Tumgik
#sore dalam tulisan
alfisyahrin · 2 months
Text
Isi kepala yang sudah menginjak usia dewasa.
ini bukan tentang seumuran, lebih tua atau lebih muda tapi ini tentang seseorang yang mau diajak kerja sama dalam semua hal dan situasi.
seseorang yang bisa dijadikan rumah yang ramah tanpa harus memperdebatkan hal kecil.
seseorang yang mau menerima baik buruk yang diri kita punya.
seseorang yang selalu merasa cukup memiliki diri kita dengan sejuta kekurangan yang kita miliki.
seseorang yang mau memahami diri kita dengan baik sekaligus yang siap menerima setiap resiko yang ada jika kelak sudah hidup bersama.
"sebab seumur hidup bukan waktu yang singkat. bukan sehari atau dua hari namun sepanjang usia, hanya sekali, hanya satu untuk sepanjang masa, dan aku ingin bersama dengan seseorang yang benar benar menerimaku juga keluargaku"
3 notes · View notes
sepertibumi · 1 year
Text
[SOBI]
Ternyata ungkapan "bersyukur hanya karena kamu ada" itu nyata ya?
Sore tadi tiba-tiba sendu. Keinget orang-orang yang selama ini hadir, datang dan pergi, silih berganti.
Setiap mereka punya kisah menarik dengan alur yang berbeda. Hadirnya, meski sementara tapi selalu membawa makna.
Perginya pun bukan karena masalah, tapi karena ya memang udah bukan waktunya lagi untuk bersama. Karena setiap masa ada tokohnya, rasanya sangat fine aja buat membiarkan setiap orang pergi menjalani fasenya. People come and go, right?
But, memories not. Waktu-waktu berjumpa teman lama adalah salah satu waktu terhangat. Tatapan dan bahasa tubuhnya masih sama. Hanya saja kisah dan pengalamannya semakin berwarna.
Syahdu ketika mengingat masa-masa bersama. Saling menasihati padahal sama bodohnya. Saling menguatkan padahal sama lemahnya. Mengingat ternyata, kita pernah sedekat itu ya? Bertukar air mata dan siap menjadi bahu saat yang lain butuh sandaran.
Dan di waktu yang sama, kita merasa utuh sebagai diri sendiri. Merasa aman dari harapan dan tuntutan orang lain. Merasa bahwa memang ada seseorang yang benar-benar menerimamu seburuk apapun keadaanmu.
Jangan buang waktumu untuk berusaha terlihat baik di mata semua orang, karena mereka yang tulus menyayangimu tak butuh itu. Dan sekuat apapun kamu berusaha, mereka yang membencimu takkan peduli.
Nyatanya, selalu ada mereka yang Tuhan ciptakan untuk membersamai langkahmu. Mereka yang selalu bersyukur hanya karena kamu ada.
Teruntuk mereka yang pernah hadir,
terimakasih karena telah menjadi ruang tumbuh terbaik.
_____________________
Dan teruntuk sahabat lama, yang menjadi alasan dibalik tulisan ini ada.
Aku ingat betul saat aku tiba-tiba datang dan menangis tanpa bercerita apapun dalam pelukanmu.
Saat itu aku merasa bahwa duniaku memang sedang tidak baik-baik saja dan aku tak butuh pertanyaan "kenapa?"
Setelah reda, aku hanya berkata "Makasih ya" lalu pergi tanpa kata.
Semoga selalu Allah jaga dan sibukkan kamu dalam ketaatan ya, Kem!
79 notes · View notes
kilasjejak · 30 days
Text
Baik Sangka
3 hari sebelum masuk bulan puasa, aku bertemu dengan dosen waktu kuliah dulu. Dosen yang sudah ku anggap seperti ibuku sendiri. Beliau sangat baik maa syaa Allah. Semoga Allah merahmati dan memberikan keberkahan untuk beliau.
Long story short, aku di panggil, "Nak, apakah kamu sudah memiliki pacar atau calon suami ? " Tanya beliau. Tentu saja aku kaget sekali. Seketika ku jawab "Belum ibu".
Beliau ingin mengenalkanku dengan keponakannya. Dari cerita beliau, terdengar 'si dia' adalah lelaki yang baik, punya agama yang baik dan akhlak yang baik in syaa Allah. Aku mengiyakan, mau mencoba untuk kenal. Dan rencana kalau aku iya, si dia akan mengambil cuti dan menemuiku di kemudian hari. Begitu cerita beliau padaku.
Bodohnya, aku tidak menanyakan siapa namanya. Tapi bagiku tidak terlalu penting, kali ini aku menyerahkan semuanya pada Allah. Benar-benar berpasrah. Bagaimanapun akhirnya, Allah mengetahui yang paling terbaik.
Selepas pulang dari pertemuan itu, ku bawa "wacana" Perkenalan itu dalam setiap sujud. Dalam setiap istikhorohku.
Ya Allah.. Aku beristikhoroh dengan ilmu-Mu, aku memohon petunjuk dengan kekuasaan-Mu. Engkau Maha mengetahui sedang aku tidak. Engkau mengetahui segala hal yang ghoib yang tidak ku ketahui. Ya Allah, jika laki-laki yang akan di kenalkan bu A padaku adalah lelaki baik, yaitu baik untuk urusan agama, dunia dan akhiratku. Maka mudahkanlah prosesnya, berkahilah setiap langkah prosesnya, dan takdirkanlah kebaikan pada kami. Persatukan kami dengan ridho-Mu. Namun jika sebaliknya, hal tersebut buruk untuk agama, dunia dan akhiratku nantinya maka palingkanlah dia dariku dan palingkan aku darinya. Berikanlah ganti terbaik. Buatlah aku ridho dengan segala keputusan-Mu.
Kira-kira seperti itu doa yang selalu ku lafadzkan selama 3 minggu terakhir.
Akhirnya Allah jawab doaku dengan "tidak".
Sore itu beliau menghubungiku kembali, seraya meminta maaf karena 'si dia' tiba-tiba ragu, beliau kecewa dengan keponakannya itu. Pun beliau sangat merasa tidak enak denganku.
Sungguh, aku tidak ada prasangka apapun kepada beliau kecuali kebaikan. Beliau adalah ibuku semasa di kampus dulu. Beliau adalah guru yang akan selalu ku hormati.
"Tidak mengapa ibu, doakan kami segera menemukan jodoh kami nggih ibu.. Entah kami berjodoh atau tidak, semuanya sudah Allah atur in syaa Allah. Saya sangat sayang dengan ibu, dan tidak akan ada yang berubah selepas ini. Ibu jangan bosan kalau mau mengenalkan saya loh bu, hehe" Kita kira begitu balasan saya pada chat yang panjang dengan ibu dosen tercinta.
Perihal pasangan hidup, Allah telah mengaturnya. Jangan menuhankan ikhtiar kita, apalagi perihal pasangan hidup. Urusan ini tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Maka mintalah petunjuk Allah.
Tulisan ini untuk menasihati diriku sendiri, bahwa bila suatu saat berproses kembali, tetaplah berpegang pada Allah. Minta di pilihkan-Nya. Minta di temani Allah dalam setiap proses ikhtiarnya. Agar tidak salah pilih, agar tidak ada kata "kecewa" Atau patah hati bila proses itu gagal.
Allahku.. Sepenuhnya aku menyerahkan urusan ini pada-Mu.
Blora, 31 Maret 2024
10 notes · View notes
ruang-bising · 7 months
Text
Sepenggal Tulisan Bising Diri Sendiri [ Bag. 1]
Sore itu aku pulang ke asrama dengan perasaan yang campur aduk. Sembari menaiki motor tua. kubiarkan hujan membasahi tubuhku sepanjang jalan Margonda kearah Juanda. Kecepatan yang normal tapi seolah membawa tatapanku ke depan. Ketakutan, kekhawatiran, penolakan. Kata ibuku, aib adalah hal yang mesti ditutupi, cukup tersimpan rapih di hati. Apalagi aib tentang keluarga. Kata hatiku, aku harus menjelaskan segala hal, agar jawaban yang kuterima telah melewati pertimbangan yang rasional.
Sejak bertemu kembali dengannya beberapa bulan yang lalu, hidupku berubah drastis. Aku yang merasakan, mungkin dia tidak. Aku tak menyangka jika membangun kembali hubungan dengannya membawaku sejauh ini diintervensi oleh keluarganya. Tak apa, justru aku senang, aku akan belajar mencintainya, sepaket dengan seluruh kehidupannya; masa lalunya, keluarganya, mencintai secara penuh. Namun apakah mungkin ia bisa menerima seutuhnya diriku? Masa lalu, keluargaku, dan kegetiran lain dalam hidupku?
Hari ini genap satu minggu aku memikirkan itu. Aku bisa menerima dia, keseluruhan tetapi tetap bertumbuh bersama. Aku akan bercerita, ketika kelak aku sudah yakin bahwa seseorang itu memang pantas menjadi pendamping hidupku kelak. Dan yang pertama kali kuhubungi ialah ibunya.
"Mi..." (aku memanggilnya umi) aku mengawali pesan whatsapp.
"Iya, de.." jawabnya.
"Aku sudah siap jelasin ke umi, besok.. bisa?"
"InsyaAllah bisa de..."
Aku tidak peduli dengan keelokan paras, keturunan, ataupun kemegahan harta. Aku hanya mengkhawatirkan penerimaannya. Aku berusaha memutar kembali ingatan tentang dia. Di lorong-lorong kelas, gunung, air terjun, cafe, tempat makan, selasar toko buku, jalanan kota bersama rinai hujan, pelosok desa, kenangan berupa jingganya langit, semuanya terasa berkesan. Bagiku. entah bagaimana baginya. Ingatan tersebut membuatku sedikit tenang.
Tak ada yang boleh kututup-tutupin darinya. Aku ingin memulai kehidupan yang baru. Aku ingin menyelesaikan beban berat yang selama ini kupikul. Aku ingin ditemani dengan dia yang bisa menerimaku seutuhnya. Dengan kejujuran. kejujuran itu langsung kuutarakan kepada ibunya, walau resiko terbesar saat itu ialah mundur dari medan juang. Tak apa. Penerimaan itu tidak bisa dipaksakan. Aku hanya ingin pulang, tapi entah ke mana. Aku hanya ingin berada di tempat dimana ada kehangatan hati dan penerimaan.
Aku berusaha tampil sebaik mungkin hari itu, seolah tidak ada beban yang kupikul, berat sekali rasanya mengingat detail kejadian masa lalu. Di taman pinggir kota, di selasar panjang yang berhadapan langsung dengan sungai terbesar kota ini menjadi saksi energiku terkuras mengutarakan latar belakang serta kejadian di masa lampau.
"Keadaanku tidak sempurna, begitupun keluargaku. Berantakan. Dissfungsional family. Aku benci keadaanku. Aku ingin membangun keluarga yang baru, yang hangat, yang menjadi sebenar-benarnya tempat pulang. Waktu umi memintaku untuk bercerita, itu merupakan hal yang aku inginkan sekaligus yang kutakutkan." Kalimat pembuka, yang di susul dengan panjangnya kegelapan-kegelapan.
(Berlanjut.......)
25 notes · View notes
hanyaaingin · 2 months
Text
Aku akhirnya menikah...
Betapa aku sangat sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah melalui pernikahan, sampai menuliskan judul tulisan ini, air mataku sudah menetes. Maha Romantis Allah dalam perjalanan 7 bulan pernikahan ini, Maha Suci Allah atas segala nikmat dan kebaikan-Nya kepada kami dalam perjalanan ibadah panjang ini.
Setelah lulus sarjana di tahun lalu, tidak pernah ada rencana menikah dalam list-ku, target menikah pun sangat jauh dari rentang waktu yang kurencanakan. Sampai akhirnya, satu pekan setelah yudisium, seorang laki-laki yang sedikitpun tidak pernah terdengar namanya ditelingaku, menyampaikan niat baiknya ingin mengkhitbahku setelah aku wisuda.
Aku menolak, yang kutahu tentangnya hanya background pendidikan S1-nya dan tahun lulusnya. Selebihnya dia asing. Aku sampai kebingungan, atas landasan apa dia ingin mengkhitbahku sedangkan kami tidak mengenal satu sama lain, kami tidak pernah saling melihat secara langsung, bahkan namanya-pun tidak pernah terdengar, sekalipun ternyata dia datang dari lingkungan yang cukup dekat denganku.
Terlepas karena itu, alasan utama aku menolak karena aku ingin melanjutkan pendidikan S2, itu target ku setelah lulus. Aku hanya ingin fokus untuk pendaftaran S2 dan beasiswa yang sekiranya bisa menjadi penopang untuk biaya pendidikanku.
Tapi ternyata, Allah berkehendak lain. Setelah melalui begitu banyak pertimbangan besar, begitu banyak pergejolakan perasaan yang kulewati, begitu banyak penyesuaian, begitu banyak ketakutan yang kurasakan, aku akhirnya memutuskan menikah.
Aku masih mengingat dengan jelas, bagaimana aku berperang dengan perasaanku untuk memilih antara melanjutkan S2, atau menikah, atau melanjutkan S2 dan menikah. Hingga Allah berikan petunjuk-Nya, jalan terbaik dari-Nya, yang akhirnya mengantarkan aku untuk menikah dan tetap melanjutkan S2.
Meskipun dengan itu, ada banyak hal yang harus dikorbankan, ada banyak hal yang rasanya menjadi sangat berat untuk dibayangkan, ada banyak hal yang harus ditunda. Tetapi, InsyaAllah kami setiap harinya berjuang dan berusaha untuk yakin bahwa takdir yang sedang kami jalani adalah skenario terbaik yang telah Allah siapkan.
Terima kasih ya Kak, sejak awal kita percaya bahwa hidup bersama adalah dengan tidak mematikan cita-cita masing-masing. Terima kasih karena memilih untuk menikahiku dengan cepat, meskipun dengan cepat pula kamu harus merelakan kita berpisah sementara dan mengizinkanku untuk melanjutkan S2.
Ini tidak pernah mudah, benar-benar tidak mudah, tapi semoga Allah selalu menguatkanmu, menguatkanku, menguatkan kita. Terima kasih sudah memberikan support dan nafkah penuh untukku sebagaimana yang kamu janjikan dulu. You are the best.
Semoga Allah selalu melindungimu, memberikanmu kesehatan, memudahkan pekerjaanmu, melancarkan rezekimu. Semoga hari-hari yang kamu jalani disana selalu dipenuhi keberkahan.
Selamat menabung sabar ya Kak, till we meet again. May Allah subhanahu wata'ala always be with you wherever & whenever you are.
Bogor, 15 Februari 2024
Merindukanmu, dipenghujung sore.
4 notes · View notes
ulvafdillah · 2 years
Text
KILAS BALIK
Tumblr media
Membaca tulisan lama seperti menjelajah pada ruas-ruas jalan di mana aku pernah bertanya-tanya perihal takdir yang menyembunyikanmu.
Puisi-puisi yang kusukai, serupa bintang nun jauh. Ia bercerita perihal nama, namun entah mengarah pada sosok yang mana?
Kanigara yang kau sukai adalah alasan puisi itu ada. Bergulir pada kata demi kata yang nyatanya kini menjadi doa-doa yang telah diijabah.
Aku juga melihat deretan buku serta lampu-lampu kamar yang terangnya masih sama. Pun lipatan baju yang menggambarkan banyak rasa; yang kusembunyikan, yang ditinggalkan, juga yang terlupakan.
Di tempatmu saat aku tidak sedang menemani, warna langit sore telah kuhitung berulang-ulang. Dan tidak kudapati perasaan lega selain rapalan semoga yang dijawab satu per satu oleh-Nya.
Pada kanvas abu-abu hidupku, kau hadir dengan ragam corak yang memukau.
Ribuan sepi telah kita lalui sendiri-sendiri. Sebelum akhirnya takdir membawa kita pada gerbang pernikahan yang harus dilalui.
Kita meretas sepi bersama. Di waktu-waktu saat orang-orang mulai memejamkan mata, kau mengajarkanku memaknai lengangnya jalan kota. Bercerita banyak hal sembari tertawa. Meresepi tiap rindu pada orang-orang yang tidak lagi mampu kau tatap mata dan wajahnya.
Kau mengajarkanku menjadi perempuan dengan segudang rasa yang dibalut ikhlas. Perihal cinta yang bentuknya kau kemas dalam kotak pengorbanan tanpa balas.
Tuan, pada pengembaraan panjang kehidupanku, jadilah rumah yang dengannya rasa bosan tidak mampu mengetuk pintu. Pun dengan segala keterbatasanku, aku akan menjadi rumah yang selalu layak untuk kau huni di sepanjang usiamu.
Karena sungguh, bahagiaku amat keterlaluan, Tuan. Kerap kali ia berbisik bahwa "Mencintaimu adalah pekerjaan mengingat-ingat jutaan doa yang kini telah dikabulkan."
📸 04 Juli 2022
108 notes · View notes
babblingpipit · 2 months
Text
It is what it is
Sedang di United Club lounge gara-gara flight terusanku dari Chicago ke Aspen di cancel. Kalo dipikir-pikir lumayan banyak drama yang mengikuti trip yang bahkan baru dimulai ini. Aku ke Aspen, Colorado ini dalam rangka konferens tentang debu, topik PhD yang udah 3 tahun terakhir ini ga aku kerjain lagi (masih sih, tapi sebagai project students S1 tahun lalu sama high schoolers tahun ini, intinya itu model sejak terakhir dipublish di 2020-2022 udah gaada update lagilah). Tapi berhubung debu adalah salah satu cinta pertama w di astronomi, ini topik akan selalu deket di hati dan penasaran aja orang-orang ngerjain udah sampe mana. Dan kangen juga ngobrolin debu sama orang yang beneran excited tentang debu. Long story short aku kirim abstrak terus keterima yay!
Konferensnya tanggal 3 Maret nih mulainya, talknya mulai senin pagi terus minggu malem ada reception. Jadi aku booking pesawat Minggu pagi banget dari Boston, layover 45 menit di Chicago, terus harusnya langsung terbang Chicago - Aspen nyampe sekitar jam makan siang. Jadi kupikir bisa lunch dan boci dulu di hotel sebelum siap-siap reception.
Nah, kebetulan paspor Adit tuh abis tengah Februari, jadi kita trip ke DC buat perpanjang paspor. Pasporku abisnya masih Juli tapi yaudah sekalian aja mumpung udah di DC aku perpanjang. Waktu itu kita appointment paspornya masih H-3minggu dari trip ke Aspen ini jadi kupikir masih amanlah ya paspor seminggu juga jadi, terus kirim pake pos ekspres paling 2-3 hari nyampe. Ternyata mepet dong setres kirain gaakan berangkat. Sampe hari Senin di 2 minggu setelah appointment belum dikirim juga sama KBRI, udah aku telponin hampir tiap hari dari Selasa seminggu setelah appointment padahal. Terus baru dikirim hari Selasa degdegann secara teori harusnya nyampe Kamis-Jumat tapi kalo ada apa-apa udah aja aku hari Minggu ga berangkat huhu. Panik tiap detik ngupdatein status pengiriman di website USPS. Alhamdulillah Kamis beneran nyampe ya Allah.
Akhirnya aku Jumat baru bikin slides buat talknya. EH aku lupa dong bentuk abstrak yang kukirim 5 bulan lalu kayak gimana WKWK badut. Biasanya bakal di post di konferens program apa websitenya tapi ini tuh konferens kecil yang ga seterbuka itu gitu loh huhu. Akhirnya email ke komite konferensnya minta copy abstrak sendiri WKWK BADUT semoga ane ga dijudge.
Lanjut terbang tadi pagi jam 6am banget dari Boston, bangun jam 3.45 tapi tidurnya yang ga nyenyak gituloh kalo flight pagi. Udah khawatir banget harus lari-lari di Chicago geret koper (karena ane team Carry On all the way). Eh alhamdulillah nyampe Chicago setengah jam lebih cepet. Dengan chill melenggang keluar pesawat dan ngaktifin mobile service cuma untuk mendapat SMS bahwa flight dari Chicago ke Aspennya DICANCEL??? Yang bener aja dong u united yaAllahhh. Mana dapet rebookingnya buat besok pagi (?) terus pilihan lainnya masa flight via LA (?) sore ini. Yakaleee ane ke west coast dulu udh nyampe Chicago yg tinggal sekali flight ke Aspen.
Terus ke customer servicenya United dan GAADA ORANG gile, akhirnya scan QR code buat nelepon service agentnya terus dibookingin flight yg ke Aspen jam 3pm dan standby di flight yang jam 1pm. Mind you ini tuh masih jam 8am waktu setempat ya. Buset lama bgt ane ngetem di Chicago kan. Mau keluar airport males, tapi airportnya juga bukan yang fancy gimana gitu. Akhirnya setelah berpikir panjangg, kita beli day pass ke lounge aja mayan mam AYCE dan bisa ngetem dingin ga berisik. Asalnya mau ngetem di restoran beli sarapan tapi diitung-itung abisnya ga jauh lebih dikit dan kayanya lebih nyaman lounge.
Terus ya pas aku buka appnya ada pilihan buat pindah flight dengan pasti ke yang jam 1pm terus pas aku pencet keluar nomor kursi dan boarding passnya! (gaada tulisan standby lagi) TAPI ini boarding pass gabisa kesimpen di apple wallet ahahahah jujur takut baru pertama kali standby flight begini. Doakan aku yah geng semoga bener ini dapet flightnya bismillahh.
2 notes · View notes
mayweblue · 1 year
Text
ada toko musik tidak jauh dari alun-alun. pemiliknya seorang aktivis skena punk yang membaca nietzsche.
kalau ada pembeli, dia akan menutup bukunya, lalu mencarikan senar, pick, capo, stik, atau apapun yang dibutuhkan, menerima uang, memberikan kembalian, kemudian sudah. orangnya pendiam dan bajunya selalu hitam. meski demikian, dia hapal kalau aku hanya membeli senar piramid, nomor lima, karena dari keenam senar gitarku cuma yang A yang punya rutinitas putus satu bulan sekali.
"piramid mas. senar nomor lima."
dia mengangguk, menutup bukunya, lalu membalik badannya untuk mencari senar yang kubutuhkan. biasanya, aku tidak tertarik untuk mengajaknya bicara. terutama karena dia tidak kelihatan ramah dan dia lebih suka baca buku. tapi, hari itu, tiba-tiba aku ingin mengajaknya ngobrol.
"ini orang—" aku menunjuk bukunya. "—kubur tuhan di mana?"
saat itulah, aku mendengarnya tertawa untuk pertama kalinya.
"di kepala kali ye," katanya. "orang yang paling ngerti tuhan biasanya malah yang paling nggak kenal tuhan sama sekali."
"soalnya kata dia, tuhan adalah kebohongan manusia yang paling tahan lama," aku menerima senar nomor limaku. "padahal, nggak pernah ada yang paksa percaya."
tidak lama setelah itu, adzan magbrib berkumandang. kami diam beberapa saat, hingga saat adzan usai dan si punky ini—mari kita bersepakat memanggilnya begitu—tertawa terbahak-bahak. lalu dia bertanya padaku,
"ngeband atau apa?"
aku mengangguk, "main-main aja. paling bulan depan personilnya udah bubar."
"punk?"
"pop punk. tapi iwan fals juga boleh."
kami mengobrol beberapa saat, dan dari situ aku tahu sedikit banyak. dia tidak punya hidup yang dramatis. maaf kalau kalian mengharapkan itu. dia cuma orang biasa yang tidak menyebutkan umurnya, aktif di skena sejak SMA, hidup di bawah tanah sampai dua tahun lalu dia berhenti berkelana dari menumpang satu truk ke truk lain, dan memutuskan bekerja di tempat ini.
waktu iqomat, aku pamit pulang. membayar senar, berkata terimakasih, lalu pergi. saat itu, aku dengar dia berkata, "makasih, ya."
sejak hari itu, tidak permah aku ke sana lagi selama beberapa tahun. aku tak pernah tahu kabar punky, tak pernah mengingatnya sepanjang beberapa saat aku pergi dari satu kota ke kota lainnya, dan tidak terbesit juga untuk penasaran apa yang dia lakukan sekarang.
sampai hari ini aku iseng melewati alun-alun lalu ingat kalau senar nomor limaku putus lagi kemarin sore.
waktu datang ke sana, toko musik itu ternyata sudah lama tidak buka. di bagian pintu serinya masih ada tulisan 'punk dekat dengan tuhan' yang sudah ditimpa beberapa tulisan serta gambar lainnya meski toko itu kelihatannya tutup permanen. tak ada harapan untuk jejak-jejaknya. jadi aku tidak berharap tahu-tahu toko ini kembali buka, untuk kembali kulihat punky duduk sendirian di kursi kasirnya, membaca buku, tanpa banyak bicara. aku tidak tahu sekarang dia ada di mana.
aku menghela napas, lalu berbalik menuju masjid untuk sholat ashar. sambil berdoa, semoga punky baik-baik saja. dan ia tak lagi terpojok oleh asumsi-asumsi atau penghakiman.
sebab, seperti tuhan; dalam pikiran, segalanya akan selalu aman.
Tumblr media
23 notes · View notes
ceritaksara · 2 months
Text
Ini aku, masih sama
(tulisan lamaaaa)
Sore yang cukup singkat. Temanku, hari itu mengajakku pergi sebentar, ya sekedar ngobrol ngobrol. Masjid Gedhe jadi saksi bisunya. Diiringi sahutan sahutan anak kecil yang masih asyik menghabiskan waktu sorenya, mungkin juga sembari menunggu masjid dibuka. Kita berbicara, kurasa pembicaraan yang cukup terang terangan dari biasanya.
"Fa, kamu tu hilang. Ragamu ada, tapi ini bukan jiwamu." Begitu kurang lebih inti pembicaraannya, dengan hati hati dia menjelaskan semua yang dia dan teman lainku rasakan. Menjelaskan keganjalan yang setahun belakangan ini terjadi khususnya padaku. Aku menangis. Pikiranku melayang, membayangkan semua memori satu tahun terakhir, membayangkan sampai akhirnya dia berkata seperti itu, yang sedang berhadapan dengan sosok diriku yang katanya bukan diriku sesungguhnya. Aku menangis. Banyak sekali yang ingin ku ungkapkan. Saat itu aku hanya berharap tangisku bisa menjadi sedikit jawaban. Bahwa aku memang sedang tidak baik baik saja.
Terlalu banyak ketakutan dalam pikiranku. Aku takut, mengatakan semuanya sama, akan ada pihak yang tidak berkenan dengan pernyataanku. Akan ada kata yang tidak pantas diungkapkan. Entah, setauku dari dulu aku tidak pernah membiarkan orang tahu sampai dalam tentang diriku. Mungkin semua momen ini bertepatan jadinya temanku merasa aku hilang.
Tapi tangisku, tidak hanya menunjukkan tidak baik baik saja. Aku menangis, menangis haru atas kepedulian mereka terhadapku. Aku tahu, banyak langkah yang harusnya tidak aku ambil, tapi mereka masih menghargai ku bahkan memikirkanku saja masih sempat. Meskipun nyatanya kita tetap kurang komunikasi, ya karena aku yang terkesan pergi. Aku terharu, teman seperti itu masih bisa dicari gak sih? Meski dengan sederet keganjalan ku pada mereka di tengah kelebihan juga kekurangan. Aku sayang sama mereka semua.
Teruntuk temanku, sahabatku semua,
Makasih ya, udah pernah peduli.
Aku masih sama kok
2 notes · View notes
karenapuisiituindah · 2 years
Text
UNTUK SEORANG AYAH YANG MENUNGGU KABAR ANAK LELAKINYA.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat Sore, Pak Ridwan Kamil.
Saya menulis ini sebagai terapi untuk kegelisahan, keresahan, dan tentu saja kesedihan saya. Selama berhari-hari saya tidak pernah lupa untuk menengok semua media sosial yang saya punya untuk mencari kabar terbaru mengenai Eril. Seperti juga jutaan rakyat Indonesia yang mengetahui kabar duka itu, saya tidak pernah berhenti berdoa dan berharap ada keajaiban. Saya percaya, doa adalah penguat ketidakberdayaan hati dan raga. Betul kan, Pak?
Saya bukan siapa-siapa, Pak. Hanya seorang istri biasa, juga seorang ibu bagi seorang anak laki-laki berusia 8 tahun. Dan tidak lupa, juga seorang anak bungsu sepasang orang tua yang sudah berusia senja.
Saya tidak sanggup untuk tidak meneteskan air mata setiap melihat video atau foto bapak yang berdiri di pinggir sungai. Seperti ingin berbicara pada semesta, terutama pada seisi sungai, seraya bertanya, “Nak, kamu ada di mana?”
Tumblr media
Saya tinggal jauh dengan orang tua. Ayah saya, yang merupakan seorang yang jarang sekali meneteskan air mata di hadapan anak-anaknya, sempat beberapa kali meneteskan air mata saat kami berpisah di bandara. Dengan berat hati, saya juga menahan diri sekuat tenaga untuk tidak terbawa suasana. Meski saya juga bersedih, entah mengapa saya tahu bahwa kesedihannya melebihi kesedihan anaknya. Sehingga, Pak. Rasanya saya tidak bisa mendeskripsikan kesedihan sedahsyat apa yang sedang bapak rasakan saat ini, gemuruh sehebat apa yang bapak kendalikan di dalam dada setaip detik, beban seberat apa yang sedang bapak tanggung saat ini, juga air mata sebanyak apa yang sedang berusaha bapak sembunyikan. Rasanya menyakitkan sekali menyaksikan itu semua.
Ada kutipan yang sangat membekas di ingatan saya, dari sebuah drama korea yang pernah saya tonton (Hi, Bye, Mama),
"Istri yang ditinggal suami itu janda. Suami yang ditinggal istri itu duda. Anak yang ditinggal orang tua itu yatim piatu. Tapi kenapa tak ada sebutan untuk orang tua yang ditinggal anak? Karena tak dapat dibayangkan. Tak ada kata yang bisa mendeskripsikan penderitaan itu."
Tak ada yang bisa mendeskripsikan kesedihan Bapak. Bahkan melalui tulisan, rasanya begitu sulit dan menyakitkan. Namun demikian, terima kasih untuk semua pelajaran yang bapak berikan pada kami. Kekuatan dan ketabahan itu, saya bisa merasakannya. Meskipun rasanya terlalu sakit, tapi terima kasih sekali lagi, Pak.
Doa kami akan selalu menyertai Bapak, Ibu, dan Adik Zara. Semoga Allah membuka pintu keajaiban itu, sekali lagi. Semoga semua doa dan amin yang kami lafazkan juga adalah doa yang dijawab dengan kebahagiaan.
 Putussibau, 2 Juni 2022. | 15.23 WIB
Tia Setiawati
106 notes · View notes
syarifahsw · 5 months
Text
Bagian Dua; Acara Sakral
Batinku seolah berbicara, meskipun masih ada rasa yang tak mau hilang. Aku takut sepi, tapi yang lain masih berarti. Kemungkinan mereka ada hanya sebagai teman asyik, sahabat, bahkan saudara dekat yang mengerti frekuensi pikiran yang memenuhi isi di kepalaku bukan sepenuhnya untuk dimiliki.
Ya, aku paham betul akan hal itu. Segala rindu itu aku simpan rapat-rapat. Jika mungkin nanti aku bertemu dengannya. Akan kuceritakan bagaimana hidupku setelah ditinggal pergi oleh seseorang yang tidak mungkin ku sebutkan namanya dalam tulisan ini.
Momen Wisuda Periode 5
Entah bagaimana skenario pencipta mengaturnya. Aku dipertemukan dengan seseorang yang pernah aku kagumi sejak 2019 yang lalu. Aku simpan semua rasa itu. Hingga pada akhirnya, tidak bisa kupungkiri pertemuannya sejak Gladi Wisuda sore hari. Karena sejatinya tidak pernah bertemu, aku lupa perihal nama dan siapa dia. Yang terbesit dalam pikiranku hanya sebatas wajah yang pernah ku kenal tapi dimana pertama kali bertemu aku lupa akan hal itu. Aku menyerah dan menggerutu "ketemu hari H saja, aku lupa siapa dia. Pastinya nanti, saat prosesi namanya akan disebut dan berjabatan dengan Rektor"
Prosesi Wisuda Periode 5
Gemashhh, aku menikmati acara Sakral sekali seumur hidup. Aku tidak pernah menyesal apa yang terjadi sebelumnya. Sepanjang penyebutan nama wisudawan aku dengarkan dengan serius. Tibalah nama yang tidak asing ditelingaku disebut, aku perhatikan di layar televisi Auditorium yang lebar itu. Akhirnya, aku ingat semuanya bahwa dia adalah orang yang pernah ku kenal di sebuah Organisasi daerah tempat tinggalku. Lucunya, aku hanya bisa tersenyum setelah tahu dan mendengar namanya.
Pikiranku melayang, apa jadinya kalau aku tiba-tiba datang ke kehidupannya dengan sekedar mengucapkan selamat atas gelar baru yang ia dapatkan?
Kedua, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia memang memiliki teman hidup atau yang biasa orang sebut adalah pacar?
Sehari setelah wisuda.
Entah apa yang merasuki pikiranku untuk berani me-reply story instagram miliknya dengan mengucapkan selamat atas gelar baru yang sudah didapatkan?
Baik, dia meresponnya dengan senang hati. Kemungkinan gitu. Yang umumnya aku tidak pernah tau siapa perempuan yang sedang bersamanya. Sepanjang percakapannya, sejenak aku kaget ketika di jujur kalau sudah ditinggal kekasihnya pergi sebelum dia mengerjakan skripsi. Sepintas hal yang sudah biasa aku mendengarnya. Hanya saja berbeda aku mengerjakan skripsi dan menyelesaikannya dengan versi Jatuh cinta dan jatuh suka pada orang yang salah.
Untukmu, tetap semangat menjalankan hidup ya. Aku selalu mendukungmu.
Untuk seseorang yang menghilang pergi entah kemana, aku menunggu hadirmu kembali pada satu waktu dan ditempat yang memang tidak disengaja.
3 notes · View notes
menungguminggu · 11 months
Text
Tentang Tugas Akhir Komfil dan Angkatan Dua Ribu Dua Puluh
Beberapa hari yang lalu, saat saya sedang menemani mahasiswa untuk melakukan PKL di Jogja, iseng-iseng saya membuat soal ujian akhir yang berbeda dari tugas -tugas kuliah yang lain. Selain karena nganggur, maksud saya sebenarnya sederhana. Semester ini adalah saat terakhir mata kuliah itu diajarkan dan saya pengen mengakhiri mata kuliah ini dengan pengalaman yang agak berbeda.  Kelas itu kebetulan adalah angkatan tua dan yang sebentar lagi akan menyelesaikan skripsi dan saling berpisah. Saya meminta mereka untuk membuat esai reflektif tentang perjalanan akhir mereka sebagai mahasiswa tingkat akhir. Semacam paksaan untuk melihat ke belakang. Saya meminta mereka untuk berefleksi atas apa-apa yang sudah mereka lewati selama tiga tahun perjalanan mereka sebagai mahasiswa dan meminta mereka untuk berhadapan dengan kenangan serta penyelesalan dalam jangka waktu itu. Nggak perlu pakai kutipan atau daftar pustaka. Yang saya minta cuma cerita personal biasa, dan kalau memungkinkan, sebuah pesan yang bisa disampaikan pada saya sebagai dosen berdasarkan perjalanan panjang yang sudah mereka lalui.
Tulisan ini adalah hasil refleksi saya sendiri setelah membaca esai-esai itu. Kumpulan tulisan yang rasanya ditujukan pribadi pada saya, oleh mahasiswa yang setelah ini akan beranjak pergi dan menjalani hidupnya masing-masing. Tulisan ini pun saya harap akan menjadi semacam pengingat kelak suatu hari nanti, saat hidup telah penat dan dipenuhi hingar bingar, agar saya bisa menghabiskan suatu sore dengan bernostalgia bersama secangkir teh dan ingatan tentang angkatan dua ribu dua puluh.
Berdamai
Dalam sebuah kesempatan seorang rekan di kampus pernah mengatakan kalau saya ini orangnya terlalu idealis. Terlalu peduli pada hidup mahasiswa. Mahasiswa wes gedhe ngono kok mbok pikir angel, komentar rekan saya itu. Dan seperti banyak hal yang pernah sangat dipuja di masa muda lalu dikhianati begitu saja atas nama ‘kedewasaan’, idealisme saya itu suatu hari nanti pasti akan mati. Pada suatu titik saya pasti akan menjadi dosen pada umumnya, yang bekerja dengan profesional dan lebih berpikir soal karir dibandingkan hidup sok peduli dengan perjalanan hidup mahasiswa. Setelah saya pikir-pikir perkataan itu ada benarnya. Tapi di sisi lain saya sendiri yakin bahwa mahasiswa yang saya jumpai setiap hari itu kan ya manusia juga. Maksudnya, manusia kan yang punya cerita dan perjuangannya masing-masing. Saya tahu kalau menjadi mahasiswa itu nggak hanya soal nilai perkuliahan atau prestasi yang dipamerkan di akun instagram departemen. Alesannya ya karena saya pun juga mengalami masa-masa penuh kerumitan dan pertanyaan seperti itu. Masa yang dipenuhi keraguan soal masa depan dan penyesalan masa lampau yang sayangnya belum selesai. Mahasiswa adalah sebuah perjalanan dan saya merasa perjalanan mereka adalah sebuah perjalanan sunyi. Perjalanan yang walaupun diisi dengan riang tawa pertemanan dan gempita perayaan namun selalu hanya bisa dimengerti dan dimaknai oleh diri sendiri. Mungkin itu alasan saya memberikan tugas ini. Ini adalah cara sederhana saya untuk mengerti perjalanan sunyi itu. Di masa akhir perkuliahan ini saya berharap bisa sedikit memahami cerita kalian. Bukan sebagai seorang mahasiswa, tapi sebagai seorang manusia.
Sejujurnya membaca semua esai yang kalian kumpulkan adalah pengalaman mengoreksi UAS paling sulit yang pernah saya lakukan. Bukan karena soal jumlah esai yang harus saya baca, tapi justru karena beragam emosi yang saya alami saat membaca esai-esai itu. Saya merasa bahwa tulisan-tulisan itu begitu jujur dan oleh karenanya terasa seperti sebuah surat pribadi yang secara khusus memang ditujukan ke saya. Muncul perasaan bahwa saya tidak pantas untuk membaca surat-surat itu, karena bagaimanapun juga saya menyadari kalau yang kalian sampaikan adalah itu adalah hal yang sangat pribadi. Masa lalu, trauma, penyesalan, mimpi-mimpi yang saya yakin tidak bisa kalian buka begitu saja karena rasa takut akan keraguan dan cibiran orang lain, hingga prinsip hidup yang saya yakin kalian pegang dengan sakral ditumpahkan dengan apa adanya dalam lembaran esai-esai itu. Saya berkali-kali harus berhenti membaca dan mendapati wajah saya sendiri melamun ke luar jendela setiap selesai membaca satu file pdf. Dalam lamunan itu terkadang saya menyesali diri saya sendiri. Kenapa saya terlambat mengetahui peliknya masalah yang kalian hadapi dan pengorbanan yang kalian lakukan untuk terus berkuliah. Saya menyesali kenapa saya tidak bisa melakukan sesuatu, atau setidaknya berupaya membuat kehidupan di kampus menjadi sedikit lebih mudah. Di saat yang lain saya mendapati diri saya membaca beberapa esai dengan ekspresi tidak percaya, karena sosok yang menulis esai tersebut sangat berbeda dengan apa yang ia tunjukkan di kelas. Seperti saat seorang mahasiswa yang kelihatan heboh dan super-berisik di kelas menuliskan sebuah puisi panjang dan indah untuk menunjukkan duka yang ia rasakan. Atau mungkin saat seorang mahasiswa yang saya pikir pendiam dan ‘malas kuliah’ menuliskan salah satu esai paling indah dan genuine yang pernah saya baca selama menjadi dosen. 
Saya, pada akhirnya, bisa sedikit melihat kalian dengan ‘sebenarnya’.
Titip Pesan
Sekitar tiga bulan yang lalu, saat saya sedang menunggu pesawat di bandara El Tari Kupang, Raif dari angkatan 2019 (yang saat itu baru saja diwisuda) mengirimkan saya sebuah pesan panjang lewat WA. Dalam pesan itu ada satu kata-kata yang sampai sekarang terus saya ingat. Kata Raif “… Saya bersyukur di fase penutup ini saya tidak menyisakan dendam atau kemarahan untuk siapapun di komunikasi, Mas...”. Mungkin apa yang disampaikan Raif itu sangat menjelaskan dari apa yang sekarang saya harapkan dari kalian semua. Lepas dari apapun perjuangan, pengorbanan, trauma, dan penyesalan yang kalian alami dalam perjalanan kalian, saya berharap kalian semua bisa lulus tanpa menyimpan dendam atau kemarahan. Saya berharap lewat esai itu kalian bisa sedikit berdamai, tidak hanya pada teman-teman kalian ataupun kami para dosen, tapi yang terutama dengan diri kalian sendiri. Saya harap kalian bisa berdamai pada ambisi dan mimpi yang belum tercapai, pada hubungan yang tidak ditakdirkan untuk bersama, pada perasaan yang tidak sempat tersampaikan, dan luka masa lalu yang hingga kini belum mengering. Saya tidak bisa menjanjikan bahwa masa depan akan mudah atau semua hal akan baik-baik saja. Yang bisa saya tawarkan adalah sedikit bantuan untuk melangkahkan kaki ke fase berikutnya dalam hidupmu dengan hati yang lebih lapang. Tugas ini pun saya buat sebagai sebuah tempat pemberhentian sejenak di tengah perjalanan panjang yang telah kalian lakukan. Hingga suatu hari nanti, seperti yang dikatakan Ariel di esainya, kalian akan menemukan lagi esai itu di folder kuliah lama kalian dan melihat betapa jauh perjalanan yang sudah kalian lewati. Saya harap esai itu akan menjadi pengingat bahwa bagaimanapun juga kalian tidak perlu membuktikan apapun, pada siapapun. Bagaimanapun juga kalian sudah bertahan sejauh ini, dan kalian tidak membutuhkan persetujuan siapapun untuk memaknai cerita hidupmu. 
Saat mengobrol di kampus kemarin Dayen mengingatkan saya bahwa mungkin semester ini adalah semester terakhir saya mengajar angkatan 2020, sebelum kalian sibuk dengan skripsi dan kewajiban yang lain. Jika itu benar, maka lewat tulisan ini saya ingin menyampaikan salam perpisahan. Setelah ini kita hanya akan bertemu sekilas pada kebetulan-kebetulan kecil, seperti saat kalian masuk malu-malu untuk bimbingan di departemen dan menemukan saya sedang ngobrol nggak jelas dengan Mbak Chusnul dan kalian lewat sambil mengangguk sopan. Toh itu sejatinya adalah sebuah kewajaran. Beberapa bulan dari sekarang mungkin saya hanya akan menjadi  sebatas nama di kontak ponselmu yang sesekali akan mengingatkanmu tentang kenangan kuliah. Tapi jika saya boleh titip pesan pada kalian, sebelum kita menjadi orang asing yang terikat oleh nostalgia, sepertinya hanya satu: Be kind. Saya tidak meminta kalian untuk jadi orang sukses atau pintar atau terkenal. Saya hanya berharap kalian semua bisa menjadi orang baik. Kalau ada hal yang bisa disimpulkan dari seluruh membaca esai itu ialah saya semakin sadar kalau semua orang punya pertarungannya masing-masing. Di balik gemerlap postingan instagram, riuhnya status WA, atau bersinarnya seseorang di kelas sejatinya setiap orang punya permasalahannya sendiri-sendiri. Andaikata kalian membaca esai milik teman-temanmu yang lain saya yakin kalian akan menyadari bahwa ternyata semua temanmu membawa luka dan bebannya masing-masing. Oleh karena itu di tengah dunia yang mungkin akan terasa semakin menghimpit, di kehidupan yang mungkin akan penuh kebingungan dan keraguan, cobalah untuk terus berbuat baik pada orang lain. Jangan menjalani hidup dengan kemarahan ataupun dendam, atau menjalani hidup hanya untuk membuktikan bahwa kamu lebih baik dari siapapun. 
Dadio wong apik yo rek.
Saya harap kalian semua bisa mencapai mimpi yang kalian inginkan. Tapi di atas itu semua, apapun jalan yang akan kalian ambil, saya harap kalian bisa berbahagia seutuhnya. Tidak peduli apakah nanti kalian sukses atau tidak, berhasil atau tidak, mimpi kalian terwujud atau tidak, kalian semua tetap mahasiswaku. I will cherish and treasure all of your essays, as a reminder of all of our classes together. Dari fotografi hingga PPTV. Dari ujian lisan bersama Prof. Ida hingga foto Katir naek naga indosiar di Banyuwangi karena ketinggalan kereta. Suatu hari nanti saya berharap tulisan ini akan mengajakmu kembali sejenak ke kampus untuk bertemu saya lagi. Di sana kamu akan menceritakan perjalanan panjang yang telah kamu lalui dalam tahun-tahun itu, dan kita bisa mengakhirinya dengan pernyataan “Mas Angga, saya sudah bahagia.” 
Sampai saat itu tiba, saya akan terus menunggu cerita-cerita hidupmu di departemen komunikasi. 
Goodluck, angkatan dua ribu dua puluh. Doa saya untuk perjalanan panjang kalian semua. Farewell.
13 notes · View notes
interlacedinbetween · 11 months
Text
Pilih siapa ketika bermain peran?
Dulu sewaktu merantau di kota orang, saya punya tetangga, keluarga kecil dengan dua anak yang masih kecil-kecil pula. Anak tetangga saya ini, kisaran umurnya 4 tahun, lagi seneng-senengnya main sama anak tetangga lainnya yang umurnya 5 tahun.
Kata si 5 tahun,
'Caaa, ayo main mamah-mamahan yuuuk!'
Disahut oleh yang 4 tahun,
'Iyaa ayoo', sambil ngajak adiknya yang umur 2 tahun.
'Dede, ayo main mamah-mamahan, dede jadi bayinya, cepet pula-pula pup! Nanti Kaka Ica yang jadi mamahnya ngebelsihin.' Kata si 4 tahun, tentu ngomongnya sambil teriak -sampai kedengeran jelas dari kamar paviliun saya.
Tumblr media
Sedikit yang saya perhatikan dari kejadian diatas, saya merasa bahwa peran dan sosok seorang Ibu benar-benar besar. Dalam hal kecil pun (permainan bocah) yang dijadikan figur utama kebanyakan adalah seorang Ibu. Tanpa bermaksud menyepelekan peran Ayah, saya agaknya jarang melihat anak-anak kecil yang bermain 'rumah-rumahan' dan rebutan ingin memerankan sosok Ayah. Apa mungkin karena masih banyak anak-anak yang hanya tahu bahwa Ayah adalah sosok yang pergi pagi mencari nafkah, lalu pulang sore sambil membawa oleh-oleh, yang disambut peluk hangat ketika jam 6 petang sampai depan gerbang. Dan barangkali sang anak 'belum' tahu apa yang diperjuangkan ayahnya ketika di luar sana? Sedangkan mungkin, sosok ibu jauh lebih dipahami, terlebih jika sang ibu sepenuhnya hadir di sisi sang anak dan bisa menyaksikan tiap detik tumbuh kembangnya. Sehingga anak lebih bisa memainkan peran tersebut seperti keseharian yang ia perhatikan.
Barangkali begitu ya. Tapi...
Di era sekarang dan mungkin beberapa tahun belakangan, sudah banyak orang yang sadar, bahwa peran orang tua selayaknya bisa penuh dan sama-sama imbang. Tidak berat dan memberatkan sebelah pihak saja. Baik Ayah maupun Ibu, baik Ayah pekerja maupun Ayah Rumah Tangga, baik Ibu pekerja maupun Ibu Rumah Tangga, keduanya sama-sama tangguh, sama-sama hebat ketika memerankan sosok di luar maupun di dalam rumahnya.
Sehingga, ketika ada Ica-Ica lain yang berusia di bawah 5 tahun dan sedang bermain 'rumah-rumahan', semuanya akan sama-sama imbang untuk memilih sosok Ayah & Ibu tanpa rebutan.
Bahas hal yang serius begini emang perlu kajian lebih jauh lagi, banyak variabel, banyak teori sampai praktek study case, ya itu sih kalau mau jadi published paper yaa. Kalau mau jadi random notes semacam sih, gak perlu kan 😅✌️
© yukidwip 2023, akhirnya intro tulisan ini gak cuma jadi draft berdebu ✨
7 notes · View notes
khoridohidayat · 1 year
Text
Alasan Allah Memberimu Jalan Hidup yang Sulit
Pernah tidak, kamu berada di situasi yang betul-betul sulit dan sepertinya hari itu gelap dan tidak akan ada harapan lagi?
Mungkin kamu pernah mengalaminya beberapa kali, bahkan sering.
Kemudian kamu menanyakan kepada Tuhanmu, mengapa engkau diberikan cobaan yang sepertinya selalu berat dibandingkan teman-teman disekitaranmu. Mereka, sepertinya hidup aman-aman saja; mempunyai pekerjaan yang tetap, pendapatan yang cukup, dan bahagia menjalani hidupnya. Sedangkan dirimu, harus bekerja keras membanting tulang berangkat pagi pulang sore, berdesak-desakan dengan motor pekerja lain di jalan, hingga berhimpit-himpitan di gerbong KRL hanya untuk berangkat ke kantor. Belum lagi dengan tekanan atasan yang menuntut ini itu dan mempunyai pandangan yang berbeda.
Barangkali, hidup kita yang sulit ini memang telah disetting oleh Allah agar kita mempunyai pundak yang lebih kuat dibandingkan orang lain.
Seorang anak muda yang sedang merintis bisnis pasti akan lebih pusing daripada mereka yang bekerja dibawah kontrol orang lain. Mereka yang bekerja, setidaknya telah mempunyai job desk yang jelas, teratur dan terjadwal. Sedangkan mereka yang sedang merintis bisnis, jelas, mereka harus meraba segalanya dari potential partner, alur bekerja, surat menyurat dan lain sebagainya. Tapi, mereka yang sedang merintis bisnis pasti mempunyai self management yang lebih baik karena hasil dari tuntutan kerja yang dia buat sendiri. Mereka akan lebih mudah beradaptasi ketika masuk kedalam role yang berbeda; pandangannya luas, sikapnya tenang dan bisa mengambil peluang-peluang penting pada beberapa tahun kedepan.
Sama juga sperti kamu. Mungkin kamu sedang kepayahan mengatur keuanganmu yang selalu habis untuk bayar kos, makan dan keperluan lainnya. Tapi sadarlah, kamu hebat. Paling tidak kamu sudah berusaha untuk hidup sendiri tidak menyusahkan orang tuamu dirumah. Kamu sudah bisa mengatur cashflow mu walaupun masih ada beberapa pos yang bocor. Coba lihat, banyak diluar sana orang yang hanya tidur dirumahnya, malas mencari pekerjaan, dan malas juga beribadah. At least, kamu telah bekerja dan menghidupi dirimu sendiri, dan itu bernilai ibadah ✨✨.
Jangan pikir ibadah hanyalah shalat, puasa dan zakat. Kamu yang bekerja keras untuk dirimu sendiri juga sedang beribadah. Pahalamu mengalir setiap energi yang engkau curahkan dalam pekerjaanmu.
“Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah.” (HR. Ahmad).
Itu baru soal ibadah. Tentang karakter yang terbentuk, kamu yang sedang berjuang menghidupi diri sendiri pasti mempunyai karakter yang lebih kuat daripada mereka yang hidupnya santai-santai. Mungkin iya kamu harus berpikir 2x dalam menghabiskan uangmu, kamu harus lebih berhati-hati. Tapi memang disitulah karaktermu akan terbangun, kamu akan menjadi lebih menghargai uang dan pekerjaan. Banyak orang diluar sana yang mempunyai penghasilan tinggi, tapi juga mempunyai hutang yang selangit.
Mungkin hidupmu yang sulit hari ini memang skenario Allah untuk membuatmu menjadi manusia yang lebih kuat dan menghargai oranglain.
Tumblr media
Note:
Tulisan ini adalah hasil karyaku mengikuti tantangan 30 Writing Challange. Selain berbentuk tulisan, aku juga menyempurnakan gagasan yang tertuang disini dalam bentuk gambar seperti yang teman-teman bisa lihat diatas. Gambar tersebut adalah hasil karya Artificial Intelligence yang selalu berkaitan dengan topik yang sedang diangkat, agar bisa lebih membawakan emosinya.
Terimakasih telah membaca!
17 notes · View notes
ihsnfkri · 1 year
Text
Tentang Sebuah Latar
"Coba aku baca ceritamu," ucap Sumi sore itu. Kami sedang bersantai di sebuah saung yang tegak berdiri di lingkungan fakultas kami.
Sebelumnya.
Saya sendirian, tapi beberapa menit lalu anak perempuan yang mempunyai gigi putih yang kecil-kecil rapi tersusun itu, dengan pupil matanya yang besar, mengenakan setelan olahraga dan kerudung langsung warna hitam (ternyata ia batal latihan tari hari ini) memaksa untuk menemani saya – begitulah—anak ini sangat pemaksa.
"cuma sendirian?" tanyanya tadi. Lewat sambungan telepon saya mengiyakan. Iya sendiri, jawab saya. Ia kembali mempertanyakan hal yang sama, kali ini dengan nada kasihan. saya tak menjawabnya karena malu, selang beberapa detik ia kembali bersuara: Oke aku temenin ya. Hmm yaudah terserah, saya mengalah.
Dan sekarang.
"Udah bagus sih," komentarnya. Saat ini saya menatapnya tajam sekali. Saya benci respon yang hanya terdengar basa-basi. Bahkan jika boleh memilih, saya lebih suka di kritik dibandingkan mendapat pujian sepintas lalu semacam ini.
"Baiklah aku akan sedikit jujur"
"Banyak juga gak apa-apa," balas saya tak mau kalah. Ia tersenyum tipis, manis sekali. Saya bahkan tak bisa mendapatkan kesimpulan atas senyum itu. Tapi—
Lupakan senyumnya. Kira-kira beginilah kritik yang dia berikan kepada saya. Meski tidak terdengar seperti nyatanya tapi beginilah saya memahami kritikannya:
Latar dalam cerita itu ibarat komponen di wajahmu. Seperti mata, hidung, rambut, mulut dan sebagainya. Nah, setelah aku baca... Ceritamu persis seperti wajah kosong datar, yang kamu kuatkan cuma karakternya dan minim sekali latar.
Hebat betul analoginya, wajah adalah karakter dan elemen pelengkapnya adalah latar cerita. Saya mengiyakan. Tapi di dalam hati masih ada yang mengganjal.
Ini memang pertama kali saya memperlihatkan tulisan saya kepadanya. Selama ini kami memang hanya bertukar cerita hidup satu sama lain. Mengintip visi dan nilai kehidupan masing-masing dan saling menunjukkan ketertarikan. Ya, mungkin sebetulnya cuma saya yang merasakan hal itu.
"Oh begitu ya?" tanya saya balik, ia nampaknya menangkap ketidakpuasan. Kini ia beringsut dekat, merapatkan jarak diantara kami. Saya seperti bisa mencium aroma strawberry dari dirinya. Mungkin parfum atau bau mulutnya? ah tidak-tidak, saya mikir apa coba. Tapi saya malah mencuri pandang ke arah bibirnya. Terlihat adanya balutan bewarna pink cerah menghiasi. Sejujurnya dengan jarak sedekat ini dada saya sudah kembang kempis, perut saya mual dan irama jantung saya bertambah cepat. Ah, saya memang tidak biasa di posisi semacam ini. Maklum jomblo.
Astaga kenapa jadi curhat dan mikir yang enggak-enggak?
"Sebetulnya..." ujar saya memulai. Anak ini kemudian mengalihkan pandangan dari laptop yang bertengger di pangkuan saya. Pupilnya nampak makin membesar, bahunya terangkat dan gerak tubuhnya nampak tertarik.
Pupil matanya sesekali berkedip kini. Entah karena penasaran atau mungkin karena tersapu angin.
Kami memang punya banyak perbedaan, sering berdebat dan tak sekali dua kali bertengkar. Tapi nampaknya itu yang membuat pertemanan kami tetap hidup. Iya, pertemanan. Bagi saya itu sudah cukup.
"sebetulnya?" Tanyanya balik.
"Sebetulnya aku memang jarang bahkan mengharamkan latar yang kentara di dalam ceritaku,"
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
Kemudian saya menjelaskan kepadanya. Bahwa betapa latar waktu dan tempat itu membunuh imajinasi.
Saya seringkali hanya mengandalkan indra dan suasana seperti: aku saat ini bersamamu, berdampingan di sebuah saung yang atapnya pelepah rumbio, menghabiskan sisa senja dengan siluet orang-orang yang hilir mudik menuju parkiran. Dan beberapa dedauan menjatuhkan diri, seakan sedang jatuh cinta pada bumi.
Ketimbang: aku saat ini sedang berduaan dengan seorang gadis di saung, tepatnya disamping gedung L Fakultas Bisnis dan gadis itu bernama Sumi, ia terlihat cantik. Tapi bukan itu alasanku jatuh cinta padanya.
Buat apa sih saya harus memaksakan latar saung di Fakultas Bisnis. Jika dengan penggambaran sedemikian samarnya. Orang-orang akan punya bayangan tersendiri. Mungkin tentang sebuah saung di lokasi wisata, bersama istri yang ia cintai atau kenangan masa kecilnya ketika dedaunan jatuh menimpa kepalanya saat akan memakirkan motor dan kebetulan saat itu ada dua orang yang lagi kasmaran. Mungkin saja bukan?
Sudah kuduga, Sumi kelihatan tak puas. Ia berkilah, katanya latar itu harus spesifik. Kalau tidak begitu buat apa kamu capek-capek riset kemaren coba?
Oh dia benar, saya kemaren memang mengajaknya melakukan observasi ke sebuah daerah pesisir pantai yang terkenal dengan banjir rob dan tambak ikannya. Kebetulan ia sangat suka motret dan saya butuh riset untuk cerita yang baru saja dia baca.
Tapi saya tak menulis nama tempat itu dengan jelas dalam cerita. Btw, itu memang sifat alamiah saya yang tidak suka berterus terang.
"Terus kenapa di tulisan ini kamu menambahkan kota Semarang? Bukannya lebih bagus nama daerah pantai itu saja sekalian?" Sumi kembali bertanya.
"Ya, itu karena karakternya sama-sama membicarakan lumpia dan berbicara dengan logat Jawa," jelas saya.
Ia masih menatap saya dengan pandangan minta kejelasan.
Sebelumnya saya pikir saya akan gugup menjelaskannya. Karena jarak kami cukup dekat bukan? Karena mata jernihnya terpaku menatap saya. Tapi entah mengapa saya begitu tenang. Seakan ia tengah mrngenggam tangan saya, memberi saya ketenangan.
Padahal sebetulnya kedua tangan kami terpisah, sejauh 30 cm. iya sejauh itu. Meski sebetulnya amat dekat.
Tapi apa gunanya jarak sedekat 30 cm jika saya terus menerus berpikir "bukan hak saya mengenggamnya, menggandengnya atau bahkan mencium punggung tangannya".
Satu menit telah berlalu tapi rasanya jam sudah berdetak seratus kali.
"Ih, kamu nyebelin" ujarnya. Kami sama-sama membuang muka dan terdiam satu sama lain.
Saya kelagapan. Saya suka keheningan, membuat saya lebih mendengarkan isi kepala saya yang cukup berisik, sesekali si isi kepala bahkan menjerit loh. Tapi diam kali ini terasa canggung. Saya tidak suka.
"Yah, kalau misalnya di daerah pantai itu semua masyarakatnya berkelamin lelaki atau ada wanita secantik kamu tinggal disana. Mungkin saya akan menuliskan jelas nama daerahnya. Tapi itu cuma pesisir yang biasa saja dan memprihatinkan," cerocos saya membunuh situasi diam sore itu.
"Ya, gaya tulisannya gak jauh beda sama orangnya. Gak pernah ngasih kejelasan"
Sumi bicara sambil menatap ke arah taman di depan sana. Mungkin ia tengah menyaksikan serangga yang beterbangan, sampah plastik yang tersapu angin atau sejoli yang sedang pacaran?
Saya tercekat.
Entah darimana keberanian itu muncul. "Its possible are we?" tanya saya.
"We never now until we try"
Saya mengusap wajah saya yang mulai mengeras dan kaku, dari ujung matanya Sumi mungkin sedang memperhatikan saya.
Saya akhirnya membuat keputusan.
Tangan saya terangkat, mencoba menggenggam tangan anak itu dengan hati-hati. Tapi tangan mungil Sumi dengan kuteks cokelatnya tidak lagi ada disana. Rupanya tangannya sudah menggenggam sebuah tas, mengemas barang dan—
"a-aku pulang dulu ya, udah mau sore nih. Kamu jangan lupa Maghrib di masjid ya!"
"Okedeh, makasih nona cumi-cumi"
"Ih apa sih"
Sumi mengenggam pipinya, nampaknya ia masih kesal. Saya dapat melihat kedua pipinya bersemu merah, seperti cumi-cumi. Tapi lagi-lagi keberanian saya menjatuhkan diri, satu-persatu. Seperti halnya langkah Sumi yang semakin menjauh.
Dan begitulah cerita ini berakhir.
13 notes · View notes
semburatsore · 7 months
Text
SEKAR
Mengendap dalam diam,
Menukik bersuara,
Takut berangan,
Enggan durja,
Baik sekali wahai puan,
Setidaknya selalu menyekar untukku,
Walau hanya dari kehadiran, atau bahkan hanya secarik tulisan, dan seduhan kopi hangat,
Setidaknya kamu ada, disisi
Sudah cukup ada, lalu tidak membiar aku merasa sendiri,
Terus tuangkan aku kopi.
Semburat Sore,
28.09.23
6 notes · View notes