Tumgik
#instrospeksi
duniapetualangkata · 2 months
Text
Egois memang bagi kebanyakan orang yang tidak mengenamu, tapi kita perlu waktu untuk memikirkan diri sendiri, waktu untuk berdamai dengan diri sendiri, waktu untuk merencanakan segalanya dan waktu untuk memikirkan semuanya.
9 notes · View notes
delimacanda · 1 year
Text
Sepandai - pandai hati menyembunyikan. Semesta takkan luput untuk mengeja, apakah upayamu itu tulus atau modus? Benarkah setiap usaha yang terkerah untuk Allah atau untuk selain Allah? Apakah niat itu ikhlas atau mengharap balas?
Kadang (hanya terkadang), lisan mengucap ikhlas, hati berusaha tak mengharap balas, tapi ketika sebuah upaya yang terlaksana tak sesuai yang direncana, ada setitik rasa kecewa.
Lalu, apakah itu sejatinya ikhlas? Benarkah itu yang dimaksud tulus?
Wahai diri, mari kembali ke sanubari, tanyakan pada hati, mulailah berdialog dengan diri, posisikan kita sebagai seorang hamba. Dalam hening yang sunyi, jawab jujur sepenuh hati:
- Benarkah usahamu sudah ikhlas, wahai diri?
- Benarkah tujuan dan niatmu untuk Illahi Rabbi?
- Sudahkah menyertakan Allah dalam setiap proses yang di lalui?
Apapun jawaban itu, hanya kamu dan hatimu yang tahu. Jika pun jawabannya tidak atau belum. Tak mengapa, akui saja. Setidaknya jujur dengan diri sendiri. Ingat setiap peristiwa yang terjadi. Kupas satu persatu sambil introspeksi. Akui setiap salah dan khilaf, sambil istighfar memohon ampun kepada Allah.
Maaf Ya Allah, jika aku masih mengharap balas dan berlindung dengan kata ikhlas.
Maaf Ya Allah, aku lupa meminta pertolongan Mu agar senantiasa menjaga niat dalam hatiku.
Maaf Ya Allah, jika ikhlas yang selama ini terlisan, ternyata hanya sepanjang lidah saja. Belum sepenuhnya bisa direalisasikan. Bahkan jauh dari yang ku kira.
Aku malu kepada Mu, Ya Allah 😭
Ya Allah dengan segala kerendahan hati, hamba memohon pertolongan dan taufiq Mu. Agar senantiasa berjalan dijalanMu, menjadikan ridho Mu sebagai tujuan, dan meyakini bahwa dari Mu lah sebaik-baik balasan. Tiada daya dan upaya tanpa pertolongan dari Mu semata.
Yogyakarta, 8 April 2023
4 notes · View notes
ay4hlive · 9 months
Text
Self Reminder
Perayaan hari ulang tahun adalah suatu tradisi yang umumnya dirayakan setiap tahun untuk memperingati hari kelahiran seseorang. Meskipun makna dan cara perayaannya dapat bervariasi dari budaya ke budaya, serta dari individu ke individu, ada beberapa makna umum yang terkait dengan perayaan ini: Penghormatan kepada Kehidupan: Hari ulang tahun adalah saat untuk merayakan kehadiran seseorang dalam…
View On WordPress
0 notes
chillinaris · 2 years
Text
Tumblr media
Woles guys... 😌
0 notes
irfan-bukhori · 10 months
Text
0 notes
adilemadil · 4 months
Text
Tumblr media
Betapapun persangkaan baik kepada kita adalah doa, muhasabah diri juga jangan dilupa.
Sejalan dengan dawuh Allahu yarham Syaikh Said Ramadhan al-Buthi, “Aku tak pernah menemukan penyakit yg lebih berbahaya pada diri umat Islam dibanding kelalaian mereka terhadap instrospeksi diri sendiri”.
Dan berdoalah sebagaimana yg diajarkan Sayyidina Umar radhiyallahu ‘anhu: “Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yg mereka sangkakan kepadaku, dan ampunilah aku atas (dosa dan kesalahan) yg ku perbuat, yg mereka tak sedikitpun tahu akan perbuatanku itu”.
110 notes · View notes
fajarsbahh · 1 year
Text
Coba instrospeksi, barangkali ada orang yang pernah kita dzalimi; rahasianya kita singkap, atau aibnya kita umbar, atau haknya kita ambil, atau hatinya kita sakiti? Karena bisa jadi itulah penyebab dari segala kesempitan dan kesedihan hidup yang sedang kita alami.
Sebab amal itu, baik atau pun buruk, akan kembali kepada diri kita sendiri.
Fajarsbah
22 notes · View notes
pemintalkata · 1 year
Text
Pilu
Jam dinding menunjukkan pukul 20.30 WIB, penghuni rumah sudah pergi beristirahat di kamar masing-masing. Ayah, mama, dan kedua adikku. Sejak sore tadi langit mendung tapi hujan nggak juga kunjung turun. Aku mengambil ponsel yang kuletakkan sembarangan di atas kasur, melihat notifikasi dan melemparnya kembali.
Aku kembali melihat jam dinding. Belum ada jam sembilan. Aku pun memutuskan untuk merapikan lemari pakaianku karena hal tersebut jadi kebiasaanku saat sedang gusar.
Setelah membereskan semuanya, akhirnya aku kembali melihat notifikasi di ponsel. Masih belum ada pesan darinya, kekasihku yang sudah hampir satu tahun lebih menjalani hunbungan denganku.
Ragu, akhirnya aku buka kolom chat kekasihku, dan aku kirimkan sebuah pesan untuknya. “Fan, kamu kenapa?”
Pertanyaanku tentu bukan nggak berdasar. Sudah beberapa hari ini, dia sama sekali nggak menghubungiku tanpa memberi kabar sebelumnya. Sungguh di luar kebiasannya.
Ternyata, pesanku dijawab dengan cepat olehnya.
“Nggak apa-apa.” cuma itu yang dia katakan. Aneh. Biasanya yang bilang nggak apa-apa itu kan cewek ya.
“Yakin?” tanyaku masih ragu dengan jawaban yang ia sampaikan.
“Iya, Za.”
Aku anggap jawabannya sungguhan. Tapi sehari dua hari masih sama, akhirnya pertanyaan yang sama aku tanyakan ulang. Dan jawabannya pun masih belum berubah juga, nggak apa-apa.
“Kamu mau kita udahan apa gimana?” akhirnya kalimat itu yang justru muncul. Mungkin karena aku sendiri udah merasa semuanya terlalu melelahkan.
“Kamu mau gitu?” jawabnya, balik bertanya.
“Aku sih nggak mau ya, kamu?”
“Aku tiba-tiba nggak yakin sama kamu, Za.” Jawaban yang sama sekali nggak pernah aku prediksikan akan terlontar. 
Nggak yakin? Apaan tiba-tiba nggak yakin? tanyaku dalam hati.
“Kenapa, Fan?”
“Ya dari kemarin aku ngerasa makin nggak yakin sama kamu.”
“Kurangku yang mana yang bikin kamu nggak yakin?”
“Nggak tau, Za.” Mulai terbaca bau-bau alasan dari balasannya.
“Kamu butuh waktu buat mikir?”
“Boleh?”
“Boleh, take your time. Berapa lama yang kamu butuhin?”
“Satu bulan?” Wow lama juga ya. Tapi okelah, daripada hubungan yang udah terbangun ini harus berakhir di kata udahan.
“Oke, aku kasih kamu waktu kamu satu bulan. Selama satu bulan itu kita saling instrospeksi diri ya.”
“Oke, Za.” 
Oke doang nih? Biasanya panjangan. Padahal nggak bayar loh per karakternya.
“Selama satu bulan aku nggak boleh sama sekali hubungin kamu?” tanyaku lagi.
“Iya, nggak usah aja ya, Za. Biar aku juga bisa mikir jernih.”
air kali ah, jernih.
“Oke, deal. See you satu bulan lagi. Jaga diri baik-baik ya. Aku sayang kamu.”
Nggak ada balasan dari dia. Sekadar “aku sayang kamu juga” aja nggak.
Satu bulan yang tiba-tiba rasanya lama banget. Notifikasi handphone yang biasanya nyala dari bangun sampai tidur lagi, yang biasanya selalu ada setiap hari, saat itu nggak ada. Hening. Cuma sesekali aja liat instastory-nya, padahal dia sendiri jarang banget bikin story. Arrrggg bisa gila nih!
Satu bulan satu minggu. Belum juga ada kabar. Karena udah nggak tahan akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya duluan.
“Hai, Fan. Apa kabar? Anyway udah satu bulan lebih nih.” begitu pesanku yang aku kirimkan padanya.
Nggak perlu waktu lama, aku melihat notifikasi typing. Cepet juga nih.
“Hai, Za. Baik.” begitu balasnya.
Udah gitu aja. Nggak ada kalimat kangen atau semacamnya. Wow sungguh menakjubkan.
“Bisa kita bicara malem nanti? Agak malem sih, nunggu orang rumah tidur.”
“Oke boleh.” 
Apaan sih ini? Hai? Boleh? Apa kita adalah orang asing?
Pukul 23.00 WIB di bulan Januari. Diiringi rintik hujan di luar kamar, aku memanggil satu kontak yang masih setia ada di paling atas.
“Halo.” ucapku dengan nada suara yang sedikit bergetar. Maklum grogi.
“Hai, Za. Apa kabar?” jawabnya dengan nada yang lebih santai. Kok bisa santai sih?
“Baik juga, Fan.”
“Sekarang lagi di rumah atau di Jogja?”
“Di rumah nih.”
“Syukurlah.”
Dan setelah itu suasana hening.
Nggak ada inisiatif membuka obrolan apa gitu? Oke nunggu dia kelamaan, maka mari aku yang buka.
“By the way, Fan. Ini udah sebulan lebih sejak kamu minta waktu sih, Fan.”
“Iya aku tau.” 
Tau dan diam aja?
“Terus? Kalau aku nggak hubungi kamu, kamu bakal diam aja? Nggak akan hubungi aku balik?”
“Akan, tapi belum dalam waktu dekat.”
Wow! Bener-bener agak lain ini cowok satu ya. Oke inhale exhale, rileks.
“Perjanjiannya kan satu bulan, Fan.” aku memilih mengeluarkan kalimat itu.
“Iya aku tau, tapi aku masih bingung.”
Bingung apa ya?
“Dapet apa aja kamu selama sebulan?”
“Nggak ada, Za. Aku cuma kerja, main game, sama pergi jalan buat refreshing. Udah gitu-gitu aja.” 
Bener-bener pengen ngamuk banget nih. Satu bulan aku muhasabah diri dan dia cuma kayak gitu? Ada gila-gilanya sih ini orang.
“Yang lain? Berdoa, cari petunjuk yang di atas, or something? Tentang hubungan kita gitu, Fan?”
Dia terdiam, nggak menjawab.
“Jadi gimana, Fan?” tanyaku lagi akhirnya. 
“Keputusanku masih sama, Za. Aku nggak bisa sama kamu.”
Oke, tahan. Nafas dulu, tapi ternyata susah buat nggak marah.
“You don’t make sense, Fan! Kita nggak pernah ada bahasan apapun sebelumnya. Kamu nggak pernah protes apapun. Kita baik-baik aja, bahkan teramat baik tapi tiba-tiba kamu bilang nggak bisa?”
Dia masih terdiam.
“Ada orang lain?” cecarku.
“Nggak, Za. Aku cuma nggak bisa aja sama kamu.”
“Ya tapi nggak bisanya kenapa, Fan? Give me explanation dong.”
“Aku ngerasa bukan kamu orangnya. Kita tuh nggak cocok.”
What a jsadhzhd. Nggak cocok dia bilang? Kenapa selama ini diam aja seolah nggak ada apa-apa?
Aku kembali mengatur nafasku sebelum melanjutkan. “Nggak ada pasangan yang 100% cocok, kan, Fan?”
“Iya, tapi aku nggak bisa sama kamu.”
“Kenapa?” aku masih terus bertanya. Masih belum terima dengan jawabannya.
“Kita sama-sama keras kepala, Za. Dan aku nggak bisa sama hal itu.”
“Kenapa nggak bilang?”
“Ya aku udah ngamatin sendiri gimana kita saling pegang ego masing-masing dan itu yang buat aku nggak bisa.”
“Tapi kamu nggak pernah ngomong, Fan. Aku nggak pernah tau kamu ada masalah di hal itu. Coba kamu ngomong, semuanya bisa kita bicarakan, kan? Nggak tiba-tiba pergi kayak gini.”
“Aku nggak mau nyakitin kamu, Za.”
“Terus ini apa? Kamu udah nyakitin aku, Fan.” jawabku sembari menahan air mata.
“Kamu tuh perempuan yang menyenangkan dan aku nggak bisa nggak setuju sama itu. Tapi aku nggak bisa sama kamu, Za. Aku nggak bisa bangun rumah tangga sama kamu”
I hope it’s not real! Berkali-kali aku menepuk pipiku bergantian tapi ternyata ini nyata.
“Kamu masih sayang nggak sama aku?”
Lagi-lagi dia terdiam. Oh fix nggak sayang lagi sih ini.
“Kenapa diam?”
“Pokoknya aku nggak bisa sama kamu, Za. Kamu berhak dapet yang lebih baik dan itu bukan aku.”
“Kamu beneran udah nggak sayang sama aku?”
“Anggap aja iya supaya kamu lebih mudah buat move on ya.”
Aku mulai menangis, bingung harus menanggapi kalimatnya dengan jawaban apa.
“Za, please stop. Aku nggak suka denger kamu nangis gini.”
“Tapi kamu yang bikin aku nangis, kan?”
“Maaf ya, Za. Aku tau aku nyakitin kamu banget.” ucapnya dengan suara lemas. Entah sungguhan menyesal, atau hanya pura-pura.
“Kita kasih kesempatan buat hubungan ini sekali lagi ya, Fan? Kita coba lagi?” aku masih belum menyerah dengan usahaku.
“Nggak bisa, Za.”
“Kita belum coba.”
“Aku udah tau endingnya pasti nggak sama-sama.”
Wow dia sudah seyakin itu. Apa perpisahan ini juga sudah dipersiapkannya jauh-jauh hari? Ke mana kalimatnya yang nggak ingin lagi main-main itu? Mana kalimatnya yang nggak akan ganti aku sama sosok lain lagi?
“Ya udah ya, Za. Pokoknya kamu harus bahagia. Jangan sedih-sedih terus. Cari orang yang lebih baik dari aku ya. Udah malem, kamu istirahat ya. Makasih buat selama ini.”
Klik. Telepon dimatikan sepihak.
Hubungan yang dibangun dengan susah payah ini cuma berakhir dengan makasih? Mbak kasir indomaret juga bisa bilang makasih.
Aku ingin sekali berteriak, tapi sadar ini di rumah dan sudah tengah malam.
Dan malam itu aku sama sekali nggak tidur. Seseorang yang sudah aku daftarkan untuk menemaniku melakukan apa saja mendadak pergi. Semua mimpi yang sudah aku hidupkan, diredupkan hanya karena keraguan yang nggak mendasar karena nggak pernah dibicarakan.
***
youtube
Satu tahun setelahnya, hidupku mendadak berubah. Aku yang sebelum putus dengannya harus memutuskan resign dari kantor lama seolah dapat kesedihan beruntun yang tak terkira. kalau kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula!
Dan setelah segala upaya dan banyaknya air mata yang turun di pipi, mantan kekasihku mendadak menghubungiku.
Sebenarnya nggak bisa dibilang mendadak juga. Sebab kali itu bukan kali pertama. Semenjak putus, dia masih beberapa kali me-reply story juga minta maaf saat lebaran.
Dan malam itu, dia kembali datang mengirimkan sebuah pesan.
Semoga bukan undangan. Doaku dalam hati. Ya gimana ya, aku juga belum siap kalau harus tau dia nikah duluan.
“Hai, Za. Di Jogja?”
Tanyanya to the point. Aku memicingkan mata. Ada apa lagi sih?
“Iya, kenapa lagi?”
“Aku mau ngajak kamu ketemu kalau berkenan.”
Oh My God! Ketemuan! Kenapa mendadak? Apa dia menyesal? Apa akan ada adegan balikan?
“Boleh.” dan anehnya tanpa babibu aku jawab pesannya dengan jawaban boleh. Aduh bego!
“Beneran, Za? Kalau besok malam bisa?”
“Bisa.”
“Oke, besok aku jemput ya.”
“Oke.”
“See you, Za.”
Aduh kalau dipikir-pikir gila juga ya aku iyain ajakannya. Mana pakai dijemput segala. Tapi ya emang masih ngarep sih, jadi gimana dong.
Dan malam itu pun datang. Dia menjemputku dengan mobilnya di ujung gang indekosku. Aku membuka pintu, melihat wajahnya dengan jelas meski saat itu gelap. Aku tersenyum dan mengajaknya bersalaman.
“Apa kabar, Za?” tanyanya lengkap dengan senyumnya
“As you can see, baik. Kamu?”
“Aku juga baik.”
Aku hanya mengangguk.
“Mau makan di mana?” tanyanya sembari mengganti playlist.
“Mana aja, aku ngikut.”
“Oke.”
Dan suasana kembali hening. Untung ada suara Tiara Andini yang mengalun, ya walau jadinya dapet banget sih galaunya HAHAHA.
“By the way kamu dapet kerja di Jogja lagi? Di mana?” tanyanya membuka pembicaraan. Mungkin dia juga menyadari kecanggungan di antara kami yang harusnya nggak perlu ada kalau setahun yang lalu dia nggak mutusin aku.
“Iya, tapi kayaknya kamu nggak perlu tau ya.”
“Oke deh, kalau aku nggak boleh tau.”
Dan setelah kecanggungan itu, nggak tau kenapa aku tiba-tiba bisa lancar bercerita. Semacam ketemu kekasih setelah LDR setahun lamanya. Rasanya seperti pulang.
Aku dan dia tiba di sebuah tempat makan. Nggak terlalu ramai karena mungkin kita datang di hari rabu.
“Sampai kapan di Jogja, Fan?” tanyaku padanya. Pertanyaan yang dulu selalu aku tanyakan setiap kali sedang pulang ke Jogja.
“Akhir minggu ini kalau nggak ada halangan.”
Aku menganggukkan kepala tepat ketika pramusaji datang menawarkan menu. Kami pun memilih menu kami masing-masing.
Sepanjang makan malam, nggak ada percakapan penting yang berarti. Hanya basa-basi yang nggak tau kenapa justru bisa menyenangkan sekali.
Setelah makan, dia mengajakku pulang. Aku yang masih ingin tau maksud ajakannya bertanya-tanya. Ini beneran nggak mau ngomong apa-apa?
Benar saja, ia langsung mengarahkan mobilnya menuju indekosku. Karena nggak ingin penasaran, saat mobil berhenti di lampu merah, akhirnya aku buka suara.
“Nggak mau ngomong apa-apa gitu, Fan?” Hhhhh kenapa selalu aku yang mulai lebih dulu?
“Ngomong apa ya, Za.”
“Nggak mungkin dong beberapa kali kamu ngajakin aku ketemu tapi cuma basa-basi sama makan aja?”
Dia menggaruk kepalanya yang aku yakin nggak gatal.
“Ngomong aja, Fan.”
“Ya itu sih, Za. Mau ngajak ketemu aja, mau minta maaf. Terakhir kan udahannya cuma lewat telepon, terus kayaknya kamu kecewa banget sama aku.”
Ya iyalah kecewa banget. Pernyataan apaan sih. Beneran udah nggak bener nih orang.
“Kamu nyesel udahan sama aku?” bodo amat dengan rasa malu. Aku butuh tau apa perasaannya saat ini.
“Nggak sih, Za. Kamu memang lebih baik tanpa aku. Sebaliknya aku.”
Damn! Please mau tenggelam aja rasanya! Tolong, jangan nangis sekarang Za! 
Dan setelahnya nggak ada percakapan di antara kami hingga mobilnya berhenti di depan gang indekosku. Sepanjang jalan pulang, aku nggak berniat mengajaknya berbicara lebih dulu, sebaliknya dia pun sepertinya begitu.
“Udah sampai, Za.” katanya ketika mobil berhenti tepat di depan gang indekosku. Aku sempat melihat jam dan ternyata baru pukul 20.30 WIB. Biasanya jalan sama dia itu minimal 2 jam. Nah ini, satu setengah jam aja nih? Udah kayak durasi les private.
Aku melepaskan seatbelt dan bersiap turun, namun kemudian ia mengucapkan sebuah kata-kata.
“Makasih ya, Za. Pokoknya, kamu harus hidup bahagia ya!” 
Gimana coba caranya?
Aku hanya tersenyum dan turun dari mobil. Namun belum sempat melangkah, aku kembali menengok ke dalam mobi.
“Ada yang ketinggalan, Za?” tanyanya saat menyadari aku melongok ke dalam mobilnya.
“Nggak sih, cuma kayaknya ini jadi kali terakhir kita ketemu secara sengaja kayak gini ya.”
Dia terdiam sebentar, lalu melanjutkan  “Oh gitu?” Terdengar nada kecewa dari suaranya.
“Iya, soalnya mau ketemu lagi buat apa juga.”
“Oke, deh kalau itu mau kamu. Tapi kita masih temenan kan?
Aku tersenyum yang juga dibalas senyum olehnya. “Memangnya sebelum jadian kita pernah temenan?”
Ia pun terdiam.
“Hati-hati, Fan.” ucapku kemudian.
“Iya, aku duluan ya. Sekalian ijin mau balik Jakarta.”
Aku nggak menanggapi ucapannya dan langsung menuju indekos. nggak perlu waktu lama, air mataku tumpah seketika. Ternyata dia benar-benar udah bisa hidup tanpa aku. Sedangkan aku masih berharap dia kembali(?)
Pertemuan itu menyenangkan sekaligus menyebalkan. Menyenangkan karena aku seperti pulang ke rumah. Menyebalkan karena ternyata harapanku nggak pernah jadi nyata. Tapi setidaknya aku jadi lega. Aku nggak perlu bertanya-tanya perihal kehadirannnya tempo hari yang masih suka membalas story dan menanyakan kabar. Ya ternyata dia hanya ingin mengakhiri dengan caranya, bukan mau kembali menjalin hubungan.
Mengetahui ini, setidaknya aku tau bahwa memang sudah nggak ada yang perlu diharapkan lagi. Semua memang sudah selesai, yang harusnya aku sadari sejak satu tahun sebelumnya. Tapi ya udah lah ya. Hidup nggak berhenti meski dia udah nggak sama aku.
Agaknya mungkin itu tanda semesta untuk aku supaya menjemput kisah cinta berikutnya.
41 notes · View notes
kkxxxsworld · 9 months
Text
Setidaknya, perbaiki diri dulu. Lihat apa yang salah dari diri sendiri. Jangan hanya melihat buruknya orang lain. Bukankah lebih baik mengetahui keburukan diri sendiri agar bisa jadi instrospeksi diri?
2 notes · View notes
hikmahjalanan · 2 years
Text
"Kapan seorang muslim boleh berhenti berharap dan menyerah atas keadaan Iman dirinya?"
Kalau boleh bercerita, pertanyaan diatas barangkali sudah aku tanyakan ratusan kali di berbagai momen dan kesempatan hidup. Kita meyakini bahwa Iman itu naik dan turun, naik karena Ibadah dan menurun karena maksiat. Tapi ketika akhirnya ternyata kondisi Iman tadi lebih banyak surutnya dan kian hari malah kian memburuk bagaimanapun kita berusaha memperbaikinya, maka tak jarang ada momen dimana kita akhirnya merasa,
"Udahlah, barangkali emang gue yang gak bisa jadi manusia dan hamba yang lebih baik lagi..."
Yap, dan aku telah merasa momen itu berkali-kali, memperbaiki diri dan maju selangkah hanya untuk tahu bahwa kita terperosok 10 langkah setelahnya. Malam inipun aku kembali merasakannya, bahkan sampai tercipta dipikiran sebuah Quote demotivasi,
"Hidup itu kan untuk kita berkembang dan menjadi lebih baik, lalu kalau pada akhirnya kita tak lagi bisa jadi lebih baik, apa bedanya kita dengan yang mati. Lantas buat apa kita terus hidup?"
Dari situ pula muncul kembali pertanyaan diawal,
"Kapan kita boleh memutuskan untuk berhenti berharap?"
Barangkali beberapa orang akan menjawab,
Ya sampai kita Mati lah.
Atau,
Ya sampai tak ada usaha dan perjuangan memperbaiki diri yang bisa kau lakukan lah.
Kalau sampai mati, berarti boleh dong kita memilih untuk mati hari ini, saat ini, dan detik ini juga? Anggap saja memilih bunuh diri gitu.
Engga kan.
Atau kalau sampai tak ada lagi yang bisa dilakukan, memang apa parameter terakhir yang bisa menandai bahwa sudah tak ada lagi usaha yang bisa kita perjuangkan?
Aku sedikit berpikir disini. Mencari parameter usaha terbaik yang bisa dilakukan sebelum menyerah, dan entah teringat satu nasehat yang sudah cukup lama diberikan oleh seorang kawan yang sampai hari ini entah siapa dia.
Obat Hati itu ada 5 Perkaranya:
1. Baca Qur'an dan Maknanya.
2. Dzikir malam perbanyaklah.
3. Berkumpulah dengan orang soleh.
4. Perbanyaklah berpuasa.
5. Shalat malam dirikanlah.
Ini analogi ngasal sih, tapi semoga bener. Di dunia medis kalau misalnya ada seorang pasien yang terserang penyakit, kapan dia akhirnya boleh menyerah dan menyerahkan diri dan nyawanya pada takdir?
Barangkali jawabannya adalah ketika dirinya terkena penyakit yang bahkan obat terbaik yang ada di dunia saat ini belum mampu menyembuhkan, misal HIV. Kalau seseorang sudah divonis terkena HIV, ya dia harus menerima takdir kalau dirinya gak akan bisa sembuh (entah sekarang udah ditemukan obatnya apa belum, tapi anggap saja belum).
Begitu pula seseorang yang Hati dan Imannya sakit, kapan dia boleh menyerah dan pasrah bahwa dirinya tidak bisa jadi lebih baik dan biarlah masuk neraka?
Ya ketika dia sudah mencoba Obat hati terbaik yang ada dan ternyata masih belum mampu menyembuhkan. Mungkin disitulah saatnya dia berpasrah diri akan akhir dari takdir hidupnya, akhir hidup diriku.
Barangkali kita sudah mencoba obat ketiga berkumpul dengan orang soleh, tapi obat pertama masih jarang dikonsumsi. Atau sudah rajin minum obat kelima di setiap sepertiga malam tapi obat keempatnya jarang dilakuin.
Coba satu kali kesempatan lagi kita instrospeksi diri, kita gunakan 5 obat Hati yang sudah ada. Kalau sudah, mari kita bercerita lagi, apakah gagal dan akhirnya memilih mati, atau barangkali bisa berhasil.
Kita tunggu saja nanti.
*ditulis oleh manusia dengan selemah-lemahnya dan sekering-keringnya Iman.
12 notes · View notes
nugienerationz · 2 years
Text
Susah banget mau ngerubah diri jadi lebih baik. Lebih banyak malasnya ketimbang semangat. Ngaca dicermin bukannya instrospeksi malah pengen nonjok refleksi dalam cermin. Kek, itu orang di dalam sana tuh kxntxl banget.
8 notes · View notes
diarydilema · 1 year
Text
Minggu, 23 April 2023
Hari Idul Fitri kedua.
Aku sudah menangis sejak kemarin sebenernya. Hanya saja, aku lupakan, aku usap sendiri. Lalu ku buang jauh2 seluruh nelangsa yang melanda relung jiwa.
Aku mensyukuri masih diberi nikmat bertemu keluarga.
Keluarga yang sangat jarang menanyakan kabarku. Keluarga yg semuanya disibukkan dengan urusan masing-masing.
Keluarga yg sebenarnya sangat aku kagumi. Namun, semenjak tahun 2017, aku kehilangan kehangatan keluargaku.
Sepeninggal bapak, semua berubah. Mementingkan egonya masing-masing.
Bagi mereka, aku mungkin masih tetaplah aku yang tak berguna. Aku tak punya cukup materi untuk membahagiakan mereka. Maka, sangat wajar mereka seperti itu padaku. Apalagi sampai hari ini, pinjamanku ke ibu belum lunas. Otomatis, aku masih tetap jadi tersangka dari kekacauan keluarga ini.
Ibu yang semakin menua, semakin kembali seperti anak kecil, tak terkondisikan.
Adik-adik yg satu persatu punya mimpi sendiri. Dan ingin berdiri sendiri, ingin berdikari tanpa gangguan dari oranglain, bahkan dari sodaranya sendiri.
Kebaikan yg mereka lakukan padaku mungkin saja tulus dari hati mereka. Atau mungkin saja hanya karena tak ingin membuat ibu kecewa, mungkin saja mereka melakukan semua kebaikan2 padaku, suamiku atau anak2ku untuk sekedar menghormati ibu.
Aku tidak tahu. Aku tidak punya kesempatan untuk mengobrol. Dan sepertinya hati merekapun tertutup untuk mengobrol denganku.
Aku bukanlah orang penting di hidup mereka.
Hanya ibu saja yg penting bagi mereka.
Oke, aku mungkin egois. Karena ingin dianggap sodara oleh mereka. Namun faktanya, aku bisa merasakan kegetiran kegetiran dalam hubungan darah ini.
Ya. Mereka benar, ibu memang yang terpenting diantara semuanya.
Aku yang menurut orang-orang penurut pada orangtua, ternyata tak pernah dianggap menurut pada orangtua.
Aku yang aslinya selalu mendahulukan keluarga, tetapi tak pernah sedetikpun terlihat di mata mereka.
Aku tak apa jika tak dianggap sama sekali. Aku tahu diri dan tahu batasanku.
Mungkin yg adik2 lakukan adalah tuaian dari semua sikap yg menurut mereka kasar terhadap ibu, atau juga adik2.
Ya. Di masa lalu, aku mungkin dianggap terlalu sering menyakiti hati ibu dan seluruh anggota keluarga.
Mungkin maaf untukku dari mereka tak sedalam dan setulus aku meminta maaf pada mereka. Mungkin maaf yang terucap dari mereka hanyalah formalitas karena tidak pantas kakak adik saling berseteru satu sama lain. Mungkin permintaan maaf mereka padaku di tahun2 lalu saat lebaran juga hanya sebuah kalimat formal demi hubungan baik dengan ibu dan saudara kandung. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang aku tidak paham.
Aku tetaplah aku yang paling hina diantara mereka.
Ya. Aku akan seperti itu dimata ibu dan adik2 selama aku belum bisa mengembalikan pinjamanku pada ibu, pinjaman ibu di bank bpd.
Mau berlaku sebaik apapun aku, aku tetaplah hina. Tak terlihat.
Ya. Aku instrospeksi diri. Tahu diri, tahu batasan.
Dan lebaran ini memang lebaran ke sekian yg paling unik untukku.
Di tengah2 tawa adik2, aku menangis sendirian di kamar. Tak ada yg mencoba bertanya padaku. Semua sibuk dengan dunia masing2.
Aku kecewa terhadap keluargaku. Tapi aku memaafkan.
Aku marah pada mereka tapi aku tetap mengupayakan yang aku bisa lakukan untuk mereka.
Ya, aku tanpa ekspektasi apapun di lebaran tahun ini. Tanpa keinginan, tanpa harapan dari orang2 di sekelilingku. Semuanya ku serahkan pada mereka. Mereka yg selalu di depan. Biar aku yang tak terlihat.
Aku tidak mampu mengendalikan egoisme yg ada pada diri adik2 atau ibu.
Sudah cukup aku menata diriku yang tak berguna di mata keluargaku sendiri. Biarlah aku didiamkan oleh mereka. Aku tak perlu mengharapkan keluargaku memahamiku. Aku tak perlu berkeinginan mereka mengerti aku. Karena sebesar apapun aku berkeinginan mendahulukan mereka, tetap tak terlihat sama sekali. Sekuat apapun aku bercita2 menyatukan keluarga, egoisme dari dalam diri mereka akan selalu ada dan aku tak boleh memaksakan kehendak apapun pada mereka.
Sudah cukup aku menyakiti diriku dengan perasaan perasaan tulus yg kuhadirkan pada mereka namun tak berbalas kelegaan dihati.
Tentu aku tahu, semua mungkin mengandung ketidakikhlasan saat aku berupaya.
Mohon maaf lahir dan batin ibu dan adik2.
Sungguh, rasa mencintai kalian melebihi apapun yg aku lakukan dan yg aku tulis. Kalian tak perlu tahu sedalam apa hatiku menginginkan untuk mewujudkan keinginan ibu atau kalian. Kalian tak perlu tahu. Biarkan aku dan diriku saja yg tahu. Hanya aku dan Allah saja yang tahu.
Semoga hidup ibu dan adik2 selalu sejahtera dan bahagia. Smoga Allah mudahkan setiap urusan kalian. Aamiin ya Robbal 'alaamiin.
4 notes · View notes
o-agassy · 1 year
Text
Refleksi: pengingat
Kemarin, ada kabar duka di salah satu grup whatsapp. Sebenarnya saya juga tidak mengenal beliau, karena anggota grup tsb berjumlah lebih dari lima ratus anggota. Beliau sudah bergelar doktor dan menjadi seorang peneliti di lembaga pemerintahan.
“Tetiba kok semacam diingatkan tentang kematian”
Dengan profesi yang sama, yaitu seorang peneliti di lembaga pemerintahan, saya memahami bagaimana suka duka dalam perjalanan karir seorang peneliti.
Salah satu hal yang saya kurang cocok adalah anggapan “terlalu mendewakan gelar akademik”, yang notabene hingga sekarang pun masih tumbuh subur membumi. Seseorang akan lebih dihormati jika mempunyai gelar akademik yang tinggi. Jadi gelar itu lebih tinggi dari pada humanisme itu sendiri, sepertinya demikian kelihatannya.
Selain itu, banyak juga perselisihan yang diakibatkan rebutan dana dan lahan riset. Tentunya sikut kanan dan sikut kiri tak luput dari perhatian. Masa bodoh dengan orang lain, yang penting kita masih dapat proyek buat bertahan di lembaga ini, yang lain ya urusan mereka.
Sejujurnya, efek dari persaingan tidak sehat itu tentunya merembet kemana-mana, pun hingga ke kehidupan akhirat kita.
Ada dari mereka yang susah payah sekolah. Belum tentu kemampuan mereka sampai, tapi entah gimana caranya mereka berjuang hingga sampai tujuannya. Ada dari mereka yang hingga rela meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama. Dua hingga lima tahun kuliah di luar negeri jauh dari keluarga. Banyak momen keluarga yang hilang. Dan pula banyak potensi pahala yang tentu juga hilang karena tak bisa bersama keluarga.
Terlepas semua ini tentang Qodho dan Qodar Allah, tapi rasanya kok aneh jika kita berat sebelah dalam perjalanan hidup ini. Berusaha mati-matian mengejar dunia, tapi kita seadanya saja dalam hal ibadah kepadaNya. Naudzubillah
Note to my self. Bekerja se-amanah mungkin, ibadah semaksimal mungkin.
Misal kita esok hari mati, mungkin kawan-kawan di kantor akan juga ikut sedih dalam satu dua hari. Kemudian mereka melanjutkan kehidupan mereka lagi. Tentunya setelah itu mereka langsung pasang “open recruitmen for new position”.
Kita yang mati-matian mengejar dunia dengan alasan demi kantor, ternyata dengan semudah itu terganti. Lalu kita hanya sendirian, di alam barzah bersama dengan amal-amal kita.
Mungkin agak dengan keluarga, anak yang semoga terus mendoakan kita hingga akhir hayatnya pula. Pahala doa yang akan menemani kita di alam sana.
Jadi, ini instrospeksi diri saya, muhasabah diri tentang nafsu dunia wabil khusus pekerjaan yang memang tak akan pernah ada habisnya jika dituruti. Hasilnya pun akan sama, kematian yang pasti terjadi.
Jadi, bagaimana kita kedepannya?
Bintaro, 14th February 2023
4 notes · View notes
acupofdisaster · 1 year
Text
To be Wise with Your Knowledge
I will never forget the day I went to this ‘kajian islam’ in Sydney for the first time.
Waktu itu topiknya soal ciri-ciri orang munafik - hal yang sebenarnya menurutku bukan hal baru karena dulu sudah sempat diajarkan ketika aku sekolah di madrasah, sampai akhirnya tiba di sesi tanya jawab, di mana salah satu pendengar bertanya,
“I have friends who are doing this and that. Does it mean they are munafiq?’
terus ustadnya jawab, “The main purpose of this knowledge is not for you to judge other people; it is more for your self-reflection and how you navigate yourself to avoid these behaviours and be the best Muslim you can be”.
Pas denger itu rasanya nafas berhenti, jawabannya menusuk hati sekali, dan jadi merasa tertampar……..
Kadang jadi keingetan aja kalau setiap punya ilmu rasanya tuh ingin sekali diamalkan langsung, padahal untuk mengamalkan dengan baik, butuh kebijaksanaan dalam mencerna ilmu itu sendiri. Jawaban dari ustad tadi adalah contoh di mana memang butuh kebijaksanaan untuk benar-benar menafsirkan ilmu dan mengamalkannya. Untuk jawab pertanyaan (yang kukira simple itu, yang teman-teman madrasahku dulu udah suka tanya pas lagi belajar agama) dengan jawaban tadi tuh menurutku seseorang butuh berada dalam suatu taraf kebijaksanaan dan penafsiran ilmu yang tinggi karena ga semua makhluk bisa jawab pertanyaan itu sebaik jawaban ustad tadi secara on the spot. Kebayang ga sih kalau misalnya ustadnya malah jawab, “Iya itu sih sudah jelas ya ciri-ciri orang munafik.” tentu rantai menghakimi orang lain dengan ilmu yang kita punya tuh ga akan pernah terputus….tapi Alhamdulillah, jawaban yang keluar sebijaksana itu dan malah jadi bahan instrospeksi diri yang sampai sekarang masih aku bawa; Ilmu yang kita punya, yang kita dapatkan tuh datangnya dari Allah, dari Tuhan, zat yang maha tahu, jadi memang dasarnya bukan untuk jadi bahan bakar menghakimi orang lain.
Bahan refleksi ini bukan berarti kalau ada ilmu aku jadi takut untuk mengamalkannya atau dibagi ke orang lain, tapi jadi pengingat untuk lebih mindful aja dengan ilmu yang aku punya dan ingin aku bagi, apakah aku udah cukup bijaksana dalam mengkaji ilmu yang aku dalami? Karena ternyata dampak yang bisa dikasih ke lingkungan sekitar kita dari ilmu yang kita bagi itu besar sekali….Jangan sampai ilmu yang kita niatkan untuk jadi amal jariyah malah jadi melukai orang lain? Malah jadi membangun rantai untuk terus menghakimi orang lain, malah jadi pembatas untuk orang lain dalam mendalami ilmu itu sendiri….intinya ilmu apapun itu, mau ilmu agama, ilmu pengetahuan dunia, semuanya itu amanah dari Zat yang Maha Tahu dan ga sembarang orang punya akses terhadap pengetahuan, jadi kalau memang dikasih jalan untuk menimba ilmu ya lakukan yang terbaik, dalami dengan baik, dan bijak dalam menginterpretasikan ilmu itu karena pada suatu saat nanti kita pasti akan membaginya ke orang lain, dan semoga ketika waktu itu datang, kita mampu membaginya dengan bijaksana. 
----------------------------------------------------------------
Terkait ilmu, aku jadi berpikir sih kalau social media itu memang tempat informasi bertebaran luas, sepertinya informasi apapun (psikologi, mindfulness, investasi, relationship, agama, dll.) bertebaran dengan mudah di social media, tapi menurutku akses yang mudah itu bukan berarti bisa menggantikan sepenuhnya ilmu yang kita dapatkan dengan datang langsung dan berdiskusi dengan expert. Kadang suka gelisah sendiri kalau lihat orang berbagi ilmu, terus interpretasinya jadi berdebat antara hitam dan putih, dan jatuhnya publik malah mengotak-ngotakkan seakan-akan manusia tuh ga dinamis dan variabelnya ga variatif (terlebih kalau udah bahas masalah habluminannas - orang jadi mudah mengotak-ngotakan atas basis pengalaman orang lain yang mungkin kasus dan implemnetasinya bakal beda tergantung subjek dan varibel yang membentuknya). 
Intinya, kalau memang ada akses untuk berbicara dengan ahli atau berdiskusi dua arah dengan orang yang mendalami suatu ilmu ada baiknya dilakukan karena hanya dengan diskusi itu kita jadi bisa lebih bijaksana dalam menafsirkan ilmu dan jadi mengurangi misinterpretation dalam menafsirkan ilmu juga. Menurutku ini jadi dasar mengapa seseorang harus menjalani sekolah sekian tahun, dan melakukan research bertahun-tahun untuk mendalami suatu ilmu….karena menurutku ilmu yang kekal dan baik itu tidak pernah datang secara instan, jadi jangan sampai kemudahan yang ada di dunia ini jadi menggantikan hakikat menuntut ilmu yang sesungguhnya. 
4 notes · View notes
maujadibaik · 1 year
Text
Menuju Desember
Seperti biasa, menuju Desember, adalah waktu-waktu paling sentimentil, setidaknya untukku.
Mendekati akhir tahun, berkurangnya usia,  serta qadarullah pergantian usia menetap di kantor, rasa-rasanya banyak hal yang perlu menjadi catatan hidup di waktu-waktu ini. 
Instrospeksi dan refleksi hidup,  seberapa banyak waktu/tenaga/emosi yang sudah kubuang sia-sia,  seberapa banyak aku bersyukur, seberapa banyak, percaya, tabah, istiqomah aku meminta, berdo’a, seberapa meningkat ibadahku, (atau bahkan sebaliknya?) seberapa lama aku tahan tidak mengeluh, seberapa penuh isi toples kesabaranku, (adakah bertambah dari sebelumnya?) seberapa tenang aku menghadapi ujian, seberapa banyak aku mendahulukan orang lain, seberapa banyak makna, hikmah yang pada akhirnya aku kumpulkan, menjadi kepingan-kepingan bekalku menghadapi diriku di kemudian hari, serta seberapa seberapa lainnya
Do’aku masih sama, semoga Allah berikan kekuatan untuk aku terus berada & bersama hamba-hamba-Nya yang diridhoi :”)
3 notes · View notes
khoridohidayat · 2 years
Text
Bisa jadi ketika shalat kita berat, tahajjud kita bolong, dan susah melakukan amal ibadah bukan karena kita sedang malas. Tapi karena Allah sedang tidak mau bertemu denganmu.
Itulah mengapa instrospeksi penting
2 notes · View notes