Tumgik
#takzim
megatkhairani · 2 years
Text
https://vt.tiktok.com/ZSdpJ6QMR/?k=1
sempena hari jadi dehya anak buah lelaki sulung,paksu tunaikan impian beliau,fullset hadiah,puas hati sungguh,seronok tengok dia happy,minat sungguh dalam arena bola sepak,dia wakil sekolah macam paksu dulu,paksu dulu pun macam tuhh la hobi main bola,ayah dehya iaitu abg sulung belikan kasut bola pertama dalam hidup kat paksu,sebab dapat wakil sekolah,kasut kaler mas jenama kronos,masa darjah 4 atau 5,masih kekal dalam ingatan,sekarang tiba paksu balas jasa dan budi abg najib,paksu main sungguh2 sampai takat wakil daerah,alhamdulillah,team bola kegemaran anak buah pun sama macam paksu dia,mana tak tumpahnya kuah kalau tak ke nasik,semoga impian dehya tercapai,paksu bantu takat mana boleh ja,sedaya upaya,dia balik kampung ja mesti main bola sekali,permainan kegemaran kami imbang bola paling lama,tapi paksu memang,100 kali tak jatuh huhuhu,masih ada sisa2 bakat lama,tapi sudah pencen,bila ada bini ni perut dah naik,kahkahkahkah,bakat bola paksu diserah pada dehya.....
1 note · View note
deehwang · 4 months
Text
Jadi gini.
Kalau mau bahagia, mentalitas miskinnya ditinggalkan; berhenti playing victim, berhenti berpikiran negatif--apalagi berlainan faktanya dan sekedar duga-duga gak berbukti--tentang orang lain, dan jangan ambil secara personal apa-apa yang, kalau dipikir-pikir ternyata sepele dan bisa dibicarakan. Kan, situasi orang beda-beda. Kalau cukup bijak, bakal sadar dunia ini gak cuma hitam putih. Gak cuma tentang siapa salah siapa benar.
Yang tahu dan sayang kamu, akan membantu kamu tumbuh. Yang terintimidasi dan benci kamu, bakal selalu lihat kejelekanmu (apa pun kebijaksanaan di kemudian hari yang kamu peroleh). Berupaya mengubah penilaian mereka ke kamu juga gak usah. Mereka gak akan mau lihat hal baikmu saat ini. Waktu yang buat mereka takzim ke kamu, nanti.
Untuk saat ini, paling logis memaklumi ketidakmengertian mereka, yang adalah karena mereka ada di situasi tidak menyenangkan. Tapi kesialan mereka bukan tanggungjawab kamu. Sudah waktunya prioritaskan yang penting. Kamu fokus sama orang-orang di kategori pertama, ya, yang selalu ada dan kehadirannya laik diperhitungkan.
Semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan dan hal-hal positif di sekitarmu. Kalau kamu sedang dalam proses pencapaian diri, fokus disitu. Jangan banyak paradekan diri sendiri--terlalu banyak self-confidence juga buruk. Intinya bahagia itu cuma butuh dialog ke diri sendiri dulu, banyak-banyak memaafkan, tahu mana yang membangunmu mana yang enggak.
Fokus happy, ya, biar bisa nular ke banyak orang.
24 notes · View notes
dardawirdhaa · 26 days
Text
Bentuk takzim adalah pintu kesuksesan.
Dan cara takzim kepada malam-malam terakhir ramadan yaitu dengan memaksimalkan ibadah: perbanyak ibadah.
18 notes · View notes
sepertibumi · 1 year
Text
[INVESTASI]
Hari ini dapet kesempatan buat ngobrol santai bareng salah seorang dosen di Jakarta yang kebetulan satu almamater. Dapet banyak banget insight baru tentang bagaimana hidup, bergerak dan mengisi diri.
Berlatar belakang satu institusi pendidikan yang sama, bikin obrolan sore tadi semakin renyah. Beliau sukses membuat kita takzim menyimak pengalaman hidupnya, juga membuat kita terpingkal dengan banyolan khas betawinya.
Di akhir, beliau berpesan untuk terus bergerak. Iya, bergerak karena kita ga pernah tau di mana kita bakal dapat kesempatan. Di kejadian mana kita bakal dapet momentum.
Tapi ada sisi lain yang lebih menarik buatku, tentang mengisi diri.
Ga peduli sebanyak apa orang hebat dan bertalenta di luar sana, kita selalu punya kesempatan untuk tumbuh lebih dan lebih baik lagi. Dari sosoknya aku belajar untuk hidup dengan apa adanya kita, bukan dengan apa yang orang lain inginkan.
Mereka yang tertarik akan mendekat, yang tak suka akan terus mencari celah, dan yang acuh tak akan ambil peran. Dan bukankah memang seperti itu alurnya? Memang seperti itu hukum alamnya?
Jadi, di manapun nantinya, dengan siapapun, ditempatkan di manapun, berhenti untuk bertanya "kenapa?"
Karena jawabannya sesimpel, ya karena kamu dipercaya.
Kok bisa dipercaya?
Karena apapun yang kita lakukan, sekecil apapun, akan selalu ada orang di luar sana yang memperhatikan. Jadi yang lebih penting sekarang adalah mengisi diri dan berhenti mengkaji apa kata orang. Berhenti berusaha menjadi pusat perhatian, karena tanpa kamu minta, orang-orang di luar sana sudah melaksanakan tugasnya, mereka memperhatikan dalam diam.
Mulai untuk menanam banyak kebaikan dalam diri, yang kelak buahnya bisa dinikmati oleh sekitar. Namun jauh sebelum itu, ada yang lebih utama. Yaitu memperbaiki diri agar kita bisa nyaman tinggal di dalamnya. Agar kita merasa aman.
Dewasa menuntut kita untuk selalu belajar dan mengambil sudut pandang. Ini hidupmu, maka jadilah pemeran utama yang hebat dalam kisahmu.
17 notes · View notes
rifkisyabani · 1 year
Photo
Tumblr media
Minangkabau Untuk Indonesia Tanpa mengecilkan dukungan dan sokongan beragam suku bangsa yang kemudian membentuk Indonesia hingga kini, agaknya kita perlu sebuah apresiasi yang tinggi bagi tanah Minangkabau atas kontribusinya sebagai modal pergerakan bangsa. Sejak dahulu saya penasaran kenapa banyak tokoh pergerakan dan bahkan 4 serangkai pembentuk Republik yang disusun oleh Tempo dalam Serial Bapak Bangsa, 3 tokohnya berasal dari tanah Minangkabau, sebut saja Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Hatta. Ketiganya mewakili ideologi yang berbeda, namun memperkaya bagaimana bangsa ini dibentuk. Belum lagi ada Mohammad Yamin dan KH. Agus Salim yang punya nama asli: Masyhudul Haq. Tidak cukup disitu, ada pula tokoh mosi integral yang melahirkan NKRI setelah KMB, dialah Natsir. Di abad 19 akhir bahkan salah satu imam dan guru di Masjidil Haram adalah tokoh ulama besar asal Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang kemudian memiliki murid yang menjadi pendiri 3 gerakan dakwah besar di Nusantara: Nahdatul Ulama: KH. Hasyim Asyhari, Muhammadiyah: KH. Ahmad Dahlan, dan Sulaiman Ar Rasuli pendiri Persatuan Tarbiyah Indonesia. Bagaimana tanah di tengah pegunungan Barisan di pesisir Barat Sumatera ini bisa jadi "power house" yang menelurkan tokoh pembaharuan di zamannya? Maka jika menelisik di banyak literatur dan bahkan sejarah dunia pers Minangkabau agaknya pengaruh semangat pan-Islamisme (mengacu pada definisi dari Anthony Reid) yang kemudian mempengaruhi gerakan Padri, interfensi dan modernisasi ala Eropa yang di bawa oleh kolonial Belanda telah mampu memberi inspirasi yang tumbuh deras bersama budaya yang kuat dipegang teguh (salah satunya budaya rantau), telah membawa orang-orang Minangkabau lebih egaliter, terbuka dan progresif. Sementara tanah Jawa di sekitar abad 19, sebelum dan pasca Perang Diponegoro masih dilingkupi feodalisme dan takzim di bawah kekuasaan bangsawan dan kaum ningratnya yang tak sedikit justru kerap menggunting di dalam lipatan bersaing pengaruh satu sama lain hingga dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang memusatkan pengaruh politiknya yang saling bersilangan. #sejarah #history #book #sketchnotes #coretanrifki https://www.instagram.com/p/CpZhmNZrP77/?igshid=NGJjMDIxMWI=
18 notes · View notes
irmaratnasjourney · 4 months
Text
Me and My Half Dien oleh Ust Oemar Mita
Episode 9
APA YANG HARUS DIPAHAMI PEREMPUAN
Jihad terbesarmu adalah senyum indahmu. Pahala terbesar wanita adalah saat ia mendapatkan ridho dari suami sehingga ia memasuki surga dari pintu manapun. " Wanita yang paling baik adalah yang paling menyenangkan ketika dilihat suaminya ". Dua titik lemah wanita yaitu :
• Lisan
• Harta
" Wahai kalangan wanita banyaklah kalian bersedekah dan beristigfar"
Empat Pintu Harta Wanita adalah :
1. Mahar
2. Hadiah
3. Kerja
4. Warisan
Kekuatanmu pada kelembutanmu
Kekuatan wanita ada pada kalimat yang ia sampaikan dengan nada rendah dan intonasi lembut, seperti ibunda Asiyah saat meminta merawat Musa pada Fir'aun. Suami adalah bayi besarmu, Suami yang berubah menjadi bayi besar di rumah adalah tanda ia nyaman di dalamnya.
• Berikan pelayanan terbaik
• Dengarkan perintahnya selama tidak bertentangan dengan syariat.
• Jaga penciuman dan pengelihatannya
• perhatikan waktu tidur dan makanannya
• Jaga harta dan keluarganya
• Jangan melalaikan perhatikan perintahnya
• Jangan mengumbar rahasianya
Jangan samakan cinta suamimu dan cinta kepada ibunya
• cinta pada istri : mawaddah (sayang)
• cinta pada ibu : takzim ( hormat)
Tidak perlu membandingkan 2 rasa cinta yang berbeda. Doronglah suami untuk terus menyayangi ibunya.
Peliharalah sifat malumu, perhiasan paling mahal dari kehidupan seorang wanita adalah rasa malu, bahkan menjadi indikator keshalihan wanita.
Jangan suka mengadu . Termasuk salah satu kebaikan itu saat kamu pandai menyembunyikan musibah dan ujian termasuk dalam rumah tangga agar tidak diketahui orang lain.
Jangan mempersoalkan hal kecil. Pilihlah bersabar untuk hal kecil, prioritaskan membahas hal besar dan penting. Hal kecil boleh dijadikan bahan diskusi tapi jangan sampai menjadi bahan pertengkaran.
Memanage hati. Wanita harus selesai dengan masa lalunya, terutama saat ia memiliki anak. Karena jika masih ada dendam dalam hatinya, dendam itu akan diwariskan kepada anaknya.
Memahami karakter dasar suami. Berikan ia perlakuan sesuai dengan karakter nya dan apa yang dia butuhkan
• kecondongan psikologis
• love language
Wanita yang bisa memasak memiliki poin lebih. Karena ia memasak dengan tulus, masakannya terasa lebih nikmat daripada masakan chef
Bangga dengan profesi tertinggi. Rasa bangga dan syukur harus dipupuk saat menjadi istri dan ibu, jadi ibu rumah tangga itu mahal karena bonding dengan anak tidak tergantikan.
Metode terbaik dalam menasehati
• perhatikan waktu dan kondisi suami
• pilih diksi dan intonasi suara
Ada waktu menenangkan diri. Saat gundah Mintalah waktu untuk memvalidasi rasa. Seperti Maryam yang Allah berikan waktu 3 hari puasa bicara agar ia lebih tenang.
3 notes · View notes
alizetia · 1 year
Text
Ada seorang ustadzah di kampusku, orangnya jarang bercanda, ilmunya dalam hal lughoh masya Allah. Bahkan terkesan dingin dan killer menurut sebagian kami. Aku pun segan padanya. Tapi andai ustadzahnya tau, sungguh aku sangat takzim padanya. Meski di luar nampak dingin, namun aku merasa beliau sangat menghargaiku sebagai murid meski saat ini aktivitasku sangat terbatas. Tugas tugasku masih diperhatikannya, di kelas aku masih dilibatkan walau aku kuliah online dari rumah saat teman teman yang lain hadir di kelas. Sungguh meski dari rumah bukan berarti aku ngga belajar, apalagi merasa senang karena nganggep liburan seperti candaan salah seorang ustadzah lainnya hari ini di kelas. Percaya atau tidak, aku masih suka tidur larut untuk ngejar ketertinggalan, atau murojaah kalau harus setoran atau ngerjain tugas meski badan pengennya diistirahatin.. Kalau hadir di kampus sehari badan bisa remuk luar biasa dan drop. Kalau yang dibawa cuma diri sendiri aku tak peduli berapapun letihnya, tapi masalahnya amanahku saat ini bukan cuma badan ini seorang.
Cuma bisa mendoakan semoga Allah senantiasa melimpahkan keberkahan pada ustadzah kami tersebut :') makasi ya ustadzah..
21 notes · View notes
dearneptunus · 6 months
Text
In Between,
Kemarin, aku menyaksikan sesuatu yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Tidak, sekalipun kita pernah bersama untuk waktu yang lama.
"Aku tulis ah, menyaksikan yang belum pernah aku lihat"
"Tulis di tumblr" You laugh. smiling once.
Selama prosesnya, aku tahan untuk lebih banyak diam, sesekali bertanya. Tapi takzim melihat dari jarak dekat.
"Apasih?" when you stared at me. HAHAHA. will not mention what you're talking about in between the process until in the end momon bilang
"Taro aja Fat"
Lalu aku beranjak dari posisiku. Tentu beberapa kali yang muncul adalah soal tidak pernah, bahkan sekali, bahkan sesederhana apapapun gambaran itu kamu buat buat aku (?) & now i can't complaining because who are we (?) HAHAHAHA. Atau aku bahkan tidak pernah meminta. Dan, mungkin kalau aku bisa bertanya, aku akan tanya pada aku usia belasan itu, kenapa tidak pernah minta (?)
Mungkin. yang aku sadari justru betapa kita tidak benar-benar mengenal satu sama lain & barangkali hal itu yang menghambat kita bertumbuh bersama di kemudian waktu.
Sekalipun kamu tidak pernah mengambar untukku, mungkin akhirnya aku tidak menyesali masa muda yang lucu itu. After all baru bisa bilang lucu.
Karena dulu yhaa aku marah banget, ga selebay "yang kamu lakukan ke aku itu jahat" But I know betapa kejadian itu tuh ngeselin & emang rada jahat huhuhu, bahkan sampai terakhir kita bertemu out of sudden dalam meja konfrensi bersama kakak-kakak-ku belum lama ini, aku baru bisa punya forum (?) untuk memberi tahu POV-ku. Kita seringkali betul-betul perlu sekian waktu setelah hari itu, untuk menuntaskan yang belum usai waktu itu.
Kita, pernah ada di sana, di antara batas itu. Kini kita tentu akan tetap berteman baik selama-lamanya. Dan kalau kata Tulus, kisah kita abadi selamanya pada saksi sejarah dan tentu pada kita sebagai pelakunya.
5 notes · View notes
ameliazahara · 6 months
Text
Ah shit, ternyata dia juga menikmati perannya sebagai seseorang yang disukai oleh salah satu petinggi. Walau katanya enggan sebab sesuatu dan lain hal: sebab tidak rupawan.
Persetan! Dunia dipenuhi dengan segala tipu muslihat.
Mari duduk di kursi sendiri dengan takzim, siapkan popcorn seperti biasa, lihat bagaimana pemeran memainkan pertunjukannya.
Semoga lampu sorotnya tidak pernah mengarah kepadamu dalam hal ini. Lebih baik jadi penonton dari pada harus jadi pemeran pengganti XD
4 notes · View notes
aufaqtt · 2 years
Text
Sabar Tanpa Batas (Cerpen)
"Hei, Watu Kali, sini! Ngopi!" teriak seorang lelaki yang sedang duduk bersantai di pelataran gazebo bersama rekan-rekannya. Sontak ketika lelaki itu menyebut "Watu Kali" manusia-manusia di sebelahnya cekikikan mengejek.
Laki-laki yang dipanggil "Watu Kali" berperawakan gempal nan hitam legam itu menoleh, tersenyum kecut. Kemudian melangkah mendekat ke segerombol orang itu. Ia sudah terbiasa dihina dan dicela oleh teman-temanya karena "warna" kulitnya. Terlebih lagi rambutnya botak plontos membikin seseorang yang melihatnya ingin tergelak.
"Mau ke mana? Mutar-muter saja kau ini. Lungguh kene" Lelaki itu menepuk tempat kosong di sebelahnya. "Apakah pantat kau ada durinya? Heh?"
Watu Kali tertawa getir, menyesap kopi, menyambar rokok lantas menyalakan korek api, "Tidak ke mana-mana, hanya ingin jalan-jalan." Ia duduk di sebelah lelaki itu. Lalu mencopot songkok hitam yang dikenakannya.
"Pffftt...." Seketika orang-orang menutup mulutnya—menahan tawa—tak kuat melihat kepala Watu Kali tatkaka sinar mentari siang menyiram. Cling—bagai ada bintang yang berpendar-pendar mengerubuti.
Watu Kali—bernama asli Alfaina—meladeni seloroh rekannya itu, malah menggosok-gosok botaknya. Terkekeh kecil. Seakan-akan hatinya terbuat dari baja dan telinganya terbuat dari dinding kedap suara—tahan cemoohan.
Tetapi, bukankah tidak ada yang tahu gejolak nurani seseorang bagaimana? Kadang, di balik tawa seseorang, ada sepercik api yang tercekat dalam kerongkongan. Dikunci rapat-rapat di antara deru jantung. Entah sampai kapan gembok itu bertahan.
Mereka lanjut berbincang-bincang hangat, ngalor-ngidul. Lagi-lagi Alfaina hanya menganggap mereka bercanda ketika dirinya dijadikan "bahan".
Mungkin, apabila aku—sebagai seseorang yang menuliskannya—tak akan bisa tegar dan kokoh ketika berada di posisinya.
*
"Apakah kesabaran itu ada jendelanya, Zaighun?"
Gazebo berdinding anyaman itu lengang sejenak, menyisakan jam dinding yang berdetak, tepat di atas rak kitab dan buku-buku. Kepulan asap memenuhi gazebo. Zaighun tersenyum takzim, entah apa yang ada di pikiran Alfaina. "Jendela? Kesabaran tidak bertempat di dalam ruangan, Alfaina. Tidak ada jendela. Kesabaran itu terletak di samudera yang terbentang luas, bahkan garis horizon cakrawala tak dapat membendung dan membatasi." Zaighun menyesap rokok sesaat, "Kenapa kau bertanya seperti itu, Alfaina?"
Alfaina menunduk, menatap kosong kopi hitam pekat yang masih mengepul. Kedua bola matanya berkaca-kaca. "Dari kecil, mungkin bahkan dari lahir aku sudah dihina, Zaighun," Alfaina terisak pelan, "warna kulitku yang—"
Alfaina terdiam, bibirnya bergetar resah, tak kuat. Air mata tiba-tiba mengalir di permukaan epidermisnya. "Ada yang memanggilku dengan "Kecap Bango", "Afrika Nugini", bahkan sekarang di pondok ini, mereka menyebutku "Watu Kali". Memang benar di depan mereka aku terlihat "baik-baik saja". Namun, setiap malam, saat akan tidur, aku selalu menangis. Mencaci-maki, merutuki, mengumpati diriku sendiri. Akankah kesabaran ini bisa runtuh? Aku takut bila kesabaran ini runtuh akan menyakiti hati mereka."
Zaighun menghela napas panjang, kedua bola mata hazel-nya menutup sejenak, ia tak kuasa jika bulir bening di sudut matanya juga harus menetes. Kini, palung sukmanya seakan dirobek-robek. Syukur menggema dalam sudut-sudut belantara sanubarinya.
Hening sesaat, tiba-tiba dalam kepalanya seolah ada setitik cahaya. Tangan kanannya mengambil secangkir kopi hitam pekat yang sudah mendingin di depannya itu, lantas tangan kirinya menyambar gelas berisi air mineral yang tersisa setengah.
Zaighun menyodorkan cangkir kopi lebih dekat pada Alfaina, "Kau tahu ini apa?"
"Kopi," jawab Alfaina pendek. Isaknya sudah mereda.
"Kalau ini?" Zaighun balik menyodorkan gelas yang ada di tangan kirinya.
"Air putih," sergah Alfaina lagi.
Dengan cepat Zaighun berbinar, menumpahkan sedikit kopi ke dalam gelas berisi air mineral. "Kenapa air ini menghitam, padahal hanya sedikit kopi yang kutuangkan?"
Jeda dua detik, Alfaina mengernyit, menautkan kedua alisnya.
"Tidak usah dijawab terlebih dahulu, ikut aku sekarang!" Zaighun beranjak, meletakkan gelas air mineral, hanya membawa secangkir kopi.
Alfaina mengangguk pasrah, mengekori dari belakang—masih menampakkan raut muka keheranan.
Mereka berdua berjalan ke belakang pondok, sekitar dua ratus meter. Berhenti tepat di pinggir kolam bundar—cekungan kecil—berdiameter dua puluh. Kolam itu dikelilingi oleh persawahan hijau yang terbentang luas. Jingga-kemerahan semburat di kaki barat—seolah melambaikan perpisahan. Burung-burung kecil terbang rendah muncul-sembunyi di antara padi-padi.
Zaighun dan Alfaina berdiri berjejer, sama-sama memandangi air kolam.
Pyorrr. Semua kopi yang berada dalam cangkir ditumpahkan Zaighun, "Kenapa kolam ini tidak menghitam?"
"Mana mungkin bisa hitam, kolam ini terlalu luas dibandingkan kopi itu."
"Lantas kenapa air putih dalam gelas tadi menghitam?" Zaighun melengkungkan bibir.
"Kan—"
"Tidak usah dijawab," potong Zaighun. "Sepekat, sehitam, dan sekental apa pun secangkir kopi ini," Zaighun mengangkat cangkir yang sudah kosong, "maka tak ada artinya jika ditumpahkan dalam kolam seluas ini, Alfaina....
"Kau tak bisa mengendalikan ucapan, perspektif, dan perilaku orang terhadapmu. Maka hanya dengan membentangkan hatimu seluas-luasnya kau bisa menerima semua itu. Ibaratkan jika hatimu selebar kolam ini—bukan sesempit gelas tadi—maka bukankah secangkir kopi tak akan pernah bisa mencemari?" Zaighun tersenyum takzim.
8 notes · View notes
amelyaseptiana · 1 year
Text
Ruangaksara #114
Takut kepada Allah
"Lelaki seperti apa yang sebaiknya kupilih?", tanya seorang perempuan kepada ayahnya.
"Pilihlah lelaki yang memiliki rasa takut kepada Allah", ayahnya menjawab dengan begitu takzim.
"Kenapa demikian, Ayah?", putri sulungnya masih melanjutkan pertanyaan.
"Karena lelaki yang takut kepada Allah, dia tidak akan mengkhianatimu, tidak akan berani menabrak aturan Allah terlepas ada atau tidak ada kamu yang melihatnya. Dia akan mampu menjaga batasan karena ia yakin bahwa Allah Maha Melihat semua apa yang dilakukannya. Dia akan selalu merasa diawasi oleh Allah", ayah menutup jawabannya sambil tersenyum ke arah putri sulungnya.
2 notes · View notes
mandalawangii · 1 year
Text
Gladi Bersih Berumah Tangga
Tumblr media
Setelah meletakkan tas di bangku tepi sungai, ia sudah ilang dari pandangan. Kusisir pandanganku sampai tepi lapangan dan sudut-sudut nylempit demi tau keberadaannya. Setiti dan hati-hati, teliti menyensor anak berbaju putih. Semua indera kuoptimalkan. Dan mataku menangkap objek putih bergerak menuju tengah sungai dengan senyum sumringah di wajahnya. Sesumringah air merambat naik lewat medium kain celananya, seperti minyak tanah yang merambati sumbu lampu teplok, hampir separuh basah.
Kupanggil ia untuk naik ke tepi sungai, sembari kusodorkan celana pendek. Hanya itu bekalnya, dan selembar kaos polo berwarna merah.
Ia lantas cekatan mengganti kostum untuk tampil di antara ikan-ikan cethol dan batu kali. Melenggang kangkung mencicipi tiap morfologi sungai. Memindahkan batu-batu dan menyusun bertingkat. Seperti ingin menyaingi menara Eifel, atau bendungan Kariba.
Anak itu gigih mengumpulkan batu-batu. O, tapi jangan pernah lupa, Ferguso: kita sedang di Indonesia yang proyek-proyek serupa kerap dibiarkan mangkrak dan paling banter dikorupsi. Sebab, terakhir kali nenek moyang mereka, Si Bandung Bondowoso, nggarap proyek seribu candi dalam semalam malah dikibuli bos-nya, Roro Jonggrang. Wkwkwkw.
Jadi kita warisi saja semangat memangkrak-kan susunan batu-batu dan berciblon ria. Sementara aku pacaran dengan Mbak Ira, kakak tertuamu, sembari senyam-senyum menerawang masa depan anak kami yang kelak berciblon ria pula di sungai kecil di Ledok Sambi. Seperti dirimu hari ini. Dan kalau dirimu ikut, akan dipanggil "om" oleh si Lantang atau Lintang atau keduanya.
Saat hujan mulai turun dan di atas sana awan terlihat mendung hebat, lekas-lekas kakakmu menyelamatkanmu dari banjir bandang, sekaligus menyelamatkan dari masuk angin. Apa yang lebih menyenangkan bebersih diri di bawah air keran dan menikmati teh hangat setelahnya (?) Iya, sayang seribu sayang, kentang goreng dan pisang kemul kita datang terlambat. Amat sangat. Atas nama "tadi sudah jalan dan nggak ketemu", pramusaji itu bersembunyi di baliknya. Padahal tak pernah diider orderan snack kita ke titik seperti teh poci diantarkan. Belakangan, pramusaji terakhir mengaku nota dan label nama pemesannya ketlingsut. :))
Tapi hujan tak kunjung mereda. Hari mulai gelap, lampu-lampu sudah dinyalakan, dan matahari berangsur tergelincir ke barat. Kita harus pulang sebelum benar-benar gelap. Jadilah kita membelah badai. Saling dekap di bawah selembar jas hujan kepunyaan kakakmu.
Kakakmu kuyup, pun wajahku seperti mendapat terapi akupuntur geratis. Nampani hujan deras yang turunnya keroyokan. Sementara kepalamu teklak-tekluk kesana kemari lunglai tak terkendali. Ya, enak bukan tertidur di tengah-tengah kami yang kehujanan (?) wkwkwkw. Demikian aku takzim, barangkali di luar sana banyak anak-anak seumuranmu yang jika kehujanan menerjang badai banyak mengeluh. Tapi Fazar tidur dong :)) sampai tak sekata keluh pun keluar terucap. Sebaik-baik bersyukur atas keadaan.
Semoga kelak jadi orang sukses multisektor ya, Le.
6 notes · View notes
keylaanee · 1 year
Text
Peron
Sore hari menjelang adzan maghrib. Kereta berhenti di stasiun Tugu, aku melangkahkan kaki keluar dengan perasaan membuncah, keinginan untuk segera melepaskan perasaan rindu. Namun rasanya semuanya begitu asing, banyak berubah, stasiun kini nampak lebih modern, mengikuti arus perkembangan zaman dan aku lihat cat tembok yang baru saja ditimpa, serta terdapat bangunan baru di sisi utara. Ah, apa mungkin ingatanku yang mulai kabur akan bangunan dan sisi stasiun yang dulu sering aku singgahi. Tentu saja, 15 tahun adalah waktu yang panjang untuk merubah banyak hal.
Waktu itu, aku ingat betul. Suatu Kamis siang menjelang sore, kita membeli tiket peron dan duduk di kursi paling ujung untuk menunggu kereta-kereta tiba. Entah apa yang aku pikirkan waktu itu, mau saja diajak olehmu dan membolos untuk kali pertama.
Seseorang siswa yang sering berlangganan masuk keluar ruang BK karena kepergok membolos pelajaran dan sering kali berakhir di meja kantin, tapi aku merasa kamu bukan seseorang yang patut dijauhi. Selain itu, sebenarnya aku bersyukur, jika saat itu kamu tak berada di ruang BK untuk menulis kalimat pernyataan selembar penuh portofolio, mungkin saja aku tidak akan pernah mengenalmu, sebagai teman pertamaku di sekolah baru.
"Pernah membolos?", celetukmu kala itu.
"Nggak pernah, kenapa?"
Kamu tersenyum, "Mau mencoba?" tanyamu kepadaku.
Aku hanya diam menggeleng, tentu saja siapa orang yang mau diajak membolos orang yang baru saja dikenalnya.
"Tunggu saja waktunya, suatu saat kamu pasti mau," ucapmu penuh percaya diri.
Aku mengernyit, cenderung meremehkan dalam hati, aku berkata itu tidak akan mungkin. Namun, kenyataannya waktu itu ucapanmu benar-benar terwujud.
Obrolan singkat di ruang BK itu aku kira akan berakhir di sana. Namun, seolah sudah direncana dengan kemungkinan dan kebetulan yang ada, aku tidak menyangka akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya, entah tak sengaja bertemu di ruang perpustakaan atau sengaja berjanjian untuk makan bareng di kantin.
Sesungguhnya adalah suatu anomali menemukan dirimu duduk membaca buku di perpustakaan, tak banyak ditemui siswa yang membolos ternyata suka membaca buku. Apalagi buku yang sedang kamu baca saat itu, Madilog. Buku tebal, yang orang melihatnya saja sudah enggan membacanya.
"Kenapa kamu suka membolos?" tanyaku saat itu.
"Ruang kelas itu seperti penjara, sesak. Aku tak betah duduk lama-lama dan hanya berdiam diri mendengarkan."
"Kenapa?", tanyaku saat itu.
"Karena mendengarkan adalah pekerjaan yang paling berat," jawabmu begitu diplomatis.
"Berat?"
"Iya berat. Ketika kamu mendengarkan paling tidak, kamu membutuhkan tiga indra yang bekerja secara bersamaan."
Ucapanmu kala itu selayaknya guru yang mejelaskan sesuatu kepada muridnya, aku mengangguk takzim.
"Pertama, kamu membutuhkan telingan untuk mendengar suara dan otak untuk memproses semua yang kamu dengar menjadi informasi. Kedua, kamu membutuhkan kedua mata kamu untuk memperhatikan dengan seksama, tak mungkin kedua matamu terpejam ketika guru menjelaskan berapa kecepatan buah jambu yang jatuh dari pohon, tergelincir ke genteng dan jatuh ke tanah, bukan?"
Aku tersenyum tipis mendengarnya, mana ada penjelasan soal semacam itu, "Ketiga apa?" ucapku ketika kamu tak kunjung melanjutkan.
"Kamu nggak tahu?" tanyanya.
Aku menggeleng dengan tatapan penasaran. Sedangkan, kamu kembali menatapku begitu lama tapi tak sampai membuatku risi, "Tersenyum."
"Tersenyum?" Aku merasa salah mendengar dan menatap sangsi wajahmu yang kala itu nampak serius.
"Mbak, jangan terlalu serius mendengar ucapan seorang anak SMA yang pengalaman hidupnya baru secuil kapur tulis yang mau habis. Bisa tersesat dan aku nggak mau tanggung jawab nantinya," ucapmu kemudian.
Aku menggeleng, menurutku perkataanmu memang benar, kecuali tindakanmu yang membolos saat itu.
"Ketiga, hidung untuk bernafas, nggak mungkin orang mendengarkan tanpa bernafas. Sekali lagi, tolong jangan serius banget, dari tadi lho Mbak melotot seolah lihat hantu."
Aku refleks melebarkan mata.
"Tuh kan, aku sudah bilang jangan melotot Mbak," ucapmu dengan tertawa renyah. Suara tawa yang nyaman didengar.
Aku saat itu hanya tersenyum kecil, meskipun sebenernya itu tidak lucu, dan guru yang berada di pojok ruangan kembali melirik kami mengisyaratkan untuk tenang.
Setiap hari kecuali tentu saja hari Minggu, hampir tak jemu kita mengobrol banyak hal. Saling bercerita dan membuka sisi dari diri kita masing-masing, yang mungkin tak pernah diceritakan kepada orang lain.
Satu minggu berganti bulan, dan bulan demi bulan terlewati, tak terasa satu tahun kita menjalin hubungan pertemanan. Kamu masih sama, suka membolos meskipun sudah berulang kali menulis berlembar-lembar kalimat pernyataan bersalah. Sedangkan aku, masih saja tidak bisa menebak apa yang kamu pikirkan.
Seperti saat kita duduk memakan somai langgananmu, di depan sekolahan. Aku memikirkan ucapan teman sekelasku tetang kamu yang dianggap sebagai anak berandalan, tukang bolos dan tidak punya masa depan.
Pernah seorang teman sekelas bilang kepadaku, "Kinan, kamu nggak tahu? Arkan itu pernah mau dikeluarkan. Dia itu madesu, apa sih gunanya berteman dengan dia. "
"Madesu?"
"Masa depan suram."
Aku menarik nafas lelah, menatap somai di depanku.
"Hei, aku tahu kamu memang pendiam. Tapi hari ini kamu seperti orang sakit gigi. Apakah tidak enak?"
"Kamu nggak denger ghosip?"
"Ghosip apa? Pandangan negatif orang lain tentangku?"
Aku menipiskan bibir, mengaduk somai tapi enggan untuk memakannya, "Iya", jawabku.
"Kinan, kamu itu terlalu pemikir. Aku tak pernah memusingkan hal itu," ucapmu begitu mudah.
"Arkan, tapi menurutku itu tidak benar."
"Berhenti memikirkan apa yang orang lain pikirkan. Lagi pula hidup kita seutuhnya milik kita, bukan milik mereka dan begitu sebaliknya. Selagi kita tidak merugikan orang lain, kenapa kita harus memusingkan penilaian orang lain, itu tidak perlu."
Percapakan itu berakhir, dengan maklumat aku harus ikut membolos denganmu, katamu hidupku begitu kaku dan aku harus melakukan suatu dobrakan dengan ikut membolos.
Peron adalah tempat favoritmu. Aku masih ingat, saat aku tanyakan alasanya kenapa kamu memilih peron sebagai tempat membolos, sedangkan sejak awal kamu bilang tak sanggup duduk terdiam begitu lama. "Di sini, aku lebih bebas dan aku bisa mengobrol dengan banyak orang. Kamu juga bisa melihat berbagai perasaan tulus, orang-orang. Perpisahan terkadang membuat mereka jujur dengan apa yang mereka rasakan. Liatlah seseorang wanita muda yang berdiri sendirian itu, dia memakai baju biru tua."
Aku mengikuti arah pandangmu.
"Wanita itu baru saja terpisah dengan orang yang dia sayangi, wajahnya terlihat sendu, berusaha tegar meskipun air matanya akan keluar."
Aku masih diam dan mengamati orang yang kamu maksud.
"Kamu bisa melihatnya kan?"
Aku tertegun, menggeleng beberapa kali, tersenyum miris. Apakah aku mulai kehilangan kewarasaan?. Aku melihat bayangaan diriku sendiri.
Suaramu itu sungguh amat nyata, tapi aku tahu sampai kapanpun keberadaanmu tidak akan bisa jadi milikku lagi. Semua sudah terlewatkan dan hanya akan menjadi kenangan. Saat aku melihat, seseorang wanita seusiaku berjalan ke arahku menggendong seorang anak kecil yang terlihat mirip denganmu.
"Memang benar perpisahan mengajarkan seseorang banyak hal, tapi selebihnya akan ada rasa sesal ketika kamu tak bisa mengikuti kata hatimu."
[Cerpen — 01/04/23]
3 notes · View notes
kambingwangi · 1 year
Text
Buku Mewarnai Aurora
BUKU BERWARNA AURORA
–sebuah cerita pendek dari Clara Ika
BAB 1: Rumah
Kegelisahan terhadap masa depan
"Hanya satu kejadian saja, Ra. Tidak mengubah apapun. Ingat dengan baik situasinya dan siapa yang ingin kamu temui,"
Sudah sejak pagi abang membereskan rumah seperti biasa. Aku juga baru selesai memasak dan menghidangkan sarapan di atas meja makan. Seperti yang sudah disampaikan abang semalam, pagi ini adalah hasil dari diskusi panjang terkait kepergianku. Ya, pekan lalu, bakda pengumuman kelulusan SMA, aku sudah mengatakan keinginanku untuk merantau. Ini adalah ‘tagihan’ kepada bapak atas janjinya kalau aku juara satu paralel. Aku menagihnya.
“Bapak hanya bisa membiayai di universitas negeri,” ucap bapak sambil mengunyah tempe orek tanpa gesa.
Aku melirik ke arah Abang. Ia tampak menunduk takzim sembari menikmati sarapannya.
“Tapi, jurusan yang adek mau ga ada di negeri, Pak. Pun kalo ada, adanya di jawa.” 
“Jangan jauh-jauh, dek. Bapak sudah tua,” Bapak menatapku tajam. Selera makanku sudah hilang. Aku sudah paham, jika bapak berkata A, maka jawabannya adalah A. Mutlak tanpa tapi.
“Nanti adek coba cari beasiswa, Pak. Masih ada waktu seminggu lagi. Kampus incaran adek juga lagi bukaan tes masuk,” aku mencoba menawar. Memasang muka memelas paling apik.
Senggang. Tidak ada komentar. Hanya ada suara air liur yang beradu dengan makanan dari mulut yang gesa.
***
Pagi-pagi sekali, aku sudah ke warnet setelah menyelesaikan urusan domestik rumah. Sedari kecil, aku sudah terbiasa berbagi tugas dengan Abang. Tugasku memasak, memastikan semua orang di rumah tidak kelaparan. Juga mencuci dan menyetrika baju. Memastikan rumah kami bersih. Sementara abang berbelanja kebutuhan rumah, terkadang membantu mencuci piring dan menyapu halaman rumah yang penuh daun kering pohon mangga dan jambu air. Abang juga yang bekerja dan memastikan priok dapur kami mengepul. Kami hanya hidup bertiga. Bapak terpaksa pensiun dini bakda kecelakaan kerja 10 tahun lalu yang membuatnya sekarang harus di kursi roda sepanjang waktu. Bersamaan dengan itu, saat itu, abang baru saja lulus SMP sementara aku kelas dua SD ketika tiba-tiba Wak Dolah, tetangga kami menjemputku di sekolah. Ia bilang padaku untuk jangan menangis. Setibanya di rumah, aku melihat orang-orang memenuhi rumah panggung kami. Bapak sudah dipenuhi perban merah. Selanjutnya, hampir satu bulan lebih aku tidur di rumah sakit bergantian dengan abang menjaga bapak. Selama itu pula, aku ingat benar kulit abang kian melegam. Ia tampak lebih kurus. Beberapa waktu kemudian, baru kutahu abang ikut membantu Wak Dolah berjualan di pasar tak jauh dari rumah kami. Abang tidak melanjutkan sekolahnya.
Ibu? Entahlah. Semenjak kejadian itu ibu menghilang. Aku berulang menanyakan ibu kemana kepada abang, Wak Dolah, Bik Inah, hingga para suster, dokter, dan semuanya. Mereka tidak tahu kemana ibu pergi. Ibu tiba-tiba menghilang begitu saja. 
Aku melanjutkan penelusuran di internet. Fokus mencermati jurusan yang diminati. Desain Komunikasi Visual. Jurusan itu amat menarikku ketika ada kakak-kakak kampus sosialisasi jurusan di sekolah. Seorang kakak menjelaskan jurusan ini begitu menarik. Ia suka menggambar dan jurusan ini sangat mendukungnya untuk menjadi animator. Belum lagi, ia menambahkan prospek kerja dunia kreatif yang semakin menyilaukanku. Aku mengincar kampus negeri di Bandung, juga solo atau jogja yang terkenal dengan kampus seni dan industri kreatifnya. Sejak kecil, aku suka sekali dunia melukis dan ingin masuk TV. Aku tiba di halaman utama website kampus impianku. Membaca dengan seksama syarat dan ketentuan. Selanjutnya aku membayar biaya pendaftaran untuk tes ujian masuk. Sembari ku cermati biaya uang pangkal di jurusan ini. Aku merapal doa kencang, semoga semesta berbaik hati menghadiahiku untuk lulus dengan beasiswa penuh.
Merawat bapak
Waktu melesat bagai pedang. Tidak terasa pengumuman kelulusan tiba. Sejak pagi abang juga sudah repot mencari surat kabar terkait pengumuman ujian masuk universitas negeri. Ya, saat itu selain di halaman website, kita bisa menjumpai hasil pengumuman di surat kabar. Aku merapal doa kencang. Menguatkan diri dan sangat optimis karena beberapa tahun belakang aku sudah sangat bekerja keras menjaga nilaiku stabil dan belajar giat untuk ujian masuk ini. Aku melihat urutan jurusan di surat kabar sembari mencocokkan dengan nomor ujian dan huruf awalan namaku. Aku berbagi tugas dengan bapak di sisi kiri, sementara aku di sisi kanan surat kabar. Aku mencari urutan namaku dengan detak jantung yang kian riuh.
“M…..M….M….Miranti Aurora…..”
Nihil. Namaku tidak ada. Abang juga memastikan aku tidak lulus setelah membuka halaman web pengumuman ujian. Tertulis namaku dan asal sekolahku beserta tulisan berwarna merah menyala, “Anda dinyatakan tidak lulus seleksi,”. Aku tidak pernah gagal dalam ujian apapun. Kegagalan ujian tes kampus ini sungguh menamparku berkali-kali. Aku bergegas berjalan menuju kamar. Duniaku berhenti berputar seketika.
***
“Ra, makan.” Abang mengetuk pintu kamarku kesekian kali.
Aku menyembunyikan diri di balik selimut. Sudah dua hari aku tidak makan. Hampir 50 jam. Selera makanku hilang. Aku melihat masa depanku yang suram. Teman-teman bersorak atas kelulusannya masuk ke kampus impian. Sementara aku? Si Aurora yang terkenal rajin, patuh, selalu juara satu, tapi tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri. Aku merasa semua usahaku selama ini sia-sia belaka. Aku gagal. Aku payah.
“Dek? Dunia belum berakhir meskipun kamu gagal ujian masuk perguruan tinggi,” suara abang kembali menggema di depan pintu kamar. Omong kosong! Justru duniaku sudah berakhir saat pengumuman itu keluar. Saat dengan jelas tak kutemui namaku di barisan nama-nama yang lulus di jurusan impianku. Juga ketika teks berwarna merah bertuliskan aku tidak lulus di halaman web itu.
“Makan dulu yuk, dek. Gak lucu loh kalo tiba-tiba ada highlight berita, ‘Ditemukan seonggok mayat perempuan kurus cengkring tidak makan dua hari karena tidak lulus ujian masuk PTN’ yok dek, buka pintunya. Makan dulu. Kamu juga udah dua hari ga keluar kamar, gak mandi, betah gitu? Abang masak belut sambal kesukaanmu loh,” bujuk Abang lagi. Aku membuka pintu kamar. Kulihat abang tersenyum lebar memamerkan barisan giginya yang putih bersih. Sangat kontras dengan kulitnya yang legam pekat. Sedetik kemudian, ia menutup hidungnya. 
“Mandi dekkk!! Ya Tuhan, baunya ngelebihin bau pasar ikan, dek!” Selorohnya. Aku memukul bahu abang dengan gemas. Abang selalu punya cara untuk menghiburku.
***
Meja makan. Hening. Aku melihat bapak lebih banyak diam. Juga Abang. Ia tidak banyak bicara dan terlihat sangat fokus mengunyah belut sambalnya dengan nasi hangat.
“Ra,” perasaanku mulai tidak enak. Jika bapak sudah menyebutku dengan sebutan nama, bukan adek seperti biasa, artinya ada hal penting yang akan disampaikan.
“Kamu kuliahnya di sini saja, ya. Uang pensiun bapak kayaknya cukup buat bantu biaya kamu di sini. Sekalian jaga bapak. Abang kan kerjanya sekarang sudah mulai kadang ke luar kota juga,” Bapak membersihkan tangan di air kobokan lalu menuangkan air hangat ke gelasku.
“Tapi disini gak ada jurusan yang adek pengen, Pak. Adek kan pengennya kuliah jurusan DKV,” aku mencoba menawar. Sesekali melirik abang untuk mendukung argumen.
“Kan masih banyak jurusan lain, Dek. Apa bagusnya DKV? Kuliah gak kuliah kan yang penting nanti bisa kerja.” 
“Adek pengen kerja di TV, Pak. Jadi animator.”
“Kerjaan Kamu gak ngasih duit, Dek. Kerja yang pasti-pasti aja. Cari kerja sekarang sulit. Abangmu aja yang lulus SMA jadi atasan karyawannya yang lulusan S1 tuh,” Bapak menegak air hangat di gelasnya. Kemudian beranjak dari meja makan. Meninggalkanku dan abang dalam diam.
Ingatan akan masa kecil
Sebulan berlalu. Diskusiku dengan ayah buntu. Abang juga tidak bisa membantu banyak karena pekerjaannya yang padat membuatnya semakin jarang di rumah. Sejak Bapak lumpuh, abang secara otomatis menggantikan peran bapak bekerja. Uang santunan dan kecelakaan kerja dari perusahaan bapak tidak membantu banyak. Sejak itu pula bapak diberhentikan kerja dan hanya menggantungkan hidup dari uang pensiunannya untuk kami bertiga.
Aku mengingat dengan baik apa yang dilakukan abang. Tapi hampir setiap pagi kulihat sepeda abang penuh dengan surat kabar. Sepertinya ia menjadi loper koran. Sesekali aku mendatangi abang di toko Wak Dolah. Abang gesit melayani pembeli. Abang terkenal pintar menghitung memang sejak kecil. Bak kalkulator berjalan. Ingatannya pun tajam. Abang juga mudah dan cepat belajar. Ketika anak seusianya baru belajar mengendarai motor, abang sudah bisa mengendarai truk. Aku juga sering dititipi Abang kue bik Inah, tetangga kami, untuk aku edarkan dan jual di sekolah. Untungnya lumayan untuk menyambung hidup dan jajan cilok di sekolahku.
Ibu? Entahlah. Ia sungguh menghilang saat kejadian bapak kecelakaan dan rumah kami penuh sesak dengan orang-orang. Sebetulnya, sejak kecil ibu juga jarang di rumah. Entahlah. Aku tak tahu kerjaan ibu apa. Ibu selalu dijemput dengan mobil panjang, seperti angkot tapi bukan angkot, saban petang. Ibu akan berangkat dengan mobil itu dengan pakaian kerjanya yang selalu berwarna hitam. Aku sering mendengar tetangga kami membicarakan pekerjaan ibu yang tak biasa, katanya. Tapi bapak diam saja. Bapak juga menyuruh kami tidak menggubris omongan orang-orang tentang ibu dan keluarga kami.
Setiap membersihkan kamar bapak dan ibu, aku selalu tertarik menatap meja rias ibu. Membuatku betah duduk diam berlama-lama di hadapannya. Dan ketika dalam hening, sering kudengar kalimat itu menggema dari dalam kaca meja rias itu.
"Hanya satu kejadian saja, Ra. Tidak mengubah apapun. Ingat dengan baik situasinya dan siapa yang ingin kamu temui,"
Bersambung.
2 notes · View notes
irfanthofiq · 1 year
Text
(Bukan) Rabu Lebih Dekat - Berfafifu kembali
Setelah sekian lama jeda dari postingan terakhir di tumblr maupun media blog lainnya. Aku coba untuk kembali berfafifu wasweswos atas segala hiruk pikuk yang tengah dijalani. Sebenarnya telah banyak draf-draf fafifu yang tak kunjung usai dalam gawai. Entahlah kehilangan arah atau kehilangan gairah, atau merasa sudah cukup “alhamdulillah” dengan kondisi yang ada. Inilah yang kukira menjadi alasan merasa tak berkembang.
Sebagai rekap, minggu ini sebetulnya ingin menuliskan satu segmen untuk mengenang kawan karibku yang telah berpulang terlebih dahulu. Namun, sebentar perlu menyiapkan beberapa hal, utamanya tentang penerimaan. Padahal diantara kami semua Ia yang sudah menang atas kehidupannya. Dan Sang Pemiliknya telah memanggilnya pulang. 
Selain itu, aku juga ingin memohon doanya untuk adikku yang minggu depan menghadapi pengumuman menuju jenjang perkuliahan, ia mengambil UGM Ilmu Komputer dan IPB Statistik dan Data Science. Semoga bisa tembus dalam tahap ini. Dalam beberapa waktu belakangan juga aku sedang menyiapkan studi lebih lanjut. Semoga di tahun ini bisa melanjutkan sekolah. 
Demikian dulu untuk sedikitnya hari ini. Takdir dan kehidupan begitu adanya. Dan misteriNya sungguh tak ada yang bisa mengetahui. 
Salam takzim selamat berpuasa
Singaparna, 24 Maret 2023
6 notes · View notes
yaninurhidayati · 1 year
Text
Tumblr media
Februari 2018. Enam bulan sejak kudapati namaku termasuk dalam daftar Marbot Masjid. Sejak itu pula, aku terlepas dari satu masalah dan mendapatkan masalah baru yang tak kalah pening. Namun setidaknya, pilihan menjadi marbot adalah pilihan yang tidak pernah aku sesali seumur hidupku. _ Alarm gawai menunjukkan pukul 02.00. Aku sudah bersiap untuk memulai aktivitas harian. Pintu masjid kubuka. Ruangan utama masih temaram, ia hanya mendapatkan cahaya dari lampu teras masjid. Aku edarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Aku dapati sesosok pria yang sedang tidur di ujung pintu lain. Pria yang gesture tubuhnya sangat familiar, tapi siapa?
Kumendekat. Ketika wajahnya makin terlihat, kakiku terhenti, dadaku terasa berat, dan aku tercekat. Air mataku menggenang perlahan. Kubalikkan tubuhku. Ku segera berlari kembali ke kamar. Kuambil selimut tipisku. Ku kembali masuk ke dalam masjid. Namun… aku tak lagi melihat sosok itu. Kukucek mataku berkali-kali, aku yakinkan diri bahwa yang kulihat tadi nyata, bukan mimpi. Tapi tak ada siapapun di sana. Hatiku mencelus, kecewa, dan sedih.
"Rio…?" suara itu memanggil, ragu. Aku menoleh. Sosok yang kulihat tadi telah ada di hadapanku sekarang.
"Ayah…," Aku terdiam. Ayah melempar senyum terhangatnya yang kurindu. Kubalas dengan senyuman. Kuhela nafas dalam-dalam. Kuhembuskan perlahan. Kutahan air itu agar tidak tumpah. Kuraih tangannya. Kucium segera punggung tangannya takzim. Punggung tangan yang telah lama tak kuberikan haknya untuk mendapatkan penghormatanku sebagai anak. Ayah langsung memelukku erat. Mengizinkanku menangis sehingga tumpukkan rindu itu seketika meluruh.
Memori enam bulan lalu kembali hadir. Seribu pertanyaan memberondongku tanpa henti. Seribu kritikan akan pilihanku tak kalah menghujani. Kuambil ranselku, kumasukkan laptopku, dalam diam aku memutuskan untuk pergi dan entah kapan kembali. Aku tak pernah lupa, wajah teduh itu mengangguk pelan dan memberikan izin. _ "Rio. Hei! Bangun! Henpon kau bunyi!" suara Hari membangunkan tidur siangku. Raissa, adekku, menelepon. Kuangkat, tak sampai satu menit, gawaiku terjatuh. Kali ini, jantungku berdebar lebih cepat.
2 notes · View notes