Tumgik
#terus beranjak
terusberanjak · 5 months
Text
"Mari habiskan cinta kita kepada Allah sampai tak ada ruang untuk terluka karena manusia."
@terusberanjak
730 notes · View notes
kurniawangunadi · 5 months
Text
Cerpen : Aku dan Setakut Itu
Dulu aku pernah di fase setakut itu tentang pernikahan. Membayangkan memiliki hubungan jangka panjang dengan orang asing, bahkan membayangkan dia bisa melihat tubuhku tanpa sehelai benang saja membuatku bergidik. Karena selama ini, semalu itu rasanya kalau tersingkap barang sedikit.
Tapi hal yang paling menakutkanku sebenarnya adalah diriku sendiri yang tidak seyakin itu untuk membangun kepercayaan. Selain karena, rasanya begitu buntu harus mencari sosok pendamping di lingkunganku sekarang. Di kantor? Tidak ada yang menarik, sekalinya menarik ternyata sudah jadi pasangan orang lain. Selorohan salah satu temanku dulu jadi teringat, "Orang itu akan terlihat menarik dan terbukti kebaikan dan ketulusannya ketika sudah menikah sama orang lain."
Memang, apa yang dikhawatirkan sekarang kan soal finansial, kesetiaan, dan hal-hal serupa itu. Dan yang sudah menikah kemudian berhasil membuktikan itu, tampak menjadi pasangan yang beruntung. Mungkin itu kali ya jadi banyak pelakor. Soalnya mau yang udah "terbukti", bukan yang gambling kayak sekarang nyari yang begitu - sudah ketemu - masih bertanya-tanya benar atau tidak.
Hihhhh aku sih gak mau yaaa merebut pasangan orang lain! Aku memahami bahwa usiaku terus beranjak. Tahun ini masih 27 memang, tapi rasanya aku belum bisa berdamai dengan gemuruh kecurigaanku untuk membangun kepercayaan dengan seseorang seumur hidup. Atau mungkin sebenarnya karena aku belum bertemu saja, mungkin tergantung siapa orangnya. Bisa jadi.
Rasanya proses mengenal diri membuatku merasa harus mendapatkan pasangan yang layak. Dan aku tak mau menurunkan standar kelayakan itu. Kemarin aku cerita ke temanku, apakah aku terlalu tinggi memasang standar kelayakan? Menurutnya, itu wajar, kan mau menikah, wajar kalau aku menginginkan pasangan yang bisa memenuhi sebagian besar kelayakan yang aku inginkan.
Aku sampai berpikir lagi setiap kali pulang dari kantor. Membuka pintu kamar kos yang sunyi. Sendiri dalam ruang yang luasnya hanya 12 meter persegi. Apa aku sebenarnya sudah cukup matang untuk masuk ke fase itu? Apa hanya karena ketakutanku pada umur yang terus berlalu?
Aku bahkan tidak memiliki ketertarikan dengan siapapun sekarang, tidak dekat dengan siapapun juga. Apa aku perlu menjalani hidup dengan cara yang berbeda kali ya? Resign terus menggunakan seluruh tabungan untuk jalan-jalan keliling Indonesia? Atau mencoba peruntungan untuk mencari pekerjaan di luar negeri?
Tapi setelah dipikir-pikir, kenapa aku serisau itu ya seolah-olah aku tidak beriman. Padahal aku tahu betul hal ini jadi rahasia-Nya. Sama seperti kematian.
512 notes · View notes
nonaabuabu · 14 days
Text
Tumblr media
apa yang ingin kau akui pada dirimu sendiri? rasa rendah diri bahwa kau terlalu tertinggal jauh dari semua teman-teman? atau kegagalanmu akan semua mimpi dan rencana? atau tak mampunya kau menjadi anak berbakti kepada ibu dan ayah?
terus apa setelah semua pengakuan itu? apa kau tetap berada di sana, bertingkah seolah itulah satu-satunya pilihan, atau kau mulai menuliskan kembali di mana galat dari sekian metode yang kau coba?
apapun itu, aku harap kau melakukannya dengan kesadaran, agar kelak saat kesekian kali kau kufur nikmat, kau tahu kau lah yang memilih berdiri di sana.
tak ada yang salah jika kau tak beranjak sedikit pun dari semua keadaan yang kerap kali dianggap tak baik, tapi sampai kapan pun jangan sekali-kali mengeluh dengan apa yang kau biarkan ada sebagai dirimu sendiri.
12.04.2023
53 notes · View notes
menyapamakna1 · 2 months
Text
Mari menang.
Sudah seterluka ini, sudah dicabik beberapa kali.
Terimakasih sudah sekuat ini, meski sudah lebam, tubuh dan kakimu masih melangkah, tanganmu masih mengayun kedepan. Terimakasih karena masih mau bertahan ditengah badai. Tidak mudah, tapi masih mau sekuat tenaga beranjak.
Terimakasih diri, karena mau membantuku beranjak.
Tubuh dan kaki akan terus melangkah, aku tidak akan luruh, aku tidak akan jatuh.
Aku akan menangkan. :)
@menyapamakna1
63 notes · View notes
alizetia · 1 year
Text
Bagaimana doa dapat menyembuhkan jiwamu
Suatu hari, Ibnu Qoyyim pernah mendapatkan pertanyaan tentang apa nasihat para ulama kepada seseorang yang tengah ditimpa suatu cobaan, dan orang itu menyadari apabila cobaan itu terus berlangsung, maka ia merusak dunia dan akhiratnya. Orang ini sungguh telah berusaha sekuat tenaga dengan daya upayanya untuk menanggulangi segala cobaan yang datang padanya namun cobaan tersebut justru bertambah parah dan kian menjadi jadi. 
Ibnu Qoyyim menuliskan secara lengkap dalam satu kitab mengenai penyakit dan obatnya. Di antara obat yang disebutkan salah satunya adalah Do’a.
Telah payah rasanya jasad dan jiwamu menghadapi banyak hal yang terjadi di hidupmu. Telah kamu coba segala hal yang dirasa mampu menyembuhkanmu, namun kadang hasilnya nihil kadang terobati namun tak lama sakit itu kembali lagi. Jiwa terasa resah, sering pula hampa, sudah sekuat tenaga kamu berusaha, sering pula saking sakitnya ia, dirimu tak ingin diajak melakukan apa apa atau beranjak kemana mana.
Maka berdoalah, “sudah sudah kulakukan” katamu. 
Sudahkah kamu berdoa sebagaimana para kekasih Allah berdoa kepadaNya? Mereka menghadapkan wajahnya ke arah dimana kiblatNya berada, mereka sucikan dirinya, memastikan jasadnya telah bersih membiarkan air mengaliri kulit hingga sejuknya merasuk mengobati keringnya hati. Kemudian mereka memulai pembicaraan hamba kepada penciptanya dengan mengucap hamdalah, bersyukur atas segala nikmat yang diberikan kala dirinya tak layak sama sekali. Mereka memuji Tuhannya, mereka mengucapkan salam , shalawat kepada Nabinya, mereka mendahulukan taubatnya sebab tahu segala kesulitan hidupnya sering kali disebabkan karena lalai dirinya. Mereka beristighfar, meminta ampunan sebelum menyebutkan hajatnya, lalu menghadirkan dirinya di hadapan Allah, bersikap memelas, mengucapkan memanggil namaNya dengan lembut selayaknya memanggil kekasih yang paling dicintainya. Mereka memohon dengan menyebutkan nama namaNya yang indah, sifat sifatNya yang agung, serta kekuasaanNya dan keesaanNya. 
Tahukah kamu? sungguh doa semisal itu tidak pernah tertolak. Bagaimana hati bisa gelisah, bila menyadari ia senantiasa berbicara dengan kekasihnya yang memiliki alam semesta, yang menjamin kehidupannya, yang mampu memberikan bahagia padanya, itupun sering kali tanpa diminta. 
Begitulah, bagaimana doa mampu menyembuhkan luka di hatimu, sakit di jiwamu. Doa yang dihaturkan tanpa lelah, terus menerus, sungguh Allah menyukai doa yang semisal itu. Doa yang diucap tanpa tergesa gesa untuk segera terwujud. Sebab doa bukan sekedar memo permintaan, melainkan pembicaraan pada yang terkasih yang Maha Pengasih.
337 notes · View notes
sepertibumi · 1 year
Text
[NASEHAT IBUK]
Tumblr media
"Buk, gimana dulu caranya Ibuk yakin kalo Ayah emang jodoh Ibuk? Apa karena udah ada rasa cocok dari awal?"
Dan obrolan panjang pun dimulai.
"Mbak, ga ada cocok yang benar-benar cocok. Cocok itu diusahakan. Kalau kamu punya 5 kriteria dan ternyata pasanganmu hanya memenuhi 3/5, dua sisanya brarti harus kamu tolerir. Inget, ga ada yang sempurna. Ga ada yang benar-benar 100%. Karena pernikahan itu isinya tentang penerimaan dan saling melengkapi."
"Kita sama-sama belajar dari awal, sama-sama terus berusaha untuk mengenal. Menerima dia berarti juga menerima segala kurang dan lebihnya. Kita ga bisa milih untuk ambil lebihnya aja."
"Nanti kamu akan hidup dengan segala sifatnya. Semuanya akan terlihat setelah pernikahan. Mungkin akan ada satu sifat buruk yang kamu ga suka dan itu akan terus berulang dan berulang kali terjadi. Disitulah nanti sabarmu akan diuji. Pesan ibuk, sepahit apapun, hadapi."
"Apapun masalahnya, seberat apapun ujian di depan nanti, usahakan untuk tetap menjaganya rapat-rapat. Tahan untuk menceritakannya kepada siapapun, sekalipun ke Ibuk. Karena kamu anak Ibuk dan Ibuk pasti akan bela kamu. Padahal Ibuk ga tau apakah benar kamu yang salah atau bukan."
"Telan semuanya berdua. Susahnya, senangnya. Jangan pernah libatkan orang lain. Karena jawabannya pasti kembali ke kalian berdua."
"Buk, apa Ibuk yakin aku bakal nemuin orang yang tepat?"
"Ibuk selalu yakin bahwa kamu akan mendapatkan orang yang baik, yang kamu ridhoi agamanya, yang sesuai dengan keinginan dan doa-doamu."
Sisanya hening dengan aamiin kencang yang riuh dalam hati. Dan berakhilah sedikit obrolan Ibuk dan putri kecilnya yang mulai beranjak dewasa.
222 notes · View notes
yunusaziz · 2 months
Text
Tumblr media
Berbicara Memang Ada Seninya
Well, ini mungkin akan jadi tulisan yang panjang, dan membosankan. Maka, terima kasih bagi yang berminat membacanya ya, semoga ada kebaikan di dalamnya😄
Beberapa hari lalu saya berkesempatan untuk menjadi pemateri di acara Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) di salah satu SMP cukup ternama di Solo, temanya adalah "Talent Mapping". Batin saya sebagai lulusan MSDM, "Wow menarik, saya banget ini".
Awalnya saat tawaran itu masuk, saya terima saja. Kebetulan di jadwal tersebut masih kosong, ngga ada udzur buat nolak juga, dan ada keinginan juga buat mencoba berbicara pada jenis audiens baru.
Sampai kemudian beberapa hari setelah saya terima tawaran itu, teman saya mengatakan semacam 'titipan pesan' dari audiens adik-adik mahasiswa yang beberapa hari sebelumnya mendengar paparan materi saya. Singkatnya, mereka mengeluhkan dengan penggunaan bahasa saya yang 'ketinggian'.
Dari situ saya mulai kepikiran, merasa risau "dengan audiens mahasiswa saja mereka merasa seperti itu, apalagi ini anak-anak SMP...." Mulailah saya berfikir ulang, dan komunikasi ke cp untuk mempertimbangkan ulang undang saya, tapi argumennya yang cukup meyakinkan akhirnya tetap saya terima.
Meskipun sebenarnya saya ada pembelaan sih atas "bahasa tinggi" haha. Saya mengakui memang background manajemen saya ini cukup banyak mempengaruhi gaya presentasi saya, berangkat pada konsep besar dulu baru perlahan menuju teknis. Jadi memang terstruktur dan sistematis.
Mungkin hal yang sama juga terlihat pada gaya tulisan saya dan cara jawab saya saat ada ask, eh ya ga sih? Tidak langsung pada jawaban, tetapi pada konsepnya dulu. Baru ke teknisnya. Semacam model berpikir "The Golden Circle"-nya Simon Sinek lah. Intinya why harus clear, gamau tau. eh.
Balik ke topik.
Teringat kandungan surat Ibrahim ayat 4, bahwa setiap rasul diutus berdakwah dengan bahasa kaumnya. Tujuannya adalah agar umatnya paham. Maka beberapa hari sebelum hari H bukannya fokus pada menyiapkan materi, saya lebih banyak riset soal metode, need assesment terhadap siapa calon audiens saya dan cara menjangkau mereka.
Saya sempat berfikir juga apa perlu saya ubah model penyampaian saya yang 'konseptual-teknis' ini. Namun, saya memilih tidak. Biarkan ini jadi ciri khas saya, saya ingin mereka lebih mengakar pada hal-hal fundamental dari konsepnya, sedangkan teknis adalah hal yang sangat fleksibel. Asal konsep dasarnya tahu, mau berbuat apa bisa lebih kreatif.
Jadinya saya cukup ubah komposisinya, jika berbicara dengan mahasiswa 60-80% nya adalah konsep, 20-40% nya teknis, maka dengan audiens anak SMP ini saya ganti ke 60-80% untuk teknis, dan sisanya untuk konsepnya. Akhirnya saya lebih banyak memberi contoh.
Tidak sampai disitu. Saya jadi lebih sering untuk mengkonfirmasi mereka, semisal "Apakah ini mudah dimengerti teman-teman?" atau sesekali saya minta mereka untuk mengulang poin-poin apa saja dalam satu slide sebelum beranjak ke slide berikutnya. Buat saya yang anak intro ini, hal semcam ini sangat menguras tenaga haha.
Saya merasa puas dan senang. Melihat mereka khidmat mengikuti materi, pun ada beberapa yang bertanya, ini menjadi hipotesis awal saya bahwa mereka paham. Namun, saya tetap perlu konfirmasi lagi, selepas sesi materi, kemudian ada sesi foto bersama, saya ambil sampel, bertanya ke mereka tentang apa yang mereka dapat, pun minta pendapat tentang performa saya, dan Alhamdulilah, legaa :')
Sampai-sampai ada yang minta tanda tangan saya wkwk. Barangkali karena saya afirmasi dia tentang potensi dan mimpinya menjadi public speaker handal dikemudian hari, saat bertanya tentang tips berani berbicara di depan umum.
Ya Allah anak-anak kicik betapa gemasnya, seru juga ternyata haha :'). Ini jadi pengalaman berharga bagi saya, sederet peristiwa dari diberi masukan dan prakteknya hadir di waktu berdekatan, seolah Allah minta saya buat lekas belajar.
Allahua'lam bish showab. Semoga Allah terus menjaga niat dalam diri kita agar semata apa yang dikerjakan hanya untuk menggapai ridho-Nya.
37 notes · View notes
andromedanisa · 1 year
Text
Hujan dan sepucuk perasaaanmu.
Hujan turun belum jua berhenti. Membawa kembali pada kenangan yang membuatmu berpikir, apakah hidupmu ini akan seperti ini setiap harinya. Seperti labirin yang setiap kali kamu telusuri akan kembali kepada dimana awal kamu melangkahkan kaki.
Berkali-kali kamu meyakinkan dirimu sendiri, bahwasanya kamu sedang tidak berlomba dengan siapapun. Nyatanya seringkali dirimu merasa bahwa langkah dan keputusan yang kamu ambil semakin membuatmu tertinggal dengan orang-orang disekitarmu.
Setiap kali kamu menyadari bahwa hanya kamu sendirilah yang tertinggal, kamu menangis. Kamu selalu merasa dirimu selalu saja terlambat. Padahal jauh-jauh sebelumnya akupun tahu bahwa kamu telah berusaha dengan keras agar kamu tak tertinggal. Rasanya melelahkan sekali hidup dengan ketertinggalan, begitu katamu.
Tapi anehnya, orang-orang mengatakan bahwa langkahmu terlalu cepat. Namun kamu tak memahami itu. Sebab kamu merasa masih saja berjalan ditempat, dilabirin yang tak pernah kamu temukan jalan keluarnya.
Setiap kali kamu tersesat, kaupun kembali menangis. Mengatakan kepada Allaah bahwasanya kau terluka Dan kau sedang tersesat jauh. Kau mengatakan semua keluh dan peluhmu kepada Allaah. Dengan cara apapun yang kau bisa dan mampu melakukannya. Setiap kali melakukannya, hatimu kembali damai, kau tersenyum meski sedikit. Kembali seperti tak terjadi apa-apa. Padahal sebelum itu hatimu terasa begitu sakit dan menyesakkan.
Dan momen demikian, kau lakukan berunglang dan berulang. Namun sekali lagi kamu tetap merasa ditempatmu saja, tidak beranjak, yang ada kau merasa semakin tersesat dalam rasa keputus asaan.
Teman-teman seusiamu melakukan langkah yang begitu jauh, mendapat pekerjaan dengan mudah, lingkungan pekerjaan yang mendukung, menikah, mempunyai anak, lanjut sekolah dan banyak hal pencapaian yang kamu merasa sudah terlalu jauh rupanya. Padahal sejatinya kau dan mereka tak pernah bersepakat untuk berlomba, Dan tak pernah ada pemenang diantara kalian.
Lihatkan? Sekali lagi kamu menangis, menceritakannya hanya berisikan keluhan saja. Lupa menakar bahwasanya kebaikan Allaah sudah terlalu dan amat banyak untuk dirimu. Namun sekali lagi kau merasa gagal juga dalam urusan bersyukur.
Kamu hanya ingin keajaiban, sesuatu yang tidak mungkin untuk ukuranmu. Iya, kau menakar dengan ukuranmu saja. Bukan ukuran orang lain. Kamu hanya butuh keajaiban, agar hatimu tidak merasa begitu lelah dengan sesuatu yang samar.
Katamu, "jangan memberiku nasihat untuk berdoa, aku sudah melakukannya. Jangan tanya sekeras apa, aku melakukannya dengan semua keajaiban yang ku tunaikan dan sunnah-sunnah didalamnya. Aku hanya ingin ditolong, keadaanku membuatku memilih untuk berputus asa. Namun hatiku memberontak agar tetap berbaik sangka terus dan terus kepadaNya." Lalu kamu menangis sekali lagi.
Bersabarlah, sayang. Sesungguhnya pertolongan Allaah itu nyata. Sesungguhnya pertolongan Allaah itu sungguh dekat. Raihlah kemenangan dan keajaibanmu dengan sabar dan sholat. Allaah tak pernah ingkar dengan janjiNya, sebab janjiNya pasti. Namun butuh waktu, sebentar saja, sabarlah.
Semakin kesini kamu sedikit mulai mengerti, bahwasanya sabar itu tidak hanya pada tindakan lahir saja. Melainkan juga batin. Batin yang harus terus dilatih agar menerima segala ketetapan Allaah dengan kelapangan hati yang luas.
Saat ini, perasaanmu sudah kembali lapang. Entah sudah sebanyak apa kau menangis, kau selalu menangis kala berdoa kepada Allaah. Matamu selalu sembab diseperti malam dalam doamu. Teruslah bangkit, Dan jangan pernah menyerah. Jangan pernah menyerah dan kalah pada apapun itu. Allaah ada lebih dari apapun, dan tidak ada kedzaliman dalam sebuah takdir bila engkau beriman.
Insya Allaah, ada jalan. Insya Allaah, ada jalan. Bersabarlah kamu dengan sabar yang baik, bersabarlah sampai akhir..
153 notes · View notes
dipenakala · 5 months
Text
R.
Dulu rumahku pernah runtuh, hampir semua ruangannya berubah sesak dan sulit menyisakan napas untuk bergerak — hanya ada tempat untuk bertapak satu kaki yang masih mampu berdiri. Di luaran sana, waktu terus berputar, angin terus berganti arah, matahari dan bulan beredar sebagai mana mustinya dengan aku yang pelan-pelan bangun untuk beranjak.
Dunia tetap berjalan dan mungkin yang berat akan terus membebani pundak, tapi saat ini aku nggak takut lagi untuk berdiri karena aku nggak melangkah sendiri. Tanganku juga nggak menggenggam semuanya seorang diri sebab milikmu akan selalu ikut meneduhkan. Sekarang rumahku lahir kembali dengan pekarangan yang tumbuh dengan banyak bunga bersemi tanpa mengenal musim. Aku punya tempat bersandar yang bisa aku ajak berbagi, jauh lebih hidup, lebih bernyawa, dan lebih sejuk.
Barangkali bertemu kamu adalah wujud dari semoga yang nggak pernah aku harapkan sebelumnya. Seorang manusia yang datang mematahkan keraguan lalu tumbuh menjadi keyakinan di antara ketidakyakinan. Atau mungkin juga kamu adalah jawaban atas pertanyaan yang datang di saat-saat sunyi atau resolusi di luar rencana yang nggak pernah aku tulis dan amini untuk terjadi. Senin sampai Minggu bersamamu rasanya nggak akan cukup waktu dua puluh empat jam untuk bicara banyak hal dengan topik yang itu itu lagi. Manusia egois, dan aku pun demikian. 
Bisa nggak ya, aku minta waktu lebih banyak, setidaknya untuk bernapas sebentar supaya bisa terus jatuh cinta lagi setiap hari… sama kamu?
48 notes · View notes
gizantara · 3 months
Text
Kesempatan Untuk Didoakan
Di kondisi kaya sekarang yang ngga ada kebutuhan mendesak bahkan sampai mencekik, aku merasa kaya lagi hibernasi alias banyak santainya. Cuma.. aku terngiang-ngiang cerita titik terendahnya seorang kating yang katanya begini:
"Stressnya aku saat ga ngapa-ngapain lebih memuakkan daripada stress di titik terendahku."
Akhirnya jadi mikir kan, jangan sampai aku 'stress karena ga ngapa-ngapain' dulu untuk beranjak melakukan sesuatu. Aku bahkan bertanya-tanya, kegregetan apa yang harus aku punya untuk mentrigger langkah awalku, soalnya bahkan aku pernah ada di titik "deadline can't trigger me anymore."
Nah ketika orang lain mikir untuk memulai karirnya di masa baru lulus, pikiran anti-mainstreamku belakangan ini justru mikir untuk bantu orang-orang yang lagi tercekik. Of course, sekilas justru malah kaya memperlambat langkahku, tapi aku rasa ini yang bisa aku lakukan sekarang.
Terus apa benefit-nya? Nggak ada dan ga apa-apa toh bukan benefit materi yang aku kejar. Jujur keinget banget sama story-nya Kak Satria di instagram (@.svatria) tentang kesempatan didoakan yang sangat berharga. Di samping itu aku ngikutin Surya Insomnia juga yang di balik kesuksesannya sekarang itu karena beliau bener-bener mengharapkan doa dari orang-orang di sekitarnya dan suka ngedoain juga orang-orang yang bantu beliau. Surya bilang ke Onad, "Nad, doain gua ya? Karena kalo gua doang yang berdoa, gua gak akan sampai." (agak lupa redaksi pastinya, tapi kurang lebih kaya gitu)
Jadi di masa santaiku, membantu orang yang sedang dicekik oleh deadline, tekanan pekerjaan, dsb. adalah cara aku membuka kesempatan didoakan oleh orang lain. Jujur aku ga mengharapkan apapun lagi. Teteh aku pernah bilang waktu aku chaos di masa TPB bahwa dia ngebuktiin sendiri betapa kemudahan yang dia alami salah satunya terjadi karena dia memudahkan urusan orang lain.
Pun sama, ke sahabat dekatku yang ISTJ aku selalu mendoakan kebaikan ke dia dengan bilang, "semoga Allah kasih lancar untuk pekerjaan kamu nanti, mencakup lingkungan kerja ga toxic, pekerjaan bisa kamu handle, pendapatan yang berkah dan mencukupi, dsb. disebabkan kamu sering sekali memudahkan urusan aku selama kuliah. Makasih udah mau direpotin sama aku."
Jadi buat siapapun kamu, jangan lewatkan kesempatan untuk didoakan. Kita gatau sesungguh-sungguh apa doa orang lain yang bahkan mungkin kita bantunya mah ga seberapa tapi barangkali doa dia lebih dulu sampai ke langit daripada doa kita.
— Giza, ga ada yang lebih penting baginya selain doa keselamatan
15 notes · View notes
terusberanjak · 13 days
Text
Tumbuhlah dalam diam. Tak usah berisik. Tumbuhlah untuk dirimu sendiri. Tumbuhlah agar Tuhan semakin menyayangimu. Kamu tak perlu pengakuan manusia, kan?
@terusberanjak
308 notes · View notes
kurniawangunadi · 6 months
Text
Bayangkan jika dengan bebalnya cara berpikir kita saat ini, dengan kerasnya hati kita saat ini. Kita pernah menyakiti orang lain tapi tidak merasa bersalah. Dan orang tersebut juga tidak memaafkan kita karena kita tidak meminta maaf, ya karena kita tidak merasa bersalah. Kita mencari pembenaran ke sana ke mari.
Sampai di akhir waktu, waktu yang terus beranjak, menua, dan kita baru menyadari kalau kesulitan hidup kita selama ini disebabkan oleh mudahnya kita menyakiti orang lain. Dan kita tidak punya waktu lagi untuk meminta maaf. Bagaimana jika yang demikian itu, ternyata diri kita.
595 notes · View notes
journeyofken · 2 years
Text
Mari saling mengambil jarak.
Biarkan doa-doa yang terus beranjak, menembus langit meski tak ku tau di bagian bumi mana kakimu berpijak.
Jika memang dugaan ku tak salah, setelah banyak dan lamanya ku menerka tentang siapakah 'ia' yang padanya kau menaruh rasa, kutemui satu jawaban, atau sebutlah hipotesa? Sepertinya ia memanglah aku.
Aku senang namun juga takut jikalau saja aku tak benar-benar pantas atas perasaanmu itu. Jadi sengaja ku ambil jarak, yang lebih jauh. Dan kupikir kau pun berlaku demikian.
Jadi, mari saling mengambil jarak. Sampai garis takdir yang nanti entah --mempertemukan kita dan perasaan-perasaan yang telah lama tersimpan rapat itu-- atau memisahkan dan meleburkannya untuk kemudian bertemu dengan hati yang lainnya.
Sebab, yang selalu kita rapal dalam doa adalah yang terbaik, bukan?
Menuju genap setahun aku menyimpan perasaan ini, 28 September 2022
249 notes · View notes
bersuara · 2 months
Text
Tumblr media
Tadi aku beli pecel lele, sambil nunggu pesenan dibikin, aku ngobrol lah sama si Nana dan keponakanku. Kami bertiga duduk dekat dengan dua pasangan sejoli (ini karena tempat duduk yang lain sudah penuh sama yang lagi makan di tempat). Terus tiba-tiba si mas-mas yang duduknya di samping Nana ngerokok dan asapnya langsung mengenai si Nana. Dengan tampang ngga bersalah, dia ngerokok di tengah-tengah pelanggan yang sedang makan dan ada anak kecil di sampingnya.
Aku tentunya kesal dong, mana si cewenya diam aja lagi. Aku langsung nyuruh si Nana pindah tempat duduk dan langsung ku suruh tutup hidung dengan tisu yang ada di meja. Aku sengaja ngomong dengan keras "Na, tutup hidungnya pakai tisu, bau asap rokok Na". Si Nana yang namanya anak kecil mungkin ngga paham apa maksudku, dia jawab "Kenapa eteh nutup hidung?" lantas dengan suara yang masih ku keraskan "Na, ngga boleh menghirup asap rokok, nanti paru-paru kamu rusak. Kalau ada yang ngerokok, langsung tutup hidungnya".
Untungnya pecel lele pesananku selesai, jadi ngga lama-lama duduk di dekat orang merokok. Pas aku beranjak mau pulang, si mas-mas yang merokok langsung lihatin aku dan aku tatap balik. Enak saja, merokok ngga tahu tempat!
Aku sih bodo amat sama perokok aktif yang ngga bisa lepas dari rokoknya. Tapi aku akan murka sama orang yang merokok tapi ngga tahu tempat dan situasi. Ya bayangkan saja, mereka perokok aktif kadang egois sekali, tetap merokok di dekat anak kecil bahkan dekat bayi. Merokok di tempat umum, tempat makan, di angkutan umum bahkan ketika mengendarai motor pun rokoknya masih dihisap. Apakah tidak merokok dalam beberapa jam akan membuat hidup tidak berdaya sampai akhirnya mati?
- 20 Februari 2024
8 notes · View notes
yustrialubna · 1 year
Text
Bagaimana jika keinginan itu tak bisa lagi aku redam? Meninggalkan kota yang belakangan hanya buatku merasa terkekang.
Apakah ini benar suara hati ataukah hanya ego yang melingkupi? Tidakkah aku terlalu naif untuk pergi jauh meninggalkan keluarga dan rumahku sendiri di saat seperti ini?
Aku salut pada diri yang cukup berani . Tapi mengandalkan kepercayaan diri belum tentu cukup untuk terus bertahan hidup sehari-hari, bertahanlah sedikit lebih lama lagi, sampai semuanya mereda, belajarlah merela, kelak akan ada saatnya untukmu beranjak kemana saja hatimu damba.
@yustrialubna
64 notes · View notes
affectjeon · 9 months
Text
adrian-geva
Rumah Adrian tidak pernah seharum ini. Setidaknya itu yang Adrian tahu selama dia tinggal bersama Geva selama 2 tahun terakhir. Omega itu terbiasa mengeluarkan feromon berbau asam dan pahit yang sangat kentara. Sebagai tanda jika dia pun tidak suka akan kehadiran Adrian. Omega itu selalu bersedih dan marah kapan pun dia bersinggungan dengan Adrian.
Namun malam ini, ketika Adrian baru menginjakkan kaki di apartemennya, aroma harum yang sangat manis menguar ke seluruh penjuru apartemen. Tercium menenangkan, sangat lembut dan penuh rasa bahagia. Seolah mengusir aroma getir Geva dari setiap penjuru rumah. Meski tercium sangat berbeda, tapi Adrian tetap tahu jika ini tetaplah feromon Geva.
Adrian terus melangkahkan kakinya menuju ruang tengah, dan dahinya seketika mengerut ketika dilihatnya Geva sedang duduk di sofa ruang tengah. Hal yang Geva sangat jarang lakukan, karena omega itu biasanya hanya berdiam mengurung diri di kamar.
Geva tidak sendiri, di pangkuannya duduk bayi berusia 10 bulan yang sedang asyik tertawa karena sibuk bermain bersama Geva. Adrian jelas tahu itu siapa, Evander, keponakan kandungnya. Adrian bisa melihat jika Evan tertawa dengan begitu riang ketika Geva dengan main-main menggosokan hidung bangirnya pada permukaan perut Evan. Menggelitik bayi itu pelan-pelan yang langsung direspons dengan tawa melengking yang begitu lucu.
Hati Adrian tidak dipungkiri berdesir melihatnya. Senyuman kecil di bibirnya terbit karena tawa Evan, meski tak lama dia sadar dengan siapa Evan bermain sekarang dan seketika senyumnya lenyap.
Adrian terus berjalan mendekati keduanya, berdiri menjulang di samping sofa sambil menatap Geva sinis. Geva yang sadar akan kehadiran Adrian reflek menoleh. Seketika aroma floral yang tadi menguar lembut terganti dengan aroma getir samar. Alpha di dalam diri Adrian sontak merengek, meraung mengharapkan aroma manis yang memanjakannya tadi kembali.
Geva menatap Adrian dengan tatapan tanpa emosi seperti biasa. Senyuman tak lagi terkembang di wajah mungil omega itu. Keduanya saling bertatapan dengan aroma permusuhan yang jelas di udara. Adrian membenci Geva, sangat. Dan Geva pun pasti sangat lah muak pada Adrian.
Namun di tengah hal itu, Geva dikejutkan ketika Evan secara tiba-tiba memasukan ujung hidung Geva ke dalam mulut mungilnya. Mengigit ujung hidung Geva main-main, memohon atensi sang omega. Seketika senyum Geva kembali terkembang, aroma feromonnya kembali manis, sangat manis.
“Eh? Kok gigit idung Kak Gege? Ih Evan ngapain? Kak Gege balik gigit ya??” ancam Geva main-main dengan wajah yang seolah-olah dibuat galak namun tetap tersenyum lebar. Tawa Evan kembali mengalun, bayi itu menangkup kedua sisi wajah Geva dengan kesepuluh jarinya yang mungil. Tertawa tanpa henti ketika Geva seolah menggigit pipi tembam bayi itu dengan bibir sang omega.
Adrian menelan ludah seraya membuang pandang. Dia tidak suka dengan apa yang dilihatnya sekarang. Bagi Adrian, Geva tidak punya hak sama sekali untuk menyentuh keponakannya.
Mengambil tindakan, Adrian lantas berjalan menuju keduanya. Senyum Geva perlahan pudar saat Adrian mengambil alih Evan ke dalam gendongan alpha itu. Geva mengedipkan matanya cepat sambil membuang pandangannya, sementara Adrian tersenyum ke arah Evan yang masih kebingungan karena berpindah tempat.
“Hai jagoannya Om Ian,” sapa Adrian pada bayi itu dan senyum Evan terkembang lebar ketika menyadari dengan siapa sekarang dia digendong.
Jantung Adrian berdegup kencang ketika menghirup feromon Geva yang masih menempel begitu kuat pada Evan. Bayi itu kini tercium seperti dilapisi minyak dengan berbagai wewangian bunga. Begitu harum dan manis, namun tercium menenangkan. Begitu berbeda dengan feromon Geva yang tengah dikeluarkan omega itu sekarang. Asam dan juga pahit.
“Aku laper, siapin makan malam,” perintah Adrian pada Geva tanpa menatap omega itu sedikit pun. Geva mengalihkan pandangannya pada Adrian, menatap lekat alpha itu dengan emosi yang tak tersirat. Lantas berdiri dan beranjak menuju dapur tanpa sepatah kata untuk menyiapkan makan malam bagi Adrian.
Adrian menelan ludahnya lagi ketika Geva berlalu di hadapannya. Sedikit memalingkan wajahnya ke arah mana omega itu pergi. Namun tepukan di pipinya karena Evan kembali menyadarkan lelaki itu. Adrian kembali tersenyum pada Evan, menyapa bayi itu.
Tanpa sadar, Adrian mendudukan dirinya di tempat dimana Geva duduk sebelumnya. Adrian terdiam ketika merasakan tempat itu masih hangat, juga tercium seperti Geva. Seketika rasa tak suka dan muak timbul di dalam hati Adrian. Tidak menunggu lama, Adrian lantas bangkit dan membawa Evan ke dalam kamarnya.
——————
Makan malam berjalan tidak seperti biasa, jika biasanya sunyi dan bahkan dilakukan masing-masing, kali ini sangat berbeda. Adrian menatap Geva di seberangnya yang sedang sibuk menemani Evan makan.
Evan makan dengan metode Baby-led weaning, dimana anak itu memasukan makanannya sendiri dengan tangannya. Tidak perlu disuapi. Adrian tahu hal ini dari kakaknya sendiri, oh ini semua karena Meisya dan teori parenting masa kininya. Terlihat memang bagus untuk perkembangan anak, asalkan harus mengenyampingkan fakta jika ruang makan saat ini terlihat seperti bencana.
Adrian diam-diam menatap Geva yang menanggapi Evan berceloteh. Geva terlihat begitu sabar menghadapi bayi itu meski rambut omega itu sudah dihinggapi beberapa remah makanan. Alis Adrian pun bertaut ketika Evan menawarkan Geva brokoli dan telur rebus yang sudah sedikit hancur di telapak tangannya, bertindak seolah ingin menyuapi yang lebih tua. Dan Adrian tidak bisa untuk tidak lebih mengernyit ketika tanpa jijik Geva dengan hati-hati meraih sayuran hijau itu dengan bibirnya dan tersenyum lembut ke arah Evan.
“Makasih Evan makanannya, enak yah? Yum yum!” ucap Geva ceria. “Jadi abisin yah?”
“Yum yum yum!” jawab Evan girang sambil mengangguk dan memasukan lagi potongan kentang rebus ke dalam mulutnya.
Geva tertawa pelan, dan alis Adrian sedikit berkedut karenanya. Ini pertama kalinya selama hampir dua tahun mereka menikah, Adrian melihat Geva sering tersenyum dan tertawa. Bagi Adrian, Geva tidak pernah pantas untuk merasa bahagia setelah apa yang omega itu perbuat pada hidup Adrian.
Tapi di sudut hati alpha itu, dia tahu jika alpha di dalam dirinya sangat ketagihan mendengar tawa Geva.
“Setelah Evan tidur, ada yang mau aku obrolin,” ucap Adrian saat kunyahan terakhir di mulutnya sudah ditelan.
Geva lantas menatapnya, masih datar tanpa emosi seperti biasa. Lalu pelan-pelan omega itu mengangguk paham.
Merasa sudah mendapatkan respons, Adrian lantas berdiri dan menyimpan piring kotornya ke wastafel dan langsung dia cuci. Lalu beranjak meninggalkan area dapur menyisakan Geva dan Evan berdua di meja makan.
—————-
Pukul 9 malam ketika Evan akhirnya tertidur. Sedikit rewel karena bayi itu mulai menyadari keabsenan sang ibu. Meski sedikit kesulitan namun Geva berhasil menidurkan Evan. Dengan hati-hati, Geva menidurkan Evan di matras dan tak lupa membubuhkan kecupan lembut di dahi anak itu.
Geva lantas mendudukan dirinya di tepi ranjang, menghela napas pelan ketika teringat jika Adrian mengajaknya berbicara setelah Evan tidur.
Berbicara dengan Adrian adalah hal yang selalu Geva hindari. Karena pembicaraan mereka selalu berakhir dengan hal yang tak baik. Entah itu saling membentak atau saling menudingkan jari telunjuk pada wajah masing-masing. Dan Geva tidak ingin hal itu terjadi karena sekarang mereka tak hanya berdua di apartemen ini.
Memandang Evan sekilas dan mengusap paha bayi itu lembut, Geva lalu berdiri dan mulai beranjak meninggalkan kamar. Berniat mengambil air minum ke dapur karena tenggorokannya mendadak terasa kering. Tapi setibanya di dapur Geva sedikit tersentak karena Adrian juga ada di sana. Sedang duduk di meja dapur dengan satu bungkusan kantong keresek kecil warna putih di atas meja.
Meski jantungnya sedikit berdebar kencang, tapi Geva berusaha mengabaikan keberadaan Adrian. Omega itu dengan santai tetap mengambil air putih dari dispenser dan meminumnya. Menghiraukan tatapan Adrian yang menusuk dingin ke arahnya.
“Duduk, ada yang mau aku omongin,” ucap Adrian datar. Geva menarik napas dalam-dalam sebelum mengangguk kecil dan mengambil tempat duduk di seberang Adrian.
“Mau ngomongin apa, Mas?” tanya Geva tidak ingin membuang waktu.
Adrian menarik napas sebelum berbicara.
“Sebenernya aku masih gak suka dengan kamu yang ambil keputusan sepihak buat dititipin Evan. Tapi sekarang Evan udah terlanjur ada di sini. Dan aku pengen kita ngomongin apa aja yang harus kita lakuin selama Evan ada di sini.”
Geva menatap Adrian dan menghembuskan napasnya pelan lalu mengangguk. Merasa setuju, karena memang ada yang harus mereka bicarakan dulu mengenai Evan.
“Yang pertama, aku gak paham cara ngurus bayi dan aku tau pasti kalau kamu terbiasa akan hal itu. Jadi untuk urusan makan, mandi, ganti popok Evan, itu semua tanggung jawab kamu. Tapi aku gak keberatan buat kamu ajarin cara-cara itu biar aku bisa bantu kamu,” ucap Adrian memulai pembicaraan. Geva tetap diam namun mengangguk. Dia tidak masalah akan hal itu.
“Oke,” jawab Geva singkat. Adrian lantas menatap Geva lekat karena jawabannya. Sangat tipikal Geva sekali; meng-tidak acuhkan Adrian.
“Yang kedua, selama seminggu ini aku bakalan antar jemput kamu dan Evan ke tempat kerja kamu. Karena aku khawatir akan keselamatan Evan,” ucap Adrian lagi. Geva hanya mengangguk sambil membubuhkan lagi kata ‘oke’. Tatapan Adrian menajam akan hal itu. Dia tidak suka akan tanggapan Geva yang so’ cuek kepadanya.
“Yang ketiga, aku pengen kamu pakai ini selama Evan ada di rumah.” Kali ini Adrian berkata dengan tangan yang menggeser bungkusan kresek putih itu ke arah Geva. Dengan alis yang bertaut Geva mengambil bungkusan tersebut.
“Apa ini?” tanya Geva penasaran sambil mengeluarkan isi dari dalam kresek. Dan hati Geva terasa remuk ketika dia mendapati satu strip obat yang tentu saja pasti dia kenali.
“Scent blocker. Karena aku gak pengen feromon kamu nempel ke Evan sedikitpun. Kamu bukan siapa-siapa bagi Evan, kamu gak berhak ngescenting atau cium-cium Evan. Kamu orang asing bagi Evan.”
Hati Geva terasa seperti jatuh hingga mencapai telapak kaki. Dadanya seperti ditonjok oleh kata-kata Adrian. Seiring dengan matanya yang mulai memanas. Geva cukup paham jika Adrian membencinya, tapi hingga melibatkan Evan bagi Geva itu hal yang terlalu berlebihan. Anak kecil tidak seharusnya dilibatkan pda masalah orang dewasa.
“Dia keponakan aku juga Mas?! Aku bukan orang asing bagi Ev—“
“Apa yang jadiin Evan sebagai keponakan kamu? Pernikahan bullshit kita?” potong Adrian cepat atas jawaban Geva. Alis Geva bertaut erat, bibirnya bahkan belum terkatup. Namun Geva seolah kehilangan kemampuannya untuk berbicara.
“Kita emang menikah, tapi pernikahan kita gak lebih dari sekedar sandiwara sampah yang aku dan kamu lakuin. Jadi kamu jangan pikir dengan menikah sama aku, kamu jadi bagian keluarga kami. Karena selamanya kamu bukan. Tolong sadar diri akan hal itu. Kamu gak ada hak sama sekali akan Evan, apalagi sampai ngolesin feromon busuk kamu di sekujur badan Evan,” lanjut Adrian dengan nada bicara yang rendah, nyaris menggeram.
Tangan Geva terkepal erat, membentuk tinju yang siap kapan saja dia layangkan pada wajah Adrian yang kini seolah mencemooh dirinya. Namun dia teringat akan Evan yang tertidur di kamarnya. Dia tidak ingin bertengkar dengan Adrian, tidak ingin suara pertengkaran mereka membangunkan Evan.
Geva tidak menjawab perkataan Adrian. Yang Geva lakukan hanya menatap Adrian dengan tatapannya yang menghujam tajam penuh luka. Geva terlalu lelah, Geva terlalu muak. Bagi Geva, hanya perlu sedikit lagi baginya untuk melepaskan semua rasa sakit yang Adrian berikan untuk dia. Hanya perlu menunggu, sedikit lagi.
“Dan yang terakhir, Evan setiap malam tidur sama aku. Aku gak segitunya percaya sama kamu sampe bisa biarin Evan tidur bareng kamu di kamar kamu. Aku gak akan tenang biarin Evan tidur bareng pembunuh kayak kamu.”
Dan baut pertahanan diri Geva lepas sudah. Dada Geva mulai bergemuruh dengan amarah yang mendidih. Decit suara kursi terdengar ngilu ketika Geva sontak berdiri.
“Mas! Aku bukan pembunuh!” bentak Geva dengan suaranya yang bergetar.
Adrian lantas menatap Geva yang berdiri menjulang dari tempat duduknya. Adrian menatapnya tajam lengkap dengan aura kebencian yang terasa.
“Tetap gak nutup fakta kalau anak aku mati karena kamu, Geva,” geram Adrian.
“Bukan aku yang bunuh anak kamu Adrian!! Itu semua karena—“
Ucapan Geva terpotong ketika dia mendengar suara tangis Evan dari dalam kamar Geva. Geva lantas bergerak hendak menghampiri Evan, namun Adrian juga turut berdiri dan memberikan gestur agar Geva menghentikan tindakannya.
“Jangan. Biar aku aja. Aku ambil Evan buat tidur di kamar aku.”
Dada Geva naik turun menahan amarah. Namun dia memilih untuk berdiam diri, mengalah akan keinginan Adrian.
Selepas Adrian pergi dari hadapannya, Geva meraih bungkusan kantong kresek yang berisi scent blocker pemberian Adrian lalu membantingkannya kuat-kuat ke atas meja.
Dengan tubuh yang bergetar, Geva kembali duduk di kursi. Omega itu menunduk dengan tangan yang meremas rambutnya kuat-kuat.
Dan seperti malam-malam yang lain, Geva kembali menangis karena Adrian.
Hanya sedikit lagi, hanya sedikit lagi. Geva hanya perlu bertahan sedikit lagi.
————
Sudah lima belas menit Adrian menimang Evan yang tidak mau berhenti menangis. Dan waktu kini sudah menunjukan pukul 2 dini hari.
Alpha itu mulai frustasi. Kepalanya mulai pening mendengar jeritan Evan yang menangis di gendongannya. Telinganya juga mulai terasa pengang.
Berbagai cara sudah Adrian lakukan. Sebotol susu bahkan teracuhkan di atas nakas. Evan menolak untuk menyusu dari dalam dot. Adrian jelas paham jika keponakannya itu pasti mencari keberadaan sang ibu.
Merasa sudah tidak sanggup mendengar jeritan Evan, Adrian lantas menidurkan bayi itu di atas matras dan segera berlari menuju kamar Geva. Mengenyampingkan dulu harga dirinya di hadapan omega itu.
Kamar Geva terkunci, seperti biasa. Dengan tidak sabaran Adrian menggedor pintu Geva. Berusaha membangunkan omega itu. Beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Geva yang sedikit acak-acakan karena baru terbangun.
Sejenak Adrian tertegun melihatnya. Geva menggunakan kaos oversized yang kerahnya merosot dari salah satu bahunya. Menunjukan bahu mulus berwarna madu yang terlihat begitu halus. Terlihat tetap cantik meski mata omega itu bengkak dan sukar terbuka. Sepertinya Geva sedang tidur pulas-pulasnya sebelum Adrian bangunkan.
“Iya Mas ada apa?” tanya Geva lembut dengan suaranya yang serak. Geva sedikit mengernyit ketika sayup-sayup mendengar suara tangis dari dalam kamar Adrian. Sementra Adrian masih tertegun melihat Geva yang ada di hadapannya.
“Mas itu Evan nangis ya?” tanya Geva dengan wajah yang cemas meski kedua matanya masih sulit terbuka.
“I-iya, E-evan gak mau tidur,” jawab Adrian terbata.
Tanpa menunggu persetujuan Adrian, Geva bergegas menuju kamar Adrian. Dan omega itu tersentak kaget ketika Evan sudah menangis telungkup di ujung ranjang. Dengan sigap Geva langsung menyambar Evan dan mengambilnya ke dalam gendongan.
“Evan aduh gimana kalau jatuh??” tanya Geva pada Evan. Namun bayi itu masih menangis meraung di gendongan Geva.
Adrian mengekor Geva masuk ke dalam kamarnya. Ditelannya ludah secara kasar ketika menyadari kebodohannya meninggalkan Evan sendirian di dalam kamar. Evan nyaris saja terjatuh dari ranjang jika tidak ada Geva yang sigap meraihnya.
Geva lantas menimang Evan, menenangkan bayi itu. Kepala Evan dia letakan di atas bahunya dengan punggung yang dielusi lembut. Geva juga menguarkan feromonnya yang menenangkan untuk Evan. Dan secara ajaib berangsur-angsur tangis Evan berhenti.
Setelah sekitar 10 menit Geva berdiri sambil menggoyangkan tubuhnya pelan, Evan akhirnya tertidur pulas di bahu Geva. Mata Geva pun nyaris terpejam menahan kantuk. Sementara Adrian hanya memperhatikan keduanya sambil duduk di tepi ranjang.
Ketika dirasa Evan sudah benar-benar pulas, perlahan Geva menidurkan kembali Evan di atas matras kamar Adrian. Tanpa sadar Geva membubuhkan satu kecupan di dahi Evan. Namun ketika Geva hendak beranjak, Evan kembali merengek. Lantas merangkak sambil menangis menuju Geva.
Geva mengembuskan napasnya lelah. Evan sepertinya benar-benar tidak mau jauh dari Geva.
Adrian berdeham canggung. Kepalanya sibuk memikirkan solusi yang terbaik. Namun dia tetap berat hati jika membiarkan Evan hanya tidur berdua dengan Geva di kamar omega itu. Adrian tidak sepercaya itu pada Geva.
Hanya ada solusi yang Adrian rasa paling mungkin.
“Kamu tidur di sini aja,” ucap Adrian. Dan mata Geva yang sulit terbuka akhirnya bisa terbuka sedikit lebar.
“Gimana Mas?” tanya Geva kebingungan.
Adrian mengembuskan napasnya kasar.
“Kamu, tidur. Di kamar aku. Sama Evan,” ucap Adrian dengan penekanan di setiap katanya.
Geva masih kebingungan. Dan Adrian juga merasa jika wajahnya panas karena penawarannya sendiri pada Geva. Tak ingin Geva menyadari perubahan warna pada wajahnya, Adrian lantas segera naik ke atas ranjang dan tidur memunggungi Geva.
Merasa terlalu lelah dan tak mau berdebat, Geva pun mengalah. Omega itu mulai naik juga ke atas ranjang. Jantung Adrian berdetak kencang ketika merasakan beban di sebelahnya.
Geva mencoba untuk tidak peduli akan kehadiran Adrian. Omega itu memilih untuk mendekap Evan dan menepuk pantat bayi itu pelan sambil menyanyikan lullaby. Mencoba untuk menidurkan Evan. Evan mendusal di dada Geva, mencari kenyamanan. Geva berencana jika Evan sudah tertidur, dia akan pindah lagi ke kamarnya sendiri. Namun karena terlalu lelah, Geva pun malah berakhir juga tertidur.
Ketika merasa jika tangis Evan dan suara Geva tak terdengar, Adrian membalikan badan. Didapatinya Geva yang tertidur pulas sambil memeluk Evan.
Dada Adrian bergemuruh. Jantungnya berdegup kencang. Ditatapnya Geva yang terpejam lekat-lekat, seraya mencoba memilah perasaan apa yang kini tengah dia rasakan namun Adrian gagal.
Shit. Sejak kapan Adrian membiarkan omega yang paling dia benci itu ada di jarak sedekat ini dengan Adrian.
22 notes · View notes