku akhirnya, dia merangkul bahuku lembut, tersenyum mengangguk iya. bahagia sekali Tuhan, meski banyak hal yang harus diselesaikan satu persatu, tapi setidaknya laki-laki disampingku menjadi rumah bagi keluh maupun menaruh rasa. terimakasih.
0 notes
langitbirustuff · 4 years
Text
Peran
Tumblr media
Lirik lagu banda neira. Langit dan laut, mengalun mengiringi obrolan kecil, sore waktu Surabaya. Menemani manusia yang sedang sakit dan berusaha untuk baik-baik saja. Mengajak duduk di atas bangku kayu, dalam suasana kedai kopi nuansa klasik. Seorang barista tersenyum ramah, menawarkan menu kopi andalannya. Mempersilahkan duduk dan ngobrol bersama. Tuhan itu memang bisa berwujud apa saja ya, termasuk senyum dan segelas kopi susu yang tiba-tiba sedikit melunturkan rasa sesal dalam dada.
Sore waktu Surabaya, cuaca sedang cerah. Meski di sebelah barat langit terlihat bercampur mendung tipis. Namun, cahaya sunkissed tetap hangat memeluk tembok-tembok yang lembab, seperti mengatakan, "jangan takut sendirian, aku disini."
Aku yang mengenakan celana jeans oldblue, berkemeja Polyester tebal cukup gerah, duduk di depan meja kasir, menopangkan kaki, menyahut buku menu bercorak abstrak, cantik sekali, batinku.
Seorang laki-laki yang menggunakan apron coklat mendekat, "hai, kesini lagi," sapanya sambil tersenyum ramah, tangan kanannya menggenggam cangkir putih tulang bersih.
"eh, hai. iyanih," balasku canggung.
"kopi susu? atau mau coba yang lain,"
"hmmm," aku mengembangkan pipi, terlihat berfikir, pandanganku memeriksa beberapa jenis kopi yang berjejer di belakangnya, rapi dalam wadah unik kayu, khas jawa, keren.
"hmm aja, gak mau kopi?" dia bertanya, disusul tawa renyah dari suaranya.
Aku seketika tertawa, "eh gak gitu, oke, kopi susu dingin, satu." ucapku sambil mengangkat jari, menunjukkan tanda satu, dia tersenyum, mengangkat jempol tangan kiri.
Kuusap buku menu bersampul abstrak, timbul tiga dimensi, seperti latar sebuah cerita di buku dongeng yang aku punya, cantik sekali, pujiku lagi.
Dia melirikku, mendapati, aku yang sedang menikmati nilai keindahan dari sampul menu, "itu lukisan tangan sendiri" sahutnya
"oh iya, cantik sekali. siapa yang ngelukis?" tanyaku, mataku masih tak beranjak dari gambar.
"aku" jawabnya singkat,
Aku mengangkat kepala, beralih cepat, menatapnya "wow, keren, selain pintar bikin kopi, ternyata jago lukis juga nih," senyumku mengembang, disusul dengan senyum di wajahnya.
"hobby dari kecil kalo soal ngelukis," dia mendekat, menyerahkan kopi susu dingin yang sudah siap, mengambilkan sedotan kayu dari wadah, menyodorkan padaku, "buat kamu," tersenyum lagi, sepertinya dia Dewa senyum,
"give away? padahal baru tiga kali loh kesini, gimana kalau udah sebulan, bakal dapat apa nih?" kita terkekeh,
"anggap saja rezeki, karena sudah mampir kesini," dia menarik kursi kayu yang agak jauh di belakangnya, mendekat ke arah meja, duduk dengan ringan, "lukisan ini aku gambar persis dengan latar cerita sebuah buku, kisah tentang perempuan dari Negeri Oldsky, suka berburu, tapi tak pernah mendapat hasil buruan," dia menjelaskan alasan dari lukisan yang aku suka.
"Emma, perempuan berambut hitam, bermata biru, titisan Dewa bumi, takdirnya menjaga bumi, bukan membunuh makhluk bumi, itulah kenapa bidikannya selalu gagal ketika memburu," lanjutku, yes, betul, batinku, apa yang dia ucapkan sama dengan buku yang aku punya.
"kamu juga baca buku itu? wow, tos dulu," dia tampak bersemangat, aku terkekeh, membalas tosnya, "dia lahir pada ruang hampa, tidak menangis,"
"tapi langsung menjajak bumi, begitu kan?" sambungku cepat,
Dia terkekeh lagi, seperti bocah kecil yang bahagia ketika mendapat hadiah, "betul, Dewa Us mengajarkan kepada Emma, bahwa dia gak bisa lari dari takdirnya, sekuat apapun menolak, dia tetap makhluk bumi," tatapannya menerawang ke atas, langit, "dan Dewa Us sengaja lenyap, oh maksudku bersatu pada tubuh Emma,"
"oh, jadi, Dewa Us gak menghilang, tapi hidup dalam tubuh Emma?" aku sedang menikmati cerita yang keluar dari mulutnya, menopang dagu, menatap matanya, bening.
"heem," dia mengangguk, memperbaiki posisi duduknya, "kamu tau kenapa Dewa Us menghilang tiba-tiba? dan ternyata, bersemayam di tubuh Emma," aku menggeleng sedih, "itu karena dia harus menebus sebuah dosa,"
"dosa?" aku mengangkat satu alis,
"betul," jawabnya cepat, menjentikkan jari, tatapan berubah curiga, "tunggu, kamu belum baca buku itu sampai habis ya?"
Aku terkekeh tertunduk, terpojok, mengangguk menahan tawa, "lanjutin ceritanya dong, janji, setelah itu aku bakal baca bukunya sampai habis," tawarku.
dia menimbang, "yakin nih? kalau sudah tau ceritanya kenapa harus baca bukunya,"
"karena bisa jadi apa yang kamu ceritakan, sedikit berbeda dengan yang ada di buku."
"maksudmu kesan membacanya kan," dia sambung dengan benar, aku mengangguk mantap, tersenyum, "lanjut, dosa, Dewa Us terkenal paling bijak kan, lalu dosa apa yang membuatnya harus melenyapkan diri, itu sama halnya menghendaki hukuman sebelum takdir dimulai," sambungku antusias.
"di lembar ketiga yang berjudul stone and horse, kamu akan temukan jawabannya, bahwa Dewa Us memiliki seorang putri bukan karena tuntas bermeditasi, tapi sebab jatuh cinta dengan makhluk langit," jelasnya halus.
Aku melongo, masih siap menyimak cerita dari bibirnya, "jadi itu yang harus Dewa Us tebus, sebab cinta, hmm maksudku karena jatuh cinta dengan seseorang yang tak satu tempat." aku mengatakan dengan pelan, takut salah.
Dia tersenyum benar, "betul, sebab dia Dewa bumi, maka seharusnya jatuh cinta dengan makhluk bumi kan. Tapi tidak dengan Dewa Us, dia menolak jalannya, perasaan cinta muncul tiba-tiba tanpa sesuai rencana, itulah yang membuat Dewa Us yakin, bahwa dia telah jatuh cinta, pada mahluk langit, dan dia juga siap menanggung akibatnya, meski menebusnya dengan menghilang dan bersemayam pada tubuh Emma, manusia setengah Dewa," matanya menatap mataku, lembut.
"Dewa Us menjadi manusia? hmm maksudku bersatu dalam tubuh manusia, terus gimana sama makluk langit tadi, dia juga menerima hukuman? dia tau gak kalau Emma, memiliki takdir sebagai pelindung bumi," aku merentetkan berbagai pertanyaan penasaran.
Dia menggeleng, "udah ya cukup, kamu kudu baca sendiri, banyak kejutan di lembar ketiga, kamu masih baca lembar satu kan?"
Aku mengangguk malu, "itu karena aku malas membaca,"
"banyak kejutan yang gak bisa ditebak," dia mengambil nafas panjang, "dari cerita Dewa Us aku belajar, setiap yang hidup memiliki takdirnya masing-masing, semua tentang pilihan, memiliki resiko, apapun itu. Kamu tau?" dia bertanya, aku menggeleng, "sebetulnya pertemuan Dewa Us dan makhluk langit sudah sesuai takdir mereka, dan dari sini aku sadar, bahwa hidup adalah ujian, apapun jalannya," dia mengangkat kedua alisnya, aku diam, mencerna, keren, batinku, lagi. Aku seperti dibacakan dongeng yang nyata, di depan mata. Kebetulan, oh bukan, takdir, iya, takdir. Takdir yang mempertemukan hingga saling menceritakan sebuah kisah yang sama-sama sedang kita baca.
"tentang Emma?" aku bertanya,
"hemm" dia menggeleng, "banyak kejutan, kamu harus baca sendiri, setiap lembar kamu akan dapatkan sesuatu yang tak terduga, dan semoga itu mengubah cara pandangmu, terlebih kepada diri sendiri." ucapnya mantap, matanya masih teduh, oh yaa Tuhan.
Aku melengos, membuang nafas besar, "oke oke, nanti aku lanjutkan membaca."
"mau tambah kopi?" tawarnya,
"gratis nih," godaku,
Dia terkekeh, beranjak dari duduknya, mengambil sesuatu dari belakang, "oleh-oleh dari teman, katanya kopi khas Mataram," kopi hitam pekat tanpa ampas, terhidang dua di depan, mengepulkan aroma gurih,
"wah, bagi-bagi nih, terima kasih lagi," ucapku, "untuk cerita dongengnya dan kopi gratis,"
Dia tertawa kecil, jaim, merapikan topi biru tua berlogo baseball, aku ikut tertawa, cahaya sunkissed menghilang seiring cerita yang telah selesai terucap dari bibirnya, perlahan kedai terlihat ramai orang-orang, muda-mudi, laki dan perempuan, bulan bulat sempurna sudah tampak meski masih samar tertutup awan, namun dia tetap tegar menanti perannya, bagi manusia yang sedang sakit, selamat menerima sembuhmu, bagi manusia yang sembuh, selamat menerima bahagiamu, bagi manusia yang bahagia, selamat menerima rasa syukur lebihmu, dan bagi diriku, selamat melanjutkan hidup yang ternyata mati itu lebih baik, aku pamit, sampai jumpa ucapku, dia mengangguk, manis.
9 notes · View notes
langitbirustuff · 4 years
Text
Preview
Tumblr media
Hai, coba lihat langit malam ini. Bagi kalian yang sedang ada di luar, di dalam rumah, dalam pelukan kekasih, pelukan tangis kenangan, pelukan tangis sepi atau pelukan diri sendiri yang memilukan. Tengadahkan pandangan kalian ke atas, lihat bintang yang tersebar luas meski tak banyak, lihat bulan yang sisa setengah meski ia selalu tabah, bahwa yang dianggapnya hanya matahari, tetap dia abadi. Untuk kalian yang tertinggal, tak apa. Aku juga begitu, kemari, ayo duduk bersama, mau seduh kopi atau teh? Bukan masalah, ceritakan segalanya yang menyakitkan, umpat seseorang yang selalu mengatakan “tenang saja, pada halnya tangis dan tawa tipis bedanya.” Bulshit kan. Nyatanya, kita, oh maksudmu aku dan kamu, tidak benar-benar bisa menerima nasehat itu kan? Kita hanya perlu satu, pelukan.
Kalian sudah lihat langit malam ini? Cantik bukan?
Apa? Kenapa begitu?
Seseorang di sampingku protes, “langit gelap, bercahaya bintang dan bulan. Jadi ini hiburanmu? Kek anak kecil,”
“diam, pergi jika tak suka.” Belaku
“kali ini apa? Penyihir? Sapu terbang? Kali ini apa yang ada di otakmu, hah?” dia sangat menjengkelkan.
“bukan, hanya alam yang cantik.”
“bagus,” pujinya
“aku pintar kan?” nilaiku pada diri sendiri. Dia menunjukkan ekspresi protes, mengusap rusuh rambutku. “Resek deh,”
Dia terkekeuh, mengambil handphone di saku hoodienya, mengarahkannya ke atas. Siap memotret langit, “yes, cakep.” Ucapnya setelah itu. Aku mendekat, mengintip hasil potretannya. “Eh, apasih nih anak kecil,” dia menjauhkan handphonenya padaku.
Aku manyun, “ish, pelit. Lihat gak, aku tuh mau lihat.”
“gak usah,” dia menutup handphonennya, ditelakkannya sedikit jauh dari tempat duduk kita, menyentuh kepalaku lembut, mengarahkannya ke atas, “lihat,” diam beberapa detik, “camera yang paling indah adalah mata.” Aku seketika tersenyum, dia melepaskan tangannya, dan berakhir mengacak rambutku. Dasar resek.
“aku punya permintaan.” Ucapnya,
“hem? Apa?”
“jangan bosan buat nulis ya, aku selalu suka dengan tulisanmu.” Jelasnya, tersenyum setengah bibir.
Aku tertawa, “ada maunya nih pasti... kena setan dimana, tiba-tiba muji. Biasanya cuman menghujat.”
“latte sore, judul di bukumu. Cinta pada dasarnya panjang umur, meski kau berusaha untuk menghapusnya bahkan melupakannya, tapi cinta pada dasarnya tetap akan ada halam hatimu. Begitu kata Sam,” dia menatapku, tatapannya tidak seperti biasanya, ada binar di matanya.
Aku menahan tawa, menutup mulutku dengan telapak kananku, berakhir memukul lengan kirinya keras, panas. “Setan dari mana, namanya siapa? Tinggal di pohon mana, asem ya, apa mangga yang ada di ujung jalan sana.” Aku tertawa geli, bangkit dari tempat dudukku.
Dia melengos, menatapku yang sudah selangkah jauh darinya, “kamu yang nulis sendiri, kalau cinta itu panjang umur. Kenapa kamu sendiri gak percaya.”
Aku berhenti, masih memunggunginya, “bodoh.” Ucapku, membalikkan badan, menghadapnya,
Dia mengangkat kakinya ke atas kursi, menekuknya. “Penulis? Tulisanmu seharusnya jadi healing untuk dirimu sendiri,”
“itu hanya tulisan, kamu tau? Hanya tulisan, gak lebih. Berhenti mengatakan aku harus sembuh dan bla bla bla. Kamu bukan aku, gak pernah tau sakitnya.” kata-kataku sumbang, kacamataku basah, aku menangis.
“kamu salah, tulisanmu bernyawa. Diluar sana, tulisanmu mengubah mereka yang sakit, mereka yang tak percaya cinta, mereka yang patah, aku yang gila, bahkan yang tidak kamu ketahui.” Ucapannya sedikit keras, memekik hati.
Aku tersenyum kecut, “bodoh, itu hanya tulisan. Seperti halnya kamu yang gak percaya penyihir dan sapu terbang, akupun begitu, itu hanya tulisan. Tidak merubah apapun, tidak sama sekali.” Aku melepas kacamataku yang mengembun, “berhenti memintaku sembuh, mau aku tetap menulis atau tidak, tidak berpengaruh sama sekali dengan hidupmu.”
“aku hidup karena kamu menulis.” Sentaknya berdiri. Aku kaget, bukan dengan suaranya, tapi apa yang diucapkannya.
“bodoh, berhenti berharap apapun, berhenti mengucapkan segala hal yang kosong.” Ucapku yang tak kalah kerasnya, jantungku berdetak tak karuan.
Dia mengambil nafas berat, “apapun itu, aku cuma berdoa pada Tuhan yang aku percayai saat ini, untuk segera mengakhiri segalanya yang menyakitkan bagimu.” Aku tersenyum tipis, menatapnya dan segera pergi dari percakapan yang tak ada guna, meski hatiku menyebut nama Tuhanku, memintanya untuk segera mengakhiri takdir yang memuakkan ini, menyadari bahwa Tuhan yang aku sebut berbeda dengan Tuhanmu. Langit malam ini, cantik.
13 notes · View notes
langitbirustuff · 4 years
Text
Surat ini untuk kamu
Tumblr media
Teruntuk kamu, seseorang yang selalu menyebutku dengan sebuah kata rindu. Rinai ingatan yang masih membekas, pada tahun yang semakin mendekat pada usia senja. Kita sedang tidak kemana-mana, hanya menunggu waktu yang tepat untuk bersama. Meski mustahil adanya, tapi apakah Tuhan tidak punya rahasia? kamu selalu percaya, detak jantung diatur olehNya, bagaimana mungkin pertemuan kita tak menyisakan cerita dibaliknya?
Teruntuk kamu, yang menjadikanku hidup dalam bait puisi lembaranmu. Sudah genap kuhitung pagi, sejak aku kehilangan pertanyaan "sedang dimana!" "menulis apa hari ini?" "sudah lari berapa kilo meter pagi ini?" "sudah bersepeda berapa kilo meter minggu ini?" "sarapan roti lagi?". Tidak banyak kenanganku tentangmu, segalanya bermakna hanya dengan tatap muka beberapa kali saja.
Teruntuk kamu, surat yang aku tulis diatas kertas lusuh menjadi satu-satunya alasan, mengapa pada akhirnya aku menyerah diatas rasa sakit yang aku bawa kemana-mana. Sosokmu hadir, mengejutkan, tidak tergesa dan searah.
Teruntuk kamu, disuatu pagi yang seperti biasanya. "Sarapan roti lagi? besok aku bawakan roti satu keranjang ya, bisa habiskan sekalian." Ucapnya sambil duduk dibangku kosong sebelahku.
Aku yang menyelesaikan kunyahan roti, menyahut, "mau?" sambil menyodorkan sisa roti coklat ditangan kananku.
Dia melirik, "boleh deh" menerimanya dan menghabiskannya, "enak juga. Mulai saat ini aku jadi pengikutmu ya, ikut-ikut sarapan roti." Dia terkekeh.
"Halah, bilang aja numpang sarapan tiap hari." Kataku sewot.
Dia terkekeh lagi, "eh gimana, semalam kamu nulis soal apa? sudah jadi belom? aku boleh baca gak?" ia merentetkan pertanyaan padaku.
"Belom, masih setengah." Jawabku.
"Tumben gak langsung jadi? mau tau dong, soal apa?"
"Kamu," jawabku rendah.
Ia diam, terlihat berfikir. "Hah? maksudmu, soal hidupku? apa soal kisahku? atau soal kebiasaanku yang numpang sarapan kamu? apa?" ia masih mengejar.
"Ish, cerewet banget jadi cowok, besok aja kalo uda jadi."
Dia menggeser duduknya, lebih dekat denganku, "lusa aku balik ketempatku, urusanku disini selesai lebih cepat. Aku gak bermaksud buat mengabarimu mendadak, tapi memang begini seharusnya." Katanya dengan nada serius.
Aku menatap halaman yang ditumbuhi beberapa bunga dan tanaman menjalar, kosong. Sejenak mencerna apa yang diucapkannya, jantungku seperti dipukul, bukan oleh benda, tapi kenyataan. Hatiku tiba-tiba berbisik bahwa aku akan kehilangannya. "Yauda balik aja, kenapa kudu bilang ke aku sih? ada atau enggaknya kamu, gak bikin sarapanku berubah jadi nasi kok." Kataku berusaha menyembunyikan rasa resah.
Dia terlihat gemas, menyikut lenganku. "Awas aja kalau kangen, gak bakal ada yang gangguin kamu tiap pagi, gak ada nemenin kamu nulis tengah malem sambil ngopi, gak ada yang rela diajak bersepeda dijalur menanjak selain aku, tau." Perkataan yang semuanya benar, keluar dengan mulus dari mulutnya.
Aku tercengang, hanya bisa diam dan melihat jam tangan, "sudah siang, aku duluan ya." Bersiap untuk berdiri dan meninggalkannya.
Ia menahan lenganku, "jangan bilang kalau kamu gak sedih, kita tanggung berdua, jangan sendiri. Sabar ya, mungkin bukan dikehidupan ini. Tapi dihari kemudian. Kamu percaya itu kan?"
Aku menatap sepatu sneakers bututku, tidak berkata tapi kaca mataku tiba-tiba basah akibat menangis. Ia mencoba mendekapku, tidak erat, tapi cukup menenangkan. "Gapapa kok, memang sudah jalannya, sabar dulu ya, kita akan ketemu lagi besok." Ia menepuk-nepuk punggungku kecil, berusaha menguatkan, dirinya yang terlihat pura-pura tegar. Aku menyelesaikan isak yang terlalu isuk.
Teruntuk kamu, surat ini kulipat tidak rapi. Seperti hatiku yang masih membekas lusuh setelah kepulanganmu. Berdoa saja, berdoa terus, berdoa hingga lupa bahwa kau sedang berdoa, Sampai Tuhan menyerah, dan pada akhirnya menyatukan kita. Surat ini untuk kamu.
1 note · View note