*. ⋆ ( 111 ) ✦ ⃕ MYTHICAL ? — yjwn x f!reader ★
| OO — tutoring
2008 — ssangmundong neighborhood, seoul
five, the age the neighborhood became complete. there were only four of them at first, sunghoon, jaeyun, niki, and yn. jungwon was the last kid to make their friendgroup finalized.
the year where the kids had their ups and downs, where they played around til dinner time, where they made silly memories without caring about anything. the year nothing mattered.
2016 — jungwon’s bedroom
“he’s clearly right!” yn pointed at jungwon, she was trying to defend the boy from riki since they broke out into a huge fight over some stupid television show they were at first, peacefully watching.
you could practically see steam coming out of riki’s ears. his face was so red, he looked like he were about to explode. “i don’t care if he’s right! he can’t even defend himself!”
yn was about to argue back, but jungwon lightly tugged on the girls shirt, shaking his head.
jungwon’s bedroom door slammed open, revealing jaeyun with sunghoon by his side, along with a bag of ice cream.
“how about you two stop fighting and let’s just have some ice cream.” jaeyun said, offering a vanilla cone to his neighborhood friends.
2020, 12:30pm — the streets of the neighborhood
“why is your sister tutoring us..” riki questioned, the boy was confused, mostly because private tutoring was illegal.
yn shrugged, “i don’t know, i just know jaeyun’s mother payed her to tutor every kid in our neighborhood together.”
yn and riki walked into jaeyun’s house, quietly opening the door just incase they already started. unfortunately, they didnt. instead they were eating snacks and watching some random channel on the tv.
2020, 12:50pm — jaeyun’s living room
they all sat around a table, butt’s down on the cold floor with their legs crossed. jungwon was missing from the group, per usual. he was always at practice for taekwondo or out of the country for competitions. it wasn’t surprising to not see him there. 
silence filled the room as yn’s older sister observed the group of teens. chaewon was an extremely smart college student with a full ride to college, lets just say the rest of the teens were not quite up there yet. especially yn and riki.
“you’re here, too?” chaewon questioned riki with slight attitude.
riki stiffened, “yes…”
“your dad is a teacher, though.”
“yeah..”
“what if he reports us to the board of education? did you tell him?” yn interrupted the two, she was confused. why were they even getting tutored by her stingy older sister?
“my dad’s busy. my mother signed me up for this.” riki said with a serious tone, his legs were starting to hurt from sitting crossed for a long time.
“why is your dad busy? its sunday.” yn kept blabbering, she didn’t want to study on a sunday. especially if chaewon was the one teaching them.
“my dad is,” riki paused, looking around obliviously. “tutoring.”
everyone looked at riki dumbfounded. his father—who was a teacher, was tutoring. yn’s older sister was already frustrated by how dumb these teens were. but, she needed to see their levels.
chaewon cleared her throat, gaining everyone’s attention. “okay. physics, easy question. elementary grade problem.” the girl said sternly, eyeing down the two.
on the other hand, jaeyun and sunghoon watched from across the table. they were smart and sort of quiet. tolerable enough for chaewon.
“you know the formula, F equals ma, right?” chaewon questioned, gaining two nodded heads from the duo.
chaewon sighed frustratedly, “jaeyun, who is 70 kilograms, hits sunghoon with a force of 20 newtons. whats the acceleration?”
riki glanced between chaewon and the two boys sitting across from him, while yn unknowingly formed a worried face.
“how did you endure that..” riki said.
“that must have hurt so bad..” yn whined.
chaewon couldn’t believe what she was hearing. these two were dumb, yet she was still caught off guard from their answers.
sunghoon chuckled. jaeyun looked down at his lap from second-hand embarrassment. meanwhile, yn was focused on sunghoon. his pretty smile, his perfect face, his kind aura. she was developing her first crush on her neighborhood friend.
m.list episode OO1 ifearjwn’s hideout
✦ ⃕ MYTHICAL would be the word that described yn’s neighborhood. the place where jaeyun, jungwon, sunghoon, riki, and yn became friends, the place where everyone grew up together, the place where relationships were formed, the place where yn was on the mission to find her soulmate— the place where yn never realized he was right in front of her.
TAGLIST (open) @yenqa @taegyuul
21 notes
·
View notes
#016
Waktu usiaku 16 tahun, aku pernah bermimpi bertemu ibuku yang baru berusia 16 tahun. Kira-kira, ibuku saat seumuranku seperti apa ya?
25 Oktober 2019
“Kira! Dari mana aja kamu?!”
Suara lantang ibuku menyambut, kala aku baru saja membuka pintu rumahku. Kukira ibuku sudah tidur, sebab rumah sudah gelap. Maklum saja, ini sudah pukul setengah dua belas malam.
“Errr— biasa kok, Ma. Gitaran di kafe,” jawabku.
“Mentang-mentang Papamu lagi pergi ke luar kota, kamu bisa pulang hampir tengah malam gini ya? Bagus banget! Kamu pikir, Mama gak akan marah, gitu?!”
Sarkasan ibuku, sukses membuatku diam tak berkutik. Ayahku memang galak, dan dengan mudah main tangan jika aku melakukan kesalahan. Namun, ibuku dengan kata-kata sarkasnya justru yang membuatku takut.
“Gak gini, Ma—”
Justru, aku lebih takut kalo Mama yang marah, lanjutku dalam hati.
“Trus gimana?”
“Aku kan pulang telat baru kali ini—”
“—ya itu! Karena kamu tahu hari ini Papamu lagi menangani kasus di luar kota, kamu merasa bebas hari ini, kan? Chat Mama gak dibalas! Ditelepon hp-mu gak aktif! Kamu nge-club ya?!”
Tuduhan ibuku, sukses membuatku sesak. Hatiku sakit. Kenapa ibu bisa-bisanya menuduh aku melakukan hal yang jelas saja tak akan kulakukan? Apalagi, aku masih 16 tahun.
“Enggak, Ma! Beneran aku cuma nge-busking di kafe!” sanggahku dengan nada tinggi. “Hpku mati, Ma. Aku lupa bawa charger sama power bank, makanya gak bisa ngabarin Mama kalo pulang telat.”
“Makanya hp tuh jangan dipake game aja! Gunakan hp sesuai fungsinya, yaitu buat komunikasi!” suara ibuku pun tak kalah meninggi.
“Lagian Mama harusnya tahu, dong, kalo jumat itu jadwalku nge-busking di kafe. Biasanya juga gini kan?”
“Kira! Kok kamu jadi ngebantah Mama gini, sih?! Biasanya jam 10 kamu udah di rumah. Ini udah telat satu setengah jam dari jam pulangmu. Hp-mu gak aktif, gimana Mama gak mikir aneh-aneh?”
Oke, cukup. Aku tidak ingin berdebat dengan ibuku lagi. Maka sambil menghela napas panjang, aku beranjak menaiki tangga, menuju ke kamarku di lantai dua.
“Kira! Makan mandi dulu, baru tidur!” seru ibuku untuk yang terakhir kali, sebelum ibu masuk ke kamarnya.
Usai mandi, aku langsung membuka tab-ku dan menonton ulang drama kesukaanku, Reply 1988. Tak kuindahkan pesan ibuku untuk makan dulu, karena aku sudah kenyang dengan omelannya.
“Padahal biasanya juga udah tidur jam segitu. Mama lagi kenapa sih?” gerutuku sambil rebahan. Daan tanpa kusadari, aku pun tertidur saat drama yang kutonton masih setengah jalan.
Dalam tidurku, aku bermimpi…
Aku berada di situasi kota yang cukup asing. Orang-orang yang berlalu lalang memakai style ala 80-an, kendaraan bermotor pun tidak banyak.
Jangan-jangan…
Aku pun segera mengecek style pakaianku. Aku, tetap memakai kaos biru, jeans hitam, dan lengkap dengan jaket hitam kesayanganku. Style yang biasa saja dari jaman ke jaman. Dan aku pun merogoh saku celanaku. Mendapati aku tetap membawa ponselku, aku menghembuskan napas lega.
Aku pun mengecek ponselku, langsung terkejut dibuatnya. Bukan, bukan karena baterainya yang full. Bukan juga karena tidak ada sinyal disini. Melainkan melihat tanggal yang tertera di layar ponselku.
25 Oktober 1988
Apa benar— aku sedang di tahun 1988? Apa karena sebelum tidur, aku menonton drama Reply 1988?
Berarti, aku sedang berada di Ssangmundong? Nama gang yang menjadi latar tempat drama kesukaanku ini?
Namun, sepanjang aku menyusuri jalanan kota asing di tahun 1988 ini, aku menyadari kalau aku bukan berada di Ssangmundong, tetapi aku berada di Indonesia. Terlihat dari papan iklan yang berbahasa Indonesia, lagu-lagu Indo tahun 80-an yang mengalun dari radio yang diputar di warung kopi saat aku lewat, dan juga percakapan orang-orang yang sekilas kudengar. Jelas sekali, ini bukan di Korea.
Tapi, aku ada dimana?
Buagh!
Sedang serius berpikir, tiba-tiba saja ada bola basket yang menghantamku dari samping, hingga aku pun terjatuh dibuatnya.
Kuat sekali. Siapa yang melempar, ya?
“Maaf!!” ujar seorang gadis, sambil mengulurkan tangannya padaku. Dengan kepala yang masih sedikit pusing, kuterima uluran tangan darinya. “Kamu ndak papa?”
Pelan-pelan, kuperhatikan wajah gadis itu. Rambutnya yang panjang, diikat rapi di belakang. Bentuk matanya, bibirnya yang mungil, seperti tidak asing.
Namun, dimana aku pernah melihatnya?
“Arin!!!” kumpulan anak laki-laki dari arah lapangan basket memanggil namanya. Gadis itu pun menoleh ke sumber suara, lalu melambaikan tangannya.
“Ngko sek yo, ta selesaiin permainane ndisik. Buat permintaan maaf, ngko ta traktir es teh!”
(Nanti dulu ya, aku selesaikan permainan dulu. Buat permintaan maaf, nanti aku traktir es teh!)
Usai berpamitan padaku, gadis itu kembali ke lapangan basket dan bermain bersama teman-temannya. Masih setengah bingung, aku pun memperhatikan gadis itu. Ia satu-satunya perempuan di timnya, dan melawan tim yang semuanya laki-laki. Namun, gadis itu bermain dengan sangat lincah, hingga ia berhasil mencetak skor berkali-kali.
Kalau tidak salah, tadi namanya Arin? Dan dengan logat jawanya, jangan-jangan—?
Nama ibuku, Arinda Kusumawardhani. Ibuku lahir dan besar di Surabaya. Walau sekarang logat jawanya sudah tidak kental efek lama tinggal di Kyoto dan Jakarta, tapi melihat bentuk mata dan bibir mungilnya tadi, aku semakin yakin kalau gadis itu adalah ibuku di masa lalu.
Kalau ini tahun 1988, berarti usia ibuku 16 tahun, kalau tidak salah. Seusia denganku sekarang.
Karena keasikan mencocokan gadis yang tengah bermain basket dengan ibuku di masa depan, tak terasa permainan basket mereka selesai. Dan tentu saja, tim gadis yang diduga adalah ibuku di masa lalu ini yang menang.
“Mas!” terduga ibuku ini menghampiriku, dengan tubuh yang dibasahi keringat. Aku masih belum bisa memercayai kalau gadis ini adalah ibuku. Habisnya, gadis ini sangat tomboy, sementara ibuku yang kutahu, terlihat sangat feminim dan anggun.
“Oh— selamat! Kamu menang!!” ujarku terbata-bata, lalu tertawa kecil.
“Hehehe, makasih Mas!” si terduga ibuku tersenyum. Senyumnya, memang benar senyum ibuku. Senyum cerah yang menenangkan. “Yuk, ke warung. Aku janji mau traktir es teh tho?”
Jemari lentik milik gadis itu pun menarik tanganku tanpa ragu. Menuntunku melangkah menuju warung yang dimaksud.
“Bu, es teh dua!" serunya pada si ibu penjaga warung. Kami pun duduk di kursi panjang depan warung, sambil menunggu es teh sedang dibuat.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanyaku memastikan, siapa tahu dia benar ibuku, kan?
“Arinda, biasa dipanggil Arin, hehehe,” jawabnya.
Kan, benar.
Ini ibuku, waktu usianya seusia denganku. Aku masih sedikit tidak percaya, kalau ibuku dulu adalah gadis yang tomboy dan jago bermain basket. Kukira hanya otaknya yang cerdas karena bisa sampai tamat S3 di Kyoto Daigaku. Ternyata kemampuan basket ibuku tidak bisa diremehkan.
Pantas saja, kakakku sangat jago main basket. Ada gen jago basket dari ibu, rupanya. Pikirku.
“Kamu anak baru, ya? Aku baru pertama kali lihat kamu disini,” tanya ibuku.
Mampus, jawab apa ya? Kalo aku jawab, ‘aku anakmu, dari masa depan,’ bakal percaya gak, ya?
Belum sempat aku memikirkan jawaban lain, es teh pesanan kami pun sudah tersedia di meja kayu. Dengan lahap, ibuku meminum semuanya hingga isi gelas tinggal setengahnya.
Benar-benar tidak seperti ibuku yang anggun. Pepatah manusia pasti berubah, ternyata benar adanya.
“Fyuhhh! Es teh abis main basket itu emang terbaik!” ujar ibuku. Ia pun menoleh ke arahku. “Kok kamu ndak minum?”
“Ehh— a-aku minum!!” sedikit salah tingkah, buru-buru aku meminumnya. Es teh tahun 88 enak juga, pikirku.
“Oh, kamu disini tho? Dicariin daritadi!”
Seorang gadis pun tiba-tiba datang menghampiri kami. Kalau dilihat-lihat, perawakannya seperti seorang mahasiswi. Terlihat dewasa, dan ada aura sendiri. Namun, saat aku menoleh ke arah ibuku, entah kenapa wajah ibuku mendadak pucat.
“Eh— ada Mbak Rina… Mau minum, Mbak—?” ujar ibuku sambil menyodorkan es tehnya yang tinggal setengah itu.
Mbak Rina? Kakaknya ibuku? Yang artinya, ibunya Mbak Hafsa?
“Pulang. Ini udah mau maghrib. Dicariin sama Ibuk, kamu malah pacaran disini,” omel kakaknya ibuku.
“Es tehku belum habis, Mbak.”
“Yaudah habisin, abis itu pulang.”
“Mbak pulang duluan aja.”
“Nggak, Mbak tungguin. Takutnya kamu kabur lagi.”
Ibuku hanya nyengir dibuatnya, lalu menghabiskan es tehnya yang tinggal setengah itu. Sementara aku, hanya tersenyum melihat perdebatan kakak adik ini.
“Aku pulang duluan ya!” pamit ibuku. Usai membayar es teh kami, ia pun langsung pergi bersama kakaknya meninggalkan warung.
“Cah lanang kui sopo?” (Anak cowok itu siapa?)
“Mboh,” (Gak tahu)
“Lha kok mboh?”
“Ya aku emang ndak tahu. Anak pindahan kali.”
Samar-samar kudengar percakapan kakak adik yang sedang menuju rumah itu. Aku hanya terdiam, bingung harus pergi kemana. Namun, aku sedikit penasaran dengan rumah eyang di tahun ini. Apa rumah eyang sejak dulu tak ada perubahan?
Maka, setelah kedua kakak adik itu agak jauh, aku pun perlahan-lahan mengikuti mereka. Sambil tetap menjaga jarak, agar tidak kehilangan jejak maupun ketahuan oleh keduanya.
Rumah eyang masih sama, masih asri dan terlihat menenangkan. Halaman luas tempatku bermain saat berkunjung itu masih sama. Masih beralaskan rumput yang dipangkas rapi, dengan deretan bunga mawar sebagai pagarnya.
Yang tak sama adalah, pemandangan di depan pintu rumah.
Kulihat eyang putri yang tengah memarahi ibuku, lengkap dengan sapu di tangannya.
“Anak gadis baru pulang jam segini! Mana bau keringat! Kamu main basket sama cowok-cowok lagi ya?”
Pemandangan itu— persis seperti pemandangan di rumahku saat aku pulang tadi. Bedanya, ibuku tidak membawa sapu sebagai senjata.
Aku hanya terkikik geli, lalu memutuskan untuk meninggalkan area rumah eyang. Lucu juga melihat ibuku dimarahi seperti itu.
<>
Aku hanya melamun di pos ronda. Suasana Surabaya tahun 1988 dengan tahun 2019 rasanya berbeda sekali. Padahal ini masih jam 7 malam, tapi suasana rasanya sudah seperti jam 10 keatas. Tak ada tukang nasi goreng atau tukang sate mangkal di pos ini. Biasanya kalau aku ke rumah eyang, pos ronda ini masih ramai. Lalu, gunanya pos ronda ini untuk apa ya kalau tidak dipakai untuk ngeronda?
“Lho? Kamu gak pulang?” suara seorang perempuan sukses membuyarkan lamunanku. Sosok itu pun duduk di sampingku sebelum kupersilakan.
“Lho? Ma— eh, Arin? Kamu sendiri kenapa kesini? Nanti ibu kamu marah?” HAMPIR. Hampir saja aku memanggilnya Mama.
“Huft, justru itu! Aku lagi marah sama Ibuk sama Bapak, makanya aku kesini!” ibuku menghembuskan nafas kesal.
“Berantem kenapa?” tanyaku penasaran. Kupikir, ibuku dulunya anak yang baik dan penurut. Ternyata ibu pernah ada di fase pemberontak juga.
Namun alih-alih menjawab, ibuku justru menatapku heran dan penuh kecurigaan. Seolah-olah aku ini adalah mata-mata yang disewa oleh eyang.
“Aku ndak tahu siapa kamu, jadi aku ndak bisa ceritain. Kecuali, kalo kamu ngasih tahu. Minimal, namamu.”
“Nama aja, kan? Namaku Akira.”
“Akira? Nama yang unik, kayak di anime-anime gitu.”
‘Bukannya kamu sama si Bos Fujimine yang kasih aku nama begini?’ Protesku dalam hati. “Begitulah,” akhirnya jawaban singkat itu yang kuberi.
“Asalmu dari?”
“Jakarta.”
“Kok bisa kesini?”
“Kalo kuceritain, kamu gak akan percaya, sih,” jawabku pendek.
“Emangnya kenapa?”
“Karena kedengerannya gak mungkin banget.”
“Huft, yaudah terserah,” ibuku akhirnya pasrah. “Aku ketahuan nyimpen buku belajar bahasa Jepang, trus dimarahin. Kata Bapak, ngapain aku belajar bahasa penjajah? Buang-buang waktu aja. Abis itu, buku sama komik-komikku disita Ibuk. Aku kesel, jadi cari udara segar. Trus ketemu kamu.”
Aku sedikit terkejut mendengar cerita ibu, yang baru pertama kali kuketahui. Ibuku bercerita kalau dia dapat beasiswa S2 di Jepang, lalu bertemu ayahku dan menikah satu tahun kemudian. Kupikir, eyangku menyetujui kalau ibuku bersekolah di Jepang. Ternyata sempat ditentang ya? Ibu sama sekali tidak pernah menceritakan hal ini.
“Akira? Kok kamu jadi bengong?”
“Oh— gapapa kok!! Cuma agak heran—”
“Heran kenapa? Karena aku suka anime dan hal-hal yang berbau Jepang?”
“Enggak, bukan itu.”
“Terus?”
“Gak apa!! Nanti, di masa depan, kamu bisa kuliah di Jepang kok!” jawabku pada akhirnya. “Semangat ya!!”
“Ahahahaha!! Kuliah di Jepang itu cuma mimpi!!” sahut ibuku sambil tertawa terbahak-bahak. “Gak akan jadi kenyataan, tapi makasih semangatnya!”
“Jadi kenyataan. Kamu dapet beasiswa kuliah S2 di Jepang. Bahkan kamu bisa sampe S3 di Jepang.”
“Kok kamu bisa seyakin itu sih?”
“Karena… aku anakmu, dari masa depan,” akhirnya kubilang juga, karena tidak tahan menahan diri terus. Toh, ini mimpi. Tak akan mengubah apapun di masa depan.
“Anakku— ANAKKU?!” ekspresi terkejutnya ibuku membuatku tertawa. Ibu pun mendekatkan wajahnya pada wajahku, mengamati setiap detail dari wajahku.
“Matamu, sama bibirmu emang mirip aku sih—” gumamnya sambil mengusap pipiku.
“Mirip. Eyang bilang, aku ini versi cowoknya Mama,” kataku sambil terkikik.
“Eyang— orang tuaku ya berarti? Trus, kamu manggil aku mama?”
Aku hanya mengangguk.
“Aku jadi punya banyak pertanyaan buat kamu.”
“Apa itu?”
“Kok kamu bisa dateng dari masa depan?”
“Kalo ini, aku juga gak tahu.”
“Trus, namamu Akira? Apa saking sukanya aku sama Jepang, aku namain anakku pake nama Jepang? Trus nama lengkapmu siapa?”
“Karena papaku, alias suami mama orang Jepang. Namaku Akira Kusumawardhana Fujimine. Kusumawardhana dari Kusumawardhani-nya nama mama, Fujimine marganya papa.”
“Hah?! Aku nikah sama orang Jepang?! Kok bisa?! Restunya gimana tuh?”
“Aku gak tahu detailnya. Cuma yang kutahu, Papa mualaf waktu mau menikah.”
“Ohh gitu. Hebat juga ya aku, bisa kuliah sampe ke Jepang, trus punya suami orang Jepang.”
“Iya! Mama itu wanita yang hebat!!”
“Kok jadi malu ya, dipuji anak sendiri,” wajah ibuku yang tersipu salah tingkah itu, mirip aku. “Oh ya? Kamu lahir tahun? Anakku cuma kamu, atau ada lagi?”
“Anak Mama cuma 2. Yang sulung cowok, lahir tahun 1997. Aku yang kedua alias yang bungsu, lahir tahun 2003. Tepatnya, aku lahir pas Mama lagi sibuk-sibuknya kuliah S3 di Kyoto.”
“Oh, anakku cowok semua. Pasti karena aku sering main sama cowok ya?”
Aku hanya tertawa kecil mendengar jawaban itu. Apa hubungannya sirkel pertemanan dengan jenis kelamin anak ya. Aku pun menjawab semua hal yang ingin diketahui ibuku di masa depan. Sebaliknya, aku jadi mengetahui masa lalu ibuku yang tidak pernah kuketahui.
Aku jadi merasa bersalah karena bertengkar dengan ibu saat sebelum tidur.
“Kamu— ada foto keluarga kita gak? Aku penasaran, saat dewasa aku kayak apa ya? Masih tomboy kah?”
Untuk menjawab pertanyaan ibuku, aku pun mengeluarkan ponsel dari saku jakteku. Menunjukan foto saat keluargaku mudik ke Kyoto saat festival Obon bulan lalu.
“Yaampun… perempuan cantik ini aku? Suamiku ganteng juga ya. Anak-anakku lebih ganteng,” ibuku berceloteh sambil tersenyum sendiri. Selama lima menit, ibu hanya memandangi foto di ponselku, lalu menatap ponselku dengan tatapan heran.
“Oh ya, ngomong-ngomong ini apaan? Bentuknya kayak walkman, tapi tipis. Trus ada foto juga. Di belakangnya, bulat-bulat ini apa?”
Aku tertawa lebih dulu, sebelum menjelaskan, “ini namanya ponsel, Ma. Alias telepon seluler. Bisa buat nelpon, nulis surat, dengerin lagu, dan yang bulet ini kamera. Jadi bisa buat motret foto.”
“Kamera, walkman, dan telepon jadi satu di benda ini? Masa depan canggih banget!! Pasti harganya mahal?”
“Lumayan. Tapi karena kerja keras Mama sama Papa, kalian bisa beliin benda ini buat aku sama Kakak,” jawabku.
Ibuku tersenyum, lalu mengembalikan ponselku, “Akira… makasih banyak ya. Makasih udah datang dari masa depan. Boleh aku peluk?”
Tanpa menjawab, lebih dulu aku memeluk tubuh mungil ibu waktu muda. Kurus, lebih kurus dari tubuh ibuku di masa depan yang cenderung berisi, namun tetap hangat. Pelukan dari tubuh yang sangat aku sukai sejak lahir.
“Akira… makasih… Makasih udah tumbuh dengan sehat begini. Makasih udah jadi anakku…”
“Aku juga Ma, maaf ya. Sebelum kesini, aku berantem sama Mama karena pulang hampir jam 12 malam. Maaf ya Ma…”
Bisa kudengar, ibuku tertawa kecil di antara pelukan kami, “ternyata kamu hobi pulang telat juga ya, sama kayak aku. Apa ini gen ibu dan anak?”
Mau tak mau aku tertawa dibuatnya.
Aku terbangun sebelum adzan subuh, dengan mata sembab. Mimpi itu… seperti nyata. Sukses membuat emosiku terkuras. Tenggorokanku pun rasanya kering karenanya.
Maka aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Kulihat ibuku sudah sibuk di dapur pagi-pagi begini. Padahal ini hari sabtu, seharusnya ibu libur.
“Ma…” kupeluk tubuh ibuku dari belakang, lalu membenamkan wajah di punggungnya. Rambut panjangnya yang diurai sepinggang pun menyapa wajahku. Namun aku tak peduli. “Kira minta maaf ya Ma. Kira janji, selalu ngabarin Mama kalo mau pulang telat.”
“Adek mimpi apa semalem?” tanya ibuku keheranan, lalu mengusap tanganku dengan lembut. “Jangan diulangi lagi ya dek? Kamu mau susu apa teh?”
“Susu.”
“Iya, sana bangunin kakakmu! Kalian sholat dulu!”
Kulepas pelukanku, lalu mengecup pipi ibuku sebelum beranjak ke kamarnya Kakak.
Jakarta, 25 Oktober 2022
Akira Kusumawardhana Fujimine
0 notes