Tumgik
#30dwcjilid43
abidahsy · 7 months
Text
Menangis
Menulis tulisan ini sebenarnya cukup menantang karena aku tidak terlalu menyukai kata menangis. Bagiku, menangis memiliki makna yang negatif, meskipun tidak selalu seperti itu. Karena itulah aku berkali-kali mengubah outline tulisan ini.
Awalnya, aku mau menulis tentang hal-hal yang serius seperti mental health issue, lalu berubah menjadi penyakit hati, hingga sempat hampir menulis topik yang membahas perbedaan antara jiwa dan ruh.
Namun, semua ide-ide itu urung aku selesaikan. Semuanya masih mentah dan mendadak semakin mentah setelah aku mengobrol dengan dia yang di warung kopi.
Singkat saja, tidak sampai satu jam obrolan kami kali ini. Meski begitu, hanya dengan satu kalimat darinya, tulisan ini bisa mengalir dengan mudah menjadi rangkaian paragraf yang terdiri dari ratusan kata yang saat ini kamu nikmati. Ya, semoga kamu bisa benar-benar menikmatinya.
Tema tulisan kali ini sebenarnya bukan tentang menangis, tapi tentang kata sakit. Aku mengaitkan kata sakit dengan menangis karena ingatanku lebih lekat pada tangisan sedih dibanding tangisan yang mengharu-biru.
Ibukku pernah bilang bahwa luka fisik itu bisa membuat seseorang berdarah, tapi berbeda dengan luka batin yang akan menghasilkan air mata. Aku setuju dengannya. Dan di sinilah aku dengan darah bening bernama air mata.
Selama ini, biasanya dia yang di warung kopi yang meminta waktuku untuk bicara lewat telepon, tapi kemarin berbeda. Aku yang meminta waktunya terlebih dahulu karena memang kali ini aku yang punya serentetan pertanyaan. Termasuk mau memastikan kabarnya selepas kepergianku beberapa waktu lalu.
Segala puji hanya bagi Allah, ternyata dia sudah lebih baik dengan rencana-rencana masa depan yang menurutku sangat layak untuk dicoba. Walau perbaikan yang dia usahakan masih berbanding terbalik dengan kondisi hubungannya bersama orang masa lalu yang semakin rumit saja.
Serumit isi kepalaku saat mengobrol dengannya kali ini. Karena sudah berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan mengosongkan ekspektasi saat bicara dengannya, aku jadi sangat berhati-hati. Tidak seperti biasanya yang sebebas merpati menanyakan apapun yang aku mau sesuka hati.
Dan sampailah aku pada satu pertanyaan,
"Kenapa sih, Bro, lo yakin banget bahwa gak ada perempuan lain yang lebih baik daripada orang yang di masa lalu?"
"Ini semua karena gue udah sayang, Bid. Kalau dibilang lebih baik mungkin ada, pasti ada. Orang yang misalnya kelebihannya tujuh, tapi kekurangannya cuma tiga. Tapi ini bukan soal logika aja,"
Sebenarnya kalimat-kalimat setelahnya tidak begitu aku perhatikan. Aku sudah terpaku pada kalimat pertamanya. "Oh, jadi masih sayang," begitu pikirku. Entah, apakah aku layak untuk merasa sakit di dalam rongga dadaku saat memikirkannya.
Aku pun segera mengambil alih isi kepalaku dan melanjutkan obrolan hingga akhir.
Sampai di titik ini, aku belum menangis.
Di waktu yang bersamaan, seorang teman yang serupa tapi tak sama denganku dalam hal proses pencarian, mengirimkan undangan pernikahan digitalnya. Tersenyum aku dibuatnya. Doa-doa terbaik aku sampaikan padanya dan semoga melangit tinggi. Dia membalas pesanku dengan doa yang tidak kalah indah.
Sebagaimana pemaknaan pesan doa dalam undangan. Semoga kelak Allah pertemukan Abidah dengan calon suami yang shalih, mendekatkan diri pada Allah, dan bisa memperluas manfaat. Aamiin.
Doa yang hanya bisa aku amini saja, tidak dengan embel-embel penuh semangat seperti biasanya. Aku masih bingung dengan isi kepalaku, terutama dengan rasa aneh yang ada di rongga dadaku saat ini.
Sampai akhirnya aku membaca sebuah kutipan yang tertulis di undangan digitalnya. Tanpa diminta, air mata pun jatuh begitu saja saat aku membacanya.
Allah itu baik, sangat baik, Maha Baik. Maka sungguh, tak ada takdir buruk bagi setiap hamba-Nya. Termasuk mempertemukan sepasang hamba-Nya. Tak ada kata terlambat atau terlalu cepat. Semua ada saatnya. Tugas kita adalah menjaga prasangka baik pada-Nya. Insight dari buku Teropong Waktu.
Bagaimana aku tidak menangis?
Perasaan aneh yang muncul dalam rongga dadaku pun pemberian Allah, bukan? Dia Maha Tahu apa yang aku rasakan saat ini, apa yang aku bingungkan. Dia Maha Kuasa membolak-balikkan hati sesuai kehendak-Nya. Dia Maha Penyayang yang sangat lebih dari cukup sebagai pelindung dari kesedihan dan kekecewaan yang tidak perlu.
Jadi, setidakjelas apapun yang aku rasakan saat ini. Seberantakan apapun isi kepalaku. Serumit apapun kisahku dalam mencari yang ke-12. Tugasku cuma satu, berprasangka baik pada Allah.
Itu semua cukup, insha Allah. Cukup bagiku Allah. Allah Yang Maha Baik.
Dan di titik ini, aku menangis.
Entah karena rasa sakit atau rasa haru. Atau mungkin keduanya.
14 notes · View notes
zulfazzakiyah · 8 months
Text
Pelayaran Perdana
Dermaga impian telah berhasil kita tapaki. Setengah dari mimpi besar telah mampu kita capai. Resah dan gelisah yang sering menyapa kini telah usai. Berganti dengan suka cita dan bungah di hati tanpa henti. Akhir dari segala harap yang tak pernah bosan kita hendaki.
Nyaris dua dekade perahuku berlayar tanpa tujuan. Mengikuti angin dan ombak yang seringkali mengawan. Sepi dan sendiri menikmati pelayaran. Tiada teman pun juga sandaran. Hingga tanpa sengaja perahu kita berpapasan. Pada dermaga kecil tempat segala tumpuan. Menjadi kawan berlayar kita putuskan. Menikmati bersama pelayaran tanpa adanya rasa kesepian.
Kini dermaga akhir telah kita sandar. Permulaan dari segala janji yang telah kita ikrar. Tak lagi dua perahu dalam satu layar. Bersama menikmati indahnya alam raya. Berpetualang pada samudera yang sesungguhnya. Menjelajahi birunya laut dan cantiknya daratan bersama.
Pelayaran perdana akan kita mulai, Tuan. Mari kibarkan layar dan ambil jangkar yang masih bersandar pada tumpuan. Samudera indah telah menyapa perahu kita bergantian. Bersiap menyambut hati yang sedang penuh suka cita dan harapan. Pelayaran perdana yang nantinya akan menjadi kenangan. Tentang dua empu yang memilih bersama meski tak banyak kesamaan. Tentang dua diri yang memilih bersatu meski tak sedikit datang godaan. Dan tentang aku yang memilih kamu tanpa alasan, sebagai teman pelayaran.
4 notes · View notes
dianyunipratiwi · 8 months
Text
Agar Menunggu menjadi Lebih Bermakna
Tumblr media
September ini, satu tahun sudah aku merantau di Negeri Ginseng. Rencananya, aku mau pulang sejenak ketika liburan chuseok akhir bulan ini. Sekadar untuk menjernihkan pikiran dan melepas rindu dengan keluarga sebelum akhirnya berjuang lagi di sini. Walaupun aku belum pasti bisa pulang karena masih menunggu perpanjangan visa yang belum disetujui. Walau visa masih belum pasti, tiket tetap perlu dibeli jauh-jauh hari agar dapat harga murah. Setelah dicari-cari, tiket yang murah mengharuskan transit selama 10 jam, sehingga kurang lebih perjalanan dari Incheon-Jakarta ditempuh dalam waktu 17 jam. Padahal sebelum dari Incheon, aku harus berangkat dari Mokpo dengan lama perjalanan sekitar 4.5 jam. Setelah sampai Jakarta pun, aku masih harus naik bus ke Bandung dengan lama perjalanan kurang lebih 3.5 jam. Bisa bayangkan lamanya waktu menunggu di perjalanan sebelum akhirnya bisa bertemu keluarga?
Awalnya aku ragu, antara menabung dulu dan baru pulang tahun depan dengan penerbangan direct atau pulang sekarang dengan perjalanan yang melelahkan. Namun, seketika aku ingat film "The Terminal” yang dimainkan oleh Tom Hank. Ada yang sudah menonton film itu?
Di Film itu, Tom Hank ceritanya baru sampai di bandara Amerika. Sayangnya, Ia tidak boleh masuk ke Amerika karena tepat pada tanggal itu negaranya dianggap tidak ada secara politik. Dilemanya lagi, dia pun tidak bisa kembali ke negaranya. Alhasil, dia diminta menunggu di bandara sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Bisa satu hari, satu minggu, satu bulan ataupun mungkin tidak selamanya. Dia hanya bisa masuk Amerika ataupun pulang jika negaranya sudah terlepas dari konflik dan dinyatakan sebagai negara kembali.
Pada awalnya, Tom Hank meresa kesal dan bingung mau melakukan apa. Sementara uang yang dibawa pun mulai habis. Namun, jiwa tak kenal putus asanya, membantu Tom Hank untuk bertahan hidup di bandara. Dia sempat menjadi pengumpul trolly sekadar agar bisa makan setiap hari. Pekerjaan itu terus dilakukan setiap hari, sampai akhirnya pihak bandara mempekerjakan pengumpul troli resmi yang membuatnya kehilangan sumber pendapatan. Namun, seperti kata pepatah, “Orang baik disayang Tuhan”, berbagai pertolongan pun hadir. Di saat terpuruk itu, seorang pegawai restoran bandara meminta bantuannya untuk mendekati seorang karyawati di bagian imigrasi. Sebagai imbalannya, Tom Hank diberikan makanan gratis. Hasilnya, temannya itu pun menikah dengan pujaan hatinya. Tak hanya itu, Tom Hank juga berusaha mencari pekerjaan dan diterima sebagai pekerja bangunan di salah satu projek yang dikerjakan di bandara. Dia juga bertemu salah satu pramugari cantik dan jatuh cinta kepadanya. Sempat akan menjalin hubungan, tapi kandas karena sang wanita lebih memilih mantan pacarnya. Setelah berbagai hal yang ia lakukan, film ini diakhiri dengan Tom Hank yang berhasil masuk ke Amerika untuk menyelesaikan hajatnya, lalu kembali pulang ke negaranya.
Dari film ini, aku mendapat pelajaran bahwa menunggu bisa menyenangkan dan lebih bermakna jika kita bisa mengisinya dengan hal-hal bermanfaat. Akhirnya, aku tetap memutuskan untuk pulang akhir bulan ini. Waktu perjalanan yang panjang itu bisa aku isi dengan menulis, membaca buku, mendengarkan kajian, dan lain sebagainya.
Hal ini juga bisa direfleksikan ke dalam pemaknaan hidup kita. Bukankah setiap kita sedang menunggu? Ada yang mungkin sedang menunggu untuk bisa masuk universitas favorit. Ada juga yang menunggu panggilan kerja. Ada yang menunggu investor bisnis. Ada yang menunggu jodoh. Ada yang menunggu diberikan anak, sang buah hati. Ada yang mungkin menunggu pengumuman beasiswa. Iya setiap orang sedang menunggu terwujudnya impian masing-masing.
Cara kita dalam mengisi waktu menunggu itulah yang akan menjadikannya bermakna atau malah sia-sia. Maka nasihat yang selalu aku katakan kepada diri sendiri, “Jangan habiskan waktu menunggu hanya untuk merasa kesal atau meratapi sesuatu impian yang belum juga terwujud. Sesekali merasa sedih tak mengapa. Berhenti sejenak tak mengapa. Namun setelah itu, usahakan kembali impian dengan tetap melakukan hal-hal manfaat lainnya. Yakin saja, ketika kita sedang asyik mengisi kehidupan dengan hal baik, tiba-tiba Allah datangkan apa yang kita tunggu. Seandainya sampai akhir pun tidak mendapatkan apa yang kita impikan, tak mengapa.  Mungkin kondisi itulah yang menurut Allah paling baik dan kita butuhkan. Aku juga meyakini bahwa tidak pernah ada kata sia-sia dari usaha dan perbuatan baik.”
Kalau kamu sedang menunggu apa? :)
2 notes · View notes
rainingyuki · 8 months
Text
Begitu sulitnya menjadi adil.
Hari ini salah seorang teman mengisi sesi sharing pagi di kantor. Salah satu poin yang dia bahas adalah terkait bias yang biasa dimiliki ketika kita menggunakan social media. Kita sangat mudah terpapar banyak berita, informasi, gambar yang menunjukkan kehebatan dan pencapaian orang lain. Kemudian kita merasa bahwa orang lain hidup dengan sangat baik.
Lalu kita melihat ke dalam diri kita sendiri. Yang ditemukan adalah kegagalan, kekurangan, dan kesulitan yang terus menimpa diri. Kemudian kita merasa bahwa diri ini hidup dengan tidak baik.
Sungguh, sangat tidak adil.
The grass is always greener on the other side, they said.
Tapi sebenarnya, kita sedang tidak adil pada diri sendiri.
Kita mengetahui segala kekurangan di diri kita, tapi kita tidak mengetahui kekurangan orang lain yang tidak terekspos di social media.
Kita mengetahui kelebihan diri kita, tapi kita terlalu banyak terekspos informasi kelebihan dari berbagai macam orang. Satu waktu kita terekspos info si A sudah lulus S2 di luar negeri, beberapa detik setelahnya kita mengetahui si B sudah mendapatkan posisi tinggi di pekerjaannya, lalu info si C sudah memiliki anak yang lucu, si D sudah menjalani pola hidup sehat.. dan doom scrolling berlanjut sampai akhirnya kita merasa bahwa semua orang sedang menjalani hidup yang sangat membahagiakan.
Dan kehidupan kita, yg penuh lika liku naik turun, terasa sangat biasa saja bahkan menyedihkan.
Ayolah, sedikit lebih adil pada diri sendiri.
Coba kita pikirkan dengan lebih jernih lagi.
Si A, yang sudah lulus S2 di luar negeri, mungkin sebenarnya sedang punya masalah kesehatan yang tidak dia beri tahukan ke publik dan dia sedang merasa khawatir akan masa depannya.
Si B, yang sudah mendapatkan posisi tinggi di pekerjaannya, mungkin sedang punya masalah keluarga yang membuat hidupnya gelisah.
Si C, yang sudah memiliki anak yang lucu, mungkin sedang merasa kehilangan jati diri dan kesulitan meminta bantuan ke orang di sekitarnya.
Si D, yang sudah menjalani pola hidup sehat, mungkin sedang mengalami masalah yang sekarang sedang kamu hadapi.
Pada akhirnya, kamu tidak bisa membandingkan kehidupanmu dengan kehidupan orang lain dari sedikitnya informasi yang kamu punya.
Bahkan, dengan informasi yang banyak sekalipun, kamu tetap tidak bisa membandingkan kisah hidup satu sama lain untuk kemudian menjadi penyebabmu merutuki hidup yang kamu jalani.
Berusahalah lebih adil.
Jangan mencela dirimu sendiri yang sudah dan sedang berjuang.
Tidak ada yang hidupnya sempurna, seperti reels atau story instagramnya.
Tidak ada yang hidupnya selalu bahagia, seperti foto-foto yang beredar di social media.
Kita semua lelah.
Baiknya kita lanjutkan terus berbenah.
Bukan karena hidup kita lebih menderita dari orang lain.
Tapi karena terlalu banyak kebahagiaan yang dapat kita raih, asalkan kita menerima dan mencintai kisah hidup sendiri.
4 notes · View notes
raihan-234 · 4 months
Text
APA SIH CINTA ITU
Aku selalu bertanya-tanya apa sih cinta itu, aku selalu memikirkan nya karena entah kenapa semenjak umur ku mulai beranjak ke 20 tahun aku selalu mencari-cari jawaban nya. Ada yang mengatakan, cinta itu ketika kita menerima segala yang ada pada dirinya. Bener -bener terima dengan baik buruk, suka duka, masa depannya. Secara ringkas cinta berarti nyaman. Ada juga yang mengatakan cinta itu kemampuan memberi tanpa pamrih. Ketika sesorang sudah mencintaimu dengan sangat, dia akan memberi segala apapun yang dia beri. Tanpa mengharapkan balasan apapun.
Aku pernah mendengar cerita dari ulama, kata ulama silahkan kamu berjalan di taman bunga, dan kamu cari bunga yang paling indah, syartnya satu kamu tidak boleh balik ke belakang untuk mengambil bunga yang sudah kamu lewati, siap dia jalan di taman bunga di cari bunga yang paling indah. Dia dapat bunga yang paling indah ketika dia mau mengambilnya dia kepikiran, jangan-jangan di depan ada bunga yang lebih indah, dia tidak jadi mengambilnya akhirnya dia terusin jalannya. Sampai akhirnya dia balik ke gurunya dia tidak membawa apa-apa, kata gurunya mana bunga yang indah kau bawa, kata muridnya sesungguhnya saya sudah menemukan bunga yang paling indah ketika di pertengahan jalan tapı pada saat itu, pikiran saya mengatakan bahwa di depan ada yang lebiih indah. Ternyata ketika saya jalan ke depan saya tidak pernah menemukan yang lebih indah dari pada bunga yang saya lewati di tengah perjalanan.
Di saat aku sendiri aku selalu menulis apabila aku menemukan sebuah bunga yang indah, apakah aku sanggup menjaga nya, apakah aku bisa membuat bunga itu tidak layu dan selalu menjadikan nya bunga yang segar. Karena aku selalu takut membuat bunga itu layu. Aku pernah bercerita dengan ibu-ibu di warung, dan ibu ini mengatakan "carilah yang bersyukur memiliki kamu jangan cari yang sempurna karena kesempurnaan tidak akan pernah kamu temui" dari simi aku semakin paham bahwa wanita yang sempurna itu adalah wanita yang bisa membuatku nyaman yang bisa di ajak berbagi cerita sebagaimana aku bercerita dengan ibu ku.
Karena apabila kita mencari yang namanya kesempurnaan itu tidak akan pernah kita temui Karena apabila mencari yang sempurna di saat itu jugalah kita akan kehilangan yang terbaik. Apabila kita tidak pernah merasa cukup. Jangan pernah sia-ia kan orang yang mencintaimu melebihi mencintai dirinya sendiri karena dia tidak akan datang dua kali.
1 note · View note
uthyisme-blog · 8 months
Text
Tansnya Aku
Tans. Itulah panggilan sayangku untuk teman terbaik di bumi yang pernah kutemui. Aku bertemu dia sejak SMA. Dulu kami satu kelas. Awalnya aku ingin berteman dengan dia karena dia talkactive untuk bicara Bahasa Inggris. Entah kenapa sejak kelas dua SD (tragedi) aku senang sekali dengan Bahasa Inggris dan excited dengan orang- orang yang bicara Bahasa Inggris. Tans terbiasa ber Bahasa Inggris di pondoknya dulu. Kami belum dekat, bahkan dia aneh melihat aku yang begitu excited dengannya. Satu sampai dua tahun di awal SMA kami juga belum begitu akrab. Hanya saja kosan ku memang menjadi basecamp jika kita ada sekolah sampai sore. Jadi kami istirahat dan makan siang di kosku.
Disanalah mulai sering intens sampai kami les bareng untuk persiapan Ujian Nasional kelas duabelas. Tapi setelah kami kuliah dibeda daerah juga jarang komunikasi. Sampai setelah aku ingat-ingat kembali. Pada suatu moment, sewaktu aku masuk semester akhir, aku sedang sakit dan hanya dia yang mau mendengarkan keluh kesahku. Dia yang sabar menghadapi aku disaat aku sedang runtuh.
Aku baru sadar, treatment dia ke aku seringkali sesuai dengan kondisiku. Saat- saat aku tidak percaya diri, cuma dia yang mau menemani aku apapun kondisinya tanpa memikirkan kepentingan dia. Cuma dia yang sering nanya “kamu kenapa?”. Tans bukan tipikal teman yang sweet. Aku tahu dia peduli. Aku senang membuat dia panik karena mengkhawwtirkan aku. Dia tidak pernah marah ke aku. Tans juga gak pernah judge aku, meski aku sering bilang ke dia kalau aku mau ambil jarak dengan orang. Tapi dia bilang coba pikir karena banyak orang yang saying sama aku.
0 notes
abidahsy · 7 months
Text
Perasaan yang Cepat Sekali Berubah
Sebenarnya kami sudah saling tahu apa bahasa cinta masing-masing. Aku menghindari berkata-kata yang berlebihan dengan maksud menjaga agar perasaan -yang belum pada waktunya- tidak tumbuh lebih cepat. Tapi, saat kejadian berlaku sebaliknya, aku lebih merasa tersinggung alih-alih tidak merasakan apa-apa.
Jadi ceritanya, 'pengorbanan' yang selalu kulakukan setiap mengobrol melalui telepon dengan Si Beruntung adalah aku memberikan telingaku untuk mendengarnya bercerita berjam-jam. Tanpa sering menyela atau bertanya sesuka hati, khasku saat berdiskusi dengan orang lain. Entah mengapa aku kesulitan untuk melakukan dua hal tersebut pada orang ini. Dugaanku, karena aku tidak terlalu penasaran dengan hal-hal yang dia ceritakan, biasa-biasa saja.
Bagiku, waktu adalah bahasa cinta. Memberikan waktu pada seseorang artinya aku menghormati dan menghargainya. Tidak melulu karena aku jatuh hati.
Tapi ternyata, perasaan yang tenang bagai air yang dalam itu seketika beriak.
Hari ini, di saat aku minta waktunya 'hanya' untuk membalas pesan, ternyata dia tidak memberikannya sedermawan aku memberikan waktuku. Transaksional memang, tapi begitulah aku memperlakukannya sejauh ini. Alih-alih merasa tenang karena (kupikir dengan begitu) aku bisa menjaga perasaan, aku malah lebih merasa terganggu, tersinggung, dan anehnya, penasaran.
Si Beruntung ini memang berbeda dan tidak mudah ditebak.
Sejak awal, di saat yang lain lebih banyak minder dan mundur teratur karena merasa aku sulit untuk diraih dan berat untuk diimbangi. Orang ini malah bilang bahwa aku masih punya banyak potensi. Kapasitas yang kugunakan selama ini baru 15-20% saja, masih banyak kesempatan untuk dibentuk.
Sebenarnya aku cukup kaget mendengarnya. Jadi, selama 28 tahun aku hidup -banting tulang, jatuh bangun, ambisius- untuk menjadi diriku yang sekarang, ternyata itu belum ada apa-apanya?
Di sisi lain, aku merasa tertantang. Perasaan yang cukup unik seperti layaknya adonan tanah liat yang masih punya banyak peluang untuk melakukan transformasi, menjadi apapun itu.
Parahnya lagi, dia hari ini bilang padaku bahwa aku orangnya lugu.
Makin (kesal) penasaran aku dibuatnya.
"Kalau dek abidah yang saya lihat masih lugu dalam beberapa hal, jadi mungkin harus ada komunikasi intens" begitu katanya saat aku bertanya apa ada kekurangan diri ini yang mungkin akan sulit dia toleransi.
"Lugu dalam artian fleksibilitas komunikasi dan juga pemahaman-pemahaman yang sifatnya belum dikuasai," begitu tambahnya. Bukannya membuat aku paham, jawabannya malah menambah rasa penasaranku.
Tapi, dengan menyebalkannya, saat aku tanya beberapa pertanyaan yang lebih rinci terkait hal tersebut, dia malah menghilang dan bilang kalau sedang menyambi pekerjaan lain. Tidak seperti dia biasanya yang selalu cepat tanggap membalas setiap pesan.
Tidak hanya itu, aku yang tadi siang mencoba mencari tahu tentang dirinya melalui sebuah akun sosial media dengan mengirimkan permintaan pertemanan, ternyata tidak serta-merta dia terima, sampai detik ini.
Aku pikir karena dia tidak aktif menggunakan sosial media itu, jadi aku tidak begitu ambil pusing. Nyatanya, malam hari saat aku menulis tulisan ini, aku malah menemukan namanya dari ratusan viewer story-ku. Dalam arti kata lain, dia 'memata-matai'-ku tapi menolak untuk aku 'mata-matai'.
Sebenarnya apa yang dia pikirkan? Apa sih yang dia mau? Apa alasannya tidak menerima permintaan pertemananku?
Karena tumpukkan rasa penasaran (kesal) itu, hari ini aku bertransformasi menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya. Semoga besok aku sudah kembali lagi seperti sediakala.
7 notes · View notes
abidahsy · 7 months
Text
Progress
Badai tahun 2022 merupakan badai yang sangat ingin aku lupakan dan hindari. Tapi, semakin keras aku melupakan, kadangkala ingatan itu malah muncul begitu saja.
Serentetan kejadian yang dampaknya masih membekas sampai saat ini. Bahkan, terakhir kontrol masih tersisa satu obat yang harus diminum. Jujur, aku sempat merasa sedih karena aku kira aku sudah siap hidup tanpa obat. Tapi, adikku yang menemaniku kontrol berkata, "Gapapa mbak, gak ada salahnya minum obat, lagipula yang penting kan (resep obatnya) menggambarkan kondisi yang sebenarnya, bukan dibuat-buat, sesuai kebutuhan," ucapnya mencoba meyakinkanku.
Kalimat itu muncul sebagai respon saat aku menunjukkan kekecewaan karena masih harus minum obat sampai 3 bulan ke depan (hingga waktu kontrol berikutnya). Biasanya, setiap kontrol, progress-ku bagus, entah dosis atau jarak minum obat pasti dikurangi. Kali ini tetap, tidak ada yang diturunkan.
Memang, bisa dibilang aku agak kurang tidur akhir-akhir ini, pola makanku pun sedikit berubah. Padahal, kalau mau diusahakan, aku bisa mempersiapkan hari kontrol dengan baik, agar ekspektasiku lepas dari obat bisa lebih mungkin tercapai.
Yah, itu kan ekspektasiku.
Bukankah hidup memang seringkali dihadapkan pada gap antara ekspektasi dan realita?
Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya sampai di titik ini saja, sudah harus disyukuri. Masih bisa beraktivitas, belajar, dan berkarya seperti orang-orang pada umumnya. Progress yang bagiku terasa lambat (lebih dari setahun) pun masih terhitung cepat menurut seorang teman yang punya keilmuan di bidang ini.
"Setidaknya aku berprogress," begitu sugesti positif yang kuberikan pada diri. Alhamdulillah obatnya tetap, daripada ditambah? Memang proses sembuh tidak bisa instan, harus pelan-pelan dan bertahap.
Aku juga mulai bisa berdamai dengan pemicu yang ada. Pemicu berupa benda atau kejadian yang bisa mengingatkanku pada badai tahun 2022. Meskipun awalnya sedih karena kembali teringat, tapi aku mencoba memaksa diri untuk menggunakan benda itu. Benda itu tidak salah apa apa, mengapa dia harus ditumpuk di dalam lemari dan berhenti dipakai 'hanya' karena aku tidak cukup berani menghadapinya?
Terakhir, baru kemarin, seorang sahabat yang mungkin bisa dibilang lebih berpengalaman dalam menghadapi badai, mengirimkan sebuah kutipan.
All Allah wants from you is progress. He doesn't want perfection from you. That's what people wants from you, but not Him. Never. He knows what He created. Make progress, that's all He asked (Nouman Ali Khan)
Ya, sempurna sembuh tanpa cacat atau bekas dengan tempo yang sesingkat-singkatnya bukanlah yang aku butuhkan, karena bukan itu pula yang Allah minta. Yang Dia minta adalah aku yang terus ber-progress sesedikit atau sekecil apapun ke arah yang lebih baik. Sesederhana itu.
9 notes · View notes
abidahsy · 7 months
Text
Obrolan Warung Kopi - Epilog
Draf tulisan ini sudah lama terparkir dalam kotak berjudul draft di dalam Tumblr. Berhari-hari bahkan berganti pekan, aku memilih untuk tidak menuntaskan tulisan ini sesegera mungkin karena masih berharap. Entah apa yang sebenarnya aku harapkan, cuma sekadar tidak ingin agar tulisan ini berakhir. Aku tidak ingin berhenti menulis tentang momen-momen antara aku dan dia yang di warung kopi.
Mungkin terdengar egois, tapi sungguh, ada hal yang membuatku tidak mau melakukannya, meskipun aku bisa. Bisa dibilang bahwa aku bisa melakukannya karena sudah pernah mencobanya dan berhasil. Tapi anehnya, aku tidak mau. Dan sekalinya ada keyakinan pada perasaan itu (perasaan bahwa aku tidak mau melakukannya), secara serta merta aku mengambil tindakan tanpa berpikir berulang kali.
Awalnya, tulisan ini dimulai dengan kalimat seperti ini:
Tulisan ini dibuat bukan atas dasar sebuah obrolan, entah itu dalam bentuk teks atau lisan. Aku sudah berhenti berbicara dengannya beberapa hari belakangan. Pesan teks yang aku kirim tidak lagi ada balasan. Apakah ini artinya semua sudah selesai? Bukankah tidak ada respon adalah sebuah respon?
Kalau boleh jujur, aku masih menunggu balasan pesan darinya. Bahkan sekadar tahu bahwa dia baik-baik saja, sehat, dan masih hidup. Itu sudah cukup.
Tapi berkaca pada diri sendiri, aku merasa tidak baik-baik saja, tidak sehat, meskipun masih hidup, jika setiap hari tanpa henti menunggu balasan pesan darinya. Entah, mungkin diri ini memang aneh. Jelas terasa bahwa ada sesuatu yang sudah tidak pada tempatnya.
Itulah mengapa, aku memilih sebuah langkah. Sebuah langkah yang mungkin sangat berat pada awalnya, tapi nanti juga akan ringan seiring berjalannya waktu, untukku dan juga untuknya. Aku memilih sebuah langkah yaitu berpamitan.
Ya, aku memilih pergi dan menghilang. Demi kebaikan diriku sendiri sebenarnya, karena lagi-lagi bisa dibilang bahwa ada sesuatu yang sudah tidak pada tempatnya. Sesuatu yang harus diperbaiki, dilepas, lantas dibebaskan.
Terdengar egois memang, tapi demi kewarasan diri, aku mengambil langkah ini. Meskipun harus berkali-kali memastikan langkah yang sudah kuambil. Berulang-ulang aku bertanya pada diri apakah yang kulakukan ini sudah benar? Walaupun tahu masih ada kesempatan untuk memutar balik, aku tetap mencoba meyakinkan diri untuk berjalan lurus. Menumpuk semua ingatan dengan kesibukan dan memori baru serta menolak untuk menengok ke belakang.
Sehari, dua hari, sepekan berlalu. Aku sudah semakin mudah melakukannya. Seperti yang kukatakan tadi, aku bisa. Aku memang bisa. Tapi malah lupa mempertimbangkan variabel lain: apakah aku benar-benar mau?
Yang ternyata, seketika rasa itu berubah jadi tidak mau, aku dengan mudahnya meruntuhkan semua tembok tak kasat mata yang sudah berhasil dibangun.
Kalau dipikir-pikir, mungkin keputusanku bisa semudah itu berubah karena sesederhana konsep bahwa tidak ada yang namanya mantan teman. Teman itu ya teman saja. Artinya sebuah hubungan yang kasual, pamrih dengan taraf yang masuk akal, ekspektasi yang tidak berlebihan, gangguan yang masih bisa ditoleransi, apa adanya, dan saling menerima.
Entah aku benar atau tidak, tapi kurasa tanpa hal-hal itu, sebuah pertemanan tidak akan terjalin, bukan?
Satu lagi sebenarnya, seorang teman itu tidak akan pergi. Well, dia memang pergi tapi bukan dengan niat meninggalkanmu selamanya, selama-lamanya. Artinya, jika nanti ada saatnya jumpa lagi, dia akan dengan senang hati membukakan pintu untukmu. Itulah mengapa ada yang namanya reunian, kan?
Jadi, buat apa pergi dan menghilang untuk selamanya, selama-lamanya?
Menurutku, arah angin kehidupan juga berperan penting pada berubahnya keputusanku untuk pergi dan menghilang. Dengan mudahnya, saat sebuah badai datang, shelter yang langsung muncul di benakku adalah dia yang di warung kopi. Aku penasaran dengan responnya dan apa yang akan dia lakukan setelahnya. Tertawakah? Simpatikah? Atau respon lain yang tidak pernah dibayangkan.
Dan menariknya, saat aku datang dan kembali, dia ternyata masih di sana. Masih bertahan di warung kopi dan menyambutku dengan antusias. Dia membukakan pintu dengan tersenyum, meski aku tahu matanya mendung. Entah dia yang aneh, aku yang aneh, atau kami berdua memang aneh makanya kami nyambung.
Jadi, mulai hari ini aku akan berhenti berharap padanya untuk melakukan ini atau itu. Aku akan mengosongkan ekspektasiku saat bicara dengannya. Aku mau dia.
Sebagai seorang teman.
Sesederhana itu.
"Sahabat (bestie) till jannah," katanya mengutip kata Dikta pada Enzy. Meskipun aku tahu dia tidak terlalu menyukai istilah itu, tapi aku menyukainya. Jadi, selama dia bisa menoleransi gangguan yang kubuat, aku pun akan begitu. Saling menerima dan apa adanya.
2 notes · View notes
abidahsy · 7 months
Text
Paralel Sementara
Dua hari lalu, aku menghabiskan waktu seharian dengan si Sibuk Bankir. Dia mengajakku untuk nonton film bareng, belanja baju dan tas, makan, hingga membahas sampai puas update kisah percintaan. Bahkan dia berhasil memberikan satu pencerahan tentang kebingunganku saat ini.
"Jadi, dia itu nyari istri atau karyawan, Bid?"
Sebuah pertanyaan polos yang terngiang di kepalaku. Ya, benar juga. Akhirnya, aku pun mencoba menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan ke si Beruntung yang kemudian berujung pada anomali matahari terbenam di siang hari. Meskipun kata si Beruntung, alasan utamanya karena langit yang seketika berubah menjadi ungu.
Baik, kembali ke momen dua hari lalu bersama si Sibuk Bankir.
Saat itu, aku dan si Sibuk Bankir tengah asyik duduk-duduk sambil menyeruput teh, dan membahas soal perjodohan. Tiba-tiba, HP-ku menampilkan notifikasi pesan. Sebuah pesan dari seorang teman SD yang sempat kubahas di tulisan berjudul Bantuan Bertubi-tubi. Dia berniat mengenalkanku dengan teman kantornya.
Menarik, bukan?
Ternyata si Sibuk Bankir juga mengenal orang ini. Katanya sih orangnya soleh, "Kalau kamu nyari yang baik-baik, ya sama mas ini, Bid," kata si Sibuk Bankir memberikan dukungan yang tulus. Si Sibuk Bankir juga pernah mau dikenalkan dengan orang ini, tapi belum berlanjut karana sebuah alasan yang tidak bisa aku sebutkan. Aku sebenarnya setuju dengan si Sibuk Bankir, tapi ya, mari kita lihat nanti.
Semakin menarik saja, bukan?
"Jadi aku harus paralel lagi?" begitu pikirku dua hari lalu. Meskipun aku sebenarnya merasa lebih ringan saat hanya berproses dengan satu orang saja. "Baiklah, mari kita jalani," kataku lagi dalam hati.
Tapi, siapa sangka? Ternyata si Beruntung sendiri yang menarik diri dan membuat temannya temanku menjadi kandidat tunggal saat ini. Sepertinya aku perlu membuat julukan baru untuknya demi kemudahan menulis perjalanan proses dengan temannya temanku ini.
Begitulah kisah proses mencari yang ke-12 yang akhir-akhir ini berjalan paralel, kemudian berubah menjadi tidak paralel, lalu menjadi paralel lagi tapi hanya sebentar, lantas detik ini menjadi tidak paralel kembali.
Paralel yang sementara, apakah kondisi tidak paralel ini juga akan sementara? Kita lihat saja.
3 notes · View notes
abidahsy · 7 months
Text
Dua Matahari, Satu Bulan, Bumi, dan Langit
Untung saja tulisan ini masih belum kuselesaikan hingga senja hadir. Nyatanya, ada berita terbaru yang mengubah arah angin proses mencari yang ke-12.
Hari ini aku wawancara pekerjaan, rasanya seperti anak kecil yang menemukan tempat bermain baru. Bersemangat, penuh rasa ingin tahu, bergembira dengan dunianya. Tapi ada satu yang aku pikirkan, apakah aku akan kembali menjadi sosok yang sibuk itu? Menjalani hari dengan ambisi dan rasa tak kunjung cukup. Terlebih kalau aku dapat pekerjaan ini, artinya aku akan kembali ke Surabaya. Akankah aku nantinya mengulang siklus harian yang sama?
Di sisi lain ada matahari yang menunggu tidak sabaran, yang ternyata siang tadi memutuskan untuk terbenam. Aku kira akan ada dua matahari dan satu bulan di jengkal perjalananku kali ini.
Nyatanya tinggal tersisa satu matahari dan satu bulan. Sinar bulannya pun masih redup belum terang penuh seperti purnama. Masih belum jelas dan aku tidak mau terlampau percaya diri. Lagipula bulan berada di beda dimensi. Yang dalam gelap malam baru bisa kunikmati.
Di sisi lain, bumi kembali hadir memberi waktu. Bumi masih sakit karena ulah manusia. Kasihan bumi. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa menjadi teman yang apa adanya, santai, sabar, dan jangan pernah berharap apa-apa padanya. Biarkan bumi dengan rotasinya.
Satu matahari yang terbenam di siang hari bukannya membuat cemas dan takut. Malah sebaliknya. Aku merasa tenang dan lega. Sampai aku bertanya-tanya pada diri, apakah hati ini sudah mati? Karena telah merespon dengan cara yang unik pada anomali.
Ya, kita lihat saja nanti. Tapi yang pasti, aku sangat bersyukur pada Sang Pemilik Hati karena Dia menepati janji. Dia limpahi kerelaan yang tak bertepi pada hati yang seharusnya patah ini.
Di sisi lain, matahari yang lain masih menunggu terbit dengan cahayanya berwarna kuning, jingga, dan ungu. Eh, tapi ungu itu langit. Langit yang masih sama seperti biasanya, luas dan tinggi. Aku merasa aman dan tentram bersamanya, sejak lahir hingga hari ini.
Ini saatnya mengajak satu matahari yang belum sempurna terbit itu bicara dan membahas banyak hal. Mari kita mulai dari awal lagi.
2 notes · View notes
abidahsy · 7 months
Text
Tertipu - Bagian 1
Sepekan lalu, aku mendapatkan sebuah kabar buruk tentang startup edukasi tempatku kurus data analytics yang terpaksa tutup dan angkat kaki dari negeri ini. Karena tidak berhasil mendapatkan investasi seri berikutnya, mereka melakukan pemecatan karyawan secara sepihak, dan membuat ribuan siswa terbengkalai.
Beberapa langkah sudah diambil, termasuk mengupayakan sebaik mungkin fasilitas pembelajaran yang sempat terhenti agar tetap berjalan. Meskipun dengan berbagai keterbatasan, perlu aku akui bahwa kekuatan sosial berupa komunitas dari para siswa, mentor, dan ex-karyawan cukup kuat dan memegang peranan penting di kondisi yang bisa dibilang chaos ini.
"Pada akhirnya, yang kita butuhkan adalah menyelesaikan kursus dan dapat pekerjaan kan?" begitu kata salah satu siswa yang mengakomodasi pergerakan ribuan siswa.
Ya, kembali ke tujuan awal adalah cara paling mudah nan ampuh untuk menjaga semangat dalam menjalani sebuah proses. Sebesar apapun hambatannya, seberat apapun masalahnya.
Tapi, yang namanya ditipu, tetap saja tidak menyenangkan. Setelah pertemuan yang dihadiri ratusan siswa, mentor, dan ex-karyawan malam itu, aku lanjut berpikir hingga dini hari.
Dulu, bagaimana ya aku memulainya?
Sebenarnya selain startup edukasi ini, aku juga melakukan perbandingan dengan startup lain sejenis. Karena tau harganya lebih mahal, aku dengan serta merta memilih yang ini karena lebih terjangkau. Padahal sudah ada tanda-tanda halus yang menunjukkan bahwa startup edukasi ini patut dicurigai.
Pertama, mulai dari harga kursus yang turun secara drastis, dari yang awalnya 57 juta, ada diskon jadi 22 juta, lalu ada diskon lagi karena aku ikut webinarnya menjadi 19 juta. Pun saat mengajukan cicilan ke lembaga, karena ditolak, aku dapat potongan lagi jadi di angka 13 juta, final dan cash.
Kedua, ada satu artikel yang muncul dan menyatakan bahwa startup edukasi ini terlibat penipuan. Tapi aku abaikan karena bisa saja itu hanya persaingan bisnis. Ketiga, meskipun tidak begitu jelas, aku tetap bisa menangkap adanya keraguan dari tim marketing saat menawarkan produk kursus ini. Bukannya menahan diri dan mempertimbangkan ulang, aku malah cenderung tergesa-gesa.
Nyatanya, selain belajar kursus data analytics aku juga belajar tentang kehidupan. Merasakan langsung rasanya ditipu dan kehilangan uang belasan juta begitu saja. Kalimat pamungkas tentang kembali pada tujuan awal akhirnya membuatku berefleksi.
Sebenarnya apa tujuanku mengambil kursus ini?
Soal pekerjaan, alhamdulillah, terlepas dari kursus yang sudah kuselesaikan atau belum, aku sudah mendapatkan dua tawaran pekerjaan baru. Saat ini pun aku tidak sempurna menganggur karena masih aktif menulis dan mengajar di sebuah kampus negeri. Jadi, apa sebenarnya tujuanku mengambil kursus ini?
Tujuan paling ultimate yang seharusnya ada dalam setiap kondisi dalam hidup adalah mencari ridha Allah. Bukankah dengan menuntut ilmu yang bermanfaat, kemudian mengamalkannya, lantas berguna dan berdampak luas adalah hal yang mau dicapai? Agar Allah ridha dalam setiap proses hingga tujuan tercapai.
Lalu, sebenarnya apa yang hilang dari diriku?
Selama segala hal masih bisa diperjuangkan, sebenarnya tidak ada yang benar-benar bermasalah. Jangan sampai kabar buruk ini malah mengambil waktu dan fokusku. Aku mungkin sudah tertipu, tetapi, akankah aku membiarkan diriku kembali tertipu pada hawa nafsu (secara emosional merespon kondisi ini) atau fokus saja pada apa yang benar-benar aku butuhkan, apa yang bisa aku lakukan.
Jadi, apa makna tertipu yang sesungguhnya? Mari kita lihat apa yang tertulis di dalam Al Qur'an.
Lanjut ke Tertipu - Bagian 2 ya, insha Allah.
4 notes · View notes
abidahsy · 7 months
Text
Doa yang Mengubah Takdir
Menurutku, tempat ternyaman di rumah adalah kamarku sendiri. Tapi kalau dibandingkan dengan tidur bersama ibuk, tempat ternyaman itu bisa beralih dengan mudah. Entah mengapa tidur bersama ibuk selalu menenangkan, padahal ibuk tidak melakukan apa-apa, hanya tidur di sebelahku. Meski terkadang aku request untuk ditepuk-tepuk sih hehe.
Sebelum tidur, aku biasa pillow talk sama ibuk, bisa bahas apa saja, paling banyak bahas soal jodoh. Respon umum yang aku lakukan adalah memeluk ibuk seerat mungkin sampai ibuk sulit bergerak sambil bilang, "Aku sayang banget sama ibuk, terima kasih sudah membersamai aku sampai hari ini. Aku dengan takdirku yang ribet ini,"
Ibuk pun menjawab, "Ya, (takdir) harus diterima, harus ikhlas. Takdir adalah bagian dari rukun iman jadi harus diimani juga agar utuh keimanannya. Kalau sama takdir gak beriman, perlu dipertanyakan tuh keimananya (seseorang),"
Ibuk pun melanjutkan tentang ceramah Ustadz Hanan Attaki yang pernah ia dengar. Kisahnya tentang Nabi Musa yang diminta seorang nenek untuk berdoa pada Allah agar diberikan satu anak karena nenek itu sangat mendambakan seorang keturunan. Nabi Musa pun melakukannya dan jawaban Allah selalu sama, "Nenek itu tidak punya anak karena itulah takdirnya," kurang lebih begitu jawaban Allah pada Nabi Musa.
Namun, nenek itu tidak menyerah, beberapa kali setelahnya nenek itu kembali memohon pada Nabi Musa agar meminta pada Allah agar Allah memberikannya seorang anak. Dan jawaban Nabi Musa tetap sama.
Yang berbeda, nenek ini setiap kali mendapatkan jawaban yang sama dari Nabi Musa, dia selalu berdoa, "Yaa Rahiim, Yaa Rahiim, takdir saya memang tidak akan memiliki anak, tapi Engkau Maha Penyayang Ya Allah,"
Doa yang lembut itu ternyata pada akhirnya mampu mengubah takdir nenek dalam kisah ini. Bahkan, Nabi Musa pun melakukan konfirmasi langsung pada Allah atas kejadian ini. Lantas, jawaban Allah sangat menggetarkan hati.
"Wahai Musa, sesungguhnya rahmat-Ku itu mendahului takdir. Aku mengubah takdir atas nenek ini yang semula tidak punya anak menjadi bisa punya anak,"
youtube
Begitulah, bagaimana pun kita merasa takdir tidak berpihak pada kita, percayalah selalu ada rahmat Allah yang mampu melampaui takdir tersebut.
Semangat, biidzniLlaah!
3 notes · View notes
abidahsy · 8 months
Text
Masuk Surga Tanpa Hisab
Menjadi judul grup mengaji yang berisi aku, adikku, dan seorang kawan dari UK. Grup ini sudah dibuat sejak lama, mungkin sekitar tahun 2021 lalu. Alasannya karena masuk surga tanpa hisab merupakan mimpi kami bersama yang coba kami wujudkan dengan membangun kedekatan dengan Al-Quran.
Biasanya agendanya dimulai dengan bertukar kabar, lalu dilanjut berdoa, dan memulai tilawah/mengaji satu per satu. Target harian kami adalah 3 lembar per hari. Meskipun sedikit, kami berharap bisa istiqomah setiap hari mengaji. Setelah merampungkan 3 lembar, kami akan saling koreksi bacaan. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca terjemahan dan meng-highlight arti ayat yang mencuri perhatian kami.
Mungkin serentetan aktivitas di atas bisa dilakukan secara mandiri, tapi sungguh, dengan bersama kita akan semakin kuat. Tidak hanya itu, semakin ramai yang ikut mengaji, maka semakin banyak ilmu yang bisa dibagi. Mengaji harian di grup Masuk Surga Tanpa Hisab ini juga pernah 'menyelamatkan' aku dari kesedihan yang luar biasa. Bagaimana tidak? Setiap malamnya aku pasti mencoba hadir dalam kondisi apapun, jadi, bisa dibilang bahwa orang-orang di dalam grup inilah frequent contact-ku. Mereka tahu kabar harianku.
Kisahnya, kesedihan yang sangat dalam saat itu sampai membuatku merasa tidak berharga dan tidak ada gunanya hidup di dunia. Menariknya, pikiran itu bisa berubah saat mengaji bersama mereka. Seketika aku kembali yakin bahwa selama aku hidup, sekuat dan sedalam apapun rasa tidak berharga itu muncul, aku masih punya tugas mulia yaitu beribadah pada-Nya. Salah satunya dengan mengaji dan mempelajari Kitab-Nya.
Hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang. Bukankah begitu isi surat cinta-Nya pada umat manusia?
Di dalam bacaan kami beberapa hari lalu, kami pun menemukan ayat yang menyentuh hati. Begini isi terjemahan ayatnya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqān (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar." Q.S. 8 : 29
Begitulah, bahkan nama lain dari Al-Qur'an adalah Al-Furqan yang berarti Pembeda.
Kemampuan membedakan antara yang haq (benar) dan bathil (salah) merupakan suatu karunia yang besar. Hal tersebut bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari karena adakalanya diri ini sebenarnya salah atas sesuatu tetapi masih saja bersikeras merasa benar. Padahal benar dan salah itu semestinya dikembalikan pada pedoman hidup manusia (Al-Qur'an dan Hadits), bukan semata-mata karena teori buatan manusia.
Aku pun jadi teringat atas doa yang diberikan oleh seorang kawan dari UK. Katanya, dia suka sekali melafalkan doa ini karena harapannya untuk selalu memiliki keteguhan hati dan kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah. Doanya berbunyi,
Yaa muqollibal quluubi tsabbit qolbii 'ala diinik
Artinya:  Wahai Zat yang Maha Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu. (HR. Tirmidzi, no. 3522 dan Ahmad, 6:315)
Bahkan kita juga bisa mendoakan orang-orang terkasih dengan mengganti kata 'qolbii' menjadi 'qolbahu' yang berarti 'hatinya'.
Inilah yang selalu membuat agenda mengaji bersama Masuk Surga Tanpa Hisab menjadi istimewa. Ternyata benar, berkumpul dengan orang-orang soleh/ah dan mempelajari Al-Qur'an merupakan obat bagi hati yang efeknya luar biasa.
Semoga Allah ridha dengan segenap usaha dan doa-doa kami. Semoga Allah izinkan kami dan orang-orang yang kami kasihi sungguh-sungguh berkumpul di surga-Nya kelak tanpa hisab. Aamiin.
3 notes · View notes
abidahsy · 8 months
Text
Pertemuan-Ketemuan
Aku sudah merencanakan untuk menulis hasil pertemuan antara ayah dan Si Beruntung yang rencananya dilakukan kemarin. Ternyata, oh, ternyata pertemuan itu batal karena Si Beruntung yang mendadak harus pulang kampung karena urusan keluarga sekaligus agenda komunitas bisnisnya. Pertemuan diundur ke pekan depan, jadi, mari kita lihat apa yang akan terjadi nanti.
Meskipun pertemuan antara ayah dan Si Beruntung diundur, kemarin tetap menjadi hari yang bersejarah buatku.
Setelah sekian lama tidak berjumpa dengan sosok sahabat zaman kuliah di fakultas abu-abu sebelas tahun lalu, akhirnya kami bertemu. Itu pun harus dengan effort dari seseorang di antara kami yang sampai membuat grup WA dadakan berjudul Ketemuan.
Banyak hal yang kami bahas bertiga, mulai dari masalah pekerjaan, percintaan, hingga cerita hantu di kosan mereka di masa kuliah dulu. Aku adalah pengunjung tetap kosan itu, terutama saat musim ujian tiba. Aku biasa hadir last minute dan menginap semalam demi bisa menelan semua materi yang ada untuk besoknya.
Selalu menyenangkan mengingat masa kuliah dulu, lengkap dengan segenap perjuangan dan suka dukanya.
Sahabatku ini tampak berbeda, dia kurusan tapi terlihat sehat. Dia masih tetap sama dengan kebiasaannya yang super rapi, detail, dan kritis. Siapa sangka dia saat ini ada di dalam tahap jenuh dan hendak resign dari kantornya? Apakah bekerja di posisi yang dibilang cukup tinggi di usia kami saat ini memang semelelahkan itu?
Sahabatku yang satu ini, panggil saja Cin, juga bercerita bahwa dua orang teman kami yang pernah berlibur ke Bali bersama, bahkan sudah resign terlebih dahulu di Bulan Juli dan Agustus kemarin. Saat ini, salah satunya sedang sibuk healing jalan-jalan ke luar negeri.
Aku pun tertarik dengan ide itu dan asal melemparnya ke dalam obrolan kami.
"Yaudah yuk, kita main ke selatan. New Zealand misalnya,"
Yang ternyata bersambut. Kecuali Si Sibuk Bankir yang memilih asyik menyimak obrolan kami karena dia masih harus bekerja, bekerja, dan bekerja. Hahaha.
Ide-ide lain muncul soal masa depan dan percintaan, kali ini Cin yang melempar ide.
"Bid, memangnya harus yah nikah? Bisa gak gausah nikah aja?"
"Yehh, katanya sayang sama keponakan dan mau punya yang kayak begitu juga?"
Cin sempat memberikan update sebelumnya, bahwa keponakannya saat ini sudah ada dua. Sama sepertiku.
"Iya ya, dulu kita mungkin gak suka sama anak-anak, tapi semenjak ada keponakan, semuanya jadi berubah," kali ini Si Sibuk Bankir yang menimpali.
Tidak menyerah, Cin menambahkan,
"Nanti pas tua, kita cari sama-sama panti jompo yang cocok buat kita yuk, Bid,"
Aku membalasnya dengan tawa.
Benar juga, sebenarnya terlepas dari hidup kami akan seperti apa nantinya, memikirkan exit way di masa tua tampaknya seru juga. Maksudnya, pernahkah terpikir untuk menghabiskan masa tua dengan teman kuliahmu dulu? Alih-alih menumpang hidup bersama anak atau bahkan kesepian di rumah yang besar bersama perawat?
Lebih baik menghabiskannya sambil seru-seruan bersama teman yang seumuran dan cenderung memiliki kegelisahan yang sama, bukan?
Baiklah, akan aku pertimbangkan.
"Cin, empat puluh tahun setelah hari ini, kabarin lagi aja, kita cari panti jompo sama-sama. Yang punya program spiritual yang mumpuni tentunya, biar mati pun kita bahagia," begitu kataku menanggapi ide Cin.
Memang selalu menyenangkan menghabiskan waktu bersama Cin dan Si Sibuk Bankir. Thanks for the time, guys!
3 notes · View notes
abidahsy · 8 months
Text
Mengambil Jeda
Aku terbiasa melakukan perpindahan secara cepat. Bagiku, semakin cepat proses perpindahan, maka semakin kecil peluang tenggelam dan berlarut-larut pada satu masalah yang sama. Kalau bisa hari ini, mengapa harus besok? Jika bisa sekarang, mengapa harus nanti? Kecepatan merupakan sebuah pencapaian bagiku.
Itulah mengapa dalam dunia profesional, aku bisa dibilang tidak pernah menganggur lama. Paling cepat jedanya tidak sampai seminggu. Bagaimana bisa? Tentu saja karena aku menginvestasikan waktu sekitar 3 bulan sebelumnya untuk bekerja di dua tempat. Yang artinya, bisa sampai 20 to-do list harus selesai dalam sehari dan ucapkan selamat tinggal pada work-life balance. Weekend pun aku tetap sibuk luar biasa. Tapi setidaknya, keputusan itu aku ambil secara sadar dan tanpa paksaan.
Seperti yang terjadi saat ini, setelah aku resign dari kantor lama, tidak ada sepekan, tawaran pekerjaan baru langsung datang. Awalnya mau aku tolak saja karena aku rindu libur panjang. Bahkan saat kuliah, liburku bisa lebih banyak dibanding saat ini. Aku termasuk dalam golongan orang yang jarang memanfaatkan fasilitas cuti. Bisa dibayangkan, saking tidak pernah cuti, aku pernah berhasil memangkas one month notice hingga kurang dari setengahnya karena sisa jatah cuti tahunan yang masih banyak.
Tidak hanya perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Perpindahan momen dalam hidup seperti sekolah ke kuliah dan kuliah ke kerja pun tidak berjeda. Masuk kuliah dengan jalur undangan membuatku memulai martikulasi lebih awal. Juga sepekan setelah wisuda kuliah, aku sudah langsung ke luar kota memulai hari pertamaku di dunia profesional.
Kebiasaan ini juga terjadi di dunia percintaan. Jika aku gagal dalam berproses, tidak lama kemudian aku dengan mudahnya mampu memulai proses baru. Tidak ada nangis-nangis di bawah shower, bengong-bengong mikirin mantan, atau mungkin tidak berselera makan. Lebih jauh lagi, beberapa kali aku bahkan melakukan proses secara paralel. Menariknya, sejauh ini belum ada yang protes, sebagian karena tidak tahu, sebagiannya lagi tahu tapi tidak melarang.
Cukup melelahkan memang. Tapi sejauh ini aku berpikir akan lebih melelahkan jika aku melakukan hal yang sebaliknya.
Bagaimana menurutmu? Perlukah aku mengambil jeda?
3 notes · View notes