Tumgik
fragmenkata · 8 months
Text
Aku kembali dengan energi yang sedikit menurun karena kelelahan. Tapi, AKU TETAP KEMBALI
1 note · View note
fragmenkata · 7 years
Text
Pertemuan
Kita bertemu untuk saling mendiamkan. 
2 notes · View notes
fragmenkata · 7 years
Text
Jika Tuhan adalah Aku
Entahlah... maaf.
#Q
0 notes
fragmenkata · 7 years
Text
CREDO
“Kita gak bisa ada di zona nyaman kayak gitu terus, Rin. Siapa yang bakal nina boboin lu sampe tua nanti?” kegelisahan Tria pada teman lamanya satu itu masih saja tak putus-putus. Bukan perihal ada yang mengusap dahi hingga terlelap, lebih dalam dan jauh dari itu. Melihat bagaimana nasib seorang perempuan yang tak menikah baginya sangat suram. Pernikahan sangat penting dan sakral. Menjalani hidup yang berkualitas dan juga diterima masyarakat luas akan lebih berpeluang untuk bahagia. Walau Tria tahu hidup bahagia tak sesederhana itu, perjuangan setelah menikah pun tak kalah beringas. Bersosialisasi dengan tetangga, keluarga baru, lingkungan baru dan tentu saja sang suami dengan segala tingkah laku yang mungkin sebelum menikah tak nampak.
“Tria, gue bukannya gak mau nikah, tapi sekarang belum ada satu laki-laki pun yang bisa bikin gue percaya, apalagi jatuh cinta,” Rini menghela nafas panjang disela mengetuk enter di gadgetnya. Bagi Rini pernikahan bukan urusan hati semata, tapi lebih kepada kepercayaan dan tanggung jawab. Ia masih tak siap menghadapi itu semua, terlebih jika suatu saat lelaki yang Ia sudah percaya malah berkhianat. Ketakutan-ketakutan yang Ia pikirkan adalah akumulasi dari rasa kecewa yang berlebih di masa lalu. Tapi Rini dituntut untuk realistis kali ini.
“ Hei guys, ada yang mau nitip gorengan gak? Gue mau ke depan nih,” tawar Rio dengan wajah sumringah yang khas. “Beli nih 10 ribu buat kita semua,” lagi lagi Akhyat datang bak pahlawan bagi teman-teman yang cekak di akhir bulan.
Setelah mata kuliah selesai siang itu, aku dan beberapa teman nongkrong di bawah pohon besar  samping kelas. Salah satu tempat asik buat ngomongin dosen yang baru menghabiskan waktu luangnya bersama 20 pasang mata yang Cuma bisa duduk kaku tanpa kata, dengan mengkritik tugas kita yang katanya seperti tugas anak SD.
“Ah…sudahlah, cape gue dengerin lu ngomel gitu. Pak Samsul juga gak bakal berubah jadi baik kayak Ibu Peri  kalo kita ngomelnya di sini”
“Paling gak hati gue puas, Rin. Sumpah kesel banget gue ama tu dosen, gak ada sedikit pun ngehargai usaha kita,” gerutu Mila yang makin manyun.
“Jadi kita ngomelnya langsung ke hadapan beliau? Ada-ada aja, Rin. Beliau Cuma pengen kita lebih serius ngerjain tugas kok,” Hmm... Tria kadang bisa jadi penyelamat kupingku yang kepanasan kalau dengerin curhatan Mila, makin lama mirip suara bebek soang.
Dari sekian banyak teman, mereka lah yang benar-benar klop denganku. Saling melengkapi kekurangan masing-masing. Akhyat si pahlawan yang selalu datang kesiangan, Mila si ratu protagonist yang tiba-tiba bisa berubah antagonis dalam sekejap, Rio si artis dadakan yang lolos audisi presenter di stasiun TV lokal, dan Tria si peneduh jiwa bagi kita yang sering hilang arah. Ah…rasanya aku bisa selalu tersenyum berada di sekitar mereka. Kadang bisa nangis bareng, gila bareng, rumpi bareng, bahkan tidur bareng, kecuali Rio dan Akhyat. Mungkin mereka berdua pernah tidur bareng, barangkali nginep karna kehujanan.
Pernah satu hari setelah UTS (ujian tengah semester ), kami berlima punya rencana travelling ke sebuah pantai yang  ada di pinggir kota. Malam sebelum keberangkatan, aku dan Akhyat citcat masalah persiapan refreshing besok. Entah ada angin apa tiba-tiba Akhyat mengucapkan kata-kata yang sebenarnya selama ini kutunggu  “Rin, gue suka elu. Tapi please, jangan dipikirin ya omongan gue ini”. Mendadak jantungku sakit, iya sakit untuk yang kedua kalinya karna Akhyat. Bagaimana bisa hal itu baru Ia ucapkan setelah ada Dino. Ironisnya, dia sendiri yang berperan sebagai Pak Comblang di antara kami berdua. Setetes airmata, tanpa sadar meluncur begitu saja.  Apa kau mengalah demi sesuatu yang disebut persahabatan?
Masih segar diingatan, saat aku menunggu jemputan bapak di halte bus kampus, Akhyat lah yang selalu lebih dulu menawarkan tumpangan pulang. Kejadian lebih awal lagi, saat hendak melengkapi administrasi sebagai maru, Ia dan mantan pacarku bercanda tentang aku yang akan direbut olehnya, karna kita akan berada di satu jurusan. Padahal waktu itu belum ada perkenalan sama sekali, hanya lewat senyum sapa kutanggapi candaan random mereka. Dan benar saja, candaan random itu berujung kedekatan yang tak kusadari, hingga aku mulai suka. Setelah perpisahanku dan menyandang status jomblo, aku makin suka memperhatikan Akhyat di kelas. Tersenyum tanpa ada hal lucu, sepertinya aku mulai benar-benar suka. Tapi semua tak seperti yang kuharapkan. Apa artinya semua perhatian antara kita selama ini? Kalau pada akhirnya Ia menyatakan cinta pada perempuan lain, yang tidak lain adalah teman sekelas ku juga. Begitulah rasa, tak dapat diprediksi bagaimana Ia akan berlabuh.
“iya gue tahu lu gak bisa semudah itu percaya dan cinta sama laki-laki, tapi urusan cinta bakal datang belakangan. Ingat gimana lu dulu bisa gonta-ganti pacar kayak ganti baju? dan parahnya lu Cuma pernah cinta sama Mika dan Akhyat. kalo nikah jangan kayak gitu. Pernah denger istilah cinta ada karna terbiasa?” Keprihatinan itu makin nyata di hadapan Tria. Sekeras apapun ia mencoba menyadarkan, hingga kini Rin masih saja dilemma. Mengingat Rin adalah anak pertama, ia haruslah menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya, Randi dan Reza.
“Maklumi daku yang masih polos saat itu, Kak Tria haha. Kalo gue udah nikah pasti gue bakal jadi istri yang baik kayak elu. Oh ya…salam buat calon ponakan tersayang, sampai bertemu di dunia yang gila ini hihi”. Pembicaraan perihal nikah-menikah pun berakhir begitu saja, berganti topik ke kelahiran anak pertama Tria yang menurut dokter adalah perempuan dan tinggal menghitung hari. Dalam hati, Rin merasa iri dengan kehidupan sahabatnya itu, memiliki suami yang penyayang, dewasa secara emosional, sopan dan bertanggung jawab atas kehidupan keluarga kecil mereka. Tapi, siapa yang dapat mengubah ketertarikan menjadi sebuah keharusan? Rin masih terus berusaha.
0 notes
fragmenkata · 7 years
Text
Sepertiga? Jyaaah !
Kring…Kring !!!
Handphone ku berdering, setelah tiga hari tanpa nada. Masih saja kau yang setia melayangkan bisingnya kerinduan. Kita memang sudah tak bertegur sapa, tapi kini kembali lagi, sering sekali. Malam ini pun, tapi terdiam bersama dengan pikiran masing-masing yang mengawang jauh entah kemana. Keheningan yang kupecah hanya berupa pertanyaan biasa, belum ada singgungan tentang rasa, “ Apa kabar?”, “sudah makan?”, “bagaimana hari libur kemarin?”, dan blabla lainnya yang terputus lalu bersambung-sambung dengan terbata.
Sebuah realita yang sulit kuterima adalah kita memiliki banyak kesamaan tapi tidak sedikit pula dengan perbedaan *bikin pusing. Kenapa ada begitu banyak labirin sesat, membuat pertemuan terasa mustahil. Keberadaanmu hanyalah sebatas bayang yang menjelma di pelupuk mata, bahkan maya. Di malam sebelum kita saling beradu kata dan akhirnya terlelap dengan kepedihan, “ Kenapa ya kita sering kayak gini, padahal karakter kita gak jauh beda tuh. Sulit banget rasanya. Di awal kupikir akan lebih mudah, ternyata aku salah”. “ iya…kupikir juga gitu, ternyata aku pun salah”, balasmu datar.
Dengan segala rasa yang digiring jauh dari kedamaian, saat ucapan perpisahan menjelang tidur mulai kau ucapkan, saat jangkrik ikut mengamiini doa kita sebelum terlelap, saat anak tetanggaku menangis makin tak karuan, saat nyamuk dengan asiknya menikmati donor darah yang masih segar ini lagi dan lagi *euh, “ Aku sayang kamu”, “ Aku juga gitu, sayang kamu”.
Kini senyum kita mulai kembali merekah. Hmm… iya merekah, di sepertiga malam. Sepertiga? Jyaaah !
2 notes · View notes
fragmenkata · 7 years
Text
Ana Masih Takut Rupanya?
Kadang Ana lebih memilih untuk tidak tahu apa-apa, ketimbang tahu satu hal kecil tapi membuat gusar berhari-hari. Masalah perasaan bukan main dampaknya. Ana masih tak sanggup kalau berhadapan satu lawan satu. Bisa oleng sekali libas, tak muncul ke permukaan, tenggelam di laut dalam. Aih… seram nian.
0 notes
fragmenkata · 7 years
Quote
Jatuh cinta, lalu jatuh hingga terluka.
Q
1 note · View note
fragmenkata · 7 years
Quote
I have a very childlike rage, and a very childlike loneliness.
Richey Edwards (via quotemadness)
3K notes · View notes
fragmenkata · 7 years
Quote
Time Heals Every Wound
Unknown
0 notes
fragmenkata · 7 years
Quote
Bukankah adakalanya menyerahkan diri pada godaan dan memelihara rahasia, menjadi bagian dari indahnya menjalani hidup ini?
PadangBulan
0 notes
fragmenkata · 7 years
Text
Klavierstücke
Fur Elise, di kedalaman jiwaku
Fur Elise, sampai pucuk kemarau senja
Fur Elise, makian rindu bergelora
Fur Elise, mata mata berpancaran
Fur Elise, minor piano sebuah konser
Fur Elise, kesedihan senyum pertama
Fur Elise, kecupan perpisahan
Ia masih menjadi yang pertama, sebagai calon pewaris tahta. Pangeran tertampan yang pernah menatap indahnya dunia. Hari ketujuh setelah usianya 17 tahun, ia pergi menuju Allegro. Sebuah desa bagi mereka yang tertantang, seberapa luar biasanya dirimu hingga dapat menggenggam pucuk pohon Viol. “ Hamba mohon ampun Pangeran, bagaimana jika Raja mengetahui hal ini?”
Fur Elise, Aku kembali
Fur Elise, janji tak pernah terucap
Fur Elise, hujan mengoyak langkah
Fur Elise, pelengkap instrumen kehidupan
Fur Elise, mengingat lebih mudah
Fur Elise, mustahil melupakan riakmu
Fur Elise, penyihir tanpa sihir
Kini ia kembali tanpa kekecewaan. Dengan erat pelukan itu menjadi sebuah kunci atas segala kemenangan. Ribuan langkah terpatri sebagai sebuah bukti. Dan kini, tidak ada yang lebih pantas dari dirinya. Bukan keenam lainnya, hanya dia. “ Aku tahu kau akan kembali. Dan membawaku ke rumahmu. Sebuah gubuk dengan ribuan pintu. Ya…kau sebut ini gubuk?”
Fur Elise, rakyatku adalah rakyatmu
1 note · View note
fragmenkata · 7 years
Text
Senyuman
Disinilah aku berada Menjadi sang penjaga lautan Luas tak terbatas Menari bersama angin Lepas… Bebas… Dimana aku hanya bisa merasakan kebahagiaan Dimana masa mudaku berasal
Di dalam dunia impian.
#Vie
1 note · View note
fragmenkata · 7 years
Conversation
Kasus 1
INFJ: Kenapa kalau bunga gak disiram bakal mati ya? *nenteng pot mawar tinggal batang
INTP: Puhlease, logikanya sama kayak orang butuh makan dan minum. Lagian bunganya siapa elu tenteng kesana kemari? *bored eyes*
INFJ: Es aja bisa mencair, batu bisa terkikis.... *senyum tipis
0 notes
fragmenkata · 7 years
Text
Ini Pun Akan Berlalu
Kali ini, ada rasa yang begitu kuat menghantarkan luka di dadaku kian menggebu. Sakit, sesak sekali. Kau tahu itu apa? rindu. Sebuah rasa yang dijamah oleh rasa lainnya. Apakah mereka akan menyetubuhiku kali ini?
1 note · View note
fragmenkata · 7 years
Quote
Mengingat sesuatu dengan membuat pola adalah salah satu cara mengingat paling efektif
Q
1 note · View note
fragmenkata · 8 years
Text
Tanpa judul
“Aku sudah tidak tahan lagi, Am.”
“Hah...maksudmu? Kau dimana, Ka? Kenapa ada suara berisik kereta?”
“Aku akan menemuinya.”
“Siapa? Kau menangis?”
“TUHAN”
Suara berdebum amat keras terdengar dari ujung telfon milik Ambar. Ia tidak mengerti dengan apa yang barusan ia dengar. Butuh waktu 5 detik untuknya mencerna hal itu,sebelum ia berlari tunggang-langgang menuju tempat parkir. Kini ia benar-benar bisa merasakan kehilangan, sebelum pernah bertemu dan menghabiskan secangkir kopi sambil bermain catur di teras rumah Saka.
(Terinspirasi dari percakapan saya dengan seorang teman yang waktu itu selalu curhat perihal kekasihnya yang mendua. Masih akan dikembangkan)
0 notes
fragmenkata · 8 years
Text
TOLONG...JANGAN GEMPUR
Kadang aku ingin keluar dari semua hal konyol ini. karena bergelut dengan rasa yang membuat tubuh kebas, baik itu hal yang menyenangkan maupun hal yang menyebalkan. Aku tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya aku inginkan darimu. Tunggu, apakah ini benar sebuah keinginan? atau malah kebutuhan?
Apa itu kebutuhan? Apa itu keinginan? tidak ada batasan yang jelas untuk keduanya bagiku. Hanya bagiku. Kini.
APAKAH AKU BISA BERTAHAN? TOLONG, JANGAN GEMPUR AKU.
0 notes