Sabar dan Syukur
Bismillahirrahmanirrahim (dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang).
Pagi yang indah.. menjelang siang, cahaya matahari mulai terik menelusup hampir tepat di atas kepala, aku bersama 3 orang teman berangkat menuju suatu tempat, agenda awal Agustus yang baru dapat terlaksana di pertengahan September tahun ini, sekaligus menjadi agenda penutup liburan semester ini.
Nama daerahnya Selo, Boyolali, letaknya di tengah-tengah antara dua gunung yang gagah di sebelah utara kota Jogja, apalagi kalau bukan Merapi dan Merbabu. Ya.. benar saja hari itu kami akan mendaki, setelah beberapa waktu yang lalu di iming-imingi seorang teman, yang katanya gunung ini punya jalur pendakian yang indah, ah jadi penasaran, seindah apa.
Singkat cerita awalnya banyak yang tertarik ikut ekspedisi ini, tapi pada akhirnya hanya menyisakan 4 orang saja, tapi tak mengapa, mereka punya kesibukan dan tanggung jawab masing-masing, dan mungkin belum rezeki mereka bisa ikut mendaki kali ini.
Tepat pukul 13.00, setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam, sampai juga di basecamp pendakian Gunung Merbabu, meskipun ini bukan pertama kali kami mendaki, tapi prosedur dan syarat-syarat pendakian gunung ini sedikit berbeda, walaupun sedikit ribet, tapi tak apa demi keselamatan bersama. Cukup lama kami istirahat dan memenuhi syarat-syarat pendakian siang itu. Setelah waktu Ashar, akhirnya kami mulai perjalanan menuju puncak yang sudah diperkirakan dari awal paling tidak 7 jam perjalanan.
Tidak jauh beda dengan gunung-gunung lain, awal perjalanan ditemani banyaknya pepohonan nan hijau, kicauan burung-burung di dalam hutan, cahaya mentari yang menyelinap masuk diantara daun-daun yang rindang dan pastinya.. jalan menanjak. Ditengah perjalanan kerap kali kami berpapasan dengan pendaki lain yang sudah sedari kemarin mendaki, terlihat raut wajah lelah dan lesu mereka ketika turun, tapi senyum sumringah mereka tidak ada yang bisa menutupi. Ternyata benar, sedekah itu nggak harus di masjid/kotak amal, sekalipun digunung, ternyata sedekah itu bisa dilakukan, walaupun paling murah, asal ikhlas, InsyaAllah jadi pahala yang melimpah. Melihat senyum para pendaki lain yang turun, jadi tambah penasaran, sebenarnya ada apa diatas sana.
Entah mungkin sudah tak terhitung kami beradu salam dan berbalas senyum dengan pendaki lain, memang sangat ramai kala itu, entahlah apa yang mereka cari diatas sana, tiap insan pasti punya penilaian subjektif masing-masing, kalau aku sih, cuma pengen aja, nggak tau kenapa menurutku alam itu seakan memancarkan candu dan kerinduan, rasanya enak aja duduk santuy dibawah pohon entah di gunung atau dipantai, kemudian nyruput teh atau kopi, sambil mikirin perekonomian negara kali ya…hehe, serasa banyaknya masalah, berjuta problem, dan selaksa kesulitan yang menghadang tiba-tiba menghilang, kalau nggak percaya coba aja.
Oke balik lagi ke gunung, ternyata apa yang dikatakan mas-mas saat di basecamp tadi benar, dia bilang “nggak usah naik mas, capek”. Dan terbukti, belum ada setengah perjalanan, kaki ini mulai lelah, badan pun mulai kaku, ditambah angin dingin berhembus menelusup di sela-sela kain baju, tapi teringat kisah Rasulullah dahulu, bersama para sahabat yang menempuh puluhan kilometer untuk berhijrah, hati ini serasa ingin bangkit dan terus melanjutkan pendakian, tapi apalah daya badan ini sudah tak kuat lagi, dan kami juga tak ingin mendzalimi badan sendiri, jadi kami putuskan untuk istirahat sejenak. Nggak kebayang dulu selelah apa para sahabat menempuh perjalanan panjang di jazirah arab demi menyebarluaskan risalah Islam, selelah apa Siti Hajar bolak-balik dari safa ke marwah demi mencari air untuk anaknya Ismail, ah dibandingkan itu semua mungkin kita hanya sebatas remah rengginang di kaleng khong guan yang hanya ada ketika saat lebaran.
Hari mulai petang, cahaya mentari mulai beringsut menghilang, senja pun tak dapat terpandang, karena terhalang bukit nan tinggi menjulang dan pohon yang rindang, angin dingin semakin menyeruak masuk sampai ke tulang-tulang, jari jemari semakin kaku, namun cahaya bulan akhirnya datang menyelinap diantara awan-awan petang. Maghrib.. kami cari tempat yang lapang dan mulai menunaikan kewajiban kami sebagai seorang Muslim, karena keterbatasan air kala itu, tayamum pun jadi solusianya, sungguh sebenarnya agama ini adalah agama yang mudah, tapi bukan berarti kita boleh mengampangkanya, selepas shalat, kami beranjak untuk menuju tempat yang akan kami gunakan untuk bermalam.
Tepat pukul 21.00 lebih sedikit, setelah perjalanan yang cukup melelahkan, menelusup diantara gelapnya malam, kaki yang mulai terbujur kaku setelah menanjak diantara bebatuan, akhirnya sampai juga di suatu tempat, yang dinamakan sabana 1, kami tidak sendiri, ternyata disana sudah berdiri sedari tadi, puluhan tenda berjejer rapi, suasana yang tadinya sunyi, tiba-tiba menjadi ramai sayup-sayup para pendaki dimalam hari. Tenda kami dirikan di salah satu sisi, selepasnya, kami memanaskan air dan kami buat kopi sachet yang sudah kami bawa dari rumah.
Alhamdulillah, malam itu cuaca sungguh bersahabat, langit berlukis awan malam dan bertabur bintang sangat terlihat malam itu, sambil menyeruput kopi mata ini tertuju pada cahaya bintang-bintang yang berada di bawah gunung, ternyata bukan cahaya bintang, melainkan cahaya kota Boyolali yang terlihat jelas dari atas sini, ternyata dari atas, kota itu terlihat kecil, sangat kecil, rumah, hotel, gedung, apartemen, dari atas terlihat sama, ah ternyata benar, kita itu bukan apa-apa, dari tempat ini terlihat jelas kita itu hanya setitik kecil, lantas apa yang mau kita sombongkan? Kita bukan apa-apa di dunia ini, dibandingkan dengan Allah, Tuhan yang maha besar, yang menciptakan langit dan bumi. Satu per satu pertanyaan di awal tadi mulai terjawab, ada apa sebenarnya diatas sana, ketemu satu, ternyata diatas sini ada rasa syukur, yang mungkin kalau dibawah sana kita sukar untuk melihatnya.
Sedikit tentang syukur, tiap manusia punya cara bersyukur masing-masing, ada yang bersyukur bisa beli mobil untuk keluarganya, ada yang bersyukur bisa punya rumah sendiri, ada yang bersyukur bisa hidup tanpa berpikir besok mau makan apa, dan adapula yang bersyukur hari ini alhamdulillah bisa makan. Tidak semua orang punya gaji, tapi semua orang punya rezeki, dan itu semua sudah dijamin, banyak sedikitnya tergantung cara kita mengusahakannya, berkah tidaknya tergantung cara kita menjemputnya, dan pahit manisnya tergantung cara kita mensyukurinya. Bagaimana mau diberi banyak kalau yang sedikit saja tidak kita syukuri?. Kalau kata seseorang, kunci kedamaian hati ada di tempat pangkas rambut, karena disana kita ga pernah lupa buat bercukur, he..he..he.
Nggak kerasa, cangkir ini mulai kehabisan kopinya, mata ini mulai mengantuk dan jari tangan mulai membeku, serasa badan ini berkata, “sudah malam waktunya tidur perjalanan masih panjang esok hari”. Benar saja, kalau menurut peta, dari tempat kami bermalam menuju puncak, perkiraan waktu tempuhnya kurang lebih 2,5 jam perjalanan lagi, ah..tak apa kita syukuri dulu perjalanan hari ini. Tiba waktunya tidur, sambil membayangkan kejutan apa yang akan kita dapat esok hari, masih dengan rasa penasaran yang sama, seperti apa gunung yang kata orang adalah salah satu gunung yang punya jalur pendakian terindah di pulau ini. Malam yang syahdu dengan langit yang cerah, sayup-sayup terdengar suara serangga yang sedang berdzikir kepada sang pemilik jagat raya, mata penuh dosa ini akhirnya mulai terpejam, “Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut” “Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup, dan dengan nama-Mu aku mati”.
Bersambung…
18 notes
·
View notes
[Merbabu Merona] Drama Merbabu dimulai. September ke sana ke mari mencari rekan se-tujuan. Sempat dibuat patah sebab Oktober jalur pendakian ditutup, lalu diundur ke November hingga ketar-ketir kebakaran di hutan jalur Swanting. Setelah pemantauan cukup gesit, alhamdulillah jalur pendakian kembali dibuka November, sesuai jadwal. Drama sesi awal diakhiri dengan h-5 keberangkatan, sedih dah kalo diceritain. Sampai akhirnya bertemu #baksolontongadventure . Jodoh emang nggak ke mana. Aku yang ke mana-mana 😂Belum habis di situ. Dari 30 orang di rombongan. Yang saya kenal cuma 1 orang. Yaudah lah ya, di sana nanti kenalan juga. Dari basecamp sekitar jam 1, dapet sunset di Pos 3. Sekitar jam 7 sampai dan nge-camp di Sabana 1. Singkat cerita antara kedinginan atau saking semangatnya summit, ku bangun jam 1an. Setelah berhasil menebarkan semangat ke 3 rekan se-tenda, kami berangkat summit sekitar jam 3an. Dari 6 orang, 1 orang ke pisah di depan, lalu mencoba jalan setapak demi setapak dalam kegelapan dan senter yang agak redup. Di tanjakan menuju sabana 2 kami terpisah. 4 rekan saya masih di bawah. Cukup lama menunggu, sambil berteriak guna memastikan keadaan mereka. Lalu saya putuskan lanjut, setelah sabana 2 terlihat agak sepi dan aku mulai membeku. Mengikuti jalan hingga memasuki semak yang agak tinggi dan menuju jalur rerumputan yang cukup terjal. Di sini kudapatkan horizon keemasan yang berhasil kuabadikan dengan mataku. Sampai puncak #kentengsongo baru sadar kalau dari tadi sendirian. Dan sampe puncak sendirian itu nggak enak, Lur 😂 Usai setengah jam planga-plongo, akhirnya 4 rekan berhasil sampai puncak setengah jam kemudian. Yauda dah langsung cerita pas turun aja haha. Pas packing mau pulang, kami kehilangan 2 botol 1,5 liter air yang rencananya buat bekal turun. Nggak tahu ke mana dah itu. Padahal 1 botol dimasukin tas. Tersisa 1 botol di dalam tas yang ditutup raincoat. Rasanya masih sesak hingga sekarang. . Kembali, banyak hal yang ku dapat di Merbabu. Jika di Gede ku dapati ujian kesabaran, maka di Merbabu ku dapati ujian keegoisan. . 'Bukan meninggalkan, namun aku tunggu di atas ya' 😉 . #merbabu #merbabuviaselo #summit #pendakiindonesia (di Merbabu 3,145 Mdpl) https://www.instagram.com/p/BqaAI3xg0VA/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=1djjcukes8r7g
2 notes
·
View notes