2.6 Dove
Prasasti untuk Dikenang
Ia menelisik ke dalam halaman-halaman Dove. Jantungnya berdegup lebih cepat. Apakah tebakan si pengendara benar. Jika benar, keisengan pengiriman pesan rahasia ini sungguh terniat.
“Pesan.”
“Teh.”
“Hangat.”
“Prasasti.”
“Coffe.”
Ia kaget dan mematungkan diri. Tidak ada temannya yang tahu mengenai coffeshop langganannya ini, bahkan si pengendara sahabat terdekatnya pun.
Melupakan tempat ituadalah hal tersulit selama satu tahun belakangan. Bersyukur pandemi telah membuatnya tutup sementara.
Kini, ia harus menapakkan kaki dan menggali kenangannya yang belum sembuh.
~~~
Kepalanya berat dan hatinya tersayat. Berhari-hari dihantui rasa penasaran, berhari-hari menolak dan mencoba tak peduli. Justru membuatnya tambah sakit.
“Ini harus berakhir!” Paksanya.
Ia menempuh perjalanan lambat menuju Prasasti Coffe. Berulangkali mernarik dan menghembuskan napas sebelum akhirnya masuk.
Secangkir teh hangat dan cinnamon toast. Pilihan serasi untuk menyapa hujan yang mulai menderu di udara. Ia memilih duduk di meja untuk dua orang, dekat jendela, lantai dua, yang menyuguhkan pemandangan sawah dan Pegunungan Sewu.
Ia memainkan celupan teh, dan matanya melotot seketika.
“READ ME.”
Tertulis di tag celupan tehnya. Ia membuka lipatannya. Ada gambar sebuah vas dan tulisan “aku tahu vas-mu kosong, ku rasa Widjaja Bunga memanggilmu”.
Ia menyobek kertas tersebut dan beranjak turun ke meja kasir.
“Tolong ya mas, cuma buat mbak ini aja kok. Kasih tau aja kalau ada promo kerja sama gitu sama Widjaja Bunga.”
“Tapi mas...”
“Saya cuma mau ngasih surprise aja kok.”
Obrolan si pengendara dan mas kasir seperti skenario yang sudah ia tahu akan terjadi. Tapi hatinya tetap terkoyak.
0 notes
Keping #3
Gaia menatap barang-barang di kasurnya. Buku catatan, tempat pensil, GPS, power bank, botol minum, tisu, mukena, dompet. Payung iya nggak ya. Lalu memasukkan kembali barang-barang tersebut ke dalam ransel coklat Threerey untuk yang ketiga kalinya. Gaia mengambil buku catatan biru, kemudian membaca form survei yang sudah ia buat. Lagi, sebelum akhirnya buku itu diselipkan di sebelah mukena.
Tok tok.
Ayah Gaia bersandar di pintu.
“Jadi ke Gunungkidul?”
“Jadi dong, Yah. Kan udah di-acc proposalnya Gaia.”
“Deket nggak sama rumah Eyang?”
“Mmm… nggak deh kayaknya.”
“Oh.”
“Padahal kan enak ya kalau deket rumah Eyang, bisa nginep sana kalau ambil data.” Celetuknya.
“Bisa.”
Ayah Gaia berbalik dan pergi.
Ting. Ada pesan baru di grup WhatsApp.
“Aku otw.”
“Selesai prepare, bentar lagi otw,” balas Gaia.
“Aku juga”
“Udah di deket kampus. Laper!” Foto semangkuk Soto Bu Win terlampir.
Mereka akhirnya berangkat dari rektorat ke Guningkidul jam enam lebih, bersamaan dengan anak-anak berseragam identitas berangkat sekolah. Jalanan baru mulai lengang saat mereka masuk daerah Patuk, Jalan Wonosari, hanya sinar matahari menyapa dan menyilaukan.
Ada yang sesuatu yang meninggi di diri Gaia, tapi bukan karena raganya sudah melalui gerbang Jogja Lantai Dua. Exited mungkin.
“Jangan tidur, Ge. Liat maps-nya dong!”
“Siapa yang tidur sih, masih lurus terus kok!”
Gaia melirik ke smartphone yang hanya digenggamnya sedari tadi, memastikan kalau jawabannya pada Doni tak asal-asalan. Keteduhan dan angin perjalanan sepertinya sudah membius Gaia, ia lupa kalau ini bukan liburan.
***
Titik pertama di peta survei. Lokasi yang ternyata sudah dikerubungi wisatawan.
“Jadi pingin ikut nyebur aku.” Celetuk Aryo.
Ha. Sepertinya bukan hanya Gaia yang tergoda dengan liburan.
“Hus. Fokus. Ayo cari petugasnya dulu.” Balas Lia.
“Tiket berapa orang dek?”
“Eh mboten, Pak. Mau bertemu dengan pemiliknya saget?”
“Ada apa ya?”
“Mmm, mau tahu izin buat ambil data di sini.”
“Ambil data?”
“Nggih pak, tentang aliran sungai di sini.”
“Di sungainya?”
“Iya.”
“Wah, gimana ya. Kayaknya nggak bisa, dik. Di sini kan wisata buka terus.”
Benar juga. Bukan hari libur saja, wisatawan ramai mampir ke sini.
“Kecuali adik-adik ini mau ambil datanya malem, ning yo lowo-lowone do nggragas.”
“Lha surat tugasnya mana?” tanya bapak yang lain.
“Belum ada, Pak. Ini baru tanya-tanya dulu, kalau sudah fix, baru buat surat tugasnya dari kampus.” Upaya meyakinkan.
***
Titik kedua di peta survei.
“Yakin nih, lokasinya?”
“Di maps udah bener bener kok.”
“Sinyalmu ilang kali.”
“Weladalah, glo 4G.”
“Ge, di maps-mu gimana?”
“Bener kok, udah sampai sini.”
Ia menatap hamparan pohon jati dan daun-daun kering yang menyelimuti lahan tandus. Bola matanya hanya bergerak ke kanan dan ke kiri.
“Ge, lesu amat? Laper?”
Gaia terbius lagi. Fokus, Ge.
“Ehehe, lupa sarapan.”
“Ini dulu nih.” Doni menyodorkan susu kotak dari saku tasnya.
“Trims.”
“Enten nopo dik?” Seorang simbah menghampiri dari balik gubug.
“Wonten mriki leres enten goa, mbah?”
“Leres. Monggo dipun pirsani”
Mereka mengikuti simbah, memotong hamparan dedaunan kering. Keraguan sempat terbesit. Hingga…
“Niku.” Simbah tadi menunjuk sebuah goa.
“Ga ada airnya?” Doni melongo.
“Mpun dangu mboten enten toyane, dik.”
Si simbah menjelaskan kalau ada lahan yang ambrol di dekat sini. Semenjak itu, tak ada lagi aliran air yang lewat.
Sinkhole. Gaia melihat lembaran peta surveinya. Bisa jadi alirannya masuk makin dalam, atau berbelok ke titik kanan atau kirinya.
“Ge, Don. Gimana kalau kita bagi dua surveinya? Aku sama Lia ke daerah Playen, kalo sempet sama ke Paliyan. Biar cepet?”
“Boleh juga tuh.” Doni mengiyakan.
“Iya deh ngggakpapa. Puter balik dong kalian?”
“Nggakpapa. Biar pulangnya makin deket.” Sahut Lia.
“Oke.”
***
Mereka tiba di titik ketiga saat azan zuhur berkumandang. Air mengalir di sana, tapi mata air yang mereka cari tidak ada.
“Tiga titik hangus. Makan dulu yuk, Ge?”
“Ini deket sama titik empat, kesana dulu gimana?”
“Ge, kamu belom sarapan loh.”
“Nanggung nih.”
Pasrah, Doni mengiyakan.
Di titik empat, hasilnya masih nihil. Hanya aliran sungai yang melewati goa sempit.
“Survei secapek ini ya.” Gaia mengeluh.
Gaia menatap Doni yang sedang mengelap eluhnya. Ia memang tak lagi ngoceh selama jalan ke titik ini.
“Kamu kenapa?”
“Kamu kenapa sih ngga nyari penelitian di dekat rumah aja, Ge?”
“Kok gitu?”
“Ya yang gampang aja, Ge. Lebih pasti keadaannya, kan biar cepet lulus juga gitu?”
Gaia diam.
“Ini udah jauh-jauh, masih survei, tapi titik-titik rencananya belum ada yang masuk kriteria. Kamu yakin?”
“Don,” Gaia memanggilnya dengan halus. “Kita baru mulai, kok. Bisa jadi titik selanjutnya masuk kriteria kan ya kan? Gapapa ya?”
Ini buat ngeyakinin diri kamu juga Ge.
Doni mengelus kepala Gaia. “Yaudah-yaudah, istirahat dulu aja tapi ya. Laper.”
“Yaudah yuk nyari makan.”
“Tapi ga ada yang jualan sepanjang jalan ini tadi. Sekalian nyari yang enak gitu gimana?
“Aku tau sih tapi rada jauh gapapa?”
“Mana?”
“Deket rumah eyangku.”
“Di mana”?
“Sekitar 10 km dari sini. Paling 20 menitan.”
“Yaudah ayok.”
Setengah jam kemudian.
“Masih jauh, Ge?”
“Kayaknya udah sekitar sini ini deh.”
“Heh. Yakin gak? Beneran tahu ga kamu tu?”
“Tahulah. Langganan dari aku kecil ya.”
“Kalau sampe ga nemu tak turunin di jalan ya kamu!”
“Ih kok gitu sih. Tuh, depan itu belok terus udah kanan jalan.”
Doni tancap gas. Gaia berdoa supaya ia benar. Karena selama ini ia selalu bersama keluarganya, jadi ia tak begitu memperhatikan jalan.
Begitu berbelok, jalanan itu lengang sepi, tapi ada plang bakmi jawa. Gaia diam-diam menghela napas lega. Doni ngegas motornya. Gaia kaget. Sudah siap menyumpah serapahi Doni, batal, karena sadar warungnya sepi. Tutup.
Mati aku!
“Gimana sih, Ge. Turun kamu!”
“Yah gak gitu dong, Don. Kan mana kutahu kalau tutup.”
“Turun!”
“Ga mau lah.” Gaia melongo tidak mengira Doni serius mau menurunkannya.
“Turun aja.”
“Ga mau. Kamu tega banget sih. Huhu.”
“Apaan sih, Ge! Turun dulu.”
“Don pliiiis!” Gaia mengaitkan kedua tangannya ke pinggang Doni yang langsung tersentak.
“Ih. Turun aja dulu, itu loh liat ada tulisan apa.”
“Mau ditinggal kan?”
“Enggak bakal lah. Kamu kira aku setega itu?”
Gaia turun ke jalan dan membaca tulisan di jendela warung. Ternyata baru buka jam 3. Dia melihat ke jam tangannya, sekarang jam 2.15 WIB.
“Buka 45 menit lagi. Mau nunggu di rumah eyangku dulu? Deket kok. Tapi ak ngga tahu ada makanan enggak disana.”
“Mmm…”
“Terus cuma ada ini warung di deket sini.”
“Yaudah ayo.” Lagi-lagi Doni mengiyakan.
300 meter dari warung bakmi tadi, rumah berhalaman luas dan dikelilingi pagar berbatu bata merah mengelilinginya, tampak lengang.
Rumah masa kecil Gaia, rumah eyang.
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi
0 notes