Padahal sudah berulangkali bilang pada diri sendiri, "jangan terlalu berharap", "jangan berekspektasi tinggi". Karena ya, memang seringnya, dua hal itu sangat berdekatan dengan akhir yang mengecewakan. Apalagi jika yang menjadi tumpuan harapan itu adalah juga manusia biasa seperti kita.
ya memang ya, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. :))
Ekspektasi, nampaknya sudah menjadi makanan sehari-hari manusia. Jika sebagian besar kita makan tiga kali dalam sehari, lebih lagi untuk yang satu ini. Seluruh ruang waktu dalam hidup kita, nampaknya dipenuhi dengan ekspektasi.
Selama hidup, sudah seberapa sering kita tersakiti karenanya? Kecewa, resah, gundah, gulana. Namun, bukankah hidup tidak melulu berputar sesuai orbit kemauan kita? Kalau dipikir-pikir juga, akan terasa membosankan kan jika realita selalu berbanding lurus dengan ekspektasi? Hehe. Kita yang butuh sering-sering latihan untuk merelakan.
Jika yang sering mengecewakan kita adalah manusia, pernah tidak kita berpikir untuk belajar “tidak kecewa” terhadap respon mereka? Respon yang menurut kita tidak sesuai dengan ekspektasi yang sudah dikirim itu. Bagaimanapun, mereka kan manusia juga. Pernah dengar juga bahwa,
Berharap kepada makhluk adalah kecewa yang kita rencanakan sendiri.
Jadi sebenarnya, respon mereka yang terlalu pahit, atau ekspektasi kita yang terlalu manis sih? Hehe.
So how? Untuk bahagia, apakah kita tak perlu menyediakan ruang ekspektasi dalam hidup? Saya pernah membaca, begini bunyinya: “Bahagia itu perihal ekspektasi. Makin rendah ekspektasimu, makin mudah bahagiamu.” Saya setuju sih, dan itu terbukti dalam kehidupan pribadi. Tapi sebenarnya, ekspektasi tidak boleh selalu disalahkan, kasihan wkwk. Karena...
Bukan tinggi ekspektasi yang membuat kita kecewa, tapi salah tempat menaruh ekspektasi. Maka berharaplah ke Yang Satu saja..
Normal saja bila terkadang realita tak semanis ekspektasi. Namun jika kita tak salah tempat menggantungkan ekspektasi, ketenangan akan tetap dirasa. Rasa syukur dan rajutan sabar yang akan membuat realita semanis ekspektasi kita.
Kita percaya: Yang didapat mungkin tak sesuai yang kita mau. Tapi inshaa Allah, itu sesuai yang Allah mau.
aku selalu terikat dengan jalan yang kalian buat. aku tidak pernah diajarkan untuk mengambil resiko dalam menentukan sebuah pilihan. kalian bahkan membuatku yakin bahwa semua keputusanku akan terus berujung penyesalan. tanpa sadar, kalian telah merampas keberanian gadis cilik yang sedari dulu mendambakan kebebasan. gadis yang kini tumbuh tanpa berhenti memimpikan laut, langit, dan hamparan rumput hijau yang lapang dalam kegelapan di sudut kamarnya sendiri.
Lagi pusing banget sama keadaan. Ngerasa semuanya ga baik-baik aja. Tapi kalau ditanya kenapa, jawabannya pasti nggak tahu. Ya, karena memang nggak tahu. Diam sedikit tiba-tiba ingatnya itu. Jalan sedikit tiba-tiba lihatnya itu. Sesuatu yang nggak pernah disadari penyebabnya.
Kenapa ya aku begini? Kok seolah-olah semua hal jadi seperti beban. Padahal tidak ada yang meminta dituntaskan. Huft... Capek juga ya begini.
Tiap hari terasa berat karena dikejar-kejar oleh ekspektasi sendiri. Kayak semua jalan yang ditempuh nggak pernah ketemu titik akhirnya. Mau jauh, mau dekat, semua terasa melelahkan.
Kuncinya memang hanya satu. Menurunkan ekspektasi dari semua kemungkinan terburuk di masa depan.
Rencana, bagiku rencana yang kurancang hanya mempersulit rencana yang penciptaku rencanakan. Lelah memang ketika yang direncanakan bahkan tak sempat dilaksanakan. kucoba untuk mengobati hati yang yang lelah ini , dengan mencari asupan hiburan sebagai penenang dan penyenang, kucoba untuk membuka hiburan pada lempengan tegnologi yang sekarang disebut dengan gadget, aku menemukan suatu yang menghubungkan antar sisi dunia mungkin sekarang disebut media sosial, namun sepertinya semesta sudah bekerja sama dengan takdir, sebaliknya yang aku temukan bukanlah hiburan, namun begitu banyak kata yang kurasa related no debat dengan hidupku, melihatnya membuatku berfikir lebih dalam tentang masalaku, lebih tepatnya tentang “ada apa dengan rencanaku? ” dan “apa seburuk itu rencanaku? ” sehingga rencanaku sama sekali tak pernah di ACC sebagai takdir, seakan saranku tak pernah di dengar oleh alam.
Namun aku ingat, tak sebanyak itu waktuku untuk memikirkannya, kucoba lanjutkan hidup tanpa rencana, hampa rasanya , namun tampaknya lebih Indah, aku seakan sangat menikmati rencana sang pencipta, membuatku tak bisa menebak akan seindah ini, bahkan sebahagia ini. membuatku berfikir, ternyata bukan takdir ataupun rencanaku yang menyakitiku, melainkan ekspektasi pada rencana yang kubuat sendiri.
Hal ini menunjukkan padaku bahwa Bukan berarti kita tidak boleh merencanakan sesuatu, karena tanpa rencana membuat kita buta akan jalan selanjutnya, lebih tepatnya kutemukan pada kalimat
“apabila sesuatu yang kau senangi tidakk terjadi maka senangilah apa yang terjadi” ~Ali bin Abi Thalib~
Di antara hening yang menjeda, kumelirik lamat
padanya. Baru kali ini kumelihat ia, kawanku, yang
biasa setegar bebatuan karang, kini segetas kristal
muda di ujung jurang. Kurang lebih, kubisa paham
yang ia rasakan karena pernah mengalaminya.
Ingin sekali kudekap sembari mengatakan kalau
semua akan segera berlalu dan ia akan baik-baik
saja, namun kuurungkan. Bagaimana jika
itu malah akan menghancurkannya jadi serbuk?
Namun ternyata, ia malah terkekeh pelan, lantas
menyeka sudut-sudut matanya, menepuk-nepuk
pakaiannya, lalu lekas berdiri dan kembali bersuara
lantang di atas senyum getirnya. Aku terpana.
"Yah, siapa sangka lanjutan pertengahan tahun
kembar akan jadi seperti ini?” matanya menelusur
cahaya yang masuk dari cela jendela, “siapa juga
yang dapat menjamin manusia yang kau nilai baik
tak akan bisa menyakiti? Tapi yang jelas, Si Yang
Terlalu Naif ini tak akan pernah ada lagi."
Kota kelahiran, 07/07/22
Ekspektasi yang kita buat memang terlihat indah, tapi dengan menerima segala realita yang ada barulah kita dapat menyadari, bahwa ketetapan-Nya untuk kita jauh lebih indah.
Ini terlalu sakit ketika, seseorang yang paling kamu butuhkan dalam keadaan sulit, namun dia tidak ingin mendengarkanmu.
Ini terlalu menyedihkan ketika, seseorang yang kamu harapkan bisa menggenggam harapan dan rasa percaya dirimu memilih untuk diam dan membiarkanmu sendiri.
Sungguh payah rasanya; seseorang yang kamu pikir adalah orang yang paling membuatmu kuat tapi dia tidak tahu bahwa kamu hampir mati.
"Aku pernah menginginkan, sampai aku lupa, bahwa yang menjadi keinginanku belum tentu ditulis atas namaku"
Ekspektasi adalah bagian dari bawah sadar kita, yang mengharapkan sesuatu berjalan sesuai keinginan. Namun, ada beberapa pola perjalanan yang berjalan tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Seperti sebuah ketetapan, bahwa kau dan dia, memiliki jalan yang berbeda.
Ini bukan soal pencapaian hidup, tapi lebih kepada apa yang sering manusia pikirkan.
Terkadang, tanpa sadar kita mendahului kehendak-Nya.
Baru memulai, sudah menduga akhirnya.
Baru berjalan, sudah menduga rintangannya.
Baru terluka, sudah menduga keputusan-Nya.
Kita lupa, bahwa manusia tidak bisa mendahului apa yang Tuhan rencanakan. Meski terkadang, rencana itu dibuat oleh dirinya untuk kebaikannya. Namun, Tuhan lebih berhak dan tahu, bagaimana keputusannya itu berjalan, berakhir, dan bahkan berganti tujuan.
Sayangnya, kita kadang gagal mengatur ekspektasi. Bahwa, setiap apa yang terjadi, tetap ada campur tangan dari Sang Maha Pemberi.
Tidak pernah terpilih untuk menjadi yang terbaik. Tidak pernah terpilih untuk menjadi sosok yang ditunggu kehadirannya. Tidak pernah terpilih untuk menjadi seseorang yang bisa diandalkan.
Kita merasa tidak pernah terpilih, terfavoritkan dan dicari keberadaannya.
Tapi bagaimanapun keadaannya; let's deal with it. Barangkali dengan kesadaran kesadaran itu membawa kita pada perbaikan. Perbaikan yang akan membawa kita untuk tidak mengorientasikan apa yang baik untuk kita, berdasarkaan penilaian orang lain.