Tumgik
#jalan perjuangan
alfisyahrin · 2 months
Text
Kadang allah menutup jalan yang sedang kamu tuju supaya kamu berbelok mencari jalan yang lain.
dimana fiddunya hasanah wa fil aakhiroti hasanah yang kamu minta dalam doa-doamu ada di jalan itu.
44 notes · View notes
uuoia · 4 months
Text
259
Selepas hujan sepanjang sore berpadu apik dengan takdir nan silih berganti antara susah-senang yang tak pernah usai.
Ada kalanya hidup ini tenang dan berjalan sesuai keinginan dan kesanggupan, namun ada juga masa yang entah bagaimana banyak permasalahan juga amanah yang tersingkap bebarengan.
Pernah juga sebesar apapun tantangan serasa ringan karena eratnya gandengan tangan, namun beberapa kali hanya meninggalkan beberapa dari kita sehingga rasanya menimpa dengan beban tak berhingga.
Oh perjuangan yang berkepanjangan...
Saat diri mempertanyakan pada dirinya sendiri, "Akan kuatkah menjalani semua ini? Mampukah memenangkan diri dari nafsu yang selalu menghendaki sik sik sik?"
Tapi satu nasehat dari beliau ini yang entah kenapa terasa baru padahal sudah berkali-kali terjumpai,
"Hati-hati dengan pikiran yang mengajak untuk istirahat dari dakwah dengan dalih bahwa kita juga berhak berleha-leha dan masih ada generasi lagi di bawah kita. Kita itu masih digerakkan sampai titik ini dengan amanah dakwah yang demikian merupakan tanda sayang Allah kepada kita.
Jangan kepedean bahwa kita wah dan hebat, Allah hanya ingin memberikan sarana untuk kita beramal sebagai bekal di keabadian. Bila kita menolak pun Allah bisa saja menggantikan kita dengan orang lain, sehingga perjuangan dan pahala besar ini dengan mudahnya akan diberikan pada selain kita, sedangkan kita bisa hidup sesukanya namun tak ada jaminan kebahagiaan di akhirat.
Bagi Allah menjadikan yang mustahil menjadi mungkin itu pasti. Kak ingat, kita yang butuh semua ini... bukan Allah atau siapapun itu."
Doanya... semoga Allah senantiasa menguatkan kita dengan dan atas ini semua, aamiin.
0 notes
nurulbeysha · 1 year
Text
Sekitar dua bulan yang lalu aku kembali mendengar kabarmu, selamat berbahagia! Lanjutkan perjuangan dan wujudkan cita-citamu!
Aku di sini juga sedang berjuang, menikmati hidup yang telah berlawanan arah dengan cita-cita sewaktu kecil.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menerima. Menjalani hidup berjalan sebagaimana mestinya.
Jangan khawatir! Mari menelusuri jalan yang cukup rumit ini
0 notes
prawitamutia · 2 months
Text
Nggak Ribet
Bersyukur sekali menikah dengan Mas Yunus. Semuanya serba nggak ribet. Mas Yunus mau sekolah dulu, ya sudah aku yang kerja, aku nanti saja sekolahnya. Sudah selesai sekolah di Surabaya, Mas Yunus milih tinggal di Jakarta/Bogor supaya dekat keluarga (menolak tawaran bekerja di Surabaya).
Lalu, gantian aku yang sekolah. Cari beasiswa supaya ngirit. Mas Yunus keterima kerja di Cawang dan nggak mungkin pulang pergi Bogor Jakarta, ya sudah aku yang pindah ke Jakarta. Mas Yunus mau lanjut sekolah lagi, aku dukung seratus persen.
Mas Yunus ngerti aku tetap harus ke kantor di Bogor, aku difasilitasi supaya bisa melaju Jakarta Bogor. Mas Yunus harus magang setahun di luar negeri, ya sudah aku yang jaga anak-anak. Ingin punya waktu berkualitas dengan anak-anak dan keluarga, ya sudah yuk jalan-jalan bersama.
Nggak ribet. Ya memang perlu perjuangan. Ya memang perlu berkorban. Ya memang kadang di-support, kadang menjadi support system. Ya begitu saja sehingga bisa maju bersama-sama.
235 notes · View notes
yunusaziz · 1 month
Text
Sedikit Pesan Penyemangat! :)
Mungkin diantara sahabat kita sudah berhasil mengkhatamkan bacaan Al-Qur'annya per malam ini, bahkan ada yang lebih, atau mungkin sholat dhuha, bahkan tahajudnya hampir tidak pernah bolong dalam seharipun, maupun wirid-wirid ibadah lainnya yang menoreh capaiannya yang luar biasa.
Melihat yang demikian itu semoga kita tidak justru down, atau pesimis bahkan merasa fatalis dengan apa yang sejauh ini mampu kita upayakan. Optimisme itu harus senantiasa dipupuk di dalam jiwa orang-orang yang beriman. Harus dirawat, dan terus ditanamkan pada tiap-tiap peluang amal.
Tidak apa jika memang capaian kita masih belum optimal, asalkan kita sudah pastikan bahwa tiap peluang amal yang Allah berikan, ada "ahsanu amalan" atau sebaik-baik amal, yang kita terus upayakan. Tidak menyia-nyiakan berlalu begitu saja tanpa perjuangan yang berarti.
Amal baik itu pada akhirnya memang harus diupayakan, adakalanya harus dimulai dengan paksaan, sebab dengan begitulah "budaya diri" akan terbentuk, dan yang harus kita pahami juga, bahwa tiap orang ada 'maqom'-nya (tingkatan hamba di hadapan Allah) masing-masing.
Mungkin masih ada yang berkutat pada memperbaiki amalan-amalan wajibnya, atau sudah mulai next level pada sholat-sholat atau amalan sunnah lainnya, bahkan yang baru mulai mengenal Islam lagi? Ya, setiap orang memiliki fasenya tersendiri.
Maka dari itu, yang terpenting pada tiap fase adalah adanya jiddiyah (kesungguhan) dan at-tafa'ul (sikap optimis) pada tiap-tiap peluang amal yang Allah telah berikan. Tenang saja, saking baiknya Allah, surga-Nya bisa dijemput dengan banyak jalan :)
Jadi terus semangat yah siapapun kamu! Mari menang bersama di Ramadhan kali ini. Bismillah, masih semangat kan? ^^
137 notes · View notes
aksarahumaira · 1 month
Text
Tujuan Menikah
Tumblr media
Katanya, luruskanlah niat dalam pencarian atau masa penantian. Pernikahan nanti, benar-benar untuk ibadah semata, meraup banyak pahala di dalamnya. Benarlah bahwa disebut mitsaqan ghalidza, itulah perjanjian yang agung dengan Rabb-nya semesta. Allah hadirkan sakinah, mawaddah dan rahmah setelah terucap "saya nikahkan..."
Pernikahan yang ditunggu nanti bukanlah untuk menambah harapan pada manusia, bukan juga mengisi kesendirian yang kerap kita pertanyakan kapan ujungnya. Bukankah sebaik-baik tempat berharap hanya kepada Allah semata? Bukankah tak sedikit pasangan yang tetap merasakan kesendirian dalam pernikahan?
Berbahagialah mereka yang ketika masih sendiri, Allah jadikan menggantungkan harap hanya kepadaNya. Kelak nanti, kita tak bisa berharap pada pasangan, anak ataupun keluarga. Allah lah sebaik-baik penolong, sang Maha dari segala Maha.
Semoga Allah temani kita berjuang di jalan-Nya, Allah ridhoi perjuangan ini berdua denganNya. Cukuplah Allah ada sebagai penenang jiwa dengan kesendiriannya.
_____________
Again, makasih kak May atas segala nasihatnya, atas segala cerita penuh hikmahnya, atas pelukan penuh kasih sayangnya. Orang yang benar-benar aku syukuri bertemu dengannya diantara banyak orang di dunia ini... murobbiku sendiri. Nasihatnya penuh hikmah dari Quran dan hadits, semoga Allah izinkan tetap dan terus ada di lingkaran yang sama :")
“”Sesungguhnya apabila Allah mencintai seseorang, maka Dia akan memanggil malaikat Jibril seraya berseru: ‘Hai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai si fulan. Oleh karena itu, cintailah ia! ‘ Rasulullah bersabda: ‘Akhirnya orang tersebut pun dicintai Jibril. Setelah itu, Jibril berseru di atas langit; ‘Sesungguhnya Allah mencintai si fulan. OIeh karena itu, cintailah ia! ‘ Kemudian para penghuni langit pun mulai mencintainya pula.’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Setelah itu para penghuni bumi juga mencintainya.’ Sebaliknya, apabila Allah membenci seseorang, maka Dia akan memanggil malaikat Jibril dan berseru kepadanya: ‘Sesungguhnya Aku membenci si fulan. Oleh karena itu, bencilah ia.’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Lalu malaikat Jibril berseru di langit; ‘Sesungguhnya Allah membenci si fulan. OIeh karena itu, bencilah ia!” Kemudian para penghuni langit membencinya. Setelah itu para penghuni dan penduduk bumi juga membencinya.”  (HR. Muslim).
Kemarin diingatkan hadits ini di sesi ketika cuma berdua di musholla kampus. Gapapa, yuk mulai lagi, mulai berjuang lagi :")
-dari yang sedang mengejar cinta Allah semata.
Depok, 31 Maret 2024.
54 notes · View notes
kayyishwr · 4 months
Text
"Jadilah Hamka saja"
Begitu kata Siti Raham dalam episode dimana saat itu Buya Hamka diminta memilih antara Masyumi dengan jabatannya saat itu.
Saat menonton film Buya Hamka sejak volume 1; ya atau bahkan ada yang sudah membaca buku-buku karya beliau atau tentang beliau, aku berfikir—mungkin kalian juga; kok bisa ada orang setegar beliau
Ah, apa itu karena kita hari ini kehilangan sosok teladan?
Mungkin tidak hanya Buya Hamka, tapi yang saat ini difilmkan dan lumayan viral itu soal beliau; oh ya dulu juga sudah ada soal Hasyim Asyariy dan Ahmad Dahlan, klo yang soal Soekarno belum nonton si
Tapi coba kita bayangkan, saat itu, negara kita punya tokoh sekaliber beliau semua, gimana ya rasanya melihat dan hidup sezaman dengan orang-orang seperti beliau
Oh ya, tapi satu hal yang bisa kita perhatikan adalah keberadaan Siti Raham disamping Buya Hamka, dan pertanyaannya masih adakah hingga hari ini?
Jujur, pas nonton agak sedikit mengeluarkan air mata—kan katanya cowo gak boleh nangis; ya dibalik sosok yang jago berpidato, ada seseorang yang mengurusi, memasakkan, menjaga kehormatan untuk beliau; Siti Raham
Maka begitulah Islam memuliakan perempuan, menjadikan mereka makhluk yang terhormat, bukan seperti pada masa jahiliyyah dulu; sungguh Islam menempatkan perempuan dengan kedudukan yang mulia, disebut tiga kali sebagai orang yang harus dihormati sebagai 'Ibu' baru kemudian 'Ayah'
Tapi tentu, menjadi sosok seperti Siti Raham, perlu ilmu; ilmu soal kesadaran menjadi hamba Allah, ilmu soal kesabaran dalam perjuangan, ilmu soal rela berkorban di jalan kebenaran
Hingga saat pilihan pelik itu datang bisa menyakinkan dan berkata "Jadilah Hamka saja"
91 notes · View notes
andromedanisa · 11 months
Text
Seorang perempuan dan ujian yang dilaluinya..
"tes lab apa mba?" tanya beliau dengan senyum ramah kepadaku.
"ini Bu tes toxo, rubella, dan beberapa hal lainnya." jawabku dengan senyum juga.
"oh itu tes untuk promil ya kalau nggak salah?"
"iya, Bu." jawabku singkat.
Kita berdua ngobrol banyak hal tentang sakit yang beliau derita, dan tentang pengalaman beliau yang dulu juga sebagai pejuang harus dua.
"nggak apa-apa mba, yang penting tawakal dan baik sangka terus sama Allaah ya. Ibu dulu juga nunggu 7 tahun untuk mendapatkan anak. Kalau inget-inget lagi perjuangan dulu rasa-rasanya masih nggak percaya aja mba bisa ngelewatin berbagai hal yang ibaratnya kaki jadi kepala, kepala jadi kaki kalau nggak karena pertolongan Allaah.
Ibu dulu, nunggu anak pertama 7 tahun lamanya. Kalau ditanya promil apa dulu hingga akhirnya bisa punya anak. Ya jawaban ibu, nggak ada. Ibu hanya baik sangka saja sama Allaah. Sebab segala cara promil pada zaman itu sudah ibu lakukan. Ke dokter, inseminasi, bayi tabung pun sudah ibu lalui. Tapi memang ya belum waktunya aja.
Ibu dulu beranggapan bahwa anak adalah sumber kebahagiaan suami istri. Rupanya tidak. Sumber kebahagiaan dalam rumah tangga itu bukanlah dengan kehadiran seorang anak. Melainkan suami istri, sama-sama bertakwa kepada Allaah. Itu kuncinya. Anak hanya salah satu pelengkap kebahagiaan. Bukan faktor utama.
Selama 7 tahun suami ibu dulu sungguh perhatian, penyayang, dan mencukupi segala kehidupan ibu dengan baik. Harta sangat cukup. Tapi ibu dulu ngerasa hambar aja menjalani hidup. Selama 7 tahun itu rumah tangga kita baik-baik saja untuk ukuran dunia. Namun suami ibu tidak mendidik dan mengajarkan agama perihal mana yang baik dan buruk yang wajib dan tidaknya. Intinya kita dulu jauh dari Allaah. Ibu nggak bisa cerita bagaimana kelamnya dulu.
Lalu, ketika ibu mulai sadar bahwa kita hidup nggak cuman di dunia aja. Ibu mulai belajar sholat, mengaji dan belajar agama sedikit demi sedikit. Alhamdulillaah, Allaah izinkan ibu hamil. Kehamilan yang ditunggu-tunggu dengan penuh kebahagiaan. Kenyataannya tidak demikian. Suami ibu selingkuh, si wanitanya hamil pula.
Ibu yang saat itu hamil hanya bisa menangis sampai kehamilan memasuki 8bulanan. Lalu kembali Allaah sadarkan, bahwa jalan kebenaran itu jelas. Tidak akan bersatu sebuah rumah tangga jika jalan yang dipilih adalah jalan yang berbeda. Anak bukanlah sumber kebahagiaan yang utama, hartapun demikian. Anak dan harta hanyalah titipan sebagai pelengkap kebahagiaan, bisa jadi juga sebagai ujian diri di dunia ini.
Tapi janji Allaah itu pasti mba, setelah kesulitan akan ada kemudahan, dan kelak Tuhanmu akan memberikan nikmatNya kepadamu sampai kamu merasa puas. setahun setelah melahirkan, ibu bertemu dengan suami ibu saat ini. Dan Masya Allaah sekali, kebahagiaan itu benar-benar nyata adanya. Hanya butuh sabar dan percaya bahwa Allaah nggak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambaNya.
Berapa tahun pun lamanya sebuah pernikahan, bila dilalui dengan takwa, rasa takut hanya kepada Allaah. Maka seterjal apapun jalan pernikahan itu, akan Allaah tolong untuk melaluinya. Hikmah nggak harus datang saat itu juga, tapi akan selalu ada hikmah atas ujian yang Allaah berikan kepada kita.
Tak doakan semoga Allaah mudahkan segala sesuatunya ya mba, diberikan yang terbaik dan kelapangan hati dalam melalui prosesnya."
Dan aku mengaamiinkan, sebelum berpisah, aku meminta izin kepada beliau untuk menuliskan kisah beliau dalam tulisan. Dan beliau mengizinkannya.
Jika Allaah takdirkan ibu membaca tulisan ini, semoga Allaah membalas kebaikan ibu ya dengan banyak kebaikan. Barangkali dengan cerita ibu ini ada banyak hati yang dikuatkan. Bahwa kebahagiaan itu bukanlah bersandar pada sesuatu yang semu.
Nasihat yang seringkali kita dengar bahwasanya memiliki anak itu bukanlah berdasarkan pada seberapa subur wanita dan seberapa perkasa pria. Melainkan pada kehendak Allaah untuk menahan atau memberi. Sesungguhnya Allaah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.
Yakinlah disatu ujian yang terasa berat untukmu saat ini, kamu tidak sendiri. Disaat kamu sedang Allaah uji, kamu tidak akan dibiarkan berjalan sendiri. Ujianmu adalah sesuai dengan takaran kemampuanmu untuk saat ini. kau tak perlu mencemas kapan ujian itu akan selesai dalam hidupmu, sebab pertolongan Allaah itu dekat. yang perlu kau cemaskan adalah bagaimana keyakinan mu untuk terus meminta pertolongan Allaah dalam setiap waktu dan baik sangkamu kepadaNya.
Cerita kala itu..
192 notes · View notes
penaimaji · 7 months
Text
Letak Takwa
Salah satu letak takwa seorang muslim ialah bagaimana respon ia saat dihadapkan dengan masalah atau ujiannya. Tentu bukan hal yang mudah awalnya; butuh ruang; butuh perenungan; butuh penerimaan; namun sebagai seorang muslim, baiknya kita meletakkan takwa setelah menghadapinya
Jujur pada Allah, bahwasannya tiada daya melainkan semua atas kekuatan dan kehendak-Nya. Meminta pada Allah diiringi dengan perasaan roja' dan khouf. Benar saja, Allah selalu memberi jalan keluar, saat kita mau percaya
Perjuangan belum genap dua tahun ini, masyaAllah perlahan membuahkan hasil. Membentuk habit yang baik untuk anak, membersamai tumbuhkembangnya. MasyaAllah.. seorang ibu tidak bisa melakukannya sendiri, butuh support system dari orang terdekat
Pasca melahirkan, sebulan pertama dibantu mertua dan kakak ipar, menjalani hari-hari dalam merawat anak. Sungguh kalau diingat-ingat, berat sekali saat itu. Semoga Allah kuatkan para ibunda yang sedang berjuang :'))
Bulan kedua dan ketiga, bersama suami saling kerjasama. Bulan keempat sampai di usia satu tahun tiga bulan, saat tidak ada suami, alhamdulillah dibantu ibuk yang biasa kupanggil bude di sekolah. Sangat membantu kewarasanku, memberikan jeda agar terbiasa bersama anak
Sampai akhirnya aku terbiasa menjalani hari-hari bersama anakku yang tangki motorik sensoriknya begitu besar. Setelah beberapa bulan mencari dokter yang cocok di Jakarta, akhirnya Allah temukan kami dengan dokter Apin. Walaupun waktu konsultasi dengan beliau terbatas, juga jarak tempuh yang lumayan jauh
Di era infodemik ini—dimana ilmu apapun secara teori, termasuk dunia kesehatan dan parenting, bisa dengan mudah kita akses. Orang pertama yang harus aware dengan anak ialah orang tuanya. Menjadi pelajaran besar buat aku dan suami, yang terus berusaha untuk belajar
Sebaik apapun kita berikhtiar, akan jauh lebih baik kita melibatkan Allah dalam setiap urusan. Kita bukan apa-apa tanpa Allah, Ia yang memberi kekuatan, serta memudahkan urusan-urusan kita
Jakarta, 12 Oktober 2023 | Pena Imaji
107 notes · View notes
kaktus-tajam · 1 month
Text
Traffic Talks
Ketika pindah kembali ke Jakarta setelah merantau 7 tahun di Jogja, aku merasa Jakarta terlalu macet dan sumpek. Menyetir dalam kemacetan yang tidak masuk akal itu… membuat fisik dan mental lelah haha. Tapi aku jadi ingat, kemacetan itu bersama ibu.
Saat dulu di bangku SD sampai SMA, perjalanan dari rumah ke sekolah ditempuh dalam tempo 1-2 jam (1 juz lebih ya?) atau setara dengan banyak episode-episode “podcast” dengan ibu. Ibu selalu membuat perjalanan di mobil menjadi singkat dengan dialog-dialognya. Kadang bicara tentang fenomena alam, sejarah, ayat Quran, teman ibu, keluarga jauh, dan lain-lain. Ditanya apapun, sepertinya ibu selalu punya jawaban. Jika tidak tahu pun, ibu selalu semangat belajar lagi.
Saat dalam perantauan, hal itulah yang ternyata kurindukan. Jakarta dengan kemacetannya, yang membuat kesempatan bercerita dengan ibu.. yang membasuh kering dan gersangnya hati dengan nasihat-nasihat yang terkandung dalam lisannya.
Saat telah menjadi dokter lalu turun ke masyarakat, membaca berita dan bergidik dengan fenomena akhir zaman, atau melihat kerusakan ummat.. aku langsung banyak bersyukur Allah karuniakan madrasah ibu. *Apalagi dulu tidak sekolah di sekolah islam, apalagi nyantri. Alhamdulillah ala kulli haal Allah jaga dengan wasilah ayah ibu.
Ya Allaah, semoga kami pun diberi kekuatan menghantar generasi berikutnya menjadi generasi yang menjadi angin sejuk dari musim semi peradaban islam.
Ada 6 materi pokok sebagai bekal orang tua menjadi guru keluarga:
1. Islamic worldview
2. Pendidikan anak (ilmu dan adab)
3. Fiqhud Dakwah
4. Fiqih keluarga
5. Tantangan pemikiran kontemporer
6. Sejarah peradaban islam
Dr. Adian Husaini dalam bukunya Kiat Menjadi Guru Keluarga, dan dalam ceramah beliau.
Selamat terus belajar dan memantaskan diri, semoga Allah pilih kita menjadi bagian dari kebangkitan ummat, melahirkan penerus dalam dakwah risalah Rasulullah saw, menapaki jalan perjuangan tersebut.
Salam tadzim untuk orang tua hebat kalian.
Jadi macet-macetan gapapa ya, Hab? Haha.
-h.a.
34 notes · View notes
maitsafatharani · 9 months
Text
Embracing My Self
Kalau mendengar kata 'perjuangan', rasanya perjuangan terbesarku adalah perjuangan berdamai dengan diriku sendiri.
Dulu, aku pernah menjadi seseorang yang sangat sedih bila melakukan kesalahan. Rasanya malu sekali, dan berujung pasrah bila akhirnya aku disalah-salahkan. Kalau saat ini, kita mengenalnya dengan istilah inferior. Aku sering merasa rendah diri.
Padahal, aku bukannya tanpa prestasi. Sepanjang TK hingga SMA, beberapa penghargaan atas prestasi akademik bisa kuraih. Tapi, hal-hal itu tidak menghilangkan kerendah dirianku. Terlebih jika ada kesalahan atas kecerobohan yang kuperbuat. Sekejap, rasa percaya diriku akan merosot, kebaikan-kebaikan yang kupunya terlupakan sama sekali. Dan aku akan bermuram durja karenanya.
Mentalitas inferior ini cukup berpengaruh di kehidupan sosialku. Sewaktu SD, saat bermain dengan teman-teman, aku sering dijadikan 'anak bawang'. Karena dianggap selalu 'kalahan'. Akhirnya teman-teman 'berbaik hati' mengajakku bermain, tapi tidak dilibatkan dengan sebenar-benarnya dalam permainan.
Mungkin ada yang bingung dengan istilah anak bawang?
Misal, main petak umpet nih. Sebetulnya persembunyianku sudah ketahuan. Harusnya jika ketahuan, kan, aku otomatis kalah. Tapi karena aku 'anak bawang', aku akan dianggap tidak ketahuan. Agak menyebalkan, bukan? Rasanya powerless.
Berbeda untuk urusan akademik. Seusai pelajaran selesai, teman-teman yang belum paham dengan materi seringkali menghampiri mejaku untuk minta dijelaskan kembali.
Tapi, kelebihan akademikku tidak pernah bisa menghapuskan kabut hitam inferioritas yang menggelayut di benakku. Aku masih merasa gagal, dan bukan siapa-siapa.
Bersyukur, semakin bertambah usia, rasa inferioritasku mulai berkurang perlahan. Aku semakin berani show up dan berargumentasi. Tapi tentu saja tidak se-powerful itu. Aku masih selalu sedih jika melakukan kesalahan. Apalagi kesalahan yang berulang.
Qadarullah, di bangku kuliah aku menemukan lingkungan yang amat suportif. Rasa inferioritas mulai tertepis jauh. Kalau pun berbuat salah, aku lebih legowo untuk meminta maaf dan mau belajar. Aku lebih percaya, diriku mampu di lingkungan sosialku.
Sampai suatu ketika, aku pernah mengikuti sebuah peer group untuk belajar bersama meningkatkan speaking. Temanku yang menjadi mentorku memberikan apresiasi padaku di sesi one on one. Lalu bertanya.
"Yang aku lihat, kamu begitu tenang saat belajar. Kamu juga berani untuk berbicara saat grup mulai terasa hening dan awkward. Kamu bisa memicu yang lain untuk berani speak up juga. Darimana kepercayaan dirimu itu kamu dapat?"
Ditanya demikian, aku jadi berpikir. Butuh waktu untukku menjawab.
"Sepertinya.. karena aku tahu kalau aku tidak sempurna."
"Kenapa begitu?"
"Karena aku tidak sempurna, aku tahu aku selalu bisa melakukan kesalahan. Maka jalan saja dulu, nanti aku akan tahu letak kesalahanku dimana, dan membenahinya. Practice makes perfect."
Namun, ada kalanya kondisi tertentu membuat penyakit lamaku hadir. Saat aku hendak menikah, rasa inferiorku kembali mencuat. Aku sering mempertanyakan kenapa ada seseorang yang mau memilihku. Aku merasa tidak punya kelebihan yang bisa diandalkan. Aku merasa seringkali berbuat ceroboh. Dan seterusnya.
Beruntung, saat aku mencurahkan kegundahanku pada seorang kakak, beliau menghiburku dengan sebuah kalimat yang membesarkan hati.
"Atas kekurangan pasanganmu, bersyukurlah. Atas kelebihannya, bersabarlah."
Kalimat itu, masih tertanam kuat padaku hingga sekarang. Benar, apa salahnya jika pasanganku lebih baik dalam banyak hal dibanding aku? Aku cukup perlu banyak bersabar untuk belajar mengimbanginya. Dan jika pasanganku melakukan kesalahan, bukankah itu baik untukku, karena ada alasan bagiku untuk membantunya?
"Jangan terlalu dini merasa bersalah. Nanti kalau sudah jadi istri dan ibu, rasa bersalah akan muncul semakin banyak." Canda kakakku itu. Benar juga, aku harus menata emosiku sebaik mungkin.
Dan lagipula, apa salahnya berbuat salah? Bukankah, manusia adalah tempatnya salah dan lupa?
Akhir-akhir ini aku menonton sebuah youtube dari dr. Aisah Dahlan. Beliau tengah memberikan webinar tentang watak. Disitu ada sebuah kalimat beliau yang mengena buatku. Kalimatnya tidak persis, tapi kira-kira seperti ini yang kutangkap.
"Ketika melakukan sesuatu yang salah, cukup ketahui bahwa itu perbuatan yang salah. Tapi jangan pernah merasa bersalah." Ungkap beliau. "Ketika kita sadar kita salah, kita akan maju untuk berbenah. Namun perasaan bersalah hanya akan menahan kita tetap di tempat dan efeknya kita akan sulit untuk berubah."
Rasa-rasanya perkataan beliau menjadi sesuatu yang mencerahkan perjalanan hidupku sejak lampau hingga kini.
Dulu, perasaan bersalah yang membuatku merasa frustasi, dan cenderung sukar untuk berbenah. Justru, kesadaran bahwa diri ini bisa salah, dengan diimbangi kemauan untuk berubah akan membawa dampak yang lebih baik. Baik secara dzahir maupun batin.
Apalagi, posisiku saat ini sebagai seorang istri dan ibu. Semoga Allah bantu untuk melalui segalanya dengan hati yang tenang. Karena, bukankah sakinah di rumah itu bergantung pada ketenangan setiap anggotanya? :)
112 notes · View notes
alfisyahrin · 2 months
Text
Wahai perempuan...
Simpan rasa cinta mu, simpan rasa sayang mu, tangis dan tawa bahagia mu hanya boleh kamu rayakan pada yang paling berhak atas dirimu, pada dia yg sudah melabuhkan hatinya untuk bermuara dalam hidupmu, pada dia yg berhasil mendapatkan dirimu sungguh-sungguh melalui yg menciptakan mu, pada dia yg semoga do'a nya tak pernah reda untuk terus mendoakan kebaikan serta kebahagiaan untukmu.
Padanya kau menaruh hormat, padanya kau berbakti, padanya kau terus mengasihi dan menyayangi sepenuh hati dan jiwa. ia yg berhak atas kepemilikan dirimu dari sang pencipta, melalui hati dan jiwa nya kamu sukarela mengabdi, sebab ia mendapatkan mu melalui jalan yg benar, jalan yg pasti penuh ridho illahi.
Kalian bersama, perjuangan yang memiliki panjang perjalanan kalian hiasi dengan do'a dan usaha paling tulus dan murni.
Kalian menjadi cinta dan kasih yang setara.
Selasa, 12 Mar 2024
65 notes · View notes
manusiafajar · 1 month
Text
Aku tidak cantik, lalu kenapa?
Aku kesal kenapa masih terjebak dalam judul tangis paling receh ini.
Semenjak beberapa kali membiarkan diri merayakan -rasa tidak aman- ini, kegetiran justru bertambah sering hadir mampir mengusik hati. Dan itu, cukup mencabik - cabik kepercayaan diri yang kubangun dengan cukup susahnya, di hadapan makhluk - makhluk yang -teranggap- lebih rupawan, bangunannya runtuh seketika.
Cukup menyebalkan.
Terakhir.
Tempat temukan lega adalah bertemu dengan mereka yang sepaham senilai, mampu menghargai dengan begitu sempurna akan kemampuan dan kapasitas keilmuan yang kita punya, yang berbinar matanya menatap lekat bicaraku tentang ambisiku.
Atau telinga yang terus penasaran menggali apa yang aku mampu dan aku mau.
Mereka tidak menyanjung berlebihan, dengan porsi sekedarnya secukupnya, tapi tidak membuat kita lemah mendengarnya, sebab sedikit kata dari orang yang bernilai lebih atau setara akan membahagiakan, karena kita tahu ia paham betul prosesnya, untuk sampai di titik yang kita tapaki saat ini, ia pun pernah melewatinya.
Mereka yang dengan senang hati terus bertanya apa yang kita punya, apa yang kita bisa, apa yang mau kita minta.
Mereka yang menumbuhkan cinta akan jalan perjuangan pada bahtera keilmuan, membuat candu pada setiap pembelajaran, membuat cemburu buku - buku pada waktu yang sia - sia terbuang.
Duhai Allah.. bila kegelisahan yang aku rasakan tersebab bahagia - bahagia fana bukan karena cinta-Mu tujuannya.. maka tuntun aku.. tuntun aku untuk kembali temukan jalan menuju cinta-Mu..
Duhai Allah.. bila kerisauan yang aku rasakan betul datangnya dari kurang berkumpul dengan orang - orang yang mencintai-Mu dengan penuh, maka kumpulkanlah aku.. pertemukanlah aku..
Duhai Allah.. bila banyak rasa senang yang aku raih tidak bersama-Mu.. maafkan aku.. sungguh apapun bersama-Mu lebih terang.. lebih tenang..
Duhai Allah.. apabila banyak hal yang ingin aku raih tidak sesuai dengan yang Engkau mau.. tolong pahamkan aku.. ingatkan aku bahwa tidak ada yang lebih penting dari mati - matian menjadi cantik di mata-Mu..
Cairo, 22.45 CLT
21 Maret 2024 - 11 Ramadhan 1445
22 notes · View notes
sorotbalik · 11 months
Text
Serial Taujih—Prasyarat yang Perlu Dihadirkan
"Memilih jalan hidup untuk berkhidmat bersama umat itu memang melelahkan, bahkan sesekali menyakitkan. Saat orang lain istirahat, kita memilih untuk berkorban waktu, tenaga bahkan harta hanya untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Akan tetapi, jika pilihan itu didasari dengan kepahaman, keikhlasan, totalitas amal, dan pengorbanan maka hidup kita akan mulia, matipun juga, Insyaallah."
Kepahaman, keikhlasan, totalitas dan pengorbanan adalah modal pokok di dalam mengusung perjuangan. Apapun yang diperjuangkan. Kehadirannya menjadi prasyarat yang wajib ada jika kita ingin berbicara dan memperoleh output dakwah yang optimal dan berkesinambungan.
Kepahaman memiliki peran bahwa segala sesuatu harus memiliki dasar; baik itu landasan syariat, maupun dasar-dasar ilmu kauniyah (dunia) sebagai penunjang komprehensifitas amal. Ketika dua hal itu mampu dikolaborasikan, akan mencipta suatu metode (cara) yang benar dari segi syariat, dan diterima dari segi lingkup sosial dan budaya.
Keikhlasan memiliki peran dalam menentukan arah, menjadi kompas atas segala kebingungan di tengah jalan. Ia harus menjadi satu hal yang terus diperbarui agar menjaga kualitas amal. Keikhlasan ini hanya mampu diperoleh ketika setiap da'i bisa memupuk karakter dalam dirinya yaitu rasa muraqabatullah (merasa diawasi Allah), yang bersih tidak dinodai dengan maksud dan harap duniawi.
Totalitas memiliki peranan dalam memberikan sikap dan tindakan dari bentuk implementasi hadits arbain ke 17 “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu.” . Total dari segi menghadirkan input, mengawal proses, hingga melahirkan output optimal di akhir. Karena yakin bahwa Allah lebih menilai proses daripada hasil.
Dan terakhir, pengorbanan yaitu menyadarkan kepada kita bahwa, hampir mustahil perjuangan tanpa adanya butir-butir pengorbanan. Waktu, tenaga, pikiran dan harta. Sehingga melahirkan sikap selalu korektif, "Jika dakwah tidak terasa berat (berkorban), jangan-jangan ada yang salah."
Wallahua'lam bish showaab.
129 notes · View notes
yunusaziz · 10 months
Text
Hikmah di Bawah Kaki Gunung Merapi
Tumblr media
Sekali-kali storytelling boleh lah ya...
Ditengah segala kalut pikiran atas beragam rollercoaster kehidupan jelang akhir Juni ini; mulai dari karir, jodoh bahkan tawaran nya***, memutuskan untuk sejenak mengambil jeda, "Akhir pekan ini pokoknya harus lihat pemandangan hijau!" .
Berkontemplasi selama perjalanan, mengevaluasi atas segala kegagalan, dan menyusun ulang rencana hidup adalah hal yang harus saya selesaikan sebelum sampai rumah.
Semua berjalan dengan lancar sampai akhirnya, terbesit dalam pikiran saya untuk berkunjung ke masjid tempat almarhum orangtua Abi dulu tinggal.
Lokasinya berada dibawah kaki gunung Merapi, dari jalan utama perjalanan pulang saya, sebetulnya agak effort karena harus masuk-masuk gang, tapi entah kenapa dorongan hati kian menggebu pokoknya harus kesana.
Setibanya disana, lebih kurang 20 menit sebelum adzan Isya' berkumandang. Tiba-tiba segerombolan bapak-bapak datang, kemudian menyapa saya. Untuk mempersingkat tulisan, saya terjemahkan ulang dari bahasa jawa ke bahasa Indonesia.
"Darimana dan mau pergi kemana mas?" tanya salah satu dari mereka.
Saya jawab, "Habis perjalanan pulang pak, mampir. Sekalian lihat rumah lama kakek saya."
"Loh kakenya tinggal disini, namanya siapa?" tanya mereka.
"Itu pak (sambil nunjuk rumah kakek saya), cucunya mbah Qomaruddin." jawab saya.
"Masyallah, cucunya mbah Qomaruddin." celetuk mereka kegirangan.
Karena penasaran dengan ekspresi mereka, saya bertanya :
"Loh bapak kenal sama mbah saya?" tanya saya.
"Yo kenal to mas-mas, Mbah Qomar dulu yang ngajari saya ngaji. Sebagian besar warga sini, yang seumuran saya, ngaji juga sama beliau. Nenekmu juga dulu yang inisiasi pengajian ibu-ibu." sahut salah satu dari mereka.
Obrolan terus berlanjut, menanyakan kabar keluarga saya, dsb. Tapi saya justru tersita perhatian dengan kisah perjuangan kakek-nenek saya, yang sangat perhatian dalam aktivitas keislaman dan menghidupkan masjid.
Rasa haru, kagum sekaligus iri, karena semasa hidup belum pernah ketemu dengan kakek saya, karena beliau meninggal di umur yang tergolong muda. Beda halnya dengan nenek saya yang masih sempat bertemu sampai saya usia belasan. Sebanyak dan seberkesan itu kakek saya di mata orang-orang yang menyayanginya.
Mendengar kisah itu, seketika menjadi tamparan bagi saya, yang sebelum ini terkesan begitu ambisi mengejar duniawi. Rencana-rencana hidup yang tadi terususun, tidak ada satupun yang berorientasi pada urusan ukhrawi. Astaghfirullah hal adzim..
Selepas sholat saya termenung, apa yang salah dari jiwa ini, kenapa sekarang begitu hausnya dengan duniawi? Diperjalanan, saya termenung dan menghapuskan semua rencana-rencana yang sudah terusun rapih tadi, kemudian menyusun ulang dengan pertanyaan mendasar :
"Kalau Allah panggil kamu besok pagi, kira-kira legacy apa yang akan kamu tinggalkan selepas mati nanti?...."
Maha Besar Allah dengan Segala Kehendak dan Kekuasaan-Nya. Begitu mudahnya membolak-balikkan hati hamba-Nya. Selalu ada cara bagi-Nya, untuk meminta kembali hamba-Nya ke jalur yang semestinya. Alhamdulillah 'ala kulli hal.
88 notes · View notes
ruang-bising · 7 months
Text
Sepenggal Tulisan Bising Diri Sendiri [ Bag. 2]
***
Bising, bising sekali omongan orang lain tentang keluargaku. Aku sudah bias, mana peduli mana yang hanya gosip. Ayah yang menafkahi kami dengan harta yang haram, ibu yang jarang dirumah, kami yang tercabik-cabik nama baiknya. Aku malu sekali. Aku hanya bisa berdo'a semoga suatu saat nanti mereka diberi hidayah oleh Tuhan.
Saat aku Kelas 3 SMA, Ayah jatuh sakit, parah sekali. Habis fasilitas yang kami punya, mulai dari rumah, transportasi, alat komunikasi. Mobilitas hidup kami benar benar hancur. Mungkin ini cara Tuhan membersihkan dosa masa lampau keluarga ini. Kakakku mengungsi di rumah kerabat, dekat dengan kampusnya. Aku terpaksa diasuh oleh yayasan tempatku bersekolah, aku yang setiap hari mencicipi masakan yang entah seperti apa rasanya. Tapi bagiku itu lebih enak kebanding memakan harta haram ayah.
Hampir setahun ayah sakit, akhirnya menemukan titik terang. Apa ayah bertaubat dari pekerjaannya? Tidak. Dan aku terpaksa masih betah diasuh yayasan lagi.
Satu bulan kemudian, pandemi menyerang. Itu tidak berpengaruh terhadap pekerjaan ayah. Aku berjanji tidak ingin lagi memakan harta haram. Aku kembali bertahan di asrama yang berukuran 3x5 m ini. Aku menghidupi mimpi-mimpiku sendiri sejak tahun itu. Masa kejayaan orang tua yang telah habis, kata orang. Aku menarik diri dari keramaian satu tahun itu, lebih dari puasa sosmed yang anak muda sekarang katakan. Aku harus segera menuntaskan perjuangan ini, hingga lulus bersekolah. Aku mengajar di surau seberang sekolah dan berdagang untuk sampingan.
"Nanti kalau udah lulus SMA, langsung kerja!!! Bales budi orang tua!!!" Ujar salah satu bibi dari ayah saat lebaran. Berat sekali bertemu keluarga besar ayah yang berpikiran kolot, dan setolol itu. seolah anak lahir, diasuh kedua orang tua berarti sama dengan berhutang. Bukankah itu kewajiban orang tua membesarkan anak? siapa pula yang menginginkan dilahirkan? "nasib tersial adalah dilahirkan" celoteh filsuf yunani seolah memenuhi kepalaku.
Aku ingin pulang, tapi entah kemana.
Aku bisa saja mengambil beasiswa prestasi di perkuliahan, berkat sertifikat lomba yang sering kujuarai. tapi reguler, yang berarti akan hidup dengan harta haram keluargaku lagi. Dan itu juga berarti aku harus hidup berdesakkan di kontrakkan petak, karena rumah ludes terjual. Akhirnya aku memilih jalan dengan mencoba berbagai beasiswa keagamaan, dan berakhir di asuh oleh salah satu yayasan pesantren terkemuka di kota ini. Seratus persen!!! Tentunya setelah mengikuti panjangnya seleksi. Persetan! Aku hanya ingin keluar dari lingkaran iblis ini.
Sesekali ibu menelponku dan ingin mengirimiku uang, tapi aku tak pernah mau lagi.
Berat sekali rasanya, kamu bisa membayangkan?
Memasuki tahun ke dua menjadi santri yayasan, Ayah mendapat hidayah, berhenti dari pekerjaannya, do'aku terkabul, terimakasih Tuhan. Ia berdagang, Ibu masih bergelut menjadi ART semenjak badai melanda keluarga kami. Pembersihan dosa, ujarku dalam hati.
Tahun kedua merupakan tahun terberatku di tempat ini, tuntutan dari yayasan semakin banyak, maklum, beasiswa seratus persen. "Kalian harus bener belajar di sini, setoran 2 lembar perhari, hadist juga, kitab pun jangan terlewat. Makanan yang hari ini kalian makan ga gratis, donatur, UMMAT yang membiayai kalian! Malu kalian kalau makan tapi gasampe target!!!" Bentak salah seorang ustadz kami. Semenjak itulah lidahku mati rasa memakan makanan yang di sungguhkan di sana.
Ajaib, aku berhasil lulus lebih cepat dari kalender pendidikan. Berbagai target di sana telah kucapai. Alhamdulillah. Aku bisa pulang ke rumah. Aku berjanji tidak ingin pulang sebelum pendidikan selesai di sana. Sisanya hanya persiapan mengabdi.
Liburan semester 4 dari total 6 semester, aku kembali ke rumah. Aku tersenyum melihat kontrakkan petakan. Tak apa, ujarku, Aku ikhlas, Tuhan. Kebanding menempati harta haram yang mendarah daging di setiap sudut tembok. Satu hal yang baru kusadari, ibu jarang di rumah, Terlibat hutang selepas badai keluarga kami.
Ayah? yang ayah lakukan hanyalah duduk di teras, tatkala di rumah, lebih sering makan dan tidur di rumah saudaranya yang kolot dan bodoh itu. aku dan kakakku (yang satu tahun kedepan akan menikah) terpaksa berkecimpung melunasi hutang mereka. kami menyisihkan uang dari keringat kami sendiri. Adikku? Adik kecilku bahkan masih kelas 2 SMP, ia masih terlalu lugu untuk memahami kondisi keluarga kami, yang ada dipikirannya mungkin masih bermain dan mencari jati diri.
Akhir semester 6, hutang mereka habis dan lunas, begitu pula tabunganku dan tabungan menikah kakak. Kakakku terpaksa menikah sederhana. habis sudah dream wedding dia, "gapapa, yang penting halal dulu." Ujarnya. Ya Tuhan, aku melihat wajah paling ikhlas di wajah kakakku. Bahkan aku menangis saat menuliskan ini.
Aku ingin pulang, tapi entah kemana.
Saat ini aku sudah bisa menabung diam-diam, aku ingin melanjutkan sekolah, aku juga ingin mempersiapkan masa depan. Tidak banyak, tapi aku ingin memulai rumah tangga lebih siap nantinya.
Aku ingin pulang, tapi entah kemana. Aku ingin sekali saja tidur, nyenyak, tenang, tanpa memikirkan apa yang akan datang, hari esok, tuntutan. Tanpa memikirkan keluargaku yang begitu berkecamuk. Aku ingin sekali beranjak. Meninggalkan semua ini. Keluarga... yang membuat hidupku segetir seperti ini.
Kamu bisa bayangkan? Kontrakkan ini, tepatnya keluarga ini, bising sekali, sehingga aku tidak bisa mendengar diriku sendiri.
Aku hanya perlu terus berlayar, mengembara, jika besok pun kalian tidak lagi mendengar kabarku, mungkin aku tersesat di samudera atau di suatu pulau, atau bisa juga kapalku karam, sebab perjalanan ini kususuri sendiri.
*****
Satu jam aku menceritakan detail kejadian menyakitkan itu kepada seseorang yang kupanggil "umi". Pandanganku kosong, aku ingin menangis tapi tak memiliki tenaga. Sudah terkuras, aku tak memiliki kalimat sedih untuk menggambarkan itu semua.
Tiba tiba pelukan menghantamku. Umi memelukku sembari terharu.
"De, kamu sekarang udah umi anggap anak umi. Jangan pernah ngerasa sendiri ya de. Umi bangga sama kamu, kamu hebat."
Tangisku baru pecah. Saat aku menyadari bahwa ada orang lain, bukan dari keluargaku, yang memiliki sebongkah hati sehangat itu. Aku tak lagi mampu menahan hebatnya kesedihanku. Aku tak mampu lagi membohongi perasaan sedihku. Aku menangis. Aku benar-benar merasa ditemani. Kebisingan ini sedikit mereda. Penerimaan. Kepercayaan diri yang lama hilang seolah hadir kembali. Kekhawatiranku, mereda. Aku menangis. Aku merasa lemah ketika menangis, tapi bolehkah aku menangis kali ini saja? Karena besok aku harus kembali berjuang untuk mimpi-mimpi, aku harus kembali berlayar, aku tak boleh berhenti sekarang.
42 notes · View notes