Tumgik
#kikuromonth2015
kikuros · 9 years
Photo
Tumblr media
Teikou Jersey no. 16
126 notes · View notes
marvel-is-lyfe · 9 years
Text
Surya
for kikuromonth.tumblr.com :D
week #3, prompt: sky and suflower. summary: Orang bertanya mengenai apa yang ia lihat dari Kise Ryouta, dan inilah jawabannya.
also available here, in ao3.
Disklaimer:
• Kuroko no Basuke (黒子のバスケ) adalah karya Tadatoshi Fujimaki yang diserialisasikan di Weekly Shounen Jump dan satuannya dipublikasikan oleh Shueisha serta animasinya dibuat oleh Production I.G.
• Tidak ada keuntungan materi sedikit pun yang Penulis dapat atau ambil dari fanfiksi ini.
Ketika orang bertanya, apa yang ia lihat dari Kise Ryouta bila tampangnya dikesampingkan, ia akan diam terlebih dahulu.
Kise Ryouta adalah orang yang berisik, cerewet, terlalu heboh, suka meributkan hal-hal kecil, kelewat menyebalkan, serta senang sekali menempel padanya. Ia berhak untuk memelototi Kise Ryouta, memandangi dengan tajam, atau juga mendorong sekuat tenaga agar orang itu menjauh. Ia akui, semuanya, pernah ia lakukan di suatu waktu dan pada waktu yang lain.
Pada suatu masa di sekolah menengah pertama, ia pun pernah mengaku dalam hati bahwa ia, di kala hanya sendiri dan dapat berpikir dengan teramat tenang, bahwa ia menyukai diam-diam perhatian yang ditujukan padanya. Pada suatu masa di sekolah menengah atas, di tingkat terakhir, ia pun pernah mengaku dalam hati bahwa ia, di luar segala penolakan dan ketidakpercayaan yang ia paksakan di kepalanya, bahwa ia lebih dari sekadar menyukai kehangatan yang terpancar kuat dari diri Kise Ryouta.
Pada suatu masa di kala keduanya telah dewasa, ia dengan bangga mengakui bahwa ia duluan yang berlutut, menyodorkan sekotak beludru merah, dan membukakan tempat tersebut di hadapan Kise Ryouta. Cincin putih yang berkilau tertimpa sinar matahari tersebut sanggup mematahkan rasa terkhianati yang dibuat-buat oleh Kise Ryouta, semata-mata ia duluan yang menyatakan keseriusan secara resmi.
Pada suatu ketika, waktu keduanya telah mengenakan tanda ikrar di jari manis kiri masing-masing, Kise Ryouta akan mengangkatnya tinggi, tinggi, tinggi, seolah mencapai langit biru megah bukanlah sesuatu yang mustahil untuk sepersekian detik. Ia akan dapat melihat padang bunga matahari yang terbentang luas mengelilingi mereka, dan mencecar datar perihal sisi sentimental yang disebut-sebut sang pemilik sebagai romantis.
Ia lalu mengingat, betapa lebar dan menyilaukannya senyuman pria yang dahulu dan kini masih ia anggap berisik, cerewet, terlalu heboh, suka meributkan hal-hal kecil, kelewat menyebalkan, serta senang sekali menempel padanya. Ia lalu mengingat, pertanyaan yang diajukan orang-orang sekitar, mengenai apa yang ia lihat dari Kise Ryouta, dengan mengesampingkan wajah pria itu.
Ketampanan dapat buyar dimakan waktu, tapi cahaya yang dipancarkan pilihan hidupnya tak lekang dimakan waktu.
Yang ia lihat:
Kise Ryouta adalah mataharinya.
Kise Ryouta adalah mataharinya.
.
(baginya, bagi Kuroko Tetsuya, selamanya)
1 note · View note
psikopatunyu · 9 years
Text
kikuromonth: different
entri ketiga untuk kikuromonth 2015. prompt: 711. week 1. bahasa indonesia.
bisa dibaca di AO3.
different.
Iris cokelat itu terbuka perlahan ketika dering alarm ponselnya berbunyi dari bawah bantalnya. Helaian biru muda segera memenuhi pandangannya saat pertama ia membuka mata untuk mematikan alarm ponselnya. Beberapa detik setelah ia mematikan alarm ponsel dan alarm yang lain, pandangan mengantuknya perlahan berubah menjadi pancaran rasa senang berikut dengan senyuman lebar. Dengan segera, ia menggoyang pelan si pemilik rambut biru muda yang masih terlelap di sampingnya.
“Kurokocchi, bangun, Kurokocchi~!” ucapnya dengan nada senang dan riang seperti burung yang sedang bercicit pagi itu di atas rumah mereka yang masih cukup bisa dibilang baru.
Perlahan, yang bernama asli Kuroko Tetsuya itu membuka matanya seraya mengusap kedua mata birunya, “... Ada apa ... Kise-kun?”
“Coba tebak, hari ini hari apa?” tanya yang bernama asli Kise Ryouta dengan senyum cerah yang terlalu cerah untuk pagi hari yang masih begitu pagi itu. Yang bermata seperti langit memandang sejenak pria di hadapannya seraya mengingat.
“... Hari Sabtu.”
Yang berambut pirang itu menggeleng pelan. “Bukan, maksudku bukan itu. Kalau itu aku tahu.”
Kuroko memiringkan sedikit kepalanya. “Lalu?”
“Hari ini, Kurokocchi, hari ini. Apa Kurokocchi lupa?” kejar Kise seraya menahan dirinya untuk tidak memeluk lelaki di depannya yang sedang berpose begitu imutnya—menurut preferensinya.
Kuroko kembali berpikir hingga matanya seakan menemukan sesuatu, “Hmm, sepertinya aku ingat. Tunggu sebentar.” Lelaki biru muda itu segera beranjak turun dari tempat tidurnya dan berjalan keluar ruangan.
“Eh?” Kise berkedip beberapa kali seraya mengikuti pergerakan pria yang sudah keluar dari kamar tersebut. “Kejutan, ya? Hehe.” Gumamnya pelan seraya menyengir lebar. Beberapa menit kemudian, si pria berambut biru muda kembali ke kamar yang langsung disambut dengan senyum lebar sang pasangan.
“Kuroko—cchi.....”
Senyuman lebar di bibirnya perlahan berubah menjadi raut wajah kebingungan ketika si biru muda datang—sambil membawa sepaket alat bersih-bersih rumah yang ia letakkan di lantai kamar mereka.
“Kurokocchi ... itu ... buat apa?” tanyanya seraya menunjuk-tunjuk paket sapu dan pel serta alat lainnya.
Yang biru hanya berkedip dan menatap lurus, “Buat hari ini.”
“Memangnya hari ini hari apa?”
“Kita janji untuk bersih-bersih hari ini, kan? Sudah kutandai juga di kalender. Kise-kun lupa?” jelas Kuroko sambil menunjukkan kalender duduk di genggaman tangannya dengan tanggal sebelas Juli yang dilingkari dengan spidol merah berikut dengan tulisan kecil “bersih-bersih rumah”.
Mendadak, pria pirang yang masih agak melongo di atas kasur teringat pembicaraan mereka di tempat yang sama entah kapan itu, yang isinya sedang membahas tentang rumah mereka yang agak berdebu akhir-akhir ini, dan sudah lama tidak dibersihkan karena yang rambut pirang selalu sibuk dengan kegiatannya sebagai model.
Kise hanya mengiya-iyakan kapan mereka akan bersih-bersih, tanpa mengecek kalender waktu itu (dia mencanangkan, lebih baik hari Sabtu saja, jadi dia tidak terlalu lelah untuk hari Seninnya), sehingga tanggal pastinya hanya diketahui oleh Kuroko. Tapi ia tidak menyangka akan jatuh pada tanggal ini.
“Err.... Tidak bisa diundur saja, Kurokocchi?” Kise mengernyit berikut dengan satu cengiran memohon.
Pria di depannya menggeleng pelan, “Tidak bisa. Kalau menunggu sampai minggu depan, rumah ini akan tertimbun debu semua.”
“Tapi Kuroko—”
“Ah, kalau Kise-kun tidak mau juga tidak apa-apa. Akan kubereskan sendiri minggu depan. Minggu depan, kan, jadwal Kise-kun padat sekali, jadi aku tak bisa mengganggu.” Potong Kuroko kemudian dengan pandangan datar—dan agak kecewa secara tersirat. “Akan kubereskan lagi sapu dan—”
“S-sekarang saja!”
Tangan mungil yang berambut biru berhenti. “Eh?”
“Kita ... bersih-bersih sekarang saja, ... Tetsuya....”
“... Serius?”
Yang berambut pirang hanya mengangguk pelan sambil tersenyum samar, hingga membuat si biru muda mendekat dan duduk di tepian kasur. “Kalau tidak mau, tidak apa-apa, Ryouta. Senyumanmu begitu.”
Kise kembali menggeleng pelan. Beberapa detik kemudian, senyumnya melebar ke arah pria di depannya. “Aku tidak apa-apa, Kurokocchi. Ayo, kita bersih-bersih sekarang~!”
Tersenyum tipis, Kuroko dengan perlahan meraih rambut pirang pemuda itu—mengacaknya kemudian. “Nah, kalau begini, baru Kise-kun yang kukenal. Ayo.” Begitu selesai, segera ia berdiri kembali seraya menenteng peralatannya tadi keluar ruangan—meninggalkan pasangannya yang sedikit menurunkan derajat kecerahan senyum di bibirnya.
“... Sama sekali tidak ingat, ya?”
Dua puluh menit kemudian, dua orang penghuni rumah itu sudah mulai membersihkan ruangan-ruangan di rumah mereka setelah sebelumnya mengeluarkan sebagian barang-barang mereka ke halaman samping. Menyingkirkan debu dari atas lemari dengan kemoceng, mengelap beberapa pigura foto, jendela rumah, dan barang lainnya dengan kain lap, menyapu debu-debu yang jatuh, dan lain sebagainya.
Kise bertugas membersihkan tempat-tempat yang susah dijangkau oleh manusia berukuran 168 sentimeter yang menghuni rumah itu bersamanya. Sementara ia yang berukuran lebih kecil akan membersihkan sisanya yang berada dalam jangkauannya—walau agak kesal juga, sih, karena tadi kepalanya sempat ditepuk-tepuk karena pendek oleh pria yang lebih tinggi.
Saat membersihkan bagian atas rak buku, si rambut pirang sempat melirik sekilas pria yang mengelap beberapa buku di bagian bawah rak. Dahinya sedikit berkerut memandangi si pria rambut biru muda yang tengah serius dengan buku-buku kesayangannya itu. Pikirannya kembali lagi pada hari ini.
Ya. Hari ini.
Hari yang seharusnya ia (dan pasangannya) nanti-nantikan untuk dirayakan setiap tahunnya. Tapi kenapa ... kenapa malah jadi bersih-bersih begini???
“... Kise-kun.”
“Iya?” jawab Kise dengan sangat semangat seraya berharap agar kali ini Kurokocchi tersayangnya itu mengingat hari apakah ini.
“Aku senang ... bisa membersihkan rumah hari ini ... dengan Kise-kun.” Satu senyum tipis tersirat di masing-masing ujung bibir yang berkulit putih pucat itu. Senyum tipis yang menimbulkan satu senyum simpul yang berambut pirang di sampingnya.
“Aku juga senang, Kurokocchi.”
Mengelap perlahan buku di tangannya, “Maaf, ya, membuat Kise-kun bekerja juga di hari libur begini. Soalnya aku tidak yakin ... bisa membersihkan bersama minggu depan....”
“T-tidak apa-apa, kok, Kurokocchi. Aku tidak masalah. Aku tadi lupa kalau minggu depan ada jadwal pemotretan di hari Sabtu. Aku yang seharusnya minta maaf karena lupa pada jadwalku sendiri....” balas Kise kemudian seraya membodoh-bodohkan dirinya karena bisa-bisanya lupa dan pada maksud lain dalam perkataan si biru tadi.
Maksud lain bahwa si biru ingin membersihkan rumah dengannya, tidak sendirian tanpa teman begitu.
Sebenarnya ia yakin, Kuroko pasti bisa membersihkan seluruh rumah ini sendirian (dan dengan menggunakan kursi untuk tempat-tempat tinggi yang ia kuasai), bahkan mungkin lebih cepat daripada dengannya yang kebanyakan bicara. Tapi pasti ada perasaan yang menyenangkan, bukan, kalau kita bisa membersihkan tempat tinggal kita bersama dengan orang yang kita sayangi?
Ia yakin pada maksud lain itu sepenuhnya. Sangat yakin. Ia paham, orang seperti Kuroko memang tak akan dengan mudah meluncurkan penuturan hatinya melalui mulutnya. Namun ekspresi yang ada di wajahnya terkadang bisa ia tebak. Terutama jika berada dengannya seperti ini. Ekspresi pria yang biasanya datar sedatar papan penggilesan itu seakan berubah menjadi lebih kaya dari apa yang biasa terlihat di wajah datarnya.
Dan ia menyukainya.
Tapi tetap saja, masalah utama yang mengusik pikirannya dan mempengaruhi keegoisannya adalah hari ini. Hari ini. Uh, apa benar pria di sampingnya itu sudah lupa?
Selesai membersihkan rak buku, Kise kembali menoleh kepada pria berambut biru langit kesukaannya itu. Sementara yang ditoleh sudah selesai mengelap sisi-sisi lemari serta sofa di ruang baca tersebut.
“Kurokocc—”
“Ah, Kise-kun. Ayo, kita pindah ke ruang tengah. Tinggal tempat itu saja yang belum kita bersihkan.” Potong Kuroko lagi sambil menenteng sapu, kemoceng, dan kain lap di kedua tangannya seraya keluar dari ruang baca—meninggalkan si rambut pirang yang senyumnya telah hilang entah kemana.
“Memang ... lupa, ya....”
Kise duduk di sofa ruang tengah setelah sebelumnya memasukkan dan mengelap seluruh perabotan yang tadi ia dan Kuroko keluarkan ke samping rumah. Peluhnya jatuh perlahan di pelipis serta lehernya. Hari itu sudah menjelang sore dan mereka sudah selesai dengan acara bersih-bersih ini setelah Kuroko membuang semua sampah dan debu ke kantung sampah besar dan membuangnya ke tempat sampah yang berada beberapa langkah dari rumah mereka.
Sekarang yang berambut biru sedang berada di dapur. Mungkin sedang membuat vanilla dingin untuk mereka. Habis hari ini benar-benar melelahkan luar biasa, walaupun menyenangkan juga, sih, menggoda tinggi badan yang lebih uhukpendek dua puluh satu sentimeter darinya itu.
Tapi tetap saja. Masalahnya hari ini.
Menghela napas, Kise mengacak pelan rambutnya yang lepek karena keringat. Mungkin setelah ini, dia akan langsung mandi dan berendam saja di bak. Memejamkan matanya, masalah yang sedari tadi mengusik pikirannya kembali menguasai cerebelum di dalam tulang tengkoraknya.
“Kurokocchi benar-benar lupa, ya....”
“Lupa apa?” sebuah suara mendadak muncul dari sampingnya.
“W-waa—!”
Dengan muka datarnya seperti biasa serta mengabaikan pekikan kaget pria di sampingnya, yang berambut biru perlahan meletakkan dua gelas vanilla dingin ke atas meja di depan sofa.
“Ah, terima kasih, Kurokocchi.” Si pirang segera meraih gelas panjang berisi vanilla yang telah dicampur dengan sebongkah es batu. Yang berambut biru hanya mengangguk seraya memandangi orang yang sering ia personifikasikan sebagai bunga matahari cerah di sampingnya.
“Ah, segarnya~!! Memang segar, ya, kalau minum yang dingin-dingin setelah bekerja begini~!!” ujar Kise dengan riang sambil tersenyum lebar setelah meneguk minuman di gelasnya.
Kuroko tersenyum tipis, “Ya. Kise-kun sudah bekerja keras hari ini,” Satu tangannya meraih helaian pirang pria tadi, yang kemudian ia acak perlahan. Sementara yang diacak hanya tersenyum tipis senang—meski tetap ada yang mengganjal. Selesai mengacak, Kuroko berbalik sejenak—dan lalu menyodorkan satu mangkuk yang agak besar ke arah pria di depannya. “Untuk Kise-kun. Hadiah karena hari ini sudah bekerja keras.”
Iris cokelat yang berambut kuning berkedip sejenak, “Ini ... apa?”
“Sup Gratin Bawang. Kesukaan Kise-kun. Aku tidak salah, kan?” jawab Kuroko dengan nadanya yang biasa. Senyum perlahan terukir di bibirnya saat menyadari perubahan ekspresi di wajah pria berambut kuning yang kini—
“... K-Kurokocchi....”
—wajahnya sudah hampir-hampir mau menangis secara komikal.
Yang berambut biru tersenyum tipis. “Sudah, sudah, terharunya nanti saja. Sekarang, makanlah dulu ini.” Ucap Kuroko sambil menyodorkan mangkuk tadi yang langsung diterima oleh si rambut pirang seraya meraih sendok dan kemudian memakannya perlahan dengan senyum senang.
“Enak seperti biasa, Kurokocchi~!!” respon Kise terhadap sup tersebut dengan senyuman cerah yang jelas sekali mengalahkan sinar matahari senja sore itu.
Kuroko menepuk-tepuk perlahan kepala yang berambut pirang dengan satu senyum kecil. “Selamat hari pernikahan kita yang ketiga, Ryouta.”
Hampir saja tetesan sup di mulut yang berambut pirang masuk ke tenggorokannya.
“Hm—ap-apa—uhuk uhuk—”
Dengan segera, Kuroko menyodorkan gelas vanilla dingin milik pria berambut kuning itu yang langsung disambar pria itu dengan cepat. “Makan jangan sambil bicara, Kise-kun.”
Selesai meneguk, yang lebih tinggi segera menoleh pada yang berambut biru muda lekat-lekat dan sedikit tidak percaya. “... Jadi ... Kurokocchi ingat...?”
“Ingat apa?” balas Kuroko dengan nada datar biasanya.
“Yang tadi itu, Kurokocchi~!” balas Kise lagi dengan sedikit iringan hela napas.
Kuroko berkedip sekali. “Ah, tentu saja aku ingat.” Jawabnya kemudian dengan nada dan ekspresi yang sama-sama datar sedatar papan telenan di dapur rumah mereka, seakan-akan itu bukanlah hal yang menakjubkan dan mengagetkan bagi orang yang sedari tadi menanyakan soal hari ini dan hari ini di hadapannya.
Kise masih memandangnya tidak percaya untuk sejenak, hingga akhirnya menunduk sambil menaruh kembali mangkuk di meja lalu terdiam untuk beberapa saat. Dan dalam beberapa saat itu pula, yang tadi mengejutkannya mengubah sedikit mimik di wajahnya—sedikit bersalah. “Maaf, ya. Aku tidak bermaksud untuk sengaja melupakannya. Aku hanya ingin ... tahun ini sedikit berbeda ... dan mengejutkan Kise-kun.” Satu senyum tipis keluar dari bibirnya bersamaan dengan empat kata terakhirnya tadi.
Yang berambut pirang masih menunduk, masih belum menatap ia yang kini melembutkan pandangannya. Bergeser mendekat ke arah yang masih menunduk, Kuroko meraih helaian pirang pria di depannya seraya membelai perlahan. “Kise-kun.... Aku—”
—Dan dengan cepat pria di depannya menubruk peluk dirinya.
“Kis—”
Badan mungil yang lebih kecil terdorong jatuh bersamaan dengan yang berbadan lebih besar di atas sofa—membuat yang berambut biru berada di bawah yang berambut pirang. Pelukan Kise begitu erat, erat, membuat seluruh permukaan dada menjadi begitu hangat dan nyaman—serta membuat kedua tangan kurus yang tadi mengambang di udara membalas memeluk. “... Kise-kun....?”
“Maafkan aku, Kurokocchi.”
“...?”
Kise menghela napas seraya mengeratkan pelukannya. “Maafkan aku, karena ... aku egois dan seperti anak-anak tadi. Aku baru sadar ... sewaktu membersihkan tadi dengan Kurokocchi....” ucap Kise di balik bahu pria yang berada di bawahnya. Kuroko mengusap perlahan helaian pirang yang berada di depannya seraya mendengarkan.
“Maafkan aku juga, karena terlalu sibuk dan meninggalkan Kurokocchi sendirian di sini setiap harinya, lupa pada jadwalku sendiri dan seakan meminta Kurokocchi untuk mengurusi rumah ini sendirian. Padahal ‘kan ... ini rumah kita berdua....” ucap Kise kembali melanjutkan. “Aku hanya memikirkan hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita saja, tanpa memikirkan rumah yang kita tempati selama tiga tahun ini. Aku memang benar-benar bodoh....”
Yang berambut biru menggeleng perlahan. Kedua tangannya perlahan menangkup wajah yang berambut pirang dan mengangkatnya perlahan hingga wajah pria itu tepat menghadapnya. “Ryouta sama sekali tidak bodoh. Sama sekali tidak.” Ujar yang berambut biru dengan senyum lembut.
Kise menggigit perlahan bibir bawahnya seraya mengecup pipi yang berambut biru di depannya yang dibalas dengan satu senyum simpul. Perlahan yang berambut kuning tersenyum dengan agak lebar, “Jadi ... sekarang...?”
“Sekarang? Kise-kun habiskan sup buatanku tadi.”
“Bukan. Setelahnya....” Dan satu kecupan meluncur di dekat leher yang berambut biru—membuat yang bersangkutan merinding mendadak.
“... Kutarik ucapanku soal Ryouta tadi.”
“Heeee???” wajahnya yang bermata cokelat terang itu cemberut perlahan. “Tetsuya jahat.” Ucapnya sambil sedikit mengerucutkan bibirnya. Kuroko terkekeh pelan melihat ekspresi cemberut orang di depannya ini. Kedua tangannya yang masih memegangi pipi pria model di depannya itu menarik kembali—melekatkan sekilas bibir mereka.
“Iya, aku memang jahat, Ryouta.” Kata Kuroko dengan senyum kecil saat cemberut di bibir Kise menghilang.
“... Dasar.”
5 notes · View notes
himehoshina · 9 years
Link
summary: Kadang cinta datang dari hal yang sederhana. Kumpulan drabble Kikuro.
2 notes · View notes
doomingillusions · 9 years
Photo
Tumblr media
Another graphic for Kikuromonth
Week 4 Marriage
7 notes · View notes
ptw30 · 9 years
Text
KiKuroMonth2015: KiKuro - Hollywood’s Cutest Couple
Pairing: KiKuro; blink and you miss Kagami/Momoi
Summary:  For KiKuroMonth2015. Kise and Kuroko finally get together, and when Kuroko decides to play basketball at UCLA, Kise decides to head to Hollywood. And it's all sunshine and puppies and rainbows - until it's not.
Author’s Note:  After the angst of "The Cyan Kitten," I needed to write something that was pretty much going to be nothing more than 40k of fluff and 5k of angst. :D And there's nothing fluffier than KiKuro.
Chapter One: What the Tabloids Say
Kise Ryouta dishes on girls, games, and glam!
“‘And glam’?” Aomine arched an eyebrow over the magazine’s cover, on which Kise leaned over in a trilby and matching vest, smiling at the reader with all the charm he could muster. “What the hell do you know about glam?”
“More than you!” Kise cried as he tried to snatch the magazine from Aomine, who was too fast for him and ducked an aisle of the convenience store. “Hey, hey! Give it back, Aominecchi!”
“‘But while Kise enjoys signing karaoke and tasting various mineral waters, his perfect date would be—’”
“Aominecchi, stop! Momocchi, help!”
They raced past Murasakibara and Midorima, who were picking out various popsicles to try, and raced along the refrigerators filled with sport drinks.  
“—a pick-up basketball game with his special someone before going out for a—oof!’” Aomine tripped over the suddenly obstructing foot, forgoing the magazine before crashing toward the floor. He whipped around, anger burning in his gaze, knowing who it was immediately. “Tetsu!”
Kuroko’s calm eyes condemned Aomine. “This is Kise-kun’s first interview, Aomine-kun. We should be supportive of his other extra-curricular activities.”  
“What activities does he need other than basketball?”
“Basketball is not life for everyone, Aomine-kun.”
Aomine picked himself up and swiped at the rolled-up magazine, only to be smacked in the head with it. “Bad, Aomine-kun!”
“Oi, Tetsu! At least let’s finish reading about Kise’s screwed up fantasy date. Even I know not to take a girl to a basketball court.”
“Unless she plays basketball.”
“If you say so.”
Kise saw his opening then, reaching down for the magazine in Kuroko’s hand, but Kuroko smacked him on the head, too. “Down, Kise-kun.”
He then promptly cracked open the magazine and scanned the article for where Aomine stopped reading. “‘…his perfect date would be a pick-up basketball game with his special someone before going out for a…”
Kuroko’s voice drifted off, and his sharp eyes flicked upward, meeting Kise’s suddenly bashful face. Kise bit his lower lip and glanced away. It wasn’t like his usual acting face but a look of pure uncertainty and discomfort, and he squirmed, still feeling the striking gaze upon him.
“Tetsu? Kise? What am I missing?” He reached for the magazine. “Let me see that!”
But Kuroko ducked his swipe and scooched past Aomine, replying over his shoulder. “I’ll be buying this.” He stopped by the magazine rack and picked up the remaining five copies. “And these as well.”
Kise’s heart throbbed in his heart, a confusion mix of longing and hope, as Kuroko paid for all six books and exited the store, reading the original copy he stole from Aomine.
“Hey, hey! Tetsu! I can just grab one at another—ow!”
Kise rushed out after Kuroko, only to hear to Aomine yelp again with Momoi’s admonishing, “Dai-chan!”
He caught up with Kuroko on the nearby basketball court, but Kuroko simply put up a finger as he continued reading. Kise shifted from one foot to another, anticipation and anxiety gnawing at his gut, but finally, he couldn’t hold it anymore.
“Kurokocchi—”
“Is this true?” Kuroko demanded, lifting up the magazine. “The date, the best memory from school, the best game you’ve ever played? Is all this true?”
Kise’s cheerful demeanor fizzled until nothing but staunch honesty darkened his once bright gaze. “Why would I lie? I didn’t think you would read it, though.”
“Why wouldn’t I? We’re friends, are we not, Kise-kun?”
“But this is about modeling, and—“
Kuroko stepped forward, so close to Kise that Kise could smell the remnants of Kuroko’s vanilla shake upon his breath. He could feel the heat of Kuroko’s skin; he could almost imagine the soft plushness of Kuroko’s lips.
Kuroko pressed upon his toes, and Kise thought his heart would beat out of his chest.
But the first flash broke them apart.
“Look, look! I was right! It’s Kise Ryouta from Zunon Boy!” a young girl squealed, and Kise threw himself in front of Kuroko, blocking him from the sudden onslaught of camera flashes, cell phone videos, and the flock of girls who stood just beyond the fence.
“Ryouta-chan! Who is the girl you want to share vanilla milkshakes with?”
“Girls, girls, if you could just wait for one moment—”
“I’ll play basketball with you!”
“Pick me! Pick me! I’ll pass the basketball to you!”
“Girls, please—”
But they wouldn’t listen and soon burst through the metal fence of the basketball court. Kise cringed, hating his fame and the attention that came with it for the first time in his life, but the girls wouldn’t be satisfied until they had a piece of him.
He glanced over his shoulder. “Kurokocchi, maybe you—” But Kuroko was already gone.
Read the rest of the chapter here! 
15 notes · View notes
emperor-sei · 9 years
Photo
Tumblr media
KiKuro Month 2015
Week 2 : Kuroko in Kaijo // Kise in Seirin
Kise is intoxicated by Kuroko’s scent
92 notes · View notes
kikuros · 9 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Happy Teikou Kikuro Day
345 notes · View notes
marvel-is-lyfe · 9 years
Text
The Beginning of Everything
for kikuromonth.tumblr.com :D
week #2, prompt: vorpal sword. summary: Vorpal Sword in Through the Looking Glass opened better future for many people, and the same thing happened in this story.
also available here, in ao3.
Disclaimer:
• Kuroko no Basuke (黒子のバスケ) is created by Tadatoshi Fujimaki, serialized in Weekly Shounen Jump, published by Shueisha, and animated by Production I.G.
• The writer does not intend to gain any material from this.
Some would say that the Vorpal Sword had saved Wonderland and thus, had opened various new futures, better futures, to its residents.
This story proved those words, although in a different timeline and a very different situation. Of course, just liked any other stories, this one began with: once upon a time.
.
Once upon a ime, there was an incident involving—
“Are you okay, Kurokocchi?!”
Kise immediately ran to Kuroko and helped him stand again on his own feet. From the corner of his eye, the blond could already see the rage on Kagami and Aomine’s face, could already imagine Midorima gritting his teeth in silence, even Murasakibara’s faceline became harder, and not to mention how Akashi still held his calm although there’s an apparent fury on his eyes.
Kise himself didn’t react, didn’t have time to, because the boy in his arms was his top priorities at the moment.
The blond knew, these all would be dealed in their match with those American bastards. He didn’t need to confront before the match, as Akashi had said after they retracted Kuroko back with them.
When they finally exited that suffocating place, in a voice too quiet to be his, Kise asked Kuroko again, “Are you okay, Kurokocchi…?”
Kuroko gave a slow nod, still with his arms slung on Kise’s neck. After all the ruckus, the others treated Kuroko’s wound and Kagami (and Aomine and Akashi and basically all of them) scolded Kuroko for his reckless action. All the time, Kise just stood at the corner and stared at Kuroko who was being surrounded, quietly. He folded his hands in front of his chest, something that was really unusual for him, for who had known him.
A few minutes later, Kise saw Kuroko and Akashi had a small argument—
“I can go home on my own, Akashi-kun. Please stop worrying.”
Akashi insisted on holding Kuroko’s hand until the blue-haired boy agreed on his decision. “No, you can’t. At least there should be a person who will accompany you home.”
“—I’ll do it. Akashicchi is right, Kurokocchi. I’ll walk you home. Somebody should accompany you. If you don’t want me, I’m sure,” Kise paused for three seconds, then directed his line of sight to Kagami, and to Aomine, “the others will still insist on accompanying you.”
The room fell into silence after Kise finished his short speech. All eyes were on Kuroko, who was apparently still deep in his own thought. Akashi opened his mouth, he was ready for another round of persuation, but then Kuroko stood up abruptly.
“…I’ll go with Kise-kun. So, please, don’t think too much about this matter anymore. It was my own decision to go there at the first place.”
Kise blinked, a bit taken aback by Kuroko’s reply, although he still maintained his calm. A rare sight, because if this were to happen at another place and at another time, he would probably jump in happiness, no, he would definitely jump in happiness.
Kuroko walked towards Kise, and then walked again past him. Kise immediately followed him, after giving a brief smile to the others. For minutes, Kise and Kuroko walked side by side in silence.
This was unsettling for Kise, of course, just as unsettling as any walks he had had with Kuroko in the past.
“… Is it still hurt?” Kise asked, as an act of consideration as well as an attempt to break the silence.
Kuroko didn’t answer for three long and excruciating minutes. When he finally opened his mouth, Kise almost missed his reply because of the low volume Kuroko used.
“A bit,” he said, without turning his head towards Kise, but that was okay. It had happened before, it happened all the time they near each other even.
Kise laughed a small laugh beside Kuroko, and remembered something that had happened a year ago. “This also happened back then in our first year of high school, Kurokocchi. Is this your habit? You sure like to invite troubles, eh….”
“Is that a question or are you trying to mock me, Kise-kun?”
Kise turned his head, and scratched his head although he knew it didn’t itch at all. He diverted his brown eyes to another direction, as long as it wasn’t Kuroko’s blue eyes. Kuroko’s flat tone for his answer before made his reply felt like a cold one. Kise understood already that was just because Kuroko was Kuroko, but it still stung even after four years knowing his friend.
“No, no, of course I’m not trying to mock you, Kurokocchi. That was just a question, I swear.”
Kuroko let Kise’s explanation hang in the air, made Kise thought he probably wouldn’t ever Kuroko’s answer. It had happened before, and might as well happen again now.
They walked again in silence, and that made Kise clenched then unclenched his hands repeatedly. Again, he tried to break the solitude, “Are you thirsty?”
The blue-haired boy finally looked at Kise, and nodded quickly. Kise gave a smile towards Kuroko, then proceed to grab Kuroko’s hand and pulled his friend as he walked faster.
“Okay! I’ll treat Kurokocchi to a vanilla milkshake for your braveness!”
“I’m not a child, Kise-kun,” said Kuroko annoyedly, before adding, “though I don’t mind a free drink….”
Kise laughed again, this time a bit louder. “Let’s go,” he said and pulled Kuroko so they could reach the nearest drink shop Kise had passed earlier before practise started.
The blond ordered two glassess of vanilla milkshake, one being medium size and the other one being large. The large one was for Kuroko, and small smile showed up on Kise’s face when he thought about how the shorter boy could drink all that milkshake in such a short amount of time.
Kise was still smiling when he gave a glass of vanilla milkshake to Kuroko. His expression wouldn’t indicate anything, but Kise knew from the glint on Kuroko’s blue eyes, that his friend appreciated his treat.
They walked again side by side, and although the silence came back, now Kise had a glass that would partly occupied his mind. After awhile, the silence was still deafening, so Kise sighed and stared at the black sky above his head.
“You know, Kurokocchi, everyone is worried about you. Really, really is worried. Your stunt earlier was just—“ Kise stopped his sentece for a moment, but he didn’t pause his steps, “please, just don’t do that kind of thing again in the future.”
Kuroko drank his milkshake again, and after that, with his usual flat voice, he answered Kise, “I thought I could talk to them.”
Kise drew a thin smile on his face, then directed them to Kuroko. “Yeah, not everyone is that an open-minded person.”
The blue-haired boy didn’t argue back, not that Kise hoped for a rebuttal. Automatically, Kise continued his monologue while directing back his line of sight to the vast darkness of the sky.
“Being reunited with my past teammates … I didn’t think this kind of thing would happen, though the hope was there, in the deepest part of my heart.”
Kuroko snorted, then drank again his milkshake. “So cheesy, Kise-kun.”
“So cold!” Kise laughed, he didn’t mean his complain before and he knew that Kuroko understood that already.
“But really,” Kise paused, his brown eyes grew softer before he continued, “I’m so happy I can stand on the same court with you all as teammates. Especially—“
Kise walked in front of Kuroko, and stopped before the blue-haired boy.
“—Especially with you, Kurokocchi. It was a long time ago since the last time I received your pass….”
Kuroko looked up, blue met brown on a straight line. The Seirin kept his emotionless face, but Kise undoubtedly realized how Kuroko’s gaze bore something different from his usual flat look.
Kise considered this as a permission to continue further his short speech.
“And for the time when I was being a jerk back then in middle school—I never apologized directly before—I want to say that I’m so sorry, Kurokocchi had to go through all that had happened at that time.”
Kuroko still didn’t open his mouth, so Kise, again, continued.
“Also, I want to thank you for slapping sense to all of us. Thank you for—“ Kise brought his hand to Kuroko’s shoulder, and put one there, “—believing in me, back then at the semifinal of Winter Cup, Kurokocchi.”
Finally, the blue-haired boy blinked, and Kise retracted his hand. A smile was still present on Kise’s face, as he moved from his position and proceed to walk again beside Kuroko.
They walked again in silence for long, long minutes, but this time, Kise didn’t do anything to disrupt the solitude.
This time, Kuroko was the one who broke the silence.
“… I’ve forgiven all of you since a long time, Kise-kun. I’ve forgiven you, because you all, no matter what, are still my friends.”
Kise’s brown eyes widened, and he laughed softly, but happily. “Of course, you’ve forgiven us. Kurokocchi is a good, a very, very good person after all.”
“Saying that still won’t make you less annoying in my eyes, Kise-kun,” said Kuroko, and although his tone was flat, there was still a tiny tug in the corner of his mouth.
“So mean!”
They walked some more, finally reaching Kuroko’s house area. In a few minute, Kise would finish his job accompanying Kuroko home.
“—Anyway, we’ll beat their ass, those American bastards, right, Kurokocchi?”
“Language, Kise-kun,” said Kuroko annoyedly, but then a smile formed on his face, “but yes, we’ll win.”
Kuroko threw his empty glass to the nearest trash bin, and few more walks, finally they both reached Kuroko’s house. The blue-haired boy opened his fence, and went inside. After closing the fence, Kuroko stood there in front of Kise.
“Thank you for accompanying me, Kise-kun.”
“You’re welcome, Kurokocchi! It’s what friends do, after all.”
Kuroko was still smiling, albeit a small one, but for Kise, somehow, that was enough.
“Kise-kun, do you remember … that one time you asked me on a date in our second year in middle school?”
A look of confusion fell on Kise’s face, as he tried to remember what was Kuroko referencing. “Yes…. What about it…?”
Kuroko stared at Kise’s brown eyes, for a full minute, before finally opening his mouth.
“I think, we just had one.”
Kise blinked, one time, two times, three times, blinked repeatedly, and when he realized what Kuroko meant, the blue-haired boy had been missing from his sight, presumably to his house. Kise’s eyes widened, and a high-pitched whining came out of his mouth.
“E-eh?! That means—Kurokocchi!! So cruel!!”
.
Just like in Wonderland, in this story, Vorpal Sword opened better futures for those who were involved with it. Only, in this story, unliked the original Through the Looking Glass, there was no the end to this story.
This is the beginning of everything.
7 notes · View notes
psikopatunyu · 9 years
Text
kikuromonth: move forward
entri kedua untuk kikuromonth 2015. prompt: born. week 1. bahasa indonesia.
bisa dibaa di AO3.
move forward.
Koridor tempat ia berjalan sekarang berwarna putih-putih bersih. Langkah-langkah kakinya perlahan membawanya ke salah satu kamar di koridor tersebut yang sudah ia hapal sekali letaknya selama beberapa hari belakangan ini. Bau antiseptik yang begitu steril tercium di indra penciumannya ketika ia membuka pintu dengan gagang yang terbuat dari besi berlapis alumunium.
Kedua iris yang sewarna langit pada musim panas itumenangkap seorang pria di atas ranjang sewarna dinding ruangan tempatnya berada. Helaian pirang pria itu berkibar perlahan, dipermainkan angin pagi hari waktu itu. Iris cokelatnya menatap lurus ke luar jendela yang terbuka sedikit.
Satu senyum tipis terbit di bibirnya, “Selamat pagi, Kise-kun.”
Yang memiliki nama menoleh perlahan dengan gestur agak sedikit terkaget. Satu senyum tipis tersungging di bibir pria itu. “Selamat pagi, Kurokocchi.”
Kuroko berjalan mendekat, ke arah vas bunga yang sudah layu beberapa. “Bagaimana kabar Kise-kun hari ini dan tadi malam?” tanyanya sambil mengganti bunga yang berada di vas dengan bunga yang ia beli saat dalam perjalanan ke tempatnya kini; bunga matahari.
Pandangan iris cokelat itu mengikuti arah gerak yang berambut kuning dengan senyum yang masih bertahan di bibirnya. “Baik, kok. Baik-baik saja.”
“Baguslah.” Ujar Kuroko sambil mengembalikan senyuman kepada si kuning yang bernama lengkap Kise Ryouta itu. Yang memiliki iris cokelat tetap tersenyum untuk beberapa saat hingga kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela yang menampilkan pemandangan luar gedung rumah sakit itu kini.
Yang berambut biru mengambil tempat duduk di samping ranjang tempat yang tadi bicara dengannya. Biru matanya mengamati sosok yang masih memandang ke luar jendela seraya menikmati angin pada pagi hari itu. Senyum milik pria itu sudah menghilang—menjadi tatapan datar, tapi tidak sedatar tatapan yang dimilikinya. Datarnya ... seperti kosong. Seperti telah kehilangan ... sesuatu yang penting.
 Dan ia memang kehilangan hal tersebut.
Melirik tujuh batang bunga matahari yang ia bawa tadi, iris Kuroko menyipit sejenak. Bunga matahari adalah bunga kesukaannya—setidaknya setelah seeorang yang cerahnya sama seperti bunga dengan kelopak besar itu membuatnya menyukainya. Tapi jika membandingkan hal itu sekarang, rasanya bunga matahari di samping ranjang yang tidak terkena matahari, jadi terlihat lebih terang daripada matahari miliknya sendiri yang tersiram sinar sang surya penerang Bumi.
Rasanya sakit. Melihat orang yang selalu memberinya kehangatan dengan senyuman yang begitu lebar sampai bisa membelah wajah orang itu, kini memandang datar tanpa ada satupun sinar yang muncul dari balik bibirnya. Pandangannya kemudian teralih pada selimut putih yang menyelimuti bagian bawah tubuh si pria pirang. Perlahan, ia menggenggam ujung kemejanya erat-erat seraya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Kecelakaan itu merenggut semuanya. Tapi ia sendiri juga salah, kenapa tidak memberitahukan firasatnya waktu itu saat di telepon. “Kise-kun.”
Pria itu menoleh, “Ya?”
“Bagaimana ... perasaan Kise-kun?” tanya yang berambut biru seraya memandang lurus iris cokelat di depannya. Kedua ujung bibir Kise membentuk senyum kecil perlahan seraya memejamkan mata seperti saat ia tertawa senang dulu.
“Perasaanku? Tentu saja baik-baik saja, Kurokocchi~”
Bohong. Senyummu terpaksa, dan ia tahu itu. Lima belas tahun bersama sejak pertama bertemu membuatnya mengerti tentang perasaan sebenarnya orang periang di depannya. Dengan senyum yang juga sedikit ia paksakan, Kuroko menimpali, “Kalau begitu ... kita bisa ke tempat mantan ko-pilot waktu itu, Tanaka-san—“ Timpalannya ia hentikan ketika menyadari perubahan mimik pria di depannya. Senyum orang itu menghilang, menjadi wajah kecewa—serta bersalah.
Lagi, ini terjadi lagi. Pertanyaan yang sama ia tanyakan dua minggu sebelumnya kembali mendapat reaksi yang sama. Menghela napas, ia bangkit dari duduknya seraya menepuk kepala pria di depannya yang sedari tadi diam. “Baiklah. Nanti saja, kalau Kise-kun ... sudah lebih merasa baikan dari hari ini.”
Kise balas mengangguk, “Maaf, merepotkan Kurokocchi. Padahal ... itu permintaanku ... untuk mengunjungi ... makam Tanaka-san....”
Kedua tangan kurus perlahan menarik pria pirang tersebut ke dekapan yang berambut biru. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku akan terus bersama Kise-kun. Yang terpenting adalah perasaan Kise-kun dulu.” Kuroko mengeratkan dekapannya, dekapan yang untuk entah keberapa kalinya tidak dibalas oleh pria yang kini lebih memilih diam di balik kemeja biru mudanya.
Ya, baginya yang paling penting sekarang adalah perasaan pria di depannya. Ia sudah tidak terlalu peduli lagi dengan perasaannya sendiri. Perasaan bahwa ia sendiri merasa tersakiti dengan perubahan di senyum pria di depannya. Dekapannya semakin mengerat, erat dan erat, seraya berharap kedua tangan yang mengepal di atas selimut itu meraih punggungnya dan menyangga hatinya yang hampir jatuh.
Senyumnya masih bertahan sejenak setelah Kuroko menutup pintu bergagang besi yang menjadi salah satu akses untuk ke kamar yang ia huni selama beberapa minggu itu. Setelah ia yakin, sepuluh menit sudah terlewat, garis melengkung ke bawah yang tadi berada di bibirnya perlahan memudar. Pasti orang itu sudah berada di lobi rumah sakit sekarang, dan tidak kembali sampai beberapa jam kemudian.
Iris cokelatnya setengah terpejam. Pandangannya jatuh ke selimut putih yang menyelimuti bagian bawah dirinya seraya memikirkan pertanyaan pria yang tadi mengunjunginya (dan secara rutin mengunjunginya).
“Bagaimana perasaan Kise-kun?”
Pertanyaan itu selalu menusuk tepat ke bilik dan serambi jantungnya (karena setiap ia ditanya seperti itu, rasanya jantungnya sakit dan sesak). Tidak, ia tidak menyalahkan pria yang telah menemaninya selama beberapa tahun ini di sampingnya. Ia hanya mengingat kejadian yang telah terjadi padanya, yang telah merenggut semuanya, yaitu:
Kecelakaan pesawat JAL Boeing 747 dengan tujuan Narita International Airport Tokyo, yang terjadi sekitar dua bulan yang lalu dan telahmerenggut seluruh penumpang, staff, pegawai, serta operator pesawat tersebut. Kecuali satu orang. Kecuali sang pilot utama yang mengemudikan pesawat tersebut. Kecuali Kise Ryouta.
Entah karena keajaiban apa yang menyertainya, ia sanggup bertahan dalam keadaan yang sangat kritis di genangan air teluk Tokyo. Pria berambut pirang itu tidak terlalu ingat bagaimana ia bisa dibawa ke rumah sakit tempatnya berdiam kini. Yang bisa ia ingat hanyalah kenyataan bahwa ketika ia membuka mata, warna biru muda yang sangat ia sukai menyeruak memasuki retina di dalam bola matanya. Biru muda yang langsung mendekapnya erat, seakan dirinya adalah barang pecah belah yang jika dilepas saja akan hancur berantakan.
Saat itu, sejujurnya dia benar-benar bersyukur masih bisa hidup dan diselamatkan dalam kecelakaan naas itu. Begitu pula saat ia mendengar kabar bahwa kotak hitam atas pesawat yang ia kendarai sudah diketemukan satu hari sebelum dia sadar dari tidur panjangnya. Diketahui pula bahwa ada kerusakan pada mesin pesawat JAL Boeing 747 itu yang tidak diketahui oleh teknisi-teknisi JAL yang berada di Los Angeles. Dengan kata lain, ini bukanlah kesalahannya.
Tapi tetap saja, tidak semua masyarakat menerima kenyataan tersebut, dan tidak semua orang memberikan simpati padanya—secara tulus. Karena masyarakat memiliki perspektif mereka masing-masing yang berbeda satu sama lain mengenai kecelakaan tersebut (bahkan beberapa media sempat mengompori hal tersebut—membuatnya memilih untuk tidak pernah lagi menonton televisi ataupun membaca surat kabar setelah ia sadar).
Untuk semua orang, berita terselamatkannya dirinya merupakan suatu kabar bahagia dan luar biasa karena ada nyawa yang berhasil selamat sekalipun itu hanya satu jiwa saja. Suatu kabar bahagia pastilah berbanding lurus dengan kabar yang tidak bahagia, dan itu berada pada mereka yang ditinggalkan korban.
“Kenapa anakku tidak bisa selamat, sementara orang itu bisa?”
“Pasti orang itu telah bersiap-siap jika terjadi kecelakaan karena mesin pesawat. Dia pasti tahu juga soal kerusakan di mesinnya.”
“Dia ‘kan pilot. Seharusnya dia mengecek juga tentang mesin pesawat yang nanti dikendarai. Jika ada kerusakan, bisa dialihkan ke pesawat lainnya, ‘kan?”
“Jangan-jangan dia memang ingin membunuh seluruh isi pesawat?”
“Ini tidak adil. Seharusnya dia saja yang mati!”
Dalam sekejap, senyuman seorang Kise Ryouta berubah.
Sakit. Sangat sakit. Sekalipun ia ingin membantah semuanya, semua orang pasti berpikiran sama: tidak ada yang tahu hatimu selain dirimu sendiri. Jika kau berkata kau tak bermaksud melakukan seperti apa yang kami tuduhkan, bisa saja hatimu berkata sebaliknya.
Rasanya ingin mati saja.
Ia terkurung dalam rasa bersalah. Ia sangat bertanggungjawab dalam pekerjaannya sebagai pilot. Amat sangat. Sampai ia harus rela meninggalkan orang yang amat ia sayangi selama beberapa pekan demi pekerjaannya tersebut, demi mimpinya tersebut. Tapi tetap saja, sanksi moral masyarakat berupa gunjingan tak akan berhenti, dan ia terus memikirkannya.
Sampai ia tak mampu berkunjung ke makam ko-pilot yang membantunya serta makam beberapa staff lain di dalam pesawat yang ia kenal dengan baik semua untuk meminta maaf dan berdoa. Ia masih takut, dan masih merasa bersalah atas kejadian yang menimpanya dan mimpi yang dikendarainya.
Tapi bukankah dia harusnya kebal dengan hal itu?
Dia adalah mantan model. Mantan dari profesi yang selalu dibicarakan masyarakat terutama para penggemarnya dulu. Harusnya dia sudah terbiasa, bukan? Apalagi saat ia keluar dari profesinya dan malah memilih mengejar mimpinya yang sebenarnya. Seharusnya dia sudah terbiasa.
Tapi gunjingan kesalahannya yang mengakibatkan beberapa nyawa mati berbeda dengan gunjingan dia berhenti dari modeling demi bisa bersama dengan orang yang dia sayangi tanpa harus terbebani berita miring berupa skandal. Nilai beban keduanya berbeda, dan pastinya rasa di dalam hatinya juga berbeda.
Menggenggam selimut putihnya kuat-kuat, ia berusaha menahan perasaan yang dari tadi menguasai hati dan pikirannya. Berusaha menahan kelenjar lakrimalisnya untuk tidak bekerja selama beberapa saat. Hingga seseorang dengan pakaian putih-putih datang seraya membawa berkas catatan di dadanya.
Perawat.
“Bagaimana kabar Kise-san hari ini?” tanya sang perawat seraya tersenyum sambil menghampirinya.
“Kabar saya baik-baik saja, Sus.” Jawab Kise dengan senyuman tipis di bibirnya, menghilangkan tatapan datar yang tadi ia punya.
“Baguslah.” Balas sang perawat sambil membuka berkas catatan yang dibawa di lengannya. “Oh, ya, bagaimana dengan keadaan kaki Kise-san sekarang? Sudah mendingan?”
Kise terdiam untuk sejenak. Kedua tangannya mengepal kuat. Dengan senyum yang masih sama, ia menjawab, “Ya. Sudah lebih baik dari sebelumnya.”
Sang perawat mengangguk pelan seraya menulis sesuatu di dalam catatannya, “Gips di dalamnya tidak berefek apa-apa, ‘kan?”
“Tidak. Semuanya baik-baik saja, Suster.” Senyumnya terus bertahan. Entah, dia seperti sudah terlatih untuk melakukan kamuflase senyum di depan orang banyak.
“Saya periksa sebentar, ya,” Suster tersebut meletakkan berkas catatannya sementara yang berambut pirang membuka selimut yang tadi menutupi kedua kakinya yang terbalut perban. Sang suster memeriksa sejenak kedua kaki pria itu, lalu kembali mencatat beberapa hal di berkas miliknya.
“Sepertinya memang baik-baik saja dan tidak ada infeksi setelah operasi yang dilakukan waktu itu,” ucap sang suster sambil mencatat lagi. Kise hanya tersenyum sambil menutup lagi kakinya dengan selimut. “Saya tinggal dulu, ya, Kise-san. Selamat beristirahat.”
“Ya.”
Langkah suster tersebut terhenti sejenak seraya wajahnya kembali tertoleh. “Kise-san, tidak baik terus-terusan di kamar. Jalan-jalanlah keluar, ke atap, atau ke beranda dekat sini. Kursi rodamu sepertinya belum pernah Anda gunakan, ya. Kalau bisa, ajak juga si manis berambut biru itu, hehe. Saya permisi dulu, ya.”
Senyumnya masih tetap bertahan sampai sang perawat berpakaian serba putih itu keluar dari ruangannya. Setelah itu, ekspresinya berubah lagi. Senyumnya menghilang lagi. Tatapannya menjadi datar, bahkan lebih datar dari tatapan milik pasangannya. Tangannya perlahan mencengkeram selimut kuat-kuat.
Mendengar perkataan terakhir suster tadi, pandangannya perlahan mengarah pada kakinya yang berselimut. Kaki yang telah membantunya sejak ia lahir sampai detik terakhir pesawat miliknya jatuh dan ia tak sadarkan diri. Kaki yang telah membantunya berjalan dan berlari selama tiga puluh tahun lebih hidupnya ini. Kaki yang telah menunjang reputasinya saat ia menjadi model sekaligus ace dari SMU Kaijou. Kaki yang telah berulang kali ia paksakan untuk berlatih hingga tekniknya sempurna. Kaki yang membawanya pergi berkeliling angkasa bersama mimpinya. Dan kaki yang mempertemukannya dengan orang terkasihnya, Kuroko Tetsuya.
Kaki yang kini sudah tak bisa ia gunakan lagi, sudah tak bisa berfungsi lagi sebagai penopang dirinya untuk berjalan dan berlari ataupun untuk membawa orang yang ia sayangi serta bersanding secara layak dengan orang itu. Satu ketakutannya. Satu ketakutannya semenjak ia tahu bahwa kakinya sudah cacat.
Kelenjar lakrimalisnya perlahan bekerja, meneteskan perlahan air yang mulai membasahi wajahnya. Hancur. Semuanya telah hancur. Benar-benar terenggut.
Hari itu, Kuroko kembali mengunjungi rumah sakit seperti biasanya, menyapa seperti biasanya, membawa bunga matahari seperti biasanya, dan duduk di samping sang mantan model seperti biasanya. Hari itu langit terlihat begitu cerah. Bau angin musim panas menguar dari balik jendela yang terbuka sedikit. Jejak awan lurus yang panjang dari hasil tubrukan pesawat dengan sekumpulan awan besar terlihat dari ujung jendela.
Orang di hadapannya masih belum berubah. Meski senyum orang itu sudah tidak terlihat (atau kelihatannya) dipaksakan, tapi aura yang menandakan bahwa orang di depannya bukanlah orang yang biasanya menggelayutinya kemanapun dimanapun sejak dulu, masih tetap ada. Masih tetap menyelimuti orang itu. Masih tetap menjadikan orang di hadapannya bukanlah Kise Ryouta yang ia kenal.
“Langitnya cerah sekali, ya, Kurokocchi.” Ujar si pirang, yang sedari tadi melihat langit dan awan di balik jendela kamarnya, mulai membuka percakapan.
Yang duduk di sebelahnya lalu memandang sejenak langit yang sewarna rambut yang ia miliki. “Ya. Cerah sekali, Kise-kun.”
 Tapi dirimu tidak.
Kise menoleh kemudian ke arah tujuh bunga matahari yang sudah kembali segar di meja di sampingnya—seraya mengabaikan tatapan pria berambut biru yang tertunduk. Senyum perlahan muncul di wajahnya. “Bunga matahari yang selalu dibawa Kurokocchi ke sini juga selalu cerah dan segar. Seperti habis dipetik.” Ujarnya lagi.
“... Ya. Aku memang selalu memilih yang paling segar dan cerah setiap aku ke sini.” Jawab pria yang satunya tanpa menoleh.
Yang berambut kuning tersenyum sedikit lebar—dan dipaksakan. “Pantas. Warnanya cerah sekali, hihi.”
“... Ya. Cerah sekali.”
 Tapi dirimu tidak.
Pria pirang itu kembali menatap ke arah jendela, membiarkan angin musim panas menerpa wajah dan menerbangkan helaian rambutnya. Senyum samar terukir di bibirnya yang sedikit pucat, yang secara tak langsung membawa suasana menjadi hening kembali. Di sisi lain, yang memiliki untaian helai biru muda tetap tertunduk—sambil mengepal erat kedua tangan di atas lututnya.
Sesungguhnya ia sudah lelah. Lelah terhadap semua yang terjadi pada orang di hadapannya, orang yang dikasihinya, yang secara tidak langsung berimbas pada dirinya yang menyayangi orang itu. Dia lelah melihat wajah kepura-puraan orang itu, dia lelah melihat senyum miris itu, dia lelah harus menahan rasa pedih melihat orang di sampingnya kehilangan cahaya dan sinarnya yang begitu ia sukai.
Dia lelah.
Dia ingin melihat orang itu tersenyum lagi, tersenyum dengan begitu lebar, begitu cerah, begitu mengagumkan, sampai bahkan membuat sang mentari di luar sana malu karena sinarnya kalah terang dengan senyum yang dimiliki oleh seorang Kise Ryouta. Dia ingin sekali orang di hadapannya ini kembali seperti dulu. Saat insiden pesawat itu belum terjadi, saat telepon yang ia terima dari orang itu masih memancarkan energi hangat dan keceriaan. Saat semua yang merenggut personaliti orang itu belum terjadi.
Tapi orang di depannya masih tetap belum kembali.
Rasanya ia seperti kembali ke masa tidak menyenangkan saat kelas tiga sekolah menengah pertama, dimana semuanya terasa kosong baginya, dimana cahaya yang berada di sana menjauh, menjauh, lalu menghilang. Menjadi kosong, dan gelap.
Dan ini jauh lebih gelap dari saat itu.
“... Kise-kun.”
Pria berambut pirang itu menoleh padanya, “... Ya?”
Yang tadi memanggil terdiam untuk sesaat. Ia tidak tahu apakah harus menanyakan ini lagi atau tidak, dan ia tidak tahu bagaimana menanyakannya secara lebih layak. Jadi ia mengulang pertanyaannya yang dulu dengan susunan yang berbeda, “Perasaan Kise-kun masih ... belum tenang?”
Dapat dilihatnya, iris cokelat itu memandangnya lurus tanpa cahaya terang. Redup. Seakan ingin berubah menjadi gelap dan lalu mati. Senyum terpaksa itu kembali. Senyum yang tak terang, senyum yang redup. “Ah.... Maaf....” bisik orang itu dengan suara yang pelan—yang amat sangat bukan dirinya.
Jawaban itu tak dibalas olehnya, olehnya yang memandang orang itu dengan wajah datar, walau iris biru yang dimilikinya bergejolak, seakan ingin meluap dan lalu tumpah. Tapi memang semua itu tak bisa dipungkiri. Birunya bergejolak layaknya apa yang ada di balik sekumpulan tulang rusuknya. Ia ingin semua ini berakhir. Ia ingin orang itu kembali.
Menjadi Kise Ryouta yang dulu.
“Kise-kun....” bibirnya kembali berbicara, melantunkan nama yang amat ia suka. Panggilannya tak terjawab (dan untuk pertama kalinya tidak terjawab selain karena yang bersangkutan sedang ngambek seperti anak kecil). Menghela napas, Kuroko berdiri dari duduknya seraya memandang pria di depannya lurus dan tegas.
“Kise-kun, aku mohon, jangan pikirkan lagi ucapan mereka waktu itu. Kecelakaan ini ... bukan kesalahanmu,” Kuroko mulai berbicara dengan nada datar namun tegas sekaligus memohon. Ekspresi di wajahnya tetap datar dengan mata yang masih bergejolak, meskipun orang di depannya—hanya menatap dengan raut sedih dan lalu menunduk. “Semua itu terjadi di luar kehendakmu. Jadi jangan dipikirkan la—“
“Kurokocchi, apa kau tahu perasaan orang yang mendapat suatu keperayaan untuk melindungi dan menjaga serta membawa orang banyak hingga selamat sampai tujuan, tapi kau malah membuat mereka celaka dan hingga ... tewas, sementara dirimu sendiri selamat dari kematian di depan matamu?” suara rendah (yang begitu rendah) pria itu memotong ucapannya—membuat ulu hatinya berjengit sesaat mendengar suara rendah pria itu (sama seperti saat mendengar suara pria itu dengan nada tinggi) serta membuatnya terbungkam.
Karena yang ditanyai tetap diam tanpa suara, Kise memilih untuk melanjutkan ucapannya. “Tidak tahu, ‘kan? Hatimu terbebani, Kurokocchi. Banyak orang yang mengharapkanmu, tapi kau malah mengecewakan mereka. Aku yakin mereka pasti sedang mengutukku di dunia sana karena aku gagal sebagai pilot....”
Kedua tangan kurus putih itu mengepal, mencoba menahan gejolak di dalam dadanya. Biru itu semakin tegas. “Aku ... aku memang tidak tahu bagaimana rasanya, aku memang tidak pernah merasakannya. Tapi yang aku tahu dan aku yakini, Kise-kun sudah melakukan yang terbaik.Kise-kun tidak gagal sebagai pilot, karena Kise-kun telah hidup demi mereka dan memberikan keterangan atas apa yang terjadi di pesawat waktu itu. Aku percaya padamu, Kise-kun....” Jelas Kuroko panjang lebar dengan satu senyuman tipis yang samar—serta lembut. Ia berharap, ia berharap dengan kata-katanya hati orang di depannya bisa kembali. Senyum itu bisa kembali. Kembali bercahaya terang.
Wajah di depannya menatapnya untuk sesaat, hingga kemudian tertunduk—membuatnya sedikit bingung. Samar terdengar kekehan miris—keluar dari bibir orang yang berada di hadapannya. “... Melakukan yang terbaik? Tidak gagal? Lalu kecelakaan itu apa, Kurokocchi?!”
Dan urat nadinya kembali berjengit. Bukan, bukan ini yang diinginkannya.
“Mungkin aku lupa menceritakannya, tapi pendaratanku selama aku bekerja tidak selalu mulus. Aku pernah melakukan pendaratan darurat beberapa kali, bahkan hingga terancam bahaya.Meski tidak banyak, tapi aku yakin di luar sanaada sebagian yang kecewa kepadaku, dan mungkin tidak mempercayaiku ke depannya....”Satu tetes kecil jatuh dari iris cokelat milik Kise—perlahan menjadi satu sungai.
“Aku tahu ... aku tahu kecelakaan itu memang bukan karena kesalahanku mengoperasikan, aku tahu itu karena mesin pesawatnya rusak ... tapi ... tapi jika saja waktu itu aku meminta untuk mengganti pesawat dan men-delay penerbangan ... pasti ... pasti.....” badan yang mulai mengurus itu bergetar perlahan seraya mencengkeram erat selimutnya—beriringan dengan getaran di kedua tangan Kuroko.
Keduanya lalu kembali terdiam seraya menahan beban sesak di dalam benak masing-masing. Hening, hanya ada desah napas masing-masing yang berat serta gumam isak samar. Angka 25 yang berada di pendingin ruangan rasanya seperti rusak; udaranya menjadi jauh lebih dingin dan berat dari sebelumnya.
Iris cokelat itu perlahan terangkat, menatap lurus ke arah dinding di depannya. Cahaya di dalamnya benar-benar hilang, hanya tersisa begitu sedikit (bahkan Kuroko berani bersumpah tatapan datar yang ia lihat di depannya kini jauh lebih datar dan sinis dari lawan-lawannya selama ia bertanding sebagai pemain basket sewaktu SMU).
Satu senyuman sinis di bibir yang berambut pirang. “Mungkin ... mereka benar....”
“...”
“Mungkin ... aku memang lebih pantas mati saja....”
Dan satu suara tamparan terdengar membahana di dalam heningnya ruangan dingin tersebut.
Iris milik Kise membulat, terlihat seperti pangkal bunga matahari yang disukai oleh lebah. Tapi kini sang lebah lelah. Lelah dengan pahitnya bulatan cokelat itu kepadanya. Lelah dengan segala warna kuning pucatnya. Lelah dengan rasa bersalahnya. Benar-benar lelah.
Kuroko terdiam sementara tangannya masih melayang di udara. Telapak tangannya masih panas, berikut pula dengan wajah dan kedua matanya. Sementara Kise masih tetap pada wajah syok miliknya. “Jangan bicara hal seperti itu, Kise-kun,” nada pria itu datar tapi tegas. “Kamu harus bersyukur karena masih bisa diizinkan untuk hidup. Sudah kubilang juga, hidup Kise-kun ini demi mereka agar kematian mereka tidak menjadi insiden tanpa keterangan.”
Kise masih terdiam—dan lalu terkekeh perlahan. “Tapi mereka berbicara, bicara seolah memintaku untuk mati, seolah tidak ingin aku hidup di dunia ini,” jeda di antara napasnya, “seperti saat aku masih model dulu—oh, atau saat aku bermain basket ketika kita SMP dan SMU. Mungkin Kurokocchi tidak pernah mendengarnya, tapi aku selalu mendengar perbincangan mereka tentangku. Mereka berbicara tentangku yang mencoba meningkatkan kepopuleran dengan bermain basket, mencoba mencari sensasi dengan beralih profesi, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya....” Biru di depannya tetap diam mendengarkan segala penuturan tegas yang berambut pirang.
“... Semuanya ... seperti tidak menginginkanku ada. Semuanya membenciku. Dari dulu ... hingga sekarang....” suara Kise yang tadi tegas melirih perlahan—seraya mengabaikan iris biru yang sudah hilang cahayanya di balik helaian biru muda yang menutupi bagian atas matanya. Terdiam, menunduk, mendengarkan semua ocehan sang bunga matahari yang kehilangan cahayanya, sekaligus mencerna semua ucapannya serta mengorelasikan dengan apa yang dirasakannya.
Kuroko menghirup napas dalam-dalam. Ia benar-benar sudah lelah. “Kise-kun,” panggilnya—dan lagi, iris cokelat itu tak tertoleh. “Aku benar-benar bersyukur ... benar-benar bersyukur telah bertemu dengan Kise-kun selama hidupku. Aku benar-benar berterima kasih juga pada ketiga puluh dua tahun hidup Kise-kun di dunia ini. Karena dengan lahirnya Kise-kun, aku bisa bertemu dengan orang yang sangat aku sayangi ... sampai sekarang.
“Bagiku, hidup Kise-kun tidak sia-sia. Aku tidak pernah membenci Kise-kun, karena sejak dari dulu, kau adalah teman yang paling baik. Bahkan hingga sekarang, kau menjadi teman hidup terbaik yang pernah ada. Ingat, Kise-kun, aku selalu berada di sisimu. Jadi tolong, jangan hiraukan lagi ucapan mereka, dan ... aku sudah lelah jika harus menghadapimu yang seperti ini terus.” Kuroko mengakhiri penjelasannya dengan tatapan tegas.
Kise masih terdiam, masih belum bergerak dari posisinya. Diam, tidak membalas, baik menyanggah, maupun menyetujui. Hingga kemudian Kuroko kembali memanggilnya, “Kise-kun.”
Tak menoleh.
“Ryouta-kun.”
Tetap tak bergerak.
“Kise Ryouta-kun.”
Masih bertahan.
“Ryou....”
Dan yang berambut biru menyerah. Orang itu bahkan tidak menoleh pada panggilannya yang terakhir. Panggilan yang terakhir....
“Aku pergi, Ryou.”
Kuroko kemudian berbalik lalu keluar dari ruangan kamar tersebut. Langkah kakinya cepat, cepat, cepat—lalu berlari kecil sampai lift khusus pengunjung; meninggalkan pria berambut pirang yang wajah berusianya mulai basah.
Hari itu, langit dari balik jendela gedung Taman Kanak-kanak itu terlihat sangat cerah. Biru cerah tanpa awan putih yang menghiasi batas lapisan stratosfer di atas sana. Suhu udara masih dalam ukuran hangat, masih nyaman untuk berada di dalam rumah ataupun untuk bermain di luar rumah. Satu hari musim panas yang sempurna.
Siang itu, Kuroko baru saja selesai menidurkan anak-anak didiknya yang berjumlah dua puluh anak di kelasnya yang bernamakan kelas Bunga Matahari. Cuaca yang nyaman bagi bocah-bocah berumur lima tahun di dalam kelasnya untuk menikmatitidur siang demi pertumbuhan mereka (tidur siang sangat bermanfaat, lho, sebenarnya).
Iris birunya menyisir perlahan ke seluruh area kelas. Senyumnya masih bertahan hingga biru langit itu menangkap bayangan tangkai-tangkai bunga matahari besar yang sempat dia dan anak-anak didiknya petik ketika mereka pergi ke Festival Bunga Matahari kota Zama di Kanagawa. Pandangannya tertahan pada bunga kesukaannya itu—serta orang yang ia personifikasikan sebagai bunga itu. Menghela napas, ia memilih untuk keluar dari ruang kelas.
Sudah dua minggu sejak kejadian itu. Sudah dua minggu pula, dia tidak pergi ke rumah sakit. Sebenarnya ia ingin, hanya saja, ia tidak mau melihat wajah putus asa orang itu lagi. Orang itu tak seharusnya seperti itu. Seharusnya orang itu tidak mudah menyerah. Seperti saat dia kalah bertanding di interhigh, saat dia kalah dalam semifinal, ataupun saat kakinya kembali tak bisa digerakkan karena memforsir latihannya untuk menyempurnakan tekniknya.
Orang itu selalu bisa bangkit, bangun, dan kemudian terus berusaha. Putus asa bukanlah kepribadiannya. Kehilangan cahaya juga bukanlah personalitinya. Seharusnya dia bercahaya, bersinar dengan senyumnya yang menyilaukan dan terkadang membuat sebagian orang sakit kepala (tapi tentu saja tidak baginya).
Seharusnya dia seperti itu.
Menghela napas lagi, Kuroko melangkah menjauh dari ruang kelasnya sampai nanti jam terakhir sebelum anak-anak yang super manis dan lucu-lucu itu pulang lagi menuju rumah mereka masing-masing. Daripada memikirkan orang yang mungkin masih saja sama seperti dua minggu lalu, lebih baik dia beristirahat saja. Dia juga sudah lelah sedari tadi bermain kejar-kejaran dengan bocah-bocah mungil yang kini sedang terlelap di kelas mereka.
Saat kaki-kakinya melewati koridor menuju meja di kantornya, dua kali pesawat kertas terbang melintasi atas kepalanya dan jatuh berturut-turut di depannya. Kuroko berhenti. Diambilnya pesawat kertas tersebut seraya melihat ke arah belakangnya.
Tidak ada siapa-siapa.
Karena tidak ada siapa-siapa, pria berambut biru itu memilih untuk melanjutkan lagi langkah kakinya hingga satu suara memanggilnya.
“Tetsuya-sensei.”
Kuroko kembali membalikkan badannya ke arah belakang. Tapi sekali lagi, tidak ada orang yang menyapanya.
Tunggu. Ini horor. Tidak mungkin gedung taman kanak-kanaknya itu dihantui. Seharusnya ada rumornya, dan seharusnya taman kanak-kanak ini tidak akan didirikan karena rumor tersebut. Tapi rumor itu tidak ada. Jelas tidak mungkin ada hantu.
“Tetsuya-sensei, itu milikku.”
Namun, suara itu datang kembali. Mungkin ada seseorang yang menjahilinya. Kuroko menghela napas lagi, “Baiklah. Kalau ini milikmu, sekarang ke sini. Ambilah. Ini ‘kan milikmu.” Suasana sempat hening—sampai sesosok berambut pirang memasuki pandangannya dengan sebuah kursi roda yang membantu sosok itu mendekatinya perlahan.
“... Kise-kun....”
Sosok itu hanya tersenyum lebar—dan entah kenapa serasa tidak dipaksakan. Roda kursi yang besar namun ramping itu berhenti tepat di depannya. Kuroko merasakan perbedaan ketika biru miliknya memandang sosok di depannya. Rasanya dulu dia harus mendongak hanya untuk memandang wajah pria yang hobi tersenyum di dekatnya. Tapi sekarang berbeda. Orang itu yang harus mendongak sedikit padanya.
“Ada perlu denganku?”
“Aku hanya ingin jalan-jalan ke sini. Tidak boleh?” senyum orang itu masih sama seperti tadi.Kuroko tidak menjawab, karena dia tahu, pertanyaan orang itu tak butuh jawaban. Karena tak ada jawaban, tangan besar Kise perlahan meraih satu pesawat kertas di tangan Kuroko. Ia lalu menggerakkan tangannya ke udara, membuat seolah-olah pesawat itu seperti sedang terbang di udara.
“Kalau begitu, aku pergi ke kantor dulu.” Pamit Kuroko seraya membalikkan badannya. Menghela napas pelan, pria itu kembali menoleh ke belakang—karena tangan mungilnya ditahan oleh tangan besar di belakangnya. “Kise-kun mau apa?”
“Maaf.”
Mata biru Kuroko berkedip dua kali. Dia memilih untuk tidak membalas dan membiarkan orang di depannya melanjutkan maksud ucapannya.
“Aku ingin minta maaf ... kepada Kurokocchi,” lanjut Kise sambil mengeratkan pegangannya pada pergelangan tangan yang berambut biru di depannya. “Maaf ... karena telah membuat Kurokocchi marah waktu itu.”
“Aku tidak marah, Kise-kun.” Sanggah Kuroko cepat.
“Tapi tetap saja Kurokocchi kesal, kan?” balas Kise kembali dengan cepat pula, hingga membuat yang dibalas kembali terdiam—karena itu benar (karena sesabar-sabarnya Kuroko kepada Kise, dia tetap akan kesal dan capek kalau diperlakukan seperti itu). “Karena itulah, aku ingin minta maaf. Maafkan aku, karena telah merepotkan Kurokocchi selama dua bulan lebih ini. Aku baru menyadari bahwa ucapan Kurokocchi waktu itu ada benarnya. Aku baru sadar, bahwa selama ini, tidak hanya aku saja yang menderita, tapi Kurokocchi juga.”
Wajah itu perlahan basah.
Kise menghirup napas perlahan—mencoba mengaturnya. “Maaf, aku telah egois dan bodoh, bicara seolah-olah aku yang salah namun juga seakan-akan aku yang paling perlu dikasihani... dan bodohnya,... aku tidak sadar bahwa ada orang lain di sampingku yang ... jauh lebih sakit karena diriku tapi tidak pernah sekalipun mengeluh kepadaku....”Kise menatap lurus pria berambut biru yang kini menggigit bibir bawahnya erat-erat. “... Dia adalah Kurokocchi.” Satu senyum tipis tercipta di bibir Kise.
Kuroko tetap terdiam. Bibirnya tetap tertutup seraya menguatkan ekspresi datar di wajahnya meskipun cahaya di mata birunya yang jernih itu terlihat bergoyang dan bergejolak, seperti lautan yang sering ia dan pasangannya lihat setiap musim panas setiap tahunnya.
Karena tidak ada pergerakan apapun dari yang berambut biru, Kise meraih tangan Kuroko yang satu lagi, membuat yang bersangkutan maju beberapa langkah—menghadapnya total. “Maafkan aku. Kurokocchi selalu ... selalu berada di sampngku, tapi aku ... tidak menyadarinya. Aku tidak menyadari bahwa ... ada orang yang selalu ada untukku, yang menerimaku, yang selalu menjadikanku prioritasnya. Padahal ... waktu ada gosip saat kita kuliah dulu, ... Kurokocchi benar-benar sabar. Dibandingkan denganku sekarang ... rasanya aku benar-benar lemah....”
Tangan yang tergenggam bergetar perlahan.
“Aku ... menyalahkan hidupku, ingin membuang hidupku, ... padahal ada orang yang membutuhkanku, ada orang—banyak orang yang akan bersedih dan terluka jika aku hidup ... hanya karena tidak kuat mendengar perkataan-perkataan mereka....” wajah Kise kembali basah—begitu pula dengan wajah yang kini tertunduk di depannya. Beberapa tetes air jatuh di wajah mereka, membungkam kedua bibir yang menahan sesak di dalam dada masing-masing.
“Seharusnya aku bersyukur ... ada orang yang berterima kasih karena aku lahir ke dunia ini selain keluargaku,” satu senyum keluar di antara sela kulit wajah Kise yang basah. “Maaf, Tetsuya.... Maaf...."
Kedua lengan kecil Kuroko melepas perlahan genggaman tangan yang lebih besar—kemudian melingkar, membawa pria berambut pirang itu ke dalam dekapannya. Dekapannya erat, sangat erat, meskipun kedua lengannya bergetar hingga ke tulang-tulang. Dapat ia rasakan basah di apron biru bagian dada yang biasa ia gunakan untuk bekerja, rasa basah yang kemudian masuk menembus bajunya. Dapat pula ia rasakan lengan yang tadi sempat tergantung, membalas tidak kalah erat dengan dekapan miliknya.
“Maaf, Kurokocchi....”
Suara isakan teredam dalam dadanya yang basah. Isakan yang hebat, yang jauh lebih menyakitkan, namun juga melegakan. Isakan yang seharusnya sudah ia dengar dulu, dulu, dan dulu, namun baru bisa terdengar sekarang, saat ia sudah lelah. Tapi bagaimanapun juga, ia serta orang di depannya tetaplah manusia. Selelah-lelahnya dia, sekesal-kesalnya dia, bagaimanapun juga, dia akan tetap memaafkan seorang Kise Ryouta.
Karena bagaimanapun juga, dia takkan bisa membenci seseorang yang terlahir bernama Kise Ryouta tersebut.
“Kise-kun,” Kuroko menyahut sambil menangkup wajah Kise setelah beberapa saat pria di depannya itu mulai tenang. Wajah pria itu basah, lengket, jelek sekali, jika ia ingin jujur. Dengan perlahan, Kuroko mengusap pipi yang masih basah dan lengket tersebut dengan jarinya. “Kise-kun harus janji kepadaku satu hal.”
Iris cokelat itu berkedip dua kali sambil memandangi yang berambut biru di depannya. “... Apa?”
“Jangan menyalahkan dirimu lagi. Jangan dengarkan ucapan buruk orang lain tentangmu. Jangan terpuruk dalam masa lalumu. Dan jangan ...” Kuroko menghirup napasnya untuk sesaat, “... menangis seperti ini lagi. Wajahmu jelek.”
Senyum geli terbentuk di bibir Kise setelah sebelumnya agak kaget dengan kalimat terakhir Kuroko. “Iya, aku janji.” Serunya perlahan dengan senyuman yang melebar. Senyuman yang dirindukan pria di depannya.
“Kise-kun memang lebih pantas tersenyum daripada menangis.” Senyum di bibir Kuroko ikut melebar sedikit melihat senyuman cerah yang berada di depannya.
“Berarti sekarang wajahku sudah tidak jelek lagi, dong, eh?” timpal Kise dengan nada bercanda serta senyum kecil.
Kuroko mengacak-acak rambut pirang Kise pelan. “Ya, ya, ya, terserah Kise-kun saja.” Sementara yang diacak hanya terkekeh pelan—sambil menarik pria di depannya hingga jatuh ke pangkuannya. “K-Kise-kun—!” rona tipis muncul bersamaan dengan iris birunya yang membulat kaget. Duh, untung koridor sedang sepi dan seluruh anak-anak sedang tidur.
“Hadiah permintaan maafku, hehe.” Sahut pria itu dengan kekehan pelan.
“Bukan itu. Tapi ... gips di kaki Kise-kun....” Bola mata birunya perlahan menggestur ke arah dua kaki yang sedari tadi diam di atas kursi roda tersebut.
“Hancur pun tidak masalah.”
“...”
“Kakiku sudah patah dan hancur sebagian demi memenuhi tugasku sebagai pilot ... serta hukuman bagiku,” satu tangannya mengerat pada pinggang pria di pangkuannya. “Dan ... sudah saatnya juga kakiku untuk istirahat di samping Kurokocchi setelah melanglang buana mengejar mimpi, ‘kan?” Kise tersenyum kecil seraya mengeratkan pelukan pada Kuroko.
Kuroko mengacak helaian rambut pirang di hadapannya sambil tersenyum tipis. “Dasar bodoh.”
Kise terkekeh pelan merasakan acakan di rambutnya. “Jadi sekarang kita kemana?”
“Keluar. Jangan di sini. Memalukan kalau sampai dilihat anak-anak.”
“Oke~!!” Dengan perlahan, kedua lengan besar Kise mengayuh dua roda besar di sampingnya. Berputar, berputar, berputar, menjauh searah dengan dua pesawat kertas yang terbang di udara. Bersamaan dengan itu, Kuroko tahu, mataharinya sudah bersinar kembali seperti biasanya.
3 notes · View notes
himehoshina · 9 years
Link
summary:  Kise selalu terobsesi pada sesuatu berwarna biru. Laut biru, langit biru, anak laki-laki berambut biru.
2 notes · View notes
kyuubs · 9 years
Photo
Tumblr media
my bf with his new hair cut 
93 notes · View notes
doomingillusions · 9 years
Photo
Tumblr media
For Kikuro Month
Week 1 7/11
26 notes · View notes
kikuromonth · 9 years
Text
Week 2: 7/18-7/24
Week 1 is now over! Week 2 theme prompts are:
Kuroko in Kaijo | Kise in Seirin | Vorpal Swords
Remember, we will accept/reblog late submissions! Please have fun with these new prompts!
9 notes · View notes
fartbeams · 9 years
Link
Chapters: 1/1 Fandom: Kuroko no Basuke | Kuroko's Basketball Rating: Teen And Up Audiences Warnings: No Archive Warnings Apply Relationships: Kise Ryouta/Kuroko Tetsuya Characters: Kise Ryouta, Kuroko Tetsuya Additional Tags: Established Relationship, Domestic Summary:
Kuroko and Kise move into an apartment together for college and get married (or not).
8 notes · View notes
atelierre · 9 years
Photo
Tumblr media
Week 1 | 7.11
429 notes · View notes